Kajian RUU Kesehatan Omnibus Law [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Penolakan PPNI Terhadap Pembahasan UU Keperawatan dalam RUU tentang Kesehatan (Omnibus Law) Pada 18 Oktober 2022 lalu, Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Harif Fadhillah, menyatakan penolakan tegas terhadap keikutsertaan UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan dalam pembahasan Rancangan UndangUndang (RUU) tentang Kesehatan (Omnibus Law) yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Pernyataan tersebut disampaikan dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) yang digelar bersama Pengurus Pleno Dewan Pengurus Pusat (DPP) PPNI dan Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) PPNI 34 Provinsi seluruh Indonesia di Jakarta. Rapat tersebut diadakan dalam rangka merespon adanya RUU tentang Kesehatan yang masuk ke agenda pembahasan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Perubahan Prioritas Tahun 2022 DPR RI. Tak hanya pada saat Rapimnas, Ketua Umum PPNI juga menyatakan penolakannya pada 3 Oktober 2022 lalu, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang digelar oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Rapat ini digelar dan diikuti bersama dengan perwakilan organisasi profesi kesehatan Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) pada sesi pagi, dan diikuti oleh perwakilan organisasi profesi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB PDGI), Persatuan Ahli Farmasi Indonesia (PAFI), dan Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat Indonesia (PERSAKMI) pada sesi siang. Dalam pernyataannya, Ketua Umum PPNI menjelaskan bahwa adanya RUU tentang Kesehatan yang menggunakan metode Omnibus Law, berpotensi untuk mencabut atau melemahkan sejumlah Undang-Undang yang sudah ada sebelumnya, termasuk UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan. Menurutnya, UU Keperawatan telah memberikan landasan yang kuat untuk pengembangan profesi perawat dan telah mengatur profesi perawat dari hulu ke hilir, termasuk menjamin perlindungan dan kepastian hukum bagi perawat dan masyarakat dalam pemberian pelayanan keperawatan. PPNI juga menyampaikan bahwa tidak ada urgensi untuk mencabut atau mengikutsertakan UU Keperawatan dalam RUU tentang Kesehatan. Hal ini dikarenakan implementasi dari UU Keperawatan saat ini sudah berjalan dengan sangat baik dan apabila diperlukan penguatan, pemerintah bersama organisasi profesi dapat menerbitkan peraturan-peraturan pelaksana yang lebih teknis tanpa meniadakan eksistensi dari pengembangan profesi perawat yang telah diatur dalam UU Keperawatan. Pencabutan UU Keperawatan sendiri dinilai akan memberikan dampak yang tidak baik terhadap profesi perawat dan juga pelayanan keperawatan yang diberikan kepada masyarakat, karena tanpa adanya dasar aturan yang jelas, mutu pelayanan akan menjadi subjektif. Oleh karena itu, PPNI berharap adanya RUU tentang Kesehatan yang saat ini sedang dilakukan pembahasan oleh DPR dan pemerintah tidak membawa-bawa eksistensi UU Keperawatan.



Apa itu RUU tentang Kesehatan (Omnibus Law)? RUU tentang Kesehatan (Omnibus Law) merupakan RUU baru yang diusulkan oleh DPR RI dan masuk ke dalam Prolegnas RUU Perubahan Prioritas Tahun 2022. Pada awalnya RUU ini masuk ke dalam Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2023, akan tetapi melalui Rapat Kerja antara Baleg DPR RI dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI dan Panitia Perancang Undang-Undang DPR RI pada 20 September 2022, RUU ini masuk ke Prolegnas Prioritas 2022 dan saat ini sedang menunggu pengesahan dalam Rapat Paripurna DPR RI. RUU tentang Kesehatan dibuat dengan metode Omnibus Law. Omnibus merupakan istilah yang berasal dari bahasa latin omnis, yang berarti banyak atau untuk semuanya. Dalam konteks hukum, Omnibus Law diartikan sebagai hukum yang bisa mencakup untuk semua atau satu hukum yang mengatur banyak hal. Penerapannya banyak digunakan untuk menggabungkan peraturan dari berbagai sektor. Dengan kata lain, RUU tentang Kesehatan (Omnibus Law) berarti menyatukan beberapa Undang-Undang yang berkaitan dengan kesehatan ke dalam satu Undang-Undang saja. Adapun sejumlah 14 Undang-Undang, dengan total pasal gabungan kurang lebih sebanyak 900 pasal diikutsertakan dalam RUU tentang Kesehatan dan disederhanakan hingga menjadi hanya 455 pasal. Polemik RUU Kesehatan (Omnibus Law) Sejak pertama kali dikemukakan, RUU tentang Kesehatan (Omnibus Law) telah banyak menimbulkan polemik dan kritik dari sejumlah organisasi profesi kesehatan. 