Kebijakan Luar Negeri China Atas Pengakuannya Terhadap Wilayah Sengketa Perairan Laut China Selatan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KEBIJAKAN LUAR NEGERI CHINA ATAS PENGAKUANNYA TERHADAP WILAYAH SENGKETA PERAIRAN LAUT CHINA SELATAN China’s Foreign Policy on Recognition of Dispute Area In South China Sea Waters Delvira Indah Sari Harahap 1910412091 Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta Email : [email protected] ABSTRAK Tulisan ini dibuat untuk menganalisis kebijakan luar negeri China atas klaimnya terhadap wilayah perairan Laut China Selatan yang disengketakan. Adapun negara yang terlibat dalam konflik ini ialah negara ASEAN yang berbatasan dengan Laut China Selatan dan juga memiliki klaim terhadap wilayah di kawasan Laut China Selatan yaitu Malaysia, Vietnam, Filipina, Taiwan, dan Brunei Darussalam. Penulis berusaha menganalisis perilaku dan tindakan China dengan menggunakan perspektif realisme dan model pembuatan keputusan yang dikemukakan oleh Richard Snyder serta faktor internal dan eksternal yang memengaruhi keputusan kebijakan luar negeri tersebut. Kata kunci : China, Sengketa Laut China Selatan, kebijakan luar negeri, realisme, model pembuatan keputusan, faktor internal, faktor eksternal.



ABSTRACT This paper was written to analyze China's foreign policy on its claim to the disputed waters of the South China Sea. The countries involved in this conflict are ASEAN countries bordering the South China Sea and also have claims to territories in the South China Sea, such as Malaysia, Vietnam, Philippines, Taiwan, and Brunei Darussalam. The author tries to analyze China's behavior and actions using the perspective of realism and the decision making foreign policy model by Richard Snyder as well as the internal and external factors that influence these foreign policy decisions. Keywords: China, South China Sea Dispute, foreign policy, realism, decision making model, internal factors, external factors.



PENDAHULUAN Laut China Selatan merupakan wilayah perairan seluas ±3,5 juta km2 yang terbentang di Samudera Pasifik. Laut ini berbatasan langsung dengan China dan negara ASEAN yaitu Indonesia, Malaysia, Vietnam, Filipina, Taiwan, dan Brunei Darussalam. China merupakan salah satu pihak yang mendominasi klaim atas Laut China Selatan dan tumpang tindih dengan klaim dari pihak lain yaitu Malaysia, Vietnam, Filipina, Taiwan, dan Brunei Darussalam. Laut China Selatan terdiri dari ratusan pulau kecil dan beberapa pulau besar seperti Pulau Paracel, Pulau Spartly, Pulau Pratas, Pulau Woody, dan pulau lainnya. Pulaupulau inilah yang banyak diperebutkan antara keenam negara tersebut. Laut China Selatan menyimpan kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Banyaknya cadangan minyak dan gas bumi, berbagai komoditas ikan, hingga logam tanah serta barang tambang lainnya mengakibatkan nilai perdagangan di jalur ini diperkirakan lebih dari 5 triliun dolar AS per tahun. Selain itu, posisi strategis Laut China Selatan yang merupakan jalur perdagangan internasional juga menjadi pemicu perebutan wilayah ini. Dikutip dari tirto.id, sejak ratusan tahun silam, Laut China Selatan telah menjadi jalur perdagangan sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara. Kemudian pada tahun 1947, China mengklaim kepemilikan wilayah di Laut China Selatan sebesar 90% atas dasar alasan sejarah (historis). Yang mana saat Partai Komunis China mengambil alih kekuasaan di Tiongkok pada tahun 1949, membuat sembilan garis putus-putus (nine dash line) yaitu sembilan garis imajiner di sekeliling kawasan Laut Cina Selatan di peta resminya pada 1953. Sembilan garis putus-putus (nine dash line) ini lah yang menjadi dasar bagi China dalam klaimnya di Laut China Selatan. Garis-garis ini dibuat secara sepihak oleh China tanpa mengikuti aturan konvensi hukum laut internasional PBB atau United Nations Convention on The Law of The Sea



(UNCLOS)



1982



dimana



China



juga



tercatat



sebagai



negara



yang



ikut



menandatanganinya. Konflik ini kian mengalami ketegangan dan terus memanas seiring negara-negara tersebut, terutama China yang tidak mau kalah. China terus menegaskan kepemilikan atas wilayah Laut China Selatan. Demikian lah tindakan dan perilaku China yang menciptakan kondisi hubungan internasional yang buruk. Hal ini tentunya juga mengancam pertahanan dan keamanan regional dan internasional.



