Kajian Perangkat Manajemen Lingkungan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Perangkat Manajemen Lingkungan Benedicta Vanessa / 1606905645 Perangkat Manajemen Lingkungan merupakan pendekatan yang dibuat untuk mengelola lingkungan baik ditingkat perusahaan / proyek hingga tingkat yang cukup tinggi yaitu pemerintah nasional maupun internasional. Perangkat Lingkungan dalam Proyek: 1. AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan), UKL – UPT, dan SPPL Amdal merupakan kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/ atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/ atau kegiatan (PP no 27 tahun 2012). Tujuan dan sasaran AMDAL adalah untuk menjamin suatu usaha atau kegiatan pembangunan dapat berjalan secara berkesinambungan tanpa merusak lingkungan hidup. Dengan melalui studi AMDAL diharapkan usaha dan/atau kegiatan pembangunan dapat memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam secara efisien, meminimumkan dampak negatip dan memaksimalkan dampak positif terhadap lingkungan hidup. Dokumen AMDAL terdiri dari 5 (lima) rangkaian dokumen yang dilaksanakan secara berurutan, yaitu : (Mukono, 2005) 1. Konsultasi Masyarakat sebagai implementasi Kepka Bapedal No.8/2000 2. Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan (KA-ANDAL) 3. Dokumen Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) 4. Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) 5. Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) 2. ISO 14000 ISO 14000 adalah kumpulan standar-standar terkait pengelolaan lingkungan yang disusun untuk membantu organisasi untuk:  meminimalisir dampak negatif kegiatan-kegiatan (proses dll) mereka terhadap lingkungan, seperti menimbulkan perubahan yang merugikan terhadap udara, air atau tanah;  mematuhi



peraturan



perundangan-undangan



dan



persyaratan-persyaratan



berorientasi lingkungan yang berlaku;  memperbaiki hal-hal di atas secara berkelanjutan (Brorson & Larsson, 1999)



ISO 14000 berbasis kepada pendekatan sukarela terhadap peraturan lingkungan. Petunjuk perencanaan dan penerapan dari Sistem Manajemen Lingkungan tersedia dalam serial ISO 14000. Perkembangan yang cepat dari ISO-14000 berdampak besar pada kalangan pemerintah dan dunia industry karena penerapan standar akan mempengaruhi kompetisi perdagangan di pasar Internasional. Sebelum adanya ISO 14000, Environmental Management System (EMS) disusun sendiri oleh masing masing organisasi segingga menyebabkan sulitnya melihat perbandingan dampak dampak lingkungan yang terjadi antar perusahaan 3. Ekolabel Ekolabel adalah logo/label pernyataan yang menunjukkan aspek lingkungan dan merupakan salah satu perangkat dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup. Ekolabel merupakan sarana penyampaian informasi yang akurat, verifiable dan tidak menyesatkan kepada konsumen mengenai aspek lingkungan dari suatu produk (barang atau jasa), komponen atau kemasannya. (standardisasi.menlhk.go.id). Ekolabel dapat berfungsi untuk pemilihan produk-produk oleh konsumen yang lebih memilih dampak lingkungan lebih kecil dibanding produk lainnya yang sejenis. Di samping itu, inovasi 2ndustry yang berwawasan lingkungan dapat timbul dari adanya penerapan ekolabel oleh para stakeholder. Lebih lanjut, citra yang positif terhadap “brand” produk maupun perusahaan yang memproduksi atau mendistribusikan ke pasar dapat ditimbulkan dari penerapan ekolabel, sehingga dapat menjadi investasi bagi peningkatan daya saing perusahaan



Perangkat Lingkungan dalam Ekosistem 1. Program Langit Biru Program Langit Biru merupakan program pemerintah sebagai salah satu upaya untuk mengurangi pencemaran udara, khususnya yang bersumber dari sektor transportasi. Program Langit Biru telah diluncurkan pertama kali pada tahun 1996 oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup melalui Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 15 Tahun 1996. (htt2) Program Langit Biru menangani tingkat pencemaran udara di Indonesia, baik pengendalian sumber pencemar bergerak (kendaraan bermotor) maupun tidak bergerak (2ndustry/pabrik), penataan lingkungan hidup serta aktivitas yang bersifat



pencegahan pencemaran, penanggulangan hingga pemulihan tersebut. Program ini diselenggarakan di beberapa kota besar di Indonesia. Program Langit Biru menginisiasi upaya-upaya inovatif untuk program penurunan konsumsi bahan bakar minyak sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca dari 3ndust transportasi khususnya pengurangan penggunaan kendaraan pribadi yang pada akhirnya mengurangi beban emisi 3ndust transportasi. Hasil evaluasi kualitas udara perkotaan sebagai bagian dari Program Langit Biru Tahun 2015 menunjukkan bahwa dari 45 kota yang diukur diperoleh : 



Tiga Kota Langit Biru terbaik untuk kategori kota metropolitan, yaitu kota Bandung, Surabaya dan Jakarta Pusat.







