Makalah Pendidikan Inklusi Kelompok 3 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH PENDIDIKAN INKLUSI TUGAS MAKALAH MATA KULIAH PENDIDIKAN INKLUSI (AKDK 6501) “ELEMEN-ELEMEN PENDIDIKAN INKLUSIF”



Dosen Pengampu : Dr. Nina Permata Sari, S.Psi., M.Pd.



Oleh : Kelompok III Hanisah



(1710129220007)



Mira Febriyani



(1710129220012)



Muhammad Nadzif



(1710129110011)



Nitasya Malva Munandar



(1710129120012)



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN IPA JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI BANJARMASIN 2019



i



KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum, Wr. Wb. Puji syukur kehadirat Allah Swt. karena berkat limpahan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan penulisan Makalah Pendidikan Inklusi “Elemen-elemen Pendidikan Inklusif”. Dalam penulisan makalah ini, kami telah berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan yang kami miliki. Walau begitu, kesalahan dan kekhilafan tentu ada, baik dari segi penulisan maupun tata bahasa. Kami menyadari tanpa arahan dari dosen serta masukan-masukan dari berbagai pihak, mungkin kami tidak akan bisa menyelesaikan makalah ini. Makalah ini dibuat sedemikian rupa untuk memenuhi tugas, untuk membangkitkan kembali minat membaca, serta sebagai motivasi untuk berkarya khususnya dalam bidang karya tulis. Untuk itu kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang terlibat. Demikian yang bisa kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca yang menikmatinya. Wassalamu’alaikum, Wr. Wb.



Banjarmasin, September 2019



Penyusun



ii



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii DAFTAR TABEL .................................................................................................. iv BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 5 1.1



Latar Belakang ......................................................................................... 5



1.2



Rumusan Penulisan .................................................................................. 6



1.3



Tujuan Penulisan ...................................................................................... 6



1.4



Manfaat Penulisan .................................................................................... 6



BAB II KAJIAN TEORI......................................................................................... 7 2.1 Welcoming Teacher dan Pembelajaran yang Ramah .................................... 8 A. Welcoming school ...................................................................................... 8 B. Welcoming Teacher .................................................................................... 9 2.2 Menekankan Kerjasama Daripada Persaingan ............................................ 11 2.3 Kurikulum yang Fleksibel ........................................................................... 13 A. Duplikasi kurikulum................................................................................. 15 B. Modifikasi kurikulum ............................................................................... 15 C. Substitusi kurikulum................................................................................. 16 D. Omisi kurikulum ...................................................................................... 16 BAB III PENUTUP .............................................................................................. 18 3.1 Kesimpulan ................................................................................................. 18 3.2 Saran ............................................................................................................ 18 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 20



iii



DAFTAR TABEL



Tabel 1. Kecenderungan Model Kurikulum ABK (Kategori ABK yang tidak memiliki hambatan kecerdasan) ............................................................................ 16 Tabel 2. Kecenderungan Model Kurikulum ABK (Kategori ABK yang memiliki hambatan kecerdasan) ........................................................................................... 17



iv



BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Di dalam kehidupan, kita tidak pernah lepas dari yang namanya “belajar”. Menurut Slavin (2008), belajar merupakan suatu proses di mana adanya perubahan yang disengaja dalam diri seseorang yang disebabkan oleh pengalaman. Aspek-aspek yang dikembangkan dalam proses belajar diantaranya seperti pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Pemerataan kesempatan belajar yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak hanya berlaku bagi anak normal, tetapi juga mencakup anak dengan kebutuhan khusus. Pelayanan pendidikan tidak hanya untuk sekedar memenuhi HAM dan hak anak, namun juga harus dilakukan demi kemaslahatan anak di kehidupan mendatang. Hal ini mengakibatkan munculnya pendidikan inklusi. Pendidikan inklusi ditujukan terutama ditujukan untuk semua anak yang memiliki kebutuhan khusus. Pendidikan Inklusi merupakan proses menciptakan lingkungan yang ramah terhadap pembelajaran, dengan memanfaatkan semua sumber yang ada untuk memberikan kesempatan belajar dalam mempersiapkan mereka untuk dapat menjalani hidup dan kehidupan. Pendidikan inklusif akan dapat dimengerti secara keseluruhan jika setiap orang yang handak menerapkan pendidikan inklusif serta memahami setiap elemen di dalamnya. Elemen-elemen dalam pendidikan inklusif akan menciptakan sekolah yang ramah, terbuka, serta siaga atau yang dikenal dengan istilah “welcoming school”. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk membahas materi dalam karya tulis ini yaitu “Elemen-elemen pendidikan inklusif”, terutama pada poin pembahasan welcoming teacher dan pembelajaran yang ramah, menekankan kerjasama daripada persaingan, dan kurikulum yang fleksibel.



