Kearifan Lokal Masy NTT [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

3.5. Potensi Kearifan Lokal Masyarakat Kabupaten Lembata memiliki cukup banyak potensi kearifan lolal yang berhubungan erat dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut (pemanfaatan dan konservasi). Hasil inventarisasi kearifan lokal pada lokasi penelitian adalah Badu, Muro, Kolo Umen Bale Lamaq, Poan Kemer Puru Larang, Toto, Bito Berue, Lepa Nua Dewe, Bruhu Bito dan Leffa Nuang.Penjelasan manfaat dan makna dari masing-masing keraifan lokal adalah sebagai berikut: •Badu; merupakan suatu tradisi adat masyarakat Watodiri dan Dulitukan yang bersifat larangan untuk mengambil/menangkap hasil-hasil laut pada suatu wilayah perairan selama periode waktu tertentu. Masyarakat dapat menangkap atau mengambil PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com Stefanus Stanis, Supriharyono, Azis Nur Bambang, Pengelolaan Sumberdaya Pesisir ... 78 setelah mendapat restu dari penguasa ulayat dan melalui upacara ritual. • Muro; merupakan suatu kesepakatan dan tradisi adat yang bersifat larangan kepada masyarakat dan nelayan di Lamatokan untuk tidak menangkap ikan di wilayah perairan tertentu. • Kolo umen bale lamaq; merupakan tradisi/upacara adat dalam memberi makan kepada penguasa di laut sebelum melakukan panangkapan, budidaya atau penanaman bakau. Bermakna dalam hasil penangkapan, keselamatan dan juga dapat bermakna larangan. • Poan kemer puru larang merupakan suatu tradisi adat yang bersifat larangan untuk tidak boleh mengambil/menangkap teripang selama periode waktu tertentu. Masyarakat hanya dapat menangkap/mengambil setelah mendapat restu dari Ata Molang dan



didahului dengan upacara ritual. Juga larangan untuk tidak boleh merusak sumberdaya lainnya seperti mangrove dan terumbu karang. • Toto; merupakan tradisi adat/acara ritual yang dilakukan oleh masyarakat nelayan sebelum melepas sampan/juku baru dan pukat baru. Bermakna terhadap hasil tangkapan, kebersamaan, keselamatan nelayan dan alat tangkap itu sendiri. • Bito Berue; tradisi adat/acara ritual yang dilakukan oleh masyarakat nelayan sebelum melepas sampan/juku baru. Bermakna terhadap hasil tangkapan, keselamatan nelayan dan alat tangkap itu sendiri. • Lepa Nua Dewe; merupakan tradisi adat/acara ritual yang dilakukan oleh masyarakat nelayan sebelum melepas pukat baru yang berukuran kecil ( noro ) khusus untuk menangkap ikan serdin dan tembang yang biasanya muncul pada musim-musim tertentu. Bermakna terhadap hasil tangkapan, keselamatan nelayan dan alat tangkap itu sendiri. • Bruhu Bito; merupakan tradisi adat/acara ritual yang dilakukan oleh masyarakat nelayan sebelum melepas pukat baru untuk menangkap jenis ikan-ikan yang lebih besar, selain ikan serdin dan tembang. Bermakna terhadap hasil tangkapan, keselamatan nelayan dan alat tangkap itu sendiri. • Tulalou Wate; merupakan tradisi adat dalam memberi makan kepada arwah/roh leluhur yang meninggal di laut dengan makna agar ikan-ikan



berkumpul pada suatu tempat sehingga mudah ditangkap. • Leffa Nuang; merupakan budaya perburuan ikan paus yang dimiliki oleh PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com Jurnal Pasir Laut, Vol.2, No.2, Januari 2007 : 67-82 79 masyarakat nelayan Lamalera pada setiap bulan Mei sampai Oktober dan dilaksanakan dengan melalui berbagai acara ritual baik secara adat maupun secara religius. Leffa Nuang dilaksanakan melalui tahapan-tahapan: Tobu Nama Fatta, Misa Arwah, Misa Leffa dan Tena Fulle. Hal yang menarik dari macammacam kearifan lokal yang dimiliki masyarakat pesisir adalah bahwa mereka begitu menyadari akan betapa pentingnya sumberdaya pesisir dan laut dalam menopang kehidupan mereka. Tindakan yang bersifat destruktif terhadap kekayaan sumberdaya alam pesisir dan sistem penangkapan yang tidak ramah lingkungan hampir tidak pernah terjadi. Semacam ada rasa takut, mereka percaya jika tindakan mereka tidak sesuai dengan kehendak alam, bersifat merusak, lambat laun cepat atau lambat mereka akan mengalami resiko. Resiko yang dihadapi dapat berupa sakit yang tidak dapat diobati, jatuh dari pohon, tenggelam di laut, digigit ular atau ikan besar (hiu, paus). Makna lain yang dapat disimak dari kearifan lokal/tradisional yang dimiliki oleh masyarakat pesisir di lokasi penelitian yakni selalu tercipta suasana kekerabatan dan kegotong royongan di antara masyarakat nelayan. Selalu tercipta hubungan sosial yang harmonis, saling membantu, karena itu perilaku curi, bersaing yang tidak sehat dan saling merusak perlengkapan penangkapan nelayan tidak pernah terjadi. Dengan demikkian dalam memanfaatkan



