Bismillah Makalah Pendidikan Inklusi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Makalah Pendidikan Komparatif Studi Perbandingan Pendidikan Inklusi di Indonesia dan Australia Dosen Pembimbing : Prof. Suparno, M.Pd.



Disusun Oleh:



Fadli Andriawan Wibawa



16103241012



Wahyuni Amilya



16103241052



Dessiani Asmara Putri



16103241054



Melati Susila Yuliani



16103244006



Bidang Studi Pendidikan Luar Biasa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta 2018



1



KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Bahwa penulis telah menyelesaikan tugas mata kuliah Pendidikan Komparatif dengan membahas tentang “Studi perbandingan pendidikan inklusi di Indonesia dan Australia” dalam bentuk makalah. Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1.



Bapak Prof. Suparno, M.Pd. selaku dosen mata kuliah pendidikan komparatif yang telah memberikan tugas, petunjuk, kepada penulis sehingga penulis termotivasi dan menyelesaikan tugas ini.



2.



Seluruh anggota kelompok 6 pendidikan komparatif yang kompak, semangat serta memberi dorongan dalam menyelesaikan tugas kelompok ini.



3.



Dan semua pihak yang telah membantu baik secara materi ataupun nonmateri yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga materi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran



bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai, Aamiin.



Yogyakarta, 9 April 2018



Penulis



2



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ............................................................................................ 2 DAFTAR ISI ........................................................................................................... 3 BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 4 A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 4 B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 5 C. Tujuan .......................................................................................................... 5 D. Manfaat ........................................................................................................ 5 BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 6 A. Sejarah Perkembangan Pendidikan Inklusi .................................................. 6 B. Pelaksanaan Pendidikan Inklusi ................................................................. 11 C. Perbandingan Pelaksanaan Pendidikan Inklusi di Australia dan Indonesia 32 BAB III KESIMPULAN ....................................................................................... 34 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 35



3



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan inklusi merupakan salah satu strategi mempromosikan pendidikan universal yang efektif karena dapat menciptakan sekolah yang peka dan terhadap berbagai kebutuhan anak dan masyarakat. Oleh sabab itu pendidikan inklusi menjamin aksesibikitas dan kualitas. Tujuannya adalah untuk mendidik anak yang berkebutuhan khusus atau yang memiliki hambatan di kelas reguler bersama dangan anak normal lainnya, memdapatkan dukungan yang sesuai kebutuhannya, di sekolah yang ada disekitar lingkungan rumahnya. Sekolah inklusi merupakan bentuk pemerataan dari pendidikan tanpa diskriminasi dimana anak berkebutuhan khusus dan anak normal lainnya dapat bersama-sama mendapat pendidikan yang sama. Di sekolah inklusi anak berkebutuhan khusus tidak mendapatkan perlakuan khusus atau hak-hak yang istimewa dibanding anak normla lainnya, tetapi persamaan hak dan kewajiban yang sama dengan anak normal lainnya. Diperlukan kerjasama dari berbagai pihak baik itu pemerintah, pihak sekolah, guru, ahli, dan masyarakat sangatlah berpengaruh dalam pelaksanaanya dilapangan, dikerenakan sekolah inklusi merupakan tantangan baru bagi berbagai pihak tadi. Diharapkan dari adanya sekolah inklusi ini mampu menciptakan generasi penerus bangsa yang dapat saling memahami, menerima dan menghargai segala hambatan serta segala bentuk perbedaan yang dimiliki anak berkebutuhan khusus, yang terpenting tidak meciptakan diskriminasi dalam kehidupan bermasyaakat kedepannya. Dalam melaksanakan pendidikan inklusi bagi negara berkembang tentu bukan hal yang mudah dan bukan yang sulit juga. Hanya saja perlu keseriusan yang baik dalam mengimplementasikan pendidikan untuk semua ini. Sehingga dibutuhkan studi komparasi pendidikan inklusi di berbagai negara dunia. Tujuannya agar kita dapat bercermin sejauh mana langkah yang telah kita lakukan dan termotivasi untuk terus berupaya memperbaiki sistem



4



pendidikan kita yang memag sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia itu sendiri. Dalam studi komparasi ini, kami mencoba membandingkan pendidikan inklusi di Australia dan Indonesia. Karena, menurut kami selain Australia adalah negara maju juga secara geografis wilayahnya berdampingan dengan Indonesia namun juga ada kemiripan yaitu kemajemukan masyarakat Australia. Tujuannya agar Indonesia bisa merancang sebuah sistem pendidikan inklusi yang cocok untuk diterapkan di Indonesia. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana sejarah perkembangan pendidikan Inklusi di Australia dan Indonesia 2. Bagaimana pelaksanaan pendidikan inklusi di Australia dan Indonesia 3. Bagaimana perbandingan pelaksanaan pendidikan inklusi di Australia dan Indonesia C. Tujuan 1.



Mengetauhi sejarah perkembangan pendidikan inklusi di Australia dan Indonesia



2.



Mengetahui pelaksanaan pendidikan inklusi di Australia dan Indonesia



3.



Mengetahui perbandingan pelaksanaan pendidikan inklusi di Australia dan Indonesia



D. Manfaat Manfaat dari makalah ini adalah untuk mengetahui perbandingan pelaksanaan pendidikan inklusi di Australia dan Indonesia serta menjadi referensi pembaca.



5



BAB II PEMBAHASAN A.



Sejarah Perkembangan Pendidikan Inklusi a.



Australia Australia, resminya Persemakmuran Australia, adalah sebuah negara di belahan selatan yang terdiri dari daratan utama benua Australia, Pulau Tasmania, dan berbagai pulau kecil di Samudra Hindia, dan Samudra Pasifik. Negara-negara yang bertetangga dengannya adalah Indonesia, Timor Leste, dan Papua Nugini di utara; Kepulauan Solomon, Vanuatu, dan Kaledonia Baru di timur-laut; dan Selandia Baru di tenggara. Kira-kira 40.000 tahun sebelum pendudukan bangsa Eropa pada akhir abad ke-18, Australia telah dihuni oleh Aborigin, yang menggunakan salah satu dari 250 kelompok bahasa. Pada tahun 1606, imigran Eropa yang datang ke Benua Australia adalah orang-orang Belanda. Namun, di akhir abad ke-18, Inggris menduduki benua ini, dan menjadikannya sebagai tempat pembuangan para pelaku kriminal. Pada pertengahan abad ke-19, ditemukan tambang emas di Australia sehingga benua itu pun ramai didatangi para imigran. Sejak itu pula, mereka memperjuangkan kemerdekaan untuk mengatur sendiri Australia, terlepas dari kontrol Inggris. Hingga kini, Australia tergabung dalam Persemakmuran Inggris. Australia memiliki 6 negara bagian, dan 2 teritorial di daratan utama. 6 bagian dan 2 teritorial itu adalah New South Wales (NSW), Queensland, (QLD), Tasmania (TAS) Victoria (VIC), Australia Barat (WA), Teritorial Utara (NT), dan Teritorial Ibu Kota Australia (ACT). (Source: Wikipedia). Sistem sekolah di Australia mulai mendirikan sejumlah besar sekolah khusus yang terpisah antara tahun 1940-an dan 1970-an, untuk melayani siswa dengan kebutuhan khusus. Sistem sekolah umum, meskipun, disediakan hanya untuk siswa yang dianggap 'terdidik' atau 'dilatih' dan selama waktu ini banyak anak dengan kebutuhan dukungan yang mendalam tidak ditawari tempat bahkan di sekolah khusus



