Kebudayaan Masyarakat Banjar Sebelum Kedatangan Islam [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH “Kebudayaan Masyarakat Banjar Sebelum Kedatangan Islam” Mata Kuliah : Islam dan Budaya Banjar Dosen Pengajar : Akhmad Saihu, S.Ag, M.Pd.I



Di Susun Oleh Kelompok 1 : Rahul (2020140144) Muhammad Baihaqi (2020140169) Saipul Rahman (2020140145) SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUL ULUM KANDANGAN TAHUN AKADEMIK 2021



KATA PENGANTAR



Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Kebudayaan Masyarakat Banjar Sebelum Kedatangan Islam” ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh Bapak Akhmad Saihu, S.Ag, M.Pd.I pada mata kuliah Islam dan Budaya Banjar. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Kebudayaan Masyarakat Banjar Sebelum Kedatangan Islam bagi para pembaca dan juga bagi penulis. Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Akhmad Saihu, S.Ag, M.Pd.I, selaku dosen mata kuliah Islam dan Budaya Banjar yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.



Negara, Minggu 14 Maret 2021



Penulis



1



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ......................................................................... 1 DAFTAR ISI ........................................................................................ 2 BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 3 A.



Latar Belakang .................................................................................. 3



B.



Rumusan Masalah ............................................................................. 3



C.



Tujuan ............................................................................................... 4



BAB II PEMBAHASAN ..................................................................... 5 A.



Asal Usul Suku Banjar ...................................................................... 6



1.



Asal Usul Suku Banjar menurut Wikipedia ...................................... 6



2.



Asal Usul Suku Banjar menurut Jurnal Hasan (Dosen STIQ



Amuntai) ................................................................................................. 10 B.



Sejarah Masuknya Islam di Banjar ................................................. 11



C.



Kebudayaan Masyarakat Banjar Sebelum Kedatangan Islam ........ 14



D.



Islam dan Budaya Banjar ................................................................ 17



1.



Kelahiran dan kematian................................................................... 17



2.



Pujian untuk Rasulullah SAW dalam Hadrah dan Rudat................ 18



3.



Hari al-Syura (10 Muharram) dan Bubur al-Syura ......................... 19



4.



Maulidan ......................................................................................... 20



5.



Baayun Maulid ................................................................................ 22



6.



Batampung Tawar ........................................................................... 24



7.



Bapalas bidan .................................................................................. 26



8.



Baarwahan dan Bahaulan ................................................................ 28



BAB III PENUTUP ........................................................................... 29 A.



Kesimpulan ..................................................................................... 29



B.



Saran ................................................................................................ 30



DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 31



2



BAB I PENDAHULUAN A.



Latar Belakang Dewasa ini kearifan lokal semakin digiatkan kembali oleh pemerintah



sebagai identitas sebuah budaya lokal. Karena setiap budaya akan menghasilkan produk budaya baik itu tradisi maupun kesenian yang mencerminkan identitas dari budaya tersebut. Dalam budaya Banjar pun banyak tradisi lokal yang bersentuhan dengan Islam. Ketika agama datang ke satu masyarakat, tentu masyarakat tersebut telah memiliki kebudayaan yang dijadikan petunjuk dalam bertindak walaupun bersifat lokal, tidak universal. Ada atau tidak ada agama, pedoman tersebut akan digunakan oleh masyarakat selama masih dianggap baik. Oleh karena itu, agama yang mempunyai kesesuaian dengan budaya setempat akan mudah diterima dan cepat berkembang. Sebaliknya, agama yang berlawanan secara diametral (garis pemisah) dengan kebudayaan akan ditolak oleh masyarakat.



B.



Rumusan Masalah



1. Bagaimana Asal Usul Suku Bangsa Banjar 2. Bagaimana Sejarah Masuknya Islam di Banjar ? 3. Bagaimana Kebudayaan Masyarakat Banjar Sebelum Kedatangan Islam ? 4. Bagaimana Islam dan Budaya Banjar ?



3



C.



Tujuan



1. Mengetahui Asal Usul Suku Bangsa Banjar 2. Mengetahui Sejarah Masuknya Islam di Banjar 3. Mengetahui Kebudayaan Masyarakat Banjar Sebelum Kedatangan Islam 4. Mengetahui Islam dan Budaya Banjar



4



BAB II PEMBAHASAN Mendiskusikan Islam dan budaya lokal seolah-olah mencerminkan dua sisi yang bersifat binary opposition, saling bertolak belakang. Kesan ini muncul dan diperkuat oleh adanya image dari sebagian masyarakat bahwa Islam adalah agama samawi (langit) yang diturunkan di tanah Arab, yang memiliki netralitas dan terhindar dari pengaruh konteks sosio-budaya manapun. Pada sisi lain, Islam dipahami sebagai agama universal yang memiliki fleksibilitas, selaras dengan dinamika dan perkembangan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat, sehingga muncul adagium Islam shohihun likulli makanai wa zamanin. Islam sebagai sebuah agama universal (rahmatan lil „alamin), yang adaptable, acceptable serta capable untuk tumbuh dan berkembang secara dinamis di segala tempat dan waktu bersifat konfirmatif dan adaptatif.1 Konfirmatif dalam arti Islam selalu selektif dalam mengadopsi nilai budaya dan tradisi yang berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat lokal. Jika sekiranya nilai budaya dan tradisi lokal itu bertentangan dengan nafas Islam, maka dalam konteks inilah Islam melakukan reformasi budaya (cultural reform) sehingga nilai-nilai yang terkandung di dalam budaya local tetap selaras dengan nilai-nilai Islam (Islamisasi budaya). Hal tersebut diperlukan lantaran pengaruh lokalitas dan tradisi dalam kelompok



suatu



masyarakat



bangsa



sulit



dihindari.



Namun



demikian,



partikularitas dan universalitas Islam tentu tidak akan luntur hanya karena dinamika tradisi dan budaya masyarakat lokal. Islam yang universal tetap menjadi pedoman dalam segala aspek kehidupan. Hanya saja pergumulan Islam dan budaya lokal itu berakibat pada adanya keragaman penerapan prinsip-prinsip umum dan universal suatu agama berkenaan dengan tata caranya (technicalities).



1



Hasan, “ISLAM DAN BUDAYA BANJAR DI KALIMANTAN SELATAN” 14, no. 25 (2016): 78–90.



5



Islam yang dalam sejarahnya lahir di tanah Arab, tetapi dalam dinamikanya, seperti kita semua saksikan, tidak harus terikat oleh budaya Arab, melainkan senantiasa beradaptasi (menyesuaikan diri) dengan segala lingkungan sosial di mana Islam dipraktikkan dan dikembangkan. Dalam kaitannya dengan budaya lokal, Islam memiliki kekuatan koersif dalam mengintegrasikan budaya lokal sesuai dengan sistem nilai dan sistem symbol dalam Islam dengan berpijak pada prinsip theocentric-humanis.



A.



Asal Usul Suku Banjar



1.



