Karya Sastra Mutakhir [PDF]

  • Author / Uploaded
  • Siska
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KARYA SASTRA MUTAKHIR BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Dalam perjalanan sejarah kesusastraan Indonesia, kita mengenal adanya sejumlah penyebutan tentang penggolongan, periodesasi atau angkatan. Penyebutan itu tentu saja tidak serta-merta muncul begitu saja. Selalu ada usaha untuk merumuskan semangat yang melatarbelakanginya atau gerakan estetik yang mendasari karya-karya yang muncul sejalan dengan semangat zamannya. Sejak tahun 1968, dan terutama paroh pertama tahun 1970-an, bermunculanlah karya sastra yang memperlihatkan semangat kebebasan berkreasi. Pada masa itu, berbagai karya eksperimental seperti memperoleh lahan yang subur dan momentum yang baik. Karya-karya eksperimental itu mencakupi semua ragam sastra (puisi, novel dan cerpen, dan drama). Maka, di antara karyakarya yang konvensional yang terbit tahun 1970-an, tidak sedikit pula yang memperlihatkan semangat kebebasan itu yang diejawantahkan dalam bentuk karya-karya eksperimental. Dalam tahun 1970-an itu, justru makin memperlihatkan kematangannya. Jika disederhanakan, sastrawan tahun 1970-an, berdasarkan karya-karya yang dihasilkannya, dapat dibagi ke dalam tiga kelompok. Pertama, mereka yang termasuk Angkatan 66 atau yang telah berkarya pada dasawarsa tahun 1960-an, bahkan sudah sejak dasawarsa tahun 1950-an, tetapi mulai makin matang pada tahun 1970-an. B. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.



Rumusan Masalah Apa sajakah yang termasuk sastra mutakir? Apa sajakah ciri-ciri cerpen mutakhir? Apa sajakah ciri-ciri prosa fiksi mutakhir? Apa sajakah ciri-ciri prosa fiksi leterer? Apa sajakah ciri-ciri novel Indonesia mutakhir? Apa sajakah ciri-ciri puisi 70-an? Siapa sajakah pengarang wanita pada angkatan 70-an?



C. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.



Tujuan Pembuatan Makalah Agar pembaca mengetahui jenis-jenis sastra mutakhir Agar pembaca mengetahui ciri-ciri cerpen mutakhir Agar pembaca mengetahui ciri-ciri prosa fiksi Agar pembaca mengetahui ciri-ciri prosa fiksi leterer Agar pembaca mengetahui ciri-ciri novel Indonesia mutakhir Agar pembaca mengetahui ciri-ciri dan contoh puisi 70-an Agar pembaca mengetahui pengarang wanita angkatan 70-an