1. RUU tentang Kesehatan (Omnibus Law) muncul tanpa sepengetahuan organisasi profesi kesehatan Dalam siaran pers yang dilakukan oleh sejumlah organisasi profesi kesehatan seperti PB IDI, PB PDGI, PP IBI, DPP PPNI, PP IAI, dan YLKI di Jakarta pada 26 September 2022, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menyinggung bahwa RUU tentang Kesehatan (Omnibus Law) muncul tanpa sepengetahuan organisasi profesi kesehatan. Lebih lanjut, mewakili seluruh organisasi profesi kesehatan, Ketua Umum PB IDI juga mengatakan sejak RUU tersebut muncul dan masuk ke dalam Prolegnas, organisasi profesi kesehatan mengatakan tidak merasa dilibatkan oleh DPR RI dalam pembentukannya, bahkan tidak mendapatkan naskah akademik maupun draf dari RUU tersebut. Hal ini tentu menjadi kritik bagi DPR RI selaku badan pemerintah yang bertugas membentuk dan menetapkan peraturan perundang-undangan. Organisasi profesi kesehatan menilai, kesehatan memang merupakan hak setiap warga negara yang dijamin dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) tahun 1948 juga UUD RI tahun 1945 pasal 28H ayat 1. Jaminan hak warga negara atas kesehatan juga diamanahkan kepada negara sebagai penyedia fasilitas pelayanan kesehatan



dan fasilitas pelayanan publik, sebagaimana yang tertuang dalam UUD RI pasal 34 ayat 3, yang berarti pemerintah merupakan aktor utama yang bertanggung jawab dalam menjalankan hal tersebut. Namun, seiring dengan perubahan paradigma dalam tatanan pengelolaan pemerintahan, dari government (pemerintah sebagai satu-satunya penyelenggara pemerintahan) menjadi governance (penekanan kolaborasi dalam kesetaraan dan keseimbangan antara tiga pilar pemerintahan: pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat), pemerintah perlu untuk melibatkan aktor lain dalam pembuatan peraturan perundang-undangan. Dalam hal pembentukan RUU tentang Kesehatan, jika tujuan dan urgensi pembentukannya memang diperuntukkan bagi perbaikan dan pengembangan sistem pelayanan kesehatan nasional, seharusnya pemangku kebijakan (stakeholder) di bidang kesehatan dan juga organisasi profesi kesehatan serta masyarakat sebagai sasaran utama RUU ini turut dilibatkan untuk berkolaborasi dan menjalin sinergitas. Pemerintah dalam hal ini juga semestinya dapat mengambil pelajaran dari situasi pandemi COVID-19 yang menerpa Indonesia selama beberapa tahun terakhir, di mana permasalahan kesehatan tidak bisa diselesaikan sendiri hanya oleh pemerintah, melainkan harus ada kolaborasi dan sinergitas dari seluruh stakeholder dan juga organisasi profesi kesehatan serta masyarakat. 2. Metode Omnibus Law dalam RUU tentang Kesehatan berpotensi menghapuskan atau meniadakan Undang-Undang yang sudah ada RUU tentang Kesehatan dibuat dengan metode Omnibus Law, di mana melalui penggabungan dan/atau penyederhanaan dari berbagai Undang-Undang yang berkaitan dengan kesehatan ke dalam satu Undang-Undang saja, hukum ini berpotensi menghapuskan atau meniadakan Undang-Undang yang sudah ada dan telah berjalan sebelumnya. Hal ini juga disampaikan oleh Pimpinan Baleg DPR RI dalam RDPU bersama PB IDI, PB PDGI, PAFI, dan PERSAKMI pada tanggal 3 Oktober 2022 lalu, di mana RUU tentang Kesehatan akan menjadi RUU kedua yang menggunakan metode Omnibus Law, setelah UU Cipta Kerja yang disahkan pada tahun 2020 lalu. Jika pada UU Cipta Kerja metode Omnibus Law hanya mencabut beberapa pasal terkait perizinan perusahaan dan tidak mencabut Undang-Undang induk mengenai ketenagakerjaan, maka di penyusunan RUU tentang Kesehatan ini, DPR RI berusaha untuk mencabut semua Undang-Undang induk yang berkaitan dengan kesehatan. Hal ini tentu menimbulkan reaksi dari organisasi profesi kesehatan, karena Undang-Undang yang sudah ada sebelumnya telah mengatur secara komprehensif profesi tenaga kesehatan, mulai dari sistem pendidikan, standar kompetensi, penyelenggaraan praktik, hak dan kewajiban, hingga tugas dan wewenang. Oleh karena itu, muncul sejumlah penolakan terkait pengikutsertaan Undang-Undang profesi tenaga kesehatan ke dalam pembentukan RUU tentang Kesehatan (Omnibus Law).



