Karakteristik Anak Tunadaksa [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

A. KARAKTERISTIK ANAK TUNADAKSA Karakteristik anak tunadaksa yang akan dibahas dalam hal ini adalah berikut ini. a.



Karakteristik Umum Anak tunadaksa yang beragam jenis dan tingkat kecacatan serta pengaruh-pengaruh lain



akan membentuk dan mencoraki masing-masing diri mereka. Bentuk dan corak masingmasing anak tunadaksa tidak lepas dengan bentukan lingkungan. Disamping yang sifatnya bawaan. Bawaan dalam pengertian ini melekat dengan tetapnya kecacatan terutama yang berhubungan dengan kelainan pada sistem syaraf pusat (SSP). Lewandowski dan cruickshank (1980) mengemukakan enam faktor yang mempengaruhi diri anak tunadaksa, yaitu: (1) usia terjadinya ketunadaksaan, Faktor usia terjadinya kelainan berpengaruh terhadap diri anak, baik menyangkut aspek fisik, psikologis, maupun sosialnya. Kelumpuhan terjadi : (2) derajat kecacatan, (3) kondisi-kondisi yang tampak, (4) dukungan keluarga dan sosial, (5) sikap terhadap anak tunadaksa, dan (6) status sosial lingkungan. b.



Karakteristik Khusus Telaah terhadap karakteristik anak tunadaksa secara khusus subjeknya mereka yang



mengalami kelainan (1) sistem cerebral dan (2) sistem musculus sceletal. a) Karakteristik Akademik Pada umumnya tingkat kecerdasan anak tunadaksa yang mengalami kelainan pada sistem otot dan rangka adalah normal sehingga dapat mengikuti pelajaran sama dengan anak normal, sedangkan anak tunadaksa yang mengalami kelainan pada sistem cerebral, tingkat kecerdasannya berentang mulai dari tingkat idiocy sampai dengan gifted. Hardman (1990) mengemukakan bahwa 45% anak cerebral palsy mengalami keterbelakangan mental (tunagrahita), 35% mempunyai tingkat kecerdasan normal dan di atas normal. Sisanya berkecerdasan sedikit di bawah rata-rata. Selanjutnya, P. Seibel (1984:138) mengemukakan bahwa tidak ditemukan hubungan secara langsung antara tingkat kelainan fisik dengan kecerdasan anak. Artinya, anak cerebral palsy yang kelainannya berat, tidak berarti kecerdasannya rendah. Selain tingkat kecerdasan yang bervariasi anak cerebral palsy juga mengalami kelainan persepsi, kognisi, dan simbolisasi. Kelainan persepsi terjadi karena saraf penghubung dan jaringan saraf ke otak mengalami kerusakan sehingga proses persepsi yang dimulai dari



stimulus merangsang alat maka diteruskan ke otak oleh saraf sensoris, kemudian ke otak (yang bertugas menerima dan menafsirkan, serta menganalisis) mengalami gangguan. Kemampuan kognisi terbatas karena adanya kerusakan otak sehingga mengganggu fungsi kecerdasan, penglihatan, pendengaran, bicara, rabaan, dan bahasa, serta akhirnya anak tersebut tidak dapat mengadakan interaksi dengan lingkungannya yang terjadi terus menerus melalui persepsi dengan menggunakan media sensori (indra). Gangguan pada simbolisasi disebabkan oleh adanya kesulitan dalam menerjemahkan apa yang didengar dan dilihat. Kelainan yang kompleks ini akan mempengaruhi prestasi akademiknya. b) Karakteristik Sosial/Emosional Karakteristik sosial/emosional anak tunadaksa bermula dari konsep diri anak yang merasa dirinya cacat, tidak berguna, dan menjadi beban orang lain yang mengakibatkan mereka malas belajar, bermain dan perilaku salah suai lainnya. Kehadiran anak cacat yang tidak diterima oleh orang tua dan disingkirkan dari masyarakat akan merusak perkembangan pribadi anak. Kegiatan jasmani yang tidak dapat dilakukan oleh anak tunadaksa dapat mengakibatkan timbulnya problem emosi, seperti mudah tersinggung, mudah marah, rendah diri, kurang dapat bergaul, pemalu, menyendiri, dan frustrasi. Problem emosi seperti itu, banyak ditemukan pada anak tunadaksa dengan gangguan sistem cerebral. Oleh sebab itu, tidak jarang dari mereka tidak memiliki rasa percaya diri dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. c) Karakteristik Fisik/Kesehatan Karakteristik fisik/kesehatan anak tunadaksa biasanya selain mengalami cacat tubuh adalah kecenderungan mengalami gangguan lain, seperti sakit gigi, berkurangnya daya pendengaran, penglihatan, gangguan bicara, dan lain-lain. Kelainan tambahan itu banyak ditemukan pada anak tunadaksa sistem cerebral. Gangguan bicara disebabkan oleh kelainan motorik alat bicara (kaku atau lumpuh), seperti lidah, bibir, dan rahang sehingga mengganggu pembentukan artikulasi yang benar. Akibatnya, bicaranya tidak dapat dipahami orang lain dan diucapkan dengan susah payah. Mereka juga mengalami aphasia sensoris, artinya ketidakmampuan bicara karena organ reseptor anak terganggu fungsinya, dan aphasia motorik, yaitu mampu menangkap informasi dari lingkungan sekitarnya melalui indra pendengaran, tetapi tidak dapat mengemukakannya lagi secara lisan.