BAB II PEMBAHASAN A. Karya Sastra Mutakhir Pada angkatan 70-an tumbuh dengan subur penulis dan buah penanya dibidang puisi dan drama. Motif dasar pergeseran dari moderen ke mutakhir adalah perubahan dibidang wawasan, alur, gaya bahasa, penafsiran, tentang latar, serta bidang material dan sosial. Sebelum massa mutakhir selalu didukung oleh paham realitas formal yang tampang biologis, realitas sosial dan psikologis. Tidak merasa bahwa tokoh-tokoh Mahabrata, Ramayana, Arjuna Wiwaha, Dewa Ruci ataupun dogeng-dogeng yang hidup di desa-desa bukalah tokoh realisme formal ataupun ada dalam bayangan imajinasi sastra/manusia. Kalau formal saja tidak jelas bentuk realitanya. Dunia mengikuti daya khayal manusia untuk membayangkan dan menelusuri tentang keadaan diri, oranglain, dunia dan alam semesta sekitarnya. Misalnya: Dogeng setan bermata satu atau bermata empat, ular jadi manusia atau ular jadi setan dan sebaliknya. Dalam massa mutakhir ini tokoh-tokoh novel jelas dalam anonimitas seperti novel Iwan Simatupang bukan fisik yang di jamah tetapi dalam imajinasi tidak terkukung batas daging dan darah. Novel-novel arus baru berlawanan dengan anti sosiologi, psikologi serta antropologi dengan kesadaran pribadi diutamakan dan bersifat anti hero, anti intelektualisme, anti materialisme, dan anti sosialisme. Misi atau dasar filsafat arus baru mutakhir adalah manusia mempunyai potensi yang unik yang penting ada dialog antara tokoh dengan pengarangnya. Karya-karya sastra kebanyakan bersifat misterius karena bukan berhadapan dengan kenyataan, tidak mungkin ada dialog dengan sesuatu misteri dan hasilnya tidak komunikatif. a. Cerpen Mutakhir Indonesia Cerpen mutakhir Indonesia berwarna literer bukan sekedar berbobot karena sulit dimengerti isinya dan sukar ditangkap maknanya sebab dengan filsafat tinggi dan melawan logika. b. Ciri-ciri Prosa Fiksi Pada tahun 70-an : materinya kehidupan remaja, mahasiswa, pelajar, dan lingkungan orang berada. Masalahnya cinta dan segala liku-likunya dan bahasanya adalah bahasa sehari-hari dan bahasa prokem sedangkan gaya ceritanya tidak berbelit-belit, menggunakan plot, dan disusun secara kronologis. Latar yang digunakan sering dikampus, di sekolah, kota besar, pantai, di gunung ataupun di lembah. Dengan menggunakan ciri-ciri diatas maka cerpen tersebut dinamakan cerita fiksi populer. Dalam cerpen tema tidak terlalu dipentingkan, yang dipentingkan adalah jalan cerita yang penuh ketegaan cerita fiksi populer menyajikan suasana kemudahan, kejelekan dan kenyamanan hidup, mudah dimengerti sederhana dan dapat dimengerti banyak orang. c. Ciri-Ciri Prosa Fiksi Leterer 1. Materi yang diangkat adalah masalah hidup yang kompleks seperti politik dan keyakinan filsafat. 2. Tatanan kata yang primatis ,menyebar makna ,gaya bahaya lebih memberikan itensitas makna.



3. Gaya pemaparannya cenderung unik dan berbelit-belit 4. Pemakaian setting atau latar kurang jelas dimana dan kapan persitiwa terjadi. 5. Karakter tokoh dalam cerita fiksi leterer perwatakannya kurang jelas. d. Novel Indonesia Mutakhir Pengertian novel mutakhir secara sederhana adalah novel yang hidup pada masa sekarang. Novel mutakhir dianggap sebagai novel inkonvensional karena dianggap menyimpang dari semua sistem penulisan fiksi yang ada selama ini. Novel mutakhir muncul dilatarbelakangi adanya pergeseran nilai secara menyeluruh dan persoalan kehidupan. Novel Indonesia mutakhir memiliki ciri-ciri yaitu: Anti tokoh. 2. Anti alur. 3. Bersuasana misteri atau gaib. 4. Cenderung mengungkapan transendental, sufistik. 5. Cenderung kembali ke tradisi lama atau warna lokal Contoh novel : Pada Sebuah Kapal, Nh. Dini 1.



1. 2. 3. 4.



1.



a. b. c. d. e. f. 2. a. b. c. d. e.



Ciri-ciri : Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia yang kadang dipengaruhi oleh bahasa Inggris. Cara bercerita dalam karya sastra modern singkat, padat, dan tegas. Tema yang diangkat telah mendapat pengaruh politik, kebudayaan akar tradisi, dan psikologi. Bahasa yang digunakan santai dan dinamis.



e. Puisi 70-an Struktur Fisik Puisi bergaya mantera menggunakan sarana kepuitisan berupa : ulangan, kata, frase, atau kalimat. Gaya bahasa paraleisme dikombinasikan dengan gaya hiperbola untuk memperoleh efek yang sebesar-besarnya serta menonjolkan tipografi. Puisi kongret sebagai eksperimen. Banyak menggunakan kata-kata daerah untuk memberi kesan ekspresif. Banyak menggunakan permainan bunyi. Gaya penulisan yang prosais. Menggunakan kata yang sebelumnya tabu. Struktur Tematik Protes terhadap kepincangan masyarakat pada awal industrialisasi. Kesadaran bahwa aspek manusia merupakan subyek dan bukan obyek pembangunan. Banyak mengungkapkan kehidupan batin religius dan cenderung mistik. Cerita dan pelukisan bersifat alegoris dan parabel. Perjuangan hak-hak asasi manusia, kebebasan, persamaan, pemeratan dan terhindar dari pencemaran teknologi modern.



f.