Asal Usul Suku Banjar menurut Wikipedia Suku Banjar (bahasa Banjar: Urang Banjar / ‫ )اورڠ بنجر‬adalah suku bangsa



yang menempati wilayah Kalimantan Selatan, serta sebagian Kalimantan Tengah dan sebagian Kalimantan Timur. Populasi Suku Banjar dengan jumlah besar juga dapat ditemui di wilayah Riau, Jambi, Sumatra Utara dan Semenanjung Malaysia karena migrasi Orang Banjar pada abad ke-19 ke Kepulauan Melayu. Berdasarkan sensus penduduk 2010 orang Banjar berjumlah 4,1 juta jiwa. Sekitar 2,7 juta orang Banjar tinggal di Kalimantan Selatan dan 1 juta orang Banjar tinggal di wilayah Kalimantan lainnya serta 500 ribu orang Banjar lainnya tinggal di luar Kalimantan. Suku bangsa Banjar berasal dari daerah Banjar yang merupakan pembauran masyarakat beberapa daerah aliran sungai yaitu DAS Bahan, DAS Barito, DAS Martapura dan DAS Tabanio. Dari daerah pusat budayanya ini suku Banjar sejak berabad-abad yang lalu bergerak secara meluas melakukan migrasi secara sentrifugal atau secara lompat katak ke berbagai daerah di Nusantara hingga ke Madagaskar. Lembaga Biologi Molekuler Eijkman meneliti DNA orang Dayak pada tahun 2012 yang bertujuan memastikan kaitan antara Dayak Maanyan dan Madagaskar. 6



Upaya-upaya sebelumnya untuk menemukan asal Asia Malagasi menyoroti Kalimantan secara luas sebagai sumber potensial, tetapi sejauh ini tidak ada populasi sumber tegas yang diidentifikasi. Telah dihasilkan data luas genom dari dua populasi Kalimantan Tenggara, Banjar dan Ngaju, bersama-sama dengan data yang dipublikasikan dari populasi di seluruh wilayah Samudra Hindia. Para peneliti menemukan dukungan kuat untuk asal mula leluhur Asia Malagasi di antara orang Banjar. Kelompok ini muncul dari keberadaan lama sebuah pos perdagangan Kekaisaran Melayu di Kalimantan Tenggara, yang mendukung pencampuran



antara



Melayu



dan



kelompok



Borneo



asli,



Ma'anyan.



Menggabungkan data genetik, sejarah, dan linguistik, para peneliti menunjukkan bahwa Banjar, dalam pelayaran yang dipimpin orang Melayu, adalah sumber Asia yang paling memungkinkan di antara kelompok-kelompok yang dianalisis dalam pendirian kumpulan gen Malagasi. Hipotesis nenek moyang orang Madagaskar sempat diduga berasal dari Suku Bajo, Bugis dan Dayak Maanyan, namun ternyata konfirmasi riset genetik menunjukkan itu identik dengan Suku Banjar. Mengapa Bahasa Madagaskar atau Malagasy 90 persen sama dengan Bahasa Dayak Maanyan di Kalimantan Selatan walaupun orang Dayak Maanyan genetiknya tidak sama dengan Madagaskar? Secara genetik, orang Madagaskar jauh lebih dekat dengan orang Banjar. Dari riset genetik dan antropologi dapat disimpulkan bahwa bahasa Dayak Maanyan dipakai orang Banjar dan dibawa pergi ke Madagaskar 1200 tahun lalu. Nicolas Brucato, peneliti dari Laboratorium Antropologi Molekuler dan Sintesis Citra (AMIS), Universitas Toulouse, Prancis mengungkapkan bahwa bedasarkan penelitian antropologi menunjukkan bahasa orang Malagasi berakar dari bahasa orang Dayak Ma‟anyan yang ada di Kalimantan bagian tenggara. Namun genetik orang Malagasi justru lebih dekat kepada orang Banjar, yang juga berasal dari kawasan yang sama dengan Dayak Ma‟anyan. Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara warisan genetik dan bahasa orang Dayak Ma‟anyan di masyarakat Malagasi.



7



Gen orang Madagaskar terdiri atas 37% gen orang Banjar (Kalimantan) dan 63% gen orang Bantu (Afrika Selatan). Percampuran ini sudah lebih dari tujuh abad, sejak 1275 M. Kelompok Ricaut telah menunjukkan bahwa keragaman genetik Malagasi adalah 68 persen orang Afrika dan 32 persen orang Asia. Berdasarkan bukti mereka, Banjar adalah populasi Asia yang paling mungkin melakukan perjalanan ke Madagaskar. Penanggalan genetik mendukung hipotesis bahwa migrasi Austronesia ini terjadi sekitar 1.000 tahun yang lalu, sedangkan migrasi Bantu terakhir yang signifikan ke Madagaskar dimulai 300 tahun kemudian, mungkin setelah perubahan iklim di Afrika. Pergeseran bahasa diduga telah terjadi di Kalimantan Tenggara setelah migrasi Banjar ke Madagaskar. Diperkirakan bahwa orang Banjar, yang saat ini berbicara bahasa Melayu, mungkin berbicara bahasa yang lebih dekat dengan bahasa yang direkonstruksi untuk Proto-Malagasi. Perubahan linguistik ini akan mengikuti campuran budaya dan genetik utama dengan Melayu, didorong oleh pos perdagangan Kekaisaran Melayu di Kalimantan Tenggara. Runtuhnya Kekaisaran Melayu selama abad ke-15 dan ke16 bisa bersamaan dengan berakhirnya campuran gen Melayu ke dalam populasi Banjar. Terdapat empat fase migrasi yang terjadi di Afrika Timur. Migrasi Banjar 'melahirkan' budaya baru karena berpadu dengan Afrika Timur di Madagaskar dan Komoro terjadi pada fase kedua. Budaya tersebut berada dan hidup berdampingan selama berabad-abad dan memunculkan budaya baru. Secara genetika suku Banjar purba sudah terbentuk ribuan tahun yang lalu yang merupakan pembauran orang Melayu purba sebagai unsur dominan dan Dayak Maanyan. Suku Banjar yang memiliki genetik Melayu dominan ini telah melakukan migrasi keluar pulau Kalimantan sekitar tahun 830 Masehi atau 1.200 tahun yang lalu menuju Madagasikara alias Madagaskar yang menurunkan bangsa Malagasi. Bahasa Malagasi menunjukkan unsur-unsur bahasa Banjar dan bahasa Maanyan, misalnya varika dari warik (bahasa Banjar) dan rano dari kata ranu (bahasa Maanyan). Adat pemakaman sekunder Dayak beragama Kaharingan yang 8



disebut aruh Buntang disebut Famadihana di Madagaskar. Tetapi di Madagaskar tidak terdapat upacara Ijambe (kremasi/ngaben) maupun Aruh Baharin/Aruh Ganal (upacara panen) yang masih dilakukan masyarakat Dayak Kaharingan di Kalsel. Adat mengayau juga tidak dilakukan oleh penduduk Madagaskar. Selain itu masih terdapat adat memberi makan buaya di Madagaskar dan yang juga masih dilakukan orang Banjar di Kalimantan Selatan. Suku bangsa Banjar adalah pembauran orang Melayu purba yang membawa bahasa Melayik dengan Dayak Barito-Meratus dari suku Dayak Maanyan, Dayak Meratus, dan sebagian rumpun Dayak Ngaju terutama yang tinggal di hilir (disebut Dayak Ngawa: Berangas, Mendawai dan Bakumpai). Dan terakhir juga dilakukan Dayak Abal (rumpun Lawangan), yang hampir seluruh anggota sukunya bergabung dan berasimilasi dengan suku Banjar dan konversi ke agama Islam serta meninggalkan bahasa ibunya. Namun saat mereka masih belum diidentifikasikan sebagai Dayak. Dan sebelum Dayak dipakai sebagai penyebutan pribumi asli Borneo. Sekitar tahun 1526, ketika raja Banjar menerima dan memeluk Islam maka diikuti seluruh kalangan penduduk Kerajaan Banjar untuk melakukan konversi massal ke agama Islam, sehingga kemunculan suku Banjar dengan ciri keislamannya ini bukan hanya sebagai konsep etnis tetapi juga konsep politis, sosiologis, dan agamais. Kelompok masyarakat yang telah menganut Islam ini disebut Oloh Masih dalam bahasa Dayak Ngaju atau Ulun Hakey dalam bahasa Dayak Maanyan. Menurut Tjilik Riwut dalam "Kalimantan membangun, alam, dan kebudayaan: 407" Bila tamu yang datang mengatakan oloh masih berarti tamu yang datang beragama Islam. Untuk tamu yang beragama Islam, akan diserahkan ayam hidup, telur dan sayur-sayuran untuk dimasak sendiri. Namun sebagian penduduk yang masih ingin mempertahankan agama suku Kaharingan lebih memilih untuk bermigrasi ke daerah perhuluan dan dataran tinggi yang sekarang menjadi Dayak Maanyan dan Dayak Meratus. Pada zaman dahulu, suku Banjar termasuk masyarakat bahari atau berjiwa kemaritiman. Perjanjian tanggal 18 Mei 1747 dan Perjanjian 20 Oktober 1756 antara Sultan Banjar Tamjidillah I dengan VOC-Belanda tentang monopoli 9



perdagangan oleh VOC-Belanda di Kesultanan Banjar diantaranya mengatur bahwa orang Banjar tidak boleh lebih berlayar ke sebelah timur sampai ke Bali, Bawean, Sumbawa, Lombok, batas ke sebelah barat tidak boleh melewati Palembang, Johor, Malaka dan Belitung.2



2.