6



(Loreman, Deppeler, & Harvey, 2005) . Pada awal 1970-an, Laporan Karmel (Kannel, 1973), Sekolah di Australia, merekomendasikan dukungan pemerintah untuk integrasi, menghasilkan pendanaan persemakmuran yang diarahkan ke sekolah-sekolah pemerintah pada tahun 1974 dan diperluas ke sektor swasta pada tahun 1975. Pada tahun 1970-an, sementara mengakui rekomendasi dari laporan Karmel dan deklarasi intemasional yang diberlakukan pada hak-hak anak, diskusi dimulai tentang meningkatkan penempatan kelas reguler untuk anakanak penyandang cacat. Baru pada tahun 1981 upaya utama pertama untuk mempromosikan penerimaan dan integrasi penyandang cacat yang lebih besar terjadi dalam skala besar di Australia (Tahun Penyandang Disabilitas Internasional). Pada akhir tahun 1981 setiap yurisdiksi di Australia memiliki kebijakan tentang siswa penyandang cacat dan gagasan integrasi adalah perlahan-lahan, mulai menjadi kenyataan di sekolah-sekolah (Carroll, Forlin, & Jobling, 2003). Sejak saat itu telah terjadi momentum yang paralel dan semakin meningkat untuk mengintegrasikan penyandang disabilitas ke dalam arus utama semua aspek masyarakat. Integrasi anak-anak penyandang cacat mengharuskan anak-anak didaftarkan di fasilitas atau kelas terpisah di sekolah reguler, dan kemudian diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengaturan utama. Beberapa negara seperti Australia Barat (WA), misalnya, mendirikan fasilitas pendidikan khusus yang disebut Pusat Dukungan Pendidikan (ESC) di situs sekolah reguler dalam upaya untuk mendorong interaksi yang lebih erat di antara para siswa mereka. ESC ini bersifat otonom dengan kepala sekolah dan staf pengajar yang terpisah dan bergantung pada kedua staf yang bekerja sama untuk membentuk program integrasi mereka sendiri. Integrasi siswa penyandang cacat masih terjadi pada tahun 2006 di sebagian besar negara bagian di Australia, dengan gelar dan hasil yang cukup bervariasi karena terus bergantung pada pengaturan independen di setiap situs sekolah.



7



Pergeseran ini diikuti oleh era pengarusutamaan. Di Australia, ini berarti bahwa siswa penyandang cacat dan yang lain didefinisikan sebagai memiliki kebutuhan pendidikan khusus semakin terdaftar di sekolah reguler lokal mereka tetapi dapat ditarik untuk bagian dari hari sekolah untuk menerima program intervensi intensif oleh seorang guru dukungan spesialis. Opsi ini juga ditemukan di sekolah-sekolah pada tahun 2006 dan biasanya ditentukan oleh sekolah mempertimbangkan apakah sekolah tersebut mampu menyediakan untuk siswa sebelum menawarkan mereka penempatan umum. Setelah dukungan untuk Pernyataan Salamanca (UNESCO, 1994), fokus untuk pendidikan telah secara bertahap berubah ke arah gerakan inklusi yang mengakui bahwa sekolah harus mendukung semua anak di distrik mereka terlepas dari perbedaan mereka, sehingga mencerminkan keseimbangan normatif budaya, ras, etnis dan tingkat kemampuan. Ini adalah pandangan yang berlawanan dari pendekatan arus utama yang mempertimbangkan apakah mereka dapat menawarkan akomodasi yang sesuai untuk siswa daripada bagaimana mereka bisa. Sementara gerakannya jelas menuju pendekatan yang lebih inklusif, berbagai opsi penyediaan layanan untuk anak penyandang cacat dan kebutuhan lainnya masih ditawarkan. Australia, seperti kebanyakan negara, memandang inklusi sebagai masalah kecacatan, dengan hampir semua wilayah mempertahankan suatu bentuk pendidikan khusus yang terpisah. Australia telah bergabung dengan negara-negara lain dalam upaya global untuk mempromosikan partisipasi yang setara dan aktif dari semua penyandang disabilitas, dengan ratifikasi Konvensi PBB tentang Hakhak Penyandang Disabilitas pada tahun 2008. Komitmen Australia juga tercermin dalam Undang-undang Diskriminasi Disabilitas 1992 dan dalam penetapan Standar Disabilitas untuk Pendidikan 2005 (Standar) yang memperjelas dan menguraikan kewajiban hukum yang terkait dengan pendidikan inklusif. Semua penyedia pendidikan diwajibkan untuk menyadari dan menerapkan



8



Standar untuk memungkinkan siswa penyandang cacat menerima pendidikan yang setara dengan siswa lain.



b.



Indonesia Republik Indonesia (RI), umumnya disebut Indonesia, adalah negara di Asia Tenggara yang dilintasi garis khatulistiwa dan berada di antara benua Asia dan Australia serta samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.504



pulau, nama



alternatif



yang



biasa



dipakai



adalah Nusantara. Dengan populasi Hampir 270.054.853 juta jiwa pada tahun 2018, berpenduduk terbesar keempat di dunia dan negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia, dengan lebih dari 230 juta jiwa. Bentuk pemerintah Indonesia adalah republik dengan DPR, DPRD dan Presiden dipilih langsung oleh rakyatnya, Sebelum muncul sistem pendidikan inklusi, pada tahun 1944 pendidikan segregasi atau pendidikan khusus bagi abk dipandang sebagai sistem pendidikan yang dapat memfasilitasi kelompok minoritas. Pendidikan khusus yang awalnya dipandang sebagai sistem pendidikan yang paling sesuai untuk anak berkebutuhan khusu. seiring semakin berkembangnya kesadaran dan tingkat perkembangan zaman tentang hak asasi manusia, masyarakat mulai berfikir tentang pentingnya pendidikan yang tidak membatasi suatu golongan/kaum minoritas khususnya anak berkebutuhan khusus. Pendidikan inklusi menjadi sistem pendidikan yang sesuai bagi semua kalangan. Proses menuju pendidikan inklusif di indonesia diawali pada awal tahun 1960 oleh beberapa orang siswa tunanetra di bandung dengan didukungan organisasi para penyandang tunanetra. Pada masa itu slb khusus penyandang tunanetra hanya memberikan layanan pendidikan hingga tingkat SMP. Sesudah itu siswa tunanetra diberi latihan kejuruan dalam bidang kerajinan tangan atau pijat. Namun beberapa siswa tunanetra bersikukuh untuk dapat melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih tinggi



9



yaitu SMA reguler walaupun ada upaya penolakan dari pihak SMA sendiri. Seiring berjalannya waktu terjadi perubahan sikap masyarakat terhadap hambatan dan beberapa sekolah reguler bersedia menerima siswa berkebutuhan khusus. Pada akhir tahun 1970 pemerintah mulai memperhatikan tentang pentingnya pendidikan secara integrasi dan menjalin kerjasama bersama yayasan



Helen



Keller



mengembangkan memunculakan



sitem Surat



International, sekolah Keputusan



Inc.



integrasi. Menteri



Untuk Dari



membantu



kerjasama



Pendidikan



ini



Nomor



002/U/1986 tentang pendidikan terpadu bagi anak cacat yang mengatur bahwa penyandang cacat yang memiliki kemampuan seyogyanya diberi kesempatan untuk belajar bersama-sama dengan teman sebayanya yang normal di sekolah reguler. Sayangnya ketika program pendidikan integrasi berakhir, implementasi pendidikan integrasi semakin kurang dipraktekan, terutama di jenjang SD. Pengertian dari pendidikan integrasi yaitu proses memasukkan anak berkebutuhan khusus ke dalam sekolah reguler atau biasa disebut mainstreaming, istilah yang sering dipakai di amerika. Menjelang akhir tahun 1990 upaya baru dilakukan lagi untuk mengembangkan pendidikan inklusi melalui proyek kerjasama antara depdiknas dan pemerintah Norwegia dibawah menejemen Braillo Norway dan Direktorat PLB. Agar tidak mengulangi kesalahan yang sama dimasa lalu dengan pendidikan integrasi yang hampir berhenti, perhatian diberikan pada proses pelaksaan pendidikan inklusi. Seiring dengan berkembangnya tuntutan kelompok berkebutuhan khusus dalam menyuarakan hak – haknya, maka kemudian muncul konsep pendidikan inklusi. Salah satu kesepakatan Internasional yang mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusi adalah Convention on the Rights of Person with Disabilities and Optional Protocol yang disahkan pada Maret 2007. Pada pasal 24 dalam Konvensi ini disebutkan bahwa setiap negara berkewajiban untuk menyelenggarakan sistem pendidikan inklusi di setiap tingkatan pendidikan. Adapun salah satu tujuannya



10



adalah untuk mendorong terwujudnya partisipasi penuh kelompok berkebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Namun dalam prakteknya sistem pendidikan inklusi di Indonesia masih menyisakan persoalan tarik ulur antara pihak pemerintah dan praktisi pendidikan. Meski sampai saat ini sekolah inklusi masih terus melakukan perbaikan dalam berbagai aspek, namun dilihat dari sisi idealnya sekolah inklusi merupakan sekolah yang ideal baik bagi anak dengan dan tanpa berkebutuhan khusus. Lingkungan yang tercipta sangat mendukung terhadap anak berkebutuhan khusus, mereka dapat belajar dari interaksi antara teman-teman sebayanya yang berkebutuhan khusu atauapun normal terutama dari aspek sosial dan emosional. Sedangkan bagi anak yang tidak berkebutuhan khusus memberi peluang kepada mereka untuk belajar berempati, bersikap membantu dan memiliki kepedulian. B. Pelaksanaan Pendidikan Inklusi a.