2



KERANGKA KONSEPTUAL Teori Hubungan Internasional: Realisme Dalam Analisis Kebijakan Luar Negeri Kepentingan nasional adalah elemen utama dalam kebijakan luar negeri. Hal ini sejalan dengan pemikiran realisme. Realisme merupakan salah satu perspektif dan teori dalam hubungan internasional. Realisme dapat menggambarkan fenomena-fonomena dalam hubungan internasional, termasuk analisis kebijakan luar negeri. Kaitannya dengan tindakan dan perilaku kebijakan luar negeri China atas Laut China Selatan, berhubungan dengan asumsi dasar realisme yaitu (1) pandangan pesimis atas sifat manusia, (2) keyakinan bahwa konflik internasional pada dasarnya konfliktual, dan (3) menjunjung tinggi nilai-nilai keamanan nasional, dan kelangsungan hidup negara (survival) (Jackson dan Sorensen, 2014:112). Dalam hubungan internasional, negara dapat dinyatakan sebagai manusia (states as a human). Dengan kata lain, sifat negara diasumsikan seperti sifat manusia. Manusia dicirikan sebagai makhluk yang selalu cemas akan keselamatan dirinya dalam hubungan persaingannya dengan yang lain. Mereka ingin berada dalam kursi pengendali. Mereka tidak ingin diambil keuntungannya. Mereka terus menerus berjuang untuk mendapatkan „yang terkuat‟ dalam hubungannya dengan yang lain. Hubungan internasional dipahami oleh kaum realis terutama sebagai perjuangan diantara negara-negara berkekuatan besar untuk dominasi dan keamanan. Inti terpenting kebijakan luar negeri adalah untuk membentuk dan mempertahankan kepentingan negara dalam politik dunia. (Jackson dan Sorensen, 2014: 112-113). Sebagai aktor utama dalam hubungan internasional, negara harus mengejar kepentingan nasionalnya sendiri. Thucydides mengatakan semua negara, baik besar maupun kecil harus mampu beradaptasi terhadap keadaan alamiahnya berdasar realitas kekuatan yang berbeda dan juga harus mampu mengatur dirinya sendiri sesuai keadaan alamiahnya. Jika negara gagal melakukan hal tersebut, negara akan menceburkan dirinya dalam bahaya bahkan mungkin dihancurkan. Thucydides dalam pandangannya juga menekankan bahwa keputusan memiliki konsekuensi: sebelum keputusan akhir dibuat, seorang pembuat keputusan harus dengan hati-hati memikirkan kemungkinan konsekuensi yang buruk maupun yang baik. Thucydides menekankan etika kehati-hatian dan kebijaksanaan dalam menjalankan kebijakan luar negeri dalam dunia internasional yang penuh dengan perbedaan, yang pilihan kebijakan luar negerinya terbatas, dan dalam menghadapi bahaya yang selalu muncul tiba-tiba seperti kesempatan (Jackson dan Sorensen, 2014: 116-117). 3



