Politik Luar Negeri Soekarno [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KATA PENGANTAR



Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang, puji syukur kami panjatkan kepada sang pencipta jagad raya ini, karena dengan rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini sebagai syarat nilai tugas dalam Mata Kuliah Politik Luar Negeri RI. Salawat beriringkan salam tidak bosan-bosannya kami paparkan kepada baginda Muhammad SAW beserta kepada sahabat-sahabat beliau sekalian. Dalam penyusunan makalah ini kami telah banyak mendapatkan bantuan, bimbingan serta dorongan dari berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung.Dengan demikian pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu. Kami sangat menyadari bahwa makalah ini belum sempurna bahkan masih terdapat kekurangan di berbagai bahasan.Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi perbaikan makalah ini agar lebih sempurna dan dapat dijadikan sebagai rujukan oleh pembaca.



Bandung, 19 November 2015 Penyusun



1



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR1 DAFTAR ISI 2 BAB I PENDAHULUAN



3



Latar Belakang Masalah...................................................................................................3 1.1



Rumusan Masalah..............................................................................................3



1.2



Tujuan Penulisan................................................................................................3 BAB II PEMBAHASAN



4



1.3



Landasan Politik Luar Negeri Indonesia............................................................4



1.4



Politik Luar Negeri Bebas Aktif........................................................................5



1.5



Pelaksanaan Politik Luar Negeri Bebas Aktif pada Masa Orde Lama..............6



1.6



Pembebasan Irian Barat.....................................................................................7



1.7



Konfrontasi Terhadap Malaysia ( 1963-1966 )..................................................8



1.8



Politik Mercusuar.............................................................................................10



Perwujudan Politik Luar Negeri Indonesia Bebas Aktif................................................11 1.1



Menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung



11



1.2



Mendirikan Gerakan Non Blok 13



1.3



Mengirimkan Misi Pasukan Garuda / Kontingen Garuda (KONGA) 13



1.4



Menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 15 BAB III PENUTUP 16 REFERENSI 17



2



BAB I PENDAHULUAN



Latar Belakang Masalah Dalam semangat kemerdekaan yang masih berkobar, para pemimpin bangsa seperti Soekarno, Syahrir dan Hatta secara bertahap berusaha memikirkan dan merumuskan politik luar negeri indonesia yang paling cocok bagi kepentingan nasional Indonesia. Yang mana kepentingan nasional yang utama dan paling penting saat itu adalah pengakuan dari dunia internasional atas kedaulatan negara indonesia yang telah diproklamasikan pada agustus 1945. Pada saat itu Indonesia belum mendapatkan pengakuan atas kedaulatannya dan eksistensinya sebagai negara oleh dunia internasional terutama pihak Belanda yang masih mengakui Indonesia sebagai negara jajahannya. Oleh karena itu, politik luar negeri Indonesia pada awal kemerdekaan lebih ditujukan untuk mempertahankan kemerdekaan dan memperoleh pengakuan internasional atas proses dekolonisasi yang belum selesai di Indonesia pada saat itu. Dan untuk mewujudkan kepentingan nasionalnya tersebut, soekarno berusaha menggunakan strategi penggalangan kekuatan internasional serta diplomasi walaupun pada kenyataannya mendapatkan pengakuan internasional atas republik Indonesia melalui cara diplomatik tidaklah semudah dalam pelaksanaannya. Dengan demikian, politik luar negeri saat itu dijiwai oleh kekuatan bersenjata dan diplomasi. (Suryadinata:1998) a. Rumusan Masalah 1. Apa saja kebijakan yang dirumuskan dalam pelaksanaan politik luar negeri pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno ? 2. Bagaimana pelaksanaan Politik Luar Negeri Indonesia di era Soekarno ? 3. Apa saja pencapaian yang telah diraih dalam hal pelaksanaan politik luar negerinya ? b. Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui asal mula terjadinya Politik Luar Negeri Indonesia di era Soekarno 2. Untuk mengetahui pelaksanaan Politik Luar Negeri Indonesia di era Soekarno