sumberdaya tidaklah bersifat serakah. Semacam ada pesan moral bagi mereka bahwa mereka hanya boleh menangkap untuk kepentingan hidup mereka (konsumsi), atau dijual untuk keperluan yang lain. Penangkapan dalam jumlah yang banyak dan besar-besaran tidak terjadi. Mereka mempersepsikan kearifan lokal sebagai suatu yang dapat menata kehidupan baik antar mereka sebagai komintas sosial maupun dengan alam sebagai komunitas ekologis. Mereka menyadari pula bahwa eksistensi kehidupan mereka tidak terlepas dari eksistensi kehidupan makhluk lain dalam bumi yang satu sama ini. Oleh karena itu bagi nelayan lokal, ketaatan dan kepatuhan terhadap aturan adat, kearifan dan tradisi yang ada sangat dijunjung tinggi. Di lain pihak, masyarakat pesisir mempunyai respons yang pesimistis terhadap implementasi dan penegakan hukumhukum formal yang berlaku sekarang. Banyak kenyataan penerapan dan penegakan hukum terhadap pelaku pengrusakan lingkungan penyelesaiannya tidak jelas dan tidak membuat jera terhadap pelaku. PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com Latar Belakang Di Indonesia, sumberdaya dan keanekaragaman hayati sangat penting dan strategis artinya bagi keberlangsungan kehidupannya sebagai bangsa. Hal ini bukan semata-mata karena posisinya sebagai salah satu negara terkaya di dunia dalam keanekaragaman hayati (megabiodiversity), tetapi justru karena keterkaitannya yang erat dengan kekayaan keanekaragaman budaya lokal yang dimiliki bangsa ini (mega-cultural diversity). Para pendiri negara-bangsa (nation-state) Indonesia sejak semula sudah menyadari bahwa negara ini adalah negara kepulauan yang majemuk sistem politik, sistem hukum dan sosial-budayanya. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika secara filosofis menunjukkan penghormatan bangsa Indonesia atas kemajemukan atau keberagaman sistem sosial yang dimilikinya. Ketergantungan dan tidak-terpisahan antara pengelolaan sumberdaya dan keanekaragaman hayati ini dengan sistem-sistem sosial lokal yang hidup di tengah masyarakat bisa secara gamblang dilihat dalam kehidupan sehari-hari di daerah pedesaan, baik dalam komunitaskomunitas masyarakat adat yang saat ini populasinya diperkirakan antara 50 70 juta orang, maupun dalam komunitas-komunitas lokal lainnya yang masih menerapkan sebagian dari sistem sosial berlandaskan pengetahuan dan cara-cara kehidupan tradisional. Yang dimaksudkan dengan masyarakat adat di sini adalah mereka yang secara tradisional



tergantung dan memiliki ikatan sosio-kultural dan religius yang erat dengan lingkungan lokalnya. Batasan ini mengacu pada Pandangan Dasar dari Kongres I Masyarakat Adat Nusantara tahun 1999 yang menyatakan bahwa masyarakat adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul secara turun-temurun di atas satu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat. Sudah banyak studi yang menunjukkan bahwa masyarakat adat di Indonesia secara tradisional berhasil menjaga dan memperkaya keanekaan hayati alami. Adalah suatu realitas bahwa sebagian besar masyarakat adat masih memiliki kearifan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain sesuai kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem setempat. Mereka umumnya memiliki sistem pengetahuan dan pengelolaan sumberdaya lokal yang diwariskan dan ditumbuh-kembangkan terus-menerus secara turun temurun. Sampai saat ini hanya sebagian yang sangat kecil saja yang dikenal dunia ilmu pengetahuan modern tentang sistem-sistem lokal ini. Contoh di antaranya adalah pranata adat sasi yang ditemukan disebagian besar Maluku yang mengatur keberlanjutan pemanfaatan atas suatu kawasan dan jenis-jenis hayati tertentu. Contoh lainnya yang sudah banyak dikenal adalah perladangan berotasi komunitas-komunitas adat Orang Dayak di Kalimantan berhasil mengatasi permasalahan lahan yang tidak subur. Komunitas-komunitas lokal di pedesaan yang tidak lagi mendefenisikan dan menyebut dirinya sebagai masyarakat adat, juga secara berkelanjutan menerapkan kearifan (pengetahuan dan tata cara) tradisional ini dalam kehidupannya, termasuk dalam memanfaatkan sumberdaya dan keanekaragaman hayati untuk memenuhi kebutuhannya seperti pengobatan, penyediaan pangan, dan sebagainya. Masa depan keberlanjutan kehidupan kita sebagai bangsa, termasuk kekayaan sumberdaya dan keanekaragaman hayati yang dimilikinya, berada di tangan masyarakat adat yang berdaulat memelihara kearifan adat dan praktek-praktek pengelolaan sumberdaya alam yang sudah terbukti mampu menyangga kehidupan dan keselamatan mereka sebagai komunitas dan sekaligus menyangga fungsi layanan ekologis alam untuk kebutuhan mahluk lainnya secara lebih luas. Keberpihakan terhadap kearifan tradisional dengan segala pranata sosial yang mendukungnya merupakan modal awal yang utama bagi pengabdian kita terhadap keberlanjutan kehidupan kita di Indonesia. II. PEMBAHASAN Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat (PSPBM) yang merupakan proses pemberian wewenang, tanggungjawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumberdaya perikanannya sendiri telah menjadi populer pada saat ini. Namun pengelolaan sumberdaya ini masih memiliki kelemahan yang bila tidak diselesaikan dapat membuat rezim ini tidak efektif pelaksanaannya. Beberapa kelemahan ini adalah bahwa PSPBM ini tidak mampu mengatasi masalah-masalah inter-komunitas. bersifat spesifik lokal, sangat rentan terhadap perubahan eksternal, sulit mencapai skala ekonomi, serta tingginya biaya institusionalisasinya. Meskipun kerja sama merupakan sifat interaksi antara masyarakat, namun pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan cenderung makin berkurang, interaksi antara masyarakat lebih banyak terekspresi dalam bentuk saling kompetisi. Saling kompetisi dalam memanfaatkan sumberdaya ikan adalah alasan terjadinya kegagalan