Australia Laporan de Lemos mengidentifikasi sekitar 62.000 anak (yaitu, sekitar 2% dari total populasi) pada tahun 1992 dengan disabilitas di Australia. Dari jumlah tersebut, 27% menghadiri sekolah khusus, 24% di unit pendidikan khusus atau kelas dan 49% berada di sekolah reguler. Angka-angka ini sangat berfluktuasi antara negara-negara dengan, misalnya, Queensland melaporkan 60% dari siswa mereka di sekolahsekolah khusus, sedangkan. Australia Selatan hanya melaporkan 10%. Data longitudinal yang tersedia dari New South Wales (Vinson, 2002) melaporkan peningkatan 200% pada siswa penyandang cacat yang menghadiri sekolah reguler antara 1988 dan 2002. Pada tahun 1988 di NSW, Laporan mengidentifikasi 13.353 anak-anak penyandang cacat dalam pengaturan pendidikan khusus dan 1,135 di kelas reguler . Pada tahun 2002, ini telah melihat perubahan yang luar biasa dengan 18.618 dalam pengaturan pendidikan khusus dan 16.638 di kelas reguler. Vinson (2002) mengemukakan bahwa peningkatan umum pada siswa yang diidentifikasi dengan kecacatan mungkin dapat dijelaskan dengan



11



diagnosis yang lebih baik, perubahan kriteria untuk label cacat dan peningkatan



jumlah



anak-anak



penyandang



cacat.



Sedangkan



peningkatan ini adalah penyebab untuk eoncem, hasil yang relevan adalah bahwa persentase anak-anak penyandang cacat termasuk di sekolah reguler sebagai proporsi dari semua yang diidentifikasi dengan kecacatan meningkat dari 7,8% pada tahun 1988 menjadi 47% pada tahun 2002. Demikian pula, di WA, dari 10.108 siswa pada Juli 2004 yang diidentifikasi dengan kecacatan intelektual hanya 4,7% yang terdaftar di sekolah khusus dengan 36% berada di pengaturan utama (ini juga termasuk mereka yang berada di kelas terpisah atau ESU). Sisanya 50,3% terdaftar di ESC di situs-situs sekolah reguler. Bersamaan dengan pengurangan siswa yang menghadiri sekolah-sekolah khusus, terjadi penurunan serupa pada jumlah sekolah khusus yang bertahan. Banyak yang telah ditutup dengan sisa murid yang dipindahkan ke fasilitas pendidikan khusus lainnya atau sekolah regular. Keberhasilan pengembangan sekolah inklusi melibatkan : 



memahami



dan



mengakui



inklusi



sebagai



proses



yang



berkelanjutan dan berkembang; 



menciptakan lingkungan belajar yang merespon kebutuhan semua peserta didik untuk mencapai dampak terbesar pada perkembangan sosial, emosional, fisik dan kognitif mereka;







melakukan kurikulum yang luas, relevan, sesuai dan merangsang yang dapat disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan beragam peserta didik;







memperkuat dan mempertahankan partisipasi murid, guru, orang tua dan anggota masyarakat dalam pekerjaan sekolah;







memberikan



pengaturan



pendidikan



yang



berfokus



pada



mengidentifikasi dan mengurangi hambatan untuk belajar dan partisipasi; 



merestrukturisasi budaya, kebijakan dan praktik di sekolah untuk menanggapi keragaman murid di dalam wilayah;



12







mengidentifikasi dan memberikan dukungan yang diperlukan untuk guru, staf dan murid lain;







guru terlibat dalam pelatihan yang sesuai dan pengembangan profesional untuk semua staf ; dan







memastikan ketersediaan informasi yang sepenuhnya transparan dan dapat diakses tentang kebijakan dan praktik inklusif di sekolah untuk murid, orang tua, staf pendukung, dan orang lain yang terlibat dalam pendidikan siswa (Winter & O’Raw, 2010, hal. 24)







Kepemimpinan. Penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa tanpa kepemimpinan yang efektif untuk pendidikan inklusif, keberhasilan akan sulit dicapai. Pemimpin harus menjadi pendukung inklusi yang memiliki pengetahuan yang memberikan dukungan kepedulian untuk staf mereka (Hoppey & McLeskey, 2013; Jones, Forlin, & Gillies, 2013).







Guru. Guru harus menerima kepemilikan proses dan komitmen untuk semua anak di kelas. Selain itu, guru harus menjadi praktisi yang sangat terampil (Florian, 2012; Smith & Tyler, 2011).







Keyakinan dan sikap guru. Sikap positif harus jelas jika pendidikan inklusif menjadi sukses, dan guru harus percaya bahwa semua siswa. Mampu belajar dan berkontribusi terhadap komunitas kelas dengan cara positif (Jordan, Glenn & McGhie-Richmond, 2010; Sharma, 2012).







Pelatihan guru. Tingkat kemahiran guru yang tinggi untuk praktik inklusif harus dalam bukti. Untuk mencapai hal ini, pendidikan guru yang memadai harus disediakan, dan guru harus mengambil kepemilikan atas pembelajaran mereka sendiri dan mencari peluang untuk pertumbuhan profesional (Pijl, 2010; Smith & Tyler, 2011). Sejumlah



kerangka



kerja



telah



diusulkan



dan



prosedur



diberlakukan untuk meningkatkan pendidikan guru dalam jabatan untuk mendukung ruang kelas inklusif. Pemerintah Australia telah mengalokasikan dana ekstensif untuk Program Kualitas Guru (AGQTP). Di WA misalnya, di bawah AGQTP mereka telah



13



memprakarsai strategi Building Inclusive Schools yang telah menghasilkan serangkaian lokakarya bagi para pemimpin dan guru yang berfokus pada pengembangan praktik inklusif dalam kerangka kerja yang bisa diterapkan. 



Kebutuhan guru. Ini dapat termasuk perencanaan waktu, pelatihan, sumber daya personil, sumber daya material, ukuran kelas, dan pertimbangan tingkat keparahan kecacatan (Eisenman, Pleet, Wandry, & McGinley, 2011).







Asisten



pengajar.



Asisten



pengajar



yang



terlatih



dan



berpengetahuan sangat membantu dalam memfasilitasi inklusi, karena mereka bekerja di bawah arahan guru kelas (Symes & Humphrey, 2011). 



Keterlibatan keluarga. Keterlibatan keluarga merupakan elemen penting dan penting dalam keberhasilan pendidikan inklusif. Kolaborasi sekolah-rumah yang benar diperlukan untuk sukses (Stivers, Francis-Cropper, & Straus, 2008).







Suara anak itu. Keterlibatan dan keterlibatan aktif anak adalah bagian penting dari proses. Pendidikan bukan lagi sesuatu yang dilakukan untuk anak-anak, tetapi sebuah proses yang anak-anak miliki dan harus secara aktif berpartisipasi dalam (Messiou, 2012).