5



1.2 Rumusan Penulisan Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan penulisan yang nantinya akan dibahas pada karya tulis ini yaitu : 1. Bagaimana elemen-elemen pendidikan inklusi dalam hal konsep “welcoming teacher dan pembelajaran yang ramah”? 2. Bagaimana elemen-elemen pendidikan inklusi dalam hal konsep “menekankan kerjasama daripada persaingan”? 3. Bagaimana elemen-elemen pendidikan inklusi dalam hal konsep “kurikulum yang fleksibel”?



1.3 Tujuan Penulisan Tujuan dari penulisan karya tulis ini yaitu : 1.



Mencari tahu tentang elemen-elemen pendidikan inklusi dalam hal konsep “welcoming teacher dan pembelajaran yang ramah”.



2.



Mencari tahu tentang elemen-elemen pendidikan inklusi dalam hal konsep “menekankan kerjasama daripada persaingan”.



3.



Mencari tahu tentang elemen-elemen pendidikan inklusi dalam hal konsep “kurikulum yang fleksibel”.



1.4 Manfaat Penulisan Manfaat dari penulisan karya tulis ini yaitu : 1.



Mengetahui dan memahami tentang elemen-elemen pendidikan inklusi dalam hal konsep “welcoming teacher dan pembelajaran yang ramah”.



2.



Mengetahui dan memahami tentang elemen-elemen pendidikan inklusi dalam hal konsep “menekankan kerjasama daripada persaingan”.



3.



Mengetahui dan memahami tentang elemen-elemen pendidikan inklusi dalam hal konsep “kurikulum yang fleksibel”.



6



BAB II KAJIAN TEORI



Hak untuk mendapatkan Pendidikan dan pengajaran yang layak dijamin pemerintah Indonesia dalam UUD 1945. Konsekuensi logis dari penjabaran UUD 1945 ini adalah setiap orang tanpa memandang fisik, agama, suku, dan lain-lain berhak mendapat Pendidikan dan pengajaran untuk pengembangan dirinya. Salah satu pihak yang berhak mendapat pendidikan dan pengajaran adalah anak-anak berkebutuhan khusus (ABK). Istilah terbaru yang digunakan untuk mendeskripsikan penyatuan bagi anakanak berkelainan (penyandang hambatan atau kecacatan) ke dalam programprogram sekolah adalah inklusi (inclusion-peny). Bagi sebagian besar pendidik, istilah ini dilihat sebagai deskripsi yang lebih positif dalam usaha-usaha menyatukan ABK dengan cara-cara realistis dan komprehensif dalam kehidupan pendidikan yang menyeluruh. (Smith, 2014) Pemerataan kesempatan belajar yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak hanya berlaku bagi anak normal, tetapi juga mencakup anak dengan kebutuhan khusus. Layanan Pendidikan untuk semua atau sekedar memenuhi hak -hak asasi manusia dan hak-hak anak, tetapi lebih penting lagi demi kesejahteraan anak dan kehidupannya dimasa datang. Hal ini mendorong munculnya fenomena Pendidikan Inklusi. Pendidikan Inklusi merujuk pada kebutuhan Pendidikan untuk semua anak dengan fokus spesifik pada mereka yang rentan terhadap marjinalisasi dan pemisahan. (Astuti dan Herawati, 2016) Pendidikan Inklusi merupakan proses menciptakan lingkungan yang ramah terhadap pembelajaran, dengan memanfaatkan semua sumber yang ada untuk memberikan kesempatan belajar dalam mempersiapkan mereka untuk dapat menjalani hidup dan kehidupan. Ada pun peranan sekolah dalam Pendidikan Inklusi adalah mengubah sikap siswa, guru, orang tua dan masyarakat. Menjamin semua siswa mempunyai akses terhadap Pendidikan dan mengikutinya secara menantang. Membuat rencana kelas untuk seluruhnya dan menjamin dukungan dan bantuan