pengelolaan perikanan yang ditunjukkan dengan rusaknya sumberdaya serta adanya kemiskinan. Meskipun demikian, saling berinteraksi antara masyarakat dapat dipandang juga sebagai potensi yang dapat dikembangkan untuk merumuskan suatu mekanisme pengelolaan sumberdaya perikanan yang efektif. Keinginan masyarakat yang saling bertentangan atau berkompetisi merupakan salah satu alamiah masyarakat. Namun, sifat ini juga merupakan alasan perlunya dikembangkan mekanisme pengelolaan sumberdaya perikanan yang dapat mengatasi konflik. Mekanisme tersebut adalah dengan membiarkan masyarakat sendiri menentukan cara-cara pengelolaan sumberdaya perikanan yang ditujukan untuk mencapai tujuan yang juga ditetapkan mereka sendiri. Kerarifan Lokal/Tradisional Kearifan lokal atau tradisional sesungguhnya merupakan bagian dari etika dan morolitas yang membantu manusia untuk menjawab pertanyaan moral apa yang harus dilakukan, bagaimana harus bertindak khususnya dibidang pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam. Bahasan ini sangat membantu kita dalam hal mengembangkan perilaku, baik secara individu maupun secara kelompok dalam kaitan dengan lingkungan dan upaya pengelolaan sumberdaya alam. Selain itu membantu kita untuk mengembangkan sistem sosial politik yang ramah terhadap lingkungan serta mengambil keputusan dan kebijakan yang berdampak terhadap lingkungan atau sumberdaya alam termasuk sumberdaya alam pesisir dan laut. Etika yang berarti adat istiadat atau kebiasaan, dalam arti kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri seseorang atau pada kelompok masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain(Keraf, 2002). Kebiasaan hidup yang baik ini kemudian dibakukan dalam bentuk kaidah,a aturan, norma yang disebarluaskan, dikenal, dipahami dan diajarkan dalam masyarakat. Oleh karena itu etika dipahami sebagai ajaran yang berisikan aturan tentang bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia dan juga etika dipahami sebagai ajaran yang berisikan perintah dan larangan tentang baikburuknya perilaku manusia yaitu perintah yang harus dipatuhi dan larangan yang harus dihindari. Pengertian keraifan lokal (tradisional) menurut Keraf (2002) adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Dijelaskan pula bahwa kearifan lokal/tradisional bukan hanya menyangkut pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik di antara manusia, melainkan juga menyangkut pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan bagaimana relasi di antara penghuni komunitas ekologis ini harus dibangun. Pengertian di atas memberikan cara pandang bahwa manusia sebagai makhlukintegral dan merupakan satu kesatuan dari alam semesta serta perilaku penuh tanggung jawab, penuh sikap hormat dan peduli terhadap kelangsungan semua kehidupan di alam semesta serta mengubah cara pandang antroposentrisme ke cara pandang biosentrisme dan ekosentrisme. Nilai-nilai kerarifan lokal yang terkandung dalam suatu sistem sosial masyarakat, dapat dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke genarasi lainnya yang sekaligus membentuk dan menuntun pola perilaku manusia sehari-hari, baik terhadap alam



maupun terhadap alam. Menurut Nababan (2003), mengatakan bahwa masyarakat adat umumnya memiliki sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal yang diwariskan dan ditumbuh-kembangkan terus-menerus secara turun temurun. Pengertian masyarakat adat disini adalah mereka yang secara tradisional tergantung dan memiliki ikatan sosio-kultural dan religius yang erat dengan lingkungan lokalnya. Karakteristik Sosial dan Sistem Pengetahuan Masyarakat Pesisir Karakteristik masyarakat pesisir berbeda dengan karakteristik masyarakat agraris karena perbedaan sumberdaya yang mereka hadapi atau miliki. Masyarakat agraris menghadapi sumberdaya yang terkontrol yakni lahan untuk memproduksi suatu jenis komoditas dengan hasil yang dapat diprediksi. Dengan sifat yang demikian memungkinkan tetapnya lokasi produksi sehingga menyebabkan mobilitas usaha yang relatif rendah dan faktor resiko pun relatif kecil. Tohir (2001), mengemukakan bahwa terdapat fenomena yang menarik mengenai melimpahnya sumberdaya alam laut dengan masih rendahnya minat masyarakat pesisir untuk mengeksplorasi kekayaan laut. Lebih lanjut, Tohir (2001), mengatakan fenomena ini jika dicermati secara mendalam maka sebenarnya terdapat fakta bahwa masyarakat pesisir yang bermatapencaharian sebagai nelayan maupun melakukan aktivitas hidup di laut jumlahnya relatif kecil dibanding dengan yang beberja sebagai petani sawah, maupun jasa. Hal ini berarti jenis-jenis matapencaharian masyarakat pesisir heterogen dan warga masyarakat yang memilih sebagai nelayan atau melakukan aktivitas di pesisir pada dasarnya masih merupakan kelompok kecil saja. Dari jumlah yang relatif kecil itu, dilihat dari tingkat kesejahteraan hidupnya rata-rata masih belum menggembirakan karena sebagai nelayan kecil mereka menghadapi berbagai keterbatasan. Mengenal Kearifan Lokal di Beberapa Daerah Namaban (2003) mengatakan bahwa sudah banyak studi yang menunjukkan bahwa masyarakat adat di Indonesia secara tradisional berhasil menjaga dan memperkaya keanekaragaman hayati. Adalah suatu realitas bahwa sebagian besar masyarakat adat masih memiliki kearifan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Aturan-atuaran/tradisi masyarakat ini diwarisi secara turun temurun yang disebut juga sebagai hukum adat dan berlaku bagi masyarakat pesisir. Kenyataannya, nilai-nilai kearifan lokal dan hukum adat tersebut cukup efektif dalam pengelolaan sumberdaya alam kelautan dan perikanan, dan menjaga pelestarian ekosistem laut dari berbagai aktivitas yang bersifat destruktif dan merusak. Dalam kaitan dengan rujukan regulasi adat maupun kearifan lokal yang dapat dipergunakan di beberapa daerah dan sudah diakui eksistensinya serta memiliki nilai strategis dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, dibeberapa daerah sebagai berikut: Tradisi/Hukum Adat Laot Lembaga Adat Laot di Propinsi Nangroe Aceh Darusalam. Hukum Adat Laot merupakan hukum-hukum adat yang diperlukan masyarakat nelayan dalam menjaga ketertiban yang meliputi penangkapan ikan, pemeliharaan sumberdaya ikan dan biota laut lainnya, dan menjaga kehidupan masyarakat nelayan yang hidup di wilayah pantai. Secara hukum, Hukum Adat Laot bersifat tertutup, artinya tidak dapat dihilangkan dalam