Kurikulum. Kurikulum yang fleksibel dan penggunaan instruksi dan rencana individual merupakan elemen penting dari program inklusi yang sukses (Osberg & Biesta) Seperangkat pedoman telah dikembangkan oleh UNESCO



untuk membantu negara-negara dalam memperkuat inklusi dalam strategi dan rencana mereka (UNESCO, 2009). Panduan ini menyarankan serangkaian 51 tindakan kebijakan inklusif di 13 wilayah yang menjadi perhatian kebijakan (lihat Apendiks C untuk daftar lengkap). Pada tahun 2010, UNESCO dan Badan Eropa untuk Pembangunan dalam Pendidikan Kebutuhan Khusus (EADSNE, 2010) berkolaborasi untuk menghasilkan proyek Inklusif Pendidikan dalam Tindakan yang ditetapkan untuk mengidentifikasi bagaimana



14



berbagai daerah menangani panduan ini melalui praktik inklusif yang baik (EADSNE, 2010). Hasilnya adalah situs web yang menyoroti bagaimana sistem dan sekolah yang berbeda dapat menjembatani kesenjangan antara kebijakan dengan praktik dengan mencontohkan pilihan tindakan kebijakan yang disarankan (lihat Lampiran C untuk tautan). Hal ini juga memberikan indikasi yang jelas tentang perbedaan besar dalam cara di mana inklusi sedang didefinisikan dan dipraktekkan secara global dan tantangan yang dihadapi kawasan dalam mengidentifikasi dan mengukur 'praktik yang baik'. Praktek saat ini dalam pendidikan inklusif di Australia Poin-poin penting: praktik terkini negara-negara dan teritori Australia dalam pendidikan inklusif  Semua yurisdiksi memiliki kebijakan yang dikembangkan dengan baik yang mendukung praktik inklusif.  Berbagai opsi penempatan tersedia di setiap negara bagian dan teritori dengan pendekatan yang sangat terstruktur untuk mengidentifikasi siswa penyandang cacat yang membutuhkan dukungan tambahan.  Prosedur yang kompleks dan beragam dikembangkan untuk mendukung pengambilan keputusan untuk penempatan dan tingkat dukungan, dengan bersekolah di kelas reguler dianggap sebagai pilihan pertama dan terbaik bila memungkinkan.  Semua yurisdiksi menyediakan opsi pendidikan khusus bagi siswa penyandang cacat, tetapi kemampuan siswa untuk mengakses sekolah-sekolah ini bervariasi di seluruh dan di dalam negara bagian dan teritori.  Dukungan di sekolah bervariasi tetapi umumnya diberikan melalui staf tambahan, tim multidisiplin, dan program khusus.  Berbagai jalur tambahan yang komprehensif ditawarkan di sekolah menengah yang terkait erat dengan transisi ke opsi pasca sekolah.



15



 Kebijakan inklusif dan layanan dukungan yang tersedia bagi siswa penyandang cacat di negara bagian dan teritori Australia



Dalam referensi ke berbagai pengaturan untuk siswa penyandang cacat di Australia, yang meliputi sekolah dasar, menengah, dan menengah atas, sekolah umum, sekolah khusus, dan unit spesialis di sekolah umum, ada kesamaan yang luas dalam penyediaan layanan dukungan bagi siswa. dengan cacat di seluruh negara bagian dan teritori. Semua yurisdiksi harus mematuhi Standar Disabilitas untuk Pendidikan, 2005 (Persemakmuran Australia, 2006) yang memperjelas kepada penyedia pendidikan tanggung jawab mereka menurut Undangundang Diskriminasi Disabilitas (Commonwealth of Australia, 1992). Setiap sistem pendidikan (yaitu, pemerintah, Katolik, dan independen), meskipun, memiliki pendekatan sendiri untuk menyediakan layanan dan tata nama yang berbeda yang digunakan untuk menggambarkan layanan ini (Dempsey, 2011a). Karena setiap sistem pemerintahan negara bagian atau teritorial memiliki deskripsi yang berbeda tentang layanan dukungan mereka, akan berguna untuk memeriksa secara terpisah layanan ini, bersama dengan kebijakan regional tentang pendidikan inklusif, sebelum mengambil kesimpulan tentang praktik umum saat ini bagi siswa penyandang cacat di Australia.



NSW Vic ACT Old SA NT WA Tas



Full Inclusion Primary



Full Inclusion Secondary



Full Inclusion senior Secondary



v v v v v v v v



v v v v v v v v



v v v v v v v



Partial Inclusion/ Special Unit or class v v v v v



Partial Inclusion/ Special Centre



v v



v v



Separate Special School



v v v v v v v v



Tabel 3 Penempatan penempatan untuk masing-masing negara bagian dan teritori. Keterangan :



16



 Inklusi penuh, menunjukkan penempatan penuh waktu dalam pengaturan ruang kelas utama, dengan partisipasi penuh dalam kurikulum dan kegiatan kelas itu (Underwood, 2012).  Partial Inklusi menunjukkan siswa memiliki opsi penempatan di unit khusus atau kelas (atau dalam beberapa contoh sejumlah kelas - yang dikenal sebagai pusat khusus) yang ada di dalam dasar fisik sekolah umum. Para siswa dapat menghabiskan sebagian dari hari sekolah di kelas utama, atau waktu istirahat dengan siswa arus utama (Cummings, 2012).  Sekolah



Khusus



Terpisah



menunjukkan



bahwa



siswa



ditempatkan di lingkungan yang terpisah, sering secara fisik maupun pendidikan, sekolah umum lokal siswa. Sekolah khusus umumnya melayani siswa yang memiliki cacat sedang sampai berat dan memiliki kriteria masuk khusus.



Praktik inklusif di sektor sekolah negeri di seluruh negara bagian dan teritori Australia  New South Wales Ada peningkatan yang substansial dalam jumlah siswa yang diidentifikasi dengan satu atau lebih kecacatan di kelas reguler dan dukungan selama periode 2005-2011 di sekolah negeri NSW. Ini mencerminkan jumlah siswa yang diidentifikasi dengan kecacatan di kelas reguler dan dukungan (Dempsey, 2011; Graham & Sweller, 2011). Meskipun telah terjadi peningkatan jumlah siswa penyandang disabilitas yang teridentifikasi, tidak ada bukti peningkatan substansial untuk masuknya siswa-siswa ini di ruang kelas utama karena pendaftaran siswa di sekolah khusus dan kelas dukungan belum menurun. Kemungkinan peningkatan kesadaran kecacatan (dan karakteristik diagnostik siswa) dan dorongan dalam dukungan pendanaan telah menyebabkan peningkatan siswa yang diidentifikasi sebagai



membutuhkan



dukungan.



Siswa



yang



baru-baru



ini



17



diidentifikasi kemungkinan besar selalu berada di pengaturan utama (Dempsey, 2011). Penyediaan sekolah di NSW terdiri dari akses ke sekolah-sekolah khusus, kelas-kelas dalam sekolah reguler dan pendanaan untuk mendukung siswa di kelas reguler (NSW Government, 2012). Laporan terbaru yang disusun oleh Dewan Legislatif NSW (2010) menjelaskan dukungan untuk siswa penyandang cacat di sekolah umum yang terdiri dari “... tim dukungan pembelajaran sekolah, Program Bantuan Pembelajaran, Program Dukungan Pendanaan Integrasi, Koordinator Dukungan Pembelajaran Sekolah, dan Program Dukungan Pembelajaran Sekolah yang diusulkan ”(hal. 17). Peran dari masing-masing dukungan ini adalah untuk membantu guru kelas untuk beradaptasi dan memodifikasi kurikulum dan lingkungan untuk memastikan mereka dapat diakses dengan tepat oleh siswa penyandang cacat.” Selain dukungan ini, sekolah memiliki akses ke dana tambahan untuk siswa penyandang cacat di sekolah reguler (NSW Department of Education and Training [DET], 2004). Pendanaan tambahan ini ditentukan dengan menggunakan sistem berbasis kebutuhan yang memerlukan identifikasi tingkat kebutuhan di sejumlah domain: kurikulum, bahasa reseptif, bahasa ekspresif, kompetensi sosial, keamanan, kebersihan, makan dan diet, prosedur perawatan kesehatan, mobilitas dan posisi , dan keterampilan motorik tangan. Dalam masing-masing domain ini, ada deskriptor tingkat kebutuhan mulai dari rendah hingga ekstensif (NSW DET, 2004). Berbagai layanan pendukung seperti fisioterapi, terapi wicara, terapi okupasi dan konseling juga diberikan kepada siswa melalui penyedia pemerintah dan swasta. Namun, ini sering secara ad hoc, dan penyediaan layanan ini tidak konsisten dan sedikit di banyak wilayah (NSW Legislative Council, 2010). Ketentuan layanan pendukung ini dapat berubah karena Skema Asuransi Disabilitas Nasional (Disability Care Australia) diluncurkan di Australia (Commonwealth of Australia, 2013). 18