7



yang tersedia (teman sebaya, guru, spesialis, orang tua dan masyarakat). (Astuti dan Herawati, 2016) Ada konsensus di antara organisasi-organisasi internasional tentang bagaimana mendefinisikan pendidikan inklusif. Banyak negara mendukung definisi ini, yang menekankan pendidikan inklusif sebagai premis penting untuk mengamankan hakhak pendidikan yang sama bagi semua siswa. Ide-ide dasar di balik pendidikan inklusif berhubungan dengan mendominasi dan nilai-nilai demokrasi umum dan keadilan sosial. Idealnya, inklusi muncul sebagai isu multi-dimensi, di mana unsurunsur yang berbeda dapat mendukung atau melemahkan satu sama lain. (Haug, 2017) Sebagian besar negara masih berlatih dikotomi antara pendidikan khusus dan biasa dalam konsep inklusi. Konsekwensinya adalah bahwa penempatan telah menjadi penentu dan telah memberikan kontribusi terhadap gagasan bahwa pendidikan inklusif adalah sebagian besar tentang bagaimana untuk mengatur mengajar. Proses reduksionis ini mengancam untuk mempersempit kompleksitas pendidikan inklusif untuk konsentrasi tunggal yang berorientasi pada penempatan siswa sebagai satu-satunya elemen, seperti dalam praktek integrasi sebelumnya. nilai-nilai neo-liberal dan individualis terbaru dan perkembangan mendorong pandangan ini. (Haug, 2017) Pendidikan inklusif akan dapat dimengerti secara keseluruhan jika setiap orang yang handak menerapkan pendidikan inklusif serta memahami setiap elemen di dalamnya. Elemen-elemen dalam pendidikan inklusif akan menciptakan sekolah yang ramah, terbuka, serta siaga atau dikenal dengan istilah “welcoming school”. Ada beberapa elemen-elemen yang diperlukan untuk memperlancar pembelajaran Pendidikan Inklusi yaitu : 2.1 Welcoming Teacher dan Pembelajaran yang Ramah A. Welcoming school Welcoming school dimaknai sebagai sekolah yang ramah, terbuka dan menjadi sekolah yang siaga. Ramah dimaksudkan sebuah sekolah menjadi tempat yang menyenangkan, nyaman, dan aman bagi setiap warga sekolah. Terbuka artinya setiap warga masyarakat (terutama masyarakat sekitarnya)



8



bisa dan mudah mengakses sekolah sebagai tempat untuk belajar, tanpa ada diskriminasi. Siaga artinya sekolah menjadi tempat untuk meningkatkan sumber daya, mengatasi berbagai permasalahan, bahkan diharapkan bisa mengentaskan masyarakat dari keterpurukan masa depan. Beberapa langkah yang bisa dilakukan agar sekolah mendapat predikat welcoming school antara lain: 1. Peraturan sekolah yang ramah. 2. Jemput bola dengan melakukan pendataan dan memotivasi masyarakat untuk bersekolah. 3. Mempertimbangkan aksebilitas. 4. Mempunyai tempat untuk aktivitas orang tua anak. 5. Sekolah yang melindungi siswa dari bahaya kecelakaan, penculikan, peredaran narkoba, dan kekerasan. 6. Sekolah yang mempertimbangkan kesehatan. B. Welcoming Teacher Sampai saat ini profesi pendidik masih mendapat tempat yang mulia di tengah-tengah masyarakat, walaupun diyakini tidak sebaik pada zaman dahulu. Perkembangan zaman, termasuk perkembangan teknologi membuat pergeseran cara pandang masyarakat terhadap guru. Apapun pergeseran yang ada, profesi guru tetap harus ada, sebab guru menjadi jembatan peralihan generasi ke generasi selanjutnya. Oleh karena itu guru dituntut kompetensinya. Setidaknya ada empat kompetensi