Asal Usul Suku Banjar menurut Jurnal Hasan (Dosen STIQ Amuntai) Di Kalimantan Selatan, yang biasa disebut sebagai orang Banjar adalah



penduduk (asli) daerah sekitar kota Banjarmasin (wilayah Sungai Jingah, Kuin dan Kampung Melayu). Daerah ini meluas sampai Kota Martapura, ibukota Kabupaten Banjar dan wilayah sekitarnya. Bahasa yang digunakan oleh masyarakat Banjar adalah bahasa Banjar. Bahasa Banjar sejatinya adalah pecahan dari bahasa Melayu. Karena diduga kuat bahwasanya nenek moyang masyarakat Banjar adalah berintikan pecahan suku bangsa Melayu yang dikembangkan oleh suku bangsa yang mendiami Sumatera dan Tanah Semenanjung Melayu (sekarang Malaysia Barat) sekitar lebih dari seribu tahun yang lalu berimigrasi secara besar-besaran ke kawasan Kalimantan khususnya Kalimantan Selatan (Alfani Daud, 1997; 65). Mereka memasuki daerah-daerah Kalimantan dari arah Selatan, Laut Jawa, pada waktu daerah rawarawa yang luas, yang membentuk provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah saat ini, masih merupakan teluk raksasa dengan pantai sebelah timurnya berada di kaki pegunungan Meratus. Cikal bakal nenek moyang orang-orang Banjar itu mendiami sungai-sungai yang bermuara di teluk raksasa dan membangun pemukiman di tepi-tepi sungai yang semuanya berhulu di kaki pegunungan Meratus. Ketika mereka tiba di kawasan ini, mereka berjumpa dengan suku bangsa yang lebih dulu dikenal dengan nama orang Dayak yaitu suku Dayak pegunungan Meratus (suku Dayak Bukit), suku Dayak Manyan, suku Dayak Ngaju dan suku Dayak Lawangan. Meskipun suku Dayak Bukit lebih mungkin sama asal usulnya dengan cikal bakal nenek moyang Banjar, namun mereka tetap merupakan 2



“Suku Banjar,” accessed March 14, 2021, https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Banjar.



10



kelompok terpisah dengan masyarakat Banjar. Karena semakin banyaknya pindahan dari Sumatera maka terdesaklah orang Dayak tersebut dan mereka berpindah ke daerah pegunungan Meratus.



B.



Sejarah Masuknya Islam di Banjar Kalimantan Selatan adalah salah satu pulau terbesar di dunia yang memiliki



hutan-hutan yang lebat dan menghasilkan hasil alam yang melimpah seperti damar, rotan, kayu dan lain-lain. Oleh karena alasan tersebut, banyak sekali pedagang dari luar Kalimantan berlayar ke sana untuk mendapatkannya. Pedagang-pedagang tersebut selain berdagang mereka juga berusaha menyebarkan agama yang dianutnya. Sebelum Islam masuk ke pulau Kalimantan, penduduknya telah memeluk agama Hindu-Budha atau memeluk kepercayaan Kaharingan yang tentu saja sangat berbeda dengan ajaran Islam. Walaupun proses Islamisasi masyarakat Kalimantan hingga kini terus berjalan melalui dakwah dan pendidikan, akan tetapi bekas-bekas kepercayaan dan budaya agama sebelumnya, tidak sepenuhnya bisa dikikis sehingga sebagian masih berpengaruh terhadap keberagamaan dan kebudayaan umat Islam hingga sekarang ini (Kamrani Buseri, 2009; 65). Para ahli sejarah (historian) belum dapat dengan pasti mengatakan tahun kedatangan Islam di Kalimantan Selatan, dengan alasan kesulitan menemukan data untuk mengungkap hal itu (Mukhyar Sani, 2003; 31). Akan tetapi mereka kebanyakan mengatakan bahwa tahun 1540 M merupakan tahun di mana Islam diterima secara resmi oleh raja kerajaan Banjar Pangeran Samudera yang kemudian berganti nama dengan Pangeran Suriansyah. Dalam makalah Hamka yang berjudul “Meninjau Masuknya Islam ke Kalimantan Selatan” dan disampaikan dalam seminar Masuknya Islam tahun 1973, Hamka menyimpulkan bahwa: 1. Tersebarnya agama Islam ke Kalimantan Selatan sebenarnya terjadi lama sebelum berdirinya kerajaan Islam Banjar di Banjarmasin, yitu diperkirakan pada akhir abad ke 14 M.



11



2. Penyebar Islam adalah para pedagang sekaligus ulama sebagai hasil dari hubungan timbal-balik antara Singapura-Malaka, kemudian Pasai dan Aceh dengan tanah Banjar serta Marabahan (pelabuhan) yang ramai pada masa pemerintahan Raden Sari Kaburangan dan Pangeran Temenggung. 3. Berdirinya kerajaan Islam di Demak (Jawa Tengah) pada sekitar tahun 1500 M, dan adanya hubungan orang Islam dengan pantai antara Jawa Timur dan Surabaya, semakin mempercepat proses berdirinya kerajaan Islam Banjar (Saifuddin Zuhri, 1980; 399-402). 4. Ikatan kebudayaan bahasa Melayu yang dipakai sebagai bahasa pengantar dengan tulisan Arab-Melayu (Pegon) dalam buku-buku pelajaran agama Islam yang pertama dikarang yaitu Sabil al-Muhtadin dan Kitab Parukunan di Kalimantan Selatan yang menunjukkan adanya hubungan erat dengan Semenanjung Malaka.3



Proses penyebaran Islam di Kalimantan Selatan akan berpusat pada seorang pewaris sah kerajaan Negara Daha yang bernama Raden Samudera. Ia dinobatkan menjadi Raja Banjar oleh Patih Masih, Muhur, Balit dan Kuwin (Poesponegoro dan Notosusanto, 1992: 86). Patih Masih hanyalah sebuah gelar bagi pemimpin dalam sebuah kelompok. Pada masa ini patih belum termasuk dalam struktur birokrasi kerajaan. Nama sebenarnya Patih Masih tak diketahui. Istilah Patih Masih berasal dari istilah Oloh Ngaju, yakni sebutan untuk orang Melayu atau Oloh Masi. Patih Masih tak lain dari Patih yang memerintah orangorang Melayu (Noor, 2011: 107). Proses penyebaran Islam di Kalimantan Selatan secara terangterangan dimulai dengan kontak antara Pangeran Samudera dengan Kerajaan Demak. Pada saat itu, Pangeran Samudera meminta bantuan pasukan ke Demak untuk berperang melawan pamannya, Pangeran Tumenggung dalam merebut tahta kekuasaan Negara Daha. Pada saat itu, ia menghadapi bahaya yang berat yaitu kelaparan di kalangan pengikutnya. Atas usul Patih Masih, Pangeran Samudera meminta bantuan kepada Demak yang merupakan kerajaan terkuat setelah 3



Hasan, “ISLAM DAN BUDAYA BANJAR DI KALIMANTAN SELATAN.”