Perencanaan transisi untuk siswa penyandang cacat di NSW telah menjadi fokus dari laporan terbaru Dewan Penasihat Dewan Legislatif (2012) tentang dukungan transisi bagi siswa penyandang cacat. Komite Tetap menemukan ada kebijakan terbatas khusus yang berkaitan dengan transisi untuk siswa penyandang cacat, dan ini terutama pada tahap awal atau tengah masa kanak-kanak. Departemen Pendidikan dan Komunitas NSW (NSW DEC) mempekerjakan Dukungan Transisi Guru untuk membantu siswa penyandang cacat dan keluarga mereka untuk mengembangkan rencana transisi untuk opsi pasca sekolah dan untuk menghubungkan mereka dengan layanan di luar sekolah, meskipun beberapa pengajuan ke Legislatif Dewan mengindikasikan layanan ini langka dan sulit diakses. Di dalam sekolah, siswa penyandang cacat mungkin dapat mengakses program pelatihan VET melalui kemitraan dengan lembaga TAFE lokal (NSW DEC, 2013). Departemen Penuaan, Cacat, dan Perawatan Rumah NSW (2013) mengoordinasikan sejumlah program pilihan pasca sekolah bagi penyandang disabilitas muda, termasuk transisi ke program kerja dan partisipasi masyarakat.  Victoria Departemen Pendidikan dan Pengembangan Anak Usia Dini (DEECD, 2013a) di Victoria menyatakan bahwa “… berkomitmen untuk memberikan sistem pendidikan inklusif yang memastikan semua siswa memiliki akses ke pendidikan berkualitas yang memenuhi beragam kebutuhan mereka” (hal. 4). Siswa penyandang cacat dapat mengakses berbagai opsi penempatan termasuk inklusi di kelas reguler, dan sekolah khusus. Ada lebih dari 80 sekolah khusus di Victoria (Asosiasi Sekolah Dasar Khusus, Victoria, 2009), melayani siswa dengan berbagai kecacatan, termasuk tuli, autisme, cacat intelektual, dan kesulitan emosional dan perilaku. Dukungan utama di Victoria diberikan melalui Program untuk Siswa dengan Disabilitas (DEECD, 2013a), yang merupakan program pendanaan tambahan untuk sekolah, menargetkan siswa dengan cacat sedang sampai berat. Penilaian adalah komponen awal 19



dari program ini, dan disediakan melalui agen eksternal untuk menentukan



kelayakan



untuk



dukungan



ekstra.



Kuesioner



berdasarkan kebutuhan digunakan untuk menentukan tingkat dukungan pendidikan yang diperlukan (DEECD, 2013b). Sebagai bagian dari Program untuk Siswa dengan Disabilitas, sumber daya telah dikembangkan untuk mendukung guru dalam mempersiapkan program yang sesuai. Kemampuan Belajar Berbasis dan Dukungan Pendidikan (ABLES) menyediakan guru “… dengan akses ke alat penilaian, laporan individu, dan bimbingan tentang strategi pengajaran dan sumber daya yang akan memungkinkan mereka untuk merencanakan dan mengajar secara efektif untuk kebutuhan individu siswa penyandang cacat dan kebutuhan belajar tambahan ”(DEECD, 2011, hlm. 5). Dukungan lain yang tersedia di sekolah termasuk psikolog, pekerja sosial, pekerja muda, ahli patologi wicara, dan pengajar berkunjung. Program identifikasi dan intervensi awal khusus disediakan untuk memastikan siswa dapat mengakses dukungan sedini mungkin. Siswa penyandang cacat di tingkat menengah atas dapat mengakses berbagai program yang mempersiapkan mereka untuk pengalaman pasca sekolah, termasuk: Victorian Certificate of Applied Learning, Sertifikat Pendidikan Victoria (VCE), Program Sekolah Khusus, Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan di Sekolah (VETiS), Program pramagang , sekolah berbasis magang, dan traineeships pembelajaran di tempat kerja.  Queensland Departemen Pendidikan dan Pelatihan Queensland (DET, 2012a) menyediakan



berbagai



pilihan



sekolah



termasuk



program



pengembangan anak usia dini, kelas reguler, program khusus, dan sekolah khusus. Kebijakan inklusi dipromosikan oleh DET yang menunjukkan bahwa semua guru memiliki tanggung jawab untuk “… menanamkan prinsip bahwa pendidikan inklusif adalah bagian dari semua praktik sekolah Pendidikan Queensland, untuk semua siswa melalui sekolah mereka” (DET, 2012b).



20



Siswa penyandang cacat yang termasuk dalam sekolah reguler dapat dibantu melalui layanan dukungan siswa yang dialokasikan ke sekolah atau daerah (DET, 2013). Ini mungkin termasuk berbagai dukungan seperti petugas pembimbing, guru spesialis, ahli patologi wicara-bahasa, guru dukungan perilaku, asisten guru, teknologi bantu, materi format alternatif dan ketentuan khusus untuk penilaian. Program Penyesuaian Pendidikan (EAP) memberikan dukungan pendanaan tambahan dalam kategori cacat gangguan spektrum autisme, gangguan pendengaran, gangguan intelektual, gangguan fisik, gangguan bahasa bicara dan gangguan penglihatan. Proses EAP menggunakan profil kebutuhan siswa untuk menentukan tingkat dukungan tambahan yang diperlukan untuk kurikulum, komunikasi, partisipasi sosial dan kesejahteraan emosional, kesehatan dan perawatan pribadi, dan keamanan dan lingkungan belajar / akses. Di sekolah menengah, siswa penyandang cacat memiliki pilihan untuk berpartisipasi dalam berbagai jalur: “Sebagai bagian dari perencanaan untuk transisi ke opsi pasca sekolah, siswa Queensland di Kelas 10 melengkapi rencana Pendidikan dan Pelatihan Senior (SET). Pada dasarnya, rencana SET mencakup apa tujuan siswa dan jalur apa yang mereka ambil untuk mencapai tujuan tersebut ”(DET, 2012a, hlm. 36). Persiapan dapat terdiri dari pilihan sekolah reguler dengan dukungan, jalur VET, atau opsi pembelajaran individu.  Wilayah Ibu Kota Australia Menurut



Siswa



yang



Menyandang



Disabilitas:



Memenuhi



Kebijakan Kebutuhan Pendidikan mereka (Pendidikan & Pelatihan ACT, 2008), sekolah-sekolah ACT adalah “... diperlukan untuk membuat penyesuaian yang wajar bagi siswa penyandang cacat pada saat pendaftaran dan selama masa pendidikan mereka, memastikan mereka memiliki dukungan yang mereka butuhkan untuk berhasil mengakses dan berpartisipasi dalam kurikulum sekolah, program dan kegiatan di perusahaan rekan sebaya mereka yang sama ”(hal. 1). Siswa disediakan dalam berbagai pengaturan, termasuk ruang kelas reguler, pusat intervensi awal, unit pendukung pembelajaran, dan 21