Jika Undang-Undang induk tersebut dicabut, maka dikhawatirkan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat akan menjadi tumpang tindih antara satu profesi kesehatan dengan yang lainnya karena tidak diatur regulasinya secara spesifik. Jaminan keamanan dan keselamatan pasien maupun tenaga kesehatan juga terancam menjadi tidak jelas tanpa adanya aturan yang secara spesifik mengatur hal tersebut. Melihat jumlah Undang-Undang yang akan diikutsertakan dalam pembuatan RUU tentang Kesehatan (Omnibus Law) cukup banyak, yaitu berjumlah 14 UndangUndang dengan total gabungan hingga 900 butir pasal, maka pembuatannya perlu disertai dengan naskah akademik yang memuat analisa situasi dan alasan yang berbasis ilmiah mengenai apa yang ingin diubah. Dalam penyusunannya juga diperlukan tim penyusun yang besar, meliputi pemerintah, stakeholder di bidang kesehatan, organisasi profesi kesehatan, serta masyarakat yang didampingi dengan legal drafter. Karena dalam penerapannya, penggabungan banyak UndangUndang akan menimbulkan perbedaan pandangan dan pendapat yang cukup besar dan tidak bisa hanya diselesaikan dalam waktu singkat. 3. Masuk Prolegnas Prioritas : RUU tentang Kesehatan (Omnibus Law) sudah selangkah lebih dekat menuju penetapan dan pengesahan RUU Kesehatan (Omnibus Law) menjadi perhatian publik setelah Baleg DPR RI mengumumkan sejumlah RUU yang masuk ke dalam Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2022. Masuk ke dalam agenda Prolegnas dan mendapat prioritas tahun 2022, berarti RUU ini sudah siap untuk disusun dan ditetapkan menjadi UndangUndang. Terlebih saat ini juga sudah beredar draf RUU tentang Kesehatan (Omnibus Law) tersebut yang berisikan 455 butir pasal. Hal ini menjadi cukup mengkhawatirkan bagi stakeholder di bidang kesehatan dan juga organisasi profesi kesehatan. Lantaran substansi dari RUU tentang Kesehatan saat ini cenderung berfokus pada hal yang sudah berjalan dengan baik, seperti yang tertuang dalam UU Keperawatan, UU Kebidanan, UU Praktik Kedokteran, dan sebagainya. Penyusunan RUU tentang Kesehatan harusnya dibuat dan disusun dengan mengedepankan jaminan hak kesehatan terhadap masyarakat. Akan tetapi, pembuatannya sendiri kurang melibatkan stakeholder di bidang kesehatan dan juga organisasi profesi kesehatan. Selain itu, dibandingkan menghapuskan sejumlah Undang-Undang induk yang sudah ada sebelumnya, stakeholder di bidang kesehatan dan juga organisasi profesi kesehatan menilai pemerintah sebaiknya fokus untuk mengatasi permasalahan yang jauh lebih penting, seperti memperbaiki sistem kesehatan secara komprehensif mulai dari pendidikan hingga ke pelayanan. Hal ini dikarenakan masih banyaknya tantangan berupa masalah kesehatan yang belum tuntas diatasi, seperti TBC, gizi buruk, kematian ibu dan anak, dan penyakit tripple burden yang membutuhkan pembiayaan besar. Pembiayaan kesehatan melalui sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), pengelolaan data