yang banyak dituntut



oleh masyarakat, yaitu kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, kompetensi pedagogik, dan kompetensi sosial. Bahkan sejak zamannya Ki Hajar Dewantara, guru dituntut untuk “ing ngarsa sing tulada, ing madya mangun karsa, tutwuri handayani”. (Yuwono dan Utomo, 2016) Munculnya paradigma pendidikan inklusif, selain kompetensi diatas, guru dipersyaratkan mempunyai predikat welcoming teacher. Welcoming Teacher dapat dimaknai menjadi guru yang ramah. Guru yang ramah bukan hanya berarti guru yang lemah lembut dan santun, akan tetapi mempunyai arti yang lebih luas yaitu guru yang dapat memenuhi kebutuhan peserta didik. Secara



9



garis besar kebutuhan siswa dapat dibagi menjadi tiga ranah yaitu kebutuhan pengembangan kognitif, afektif dan psikomotor. Pendidikan seringkali mengabaikan kebutuhan afektif dan biasanya lebih menonjolkan kebutuhan pemenuhan kognitif, bahkan seringkali guru tidak memahami akan kekuatan kognitif seseorang. Hal yang sering terjadi justru guru “memperkosa” kognitif anak. (Yuwono dan Utomo, 2016) Kebutuhan afektif anak antara lain kebutuhan akan rasa kasih sayang, harga diri, penghargaan dan sebagainya. Hal-hal yang bisa dilakukan untuk menjadi guru yang berstatus “Welcoming Teacher” adalah : 1. Guru harus mengetahui kondisi fisik maupun psikis peserta didik, termasuk kesehatan, inteligensi anak, sifat/karakter anak, dan sebagainya. 2. Guru



yang



penolong,



bukan



guru



yang



mudah



memberikan



hukuman/pamisment. 3. Guru yang tidak mempermalukan anak. 4. Guru yang dapat mengatasi jika ada anak yang dipermalukan oleh anak lain. 5. Guru yang empati terhadap hambatan belajar siswa. 6. Guru yang sesegera mungkin berusaha mengatasi hambatan belajar siswa. 7. Guru yang selalu memperhatikan perkembangan anak. 8. Guru yang dapat menjalin hubungan baik dengan orang tua anak dan pihak-pihak lainnya. (Yuwono dan Utomo, 2016) Inti dari guru yang ramah adalah guru yang sangat dinantikan kehadirannya oleh siswa. Jika guru tidak hadir maka siswa merasa ada sesuatu yang hilang. Jika anda seorang guru, anda bisa menganalisis apakah anda termasuk guru yang ramah (guru yang disenangi atau guru yang diharapkan kehadirannya oleh siswa) atau guru yang otoriter (guru ang galak/guru yang tidak disenangi atau guru yang tidak diharapkan kehadirannya oleh siswa), seperti contoh berikut. “ Kepala sekolah memberitahu kedapa siswa kelas III SD, bahwa guru yang biasa mengajar (Ibu Siti Hamidah) tidak hadir karena sakit. Kepala sekolah berkata, “anak-anak, hari ini Ibu Siti Hamidah tidak hadir karena



10



sakit....” Jika anak-anak bersorak gembira, maka bisa sebagai pertanda mungkin Bu Siti Hamidah tidak diharapkan kehadirannya, jika anak-anak mempertanyakan ketidakhadirannya dan merasa kehilangan, bisa dijadikan pertanda bahwa Ibu Siti Hamidah termasuk guru yang diharapkan kehadirannya (guru yang ramah).” (Yuwono dan Utomo, 2016)



