Pendidikan Anak Tunadaksa Di Sekolah Inklusi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PENDIDIKAN BAGI ANAK TUNADAKSA DI SEKOLAH INKLUSIF Oleh: Sri Widati



A. PENDAHULUAN Pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) telah berkembang dari sekolah segregasi atau sekolah khusus, ke sekolah terpadu, dan sekolah inklusif. Hampir di seluruh negara memiliki kecenderungan perkembangan pendidikan bagi ABK dengan pola yang hampir sama, yaitu dari segregasi menuju inklusif. Diantara kedua rentangan ini terdapat beberapa alternatif, yaitu kelas khusus secara penuh, kelas khusus dengan kesempatan berada di kelas biasa untuk mata pelajaran tertentu, dan kelas biasa dengan bimbingan khusus untuk mata pelajaran tertentu. Menurut Sunardi (1998), bahwa penempatan anak pada salah satu alternatif di atas bersifat sementara, artinya perpindahan dari satu alternatif ke alternatif yang lain sangat dimungkinkan, berdasarkan kondisi anak. Demikian pula dengan pendidikan bagi anak tunadaksa. Seiring dengan telah diakuinya hak anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama anak normal di sekolah reguler, maka semakin banyak mereka belajar di sekolah umum. Walau pada awalnya banyak guru di sekolah umum yang menolak siswa yang tunadaksa, namun dengan perkembangan pendidikan inklusif akhirnya mereka diterima juga. Masalahnya, para guru di sekolah reguler banyak mengalami kesulitan dalam mengajarnya, karena pada umumnya mereka bukan dari pendidikan luar biasa. Makalah ini disusun sebagai salah satu solusi pelaksanaan pendidikan bagi anak tunadaksa di sekolah inklusif, agar para guru reguler dapat mengajar anak



1



tunadaksa yang belajar di sekolahnya. Untuk itu, guru reguler harus memahami siapa anak tunadaksa, dan bagaimana pembelajarannya khususnya di sekolah inklusif.



B. ANAK TUNADAKSA Anak Tunadaksa termasuk salah satu jenis anak berkebutuhan khusus (ABK) yang mengalami kelainan atau kecacatan pada fungsi otot, tulang, persendian, syaraf, dan atau otak, sehingga mereka mengalami gangguan gerak, mobilisasi, persepsi, emosi, dan ada yang disertai gangguan kecerdasan. Musjafak Assjari (1995) mendefinisikan tunadaksa sebagai bentuk kelainan atau kecacatan pada sistem otot, tulang, dan persendian yang bersifat primer atau sekunder yang dapat mengakibatkan gangguan koordinasi, komunikasi, adaptasi, mobilisasi, dan gangguan perkembangan keutuhan pribadi. Secara garis besarnya jenis kelainan tunadaksa dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: kelainan pada sistem cerebral, contohnya Cerebral Palsy dan kelainan pada sistem muskulus skeletal, contohnya: Poliomyelitis, Muscle Dystrophy, Spina Bifida, dan kelainan bawaan (congenital deformities). Pada umumnya kelainan pada sistem cerebral (Otak) disamping mengalami gangguan gerak juga disertai gangguan yang lain seperti gangguan kecerdasan, bicara, emosi, dll. Sedangkan kelainan pada sistem musculus skeletal hanya mengalami gangguan gerak, kecerdasannya normal. Dengan demikian anak tunadaksa ada yang hanya mengalami gangguan gerak saja, kecerdasannya normal dan ada yang mengalami gangguan gerak disertai dengan gangguan kecerdasan dibawah rata-rata anak normal. Karakteristik khusus anak tunadaksa yang mengalami kelainan pada sistem cerebral ditandai dengan adanya gangguan motorik, sensoris, kecerdasan, persepsi,



2



kognisi, bicara, emosi, dan penyesuaian sosial. Sedangkan karakteristik anak tunadaksa yang mengalami kelainan sistem musculus skeletal ditandai dengan adanya kelumpuhan otot, gangguan gerakan, mobilisasi, emosi, dan penyesuaian diri. Cara untuk mengenali (identifikasi) anak tunadaksa dapat dilakukan dengan menandai ciri fisik khusus yang berupa kekakuan sendi dan kelayuhan otot-otot, serta postur tubuh yang kurang serasi. Hal tersebut dapat dilakukan dengan pengamatan langsung menggunakan chek list.