Tiga Kota Langit Biru terbaik untuk kategori kota besar adalah Yogyakarta, Tangerang Selatan dan Denpasar







Tiga Kota Langit Biru terbaik kategori kota Sedang/Kecil adalah Ambon, Bengkulu dan Banda Aceh (Karliansyah & Soegiri, 2015)



2. PROKASIH PROKASIH (Program Kali Bersih) adalah program kerja pengendalian pencemaran air sungai dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas air sungai agar tetap berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Pelaksanaan Prokasih berasaskan pelestarian fungsi lingkungan perairan sungai untuk menunjang pembangunan yang berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan manusia. Program ini dicanangkan oleh Kementerian Negara dan Lingkungan Hidup pada tanggal 9 Juni 1989 sebagai dasar dalam mengontrol debit limbah industri yang masuk ke badan / jalan air. Selain itu, program ini merupakan suatu perwujudan aksi nyata pemerintah Indonesia setelah mengikuti Konferensi Lingkungan Hidup di Stockholm. (Sugiyono, 2002) PROKASIH memiliki tujuan seperti tercapainya kualitas air sungai yang baik, sehingga dapat meningkatkan fungsi sungai dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan, terciptanya sistem kelembagaan yang mampu melakanakan pengendalian pencemaran air secara efektif dan efisien, serta terwujudnya kesadaran dan tanggung jawab masyarakat



dalam



pengendalian



(http://dlh.surakarta.go.id/new/?p=ss&id=165)



pencemaran



air.



Program ini dianggap kurang jelas dan sempat vakum pada tahun 2003. Setelah itu, program ini kembali popular karena didukung oleh beberapa peraturan daerah seperti di Yogyakarta yang didukung oleh Pergub D.I.Yogyakarta No 75 Tahun 2015 yang menugaskan BLH melaksanakan dan menyusun program terkait lingkungan hidup. Menyesuaikan dengan kondisi lahan yang tersedia serta penuhnya bantaran sungai dengan pemukiman warga maka pelaksaan prokasih pada zaman milenial sudah memiliki beberapa modifikasi. Sesuai permasalahan sekarang, BLH dan organisasi kemitraan lainnya melakukan cara yang berbeda, yaitu dengan penyuluhan terkait sanitasi dan MCK sesuai kebutuhan masyarakat sekarang. (Risdiana, 2015). 3. Pantai dan Laut Lestari Program Pantai dan Laut Lestari pada prinsipnya meliputi GBHN (Garis Garis Besar Haluan Negara) dan Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Pantai Lestari adalah nama atau label dari program kerja pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan pesisir berskala nasional. Yang dimaksud dengan lingkungan pesisir dalam hal ini adalah lingkungan perairan pantai, lingkungan pantai itu sendiri dan lingkungan daratan pantai. Ruang lingkup program kerja difokuskan dan bertolak pada fungsi lingkungan pesisir sepanjang garis pantai Pada saat ini daerah konservasi di wilayah pesisir meliputi 21 Taman Wisata Alam dan 7 Taman Nasional Laut. Kegiatan yang berada pada garis pantai, sebagai kawasan budidaya, antara lain meliputi: 538 Pelabuhan, 8 Kilang Minyak dan 5 Terminal Minyak, dan 185 Industri Galangan Kapal. Namun, kondisi lingkungan pesisir di beberapa pantai di Indonesia cenderung mengalami penurunan kualitas akibat pencemaran atau perusakan lingkungan disekitarnya. Hal ini berdampak pada berkurangnya fungsi dari daerah pesisir tersebut dan kesejahteraan penduduk sekitar ikut berpengaruh. Salah satu kegiatan yang dilakukan dalam program pantai dan laut lestari adalah penanaman pohon bakau di pesisir pantai dan membersihkan sampah yang terdapat pada area sekitar pantai / pesisir. Keterlibatan masyarakat sekitar perlu ditekankan dalam program ini agar masyarakat peduli akan keadaan sekitar pesisir/pantai. 4. Adipura Program Adipura adalah sebuah penghargaan bagi kota di Indonesia yang berhasil dalam kebersihan serta pengelolaan lingkungan perkotaan. Program ini diselenggarakan



oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Program Adipura telah dilaksanakan setiap tahun sejak tahun1986 namun kemudian terhenti pada tahun 1998. Program Adipura adalah salah satu program yang direncanakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup untuk membantu Pemerintah Daerah, dalam hal ini Kota dan Kabupaten serta Propinsi, meningkatkan kemampuannya dalam pengelolaan lingkungan hidup di daerahnya dalam rangka mencapai Tata Praja Lingkungan (GEG). Sasaran dari Program Adipura adalah terwujudnya pemerintahan yang baik (good governance) dan lingkungan yang baik (good environment). Tata Praja Lingkungan merupakan bagian dari upaya mewujudkan kepemerintahan yang baik. Inti dari penerapan Tata Praja Lingkungan adalah penguatan sistem koordinasi, sehingga pemerintah bisa mendapatkan respon (tanggapan) yang tepat untuk penyelesaian masalah-masalah lingkungan yang mendesak. Beberapa faktor diyakini sebagai prinsip dari pemerintahan yang sudah melaksanakan tata praja lingkungan yang baik, yaitu: (1) Transparansi; (2) Partisipasi seluruh stakeholder; (3) Tanggung jawab/akuntabilitas; dan (4) Efisien dan efektif. Prinsip ini harus dipenuhi agar terwujudnya iklim yang kondusif bagi pemerintah. Strategi yang diterapkan dalam pelaksanaan program adipura adalah: 



Menciptakan motivasi bagi Pemerintah Daerah melalui pemberian insentif, antara lain berupa penghargaan (award) maupun bantuan lainnya;







Menciptakan kompetisi antar daerah/kota; dan







Menerapkan pendekatan “local specific”, karena setiap daerah memiliki kekhasan masing-masing



Perangkat Lingkungan dalam Skala Nasional Perangkat manajemen lingkungan dalam skala nasional terintegrasi satu sama lain. Usaha pelestarian lingkungan hidup yang selama ini didominasi oleh kerangka pikir manajemen menghasilkan hasil yang kurang baik. Keterbatasan kerangka manajemen menjadikan ketergantungan terhadap pemerintah. Konsep governance dalam lingkungan atau bisa disebut dengan environmental governance, melihat negara dan masyarakat sebagai obyek sekaligus subyek pada usaha pelestarian lingkungan. Melalui konsep governance ini maka environmental governance dipahami sebagai kerangka pikir pengelolaan negara dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup melalui interaksinya dengan rakyatnya.



Azas-azas penyelenggaraan negara yang baik dalam mengelola lingkungan dengan prinsip keberlanjutan sumber daya (sustainability) disebut dengan prinsip Good Environmental Governance (GEG). (Siahaan., 2004). Good Environmental Governance merupakan sebuah kegiatan penting untuk mensukseskan penggunaan sumber daya alam secara bekelanjutan dan melindungi kualitas lingkungan. Kegiatan ini membutuhkan transparansi sistem pada institusi lingkungan, kebijakan dan program-program yang melibatkan masyarakat dalam merumuskan dan penerapan kebijakan-kebijakan (Belbase, 2010) Selain itu untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan maka dibutuhkan perundangn undangan yang mengatur keterkaitan faktor faktor yang mempengaruhinya. Pembangunan berkelanjutan sendiri merupakan pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan kita sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhinya. Beberapa peraturan perundangan undangan yang berkaitan antara lain:  Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun  Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air Dan Pengendalian Pencemaran Air  Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara Manajemen Lingkungan juga harus memperhatikan tata ruang dan peruntukannya. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak. Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang yang dilaksanakan secara sekuensial (berkesinambungan dari masa ke masa). Penataan ruang dikelompokan berdasarkan sistem, fungsi kawasan, administrasi, kegiatan kawasan, dan nilai strategis kawasan. Sebagai perwujudan pemanfaatan ruang kota yang serasi dan seimbang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daya dukung pertumbuhan dan perkembangan kota, maka dibutuhkan Rencana Tata Ruang Kota yang menjadi tanggung jawab daerah masing masing. Dibedakan menjadi tiga macam : a. Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) b. Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) c. Rencana Teknik Ruang Kota (RTRK)



