Strategi Politik Luar Negeri China Dan Analisa Mengenai Transformasi Politik Luar Negeri China Dan Penerapan Politik Luar Negeri China Dalam ASEAN+3 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik . Universitas Indonesia



Ujian Tengah Semester Hubungan Luar Negeri dan Keamanan China – Take Home Test Nama : Erika NPM : 0706291243



Strategi Politik Luar Negeri China dan Perkembangannya Analisa Mengenai Transformasi Politik Luar Negeri China dan Penerapan Politik Luar Negeri China dalam ASEAN+3



Menyoroti perkembangan politik luar negeri China memang merupakan hal yang menarik, apalagi mengingat China kini sedang menjadi salah satu kekuatan utama dunia dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat besar. Tidak hanya mencapai pertumbuhan ekonomi yang masif, pengaruh politik China dalam berbagai bentuk institusi internasional pun mulai meningkat. Berbagai perkembangan tersebut menjadikan China sebagai kekuatan yang hadir sebagai lawan utama hegemon dunia, Amerika Serikat. Padahal jika mau dirunut lebih lanjut, China merupakan pemain yang terbilang baru dalam dunia internasional, terutama jika dibandingkan dengan AS yang memang telah menjadi hegemon dunia sejak masa Perang Dunia II. Di saat AS sedang jaya-jayanya di dunia internasional, China justru masih menerapkan sistem politik dan perekonomian yang cenderung tertutup. Pada masa kepemimpinan Mao Zhidong, yaitu sekitar taun 1949-1976, politik luar negeri China masih diarahkan sepenuhnya untuk mengembalikan kekuatan China melalui pendekatan hubungan China dengan negara-negara sosialis lain untuk melawan AS kala itu. China pada masa dominasi Mao sangat curiga dengan kekuatan imperialis, sehingga politik luar negeri China kala itu selalu diarahkan untuk melawan AS. China bahkan pernah menerapkan politik isolasionisme pada masa dominasi Mao ini. Transformasi China menjadi salah satu negara yang mulai mendapat sorotan dalam sistem internasional terjadi pada masa kepemimpinan Deng Xiaoping (tahun 1979-1989), di mana ketika itu China mulai mengadopsi kebijakan yang pragmatis dengan menjadikan ekonomi domestik sebagai fokus utama politik luar negerinya. China mulai menerapkan “Open Door Policy”. Jika sebelumnya China selalu menjadi kekuatan triangular dalam hubungan AS dengan Soviet, pada masa kini China mulai melancarkan politik luar negerinya yang independen. Berbagai perubahan total dilakukan pada masa ini, baik perubahan yang sifatnya domestik maupun perubahan dengan melibatkan sistem internasional. Pada sisi domestik, peningkatan pertumbuhan ekonomi domestik menjadi fokus utama politik luar negeri China kala ini. Pada sisi internasional, China mulai menjalin hubungan baik dengan dunia internasional, terutama dengan Page | 1



Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik . Universitas Indonesia



negara-negara di Asia Tenggara untuk menjamin terciptanya lingkungan yang indusif bagi pertumbuhan ekonomi China. Transformasi China dari yang tadinya sempat menerapkan praktek isolasionisme menjadi memfokuskan politik luar negerinya untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi sukses melahirkan China yang baru. China pun mulai mencapai angka pertumbuhan ekonomi yang masif. Keberadaan China sebagai salah satu “great power” mulai diperhitungkan. Selepas masa kepemimpinan Deng Xiaoping, China kemudian dipimpin oleh Jiang Zemin (tahun 1989-2002), di mana pada masa ini tidak terlalu nampak perubahan yang signifikan dalam alur politik luar negeri China. China masih tetap fokus pada pertumbuhan ekonomi, sambil terus aktif dalam berbagai institusi internasional. Pada era ini, terjadi penafsiran sosialisme menjadi seusatu yang lebih liberal, di mana fokus politik luar negeri China diarahkan pada penciptaan tatanan internasional yang multipolar. Perekonomian China pun, seperti pada era Deng Xiaoping, lebih bersifat liberal dengan AS sebagai porosnya. Revolusi yang dilakukan China paska Mao melahirkan kesadaran pada China akan pentingnya elemen pasar, namun kewenangan negara tetaplah unsur yang krusial dalam politik luar negeri China. Era selanjutnya setelah kepemimpinan Jiang Zemin adalah era kepemimpinan Hu Jintao (tahun 2002-sekarang). Pada era ini, China sudah menjadi major power, terutama dalam hal perekonomian. Pertumbuhan ekonomi terjadi sangat pesat. China pun semakin gencar mempromosikan globalisasi ekonomi dan multipolarisme. Pada era ini, arah politik luar negeri China pun semakin jelas: China ingin menciptakan situasi internasional yang kondusif bagi pertumbuhan ekonominya dengan cara menghindari konfrontasi yang ada. Partisipasi aktif China dalam institusi internasional pun makin terasa, terutama melalui kebergabungan China dalam World Trade Organization (WTO) pada 2001. Tidak hanya aktif secara global, China pun mulai aktif dan membangun berbagai kerja sama kawasan, salah satunya adalah melalui kerja sama ekonomi China, Jepang dan Korea Selatan dengan negara-negara ASEAN melalui ASEAN+3. Walaupun China semakin aktif dalam berbagai bentuk kerja sama kawasan dan internasional, bukan berarti China banyak memberikan komitmen yang bersifat mengikat pada institusi-institusi ini. Jika mau dicermati lebih lanjut, dalam segala bentuk partisipasinya melalui institusi regional dan global, China jarang sekali memberikan komitmen yang dapat mengikat kebebasan China sebagai negara yang non-konfrontatif. China cenderung mengambil posisi aman sambil tetap memfokuskan diri pada usaha pembangunan ekonomi nasionalnya. Berbagai penjelasan mengenai transformasi politik luar negeri China sejak jaman kepemimpinan Mao hingga masa kepemimpinan Hu Jintao membuktikan, telah terjadi perubahan signifikan dalam orientasi politik luar negeri China. China kini lebih melihat pencapaian pertumbuhan ekonomi domestik sebagai Page | 2



Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik . Universitas Indonesia



tujuan utama politik luar negeri yang diterapkannya. Adapun untuk mencapai pertumbuhan ekonominya, China terus membangun hubungan baik dengan negara-negara dunia; China juga cenderung menghindari konflik dengan negara-negara dunia, dan karenanya permasalahan keamanan merupakan hal yang agak sensitif bagi China. China lebih suka menyembunyikan cahayanya dengan menjalankan prinsip-prinsip non-intervensi dan non-konfrontasi. Prinsip non-intervensi dan non-konfrontasi China ini diwujudkan melalui terminologi “peaceful rise”, yang kemudian dijadikan salah satu bentuk politik luar negeri China.1 Bentuk politik luar negeri China dengan mengedepankan pertumbuhan ekonomi dan cenderung menghindari konfrontasi tersebut menunjukkan upaya China dalam meraih dua hal sekaligus, yaitu pemenuhan kepentingan nasional melalui pertumbuhan ekonomi domestiknya, serta penciptaan status sebagai “great power” yang cinta damai dan tidak hegemon di sistem internasional. Dalam penjelasan sebelumnya, penulis menyebutkan mengenai keaktifan China dalam menjalin kerja sama kawasan terutama dengan negara-negara ASEAN dalam bentuk ASEAN+3. Adapun hal ini sebenarnya merupakan hal yang menarik untuk dianalisa, karena dibanding memilih untuk menjalin kerja sama kawasan di kawasan Asia Timur (Northeast Asia) terlebih dahulu, China malah cenderung lebih memprioritaskan kerja samanya dengan ASEAN. Jika mau ditilik lebih lanjut, hingga kini belum pernah ada bentuk kerja sama yang benar-benar hanya melibatkan tiga negara di kawasan Asia Timur, yaitu China, Jepang dan Korea Selatan padahal ketiga negara tersebut sama-sama merupakan negara dengan angka pertumbuhan ekonomi yang relatif besar jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. ASEAN+3 sendiri merupakan bentuk kerja sama ekonomi pertama yang berhasil mempertemukan tiga negara Asia Timur tersebut dalam suatu forum. Sehubungan dengan analisa politik luar negeri China, China tampak lebih bersahabat dengan negara-negara ASEAN ketimbang dengan Jepang dan Korea Selatan yang lebih banyak memiliki kesamaan perekonomian. Sikap dan perilaku politik luar negeri China yang cenderung distant dengan Jepang dan Korea Selatan sebenarnya merupakan hal yang wajar, mengingat hubungan antar ketiganya memang tidak pernah akur sebelumnya. Berbagai perbedaan muncul dan menghambat terciptanya hubungan harmonis dalam kawasan ini, seperti misalnya faktor latar belakang sejarah yang berbeda, ikatan regional yang kurang kuat, ketakutan akan hadirnya ancaman, serta berbagai perbedaan sistem politik yang ada. Dari sekian banyak faktor yang menghambat terciptanya kerja sama di kawasan Asia Timur, faktor yang disebut-sebut paling berpengaruh adalah adanya bad historical background yang lantas membuat hubungan dua kekuatan besar di Asia Timur—Jepang dan China—menjadi tidak akur. Hubungan tidak akur Jepang-China ini sebenarnya 1