C. PEMBELAJARAN BAGI ANAK TUNADAKSA Prinsip-prinsip umum pembelajaran bagi anak tunadaksa meliputi: 1. Perencanaan kegiatan belajar mengajar, menggunakan program pendidikan yang



diindividualisasikan,



yaitu



program



yang



disusun



berdasarkan



kemampuan masing-masing individu. Hal ini sesuai dengan pendapat Ronald L. Taylor (1984), bahwa apabila penyandang cacat menerima pelayanan pendidikan di sekolah formal, maka ia harus memperoleh pelayanan pendidikan yang diindividualkan (IEP atau PPI). 2. Prinsip pembelajarannya terdiri dari prinsip multisensori dan prinsip individualisasi. Multisensori berarti banyak indera, maksudnya dalam proses pendidikan pada anak tunadaksa sedapat mungkin memanfaatkan dan mengembangkan indera-indera yang ada dalam diri anak. Dengan melibatkan indera-indera tersebut diharapkan kesan pendidikan yang diterimanya menjadi lebih baik. Sedangkan prinsip individualisasi berarti kemampuan masing-masing diri individu lebih dijadikan titik tolak dalam memberikan pendidikan pada mereka.



3



Model layanan pendidikannya dapat berbentuk individual dan klasikal bagi sekelompok individu yang cenderung memiliki kemampuan yang hampir sama. Bahan pelajaran yang diberikan pada masing-masing anak sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. 3. Penataan lingkungan belajar, bangunan gedungnya memprioritaskan tiga kemudahan, yaitu: mudah keluar masuk, mudah bergerak dalam ruangan, dan mudah mengadakan penyesuaian atau segala sesuatu yang ada di dalam ruangan itu mudah disesuaikan. 4. Personilnya terdiri dari: guru PLB, guru reguler, dokter ahli anak, dokter ahli rehab medis, dokter ahli ortopaedi, dokter ahli syaraf, psikolog, konselor, sosial worker, fisioterapist, occupational terapist, speech terapist, orthotic dan prosthetic. 5. Bimbingan Belajar terutama bagi anak yang mengalami kesulitan belajar calistung. 6. Pembinaan karier dan pekerjaan untuk mempersiapkan masa depan anak. Frances P.Connor (1975), mengemukakan bahwa bentuk-bentuk pendidikan untuk anak-anak tunadaksa adalah sebagai berikut: a. Kelas biasa (regular class) b. Kelas atau sekolah khusus (special classes and/or schools) c. Pengajaran di rumah (home instruction) d. Sekolah di rumah sakit (school in the hospital or convalescent home) Bentuk pendidikan anak tunadaksa di kelas atau sekolah biasa disebut pendidikan inklusif.