Tidak heran mereka mengalami kekakuan, gangguan keseimbangan, gerakan tidak dapat dikendalikan, dan susah berpindah tempat. Dilihat dari aktivitas motorik, intensitas gangguannya dikelompokkan atas hiperaktif yang menunjukkan tidak mau diam, gelisah; hipoaktif yang menunjukkan sikap pendiam, gerakan lamban, dan kurang merespons rangsangan yang diberikan; dan tidak ada koordinasi, seperti waktu berjalan kaku, sulit melakukan kegiatan yang membutuhkan integrasi gerak yang lebih halus, seperti menulis, menggambar, dan menari. B. FAKTOR PENYEBAB ANAK MENGALAMI TUNADAKSA Faktor penyebab tuna daksa dapat dibagi menjadi 3: 1. Faktor Prenatal (Sebelum kelahiran) Kelainan fungsi anggota tubuh atau ketunadaksaan yang terjadi sebelum bayi lahir atau ketika dalam kandungan dikarenakan faktor genetik dan kerusakan pada sistem saraf pusat. Faktor yang menyebabkan bayi mengalami kelainan saat dalam kandungan adalah: a) Anoxia prenatal, hal ini disebabkan pemisahan bayi dari placenta, penyakit anemia, kondisin jantung yang gawat, shock, dan percobaan pengguguran kandungan atau aborsi. b) Gangguan metabolisme pada ibu c) Bayi dalam kandungan terkena radiasi Radiasi langsung mempengaruhi sistem syaraf pusat sehingga struktur maupun fungsinya terganggu. d) Ibu mengalami trauma (kecelakaan) Trauma ini dapat mempengaruhi sistem pembentukan syaraf pusat. Misalnya ibu yang jatuh dan mengakibatkan benturan keras pada perutnya dan secara kebetulan tepat mengenai kepala bayi maka akan mengganggu sistem syaraf pusat. e) Infeksi atau virus yang menyerang ibu hamil sehingga mengganggu otak bayi yang dikandungnya.



2.



Faktor Neonatal (saat lahir) a) Kesulitan pada kelahiran karena posisi bayi sungsang atau bentuk pinggul ibu yang terlalu kecil. b) Pendarahan pada otak saat kelahiran. c) Kelahiran prematur.



d) Penggunaan alat bantu kelahiran berupa tang saat mengalami kesulitan kelahiran sehingga mengganggu fungsi otak pada bayi. e) Gangguan placenta yang mengakibatkan kekurangan oksigen yang dapat mengakibatkan terjadinya anoxia. f) Pemakaian anestasi yang melebihi ketentuan Pemakaian anestasi yang berlebihan ketika proses operasi saat melahirkan dapat mempengaruhi sistem persyarafan otak bayi, sehingga otak mengalami kelainan struktur ataupun fungsi. 3.



Postnatal (setelah kelahiran) a) Faktor penyakit seperti meningitis (radang selaput otak), enchepalitis (radang otak), influenza, diphteria, dan partusis. b) Faktor kecelakaan Misalnya kecelakaan lalu lintas, terkena benturan benda keras, terjatuh dari tempat yang berbahaya bagi tubuhnya khususnya kepala yang melindungi otak. c) Pertumbuhan tubuh atau tulang yang tidak sempurna



SUMBER : Astati, dkk. (2000). Model Pembelajaran Anak Luar Biasa yang Mengikuti Pendidikan di Sekolah Umum. Laporan Penelitian. Bandung: Jurusan PLB FIP UPI Assjari, M. (1995). Ortopedagogik Anak Tunadaksa. Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti PPTA.