Kritik sosial terhadap si kuat yang bertindak sewenang – wenang terhadap mereka yang lemah dan kritik terhadap penyeleweng.



3. 1. 2. 3. 4. 5.



Tema-tema puisi angkatan 70-an Protes kepincangan sosial dan dampak negatif dan idustrialisasi . Tema humanisme artinya manusia adalah subjek pembangunan. Tema yang melukiskan kehidupan batin para religius. Tema alegori dan parabel. Tema perjuangan hak asasi manusia seperti kebebasan,persamaan hak, pemerataan bebas dan pencemaran hidup. 6. Tema kritis sosial terhadap tindakan sewenang-wenang dari mereka yang menyelewengkan kekuasaan jabatan nasib masyarakat dan lain-lain. Contoh puisi a. Karya Emha Ainun Najib “ Puisi Perjalanan” Hendaklah puisiku lahir dari jalanan Dari desah nafas para pengemis gelandangan Jangan dari gedung-gedung besar Dan lampu gemerlapan Para pengemis yang lapar Langsung menjadi milik Tuhan sebab rintihan mereka tak lagi bisa mengharukan b. Karya Yusdistira Ardinugraha “Puisi Biarin” Kamu bilang hidup ini brengsek, aku bilang biarin Kamu bilang hidup ini tak punya arti, aku bilang biarin Kamu bilang aku tak punya kepedulia, aku bilang biarin Kamu bilang aku tak punya pengertian, aku bilang biarin Habisnya terus terang saja, aku ngak percaya sama kau Cuma karena kamu merasa asing saja, makanya Kamu selalu bilang seperti itu B. Karya Sastra Dari Pengarang Wanita Dalam sejarah sastra Indonesia, tidak banyak pengarang perempuan dan karya-karya yang dihasilkan. Pada periode atau angkatan Balai Pustaka hanya ada Hamidah yang menulis Kehilangan Mustika yang terbit pada 1935. Nama lain dari Fatimah Hasan Delais ini dilahirkan pada 8 Juni 1914 di Bangka (Palembang) dan meninggal pada 8 Mei 1953 (Eneste, 1990:69). Sementara pada periode atau angakatan Pujangga Baru ada pengarang perempuan bernama Selasih, Saleguri atau Sariamin. Perempuan yang lahir di Talu (Sumatera Barat), 31 Juli 1909 ini mengenyam pendidikan guru dan pernah menjadi guru di Bengkulu dan Bukit Tinggi. Pernah juga menjadi ketua Jong Islamieten Bond Dames Afdeling Cabang Bukit tinggi (1928-1930) dan