12



Majapahit. Dalam hal ini, Patih Balit diutus menghadap Sultan Demak dengan membawa 400 penggiring dan 10 buah kapal (Usman, 1995: 2). Setibanya di Demak, Patih Balit langsung menghadap Sultan Demak Trenggana dengan membawa sepucuk surat dari Pangeran Samudera. Surat tersebut ditulis dalam Bahasa Banjar dengan menggunakan Huruf Arab Melayu yang berbunyi sebagai berikut: “Salam sembah putera andika Pangeran di Banjarmasin datang kepada Sultan Demak. Putera andika menantu nugraha minta tolong bantuan tandingan lawan sampean karena putera andika berebut kerajaan lawan parnah mamarina yaitu namanya Pangeran Tumenggung. Tiada duadua putera andika yaitu masuk mengula pada andika maka persembahan putera andika intan 10 biji, pekat 1.000 galung, tudung 1.000 buah, damar 1.000 kandi, jerangan 10 pikul dan lilin 10 pikul”. Ada dua hal yang menarik dalam surat tersebut. Pertama, penggunaan bahasa Arab-Melayu dalam penulisannya. Menurut A. Basuni dalam makalahnya pada Prasaran Seminar Sejarah Kalimantan Selatan berjudul Usaha Menggali Sejarah Masuknya Islam di Kalimantan Selatan pada 1976 mengatakan bahwa huruf Arab telah dikenal oleh Pangeran Samudera yang menunjukkan bahwa masyarakat Islam telah lama terbentuk di Banjarmasin. Lahirnya kepandaian membaca dan menulis huruf Arab memerlukan waktu yang cukup lama. Kedua, besarnya pemberian yang diberikan kepada Sultan Demak tentunya memerlukan penyandang dana yang sangat besar guna membeli semua barang tersebut. Dalam hal ini, kemungkinan besar Patih Masih adalah saudagar kaya yang mempunyai akses dalam perdagangan ke pedalaman Kalimantan. Hubungan Banjar dan Demak telah terjalin dalam waktu yang lama, terutama dalam hubungan ekonomi perdagangan yang kemudian berlanjut dalam hubungan kemiliteran. Sultan Demak menyanggupi permintaan bala bantuan tersebut dengan syarat apabila menang, Pangeran Samudera dan pengikutnya mau memeluk agama Islam. Inilah awal dari penyebaran Islam secara terang-terangan yang dilakukan oleh Demak ke Kalimantan Selatan. 13



Akhirnya, Pangeran Samudera berhasil mengalahkan Pangeran Tumenggung dan berhasil merebut Negara Daha dan pelabuhan Muara Bahan. Peristiwa ini terjadi pada 24 September 1526, yang kemudian diabadikan menjadi hari jadi Kota Banjarmasin. Salah satu episode penting dalam proses Islamisasi di Kalimantan yang disebutkan dalam Hikayat Banjar adalah pembicaraan tentang hubungan Banjar dan Demak. Disebutkan dalam hikayat, bahwasanya Raja Banjar Raden Samudera telah ditasbihkan sebagai Sultan oleh Penghulu Demak dan oleh seorang Arab diberi gelar Sultan Suryanullah. Penghulu Demak yang diutus untuk mengislamkan Pangeran Samudera dikenal dengan nama Khatib Dayan. Melihat dari jabatan kepenghuluan Demak, maka pada masa 1521-1524 penghulu Demak dipegang oleh Penghulu Rahmatullah (Ideham, 2003: 63). Dengan demikian, Khatib Dayan bukanlah seorang penghulu Demak, tetapi hanyalah seorang utusan dari penghulu Demak yang bertugas untuk mengIslamkan Pangeran Samudera dan seluruh pengikutnya di Banjarmasin.4



C.



Kebudayaan Masyarakat Banjar Sebelum Kedatangan Islam Proses Islamisasi dan akomodasi kultural berhubungan dengan tiga kondisi



penting. Pertama, proses Islamisasi dalam hubungannya dengan pembentukan kebudayaan Islam berhadapan dnegan aneka warna kebudayaan lokal, tradisi, dan adat lokal. Interaksi Islam dengan sistem nilai lokal ini pada gilirannya melahirkan berbagai bentuk respons dan reaksi. Kedua, Islam merupakan pendatang baru di dalam masyarakat di Kepulauan Indonesia. Sebelum Islam masuk, telah ada sistem keyakinan, kepercayaan, keagamaan, atau setidaknya tradisi spiritualitas yang dianut komunitas Lokal. Ketiga, Islam bukan merupakan satusatunya sumber pengetahuan atau sistem nilai yang ada dalam masyarakat Indonesia karena selain kepercayaan lokal 4



Muhammad Azmi, “Islam Di Kalimantan Selatan Pada Abad Ke-15 Sampai Abad Ke -17,” Yupa: Historical Studies Journal 1, no. 1 (2017): 38–47.



14



dan Hindu-Buddha, belakangan muncul pula pengaruh budaya Eropa (Barat) yang mulai berkembang dalam waktu bersamaan dengan kedatangan dan penjajahan bangsa Eropa di Asia Tenggara. Di Kalimantan, upacara Tiwah, yaitu upacara pemujaan pada roh nenek moyang dan tenaga alam, masih dilakukan hingga saat ini. Praktik tersebut menunjukkan masih kuatnya pengaruh kepercayaan lokal di berbagai tempat yang tidak begitu saja hilang setelah masuknya pengaruh asing yang datang kemudian. Interaksi Islam dengan budaya, terutama budaya lokal Kalimantan, khususnya Dayak, memberikan warna tersendiri yang khas. Kekhasan ini tecermin dari budaya Oloh Salam sebagai manusia pendukungnya di tanah Dayak, Kalimantan Tengah. * Oloh Salam atau Uluh Salam adalah sebuah istilah yang mengacu kepada seseorang atau sekelompok dari suku Dayak di Kalimantan Tengah yang memeluk agama Islam. Tidak ada petunjuk yang jelas kapan munculnya istilah oloh salam dalam budaya Dayak, akan tetapi dari berbagai sumber data, dapat diduga munculnya istilah oloh salam dapat dilacak sejak awal masuknya Islam di Kalimantan, atau setelah kedatangan para kolonial di Kalimantan.5



Beberapa aspek budaya oloh salam yang khas tersebut meliputi upacara kehidupan disebut juga gawi belum dan upacara kematian atau gawi matei serta aspek seni. Misrita S Kalang dalam Oloh Salam: Rona Kehidupan Dayak Islam di Kalimantan Tengah menjelaskan, tidak ada petunjuk yang jelas kapan munculnya istilah oloh salam dalam budaya Dayak, tetapi dari berbagai sumber data dapat diduga bahwa munculnya istilah oloh salam dapat dilacak sejak awal masuknya Islam di Kalimantan atau setelah kedatangan para kolonial di Kalimantan. Melalui politik pecah belahnya membedakan antara satu suku dan yang lainnya, sebagaimana pembentukan Kampung Lemu Melayu yang didiami oleh orang Dayak yang telah masuk Islam, sedangkan kampung yang didiami oleh orang Kristen atau yang beragama helo disebut Kampung Lemu Dayak. Inilah 5



“Oloh Salam,” accessed March 14, 2021, https://id.wikipedia.org/wiki/Oloh_Salam.