Table 1 Macam Macam Rencana Tata Ruang Daerah dan Penjelasannya Macam Rencana RUTRK



Lingkup Isi Rencana Skala Peta Wilayah Seluruh wilayah • Kebijaksanaan pengembangan kota 1 : 10.000 adminitrasi kota • Rencana pemanfaatan ruang kota (untuk kota • Rencana struktur tingkat pelayanan berpenduduk kota kurang dari 1 • Rencana sistem transportasi juta jiwa); • Rencana sistem jaringan utilitas kota 1 : 20.000 • Rencana pengembangan pemanfaatan (untuk kota air baku berpenduduk • Indikasi unit pelayanan kota lebih dari 1 • Rencana pengelolaan pembangunan juta kota jiwa). RDTRK Sebagian atau • Kebijaksanaan pengembangan 1 : 5.000 seluruh wilayah penduduk dengan adminitrasi kota • Rencana pemanfaatan ruang bagian penggambaran yang dapat wilayah kota geometrik merupakan satu • Rencana struktur tingkat pelayanan yang atau beberapa • Rencana sistem jarangan fungsi jalan dibantu kawasan tertentu • Rencana sistem jaringan utilitas dengan • Rencana kepadatan bangunan titik-titik lingkungan kendali. • Rencana ketinggian bangunan • Rencana garis sempadan atau garis pengawasan jalan • Rencana indikasi unit pelayanan • Rencana tahapan pelaksanaan pembangunan • Pengelolaan penanganan lingkungan RTRK Sebagian atau • Rencana tapak pemanfaatan ruang 1 : 1.00 seluruh kawasan • Pra rencana pola dan konstruksi tertentu yang jaringan jalan dapat merupakan • Pra rencana bentuk dan konstruksi satu atau jaringan utilitas beberapa unit • Pra rencana bentuk dan konstruksi lingkungan bangunan gedung perencanaan • Rencana indikasi proyek (Sumber: http://trtb.pemkomedan.go.id/artikel-755-tata-ruang.html ,2019)



Perangkat Lingkungan dalam Skala Internasional 1. Protokol Kyoto Protokol Kyoto adalah sebuah amandemen terhadap Konvensi Rangka Kerja PBB tentang perubahan Iklim (UNFCCC) yang berkaitan tentang pemanasan global.



Persetujuan ini dinegosiasikan di Kyoto pada bulan Desember 1997. Konvensi Perubahan Iklim PBB



sendiri (United Nations Framework Convention on Climate Change,



UNFCCC) dihasilkan di New York, Amerika Serikat tanggal 9 Mei tahun 1992 dan ditandatangani di Rio De Janerio, 4 Juni tahun 1992 pada Earth Summit. Dengan berlakunya Konvensi Perubahan Iklim maka dimulailah Pertemuan Para Pihak atau Conferences of the Parties (COP) yang berfungsi untuk mempertemukan pihak-pihak yang menyepakati berbagai komitmen dan tindak lanjut UNFCCC. Protokol Kyoto merupakan hasil dari COP ke 3 dan bersifat mengikat secara hukum atau legally binding. (Pramudianto, 2016) Selama ini pelaksanaan Kyoto Protokol 1997 dilakukan melalui 3 mekanisme yaitu Emmission Trading (ET), Joint Implementation (JI) dan Clean Development Mechanism (CDM) dan Para Pihak terbagi kewajibannya yang tercantum dalam dalam dua Annex. Annex I untuk negara-negara yang wajib menurunkan emisinya pada angka tertentu yang umumnya diemban oleh negara-negara maju dan negara-negara dalam masa transisi. Sedangkan negara-negara Non-Annex yang umumnya negara-negara berkembang, tidak dibebani kewajiban untuk menurunkan emisi namun harus melaporkan status emisinya dan dapat berpartisipasi dalam menurunkan emisi melalui kerjasama dengan negara yang termasuk Annex I. Protokol Kyoto cukup berdampak bagi Indonesia.