Fareed Zakaria, “The Challenger”, dalam The Post American World. (New York: W. W. Norton&Co., 2008), hal. 86-128 Page | 3



Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik . Universitas Indonesia



dimulai pada masa Perang Dunia II, ketika tentara Jepang dengan brutal menyerang dan menghabisi rakyat China. Ketika itu, Kaisar Hirohito memerintahkan pasukan Jepang untuk menyerang dan menduduki China. Bangsa Jepang pun ketika itu menyebut China sebagai “Chancorro” (artinya ras yang lebih rendah dari manusia). Karena pasukan Jepang menganggap rakyat China adalah makhluk yang lebih rendah dari manusia, pasukan Jepang menjadi lebih tega dalam menyiksa rakyat China. Penjarahan, perkosaan, pembunuhan, dan berbagai tindak kejahatan lain terjadi di seluruh pelosok China. Semua tindakan itu mempunyai tujuan yang sama : mendirikan Kekaisaran Jepang di China.2 Faktor penghambat lain yang juga mempersulit terbentuknya regionalisme di Asia Timur adalah karena kurangnya kemauan dari negara-negara Asia Timur itu sendiri untuk melakukan negosiasi dan kerja sama di antara mereka3. Hal ini terbukti dari sedikitnya kerja sama yang dihasilkan antar negara-negara Asia Timur tersebut tanpa bantuan organisasi kawasan lain. Jika ada pun, perjanjian kerja sama tersebut seringkali terhenti karena kurang digarap dengan baik. Sebagai contoh, perjanjian kerja sama antara Jepang dan Korea Selatan yang dimulai dengan adanya kunjungan Presiden Korea Kim Dae Jung ke Tokyo pada Oktober 19984. Kunjungan ini sebenarnya merupakan langkah yang baik, akan tetapi kunjungan ini tidak lantas disikapi dengan baik—baik oleh Pemerintah Jepang maupun oleh Pemerintah Korea Selatan—sehingga negosiasi antara Jepang dan Korea Selatan pun terhenti. China dan Jepang bahkan belum pernah mengadakan suatu perjanjian kerja sama sendiri. Hal tersebut dikarenakan kurangnya kemauan dari ketiga negara Asia Timur tersebut untuk bekerja sama satu sama lain. Adapun kemudian berbagai faktor penghambat tersebut seakan berhasil dijembatani ketika China, Jepang dan Korea Selatan lantas memutuskan untuk bergabung dalam suatu bentuk kerja sama regional, yaitu dalam bentuk ASEAN+3. Ketika itu, baik China, Jepang maupun Korea Selatan bersedia melupakan permusuhannya satu dengan yang lain, untuk bersama-sama mengatasi dampak dari Krisis Asia yang memporak-porandakan wilayah tersebut. Adapun kerjasama antara negara-negara ASEAN dengan Jepang, China, dan Korea Selatan itu sebenarnya telah dimulai sejak 1997 silam, ketika diadakan pertemuan antara 10 pemimpin ASEAN dengan 3 pemimpin negara tersebut. Pertemuan tahun 1997 itu kemudian mendasari pertemuan-pertemuan lain yang diselenggarakan oleh 10 negara ASEAN dan 3 negara Asia Timur itu. ASEAN+3 sendiri terbentuk sebagai jawaban terhadap krisis Asia yang terjadi pada tahun 1997. Krisis keuangan yang kala itu terjadi di Asia menyadarkan negara-negara Asia Timur bahwa mereka memerlukan suatu pengaturan yang baik dalam hal perdagangan dan keuangan internasional agar jika terjadi krisis serupa, 2 3