15



salah satu bentuk polarisasi sistemik yang dilakukan oleh kolonial di bumi Kalimantan. Meski oloh salam sebagai orang Dayak sudah memilih jalan Islam, masih terdapat sisa-sisa kepercayaan primitif tercampur dengan unsur-unsur agama yang dahulu kala dianutnya. Dalam upacara kelahiran, misalnya, upacara kelahiran dalam budaya oloh salam merupakan salah satu upacara yang penting. Oleh karena itu, jika seorang ibu telah mengandung tiga bulan, sejak itu dia sudah dihinggapi penyakit pantang. Pantangan tersebut, di antaranya, dilarang keluar waktu senja, mandi waktu matahari terbenam, dan duduk di ambang pintu. Ketika kandungan menginjak enam bulan, pantangan menjadi tambah banyak. Misalnya, tidak boleh berurai rambut, dilarang memaku, makanannya terbatas, tidak boleh makan yang pedas-pedas atau sayuran yang mengandung getah, makan kepiting, dan lain-lain. Sang suami pun berpantang, tidak boleh menebang pohon, menghunjam tiang, apalagi membunuh binatang. Pantangan ini dilakukan semata-mata karena percaya takhayul bahwa di luar alam nyata ini, ada alam gaib yang berkeliaran roh-roh baik dan jahat. Roh-roh jahat selalu mencari mangsa, termasuk seorang ibu yang sedang mengandung. Dengan berpantang ini, dapat melindungi sang bayi, baik yang masih dalam kandungan maupun yang baru lahir, karena masih lemah agar tidak dapat diganggu oleh roh jahat.6



6



Nashih Nashrullah, “Harmoni Budaya Dan Islam Di Kalimantan,” last modified 2016, accessed March 14, 2021, https://republika.co.id/berita/ocm6g61/harmoni-budaya-dan-islam-di-kalimantan.



16



D. 1.



Islam dan Budaya Banjar Kelahiran dan kematian Bila perempuan oloh salam hendak melahirkan, seorang dukun perempuan



tua membantunya melahirkan bayinya. Karena, dukun beranak dianggap punya kekuatan gaib. Pembacaan doa secara Islam dilakukan dengan membakar kemenyan dan menabur-nabur beras kuning sebagai penjagaan diri untuk menolak roh-roh jahat yang akan mengganggu kelahiran bayi. Selama dan setelah masa persalinan itu, sang suami membuat api di halaman rumah dan menjaga agar api yang berkobar- kobar tetap menyala setiap menjelang waktu Maghrib selama tujuh hari berturut- turut, hal ini dimaksudkan agar tidak diganggu roh-roh jahat (kuyang) yang suka memakan darah orang yang baru melahirkan. Menjelang umur bayi tujuh hari, 40 hari bagi orang Dayak yang beragama helo, diadakan upacara tasmiyah (Arab: tasmia "pemberian nama si bayi") yang dilakukan menurut kemampuan keluarga saja. Nama yang umumnya diberikan kepada bayi oloh salam merupakan gabungan nama Islam dan Dayak, seperti Hidayatullah S Kurik, Fatah F Nahan, Komarudin Usop, Wahyudin Usop, Durtje Durasit, Asriansyah S Mawung, Rahmadi Lentam, dan sebagainya. Dalam upacara tasmiyah, rambut bayi yang dipotong ditempatkan dalam buah kelapa, selanjutnya anak diciprati air kembang yang dicampur wewangian agar nama yang diberikan dapat memberikan keharuman laksana bunga sambil didoakan agar sehat dan menjadi anak yang bertakwa. Sementara, suatu tradisi dalam masyarakat Dayak jika mendengar berita kematian warganya, mereka akan segera menghentikan pekerjaan yang sedang mereka lakukan dan mendatangi rumah duka untuk memberikan dukungan moral bagi keluarga yang ditinggalkan. Mereka datang dengan membawa sumbangan duka berupa hasil bumi mereka sendiri. Setelah datang di rumah duka, mereka mendekati dan melihat 17



wajah jenazah untuk terakhir kali karena melakukan hal ini diyakini akan mendapat pahala. Jenazah diletakkan di tengah-tengah rumah dan dikelilingi kaum kerabat dan keluarga sebelum dimandikan. Karena, setelah dimandikan secara Islam dan dikafani, jenazah sudah tidak boleh dibuka-buka lagi untuk dilihat oleh para pelayat. Pada saat jenazah dimandikan, di atasnya dibentangkan kelambu putih. Ini dimaksudkan agar roh-roh jahat tidak dapat mengganggu upacara pemandian jenazah.



2.



Pujian untuk Rasulullah SAW dalam Hadrah dan Rudat Sinoman hadrah dan rudat bersumber dari budaya yang dibawa oleh



pedagang dan pendakwah Islam dari Arab dan Parsi dan berkembang campur menjadi kebudayaan pada masyarakat pantai pesisir Kalimantan Selatan hingga Timur. Ahmad Ananda Alim Pratama dalam Budaya di Kalimantan Selatan menjelaskan, sebagai salah satu kesenian Islam yang sudah berusia puluhan tahun, kesenian hadrah masih sering ditampilkan pada beberapa daerah di Kalimantan Selatan. Pembinaan dan kegiatan lomba menjadi salah satu cara agar hadrah tetap lestari dalam kesenian tradisional religius Banjar. Hadrah ditampilkan dalam berbagai acara bernuansa keagamaan, seperti sunatan, perayaan perkawinan, atau menyambut tamu kehormatan. Dalam perkembangannya, kesenian hadrah ada pula di luar Kalsel, yaitu di darah yang terdapat perantauan orang Banjar. Menurut Ali Djamali bin Gr Taha Tokoh Muda Asli Alalak, seniman pelaku hadrah lebih menikmati hadrah sebagai puja dan puji untuk Tuhan serta Muhammad SAW. Puja dan puji dalam bentuk syair dan pantun tersebut menjadi kasidah yang pengiring dari gerakan dinamis hadrah.



18



Merdu kasidah diikuti gerakan tari yang menggunakan putaran payung ubur-ubur (lambang keagungan dalam kehidupan tradisional) dan umbul-umbul di antara ritmis pukulan musik tarbang. Seniman pelaku hadrah lebih banyak ada di Martapura. Dalam penampilannya, memadukan antara generasi tua dan anak muda. Untuk di Banjarmasin, seniman hadrah banyak terdapat di Taluk Tiram dan kawasan Alalak Utara dan Tengah. Namun, di sini generasi mudanya lebih sedikit, malah lebih banyak didominasi seniman hadrah perempuan. Di luar Kalimantan Selatan, hadrah turut hidup bersama orang-orang Banjar yang menetap di sana. Seperti, Kalimantan Tengah di daerah Saruyan hingga Pulau Jawa. Di mana ada komunitas orang Banjar, hadrah masih ditampilkan dalam beragam perayaan.7



3.



Hari al-Syura (10 Muharram) dan Bubur al-Syura Muharram adalah bulan pertama dalam tahun Islam (Hijrah). Sebelum



Rasulullah berhijrah dari Mekkah ke Yatsrib, penamaan bulan dibuat mengikuti tahun Masehi. Hijrah Rasulullah memberi kesan besar kepada Islam sama ada dari sudut dakwah Rasulullah, ukhuwah dan syiar Islam itu sendiri. Karena banyaknya peristiwa-peristiwa yang menakjubkan di hari tersebut, maka agama menyuruh (sunnat) untuk melaksanakan puasa di hari tersebut. Selain disunnahkan puasa, kita juga disunnahkan untuk berbagi dengan anak yatim dan orang yang membutuhkan lainnya. Dalam masyarakat Banjar, masih banyak ditemukan pembuatan bubur alSyura yang dibuat bertepatan dengan tanggal 10 Muharram tiap tahunnya. Kenapa dinamakan dengan bubur al-Syura, karena di hari itulah masyarakat Banjar bergotong-royong membuatnya. Keistimewaan bubur al-Syura masyarakat Banjar adalah bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatannya. Konon katanya, bahan-bahan yang digunakan berjumlah lebih dari 40 buah macam bahan. Biasanya bubur al-Syura terbuat dari beras yang dimasak dengan Santan dan 7



Ibid.