Oleh karena itu, realisme menganggap bahwa negara sebagai aktor tunggal dan rasional. Tunggal berarti perbedaan pandangan politis terkait keputusan kebijakan luar negeri, dalam suatu negara telah dituntaskan sehingga menghasilkan satu output dengan mengatasnamakan negara. Kemudian rasional berarti negara harus mampu merumuskan suatu kebijakan luar negeri sebagai output berdasarkan pertimbangan-pertimbangan atau alternatif dari pilihan yang ada untuk mendapatkan hasil maksimal. Sekali lagi, kekuatan negara (power) adalah kunci dari realisme. Dasar normatif realisme adalah keamanan nasional dan kelangsungan hidup negara: ini adalah nilai-nilai yang menggerakkan doktrin kaum realis dan kebijakan luar negeri kaum realis (Jackson dan Sorensen, 2014: 113). Sehingga negara akan menggunakan kekuatannya (power) untuk mencapai kebijakan luar negeri yang dikehendakinya. Kebijakan luar negeri sebagai aktivitas pemerintah nasional yang melibatkan cita-cita, strategi, tindakan, metode, panduan, arahan, pemahaman, kesepakatan, dan sebagainya dengan negara, organisasi internasional, dan aktor non-negara dalam hubungan internasional.. Rosenau menjelaskan pengkajian kebijakan luar negeri meliputi kebutuhan eksternal dan kehidupan internal (Yani, A.A, 2005). Maka dari itu, suatu keputusan kebijakan luar negeri menyangkut dan dipengaruhi oleh faktor eksternal (sistem internasional) dan faktor internal (kebutuhan dalam negeri) suatu negara. Model Analisis Kebijakan Luar Negeri: Decision Making Model (Richard Snyder) Menurut Richard Snyder, kebijakan luar negeri merupakan tindakan yang diambil atas nama negara. Model ini mengatakan bahwa faktor apapun yang menjadi penentu kebijakan luar negeri akan diperhatikan dan dipertimbangkan oleh negara sebagai decision makers (pembuat keputusan). Proses pengambilan kebijakan luar negeri dipengaruhi oleh faktor subjektif yaitu persepsi aktor dalam memahami situasi dan sumber potensial yang berasal dari faktor internal (domestik) dan faktor eksternal (interaksi antarnegara). Oleh karena itu, berbagai faktor internal dan eksternal mempengaruhi tindakan maupun perilaku kebijakan luar negeri suatu negara.



PEMBAHASAN Berdasarkan kerangka konseptual diatas, penulis berusaha menganalisis tindakan dan perilaku kebijakan luar negeri China dengan berbasis pada teori realisme dan model 4



pembuatan keputusan (decision making model) Richard Snyder. Penulis juga akan mengaitkan dengan faktor eksternal dan internal negara terhadap kebijakan luar negeri China. Sudah puluhan tahun lamanya China mengakui wilayah Laut China Selatan termasuk dalam wilayah teritorial Republik Rakyat China (RRC). Seiring kemajuan perdagangan dunia, China juga mengalami kemajuan dalam bidang ekonomi dan militer. Segala tindakan agresif yang dilakukan China seperti merebut kawasan, melakukan reklamasi, menyerang kapal-kapal negara lain, pengerahan kekuatan militer, dan tindakan lainnya menggambarkan sikap China yang ingin mendominasi kekuatan atau upaya China dalam menciptakan hegemoni regional. Suatu hegemoni menjadi kontrol atau mendominasi badan bawahannya. Negara hegemonik memberlakukan aturan dasar dan hak-hak yang mengatur perilaku umum dalam sistem (Yeom Ji Won, 2015:13-14). Dalam hegemoni, yang paling penting menurut Robert Gilpin adalah prestise (prestige) negara hegemon, dimana prestise yang baik dibutuhkan untuk membuat negara-negara yang lebih rendah patuh dengan negara yang dominan. Seperti apa yang dilakukan China; bertindak merugikan negara lain, mementingkan diri sendiri, berusaha menciptakan sistem tertentu demi mewujudkan kepentingan nasionalnya, serta berusaha meningkatkan kekuatannya untuk menekan negara-negara lemah disekitarnya. Tindakan China yang demikian ditunjukkan dengan melakukan reklamasi pulau-pulau di Laut China Selatan diantaranya membangun tujuh buah pulau baru di daerah Spartly juga pulau-pulau di Paracel dengan menimbun pasir dan semen di atas karang. Kemudian China juga memperkuat militernya dengan menduduki pos-pos di daerah Laut China Selatan dan melakukan pembangunan yang mencakup pelabuhan, landasan helikopter, lapangan terbang, hangar, dan jaringan misil darat ke udara. Dikutip dari cnbcindonesia.com, China dengan tegas mengklaim bahwa di bawah hukum internasional, militer asing tidak dapat melakukan pengumpulan-intelijen, seperti penerbangan pengintaian di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). China juga melakukan latihan militer di sekitar Laut China Selatan yang dikhawatirkan memicu ancaman dari negara lain (ASEAN). Sebelumnya, China juga pernah menyerang kapal asal Filipina dan ditahan selama sepekan. Pada tahun 2005, China dengan seenaknya menembaki dan membunuh nelayan Vietnam dengan alasan telah memasuki wilayah teritorial China. Penembakan ini juga cukup sering dialami negara lain. Tindakan-tindakan ilegal ini terus dilakukan China tanpa memerdulikan keberadaan negara lain.