4



D. PENDIDIKAN INKLUSIF Pendidikan inklusif merupakan suatu strategi untuk mempromosikan pendidikan universal yang efektif karena dapat menciptakan sekolah yang responsif terhadap keberagaman karakteristik dan kebutuhan anak. Di samping itu, pendidikan inklusif didasarkan pada hak asasi, model sosial, dan sistem yang disesuaikan pada anak dan bukan anak yang menyesuaikan pada sistem. Selanjutnya, pendidikan inklusif dapat dipandang sebagai pergerakan yang menjunjung tinggi nilai-nilai, keyakinan, dan prinsip-prinsip utama yang berkaitan dengan anak, pendidikan, keberagaman, dan diskriminasi, proses partisipasi dan sumber-sumber yang tersedia (Stubbs, 2002:9). Secara konseptual, dengan diterapkannya pendidikan inklusif memungkinkan ABK bersekolah di sekolah mana pun sesuai dengan keinginannya. Pada kenyataannya belum banyak sekolah di Indonesia yang siap menerima ABK dengan berbagai alasan baik alasan teknis maupun nonteknis. Tidak ada peralatan khusus, guru tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan mengajar ABK, hadirnya ABK dapat mengganggu proses belajar-mengajar dan sebagainya sering menjadi alasan untuk tidak menerima ABK. Konsep pendidikan inklusif meliputi: mengikutsertakan ABK untuk belajar di sekolah umum, layanan pendidikannya sesuai kebutuhan ABK dalam pembersamaan klasikal, system layanan PLB dalam layanan di sekolah regular terdekat, menuntut terlepas dari tingkat dan jenis kelainan, dididik di kelas biasa, sekolah terdekat, bersama teman sebaya yang normal. Pendidikan inklusif dapat berupa sekolah biasa/sekolah umum yang mengakomodasi semua Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).



5



Stainback dan Stainback (1990) mengemukakan bahwa, sekolah yang inklusif adalah sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu, sekolah yang inklusif juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya terpenuhi.



E. PEMBELAJARAN BAGI ANAK TUNADAKSA DI SEKOLAH INKLUSIF 1. Kurikulum Bentuk atau sistem kurikulum yang digunakan sebaiknya fleksibel, artinya disesuaikan antara kurikulum yang digunakan di sekolah reguler dengan kemampuan nyata ATD. Di sekolah reguler menggunakan kurikulum KTSP, Para guru diberi kesempatan untuk mengembangkan sendiri sesuai dengan kemampuan siswa tunadaksa. a. Standar kompetensi lulusan (SKL): Yang berhubungan dengan aspek rehabilitasi, siswa dapat mengatasi permasalahan yang timbul sebagai akibat langsung atau tidak langsung dari kecacatannya, Yang berkaitan dengan pendidikan, siswa dapat mandiri minimal dapat mengurus diri sendiri, maksimalnya dapat menghidupi diri dan keluarganya. b. Untuk mencapai tujuan tersebut minimal ada 7 aspek yang perlu dikembangkan pada diri masing-masing anak tunadaksa melalui pendidikan, yaitu: pengembangan intelektual dan akademik, membantu perkembangan fisik,



6



meningkatkan perkembangan emosi dan penerimaan diri anak, mematangkan aspek sosial, mematangkan moral dan spiritual, meningkatkan ekspresi diri, dan mempersiapkan masa depan anak. c. Kompetensi Dasarnya (KD); anak mampu belajar dalam bidang akademik, yaitu calistung dan keterampilan dasar; mampu mengembangkan fisiknya dengan berolahraga agar sehat; mampu mengembangkan emosi, dan menerima dirinya yang cacat; mampu bersosialisasi; mampu menjadi warga negara yang baik dan bertanggung jawab; mampu mengekspresikan dirinya; dan mampu melakukan keterampilan hidup untuk masa depan. d. Materinya dapat disampaikan melalui bidang studi yang relevan e. Indikatornya mengacu pada kompetensi dasar yang telah dikemukakan di atas, dirinci dalam kemampuan yang akan dicapai dalam setiap mata pelajaran. 2. Identifikasi dan Asesmen Dalam rangka pengembangan program pembelajaran anak tunadaksa perlu dilakukan identifikasi dan asesmen untuk mengetahui kemampuan anak. a. Cara mengidentifikasi Untuk mengenal anak tunadaksa dapat dilakukan dengan observasi langsung dan membuat daftar chek list tentang ciri-ciri khusus anak tunadaksa tentang adanya kelayuhan otot, kekakuan sendi, dan ketidaknormalan postur tubuh atau mendeteksi gangguan gerakannya karena hambatan utamanya adalah motorik. b. Cara mengasesmen Dapat dilakukan dengan cara observasi, wawancara pada orang tuanya, tes otot, sendi, dan gerakannya, serta dengan cara palpasi atau perabaan. Dilengkapi dengan pemeriksaan klinis yang dilaksanakan dengan cara inspeksi dan palpasi