anggota DPRD Riau (1947-1948). Karya-karyanya: Kalau Tak Untung (novel, 1933), Pengaruh Keadaan (novel, 1937), Rangkaian Sastra (1952), sejumlah cerita anak-anak, legenda, dan sejumlah puisi yang tersebar dalam berbagai antologi (Eneste, 1990:164). Selain itu, juga ada pengarang wanita lain seperti Sa’adah Alim dan Nursjamsu (Sugihastuti, tt:23). Pada periode atau angkatan 45 ada beberapa penulis wanita seperti S. Rukiah, Ida Nasution, dan Siti Nuraini (Sumardjo, 1992:139-140). S. Rukiah lahir di Purwakarta, 25 April 1927. Setelah selesai menjalani pendidikannya di Sekolah Guru, dia kemudian menjadi guru di Purwakarta. Pernah pula menjadi sekretaris majalah Pujangga Baru (sesudah Perang) dan anggota Pimpinan Pusat Lekra (1959-1965). Karya-karyanya: Tandus (kumpulan sajak, 1952 memenangkan Hadiah Sastra Nasional BMKN), Kejatuhan dan Hati (novel, 1950), Si Rawun dan Kawan-kawannya (cerita anak, 1955), dan lain-lain (Eneste, 1990:172). Karena keterlibatannya dengan Lekra itulah hingga kini karya-karya S. Rukiah masih belum dicabut pelarangannya (Kratz, 2000:561-574). Padahal, pengarang perempuan ini cukup produktif. Ida Nasution lahir 1924 dan meninggal 1948 (dalam perjalanan Jakarta Bogor). Pernah belajar di Fakultas Sastra UI tetapi tidak tamat. Dia pernah menjadi redaktur “Gelanggang”/Siasat dan Het Inzicht. Ida Nasution pernah menerjemahkan Le Conquerants atau “Pemenang” karya Andre Gide (Eneste, 1990:79). Sementara itu, Siti Nuraini lahir di Padang, 6 Juli 1930. Perempuan ini pernah belajar di Fakultas Hukum UI tetapi tidak tamat. Dia juga pernah menjadi redaktur “Gelanggang”/Siasat. Karyakaryanya berupa sejumlah puisi yang tersebar dalam berbagai antologi dan terjemahan Le Petit Prince karya Antoine de Saint-Exupéry tahun 1952 (Eneste, 1990:165-166). Pada periode 1950an (semasa generasi majalah Sastra dan Kisah) ada Widia Lusia Zulia (Sumardjo, 1992:207). Menginjak periode 1960-an dan 1970-an kemudian muncul sejumlah nama yang makin memeriahkan dunia pengarang perempuan dalam sastra Indonesia. Bahkan banyak di antara mereka yang hingga kini masih tetap produktif. Nama-nama pengarang tersebut secara alfabetis yaitu: Agnes Sri Hartini Arswendo, Aryanti, Asnelly Luthan, Boen S. Oemaryati, Diah Hadaning, Farida Soemargono, Ida Ayu Galuhpethak, Ike Soepomo, Ima Suwandi, Iskasiah Sumarto, Isma Sawitri, La Rose, Marga T., Maria A. Sardjono, Marrianne Katoppo, Mira W., N.H. Dini, Nana Ernawati, Nina Pane, Poppy Donggo Hutagalung, Rayani Sriwidodo, Rita Oetoro, S. Mara GD, S. Tjahjaningsih, Samiati Alisjahbana, Susy A. Aziz, Suwarsih Djajapuspito, Th. Sri Rahayu Prihatmi, Titie Said, Titis Basino, Toety Herati Noerhadi, V. Lestari, Waluyati. Pada periode tersebut memang muncul pengarang-pengarang perempuan yang jumlahnya lumayan banyak bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Dalam bidang puisi paling tidak ada sederet nama seperti: Toeti Heraty, N. Susy Aminah Aziz, Diah Hadaning, Isma Sawitri, M. Poppy Donggo Hutagalung, Rayani Sriwidodo, Upita Agustin, Agnes Sri Hartini Arswendo, Asnelly Luthan, dan Tuti Kuswardani (Rampan, 1984:38-112). Sementara dalam bidang fiksi muncul nama-nama semacam N.H. Dini, Mariane Katoppo, Iskasiah Sunarto, Maria A. Sardjono, Marga T, Th. Sri Rahayu Prihatmi, Titis Basino P.I., Totilawati Tjitrawasita, Aryanti (nama lain Haryati Soebadio), dan lain-lain (Rampan, 1991:9191). Pada dekade 1970-an tersebut, banyak sastrawan menyaksikan kesuksesan novel-novel NH. Dini yang tidak mampu diimbangi oleh novel-novel dari pengarang pria pada saat itu. Kesuksesan tersebut dikarenakan faktor tema yang tepat, maksudnya pada saat itu tema karya sastra yang tengah digemari oleh publik adalah tema percintaan dengan segala seginya.