5



Seperti yang telah dibahas di bagian pendahuluan, pada tahun 2013 Filipina membawa kasus sengketa wilayah Laut China Selatan ke Pengadilan Tetap Arbitrase (PCS) di Den Haag, Belanda. Kemudian, pada tahun 2016 telah diputuskan bahwa China tidak memiliki hak atas kepemilikan wilayah Laut China Selatan. Meskipun sudah resmi kalah dan ditentang oleh berbagai negara, China tetap masih tidak mengakui dan membantah keputusan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa China melanggar UNCLOS 1982 sebagai dasar hukum internasional yang mengatur hukum laut yang sudah diratifikasi seluruh negara anggota PBB, termasuk China. Upaya-upaya China untuk menciptakan sistem atau tatanan baru demi mewujudkan kepentingan nasionalnya dapat dikatakan berhasil karena adanya ketergantungan ekonomi antarnegara ASEAN dengan China juga lemahnya kekuatan militer antarnegara ASEAN dibanding China. Penetapan Code of Conduct (COC) sudah menjadi prioritas ASEAN dan China untuk mengatur tindakan dan perilaku negara di Laut China Selatan. Namun, tertunda akibat pandemi Covid-19. Meski begitu, sejumlah ahli dan akademisi masih meragukan komitmen China atas COC. Penulis beranggapan bahwa kebijakan luar negeri China merupakan tindakan yang berani diambil oleh China karena adanya faktor internal, eksternal, dan subjektif dari pemimpin China yang memperkuat dan mendukung kekuatan China. Diantaranya faktor internal yaitu sifat egois China yang besar, kebutuhan ekonomi China, dan kapabilitas militer China. Sedangkan faktor eksternalnya menyangkut tujuan dan aksi dari negara lain, ketergantungan ekonomi, dan opini dunia internasional. Faktor Internal Pertama, sifat egois China yang begitu besar ditunjukkan dari ketidakpeduliannya terhadap negara lain dan bertindak semena-mena demi mewujudkan kepentingan nasionalnya untuk menjadi hegemoni regional dan dunia. China bahkan tidak memiliki komitmen yang kuat terhadap UNCLOS 1982. Penulis beranggapan sifat egois China ini sangat sejalan dengan asumsi realisme. Kedua, adanya kebutuhan ekonomi China demi meningkatkan pendapatan ekonomi nasional dengan menguasai sumber daya di Laut China Selatan secara besar-besaran. Terdapat sekitar 3,4 triliun dolar AS perdagangan melewati Laut China Selatan setiap tahun yang ditanami sekitar 11 miliar barel minyak yang belum dimanfatkan, 266 kaki kubik gas alam serta berbagai komoditas ikan seperti ikan layur, makarel, scraper hitam, teri, udang, kepiting, serta barang tambang lainnya. Sehingga hasil perdagangan Laut 6



China Selatan diperkirakan lebih dari 5 triliun dolar AS pertahun. Ketiga, kapabilitas militer China yang kuat melebihi negara ASEAN lainnya. Anggaran belanja militer yang terus meningkat dari tahun ke