struktur pemerintahan di Aceh sehingga memiliki kekuatan dan kewenangan tertentu dalam pelaksanaannya. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, Hukum Adat Laot di Aceh dapat bersifat terbuka, artinya, dalam menerapkan Hukum Adat Laot tersebut senantiasa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Hukum Adat Laot dari segi Adat Pemeliharaan Lingkungan meliputi: a. Dilarang melakukan pemboman, peracunan dan pembiusan, penyetroman dengan alat listrik, pengambilan terumbu karang, dan bahan-bahan lain yang dapat merusak lingkungan hidup dan biota lainnya. b. Dilarang menebang/merusak pohon-pohon kayu di pesisir dan pantai seperti pohon arun (cemara), pandan, ketapang, bakau dan pohon lainnya. c. Dilarang menangkap ikan/biota lainnya yang dilindungi seperti lumba-lumba dan penyu. Tradisi Lebak Lebung di Propinsi Sumatera Selatan Lebak lebung adalah suatu areal yang terdiri dari lebak lebung, teluk, rawa dan atau sungai yang secara berkala atau terus menerus digenangi air dan secara alami merupakan tempat bibit ikan atau biota perairan lainnya. Lelang Lebak Lebung adalah sistem penentuan akan hak pengelolaan perairan umum (lebak lebung). Tradisi Ponggawa Sawi di Propinsi Sulawesi Selatan Ponggawa adalah orang yang mampu menyediakan modal (sosial dan ekonomi) bagi kelompok masyarakat dalam menjalankan suatu usaha (biasa berorientasi pada skala usaha perikanan); sedangkan Sawi, bekerja pada Ponggawa dengan memakai hubungan norma sosial dan kesepakatan kerja. Pada sistem Ponggawa Sawi terdapat kesepakatan untuk menyerahkan atau menjual hasil tangkapannya pada Ponggawa, dan bagian ini merupakan mekanisme pembayaran pinjaman dari sawi kepada ponggawa jika sebelumnya sawi mempunyai pinjaman. Tradisi Pamali Mamanci Ikang di Desa Bobaneigo Maluku Utara Kearifan tradisional Pamali Mamanci Ikang dalam pengelolaan sumberdaya perikanan (pesisir dan laut) secara umum adalah larang atau boboso, tetapi pengertiannya dalam pengelolaan ikan teri dan cumi-cumi menyangkut pada beberapa batasan, seperti pelarangan pada musim pemijahan, pembatasan jumlah alat tangkap, pembatasan frekwensi penangkapan, tidak dibenarkan orang luar memiliki usaha bagan, dan pelarangan penebangan hutan bakau (soki) karena luluhan daun dan dahan pohon bakau dianggap sebagai asal-usul ikan teri. Pengaturan Pamali Mamanci Ikang merupakan suatu kebijakan yang arif walaupun hanya dihasilkan melalui suatu proses musyawarah di tingkat desa. Seperti penetapan waktu pelaksanaannya disesuaikan dengan musim cengkeh, dimana masyarakat mulai meninggalkan laut dan beralih ke lahan pertanian dan perkebunan cengkehnya. Panen cengkeh dilakukan secara gotong royong (bari), sehingga bagi nelayan yang tidak memiliki



kebun turut terlibat dalam panen tersebut untuk menutupi biaya hidupnya selama dilarang melaut. Konsep ini sangat memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat, sehingga pada saat pelaksanaan tradisinya, masyarakat nelayan tidak kehilangan mata pencahariannya, sebaliknya masyarakat petani juga ikut merasa dibantu Tradisi Awig-awig di Lombok Barat, NTB Awig-awig merupakan aturan yang dibuat berdasarkan kesepakatan masyarakat, untuk mengatur masalah tertentu, dengan maksud memelihara ketertiban dan keamanan dalam kehidupan masyarakat. Dalam awig-awig diatur perbuatan yang boleh dan yang dilarang, sanksi serta orang atau lembaga yang diberi wewenang oleh masyarakat untuk menjatuhkan sanksi. Adanya pengaturan lokal (awig-awig) dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan dipengaruhi oleh masalah pokok yaitu konflik antar nelayan. Apapun munculnya konflik dalam kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan dipengaruhi oleh rusaknya lingkungan (ekologi), pertambahan penduduk (demografi), lapangan pekerjaan yang semakin sedikit (mata pencaharian), lingkungan politik lokal, perubahan teknologi dan perubahan pasar. Sejak dulu, masyarakat Lombok Barat telah mengenal aturan yang berkaitan dengan kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam, baik yang ada di darat maupun di laut. Hal ini tercermin dari kebiasaan adat istiadat, yaitu upacara Sawen. Secara umum sawen adalah larangan untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan yang berlaku di zona dan waktu yang sudah ditetapkan sebelumnya melalui kesepakatan-kesepakatan lokal.



Tradisi/Hukum Adat Sasi di Maluku Sistem pengelolaan berbasis masyarakat untuk kedua sumber daya darat dan laut umum ditemukan di Kepulauan Maluku Tengah dan Tenggara yang dikenal dengan istilah sasi. Secara umum sasi merupakan ketentuan hukum adat tentang larangan memasuki, mengambil atau melakukan sesuatu dalam suatu kawasan tertentu dan dalam jangka waktu tertentu pula. Sasi dapat diartikan sebagai larangan untuk mengambil hasil sumberdaya alam tertentu sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumberdaya hayati (hewani maupun nabati) alam tersebut. Karena peraturan-peraturan dalam pelaksanaan larangan ini juga menyangkut pengaturan hubungan manusia dengan alam dan antar manusia dalam wilayah yang dikenakan larangan tersebut, maka sasi, pada hakekatnya, juga merupakan suatu upaya untuk memelihara tata-krama hidup bermasyarakat, termasuk upaya ke arah pemerataan pembagian atau pendapatan dari hasil sumberdaya alam sekitar kepada seluruh warga/penduduk setempat. Siapa yang tak kenal Lamalera. Budaya dan tradisi penangkapan ikan pausnya sudahm e n g g e m a k e s e l u r u h p e l o s o k n u s a n t a r a b a h k a n d u n i a . K o n d i s i a l a m y a n g t i d a k memungkinkan untuk bercocok tanam, membuat mereka menggantungkan hidupnya pada hasillaut. Hasil laut akan dibarter dengan hasil perkebunan seperti jagung, padi dan kopi ke desa-desa di pegunungan. Salah satu buruan laut yang sudah