3



BAB II PEMBAHASAN



c. Landasan Politik Luar Negeri Indonesia



Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif memilki landasan yang kuat dan kokoh. Landasan tersebut tercantum pada alinea pertama dan keempat Pembukaan UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 serta pasal 11 UUD 1945. Dalam alinea pertama disebutkan, " penjajahan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan." Sedangkan dalam alinea keempat dinyatakan, " ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial " Pasal 11 ayat 1 UUD 1945 berbunyi, "Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain." Selain landasan tersebut, pelaksanaan politik luar negeri Indonesia bebas aktif juga berdasar pada Keterangan Pemerintah di depan sidang BP-KNIP tanggal 2 September 1948. Politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif tetap diabdikan untuk mencapai kepentingan dan tujuan nasional bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Secara sosial bangsa Indonesia menghendaki kehidupan yang damai dengan semua negara di dunia. Sebab itu, kita tidak hanya menjalin kerjasama dengan negaranegara tertentu saja. Kita terbuka terhadap semua bangsa dan negara dalam menjalin kerjasama. Secara kejiwaan, apabila bangsa kita membatasi diri hanya dengan negara negara tertentu saja, maka dapat menyebabkan bangsa kita terkucil oleh salah satu kelompok. Karena alasan itu juga, bangsa Indonesia menentukan haluan politik luar negeri yang bebas aktif. Bebas artinya dalam menjalin hubungan internasional tidak dibatasi pada negara-negara tertentu saja. Aktif artinya, bangsa kita tak mau tinggal diam dalam upaya menciptakan perdamaian dan keamanan internasional.



4



d. Politik Luar Negeri Bebas Aktif



Sebagai negara bekas koloni yang baru saja merdeka, Indonesia dihadapkan pada sebuah pilihan sulit, tarikan eksternal dan kebutuhan dana untuk menyukseskan program pembangunan, pilihan untuk membangun perekonomian seringkali berujung pada masuknya sebuah negara ke kubu-kubu politik tertentu –untuk mendapatkan ‘bantuan’. Inilah sebabnya, sebuah pembangunan akan sangat menentukan bagi politik luar negeri sebuah negara. Dalam sejarah bangsa Indonesia, sejak tanggal 2 September 1948, Pemerintah Indonesia mengambil haluan bebas aktif untuk politik luar negerinya. Dalam sidang Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), Pemerintah Indonesia menyampaikan sikap politik luar negeri Indonesia seperti berikut. Sikap pemerintah tersebut dipertegas lagi oleh kebijakan politik luar negeri Indonesia yang antara lain dikemukakan oleh Drs. Moh. Hatta. Ia mengatakan, bahwa tujuan politik luar negeri Indonesia adalah sebagai berikut: 1. Mempertahankan kemerdekaan bangsa dan menjaga keselamatan negara; 2. Memperoleh barang-barang dari luar untuk memperbesar kemakmuran rakyat, apabila barang-barang itu tidak atau belum dapat dihasilkan sendiri; 3. Meningkatkan perdamaian internasional, karena hanya dalam keadaan damai Indonesia dapat membangun dan syarat-syarat yang diperlukan untuk memperbesar kemakmuran rakyat; 4. Meningkatkan persaudaraan segala bangsa sebagai cita-cita yang tersimpul dalam Pancasila, dasar dan falsafah negara Indonesia. Politik yang bebas aktif, bebas berarti bahwa bangsa Indonesia bebas menentukan dan berhubungan dengan negara mana pun. Kita tidak membatasi hubungan dengan bangsa-bangsa Eropa saja atau dengan bangsa Timur saja. Kita berhubungan dengan semua bangsa di dunia. Aktif, artinya bahwa bangsa Indonesia turut aktif dalam menciptakan perdamaian dunia. Perwujudannya, bahwa bangsa Indonesia akan berusaha untuk membantu negara-negara yang terjajah agar terbebas dari penjajahan, tidak mau menjajah bangsa lain, dan selalu mengutamakan jalan pemecahan dengan cara damai terhadap setiap konflik yang terjadi. Berikut adalah kutipan dari pernyataan Hatta “Pemerintah berpendapat bahwa pendirian yang harus kita ambil ialah supaya kita jangan menjadi objek dalam pertarungan internasional, melainkan kita harus tetap menjadi subjek yang berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak memperjuangkan 5



tujuan kita sendiri, yaitu merdeka seluruhnya”. Inilah yang kemudian mencetuskan politik bebas aktif.