19



dicampur dengan segala sayur-sayuran. Menurut Daud, pembuatan bubur ini merupakan kenangan terhadap suatu peristiwa pada zaman dulu yang ketika itu selalu dalam kekurangan makanan, dikumpulkanlah segala macam tumbuhtumbuhan yang ada di sekitar dan dicampur dengan segala persediaan bahan makanan yang ada menjadi bubur (Alfani Daud, 1997; 330-331). Tidaklah heran bahan bubur tersebut hampir 40 buah bahan. Biasanya masyarakat Banjar mulai memasak bubur tersebut ketika siang hari dan mulai dibagi-bagikan ke masyarakat ketika sore hari (sekitar jam 4-5 sore) untuk dijadikan makanan berbuka puasa. Hikmah yang dapat diambil dalam pembuatan bubur ini adalah dapat dijadikan syiar Islam dan juga dapat mempererat tali silaturrahim antar masyarakat Banjar pada khususnya.



4.



Maulidan Maulidan Berasal dari bahasa Arab maulid yang telah dibanjarkan untuk



menunjukkan pada sebuah acara perayaan yang dikenal sebagai maulid Nabi yang berarti pada hari kelahiran Nabi Muhammad yang jatuh pada tanggal 12 Rabi‟ul Awwal. Umat Islam banyak yang merayakannya dengan cara yang berbeda-beda, sesuai dengan pola kebudayaan masing-masing. Seperti yang ada di daerah Jawa misalnya di Keraton Yogyakarta, diadakan acara Grebek dengan dilengkapi acara ritual-ritual Jawa seperti mengarak benda-benda bersejarah punya sultan, mengarak makanan sampai ke masjid agung dan selanjutnya makanan tersebut diperebutkan masyarakat. Bulan Rabi‟ul Awwal yang merupakan bulan kelahiran nabi Muhammad tersebut oleh orang Banjar disebut bulan maulid dan ada juga yang menyebutnya mulud. Kegiatan ini, meskipun tidak masuk dalam doktrin agama, sifatnya kultural tetapi merupakan fenomena universal di kalangan umat Islam di Kalimantan Selatan, Bahkan jika terdapat orang yang dalam ekonomi berkecupan tidak melaksanakan maulidan di rumahnya, maka dianggap tidak baik oleh orang sekitarnya. Di daerah Kalimantan Selatan khususnya daerah Hulu Sungai (dari Kabupaten Tapin sampai Kabupaten Tabalong) ada kegiatan yang sangat



20



mengagumkan, yaitu melaksanakan perayaan tahunan ini satu bulan penuh yang dibagi per-kampung, supaya tidak terjadi dalam satu hari bersamaan perayaan maulid dalam satu kampung. Keunikan tersendiri ialah perayaan maulid dalam satu kampung dipusatkan di masjid agung. Salah satu masjid yang digunakan sebagai tempat maulid akbar adalah masjid Keramat al- Mukarramah yang berada di Desa Banua Halat, Kecamatan Tapin Utara, Kabupaten Tapin. Sebelum dilaksanakan maulid di masjid tersebut, orang kaya yang ada dalam kampung tersebut mengadakan perayaan maulid sendiri-sendiri dengan mengundang orang kampung sebelah mereka dan kerabat serta keluarga mereka di rumah. Dalam rumah itu dibacakan ayat-ayat suci Al-Quran dan setelah itu dilanjutkan dengan pembacaan Maulid Habsyi atau sering disebut dengan rawi (pembacaan biografi dengan bahasa Arab) yang diselingi dengan qasidah-qasidah yang menggunakan terbang sejenis marawis. Setelah selesai semua itu, ahlu albait menyuguhkan makanan bagi yang hadir dalam rumah tersebut. Setelah mereka selesai makan bersama-sama, mereka langsung menuju ke masjid agung untuk mengikuti maulid akbar yang juga dibacakan ayat-ayat Al Quran, Maulid Habsyi serta diadakan ceramah agama oleh kyai setempat atau dengan mendatangkan penceramah dari luar kota. Dana yang digunakan untuk acara maulid ini biasanya berasal dari swadana masyarakat setempat yang dikumpulkan jauh-jauh hari sebelum acara tersebut dilaksanakan. Biasanya dibentuk kepengurusan untuk pencarian dana yang akan digunakan dalam acara tersebut. Selain dalam pencarian dana, mereka juga saling membantu dan berbagi tugas, ada yang membersihkan masjid, ada yang menjadi tukang masak, tukang parker dan lain sebagainya demi kelancaran acara maulid. Masjid agung dijadikan sebagai tempat maulid karena masjid mempunyai makna sebagai pemersatu masyarakat, serta alasan undangan yang berasal dari luar kota dengan mudah menujunya. Sebagaimana biasanya, dalam maulid yang di masjid agung itu diadakan acara tahlilan dan ceramah agama yang berkaitan dengan maulid Nabi dengan tema keselamatan dunia dan akhirat. Dijelaskan penceramah bahwa keselamatan



21



dunia dan akhirat dapat dicapai dengan apabila kita mencintai Nabi dengan mengikuti perintah dan menjauhi larangan dari Allah dan Nabi.



5.



Baayun Maulid Baayun (mengayun anak) maulid dilaksanakan ketika pembacaan maulid



nabi saat bacaan yang harus dibaca dalam keadaan berdiri. Saat itulah anak diayun-ayun untuk mengharapkan berkah dari nabi. Berdasarkan tradisi asalnya, tata cara maayun anak dalam upacara baayun maulid sebenarnya berasal tradisi bapalas bidan sebagai sebuah tradisi yang berlandaskan kepada kepercayaan Kaharingan. Dan ketika agama Hindu berkembang di daerah ini maka berkembang pula budaya yang serupa dengan baayun anak yakni baayun wayang (didahului oleh pertunjukan wayang), baayun topeng (didahului oleh pertunjukan topeng) dan baayun madihin (mengayun bayi sambil melagukan syair madihin). Ketika Islam masuk dan berkembang, upacara bapalas bidan tidak lantas hilang, meski dalam pelaksanaannya mendapat pengaruh unsur Islam. Islam datang tidak langsung menghilangkan tradisi Kaharingan dan Hindu sebelumnya tetapi tradisi yang dahulu itu disesuaikan dengan ajaran Islam dengan tujuan untuk mempermudah Islam masuk dan berkembang. Keistemewaan dari ayunan yang digunakan ketika acara baayun mauled adalah tali ayunan dipenuhi hiasan dari janur (daun kelapa muda) berbentuk burung-burungan, ular-ularan, ketupat bangsur, halilipan, kambang sarai/hiasan dari kertas yang dipintal, hiasan dari wadai/kue 41 seperti cucur, cincin, pisang, nyiur dan lain-lain. Untuk tempat mengaitkan ayunan tersebut, panitia menyiapkan bambu yang panjang, di satu bambu ada terdapat sampai puluhan ayunan yang dikhususkan tempatnya untuk orang dewasa dan anak- anak. Adapun dengan ayunannya dibuat tiga lapis, dengan kain sarigading (sasirangan) pada lapisan pertama, kain kuning pada lapisan kedua dan kain bahalai (sarung panjang tanpa sambungan) pada lapisan ketiga. Orang tua yang