sekolah spesialis. Semua siswa berhak untuk mengakses sekolah lokal mereka (Direktorat Pendidikan & Pelatihan ACT, 2013). Untuk mengakses layanan di luar dukungan yang diterima di kelas reguler, siswa penyandang cacat harus memenuhi kriteria tertentu, yang meliputi penilaian kebutuhan di bidang akses (komunikasi, mobilitas, kesehatan dan kesejahteraan, kondisi diet dan medis, keselamatan) dan partisipasi (pengembangan sosial, partisipasi kurikulum, komunikasi, perilaku, literasi dan berhitung) di dalam kelas (Direktorat Pendidikan & Pelatihan ACT, 2010a). Proses penilaian dilakukan dengan kepala sekolah, guru kelas, orang tua, dan moderator departemen yang terlatih. Meskipun sulit untuk mencari informasi spesifik tentang siswa penyandang cacat di daerah menengah atas, informasi umum menunjukkan ada kesempatan bagi siswa untuk mengakses berbagai jalur termasuk peluang pendidikan lebih lanjut dan pelatihan pendidikan kejuruan (ACT Education & Training Directorate, 2010b).  Australia Selatan Departemen Pendidikan dan Pengembangan Anak Australia Selatan (DECD, 2006) menyatakan bahwa Siswa dengan Kebijakan Disabilitas “… menyediakan kerangka kerja untuk penyampaian praktik belajar mengajar, dan penyediaan layanan dan dukungan, untuk memastikan bahwa semua siswa penyandang cacat dapat menikmati manfaat pendidikan dalam lingkungan yang mendukung yang menghargai keragaman, inklusi, dan partisipasi ”(hal. 1). Selain kelas reguler, di mana mayoritas siswa termasuk, ada berbagai opsi penempatan alternatif. Saat ini ada 15 sekolah khusus, 35 unit khusus, dan 85 sekolah dengan kelas khusus di Australia Selatan (DECD, 2013a). Tim Verifikasi dan Dukungan Profesional di seluruh negara bagian bertanggung jawab untuk memverifikasi kelayakan untuk layanan dukungan dan tingkat dukungan yang diperlukan (DECD, 2012).



22



Untuk memenuhi kriteria kelayakan untuk mengakses program khusus, siswa harus memenuhi kriteria kecacatan di bidang gangguan spektrum autistik, keterlambatan perkembangan global, cacat intelektual, cacat fisik, cacat sensorik (pendengaran dan penglihatan), atau pidato dan / atau cacat bahasa. Bukti harus diberikan sehubungan dengan bagaimana kecacatan berdampak pada kemajuan dan partisipasi siswa dalam kurikulum dan partisipasi mereka dalam komunitas sekolah (DECD, 2007). Berbagai penilaian digunakan untuk menentukan tingkat kebutuhan dan informasi siswa yang dikumpulkan dari berbagai sumber, seperti dari psikolog. DECD (2013b) memiliki proses yang terdefinisi dengan baik di tempat bagi siswa sekolah menengah atas untuk mengakses program dan layanan transisi. Program "... fokus pada pelatihan ketenagakerjaan dan pengembangan keterampilan sosial, kehidupan masyarakat, kehidupan mandiri, dan keterampilan hidup pribadi" (Para. 2). Program-programnya disampaikan melalui dua pusat transisi khusus di seluruh negara bagian. Tautan juga disediakan untuk informasi lebih lanjut tentang informasi rujukan untuk pusat transisi dan opsi pasca sekolah bagi siswa penyandang cacat.  Australia Barat Departemen



Pendidikan



(DoE)



di



Australia



Barat



(WA)



menyediakan berbagai opsi penempatan, berdasarkan kebutuhan dan kelayakan pendidikan (DoE, 2013a). Ini termasuk pengaturan sekolah reguler (dengan dukungan pengajar berkunjung, jika perlu), kelas khusus, pusat khusus dan sekolah khusus. Untuk mengakses sekolah dan pusat khusus, siswa harus memenuhi kriteria kelayakan yang dijelaskan dalam Kerangka untuk Kriteria Kelayakan dan Proses Pendaftaran di Sekolah dan Pusat Dukungan Pendidikan (DoE, 2008). Schools Plus (DoE, 2013b) adalah kerangka kerja untuk menganalisis kebutuhan siswa di bidang diferensiasi kurikulum, penilaian dan pelaporan, perencanaan kolaboratif, komunikasi, kompetensi sosial, perawatan kesehatan, mobilitas dan positioning, kebersihan toilet, 23



manajemen makan, pengaturan diri dan ketahanan , dan kesehatan mental. Ada enam tingkat kebutuhan dalam masing-masing 11 dimensi ini. Layanan Pelajar Manajer, dalam konsultasi dengan kepala sekolah dan pihak terkait lainnya, memverifikasi kelayakan siswa untuk mengakses sekolah atau pusat khusus (DoE, 2008). DoE in WA barubaru ini memperkenalkan Sekolah Kebutuhan Pendidikan Khusus: Disabilitas (SSEND) yang “… berkomitmen untuk membangun kapasitas guru dan staf berbasis sekolah untuk memberikan program kelas yang efektif yang menghargai keberagaman siswa dalam lingkungan pembelajaran yang inklusif” ( DoE, 2013c, para. 1). Sekolah dukungan SSEND memberikan bantuan yang sesuai melalui peluang pembelajaran profesional dan kontak langsung dengan sekolah. SSEND juga menyediakan berbagai sumber daya, termasuk teknologi bantu. Selain jalur yang tersedia melalui sekolah menengah atas biasa, berbagai dukungan lainnya ditawarkan. Perencanaan transisi untuk siswa penyandang cacat termasuk referensi ke "... wajib belajar sampai ke masa dewasa yang independen. Jalur dapat mencakup pendidikan menengah atas, pendidikan kejuruan dan pelatihan, magang atau magang, pendidikan tinggi, pendidikan masyarakat, pembelajaran informal, sukarelawan, rekreasi dan rekreasi, pengalaman di tempat kerja, kerja santai, paruh waktu atau penuh waktu, dan berbagai kombinasi di atas ”(DoE, 2012, Para. 1). Pendekatan tim digunakan untuk memastikan jalur yang tepat tersedia untuk semua siswa.  Wilayah Utara Departemen Pendidikan dan Pelatihan Northern Territory (NT) (DET) Filosofi Inklusi bagi Siswa dengan Disabilitas menyatakan bahwa “... inklusivitas mencakup gagasan bahwa setiap orang adalah individu dan keragamannya dihormati. Inklusi dimulai dari pengakuan perbedaan antara siswa dan dibangun di atas perbedaan tersebut untuk meminimalkan hambatan dalam pendidikan untuk semua siswa ”(DET, n.d., hal. 1). 24



Filosofi ini diterjemahkan ke dalam pilihan bagi orang tua untuk memilih pengaturan pendidikan yang mereka rasa akan paling memenuhi kebutuhan anak mereka. Pengaturan yang tersedia termasuk kelas reguler dengan dukungan (konsultan atau penarikan) dan fasilitas pendidikan khusus. Saat ini ada empat sekolah khusus, 10 pusat khusus dan enam unit khusus (termasuk dua untuk siswa yang berbakat) yang disetujui oleh NT DET (2012a). Untuk mendaftar di sekolah khusus atau pusat khusus, seorang siswa harus memiliki fungsi intelektual di bawah rata-rata, defisit dalam perilaku adaptif, dan memerlukan bantuan intensif untuk mengakses kurikulum (DET, 2011). Bukti harus disediakan untuk mendukung kelayakan siswa untuk pendaftaran. Ini mungkin terdiri dari laporan dari psikolog atau tes diagnostik yang dilakukan oleh sekolah. Manajer Kesehatan Mental dan Perlindungan Anak dan kepala sekolah bekerja sama untuk menentukan apakah informasi yang disajikan memungkinkan anak memenuhi kriteria untuk pendaftaran. Pilihan yang komprehensif ada untuk siswa di NT dalam hal transisi dari sekolah menengah ke sekolah menengah atas, dan sekolah menengah ke tempat kerja atau masyarakat. Transisi dari program sekolah “… membantu transisi siswa dengan kecacatan dari pengaturan pendidikan utama dan khusus ke pendidikan lebih lanjut, pekerjaan dan kehidupan dewasa” (DET, 2012b, para. 1). Bagan alur transisi menggambarkan proses yang terlibat dalam mengakses dukungan dan informasi dan kelompok dukungan transisi tersedia di seluruh wilayah.  Tasmania Penyediaan untuk siswa penyandang cacat di Tasmania terdiri dari mendaftarkan siswa penyandang cacat di sekolah setempat (lebih disukai) atau sekolah khusus (Departemen Pendidikan [DoE], 2013): “Pendaftaran di sekolah khusus akan dipertimbangkan ketika diminta oleh orang tua dan ketika anak memiliki kecacatan yang signifikan dan dapat diidentifikasi yang mencakup kecacatan intelektual sedang 25