menjadi tradisi turun temurun adalahberburu ikan paus. Bagi masyarakat umumnya, berburu mamalia terbesar ini merupakan halyang biasa, andai saja menggunakan peralatan yang canggih dan kapal yang besar.Namun tidak demikian dengan nelayan di Lamalera. Hanya dengan menggunakanperalatan yang sederhana, monster laut itu takhluk di tangan mereka. Modalnya adalahkeberanian. Keberanian untuk menghadapi mamalia terbesar ini bukan tanpa alasan. Hal iniberkaitan erat dengan perjuangan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup merekasebagai nelayan.Menurut cerita, tradisi berburu ikan paus di Lamalera sudah dimulai sejak abad !" danterus berlangsung hingga kini. Laut Sa#u yang berada di antara $ulau %imor dan $ulau L e m b a t a m e n j a d i t e m p a t p a r a n e l a y a n m e n a n g k a p i k a n p a u s . S u m b e r m a k a n a n y a n g berlimpah yaitu plankton menjadikan laut Sa#u sebagai tempat singgah gerombolan ikan pausyang datang dari kutub Selatan ke Samudera $asi&ik.%radisi menangkap ikan paus ala Lamalera adalah atraksi yang luar biasa terutama bagiorang yang berasal dari luar daerah. %radisi ini bisa dikatakan sebagai satu-satunya tradisi yangada di #ilayah Nusantara bahkan dunia. Hanya dengan peralatan yang sangat sederhanaseperti tempuling atau harpoon tradisional dan tali, ikan seberat '(-)* ton bahkan lebih dapatditakhlukan oleh sekelompok nelayan dengan ) atau + perahu tradisional yang relati& kecildibandingkan dengan ikan yang mereka tangkap. Keberanian dan pengalaman yang matangdari orang-orang pilihan atau yang sudah me#arisi keahlian dari orang tua merekalah yang bisamelakukan tradisi menangkap ikan raksasa ini.Menurut %okoh Muda Lamalera, regorius B., kegiatan menangkap ikan paus didahuluidengan upacara ritual. Malam sebelum musim le&a sekelompok pemilik perahu mengadakandoa bersama di rumah adat masing-masing. Hari pertama musim le&a ini disebut dengan namaupacara tebu nama &atta. Seluruh masyarakat kampung Lamalera berkumpul di pantai berpasir di depan Kapel gereja kecil Santo $etrus kapel ini terletak di tengah-tengah rumah peledangyang dibangun sejajar dengan pantai  untuk bermusya#arah mengenai penangkapan ikanpaus. Namun, kini atraksi budaya yang sangat mengagumkan ini kini harus berhadapandengan lembaga atau pihak-pihak tertentu yang berusaha untuk melarangnya. /engan dalihp e r l i n d u n g a n t e r h a d a p m a m a l i a l a u t y a n g h a m p i r p u n a h i n i , r e n c a n a n y a m e r e k a a k a n mendeklarasikan ka#asan laut Sa#u sebagai ka#asan konser0asi nasional. Hal ini telah menimbulkan keresahan di masyarakat Lamalera, baik yang berada di Lamalera maupun diperantauan. KEARI4AN L*KAL Masyarakat pesisir sekitar perairan Laut Sa#u memiliki sejumlah keari&an lokal dalampeman&aatan sumberdaya perikanan. Keari&an lokal masyarakat pesisir di N%% dalampeman&aatan sumberdaya perikanan dapat dijumpai pada masyarakat Helong  Kupang  ,Sumba, 1lor, Solor, 2ote, %imor dan Lamalera  Lembata  . Beberapa dari keari&an lokal ini sudah mengalami degradasi, namun ada yang masih tetap bertahan hingga saat ini. %radisipenangkapan paus secara tradisional oleh masyarakat Lamalera di kabupaten Lembatamerupakan salah satu keari&an lokal yang masih berlaku sampai dengan saat ini. %radisiperburuan paus oleh masyarakat Lamalera sudah berlangsung ratusan tahun sejak nenekmoyang mereka dan tetap mempertahankan tradisinya hingga saat ini. Lamalera, dulunya desa terpencil dan miskin di pantai selatan Kecamatan 3ulandoni,Kabupaten Lembata, kini berubah jadi daerah #isata digandrungi #isata#an mancanegara dandomestik. Kampung Lamalera, meliputi /esa Lamalera 1 dan Lamalera B, sejatinya merupakandesa pantai. Bernaung di ba#ah kaki bukit tandus dan kering. Ke selatan berhadapan lautsa#u, utara dengan bukit batu, di timur ada %anjung 1tadei dan di barat ada %anjung Naga.Separuh #ilayah desa ini terdiri dari dari batu-batuan gunung. 2umah-rumah #arga dibangun diatas bebatuan. Kondisi alam yang tidak