2.2 Menekankan Kerjasama Daripada Persaingan Sifat kompetisi (bersaing) memang selalu ada pada diri manusia. Hal ini sudah menjadi kodrati. Namun, jika sifat tersebut tidak dikelola dengan baik bisa menimbulkan dampak yang tidak baik bagi diri seseorang maupun bagi orang lain. Sebagian orang mengatakan bahwa persaingan berpotensi menimbulkan sesuatu yang menyakitkan. Berbagai fenomena persaingan terbukti membuat kondisi yang sering tidak kondusif, misalnya dalam pertandingan sepakbola. Para pemain bisa saja suportif, namun terkadang para suporter yang sering tidak bisa menerima kekalahan, sehingga justru membuat kegaduhan, bahkan tidak jarang berujung kerusakan dan beberapa orang menjadi korban kematian (Yuwono & Utomo, 2016). Nuansa kompetisi juga selalu ada di lembaga pendidikan yang disebut sekolah. Kompetisi sering dijadikan cara oleh sekolah maupun orang tua untuk memotivasi belajar siswa. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa kompetisi cukup efektif untuk bisa meningkatkan motivasi belajar, bahkan prestasi belajar siswa. Sejauh ini belum dikaji secara mendalam apakah motivasi belajar dan



prestasi



yang



didorong



dengan



kompetisi



berdampak



kepada



perkembangan lainnya, misalnya perkembangan sosial dan emosi. Kompetisi bisa jadi dapat menghalalkan segala cara untuk meraihnya. Hal ini terkadang membuat seseorang tergadaikan kejujurannya hanya karena untuk meraih yang terbaik di sekolahnya (Yuwono & Utomo, 2016). Bisakah motivasi belajar dimunculkan dengan cara lain yang lebih ramah? Mari kita jawab dengan elemen pendidikan inklusif



yaitu bagaimana



menekankan kerjasama daripada persaingan. Elemen ini sebenarnya tidaklah sulit untuk dilakukan. Sebab secara kodrati manusia juga dituntut untuk selalu



11



bisa kerjasama. Dalam ilmu sosial, manusia disebut sebagai makhluk sosial, maknanya bahwa manusia ternyata tidak bisa hidup sendiri dan selalu memerlukan orang lain. Aktifitas kerjasama dalam belajar menjadi unsur yang penting dalam mengimplementasikan paradigma pendidikan inklusif. Jika kita analisa, sebenarnya kehidupan yang normal justru paling banyak dituntut untuk kerjasama. Misalnya di dunia pekerjaan, fenomena kerjasama antar jaryawan yang dipersyaratkan agar perusahaan bisa berkembang. Atas dasar gambaran tersebut, selaman ini terdapat kontradiktif antara fenomena di lembaga pendidikan dengan tempat dimana para lulusannya nanti bekerja. Di satu sisi, nuansa persaingan sangat kentara di sekolah dalam rangka mendewasakan peserta didik, namun disisi lain dimana mereka nantinya bekerja dituntut kerjasama. Memang tetap ada saja kompetisi di dunia kerja. Namun, kerjasama menjadi sebuah prioritas. Maka apakah tidak sebaiknya di lembaga pendidikan nuansa kerjasama bisa dijadikan prioritas dalam mendewasakan peserta didik? Bagaimana dengan motivasi belajar apakah masih bisa dimunculkan dengan “mengurangi” unsur kompetisi? Tentu saja masih bisa. Motivasi belajar siswa akan lebih langgeng dan bermakna jika didorong oleh sebuah kebutuhan. Guru sebaiknya memotivasi belajar siswa dengan memunculkan bahwa belajar sebagai sebuah kebutuhan (Yuwono & Utomo, 2016). Kerjasama akan mendidik siswa menjadi manusia yang santun, berlatih empati dan tentu untuk mengasah kepedulian sosial. Kerjasama juga akan membuat setiap siswa untuk saling melengkapi dan menerima. Kerjasama membuat semua siswa tidak ada yang tidak berperan. Manusia tidak ada yang sempurna. Pada diri manusia tentu ada kelebihan dan kekurangan. Kesempurnaan akan tercipta jika kita melakukan kerjasama. Membiasakan kerjasama membuat manusia berbudaya, berkarakter, saling menghargai, saling menyayangi sesama. Jika seseorang mempunyai sesuatu yang kurang, tentu membutuhkan uluran/bantuan orang lain. Betapa indahnya jika kerjasama tercipta dalam kehidupan (Yuwono & Utomo, 2016).