Secara konstitusional,



pengesahan protokol kyoto sebenarnya dapat dilakukan dengan keputusan presiden, apalagi konvensinya telah diratifikasi dengan UU No 6/1994. Namun demikian, menurut UU No 24/2000 tentang perjanjian internasional, diamanatkan bahwa untuk pengesahan perjanjian internasional tentang lingkungan hidup harus dilakukan dengan UU. Dalam mekanisme kyoto, proyek yang absah akan menghasilkan CER bagi investor, sementara tuan rumah akan mendapatkan dana tambahan investasi yang sesuai dengan banyaknya GRK setara karbon yang direduksi dan jumlahnya akan disahkan oleh badan pelaksana CDM yang telah terbentuk dalam CoP7. Sebagai negara berkembang, Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk menurunkan emisinya namun dapat berpartisipasi melalui CDM. Langkah awal yang harus dilakukan ialah mengesahkan protokol Kyoto yang kemudian disusul dengan penyusunan peraturan untuk mendukung



hal tersebut. Kerangka peraturan di daerah yang kondusif akan memberikan daya tarik tertentu bagi kemungkinan investasi. (Rizky, 2011)



2. Konvensi Bazel Konvensi Basel lahir karena adanya kekhawatiran terkait perdanganan limbah berbahaya ke negara berkembang. Semakin mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk mengatasi limbah beracun yang dihasilkan oleh industri dari negara negara maju berdampak pada negara negara berkembang. Konvesi Basel merupakan sebuah konvensi yang diprakarsai oleh PBB dan diselenggarakan di Basel, Switzerland pada tahun 1989 mengatur Pengawasan Perpindahan Limbah Berbahaya dan Pembuangannya mengatur perpindahan limbah berbahaya internasional dan mensyaratkan kepada para negara-negara anggota untuk mampu mengelola dan membuang limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan lainnya secara berwawasan lingkungan. Konvensi Basel, yang terdiri dari 170 negara anggota, bertujuan untuk melindungi kesehatan manusia serta lingkungan hidup dari efek buruk yang disebabkan oleh kurang baiknya pengelolaan limbah B3 dan lainnya. Program ini dikelola oleh United Nations Environment Programme (UNEP) Konvensi Basel menjadi instrument yang sangat penting bagi Indonesia dan juga negara lainnya untuk melindungu kesehatan dan lingkungan hidup dari kontaminasi B3 dikarenakan Indonesia rentan terhadap perpindahan limbah B3 secara illegal. Dengan Konvensi Basel, perdagangan ilegal limbah dimasukkan sebagai tindak pidana. Sayang, Konvensi Basel tidak memuat sanksi bagi pelakunya. Isu krusial lain adalah belum disahkannya Basel Ban Amendment yang memuat larangan total perdagangan semua jenis limbah B3 lintas negara, termasuk limbah elektronik. Isu ini selalu menjadi isu panas dalam setiap pertemuan para pihak Konvensi Basel. (Konvensi Basel, Indonesia Rentan Perpindahan Limbah B3 Ilegal, n.d.). Indonesia adalah salah satu negara yang meratifikasi Konvensi Basel 1989 yang diratifikasi Indonesia dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1993. Ratifikasi Konvensi Basel mencerminkan kesadaran Pemerintah Republik Indonesia tentang adanya ancaman terhadap pencemaran lingkungan akibat perpindahan atau pembuangan limbah dari negara lain kedalam negeri. (Rahmadi, 2003)



3. Protokol Montreal Penipisan lapisan ozon merupakan salah satu akibat kerusakan lingkungan yang memberikan efek sangat merugikan bagi manusia. Menanggapi isu ini, maka dikembangkanlah konvensi global untuk perlindungan lapisan ozon. Protokol Montreal merupakan perpanjangan dari konvensi Wina 1985 yang membentuk sebuah perjanjian. Perjanjian ini mengatur mengenai pemakaian bahan kimia yang merusak Lapisan Ozon dan disepakati pada 16 September 1987 di Markas Besar Organisasi Penerbangan Sipil Internasional di Montreal. Protokol Montreal menyatakan bahwa produksi dan konsumsi senyawa yang menguras ozon di stratosfer - chlorofluorocarbons atau CFC harus dihapuskan. Perjanjian ini merupakan salah satu perjanjian lingkungan internasional pertama yang mencakup sanksi perdagangan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dari perjanjian. Perjanjian inipun menawarkan insentif besar bagi negara-negara yang masuk dalam perjanjian yaitu sejumlah bantuan untuk meningkatkan produksi hingga pencarian alternatif CFC yang tidak merusak. (The vienna convention for the protection of the ozone layer, 2019). Indonesia telah meratifikasi Protokol Montreal sesuai dengan keputusan Presiden no. 23 tahun 1992 dan tetap berkomitmen hingga saat ini. Indonesia memiliki kewajiban untuk melaksanakan program perlindungan lapisan ozon secara bertahap. (Pinem, 2009). Protokol Montreal membawa peluang bagi Industri di Indonesia untuk meningkatkan teknologi ramah lingkungan serta mendorong pemerintah memberikan sejumlah bantuan bagi para produsen yang sedang dalam proses penghapusan Bahan Penipis Ozon.