memungkinkan untuk bercocok tanam, membuatmereka menggantungkan hidupnya pada hasil laut. Hasil laut akan dibarter dengan hasil perkebunan seperti jagung, padi dan kopi ke desa-desa di pegunungan.M a s y a r a k a t L a m a l e r a d a l a m m e m b u r u i k a n p a u s m e n g g u n a k a n p e r a l a t a n s e r b a sederhana dengan menggunakan perahu kayu  peledang, dalam bahasa setempat  yang didayung atau pakai layar, dan sebilah 4tempuling4 tombak. !kan $aus yang biasa merekatangkap adalah koteklema, atau paus jenis sperm #hale./ahulu, kaum janda, yatim piatu atau orang yang secara ekonomis kurang beruntung didesanya, didahulukan menerima bagian. $emberian secara iklas ini berlangsung turun-temurun, tetapi saat ini tak terlihat lagi. 5ang dapat bagian terbesar, paling bagus dan utama adalah tuan tanah atau mereka yang paling berperan dalam perburuan itu. 6ntahlah kepalasuku, lama0a juru tikam, tukang perahu atau siapa saja menurut tradisi berhak atas porsinya.2esiko berburu ikan paus bukan hanya sampai sebatas diseret dan terombang-ambing berhari-hari di laut lepas. $uluhan korban nya#a nelayan Lamalera, telah jatuh di lautan. Merekasemua mati ketika mencari ikan, tetapi semangat terus memburu ikan tak pernah pudar.Sebenarnya penangkapan ikan $aus sudah dibatasi karena jumlahnya yang semakinsedikit. Namun karena mereka melakukan hal tersebut untuk memenuhi kehidupan sehari-haridan hanya menggunakan peralatan tradisional, maka penangkapan ikan $aus tidak dilarang.Selain itu, menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Benyamin Khan dari Belanda, kegiatanpenangkapan paus yang dilakukan para nelayan Lamalera tidak mempengaruhi habitat merekakarena jumlah tangkapannya sangat sedikit Namun, kini atraksi budaya yang sangat mengagumkan ini kini harus berhadapandengan lembaga atau pihak-pihak tertentu yang berusaha untuk melarangnya. /engan dalihp e r l i n d u n g a n t e r h a d a p m a m a l i a l a u t y a n g h a m p i r p u n a h i n i , r e n c a n a n y a m e r e k a a k a n mendeklarasikan ka#asan laut Sa#u sebagai ka#asan konser0asi nasional. Hal ini telah menimbulkan keresahan di masyarakat Lamalera, baik yang berada di Lamalera maupun diperantauan. KEARI4AN L*KAL Masyarakat pesisir sekitar perairan Laut Sa#u memiliki sejumlah keari&an lokal dalampeman&aatan sumberdaya perikanan. Keari&an lokal masyarakat pesisir di N%% dalampeman&aatan sumberdaya perikanan dapat dijumpai pada masyarakat Helong  Kupang  ,Sumba, 1lor, Solor, 2ote, %imor dan Lamalera  Lembata  . Beberapa dari keari&an lokal ini sudah mengalami degradasi, namun ada yang masih tetap bertahan hingga saat ini. %radisipenangkapan paus secara tradisional oleh masyarakat Lamalera di kabupaten Lembatamerupakan salah satu keari&an lokal yang masih berlaku sampai dengan saat ini. %radisiperburuan paus oleh masyarakat Lamalera sudah berlangsung ratusan tahun sejak nenekmoyang mereka dan tetap mempertahankan tradisinya hingga saat ini. Lamalera, dulunya desa terpencil dan miskin di pantai selatan Kecamatan 3ulandoni,Kabupaten Lembata, kini berubah jadi daerah #isata digandrungi #isata#an mancanegara dandomestik. Kampung Lamalera, meliputi /esa Lamalera 1 dan Lamalera B, sejatinya merupakandesa pantai. Bernaung di ba#ah kaki bukit tandus dan kering. Ke selatan berhadapan lautsa#u, utara dengan bukit batu, di timur ada %anjung 1tadei dan di barat ada %anjung Naga.Separuh #ilayah desa ini terdiri dari dari batu-batuan gunung. 2umah-rumah #arga dibangun diatas bebatuan. Kondisi alam yang tidak memungkinkan untuk bercocok tanam, membuatmereka menggantungkan hidupnya pada hasil laut. Hasil laut akan dibarter dengan hasil perkebunan seperti jagung, padi dan kopi ke desa-desa di pegunungan.M a s y a r a k a t L a m a l e r a d a l a m m e m b u r u i k a n p a u s m e n g g u n a k a n p e r a l a t a n s e r b a sederhana dengan menggunakan perahu kayu  peledang, dalam bahasa setempat  yang didayung atau pakai layar,



dan sebilah 4tempuling4 tombak. !kan $aus yang biasa merekatangkap adalah koteklema, atau paus jenis sperm #hale./ahulu, kaum janda, yatim piatu atau orang yang secara ekonomis kurang beruntung didesanya, didahulukan menerima bagian. $emberian secara iklas ini berlangsung turun-temurun, tetapi saat ini tak terlihat lagi. 5ang dapat bagian terbesar, paling bagus dan utama adalah tuan tanah atau mereka yang paling berperan dalam perburuan itu. 6ntahlah kepalasuku, lama0a juru tikam, tukang perahu atau siapa saja menurut tradisi berhak atas porsinya.2esiko berburu ikan paus bukan hanya sampai sebatas diseret dan terombang-ambing berhari-hari di laut lepas. $uluhan korban nya#a nelayan Lamalera, telah jatuh di lautan. Merekasemua mati ketika mencari ikan, tetapi semangat terus memburu ikan tak pernah pudar.Sebenarnya penangkapan ikan $aus sudah dibatasi karena jumlahnya yang semakinsedikit. Namun karena mereka melakukan hal tersebut untuk memenuhi kehidupan sehari-haridan hanya menggunakan peralatan tradisional, maka penangkapan ikan $aus tidak dilarang.Selain itu, menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Benyamin Khan dari Belanda, kegiatanpenangkapan paus yang dilakukan para nelayan Lamalera tidak mempengaruhi habitat merekakarena jumlah tangkapannya sangat sedikit.



Pengertian Kearifan Lokal (Tradisional) Kearifan lokal (tradisional) adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologisnya (Keraf, 2002). Menurut Nurjana, kearifan tradisional berpangkal pada sistem nilai dan religi yang dianut dalam komunitasnya. Ajaran agama dan kepercayaan masyarakat lokal menjiwai dan member warna serta mempengaruhi citra lingkungannya dalam wujud sikap dan perilaku terhadap lingkungannya. Hakekat yang terkandung di dalamnya adalah member tuntunan kepada manusia untuk berperilaku yang serasi dan selaras dengan irama alam semesta, sehingga tercipta keseimbangan hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Gambaran Umum Seram Utara Barat Seram Utara Barat merupakan sebuah Kecamatan yang berada dalam wilayah Kabupaten Maluku Tengah. Terletak di pantai utara Pulau Seram memanjang arah timur-barat dengan luas wilayah 705, 48 km2 dan jumlah penduduk 9.516 jiwa. Terdiri dari 10 Negeri adat, 2 Negeri administratif, 3 Kampung, dan 2 lokasi transmigrasi. Seram Utara Barat memiliki tujuh buah pulau yang terpisah dari daratan Pulau Seram yaitu Pulau Besar, Pulau Tua, Pulau Air, Pulau Alei, Pulau Tengah, Pulau Sauh, dan Pulau Kairore. Batas wilayah Kecamatan Seram Utara Barat yaitu sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Seram Utara Teluk, sebelah barat dengan Kecamatan Taniwel, sebelah selatan dengan Kecamatan TNS dan Teluk Elpaputih, dan sebelah utara dengan laut Seram. Potensi Sumberdaya Alam Seram Utara Barat Seram Utara Barat merupakan salah satu Kecamatan yang selalu mendapat perhatian khusus Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah karena memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup besar sebagai penunjang ekonomi daerah. Potensi di darat yaitu pertanian, perkebunan (kelapa sawit, kelapa dalam, cengkih, pala, kakao, kopi), kehutanan ( kayu produksi, rotan,