4



Data didapatkan penulis dari film Horror in the East. Gilbert Rozman. Northeast Asia’s Stunted Regionalism: Bilateral Distrust in the Shadow of Globalization. (United States: Cambridge University Press, 2004).. John Ravenhill. East Asian Regionalism, Much Ado About Nothing. (Canberra: Australian National University, Department of International Relations, 2008), hal. 22. Page | 4



Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik . Universitas Indonesia



negara Asia Timur tidak kembali terpuruk. Karena itu tujuan utama dari dibentuknya ASEAN+3 adalah untuk membangun mekanisme pengaturan sistem makroekonomi dan kerja sama keuangan yang lebih baik agar krisis serupa dapat dicegah di masa depan. Meluasnya dampak negatif dari Krisis Asia ke seluruh negara Asia Timur menyadarkan pemimpin Jepang, China, dan Korea Selatan bahwa sebenarnya negara-negara Asia Timur mempunyai saling ketergantungan satu sama lain. Interdependensi antar negara Asia Timur itu kemudian menuntut adanya suatu bentuk kerja sama regional yang menyatukan mereka, bersama dengan wilayah Asia Tenggara yang ketika itu juga mengalami kehancuran finansial akibat Krisis Asia tahun 1997-1998. Sehubungan dengan hal ini, Stuart Harris mengatakan bahwa Krisis Asia menyadarkan negara-negara Asia Timur bahwa mereka tidak bisa sepenuhnya bergantung pada organisasi yang telah ada, negara Asia Timur harus membentuk organisasi baru untuk mencegah agar krisis serupa tidak terjadi lagi5. Krisis Asia yang terjadi kala itu juga menurunkan image Amerika Serikat sebagai negara penjamin keuangan internasional, karena ternyata IMF sebagai organisasi yang didominasi Amerika Serikat, tidak mampu menangani Krisis Asia, dan malah justru memperparah kondisi keuangan Asia Timur kala itu. Anggapan bahwa Amerika Serikat dan berbagai lembaga internasional yang ada kini tidak dapat lagi melindungi keuangan internasional melahirkan keinginan dari negara-negara non-Barat, salah satunya adalah Asia Timur, untuk melindungi sendiri kepentingan negaranya. Negara-negara Asia Timur pun lantas mulai membangun cadangan devisanya, dan mulai membangun kerja sama regional dengan ASEAN untuk melahirkan suatu nilai tukar baru agar krisis keuangan serupa tidak terjadi lagi 6. Negara-negara ASEAN+3 juga sepakat untuk membentuk sebuah Asian Monetary Fund, sebuah lembaga untuk mengatur dan mengawasi kondisi keuangan Asia karana IMF dirasa tidak lagi sesuai paska Krisis Asia7. Kerja sama dalam bidang keuangan ini disebut-sebut sebagai kemajuan terbesar dari terbentuknya ASEAN+38, yang lantas mendorong terbentuknya kerja sama dalam berbagai bidang lain dalam kerangka ASEAN+3. Beberapa akademisi Asia Pasifik, seperti Drysdale, Elek, dan Soesastro mengatakan kerja sama antar negara-negara ASEAN dengan tiga negara Asia Timur dilaksanakan dengan berdasar pada tiga prinsip utama, yaitu keterbukaan, persamaan, dan pembangunan 9 . Prinsip keterbukaan menuntut adanya transparansi dan non-diskriminasi pada berbagai kebijakan ekonomi dan perdagangan antar negara-negara



5



6 7



8 9



Stuart Harris. The Regional Response in Asia-Pacific and its Global Implications, dipersentasikan pada 3rd Annual Conference di University of Warwick, 16-18 September 1999. Joint Ministerial Statement, ASEAN + 3 Finance Ministers Meeting. www.mof.go.jp/english/if/if014.htm Naoko Munakata. Transforming East Asia, the Evolution of Regional Economic Integration. (Washington D.C.: Brookings Institution Press, 2006), hal. 102. Ibid, hal. 106. Yeo Lay Hwee. Realism and Reactive Regionalism: Where Is East Asian Regionalism Heading? http://revistas.ucm.es/cps/16962206/articulos/UNIS0505230008A.pdf, diakses pada 7 Mei 2009, pukul 21.07. Page | 5



Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik . Universitas Indonesia



ASEAN+3. Prisip persamaan mengandung arti bahwa segala aktivitas harus dilakukan demi keuntungan bersama/mutual benefit bagi seluruh negara-negara ASEAN+3, dengan mempertimbangkan struktur ekonomi dan politik masing-masing negara. Sementara pada prinsip pembangunan, negara-negara ASEAN+3 akan bersama-sama melaksanakan pembangunan secara gradual menuju terciptanya kerja sama ekonomi dengan berdasar pada voluntary participation dan consensus building. 10 Kerja sama dalam ASEAN+3 ini melibatkan pertukaran informasi, dialog kebijakan, pengaturan likuiditas regional seperti yang dihasilkan dari Chiang Mai Initiative, serta proses pembuatan keputusan bersama untuk beberapa area tertentu seperti dalam koordinasi nilai tukar uang.11 Dari penjelasan mengenai partisipasi China dalam ASEAN+3 tersebut, dapat dilihat bahwa partisipasi China di kawasan Asia Tenggara merupakan partisipasi yang cenderung bersifat akomodatif demi mencapai bentuk kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan. Di sini, baik ASEAN maupun China, Jepang dan Korea Selatan masing-masing memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk menciptakan kawasan Asia Timur+Tenggara yang lebih siap dan stabil dalam menghadapi kemungkinan krisis di masa depan. Adanya kepentingan yang sama membuat China mengesampingkan perbedaan dan hubungan kurang akurnya dengan Jepang dan Korea Selatan untuk kemudian duduk bersama dalam wadah ASEAN+3. Di sisi lain, partisipasi China di kawasan Asia Timur, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, memang cenderung kurang akomodatif karena masih diwarnai oleh adanya bad historical background antar ketiganya. Hal tersebut terbukti dari tidak adanya bentuk kerja sama regional yang benar-benar hanya melibatkan China, Jepang dan Korea Selatan. Adapun implikasi dari bentuk kerja sama ASEAN+3 yang dijalin China dengan Jepang, Korea Selatan dan negara-negara ASEAN mendatangkan keuntungan baik bagi China maupun bagi ASEAN. Bagi China sendiri, adanya kerja sama ASEAN+3 semakin mempererat hubungannya dengan negara-negara ASEAN, sekaligus merupakan batu loncatan dalam menggagas kerja sama lebih spesifik dengan ASEAN, misalnya melalui ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) yang baru berlaku pada 1 Januari 2010 kemarin. Sebelum adanya kerja sama ekonomi dengan China, ASEAN cenderung melihat China sebagai aggresive hegemon, akan tetapi setelah berbagai kerja sama ekonomi ASEAN-China terjalin, salah satunya melalui ASEAN+3, kehadiran China mulai dilihat sebagai good neighbour. Hal ini tentu saja memberikan keuntungan bagi China berupa terciptanya lingkungan yang kondusif bagi perkembangan China secara regional, juga memberikan berbagai keuntungan ekonomi seperti misalnya perluasan pasar bagi 10



11



Peter Drysdale, et.all. “Open Regionalism: The Nature of Asia Pacific Integration,” dalam Peter Drysdale dan David Vines (ed.), Europe, East Asia and APEC. (Australia: Cambridge University Press, 1998), hal. 105-106. Masahiro Kawai. Regional Economic Integration and Cooperation in East Asia, dipersentasikan pada Experts’ Seminar on the Impact and Coherence of OECD Country Policies on Asian Developing Economies, tanggal 10-11 Juni 2004, Paris. Page | 6



Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik . Universitas Indonesia



produk-produk China, peningkatan arus investasi ke China, dan berbagai keuntungan ekonomi lainnya. Di sisi lain, negara-negara ASEAN+2 (Jepang dan Korea Selatan) juga tentunya menikmati keuntungan yang tidak sedikit. Keuntungan yang didapat oleh negara-negara ASEAN+2, selain berupa stabilitas ekonomi yang dihasilkan melalui mekanisme koordinasi nilai tukar uang, juga berupa perluasan pasar bagi ekspor produk-produk negara ASEAN+2, mengingat China merupakan negara yang berpenduduk terbesar di dunia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ASEAN+3 pada akhirnya akan melahirkan suatu bentuk kerja sama yang bersifat mutual benefit bagi seluruh negara anggotanya, sekaligus mengubah status quo China di kawasan Asia Timur+Tenggara, yaitu dari negara yang dikhawatirkan bersifat sebagai aggresive hegemon menjadi sebuah good neighbour. ASEAN+3 juga, penulis rasa, merupakan bentuk kerja sama ekonomi regional yang turut membantu pencitraan “peaceful rise” sebagai bentuk politik luar negeri China. Dari berbagai penjelasan mengenai transformasi politik luar negeri China sejak era Mao sampai era Hu Jintao sekarang, serta dari penjelasan mengenai bentuk politik luar negeri China di kawasan Asia Tenggara+Jepang dan Korea Selatan dalam bentuk ASEAN+3, penulis menemukan bahwa terdapat kompleksitas dalam memahami strategi politik luar negeri China. Adapun, strategi politik luar negeri China hanya dapat dipahami bila kita menggunakan dua macam perspektif sekaligus, yaitu perspektif generalis (pendekatan studi HI) dan perspektif spesialis (sinology), di mana penggunaan kedua perspektif tersebut tidak dapat dipisah dan bersifat saling melengkapi dalam menganalisa politik luar negeri China. Transformasi politik luar negeri China sejak era Mao hingga era Hu Jintao, misalnya, tidak mungkin dapat dianalisa tanpa melihat dinamika internal China seperti misalnya pergantian kepemimpinan yang menyebabkan adanya pergantian target/sasaran dalam politik luar negeri China, serta kondisi perekonomian dalam negeri China seperti besarnya disparitas kaya-miskin yang memaksa China untuk memfokuskan politik luar negerinya pada usaha peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional. Di sisi lain, penting juga untuk menganalisa transformasi politik luar negeri China dari kacamata seorang generalis, yaitu bahwa transformasi tersebut terjadi karena adanya pergantian sistem internasional. Pergantian sistem internasional yang terjadi, misalnya, berupa hancurnya Soviet yang lantas menjadikan AS sebagai satu-satunya hegemon dunia, ataupun berupa berkurangnya peran negara dalam dominasi studi Hubungan Internasional. Bentuk kerja sama China dalam ASEAN+3 juga hanya dapat dianalisa jika kita menggunakan kedua perspektif tersebut. Orientasi China untuk lebih mengutamakan kerja sama dengan ASEAN ketimbang dengan Jepang dan Korea Selatan, misalnya, dapat dijelaskan lewat kacamata seorang spesialis yaitu dari hubungan sejarah yang buruk antara China dengan Jepang dan Korea Selatan yang lantas menyebabkan hubungan antar ketiganya lebih bersifat distant. Sementara melalui kacamata seorang generalis, kita dapat melihat bahwa Page | 7



Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik . Universitas Indonesia



kerja sama ASEAN+3 tersebut terjalin sebagai respon dari Krisis Asia yang melanda kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur pada 1997-1998, yang melahirkan sebuah urgensi akan pentingnya sebuah kerja sama kawasan terutama untuk mencegah agar krisis serupa di masa depan tidak akan menghancurkan kawasan ini lagi. Tuntutan dari sistem internasional yang seakan lebih memihak Barat mendorong China dan negara-negara ASEAN+3 lain untuk membentuk kerja sama ekonomi di kawasan Asia Timur tersebut. Sehingga kesimpulannya, pemahaman akan kompleksitas politik luar negeri China hanya dapat dilakukan dengan menggabungkan analisa komprehensif dari perspektif generalis dan kedalaman dari perspektif seorang sinolog. Keberagaman isu yang ada di China serta dinamika politik-ekonomi domestik di dalamnya, menjadikan strategi politik luar negeri China hanya dapat dipahami dengan menggabungkan perspektif yang bersifat generalis dan spesialis.



Page | 8