e. Pelaksanaan Politik Luar Negeri Bebas Aktif pada Masa Orde Lama



Pada masa orde lama (Demokrasi Terpimpin), politik luar negeri Indonesia pernah belok ke arah negara-negara Eropa Timur atau Uni Soviet, dan politik luar negeri Indonesia juga menjadi lebih militan, dikarenakan saat itu Indonesia menentang keras adanya nekolim, yakni imperialisme, kolonialisme, dan neokolonialisme (Bunnell, 1966:37). Kebijakan Soekarno dalam politik luar negeri yang cenderung konfrontatif ini didasarkan pada dua faktor utama, yakni ideologi dan psikologi. Dari segi ideologi, Soekarno menganut paham neo-Marxis Leninis yang melihat pada sejarah kontemporer yang berisikan pertentangan antara negara kapitalis lama (Barat) dengan negara-negara yang baru muncul serta negara-negara sosialis baru (Bunnell, 1966:38). Sedangkan dalam segi psikologi, trauma akibat praktek imperialisme dan kolonialisme oleh negara-negara Barat yang begitu lama membuat Soekarno perlu untuk mencantumkan politik konfrontasi sebagai arah kebijakan politik luar negerinya. Ketidaksukaan Soekarno terhadap imperialisme juga dapat dilihat dari responnya terhadap keberadaan Belanda di Irian Barat. Tindakan militer diambil untuk mengambil alih kembali Irian Barat ketika diplomasi dianggap gagal. Dukungan Amerika Serikat yang kemudian didapatkan Soekarno muncul sebagai akibat konfrontasi kedekatan Jakarta dengan Moskow. Taktik konfrontatif ini kemudian digunakan kembali oleh Soekarno ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia akibat pembentukan negara federasi Malaysia yang dianggap Indonesia pro terhadap imperialisme Barat. Dengan alasan itu, pemerintah Indonesia akhirnya membelokkan haluan politiknya ke arah timur (Uni Soviet). Indonesia mengambil haluan politik luar negeri dengan membentuk Poros Jakarta _ Hanoi _ Phnom Penh _ Peking _ Pyongyang.



6



f. Pembebasan Irian Barat Irian Barat, sebagai salah satu wilayah Indonesia yang seharusnya telah merdeka dari penjajahan Belanda tidak dapat merasakan kemerdekaan dari penjajahan tersebut. hal ini disebabkan oleh Belanda yang masih belum mau mengakui kemerdekaan Indonesia. Belanda menduduki wilayah Irian Barat sebagai bentuk penolakan kemerdekaan Indonesia tersebut. Demi kembalinya Irian Barat ke pangkuan Indonesia, pemerintah melakukan berbagai cara untuk melemahkan kekuatan Belanda di Indonesia. Soekarno sebagai Presiden Indonesia saat itu menerapkan berbagai kebijakan demi lepasnya Irian Barat dari Belanda. Perjuangan pembebasan Irian Barat tersebut, dilakukan diantaranya melalui jalan perundingan. Puncak dari berbagai perundingan yang dilakukan Indonesia dengan Belanda adalah Konferensi Meja Bundar. Konferensi Meja Bundar tersebut diadakan di Den Haag, Belanda pada tahun 1949. Hingga akhirnya Belanda melanggar hasil Konferensi Meja Bundar tersebut, yakni ketika Belanda enggan menyerahkan Irian Barat pada Indonesia bahkan setelah satu tahun disepakatinya hasil perundingan tersebut. Sedangkan dalam perundingan tersebut dituliskan bahwa Belanda harus menyerahkan Irian Barat Kepada Indonesia setahun setelah pelaksanaan Konferensi Meja Bundar. Sehingga akhirnya Soekarno menempuh jalan keras. Dalam rapat raksasa di Yogyakarta yang terjadi pada tanggal 19 Desember 1961, Soekarno mengeluarkan perintah yang dikenal sebagai Tri Komando Rakyat atau Trikora. Trikora tersebut berisi : 1. Gagalkan pembentukan “Negara Papua” bikinan Belanda kolonial. 2. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat tanah air Indonesia. 3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa. Selain itu, Soekarno juga melakukan jalan lain yakni melalui cara aksi massa, pengerahan sukarelawan dan penerjunan darurat di wilayah Irian Barat. Dalam pengerahan sukarelawan dan penerjunan darurat di wilayah Irian Barat tersebut, Indonesia dibantu oleh Uni Soviet yang saat itu terlibat Perang Dingin dengan Amerika Serikat sekaligus sebagai taktik dalam menarik perhatian Amerika Serikat. Tindakan tersebut dilatar belakangi oleh penolakan Amerika Serikat terhadap pemberian bantuan bersenjata ke Indonesia. Menghadapi hal tersebut, Amerika Serikat mendesak Belanda yang saat itu sebagai sekutunya agar segera berunding dengan Indonesia dengan syarat – syarat perundingan yang diajukan Amerika Serikat terhadap Belanda sangat 7