tahun dan modernisasi militer dalam pengembangan kualitas



peralatan militer seperti teknologi nuklir menjadi fokus China demi mempertahankan klaimnya di Laut China Selatan. Faktor Eksternal Pertama, tujuan dan aksi dari negara lain ditunjukkan dari sifat China yang ingin bersanding dengan Amerika Serikat dalam melakukan hegemoni dunia internasional melalui kekuatan ekonomi dan militernya. China bahkan merasa percaya diri dan tidak takut berhadapan dengan kapal militer Amerika Serikat. Semakin tinggi kekuatan dan kapabilitas negara dalam segala bidang, akan semakin kuat keinginannya untuk berpengaruh di dalam praktik dunia internasional. Kedua, ketergantungan ekonomi antara negara-negara lain dengan China dimana industri China yang berkembang dan meluas ke berbagai negara termasuk ASEAN, bantuan pinjaman, ditambah 138 negara dan 30 organisasi internasional yang ikut berpartisipasi dalam menyukseskan Jalur Sutra Modern (Belt and Road Initiative) dengan berinvestasi untuk menghubungkan Asia, Afrika, dan Eropa dengan nilai 8 triliun dolar AS. Proyek ini bernilai multitriliunan dolar untuk menebar pengaruh China dengan dalih infrastruktur. Hal ini membuat negara-negara melunak dan tunduk dengan kebijakan luar negeri China. Ketiga, opini dunia internasional mengenai kebebasan navigasi. Laut China Selatan merupakan jalur perdagangan dunia, konflik dapat terjadi dengan kapal-kapal yang melintas. Jika konflik terjadi, jalur pelayaran akan terhambat dan memberikan dampak buruk terhadap perekonomian negara-negara kawasan. Faktor Subjektif Masyarakat China selalu mengedepankan sifat nasionalismenya. Impian Tiongkok merupakan ungkapan yang digunakan untuk membangkitkan semangat nasionalisme masyarakat China. Penggunaan ungkapan ini menjadi tradisi turun temurun yang masih diterapkan oleh para pemimpin China, dari Sun Yat Sen sampai Xi Jinping (saat ini). Impian Tiongkok juga dijadikan sebagai pedoman yang menunjukkan arah kebijakan politik China termasuk kebijakan luar negeri. Xi Jinping mengatakan “menurut saya, mewujudkan kebangkitan besar bangsa Tionghoa merupakan impian terbesar bangsa Tionghoa pada abad ini”. Dalam rangka mewujudkkan kebangkitan bangsa Tionghoa tersebut, harus dibangun sebuah negara yang kuat, bangsa yang sejahtera, dan masyarakat yang bahagia. Xi Jinping 7



juga menyatakan bahwa Impian Tiongkok bukan hanya milik bangsa Tionghoa saja. Kesejahteraan yang ingin dicapai melalui Impian Tiongkok diharapkan dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat dunia (Xi Jinping, 2014). Hal ini terwujud dari rencana China membangun Jalur Sutra Modern. Penulis berpandangan bahwa tertanamnya sifat nasionalisme pemerintahan China dari dulu sampai sekarang lah yang mendorong cita-cita China mempertahankan klaimnya atas Laut China Selatan. Dengan terus melakukan tindakan agresif diikuti upayanya untuk memperkuat kapabilitasnya menjadi negara hegemon regional maupun dunia melalui ekonomi dan militernya.



KESIMPULAN Kebijakan luar negeri Tiongkok sangat dipengaruhi oleh kepentingan nasionalnya yang ditunjukkan dari faktor internal dan faktor subjektif pemimpin China. Terdapat ketidaksesuaian antara peran China sebagai anggota PBB dengan tindakan agresifnya di Laut China Selatan. China juga tidak memiliki komitmen terhadap hukum internasional dimana China menerima negoisasi penyelesaian sengketa secara damai, namun tetap melakukan tindakan agresif yang merugikan banyak negara. Sebagai salah satu negara besar dalam keanggotaan PBB, seharusnya China bisa menjadi panutan bagi negara-negara lain untuk mematuhi hukum internasional dan menciptakan keamanan regional maupun internasional.



8



DAFTAR PUSTAKA https://tirto.id/sejarah-panjang-konflik-dan-niaga-di-laut-cina-selatan-dkyE https://www.cnbcindonesia.com/news/20200514145623-4-158505/negara-negara-ini-ributdengan-china-di-laut-china-selatan Jackson, R., Sorensen, George. (2014). Pengantar Studi Hubungan Internasional. (edisi kelima).Yogyakarta:Pustaka Pelajar. http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-6/20416182-TA-Yeom%20Ji%20Won.pdf http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2010/06/perspektif_perspektif_politik_luar_negeri.pdf https://www.researchgate.net/publication/327829570_IMPIAN_TIONGKOK_NASIONALIS ME_TIONGKOK_MELINTAS_BATAS_DALAM_PEMBANGUNAN_TIONGKOK



9