12



2.3 Kurikulum yang Fleksibel Idealnya, setiap indvidu siswa memerlukan kurikulum yang berbeda, karena setiap manusia adalah unik/berbeda. Salah satu keunikan menurut teori multiple inteligence (MI) yang dicetuskan oleh Prof. Dr. Howard Garner (1987) seorang psikolog dan ahli pendidikan dari Harvard University. Teori ini tidak hanya mengunggulkan kecerdasan IQ semata. Namun sebenarnya setiap individu memiliki banyak kecerdasan. Setiap individu memiliki satu atau lebih kecerdasan yang menonjol dalam dirinya. Semua kecerdasan bekerjasama secara unik dalam mengolah dan mereproduksi kembali informasi yang dibutuhkan. Menurut MI ada sembilan jenis kecerdasan yang telah ditemukan. Kesembilan jenis kecerdasan tersebut adalah verbal-linguistik atau lisanlinguistik, logika-matematika, spasial, kinestetik-jasmani, musik, intrapersonal (intrapribadi), interpersonal atau antarpribadi, natural, dan spiritual atau eksistensialis. Alasan lainnya ternyata setiap manusia mempunyai kondisi yang berbeda-beda (Yuwono & Utomo, 2016). Paradigma pendidikan inklusif memerlukan sistem kurikulum yang dapat mengakomodir perbedaan setiap siswa. Model kurikulum diferensiasi (differentiation curriculum) bisa diadopsi untuk dijadikan dasar penyusunan kurikulum disekolah yang menyelenggarakan paradigma pendidikan inklusif. Kurikulum diferensiasi adalah kurikulum yang disusun atas dasar keunikan setiap individu peserta didik. Subadi (2013) mengemukakan beberapa definisi kurikulum diferensiasi sebagai berikut : a. Kurikulum diferensiasi adalah kurikulum yang memberi pengalaman pendidika yang disesuaikan dengan minat dan kemampuan intelektual siswa (Ward, 1980). b. Kurikulum diferensiasi adalah kurikulum yang menantang sesuai dengan kemampuan siswa. Kurikulum yang mempunyai karakter cepat belajar, mampu menyelesaikan problem lebih cepat maupun keunggulan lain. c. Kurikulum berdiferensiasi adalah kurikulum nasional dan lokal yang dimodifikasi dengan penekanan pada materi esensial dan dikembangkan melalui sistem eskalasi yang dapat memacu dan mewadahi secara integrasi



13



pengembangan potensi peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan nasional (Yuwono & Utomo, 2016). Fleksibilitas kurikulum seharusnya diterapkan untuk setiap anak. Sekolah bisa menerapkan fleksibilitas kurikulum jika sekolah (dalam halini guru) mengetahui kondisi dan kemampuan (potensi) yang dimiliki oleh peserta didik dan hambatan yang dimiliki anak. Kemampuan guru dibidang identifikasi dan asesmen menjadi hal yang penting untuk bisa mengimplementasikan fleksibilitas kurikulum . identifikasi berarti menemukenali. Asesmen berarti segala upaya untuk mengumpulkan informasi tentang diri anak, baik potensi mapun hambatan anak. Potensi siswa perlu diketahui untuk digunakan dalam pemilihan/perencanaan program yang tepat pada diri anak. Misalnya seseorang yang mempunyai bakat dan minat musik, maka anak dibuatkan kurikulum yang dapat mengembangkan potensi musiknya. Masih banyak potensi-potensi lainnya ( tidak hanya bakat dan minat saja) seperti cara belajar anak, fisik anak, dsb (Yuwono & Utomo, 2016). Hambatan belajar anak tidak kalah pentingnya untuk diketahui. Proses identifikasi dan asesmen untuk menemukan hambatan belajar anak juga menjadi prioritas sebelum menangani anak. Jika hambatan belajar anak tidak terdeteksi oleh guru, hal ini sangat berpotensi terhadap buruknya perkembangan belajar anak dan menyebabkan siswa tidak termotivasi belajar, karena kesulitan demi kesulitan menghampiri anak. Hambatan belajar anak perlu diketahui sebagai bahan pertimbangan untuk penanganan yang diwujudkan dalam program pembelajaran (Yuwono & Utomo, 2016). Sekolah inklusif merupakan perkembangan baru dari pendidikan terpadu. Pada sekolah inklusif, setiap siswa sesuai dengan kebutuhan khususnya, semua diusahakan dapat dilayani secara optimal dengan melakukan berbagai modifikasi dan atau penyesuaian, mulai dari kurikulum, sarana dan prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, sistem pembelajaran, sampai pada sistem penilaiannya. Semua siswa dalam program pendidikan inkusif akan mendapatkan perlakuan yang sama di sekolah, yang membedakan yaitu siswa