menguntungkan Indonesia. Selain itu, Amerika Serikat juga khawatir akan terjadinya konflik bersenjata di tanah Irian Barat. Sehingga 15 Agustus 1962 menjadi hari yang bersejarah bagi Indonesia. Dimana ditandanginya Perjanjian New York antara Indonesia dengan Belanda yang bertempat di Markas Besar PBB di New York. Isi perjanjian New York tersebut adalah : 1. Pemerintah Belanda akan menyerahkan Irian Barat kepada Penguasa Pelaksana Sementara PBB (UNTEA = United Nations Temporary Executive Authority) pada tanggal 1 Oktober 1962. 2. Pada tanggal 1 Oktober 1962 bendera PBB akan berkibar di Irian Barat berdampingan dengan bendera Belanda, yang selanjutnya akan diturunkan pada tanggal 31 Desember untuk digantikan oleh bendera Indonesia mendampingi bendera PBB. 3. Pemerintah UNTEA berakhir pada tanggal 1 Mei 1963, pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada pihak Indonesia. 4. Pemulangan orang-orang sipil dan militer Belanda harus sudah selesai pada tanggal 1 Mei 1963. 5. Pada tahun 1969 rakyat Irian Barat diberi kesempatan untuk menyatakan pendapatnya tetap dalam wilayah RI atau memisahkan diri dari RI melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Demikian juga ketika Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA). Dalam PEPERA yang diadakan di akhir tahun 1969 tersebut, rakyat Irian Barat memilih bergabung dengan Indonesia. Sehingga Belanda harus secepatnya keluar dari bumi Irian Barat, mengingat kedua belah pihak baik Indonesia maupun Belanda telah berjanji untuk menghormati hasil PEPERA tersebut. kemudian, hasil dari PEPERA tersebut dilaporkan ke New York melalui utusan Sekjen PBB Ortisz Sanz untuk dilaporkan dalam Sidang Umum PBB ke 24 pada November 1969. g. Konfrontasi Terhadap Malaysia ( 1963-1966 ) Disamping permasalahan pembebasan Irian Barat, Indonesia juga mengalami konfrontasi dengan Malaysia. Konfrontasi tersebut terjadi pada tahun 1963 hingga 1966. Hal tersebut dilatar belakangi oleh pernyataan Tengku Abdul Rachman, Perdana Menteri Malaya yang mengemukakan gagasan pembentukan Federasi Malaysia yang terdiri dari 8



Malaya, Singapura, Serawak, dan Sabah. Sehingga muncullah bentuk penolakan Indonesia atas pembentukan negara federasi tersebut dengan melahirkan konsep “Ganyang Malaysia”. Konsep tersebut merupakan bukti bahwa Indonesia menolak dan melawan adanya neokolonialisme yang terjadi di Malaysia. Soekarno beranggapan bahwa dengan adanya Negara Federasi Malaysia akan membuka jalan kolonialisme dan imperialisme di Asia Tenggara. Disamping itu, konsep Negara Federasi Malaysia sangat bertolak belakang dengan politik luar negeri bebas aktif yang dianut Indonesia. Selain itu, Indonesia beranggapan bahwa Negara Federasi Malaysia merupakan gagasan Inggris, bukan gagasan rakyat Malaya, Singapura, Serawak, dan Sabah. Selain itu, jika Negara Federasi Malaysia tersebut terbentuk Indonesia khawatir akan dikepung di sebelah utara oleh Inggris yang berujung pada proyek neokolonialisme yang membahayakan revolusi Indonesia. Tidak hanya Indonesia, Filipina juga menentang pembentukan Negar Federasi Malaysia. Hal ini didasari oleh keinginan Filipina untuk memiliki wilayah Sabah di Kalimantan Utara. Filipina beranggapan bahwa secara historis wilayah Sabah merupakan milik Sultan Sulu. Pada bulan April 1963 dilakukan beberapa pertemuan para menteri luar negeri Indonesia – Malaysia – Filipina sebagai upaya meredakan ketegangan antara ketiga tersebut sehingga tercapai kesepakatan bersamadengan dihadiri tiga kepala negara maupun kepala pemerintahan yakni PM Malaya Tengku Abdul Rachman, Presiden Indonesia Ir. Soekarno, dan Presiden Filipina Diosdado Macapagal diadakanlah KTT Maphilindo (Malaya, Philipina, dan Indonesia) di Manila (Filipina) pada 31 Juli – 5 Agustus 1963. Deklarasi Manila, Persetujuan Manila, dan Komunike Bersama merupakan hasil KTT Maphilindo yang berisi Indonesia dan Filipina menyambut baik pembentukan Federasi Malaysia seandainya rakyat Kalimantan Utara mendukungnya. Sehingga PBB membentuk suatu tim penyelidik dengan ditunjuknya delapan orang sekretariat di bawah pimpinan Lawrence Michelmore yang mulai bertugas pada 14 September 1963. Namun, sebelum tugas penyelidikan PBB tersebut selesai, Malaysia telah memproklamirkan berdirinya Negara Federasi Malaysia pada 16 September 1963. Tak dapat dipungkiri bahwa kenyataan tersebut mengejutkan Indonesia dan Filipina. Sehingga Indonesia beranggapan bahwa Malaysia telah menodai martabat PBB dan menyulut permusuhan dengan Indonesia. Sebagai bentuk penolakan, dicetuskanlah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) pada 3 Mei 1964 di Jakarta yang berisi : 1. Perhebat ketahanan revolusi Indonesia. 9



2. Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sabah, Serawak, dan Brunei untuk menggagalkan negara boneka Malaysia . Puncak ketegangan terjadi ketika Malaysia ditetapkan sebagai Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB. Hal ini menyulut kemarahan Indonesia. Hingga akhirnya pada 15 September 1965 Indonesia mundur dari PBB karena Soekarno beranggapan bahwa PBB berpihak pada blok barat. Mundurnya Indonesia dari PBB berujung pada terhambatnya pembangunan dan modernisasidi Indonesia karena menjauhnya Indonesia dari pergaulan Internasional.



h. Politik Mercusuar



Presiden Soekarno memperkenalkan doktrin politik baru berkaitan dengan sikap konfrontasi penuhnya terhadap imperialisme dan kolonialisme. Doktrin itu mengatakan bahwa dunia terbagi dalam dua blok, yaitu “Oldefos” (Old Established Forces) dan “Nefos” (New Emerging Forces). Soekarno menyatakan bahwa ketegangan-ketegangan di dunia pada dasarnya akibat dari pertentangan antara kekuatan-kekuatan orde lama (Oldefos) dan kekuatan-kekuatan yang baru bangkit atau negara-negara progresif (Nefos). Imperialisme, kolonialisme, dan neokolonialisme merupakan paham-paham yang dibawa dan dijalankan oleh negara-negara kapitalis Barat. Dalam upayanya mengembangkan Nefos, Presiden Soekarno melaksanakan Politk Mercusuar bahwa Indonesia merupakan mercusuar yang mampu menerangi jalan bagi Nefos di seluruh dunia. Salah satu tindakan usaha penguatan eksistensi Indonesia dan Nefos juga dapat dilihat dari pembentukan poros Jakarta – Peking yang membuat Indonesia semakin dekat dengan negara-negara sosialis dan komunis seperti China. Faktor dibentuknya poros ini antara lain, pertama, karena konfrontasi dengan Malaysia menyebabkan Indonesia membutuhkan bantuan militer dan logistik, mengingat Malaysia mendapat dukungan penuh dari Inggris, Indonesia pun harus mencari kawan negara besar yang mau mendukungnya dan bukan sekutu Inggris, salah satunya adalah China. Kedua, Indonesia perlu untuk mencari negara yang mau membantunya dalam masalah dana dengan persyaratan yang mudah, yakni negara China dan Uni Soviet. Namun sayangnya, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kebijakan- kebijakan luar negeri yang diinisiasi Soekarno untuk Indonesia rupanya kurang memperhatikan sektor domestik