sampai berat; dan ketika anak memenuhi syarat untuk ditempatkan pada Daftar Siswa dengan Cacat Berat ”(DoE, 2012, hlm. 10). Daftar untuk Siswa dengan Cacat Berat (DoE, 2013b) menjelaskan secara mendalam kelayakan siswa, khususnya, siswa dengan diagnosis gangguan spektrum autisme, cacat intelektual, cacat fisik atau gangguan



kesehatan,



cacat



ganda,



cacat



psikiatri,



gangguan



penglihatan, atau tuna rungu atau tuna rungu. Penilaian berkumpul untuk mendukung kelayakan siswa untuk pendanaan dan layanan dengan mempertimbangkan fungsi siswa dalam berbagai lingkungan. Komite penempatan membuat penentuan akhir pada penempatan sekolah, termasuk pendaftaran di salah satu dari delapan sekolah khusus. Jalur untuk siswa penyandang cacat dalam pengaturan sekunder mengikuti proses yang sama seperti itu untuk semua siswa. Pathway Plan (DoE, 2013c) merinci rute yang akan diikuti siswa untuk mencapai tujuan mereka. Beberapa dari jalur ini termasuk dukungan transisi, magang berbasis sekolah, VET di sekolah, dan pusat pelatihan perdagangan. Perencanaan individu memungkinkan untuk kebutuhan individu siswa untuk diperhitungkan dan mendukung perkembangan siswa dari pengaturan sekolah ke opsi posting sekolah (Disabilitas & Layanan Komunitas, 2011). Hasil pendidikan saat ini sedang dicapai oleh siswa penyandang cacat di Australia.



Poin-poin penting: Hasil pendidikan yang dicapai oleh siswa penyandang cacat di Australia 



Setiap negara bagian dan teritori memiliki pendekatan yang berbeda



untuk



penilaian



dan



pelaporan



untuk



siswa



penyandang cacat. Kurangnya konsistensi berarti sulit untuk menentukan apakah kemajuan yang tepat sedang dibuat oleh



26



siswa dengan berbagai tingkat kecacatan, apa hasil yang sedang dicapai, dan tingkat di mana hasil dicapai. 



Siswa penyandang disabilitas saat ini kurang terwakili dalam pengujian dan pengukuran akuntabilitas nasional dan negara bagian.







Di kebanyakan yurisdiksi, siswa dengan kecacatan yang signifikan memiliki akses ke kurikulum alternatif atau yang disesuaikan. Namun, pelaporan hasil dari kurikulum alternatif semacam itu tidak konsisten dan tidak selalu mencerminkan 'nilai' yang mungkin diperoleh siswa dari sekolah mereka.







Penilaian siswa yang tidak konsisten dengan kecacatan berarti hasil untuk siswa-siswa ini tidak diketahui dan tidak termasuk dalam pengambilan keputusan mengenai pengujian nasional dan negara bagian dan perencanaan selanjutnya yang terjadi di sekitar pengujian ini. Menurut Mitchell (2010), "Bagaimana mengukur kinerja pendidikan siswa dengan kebutuhan pendidikan khusus dengan validitas dan reliabilitas adalah salah satu tantangan kontemporer utama yang dihadapi para pendidik di seluruh dunia" (hal. 71). Dalam hal menilai hasil pada kemajuan siswa melalui Kurikulum Australia, Australian Curriculum Assessment and Reporting Authority (ACARA, 2013) menyarankan guru harus menilai siswa terhadap standar pencapaian atau terhadap sasaran individu. Juga dinyatakan bahwa setiap negara bagian dan teritori mungkin memiliki pendekatan yang berbeda untuk penilaian dan pelaporan. Kurangnya konsistensi di seluruh negara bagian dan wilayah, bagaimanapun, dapat menyebabkan kesulitan dalam menentukan apakah kemajuan yang tepat sedang terjadi dibuat oleh siswa dengan berbagai tingkat kecacatan (Cumming & Dickson, 2013). Alternatif bentuk penilaian untuk siswa penyandang cacat termasuk penilaian fungsional (Eagar, Green, Gordon, Owen, Masso & Williams,



27



2006), penilaian portofolio (Departemen Pendidikan WA, 2013), penilaian yang dimodifikasi (Davies, 2012), dan pengujian akomodasi dan modifikasi (Davies & Elliott, 2012). Dengan keragaman dalam mengukur hasil, sangat sulit untuk memastikan dengan konsistensi apa pun hasil yang dicapai oleh siswa penyandang cacat di Australia. 



Standar



pertanggungjawaban



pendidikan



bagi



siswa



penyandang disabilitas tampak jauh lebih sedikit daripada untuk siswa reguler, karena banyak siswa yang tampaknya tidak berpartisipasi dalam ujian nasional. Saat ini juga tidak ada persyaratan hukum bagi sekolah untuk menggunakan penilaian alternatif seperti Rencana Pendidikan Individual (IEPs) untuk siswa



penyandang



cacat



(walaupun



Tinjauan



Standar



Disabilitas untuk Pendidikan 2005 [DEEWR, 2013a] baru-baru ini menyarankan bahwa ini dapat menjadi fokus dalam masa depan). 



Siswa dengan kecacatan yang signifikan di sekolah menengah mungkin, sama, tidak memenuhi syarat untuk sertifikat sekunder yang diberikan sebagian besar yurisdiksi, karena mereka sering tidak memenuhi kriteria yang disyaratkan (misalnya, DECD, 2013b; DET QLD, 2012a; NT DET, 2012b ). Pada beberapa kesempatan, siswa dapat terus mengumpulkan poin menuju sertifikat, atau mereka mungkin memenuhi syarat untuk sertifikasi alternatif, terutama jika mereka berada pada program individual.



b.



Indonesia Penyelenggaraan sekolah inklusi memang tidak sesederhana menyelenggarakan sekolah umum. Kenyataan dilapangan menunjukan kondisi anak berkebutuhan khusus yang diterima belum sesuai dengan kebijakan, seperti dalam hal penerimaan jenis kekhususan, tingkat kecerdasan yang masih dibawah rata, belum ada penentuan batas jumlah siswa yang diterima, serta belum memiliki sarana prasaranan



28



khusus. Dukungan dari orangtua anak berkebutuhan khusus, orangtua siswa regular, maupun masyarakat baru berupa dukungan moral. Padahal seharusnya dukungan yang dibutuhkan berupa dukungan material maupun keterlibatan langsung dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi. Dukungan pemerintah baik pusat maupun daerah belum merata di semua daerah dan masih sangat terbatas, baik dalam bantuan teknis



(keterlibatan dalam



pelaksanaan :



monitoring,



pembimbingan maupun evaluasi pelaksanaan pendidikan inklusi) maupun



bantuan



non-teknis



(dana



maupun



peralatan).



Anak



berkebutuhan khusus belajar bersama anak normal di kelas regular dalam kelompok khusus. Namun dalam hal layanan pendidikan. Indonesia juga menerapkan model-model pembelajaran inklusi. Model-model pembelajaran dalam sekolah inklusi disesuaikan dengan tingkat kebutuhan peserta didik, baik yang normal maupun disable (ABK) yang dikutip dari (abd Khaidir : 14-15): 1.



Model kelas regular/inklusi penuh, yaitu ABK yang tidak mengalami gangguan intelektual signifikan dapat mengikuti pembelajaran di kelas biasa. Model pembelajaran ini dilaksanakan dengan cara mengumpulkan atau mencampurkan peserta didik ABK dengan peserta didik normal lainya.



2.



Model Cluster, yaitu: ABK dikelompokkan tersendiri. Dalam pembelajaran model ini semua peserta didik tanpa kecuali belajar bersama-sama, walaupun bagi ABK perlu didampingi seorang pendamping



agar



ABK



dapat



menerima



pembelajaran



sebagaimana layaknya anak normal. Pendamping ini memberikan layanan khusus ketika ABK mengalami kesulitan dan hambatan dalam belajarnya. 3.