4. Protokol Cartagena Protokol Cartagena adalah kesepakatan antara berbagai pihak yang mengatur tatacara gerakan lintas batas negara secara sengaja (termasuk penangananan dan pemanfaatan) suatu organisme hidup yang dihasilkan oleh bioteknologi modern (OHMG) dari suatu ke negara lain oleh seseorang atau badan. Protokol Cartagena bertujuan untuk menjamin tingkat proteksi yang memadai dalam hal persinggahan (transit), penanganan, dan pemanfaatan yang aman dari pergerakan lintas batas OHMG. Tingkat proteksi dilakukan untuk menghindari pengaruh merugikan terhadap kelestarian dan pemanfaatan



berkelanjutan keanekaragaman hayati, serta resiko terhadap kesehatan manusia. (http://indonesiabch.menlhk.go.id/protokol-cartagena/) Indonesia telah meratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati (KKH) dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1994. Materi pokok dalam Protokol Cartagena mengatur hal hal seperti; persetujuan pemberitahuan terlebih dahulu, prosedur pemanfaat OHMG secara langsung, kajian risiko terkait masuknya OHMG, manajemen resiko sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan kajian risiko, emergency measures, Biosafety Clearing House, pengembangan kapasitas untuk mengembangkan dan memperkuat sumber daya manusia. Protokol Cartagena mewajibkan para pihak untuk: 



Meningkatkan dan memfasilitasi kesadaran, pendidikan dan partisipasi masyarakat berkenaan dengan pemindahan, penanganan, dan penggunaan OHMG secara aman;







Menjamin agar masyarakat mendapat akses informasi OHMG;







Melakukan konsultasi dengan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dan menyediakan hasil keputusan kepada masyarakat



References (n.d.). Retrieved from http://dephub.go.id/post/read/Program-Langit-Biru-untuk-Mengendalikandan-Mencegah-Pencemaran-Udara703 Belbase, N. (2010). Environmental Good Governance In The Future Constitution In Nepal. IUCN Nepal. Brorson, T., & Larsson, G. (1999). Environmental Management: How to Implement an Environmental Management System within a Company or Other Organization. Stockholm: EMS AB. Karliansyah, M., & Soegiri, E. (2015). Program Langit Biru 2015, Evaluasi Kualitas Udara Perkotaan di 45 kota dari 33 propinsi. Siaran Pers Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Konvensi Basel, Indonesia Rentan Perpindahan Limbah B3 Ilegal. (n.d.). Retrieved from Berita Bumi: http://beritabumi.or.id/konvensi-basel-indonesia-rentan-perpindahan-limbah-b3ilegal/ Mukono, H. (2005). Kedudukan AMDAL Dalam Pembangunan Berwawasan Lingkungan Yang Berkelanjutan. Surabaya: Jurnal Kesehatan Lingkungan. Pinem, W. W. (2009). Kebijakan Luar Negeri Indonesia Terhadap Isu Global Penipisan Lapisan Ozon. Retrieved from http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14866/1/09E01207.pdf Pramudianto, A. (2016). DARI KYOTO PROTOCOL 1997 HINGGA PARIS AGREEMENT 2015: DINAMIKA DIPLOMASI PERUBAHAN IKLIM GLOBAL DAN ASEAN MENUJU 2020. Depok: Universitas Indonesia. Rahmadi, T. (2003). Hukum Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun,. Surabaya: Airlangga University Press. Risdiana, J. (2015). Pelaksanaan Prokasih di Sungai Gadjah Wong oleh Badan Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta. Rizky, F. K. (2011). Beberapa Prinsip Protokol Kyoto Dalam Hubungannya Dengan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. USU. Siahaan., N. (2004). Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Jakarta: Erlangga. Sugiyono, A. (2002). Kelembagaan Lingkungan Hidup di Indonesia. Retrieved from Technical Report: http;//www.researchgate.nt/publication/264784161 The vienna convention for the protection of the ozone layer. (2019, 2 12). Retrieved from http://ozone.unep.org/pdfs/viennaconvention2002.pdf