14



berkebutuhan khusus aan mendapatkan pendampingan dari guru pendamping khusus. (Wahyudi & Kristiawati, 2016) Kurikulum dalam pendidikan inklusif hendaknya dapat disesuaikan dengan kebutuhan siswa, sehingga siswa tidak dipaksa untuk mengikuti kurikulum. Tarmansyah (2007) menjelaskan bahwa hendaknya sekolah yang harus menyesuaikan kurikulum dengan bakat dan potensi yang dimiliki siswa. Dalam pembelajaran inklusif, model kurikulum bagi siswa berkebutuhan khusus dikelompokkan menjadi empat, yaitu: A. Duplikasi kurikulum Model duplikasi kurikulum adalah model kurikulum untuk siswa berkebutuhan khusus yang menggunakan kurikulum dengan tingkat kesulitannya yang sama dengan siswa rata-rata atau reguler. Model kurikulum ini cocok untuk siswa tunanetra, tunarungu tunawicara, tunadaksa, dan tunalaras. Alasannya peserta didik tersebut tidak mengalami hambatan intelegensi. Namun demikian perlu memodifikasi proses, yakni siswa tunanetra



menggunakan



huruf



Braille,



dan



tunarungu,



tunawicara



menggunakan bahasa isyarat dalam penyampaiannya. B. Modifikasi kurikulum Modifikasi kurikulum adalah penggunaan kurikulum siswa rata-rata atau reguler disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan atau potensi siswa berkebutuhan khusus. Modifikasi kurikulum baik sebagian atau seluruh perangkat kurikulum mulai dari ranah tujuan (contohnya KD dan indikator materi), isi kurikulum, proses pembelajaran, maupun bentukevaluasinya. Tidak semua siswa berkebutuhan khusus memerlukan modifikasi pada seluruh perangkat kurikulum, karena biasanya cenderung hanya memerlukan sebagian modifikasi pada perangkat kurikulum. Mofifikasi penuh pada komponen kurikulum biasanya diberikan kepada anak yang mengaami ketunagrahitaan (keterbelakangan mental). Modifikasi kurikulum ke bawah diberikan kepada siswa tunagrahita, yaitu berkisar pada penurunan tingkat kesulitan materi pelajaran yang berimbas pada semua aspek tingkat kurikulum.



Untuk modifikasi kurikulum pada siswa



15



berkebutuhan khusus yang lain, modifikasinya disesuaikan dengan hambatan dan potensinya, seperti modifikasi kurikulum ke atas (eskalasi) untuk siswa cerdas dan berbakat (gifted and talented). C. Substitusi kurikulum Substitusi kurikulum adalah pergantian beberapa bagian kurikulum siswa rata-rata yang ditiadakan dan diganti dengan yang kurang lebih setara agar bisa menyesuaikan ABK. Model kurikulum ini untuk siswa berkebutuhan khusus dengan melihat situasi dan kondisinya. Jika materi untuk ABK yang ada di kurikulum tidak ada, maka akan dicari solusi yang lain. D. Omisi kurikulum Yaitu bagian dari kurikulum umum untuk mata pelajaran tertentu ditiadakan total, karena tidak memungkinkan bagi siswa berkebutuhan khusus untuk dapat berfikir setara dengan anak rata-rata. (Wahyudi & Kristiawati, 2016)



Menurut salah satu hasil penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli, yaitu dua kecenderungan model kurikulum, yaitu kategori ABK yang tidak memiliki hambatan kecerdasan dan kategori ABK yang memiliki hambatan kecerdasan. Berikut disajikan tabel hasil penelitian tersebut. Model/ko mponen Duplikasi