7



terhadap perubahan-perubahan bentuk bagian tubuh anak, serta adanya tanda-tanda yang tidak wajar pada fisik anak. 3. Ketenagaan Agar pendidikan inklusif berjalan secara baik, maka tenaga-tenaga yang perlu ada di sekolah reguler adalah: Kepala sekolah, para guru reguler, guru pembimbing khusus, psikolog, konselor, dan terapist-terapist. 4. Sarana dan prasarana Hendaknya lingkungan sekolah didesain untuk memberi kemudahan dan keamanan bagi siswanya yang tunadaksa. Seperti tangga dibuat landai agar kursi roda mudah melewatinya, pintu lebih lebar dari yang biasa minimal lebarnya 185 cm agar anak mudah keluar masuk ruangan, lorong/gang hendaknya yang lebar minimal 125 cm agar anak dapat berputar secara leluasa, dipasang handle dipinggiran tembok untuk berpegangan anak, jarak tempat duduk antar anak di dalam kelas berjauhan agar leluasa bergerak, lantainya dibuat keras atau kesat agar tidak licin, dipasang closet duduk agar anak tidak jongkok pada waktu BAK dan BAB karena dapat menambah kekakuan sendi kaki, dlsb. 5. Rencana Pembelajaran Bentuk rencana pembelajaran yang cocok di sekolah inklusif adalah program pembelajaran yang diindividualisasikan bagi anak tunadaksa, sedangkan bagi yang normal adalah rencana pembelajaran klasikal. 6. Proses Pembelajaran Proses pembelajarannya dimulai dari kegiatan asesmen kemampuan dan ketidakmampuan siswa tunadaksa dalam segi fisik, mental, sosial, akademik, dan keterampilannya, Dilanjutkan dengan penyusunan program pendidikan yang



8



diindividualisasikan



(IEP),



Pelaksanaan



pendidikannya



berprinsip



pada:



keseluruhan anak, sesuai kenyataan, program yang dinamis, memberi kesempatan yang sama, kerjasama, prinsip multisensori, dan individualisasi, Memberikan bimbingan baik pada siswa maupun orang tuanya. Idealnya, pembelajaran di kelas yang siswanya berkemampuan heterogen adalah dengan menggunakan strategi pembelajaran yang kooperatif, karena strategi pembelajaran ini lebih efektif daripada strategi kompetitif. Hasil penelitian Johnson dan Johnson (1984) mengungkapkan bahwa strategi pembelajaran kooperatif unggul atas strategi pembelajaran kompetitif maupun individualistik untuk semua tingkatan umur, bahan belajar, dan ranah hasil belajar. Pelaksanaannya dengan cara memberdayakan orang tua atau keluarganya karena orang tua berhak untuk berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Disamping itu, orang tua juga berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. 7. Peralatan dan Media Pembelajaran Yang harus ada di sekolah inklusif, misalnya: meja-kursi belajar modifikasi dapat di stel-stel sesuai kebutuhan, papan tulis modifikasi, alat-alat tulis modifikasi, Alat Bantu dan media/alat peraga yang dimodifikasi untuk memudahkan anak dalam belajar.