damar, gaharu), pertambangan (logam seperti; emas, perak, tembaga, nikel, besi, mangan, non-logam seperti marmer, batubara, dan batuan mulia lainnya yang bernilai ekonomis). Potensi sumberdaya pesisir dan laut terutama pada kawasan Pulau tujuh yaitu hutan bakau, terumbu karang, estuari, padang lamun dengan tingkat keanekaragaman biota yang cukup tinggi (78 spesies ikan , 13 spesies moluska, 1 spesies reptilia (Chelonia mydas), 1 spesies mamalia laut (Dugon dugon), 14 spesies krustasea, 7 spesies ekhinodermata) dan berbagai jenis ikan ekonomis penting lainnya di wilayah laut yang cukup berpotensi untuk peningkatan kesejehteraan masyarakat Seram Utara Barat saat ini dan generasi mendatang. Kearifan Lokal Masyarakat Seram Utara Barat Dengan diberlakukannya sistem otonomisasi daerah maka setiap Negeri Adat berdasarkan wilayah petuanan ( uhlaiyat) memiliki hak dan kewenangan tersendiri untuk mengatur dan mengelola semua sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya sesuai menajemen masingmasing. Hak uhlaiyat (tanah adat) untuk tiap Negeri memiliki luas dan batas-batas yang berbeda berdasarkan bukti dan janji sejarah serta aturan pemerintahan. Satu Negeri tidak boleh mengambil potensi sumberdaya sampai pada kawasan petuanan Negeri lain. Untuk setiap Negeri Adat dipimpin oleh seorang kepala adat dengan gelar “Raja/ Patti/Orang Kaya” dan sebuah lembaga adat yang dinamakan “ Saniri” mereka inilah yang kemudian menyusun dan menetapkan berbagai peraturan dan tata tertib Negeri untuk diterapkan. Kearifan lokal dalam bentuk sasi merupakan sebuah peraturan adat yang ditetapkan oleh masyarakat Maluku dengan tujuan menjaga, melindung, dan melestarikan semua potensi sumberdaya alam dalam jangka panjang. Masyarakat adat Seram Utara Barat memiliki kearifan lokal dalam mengelola semua potensi sumberdaya alam baik di darat maupun di laut yang dinamakan “ sasi “, di darat dinamakan “sasi kebun atau dusun“, di laut dinamakan “sasi meti”. Sasi merupakan aturan adat yang melarang pengambilan atau pemanfaatan hasil laut atau hasil kebun pada periode tertentu sebagai upaya perlindungan terhadap nilai ekologis dan jenis potensi yang dimiliki . Larangan ini akan dicabut oleh Raja Negeri atau Latupati (di tingkat Kecamatan) yang menandai masa panen atau biasa disebut “ buka sasi” . Setiap wilayah sasi memiliki petuanan, jika sasi diperlakukan di pesisir, maka wilayahnya mencakup ekosistem mangrove, padang lamun, estuari, dan terumbu karang sedangkan sasi laut meliputi wilayah petuanan Negeri masing-masing. Sasi meti diberlakukan untuk menjaga dan memelihara jenis potensi yang bernilai ekonomis diantaranya ikan, teripang, siput, kerang, udang, kepiting, cumi dan penyu sedangkan sasi laut dikhususkan untuk jenis ikan ekonomis penting. Sistem sasi telah diterapkan oleh masyarakat adat Seram Utara Barat sejak datuk-datuk (leluhur) dan diwariskan ke anak cucu sampai saat ini. Sasi memiliki aturan dan konsukuensi tertentu jika masyarakat yang melanggarnya akan dikenakan sanksi/hukuman adat dalam bentuk denda sesuai perbuatannya. Proses penutupan dan pembukaan sasi meti ataupun sasi laut dilaksanakan secara ritual adat di Balai Negeri/Rumah Adat (Baileo) dan dihadiri oleh kepala adat (Raja), lembaga adat (Saniri), tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh masyarakat, dan seluruh masyarakat adat yang diawali kapata oleh tua-tua adat, pembacaan aturan dan sanksi adat oleh Saniri, pengesahan sasi meti/laut oleh Raja, dan diakhiri dengan doa oleh Pendeta/Imam. Jangka waktu sasi adalah empat (4) bulan dan kemudian dilaksanakan proses panen secara