Tujuan KI/ SK √



KD √



Indika tor √



Proses



mate ri



Metode



media







soal



cara



alat











√ √



Modifikasi Substitusi



Evaluasi











omisi Tabel 1. Kecenderungan Model Kurikulum ABK (Kategori ABK yang tidak memiliki hambatan kecerdasan) (Sumber : Rudiyati, 2014)



16



Model/ko mponen



Tujuan KI/ SK



KD



Indika tor



Proses



mate



Evaluasi



ri



Metode



media



soal



cara



alat



























Duplikasi Modifikasi















Substitusi







omisi







Tabel 2. Kecenderungan Model Kurikulum ABK (Kategori ABK yang memiliki hambatan kecerdasan) (Sumber : Rudiyati, 2014)



17



BAB III PENUTUP



3.1 Kesimpulan Pendidikan Inklusi merupakan proses menciptakan lingkungan yang ramah terhadap pembelajaran, dengan memanfaatkan semua sumber yang ada untuk memberikan kesempatan belajar dalam mempersiapkan mereka untuk dapat menjalani hidup dan kehidupan. Pendidikan inklusif akan dapat dimengerti secara keseluruhan jika setiap orang yang handak menerapkan pendidikan inklusif serta memahami setiap elemen di dalamnya. Ada beberapa elemen-elemen



yang



diperlukan



untuk



memperlancar



pembelajaran



Pendidikan Inklusi, yaitu : 1. Welcoming school atau pembelajaran yang ramah dimaknai sebagai sekolah yang ramah, terbuka dan menjadi sekolah yang siaga, dan Welcoming Teacher yang berarti guru yang ramah, yaitu guru yang dapat memenuhi kebutuhan peserta didik. 2. Menekankan kerjasama daripada persaingan. Kerjasama akan mendidik siswa menjadi manusia yang santun, berlatih empati, mengasah kepedulian social, serta membuat setiap siswa untuk saling melengkapi dan menerima. 3. Kurikulum yang fleksibel. Dalam pembelajaran inklusif, model kurikulum bagi siswa berkebutuhan khusus dikelompokkan menjadi empat, yaitu duplikasi kurikulum, modifikasi kurikulum, substitusi kurikulum, dan omisi kurikulum.



3.2 Saran Pendidikan inklusi merupakan hal yang sangat penting mengingat sebagian orang di sekitar kita tidak memiliki fisik dan mental yang sempurna. Agar terciptanya pendidikan inklusi yang mampu menopang pendidikan ABK, hendaknya pemerintah dan masyarakat perlu melakukan kerjasama yang seimbang demi mewujudkan hal tersebut, seperti merevisi dan mengembangkat perangkat peraturan yang mengatur pendidikan inklusi, serta bagi masyarakat



18



bisa lebih mengedukasi diri dengan mengikuti penyuluhan, pelatihan, dan kegiatan literasi. Dengan begitu, manfaat pendidikan akan bisa dirasakan oleh semua orang secara merata tanpa memandang kasta apapun.



19



DAFTAR PUSTAKA



Astuti, R dan V. D. Herawati. (2016) . Optimalisasi Peran Sekolah Inklusi . Jurnal Pegabdian pada Masyarakat . 1 (1), 28-47. ISSN: 2540-8747 Haug, P. (2017). Understanding Inclusive Education : Ideals and Reality. Scandinavian Journal Of Disability Research. 19 (3), 206-217. http://dx.doi.org/10.1080/15017419.2016.1224778 Rudiyati, S. (2014). Pengembangan Kurikulum Adaptif di Sekolah Inklusif. Diakses pada



11



September



2019



dari



http://staff.uny.ac.id/sites/deafult/files/pengabdian/dr-sari-rudiyatimpd/kurikulum-adaptif-di-sekolah-inklusif.pdf. Smith, J.D. (2014). Sekolah Inklusi : Konsep dan Penerapan Pembelajaran. Bandung : Nusa Cendekia. Wahyudi dan R. Krisnawati. (2016) . Gambaran Sekolah Inklusif Di Indonesia : Tinjauan Sekolah Menengah Pertama. Jakarta: Kemendikbud. Yuwono, I. dan Utomo. (2016). Pendidikan Inklusif : Paradigma Pendidikan Ramah Anak. Banjarmasin: Pustaka Banua



20