Disamping itu, faktor yang menyebabkan suksesnya novel pengarang wanita adalah timbul massa pembaca wanita terpelajar, ditambah dengan situasi politik yang relatif tenang, hingga masuknya teknologi modern (Sumadjo, 1979 : 117) Kesuksesan novel pengarang wanita oleh karena timbul massa pembaca wanita terpelajar pada sekitar dekade 1970-an dipengaruhi oleh adanya pengaruh paham feminisme yang mulai memasuki Indonesia sesudah masa revolusi. Paham feminisme sendiri menurut Goefo (Sugihastuti, 2003) merupakan teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan baik di bidang politik, ekonomi, dan sosial, atau kegiatan terorganisasi yang diperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan. Jika dikaitkan dengan hal ini, berarti bisa dikatakan bahwa kaum wanita benar-benar mendapatkan persamaan hak mereka mulai atau sekitar tahun 1950-an, karena pada waktu itu kaum wanita baru memperoleh kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang sama dan terbuka seperti pria. Sehingga setelah tahun tersebut, banyak terlahir wanita-wanita yang menjadi konsumen “bacaan wanita” atau bisa disebut dengan massa pembaca wanita terpelajar. Setelah dekade 1970-an, perjalanan pengarang wanita Indonesia dalam sejarah kesusastraan dilanjutkan oleh munculnya pengarang wanita baru seperti Ayu Utami lewat Saman (1998), dan Larung (2001). Diikuti oleh gebrakan Dewi Lestari dengan Supernova (2001), Akar (2002), dan Fira Basuki dengan Jendela-jendela (2001) yang merupakan bagian pertama dari trilogi Pintu (2002) dan Atap (2002). Pengarang-pengarang wanita tersebut mencoba berkarya dengan mengembangkan perspektif feminisme. Contoh kasus feminisme yang dikaitkan pada karya sastra saya ambil dari karya era 70-an yaitu Raumanen karya Marjanne Katoppo dan cerpen Menyusu Ayah karya Djenar Maesa Ayu. Dalam novel Raumanen dikisahkan romansa Manen dan Monang. Manen yang hamil tidak juga mendapat kepastian dari Monang untuk menikahinya, Monang justru hendak menikah dengan gadis lain pilihan keluarganya. Manen yang tidak sanggup menahan malu dari lingkungannya akhirnya bunuh diri. Sedangkan bila dilihat dari cerpen Menyusu Ayah jelas terlihat bagaimana sang penulis telah menyakiti tokoh secara seksual. Jika dibandingkan antara keduanya, jelas sekali sebuah perbedaan yang mendasar dalam cakupan feminisme antara karya dulu dengan karya sekarang. Dalam Raumanen, Marjanne Katoppo belum seberani Djenar dalam menuliskan jalan ceritanya. Dia lebih memutuskan Manen membunuh diri sendiri daripada membunuh Monang. Sedangkan Djenar lebih berani dalam menyakiti tokoh secara seksual. Inilah suatu gambaran tentang feminisme yang terkandung dalam karya sastra.



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Misi atau dasar Filsafat arus baru mutakhir adalah manusia mempunyai potensi yang unik yang penting ada dialog antara tokoh dengan pengarangnya. Karya-karya sastra kebanyakan bersifat misterius karena bukan berhadapan dengan kenyataan, tidak mungkin ada dialog dengan sesuatu misteri dan hasilnya tidak komunikatif.



Munculnya angkatan 70-an karena adanya pergeseran sikap berpikir dan bertindak dalam menghasilkan wawasan estetik dalam menghasilkan karya sastra bercorak baru, baik di bidang puisi, prosa maupun drama. Pergeseran ini mulai kelihatan setelah gagalnya kudeta G30 S/PKI. Dalam periode 70-an pengarang berusaha melakukan eksperimen untuk mencoba batas-batas berupa kemungkinan bentuk baik prosa, puisi drama semakin tidak jelas. B. Saran Agar sastra mutakhir lebih menarik pada saat itu, harusnya setiap karya yang dihasilkan menceritakan hal yang tidak hanya bersifat misterius atau khayalan tetapi juga mengisahkan cerita yang realitis atau kenyataan. Eksperimen untuk menciptakan karya-karya baru memang diperlukan, namun harus tetap memperhatikan batas-batasnya agar karya sastra yang dihasilkan lebih jelas dan mudah dimengerti oleh penikmat sastra.