10



Politik luar negeri pasca era Orde Lama juga ditandai dengan usaha keras Soekarno membuat Indonesia semakin dikenal di dunia internasional melalui beragam konferensi internasional yang diadakan maupun diikuti Indonesia (Bunnell, 1966:42). Tujuan awal dari dikenalnya Indonesia adalah mencari dukungan atas usaha dan perjuangan Indonesia merebut dan mempertahankan Irian Barat. Namun seiring berjalannya waktu, status dan prestige menjadi faktor-faktor pendorong semakin gencarnya Soekarno melaksanakan aktivitas politik luar negeri ini. Efek samping dari kerasnya usaha ke luar Soekarno ini adalah ditinggalkannya masalah-masalah domestik seperti masalah ekonomi. Soekarno beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi pada fase awal berdirinya suatu negara adalah hal yang tidak terlalu penting. Beliau beranggapan bahwa pemusnahan pengaruh-pengaruh asing baik itu dalam segi politik, ekonomi maupun budaya adalah hal-hal yang harus diutamakan dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi domestik (Bunnell, 1966:43). Soekarno dengan gencar melancarkan politik luar negeri aktif namun tidak diimbangi dengan kondisi perekonomian dalam negeri yang pada kenyatannya morat- marit akibat inflasi yang terjadi secara terus- menerus, penghasilan negara merosot sedangkan pengeluaran untuk proyek- proyek Politik Mercusuar seperti GANEFO (Games of The New Emerging Forces) dan CONEFO ( Conference of The New Emerging Forces) terus membengkak. Hal inilah yang pada akhirnya menjadi salah satu penyebab kebobrokan dan krisis Indonesia pada masa Orde Lama.



Perwujudan Politik Luar Negeri Indonesia Bebas Aktif



Sebagai bangsa yang menganut politik luar negeri bebas aktif, Indonesia melakukan berbagai kegiatan yang merupakan perwujudan dari politik luar negeri bebas aktif tersebut. Di antara kegiatan yang dilakukan sebagai wujud dari Politik Luar Negeri Indonesia Bebas Aktif adalah sebagai berikut.



i.



Menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung



Konferensi Tingkat Tinggi Asia–Afrika (disingkat KTT Asia Afrika atau KAA; kadang juga disebut Konferensi Bandung) adalah sebuah konferensi antara negara-negara Asia dan Afrika, yang kebanyakan baru saja memperoleh kemerdekaan. KAA 11



diselenggarakan oleh Indonesia, Myanmar (dahulu Burma), Sri Lanka (dahulu Ceylon), India dan Pakistan dan dikoordinasi oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Sunario. Pertemuan ini berlangsung antara 18 April-24 April 1955, di Gedung Merdeka, Bandung, Indonesia dengan tujuan mempromosikan kerjasama ekonomi dan kebudayaan AsiaAfrika dan melawan kolonialisme atau neokolonialisme Amerika Serikat, Uni Soviet, atau negara imperialis lainnya. Sebanyak 29 negara yang mewakili lebih dari setengah total penduduk dunia pada saat itu mengirimkan wakilnya. Konferensi ini merefleksikan apa yang mereka pandang sebagai ketidakinginan kekuatan-kekuatan Barat untuk mengkonsultasikan dengan mereka tentang keputusan-keputusan yang memengaruhi Asia pada masa Perang Dingin; kekhawatiran mereka mengenai ketegangan antara Republik Rakyat Tiongkok dan Amerika Serikat; keinginan mereka untuk membentangkan fondasi bagi hubungan yang damai antara Tiongkok dengan mereka dan pihak Barat; penentangan mereka terhadap kolonialisme, khususnya pengaruh Perancis di Afrika Utara dan kekuasaan kolonial perancis di Aljazair; dan keinginan Indonesia untuk mempromosikan hak mereka dalam pertentangan dengan Belanda mengenai Irian Barat. Sepuluh poin hasil pertemuan ini kemudian tertuang dalam apa yang disebut Dasasila Bandung, yang berisi tentang "pernyataan mengenai dukungan bagi kerusuhan dan kerjasama dunia". Dasasila Bandung ini memasukkan prinsip-prinsip dalam Piagam PBB dan prinsip-prinsip Nehru. Konferensi ini akhirnya membawa kepada terbentuknya Gerakan Non-Blok pada 1961. Maksud dan tujuan diadakannya Konferensi Asia Afrika di Bandung adalah untuk: 1. meningkatkan kemauan baik (goodwill) dan kerja sama antar bangsa-bangsa Asia Afrika, serta untuk menjajagi dan melanjutkan baik kepentingan timbale balik maupun kepentingan bersama; 2. mempertimbangkan masalah-masalah sosial, ekonomi, dan budaya dalam hubungannya dengan negara-negara peserta; 3. mempertimbangkan masalah-masalah mengenai kepentingan khusus yang menyangkut rakyat Asia Afrika, dalam hal ini yang menyangkut kedaulatan nasional, rasialisme, dan kolonialisme; 4. meninjau posisi Asia Afrika dan rakyatnya dalam dunia masa kini dan saham yang diberikan untuk peningkatan perdamaian dunia dan kerja sama internasional. 12



ii.