22



melaksanakan baayun diharuskan menyiapkan piduduk (makanan) berupa beras, gula habang (gula merah), nyiur (kelapa), hintalu hayam (telur ayam kampung), banang (benang), jarum, uyah (garam) dan binggul (uang receh). Makanan ini menjadi lambang filosofis, seperti gula habang diharapkan anak yang diayun itu perkataan-perkataannya selalu memberikan kedamaian bagi orang yang disekitarnya. Pusat tempat dilaksanakan acara baayun maulid ini adalah di Masjid alKaramah desa Banua Halat Kabupaten Tapin. Peserta dalam acara ini tidak hanya dari anak-anak balita, tapi juga pemuda, orang dewasa, dan bahkan ada juga yang berusia sampai 100 tahun. Maksud mereka untuk mengikuti acara baayun maulid ini juga bermacam-macam. Ada yang mengaku untuk mencari berkah maulid agar anaknya pandai dan berbakti kepada orang tuanya dan ada juga yang melengkapi nazar mereka. Terlepas dari motif masing-masing peserta baayun yang nota-bene diikuti oleh orang-orang tua, maka maksud maayun anak bersamaan dengan peringatan maulid nabi adalah untuk membesarkan nabi sekaligus berharap berkah atas kemuliaan Nabi Muhammad Saw, disertai do‟a agar sang anak yang diayun menjadi umat yang taat, bertaqwa kepada Allah Swt dan Rasul-Nya, serta kehidupannya sejak kecil maupun dewasa hatinya selalu terpaut untuk selalu shalat berjama‟ah di mesjid. Total jumlah peserta yang mengikuti mencapai ribuan orang, terdiri dari golongan anak-anak (balita) dan orang dewasa bahkan ada berusia 60 tahunan. Bahkan tahun demi tahun peserta tersebut semakin bertambah bahkan ada dari negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei. Untuk di kota Banjarmasin-nya sendiri acara baayun mauled dilaksanakan di komplek Makam Sultan Suriansyah, walaupun tidak sebesar yang ada di masjid al-Karamah desa Banua Halat Kabupaten Tapin. Walaupun ada yang tidak sepaham dengan komplek Makam Sultan Suriansyah tapi acara itu sudah ke tujuh kalinya dilaksanakan di sana.



23



6.



Batampung Tawar Batampung tawar adalah acara semacam selamatan untuk menyambut



kelahiran seorang anak. Sama halnya dengan acara baayun maulid, ayunan yang digunakan juga digantungi macam-macam. Nantinya gantungan yang ada akan diperebutkan oleh orang-orang yang hadir. Upacara Tepung Tawar sebagaimana dikenal masyarakat Indonesia dan Malaysia diadopsi dari ritual agama Hindu yang sudah lebih dulu dianut masyarakatnya. Ketika para pedagang dari Gujarat dan Hadralmaut membawa ajaran Islam ke kawasan ini sejak abad ke-7 Masehi, mereka berhadapan dengan kebiasaan animisme (kepercayaan pada kehidupan roh) dan dinamisme (kepercayaan pada kekuatan ghaib benda-benda) – yang direstui agama Hindu – yang sangat kuat di setiap lapisan masyarakat. Salah satunya adalah upacara Tepung Tawar (disebut juga Tepuk Tepung Tawar). Upacara ini menyertai berbagai peristiwa penting dalam masyarakat, seperti kelahiran, perkawinan, pindah rumah, pembukaan lahan baru, jemput semangat bagi orang yang baru luput dari mara bahaya, dan sebagainya. Dalam perkawinan, misalnya, Tepung Tawar adalah simbol pemberian do‟a dan restu bagi kesejahteraan kedua pengantin, di samping sebagai penolakan terhadap bala dan gangguan. Dalam upacara ini, penepung tawar menggunakan seikat dedaunan tertentu untuk memercikkan air terhadap orang yang ditepungtawari. Air tersebut terlebih dahulu diberikan wangi-wangian seperti jeruk purut, dicelupkan emas ke dalamnya, dan sebagainya. Selanjutnya, mereka menaburkan beras dan padi yang sudah dicampuri garam dan kunyit ke atas orang yang ditepungtawari. Akhirnya, mereka menyuapkan santapan pulut (atau lainnya) ke mulutnya. Ada anggapan bahwa setiap jenis daun dan benda- benda yang digunakan mempunyai atau merepresentasi kekuatan ghaib tertentu yang berfungsi menyelamatkan, menyejukkan, menjaga, dan sebagainya. Terdapat beberapa varian upacara ini untuk daerah yang berbeda (seperti Aceh, Melayu, Sambas dan lain-lain), tetapi sumber dan tujuannya sama.



24



Demikianlah yang dilakukan masyarakat sebelum Islam datang di nusantara dan demikian pulalah ritual yang sampai sekarang masih berlangsung dalam agama Hindu. Lihat saja baik secara langsung atau lewat televisi ritual orangorang Hindu India atau Hindu Indonesia saat upacara keagamaan mereka. Karena tidak mampu menghapuskan kebiasaan tersebut, para pembawa Islam yang terdahulu berusaha memasukkan nilai-nilai Islami ke dalamnya. Misalnya, acara Tepung Tawar diisi dengan pembacaan do‟a kepada Allah Swt. Mereka menggiring masyarakat untuk menganggap bahwa Tepung Tawar itu hanya sebatas adat istiadat, penyebab setiap acara, bukan lagi ritual. Tetapi yang terjadi jauh panggang dari api. Upacara Tepung Tawar terus berlanjut dalam masyarakat yang takut untuk meninggalkannya. Berhubung para ulama kalah oleh tradisi (tidak berhasil menghilangkan kebiasaan tersebut), akhirnya masyarakat menganggap bahwa para ulama pun telah membenarkan mereka. Sebagian kalangan bahkan beranggapan bahwa praktik Tepung Tawar memiliki sandaran agama. Beredar anggapan di tengah masyarakat bahwa praktik semacam ini dijalankan juga oleh para nabi dan keluarganya, termasuk isteri Nabi Imran a.s. yang menggunakan atau melemparkan suatu benda saat menazarkan kelahiran anaknya Maryam dan Nabi Muhammad SAW yang “menepungtawari” perkawinan Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib. Sebagian orang (termasuk oknum guru agama di kampung-kampung) mengatakan upacara Tepung Tawar adalah sunnat berdasarkan riwayat di atas. Tetapi sepengetahuan penulis, tidak ada ayat atau Hadits yang shahih tentang riwayat-riwayat semacam itu. Bahkan, cerita-cerita tersebut kalau kurang hatihati cenderung kepada dosa besar karena mendustakan para nabi yang mulia. Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah Hadits shahih bahwa barangsiapa sengaja meriwayatkan darinya sesuatu yang tidak pernah beliau lakukan atau katakan maka orang itu tempatnya di dalam neraka.



25



7.



Bapalas bidan Kelahiran dan kematian adalah siklus kehidupan manusia. Dalam



masyarakat Banjar dalam kelahiran seorang anak akan dimulai dengan beberapa tradisi salah satunya bapalas bidan. Segera setelah lahir, tangkai pusat bayi langsung dipotong dan kemudian dibungkus dengan kunyit bercampur kapur, bayi dimandikan, diwudhui, perutnya diolesi dengan bedak beras (Alfani Daud, 1997; 230), ubun-ubunnya dikasai (diolesi) dengan ramuan beras dan garam lalu seluruh tubuhnya dibalut dengan kain bersih termasuk kedua tanggannya (dibedong). Tembuni bayi dibersihkan dan dicampurkan dengan garam, ada kepercayaan masyarakat Banjar apabila tembuni seorang bayi dicampur dengan garam, maka perkataan-perkataan bayi kelak akan masin (berpengaruh/penuh dengan hikmah) (Alfani Daud, 1997; 232). Masyarakat Banjar terkenal dengan agamis, terbukti ketika bayi baru lahir diazankan di telinga sebelah kanan dan diiqamatkan di telinga sebelah kiri. Masyarakat Banjar biasanya menambahkan surah al-Inshirah dan surah al- Qadr kemudian ditiupkan dengan pelan ke telinga bayi. Hal demikian pun mereka lakukan ketika sedang memandikan bayi sampai bayi berumur 40 hari. Apabila azan maghrib berkumandang bayi yang sedang berbaring segera diangkat dan diayun-ayun seraya membacakan surah al-Qadr sebanyak 3 kali dan kemudian ditiupkan ke telinga bayi dengan niatan bayi tidak diganggu makhluk ghaib. Masyarakat Banjar juga masih percaya dengan hal yang berbau mistis seperti terlebih bayi masih berumur di bawah 40 hari maka diletakkan di samping/dekat kepala bayi cermin, surah Yasin, bawang tunggal, daun jariangau (jeringau) dan jeruk nipis. Hal itu dimaksudkan agar bayi tersebut tidak diganggu kuyang dan hantu beranak serta saudara-saudara ghaibnya yang lain. Menurut Daud seorang bayi yang baru lahir dinyatakan sebagai anak bidan sampai dilaksanakannya upacara bapalas bidan, yakni suatu upacara pemberkatan yang dilakukan oleh bidan terhadap si bayi dan ibunya. Selain dilaksanakan oleh masyarakat Banjar yang tinggal di pedesaan, upacara bapalas bidan juga dilaksanakan oleh orang Dayak Meratus. Setelah bayi lahir, orang Dayak Meratus