Model Pull Out, yaitu: ABK dipindahkan ke ruang khusus untuk mendapatkan pelajaran tertentu dan didampingi guru khusus. Tidak selamanya peserta didik ABK dapat belajar bersama sepanjang waktu dengan peserta didik yang normal. Pada bagian-



29



bagian tertentu ada materi yang harus disampaikan secara khsusus kepada peserta didik ABK disebabkan terjadinya kesenjangan yang serius bilamana harus belajar secara bersamaan dengan semua peserta didik. Pada waktuwaktu tertentu peserta didik ABK ditarik dari kelas 30 egular untuk diberi layanan khusus dengan materi, strategi, metode dan media yang lebih sesuai dengan kebutuhan mereka. Masing-masing peserta didik yang memerlukan layanan khusus dibimbing oleh seorang pendamping khusus pula sesuai dengan keperluannya. 4.



Model Cluster and Pull Out, yaitu kombinasi antara model cluster dan pull out. Model pembelajaran ini diimplementasikan dengan cara bahwa pada waktu-waktu tertentu ABK dikelompokkan tersendiri, tetapi masih dalam satu kelas 30 egular dengan pendamping



khusus.



Pada



waktuwaktu



yang



lain



ABK



ditempatkan di kelas/ruang lain untuk diberi layanan khusus dengan materi, strategi, metode dan media yang lebih sesuai dengan kebutuhan mereka. 5.



Model Kelas khusus, yaitu: sekolah menyediakan kelas khusus bagi ABK, namun untuk beberapa kegiatan pembelajaran tertentu semua peserta didik digabung dengan kelas 30egular. Kelas ini adalah kelas yang hanya menampung peserta didik ABK secara penuh. Namun pada waktu-waktu tertentu ABK diperkenankan bergabung dengan peserta didik normal. Keunikan kelas semacam ini ialah kelas-kelas untuk ABK tidak jauh dari kelas-kelas regular, bahkan masih berada dalam satu komplek atau satu gedung yang sama dengan kelas normal. ABK bisa berinteraksi dengan peserta didik normal secara tidak langsung di dalam kelas dan berinteraksi secara langsung ketika berada di luar kelas.



6.



Model Khusus Penuh, yaitu sekolah menyediakan kelas khusus ABK. Pembelajaran bagi ABK pada kelas khusus penuh ini ialah peserta didik ABK belajar bersama dengan pseserta didik bagianbagian tertentu ada materi yang harus disampaikan secara khsusus



30



kepada peserta didik ABK disebabkan terjadinya kesenjangan yang serius bilamana harus belajar secara bersamaan dengan semua peserta didik. Pada waktuwaktu tertentu peserta didik ABK ditarik dari kelas 31 egular untuk diberi layanan khusus dengan materi, strategi, metode dan media yang lebih sesuai dengan kebutuhan mereka. Masing-masing peserta didik yang memerlukan layanan khusus dibimbing oleh seorang pendamping khusus pula sesuai dengan keperluannya.



31



C. Perbandingan Pelaksanaan Pendidikan Inklusi di Australia dan Indonesia Aspek



Pendidikan Inklusi



Pembanding Kurikulum



Australia



Indonesia



Kurikulum regular,



Kurikulum regular dengan



kurikulum modifikiasi,



modifikasi



kurikulum alternatif Bentuk layanan



Inklusi penuh dan



Model kelas regular/inklusi



pendidikan



Partial Inklusi



penuh, Model Cluster, Model Pull Out, Model Cluster and Pull Out, Model Kelas khusus



Pelaksana layanan



Pemerintah,



pendidikan



Independen atau swasta



Prevalensi peserta



Lebih mudah



didik



diidentifikasi



Pendanaan



100% pihak pemerintah



Negeri dan Swasta



Sulit mengidentifikasi



20 % dari APBN dan APBD



dan hibah swasta Kompetensi



S1 lulusan FKIP sudah



S1 lulusan FKIP atau murni



Mengajar



bisa mengajar



sudah pada umumnya



S1 lulusan PLB pada



menjadi guru kelas.



umumnya menjadi



S1 lulusan PLB pada



konsultan dan/ guru



umumnya menjadi GPK.



kujung hanya jika diperlukan Jenjang pendidikan Primary, Secondary,



SD,SMP,SMA,SMK,Sarjana



Tetriary, TAFE atau UNIVERSITIES Kualifikasi



1-10



1-9



NAPLAN, Jika tidak



UNBK regular, UN yang



memnuhi standar



dikembangkan sendiri oleh



NAPLAN maka ada



sekolah



Nasional Evaluasi



32



penilaian alternatif



33



BAB III KESIMPULAN



1. Baik Australia maupun Indonesia sudah berupaya menjalankan pendidikan untuk ABK sejak ditandatanganinya Salamanca Statement. 2. Indonesia perjalanan pendidikan inklusi baru mulai berkembang karena dalam pengimplementasiannya banyak hambatan sedangkan di Australia pendidikan inklusi sudah berjalan dengan sangat baik dan akan selalu dievalausi agar tujuan pendidikan tanpa diskriminasi dapat benar-benar terwujud. 3. Pada umunya panduan dan kebijakan pendidikan inklusi di hampir seluruh dunia itu sama. Namun, pembedanya adalah keseriusan dan strategi yang dipakai dalam mewujudkan pedoman tersebut.



34



DAFTAR PUSTAKA Australian Curriculum Assessment and Reporting Authority [ACARA]. (2013). Student diversity and the Australian curriculum: Advice for principals, schools and teachers. Retrieved from: http://www.australiancurriculum.edu.au/StudentDiversity/Pdf/StudentDive rsity. Australian Institute for Teaching & School Leadership (2013, May). Initial teacher education: Data report. Melbourne: Education Services Australia. Retrieved from: http://www.aitsl.edu.au/initial-teacher-education/initialteacher-education.html. Berlach, R. G., & Chambers, D. J. (2011). Inclusivity imperatives and the Australian national curriculum. The Educational Forum, 75, 5265. Davies, M. (2012). Accessibility to NAPLAN assessments for students with disability: A ‘fair go’.Australasian Journal of Special Education, 36(1), 62–78. Davies, M., & Elliott, S. N. (2012). Inclusive assessment and accountability: Policy to evidence-based practices. International Journal of Disability, Development and Education, 59 (1), 1-6. Doi: 10.1080/1034912X.2012.654932. Department of Education and Training (QLD). (2012b). Inclusive education. http://ppr.det.qld.gov.au/education/learning/Pages/InclusiveEducation.aspx. EENET. (n.d.). Newsletters and resources (Index for Inclusion). Retrieved May 16, 2013 from http://www.eenet.org.uk/resources/index.php. Foreman, P. (2011). Inclusion in action (3rd ed.). South Melbourne, Victoria: Cengage Learning. Foreman, P. , & Arthur-Kelly, M. (2008). Social Justice Principles, the Law and Research, as Bases for Inclusion. Australasian Journal of Special Education, 32, (1), 109–124. Forlin, C., Loreman, T., Sharma, U., & Earle, C. (2009). Demographic differences in changing pre-service teachers’ attitudes, sentiments and concerns about inclusive education. International Journal of Inclusive Education, 13(2), 195-209.



35



Khaidir. Abd (2015). PENYELENGGARAAN SEKOLAH INKLUSI DI INDONESIA Jurnal Pendidikan Agama Islam. Volume 03, Nomor 01, Mei 2015 Hal 14-15 Loreman, T., Deppeler, J.M., & Harvey, D.H.P. (2010). Inclusive education: Supporting diversity in the classroom (2nd ed.). Sydney: Allen & Unwin. Messiou, K. (2012). Collaborating with children in exploring marginalisation: an approach to inclusive education. International Journal of Inclusive Education, 16(12), 1311-1322. doi:10.1080/13603116.2011.572188. Shaddock, A., MacDonald, N., Hook, J. Giorcelli, L. & Arthur-Kelly, M. (2009). Disability, diversity and tides that lift all boats: Review of special education in the ACT. Chiswick, NSW: Services Initiatives.



36