Mendirikan Gerakan Non Blok



Seusai Perang Dunia II, negara-negara di dunia terbagi ke dalam dua blok, yaitu Blok Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet. Adanya dua kekuatan tersebut menyebabkan terjadinya "Perang Dingin" (Cold War) di antara kedua blok itu. Akibatnya, suhu politik dunia menjadi memanas dan penuh dengan ketegangan-ketegangan. Kata Non-Blok diperkenalkan pertama kali oleh Perdana Menteri India Nehru dalam pidatonya tahun 1954 di Colombo, Sri Lanka. Gerakan Non-Blok bermula dari sebuah Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika sebuah konferensi yang diadakan di Bandung, Indonesia, pada tahun 1955. Di sana, negara-negara yang tidak berpihak pada blok tertentu mendeklarasikan keinginan mereka untuk tidak terlibat dalam konfrontasi ideologi Barat-Timur. Pendiri gerakan ini adalah lima pemimpin dunia yang terdiri dari Josip Broz Tito presiden Yugoslavia, Soekarno presiden Indonesia, Gamal Abdul Nasser presiden Mesir, Pandit Jawaharlal Nehru perdana menteri India, dan Kwame Nkrumah dari Ghana. Pertemuan pertama berlangsung tahun 1961 di Beogard guna mencetuskan prinsip politik bersama. Pengertian politik itu berbunyi “politik berdasarkan koeksistensi damai, bebas blok, tidak menjadi anggota persekutuan militer dan bercita cita melenyapkan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya”. Konferensi pertama negara non blok September 1961 di Beograd dianggap kelanjutan Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung. Sebanyak 25 negara ikut ambil bagian (8 dari Asia, 9 Afrika, 1 Eropa (Yugoslavia), 1 Amerika Latin (Kuba) dan 6 Arab. Tenaga pendorong konferensi ini adalah Presiden Tito yang semakin bergeser ke Dunia Ketiga karena ingin lepas dari isolasi kedua blok. Bertiga dengan Nehru dan Nasser, Tito memerankan kelompok vokal pertemuan. Konferensi membahas diskriminasi ras, bantuan untuk kemajuan dan perkembangan serta pelucutan senjata.



iii.



Mengirimkan Misi Pasukan Garuda / Kontingen Garuda (KONGA)



13



Politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif menyatakan, bahwa bangsa Indonesia akan senantiasa aktif dalam upaya menciptakan perdamaian dunia. Untuk mewujudkan misi ini, maka Indonesia mengirimkan misi perdamaian dunia dengan nama Pasukan Garuda. Pasukan ini diperbantukan untuk PBB dalam usaha turut mendamaikan daerah-daerah yang sedang bersengketa. Ketika Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Mesir segera mengadakan sidang menteri luar negeri negara-negara Liga Arab. Pada 18 November 1946, mereka menetapkan resolusi tentang pengakuan kemerdekaan RI sebagai negara merdeka dan berdaulat penuh. Pengakuan tersebut adalah suatu pengakuan de jure menurut hukum internasional. Untuk menyampaikan pengakuan ini Sekretaris Jenderal Liga Arab ketika itu, Abdurrahman Azzam Pasya, mengutus Konsul Jendral Mesir di India, Mohammad Abdul Mun'im, untuk pergi ke Indonesia. Setelah melalui perjalanan panjang dan penuh dengan rintangan terutama dari pihak Belanda maka akhirnya ia sampai ke Ibu Kota RI waktu itu yaitu Yogyakarta, dan diterima secara kenegaraan oleh Presiden Soekarno dan Bung Hatta pada 15 Maret 1947. Ini pengakuan pertama atas kemerdekaan RI oleh negara asing. Hubungan yang baik tersebut berlanjut dengan dibukanya Perwakilan RI di Mesir dengan menunjuk HM Rasyidi sebagi Charge d'Affairs atau "Kuasa Usaha". Perwakilan tersebut merangkap sebagai misi diplomatik tetap untuk seluruh negara-negara Liga Arab. Hubungan yang akrab ini memberi arti pada perjuangan Indonesia sewaktu terjadi perdebatan di forum Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan PBB yang membicarakan sengketa Indonesia-Belanda, para diplomat Arab dengan gigih mendukung Indonesia. Presiden Sukarno membalas pembelaan negara-negara Arab di forum internasional dengan mengunjungi Mesir dan Arab Saudi pada Mei 1956 dan Irak pada April 1960. Pada 1956, ketika Majelis Umum PBB memutuskan untuk menarik mundur pasukan Inggris, Prancis dan Israel dari wilayah Mesir, Indonesia mendukung keputusan itu dan untuk pertama kalinya mengirim Pasukan Pemelihara Perdamaian PBB ke Mesir yang dinamakan dengan Kontingen Garuda I atau KONGA I.