26



kemudian melaksanakan upacara bapalas bidan, yakni memberi hadiah (piduduk) berupa lamang ketan, sumur-sumuran (aing terak), beras, gula dan sedikit uang kepada bidan atau balian yang menolong. Biasanya sekaligus pemberian nama kepada sang bayi. Termasuk nantinya saat anak sudah mulai berjalan (turun) ke tanah dari rumah (umbun) juga dengan upacara mainjak tanah, tetap dipimpin oleh balian. Pelaksanaan bapalas bidan, biasanya dilakukan ketika bayi berumur 40 hari. Bapalas bidan selain dimaksudkan sebagai balas jasa terhadap bidan, juga merupakan penebus atas darah yang telah tumpah ketika melahirkan. Dengan pelaksanaan bapalas bidan ini diharapkan tidak terjadi pertumpahan darah yang diakibatkan oleh kecelakaan atau perkelahian di lingkungan tetangga maupun atas keluarga sendiri. Karena menurut kepercayaan darah yang tumpah telah ditebus oleh si anak pada upacara bapalas bidan tersebut. Pada upacara bapalas bidan ini si anak dibuatkan buaian (ayunan) yang diberi hiasan yang menarik, seperti udang-udangan, belalang dan urung ketupat berbagai bentuk, serta digantungkan bermacam kue seperti cucur, cincin, apam, pisang dan lain-lain. Kepada bidan yang telah berjasa menolong persalinan itu diberikan hadiah segantang beras, jarum, benang, seekor ayam (jika bayi lahir laki-laki, maka diserahkan ayam jantan dan jika perempuan diberikan ayam betina), sebiji kelapa, rempah-rempah dan bahan untuk menginang seperti sirih, kapur, pinang, gambir, tembakau dan berupa uang. Karena memang berasal dari tradisi pra-Islam, maka di antara perlengkapan baayun maulid seperti ayunan dan piduduk mempunyai persamaan dengan perlengkapan langgatan pada acara tradisional aruh ganal yang dilaksanakan orang Dayak Meratus. Ketika Islam datang ke daerah ini, acara bapalas bidan dan maayun anak tidak dilarang, hanya kebiasaan yang tidak sesuai sedikit demi sedikit ditinggalkan. Begitu pula berbagai perlengkapan, maksud dan tujuan, dan perlambang (simbolika) juga disesuaikan atau diisi dengan nilai-nilai Islam. Perbedaan yang ada antara ritual Hindu dan Islam ketika melakukan ritual adalah dalam Hindu selalu menggunakan mantra-mantra sedangkan dalam Islam selalu disisipkan bacaan al-Quran dan shalawat kepada nabi Muhammad. 27



8.



Baarwahan dan Bahaulan Di kalangan masyarakat Banjar, peristiwa kematian umumnya tidak selesai



dengan dikuburkannya mayat. Ia diiringi dengan berbagai acara selamatan atau aruh. Yaitu pada hari pertama (manurun tanah), hari ketiga (manigahari), ketujuh (mamitunghari), kedua puluh lima (manyalawi), ke empat puluh (maampatpuluh hari), ke seratus (manyaratus), sesudah setahun dan setiap tahunnya. Dalam acara tersebut selalu ada bacaan al-Quran, shalawat kepada Nabi serta tahlil yang hadiahnya ditujukan kepada mayat yang bersangkutan. Dan diakhiri dengan bacaan do‟a haul atau arwah. Do‟a arwah berisi permohonan kepada Allah agar apa yang dibaca berupa bacaan Al-Qur‟an, shalawat kepada Nabi serta tahlil diberikan pahala yang besar, dan menghadiahkan pahala tersebut kepada Nabi Muhammad, kepada orang-orang suci (wali), kepada roh orang tua, seluruh kaum muslimin dan muslimat serta mukminin dan mukminat khususnya kepada ruh (biasanya disebutkan namanya dengan jelas atau juga dalam hati di pembaca do‟a). Undangan yang menghadiri acara ini biasanya (dihari pertama sampai hari keseratus) merupakan kerabat dari si mayat. Adapun acara haul undangan yang menghadiri lebih diperluas lagi tidak sekedar dari pihak keluarga si mayat tapi orang kampung sebelah mereka pun ikut diundang juga.



28



BAB III PENUTUP A.



Kesimpulan Di Kalimantan Selatan, yang biasa disebut sebagai orang Banjar adalah



penduduk (asli) daerah sekitar kota Banjarmasin (wilayah Sungai Jingah, Kuin dan Kampung Melayu). Daerah ini meluas sampai kota Martapura, ibukota kabupaten Banjar dan wilayah sekitarnya. Bahasa yang digunakan oleh masyarakat Banjar adalah bahasa Banjar. Bahasa Banjar sejatinya adalah pecahan dari bahasa Melayu. Karena diduga kuat bahwasanya nenek moyang masyarakat Banjar adalah berintikan pecahan suku bangsa Melayu yang dikembangkan oleh suku bangsa yang mendiami Sumatera dan Tanah Semenanjung Melayu (sekarang Malaysia Barat) sekitar lebih dari seribu tahun yang lalu berimigrasi secara besar-besaran ke kawasan Kalimantan khususnya Kalimantan Selatan. Sebelum Islam masuk ke pulau Kalimantan, penduduknya telah memeluk agama Hindu-Budha atau memeluk kepercayaan Kaharingan yang tentu saja sangat berbeda dengan ajaran Islam. Walaupun proses Islamisasi masyarakat Kalimantan hingga kini terus berjalan melalui dakwah dan pendidikan, akan tetapi bekas-bekas kepercayaan dan budaya agama sebelumnya, tidak sepenuhnya bisa dikikis sehingga sebagian masih berpengaruh terhadap keberagamaan dan kebudayaan umat Islam hingga sekarang ini.



29



B.



Saran Islam dan budaya Banjar merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan



dalam kehidupan bermasyarakat beragama mereka seperti Hari al- Syura (10 Muharram) dan bubur al-Syura, maulidan, baayun maulid, batampung tawar, bapalas bidan, baarwahan dan bahaulan. Tradisi di atas yang semakin jarang ditemui adalah bapalas bidan. Sebaiknya tradisi ini diperkenalkan kembali kepada masyarakat Kalimantan Selatan khususnya masyarakat suku Banjar baik itu dilakukan oleh pemerintah maupun tokoh masyarakat sehingga tradisi terjaga. Demikianlah makalah yang telah kami sampaikan, semoga bermanfaat bagi semua pembaca. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar kami dapat menghasilkan karya yang lebih baik lagi. .



30



DAFTAR PUSTAKA Azmi, Muhammad. “Islam Di Kalimantan Selatan Pada Abad Ke-15 Sampai Abad Ke -17.” Yupa: Historical Studies Journal 1, no. 1 (2017): 38–47. Hasan. “ISLAM DAN BUDAYA BANJAR DI KALIMANTAN SELATAN” 14, no. 25 (2016): 78–90. Nashih Nashrullah. “Harmoni Budaya Dan Islam Di Kalimantan.” Last



modified



2016.



Accessed



March



14,



2021.



https://republika.co.id/berita/ocm6g61/harmoni-budaya-danislam-di-kalimantan. “Oloh



Salam.”



Accessed



March



14,



2021.



14,



2021.



https://id.wikipedia.org/wiki/Oloh_Salam. “Suku



Banjar.”



Accessed



March



https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Banjar.



31