tradisional oleh semua masyarakat. Larangan dan Sanksi Adat Larangan dalam peraturan dan tata tertib sasi di Kecamatan Seram Utara Barat adalah : 1. Setiap orang atau kelompok dilarang masuk kawasan sasi untuk mengambil atau menangkap ikan dan jenis potensi laut lainnya yang telah disasikan dengan menggunakan alat tangkap jaring, bubu, pancing, kalawai, panah, tombak, dan alat lain. 2. Setiap orang atau kelompok dilarang masuk kawasan sasi untuk mengambil atau menangkap ikan dan jenis potensi laut lainnya yang telah disasikan dengan menggunakan bahan peledak, zat kimia beracun, bore ( akar tanaman beracun yang diperas). 3. Setiap orang atau kelompok dilarang merusak terumbu karang, biota laut, menebang pohon dan mangambil kayu dari ekosistem pesisir, menggunakan perahu bermesin melintasi kawasan padang lamun dan terumbu karang. Sanksi atau hukuman adat yang diberikan kepada masyarakat yang telah melanggar ketentuan/peraturan sasi yaitu : 1. Sanksi pidana yaitu dalam bentuk denda adat, pembayaran ganti rugi, pengembalian seluruh jenis potensi/barang yang peroleh, disuruh kerja bakti /pembersihan di Balai Negeri, Kantor Negeri, Baileo/Rumah Adat, Gereja/Mesjid dan sarana umum lainnya, dipukul/dicambuk dengan rotan oleh kepada adat/Raja. 2. Sanksi moral dimana pelaku disuruh berjalan mengelilingi Negeri sebanyak yang ditentukan sambil membawa jenis potensi laut yang diambil itu dengan berteriak berulang kali dan mengucapkan kalimat “ Jang Pancuri Macam Beta “ (sambil mengangkat barang itu tinggi-tinggi) dan mengucapkan lagi “ Ini Beta Pancuri Barang Sasi“ 3. Sanksi yang bersifat magis religius (semacam upacara adat). Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut oleh masyarakat Seram Utara Barat melalui pemberdayaan kearifan lokal merupakan tindakan yang secara langsung melestarikan sumberdaya alam yang berada pada kawasan pesisir dan laut sehingga nilai dan fungsi ekologis dari ekosistem tetap terjaga. Masyarakat akan lebih mengerti dan memahami pentingnya pelestarian lingkungan bagi keberlangsungan hidup berbagai potensi pesisir dan laut dalam mensejahterakan hidup mereka saat ini dan generasi mendatang. Pengelolaan berbasis masyarakat merupakan strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada masyarakat, dimana pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan terletak di tangan organisasi-organisasi dalam masyarakat atau pemberian wewenang, tanggungjawab, dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola potensi dengan terlebih dulu mengidentifikasi kebutuhan, keinginan, tujuan ,serta aspirasinya (Hertanto, 2008). Melalui metode ini masyarakat secara langsung diberikan hak, wewenang, tanggungjawab untuk bekerja, berpikir, dan berkeputusan dalam menentukan maksud, tujuan, sasaran dengan target yang akan dicapai oleh setiap kelompok berdasarkan hasil identifikasi seluruh kebutuhan, keinginan serta aspirasi mereka. Masyarakat dijadikan subjek dalam setiap program pemberdayaan, masyarakat mengambil peran lebih besar dalam mengelola dan memanfaatkan potensi ini. Dari sinilah meraka mampu mengembangkan organisasiorganisasi yang ada di Negeri masing-masing dengan baik, produktif, mampu bersaing, dapat bernegosiasi dan tawar-menawar dengan pemerintah maupun agen-agen pembangunan lainnya. Masyarakat merasa dilibatkan secara langsung dan memiliki tanggungjawab yang



besar, semangat yang tinggi, komitmen yang kuat dalam bekerja mensejahterakan kehidupan pribadi dan keluarga mereka



Kearifan Pemanfaatan Sumberdaya Laut dan Pesisir di Kecamatan Omesuri Kabupaten Lembata. 



Kearifan Lokal Masyarakat Pesisir di Desa Wailolong Desa Wailolong merupakan salah satu desa pesisir di Kecamatan Omesuri dan memiliki kearifan atau tradisi adat dalam hal pemanfaatan sumberdaya laut maupun di darat. Di desa ini, terdapat sistem kepercayaan tradisional, yakni menurut mereka bahwa di laut ada penguasanya yang disebut ”hari” dan penguasa di darat yang disebut ”neda ”. Adanya sistem kepercayaan ini mendorong pemangku adat ”lemaq ” untuk melakukan ritual ’kolo umen bale lamaq” yakni upacara memberi makan kepada penguasa di laut sebelum mereka melakukan penangkapan, budidaya rumput laut maupun pengelolaan sumberdaya pesisir seperti penanaman bakau. Namun demikian tradisi ini hanya dilakukan oleh orang tertentu dan sifatnya perorangan, belum merupakan suatu kesepakatan bersama. Dari informasi yang diperoleh bahwa hasil-hasil usaha nelayan saat ini mengalami penurunan, sebagai akibat dari banyaknya hasil-hasil laut yang sudah hilang seperti agar-agar, bakau dan teripang. Terdapat aspirasi masyarakat desa ini khususnya masyarakat nelayan yang hidupnya sangat bergantung pada hasil-hasil laut, menghendaki agar ritual semacam ini perlu dilakukan secara bersama dan terus menerus sehingga merupakan aturan atau norma serta tradisi yang mempunyai makna dapat mengatur tindakan-tindakan manusia terhadap pemanfaatan sumberdaya alam pesirsir dan laut di tempat itu.







Kearifan Lokal Masyarakat Pesisir di Desa Lebewala Masyarakat pesisir Desa Lebewala Kecamatan Omesuri Kabupaten Lembata mempunyai tradisi dan kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam laut dan pesisir. Dalam pemanfaatan sumberdaya teripang sistem nilai yang mengatur masyarakat setempat adalah ”poan kemer puru larang” yakni suatu tradisi larangan secara adat bagi masyarakat untuk tidak mengambil hasil-hasil laut secara bebas. Penangkapan teripang hanya boleh dilakukan jika tuan tanah, tua adat dan dukundukun melakukan ritual terlebih dahulu. Dukun (Ata Molang) akan melakukan ritual dan selanjutnya masyarakat boleh mengambil teripang. Setelah kurang lebih 2 atau 3 hari, Ata Molang akan melakukan ritual pelarangan kembali wilayah perairan tersebut. Selain Ata Molang melakukan tradisi pelarangan secara ritual, Pemerintah Desa Lebewala juga memiliki Kesepakatan Desa yang sifatnya mengikat secara hukum yakni berupa sanksi denda dalam bentuk uang tunai satu juta rupiah dan kambing jantan besar senilai satu juta rupiah. Dengan adanya sanksi secara adat dan atauran pemerintah tampaknya membuat masyarakat kawasan pesisir desa ini cukup jerah dalam melakukan tindakan pengurasakan atau pengambilan teripang secara bebas