14



iv.



Menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)



Dalam rangka mewujudkan perdamaian dunia, bangsa Indonesia ikut aktif menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 28 September 1950 dengan nomor anggota ke-60. Pada masa Orde Lama (Demokrasi Terpimpin), Indonesia pernah menyatakan keluar dari keanggotaan PBB, yakni pada tanggal 7 Januari 1965. Pada saat itu, politik luar negeri Indonesia sedang condong ke Sovyet. Akan tetapi, setelah zaman orde baru, Indonesia kembali menjadi anggota PBB pada tanggal 28 September 1966 dan tetap pada urutan ke-60, karena oleh PBB Indonesia masih belum dicoret dari keanggotaan. Sebagai anggota PBB, bangsa Indonesia aktif terus dalam usaha menciptakan perdamaian dan keamanan dunia internasional, salah satu di antaranya ialah dengan aktifnya Indonesia dalam mengirimkan misi perdamaian yang tergabung dalam Misi Republik Indonesia Garuda / Kontingen Garuda (KONGA)



15



BAB III PENUTUP Dari penjelasan di atas kami menyimpulkan bahwa pergerakan politik luar negeri Indonesia senantiasa berubah dalam implementasinya. Pada masa awal kemerdekaan politik luar negeri Indonesia adalah bagaimana mencari dukungan sebanyak-banyaknya untuk mendapat pengakuan internasional. Kemudian lahirlah politik bebas aktif untuk menyikapi dualisame kekuatan dunia saat itu antara Amerika Serkat dan Uni Soviet. Selanjutnya di bawah komando Soekarno arah politik luar negeri Indonesia mengalami pergeseran dari semula yang tidak dipengaruhi oleh blok manapun menjadi lebih condong ke arah sosialis-komunis. Dampaknya ruang gerak Indonesia di forum internasional menjadi terbatas pada seputar negara-negara komunis semata. Dari sisi eksternal muncul konflik dengan Malaysia hingga Indonesia memutuskan untuk keluar dari PBB. Dari sisi internal Soekarno tidak memperhatikan perkembangan sektor domestik karena menurut Soekarno pergerakan Indonesia dalam lingkup internasional lebih penting. Meskipun begitu, masa pemerintahan Soekarno memberikan sumbangsih berarti bagi Indonesia, contohnya keberhasilan merebut kembali Irian Barat dari Belanda dan keaktifan Indonesia dalam kancah internasional melaui KAA, KTT Non Blok dan keikutsertaan Indonesia dalam PBB.



16



REFERENSI Bunnell, Frederick P., 1966. “Guided Democracy Foreign Policy: 1960-1965 President Sukarno Moves from Non-Alignment to Confrontation”, dalam Indonesia, 2: 37-76. Hatta, Mohammad, 1948. “Mendayung Antara Dua Karang: Keterangan Pemerintah tentang Politik-nya kepada Badan Pekerja K.N.P, 2 September 1948”, dalam Sejarah Asal Mula Rumusan Haluan Politik Luar Negeri Bebas Aktif , hlm 12-65.



Politik Luar Negeri Indonesaia Bebas Aktif. 2009. [online] dalam, http://www.scribd.com/doc/24673774/Politik-Luar-Negeri-Indonesia-KebebasaktifanYang-Oportunis Perjuangan Pembebasan Irian Barat. 2008. [online] dalam http://sejarahindonesia.co.cc/home/daftar-isi/demokrasi-terpimpin/perjuangan-pembebasan-irian-barat Kuswanto. 2011. Konfrontasi dengan Malaysia. [online] dalam. http://klikbelajar.com/pengetahuan-sosial/konfrontasi-dengan-malaysia/ (diakses pada 7 Oktober 2013) Konferensi Asia–Afrika. [online] dalam .https://id.wikipedia.org/wiki/Konferensi_Asia%E2%80%93Afrika



KTT Non-Blok. [online] dalam https://id.wikipedia.org/wiki/KTT_Non-Blok#Konferensi_pertama



17