kesehatan dari rentannya kejahatan siber juga menjadi hal yang perlu menjadi perhatian pemerintah dalam menyusun RUU tentang Kesehatan. Permasalahan lain yang juga disoroti oleh stakeholder di bidang kesehatan dan juga organisasi profesi kesehatan yaitu permasalahan pendidikan dan produksi tenaga kesehatan profesional yang masih belum memadai di beberapa tempat, pemerataan distribusi tenaga kesehatan, dan penjaminan perlindungan hukum serta kesejahteraan tenaga kesehatan. Saat ini, ketiga hal tersebut masih menjadi hal yang kurang mendapatkan perhatian, sehingga menyebabkan kurang adekuatnya pelayanan kesehatan yang diterima oleh masyarakat. Dengan adanya sejumlah permasalahan yang masih belum teratasi tersebut, maka pemerintah semestinya tidak terburu-buru dalam menetapkan Undang-Undang dan harus memprioritaskan penangangan terhadap permasalahan tersebut. Pemerintah juga perlu untuk meninjau ulang isi dari RUU tersebut dengan melibatkan stakeholder di bidang kesehatan dan juga organisasi profesi kesehatan untuk dapat bersama-sama merumuskan kebijakan yang baik untuk mengatasi permasalahan tersebut, sehingga RUU tentang Kesehatan (Omnibus Law) ini tidak akan menimbulkan permasalahan di kemudian hari jika sudah ditetapkan. Disusun oleh: Puti Maulida Hanum Kementerian Kajian, Strategi, dan Advokasi Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Jember



Sumber Referensi  BaPeNa PPNI. (20-10-2022). Upaya PPNI Untuk Memperjuangkan & Pertahankan UU Keperawatan. ppni-inna.org https://ppni-inna.org/index.php/public/information/news-detail/1514  Kominfo PPNI Jakut. (20-10-2022). PPNI Tegaskan, Tolak Keras UU Keperawatan Dibahas Dalam RUU Kesehatan (Omnibus Law). ppnijakut.org https://ppnijakut.org/ppni-tegaskan-tolak-keras-uu-keperawatan-dibahasdalam-ruu-kesehatan-omnibus-law/  LIVE STREAMING – BALEG DPR RI RDPU DENGAN IBI, PPNI, IAKMI, DAN IAI. (3-10-2022) @YouTube Baleg DPR RI https://www.youtube.com/watch?v=ZchbE0EWudc  Badan Legislasi DPR RI. (29-08-2022). Baleg DPR Bahas Daftar Usulan Prolegnas Prioritas 2023. dpr.go.id https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/40358/t/ Baleg+DPR+Bahas+Daftar+Usulan+Prolegnas+Prioritas+2023  Badan Legislasi DPR RI. (21-09-2022). Baleg dan Pemerintah Setujui Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2023. dpr.go.id https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/40827/t/ Baleg+dan+Pemerintah+Setujui+Prolegnas+RUU+Prioritas+Tahun+2023  Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/39188/uu-no12-tahun-2011  Valmai Alzena Karla Martino & Sabrina Asril. (26-09-2022). RUU Kesehatan Omnibus Law di Prolegnas 2023, IDI Minta Klarifikasi DPR karena Tak Dilibatkan. Kompas.com. https://nasional.kompas.com/read/2022/09/26/19300541/ruu-kesehatanomnibus-law-di-prolegnas-2023-idi-minta-klarifikasi-dpr-karena.  Siaran Pers Pernyataan Sikap Terhadap RUU Kesehatan (Omnibus Law). (2610-2022). Instagram DPP PPNI. https://www.instagram.com/p/CjBADk-PIgb/?igshid=YmMyMTA2M2Y=  Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI). (4-10-2022). PDGI Berpendapat agar UU Kesehatan Bukan Dengan Omnibus Law. pdgi.or.id https://pdgi.or.id/artikel/pdgi-berpendapat-agar-uu-kesehatan-bukan-denganomnibus-law  Irfan Fathurohman. (16-10-2020). Polemik Omnibus Law, Begini Harusnya UU Disusun. idntimes.com https://www.idntimes.com/news/indonesia/irfanfathurohman/polemikomnibus-law-begini-harusnya-uu-disusun?page=all  Santosa, P. (2008). Administrasi Publik: Teori dan Aplikasi Good Governance. Bandung: Refika Aditama.