9



8. Sumber dan Bahan ajar Perlu sumber dan bahan ajar khusus yang telah disederhanakan sesuai dengan kemampuan anak dan telah disusun oleh guru pembimbing khusus anak tunadaksa. 9. Sistem Dukungan Lembaga yang harus bertindak sebagai pusat sumber adalah SLB-D YPAC. Hubungan antara sekolah inklusif dengan SLB-D YPAC adalah sebagai mitra yang dapat memberikan bantuan konsultasi, guru pembimbing khusus anak tunadaksa, dan alat-alat bantu yang dibutuhkan, serta sumber dan bahan ajar khusus untuk anak tunadaksa. Dan juga bermitra dengan Komite Sekolah dan orang tua atau keluarganya. Kemitraan dengan keluarga mulai dengan pemberdayaan keluarga, memberikan dukungan sosial, membangun hubungan satu sama lain sebagai intervensi dan pencegahan, membangun keterampilan berkomunikasi, dan memelihara jalinan komunikasi. 10. Resource Room Perlu ada ruang sumber minimal 3 ruangan untuk pengajaran bina gerak, bina diri, dan bina bicara beserta peralatan yang dibutuhkannya, seperti: Exersice matras, wall bars, walker, tripod, quadripod, crutch, short brace, foot placement leader, papan titian, papan loncatan, balance table, pulleys, static bycicle, restorator leg, restorator hand, cock up splint tangan, lacing shoes, model baju bermacam-macam kancing, alat-alat makan dan minum modifikasi, spatel, cermin untuk latihan bicara, hearing aid, dlsb. Yang dilakukan dalam ruang sumber tersebut apabila anak tunadaksa mengalami kesulitan dalam bergerak,



10



melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari, dan bicara di kelas reguler dibawa ke ruang sumber untuk diberikan latihan-latihan agar dapat mengatasi kesulitannya. Disamping itu juga perlu ruang asesmen untuk mengasesmen siswa tunadaksa pada saat masuk sekolah reguler. 11. Evaluasi Sistem evaluasi yang cocok, waktunya dapat dilakukan pada saat pelajaran berlangsung dan setelah selesai (evaluasi proses dan hasil). Soalnya tertulis dan lisan atau perbuatan, alatnya dengan tes atau skala penilaian. Tempat dilaksanakan di kelas reguler, dengan kriteria keberhasilan kurang, sedang, baik, dan sangat baik. Nilainya disertai dengan penjelasan. Kenaikan kelas dilakukan bersamaan dengan yang normal. Bentuk raport dan ijazahnya juga sama dengan yang normal, bedanya hanya pada nilainya yang disertai penjelasan (narasi).



11



SUMBER BACAAN Doman, Glenn, 2003, What To Do About Your Brain-Injured Child. USA: Originally Publised by Doubleday & Company, Inc. Depdiknas, 2006. Standar Isi, Standar Kompetensi Lulusan Dan Panduan Penyusunan KTSP, Tunadaksa Ringan (D). Jakarta: Dirjen Manajemen Pendasmen Direktorat Pembinaan SLB. Haring, N., G.(ed.).(thied edition).1982. Excepalltional Children and Youth. Columbus: Charles E. Merrill Publishing Comp. Hallahan and Kaufman, 1988. Exceptional Children Introduction to Special Education. New Jersey: Prentice Hall Inc. Kauffman, M. Agardj, A & Semmel, M. 1985. Mainstreaming learners and their environment. Cambridge: Brookline. Musjafak Assjari, 1995. Ortopedagogik Anak Tunadaksa. Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti PPTG. Mulyono Abdurrahman, 1995. Program Pendidikan Individual. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi para Penyandang Cacat tahun 1993. Ronald L. Tailor, 1984. Assesment od Exceptional Students. Educational and Psychological Prosedures. New Jersey: Prentice Hall Inc. Stubbs, Sue. 2002 Inclusive Education: Where There Are Few Resources. The Atlas Alliance: Gronland , Oslo. Sunardi. 1997. Kecenderungan dalam Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti PPTA. Salim, A. 1996. Pendidikan Bagi Anak Cerebral Palsy. Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti PPTA. Sri Widati, 2010. Sistem Pendidikan Bagi Anak Tunadaksa Di SLB-D YPAC. Bandung: YPAC. Wardani, I.G.A.K, 1995. Pengembangan Perencanaan Pengajaran Dalam Pendidikan Luar Biasa (PLB). Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti P3MTK.



12



13