Kegawatdaruratan Hemodialisis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KEGAWATDARURATAN HEMODIALISIS



Untuk Memenuhi Tugas Keperawatan Urologi Disusun Oleh : Ria Ervina Putri



1511020050



Hanif Kuncari



1611020041



Febrianto Prasetyo



1611020067



Pujen Tri Rahayu



1611020085



Nurfatikhatul



1611020103



Viki Leksono SM



1611020122



Wiji Pangestu



1611020162



Bayu Aji Saputra



1611020203



Madiyah Mawing



1611020224



PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO 2019



1



BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Hemodialisis (HD) adalah pengobatan dengan alat yaitu Dialyzer, tujuan utama hemodialisis untuk menyaring dan membuang sisa proses metabolisme toksik yang seharusnya ditangani oleh ginjal dan dibuang atau ditangani oleh ginjal (Rahman, 2013). Hemodialisis merupakan terapi paling sering digunakan sebagai bentuk terapi pengganti ginjal. Keberhasilan dan penggunaan di seluruh dunia secara luas membuktikan manfaat dan keamanannya. Tanpa adanya terapi ini, lebih dari satu juta pasien di seluruh dunia akan mati dalam waktu beberapa minggu. Hemodialisis berhasil dilakukan untuk pertama kalinya pada tahun 1944 oleh Willem Kollf pada pasien dengan gagal ginjal. Hemodialisis juga dapat menyebabkan beberapa komplikasi. Selama tahun-tahun pertama setelah pengenalan



hemodialisis,



komplikasi



yang



umum



disebabkan



oleh



permasalahan teknis yang terkait dengan dialysis mesin dan sistem air. Namun saat ini, seiring dengan kemajuan teknologi terutama pada 20 tahun terakhir, komplikasi-komplikasi diatas sudah menurun. Adanya komplikasi lainnya selain mesin dialisis dan sistem air tetap sebagai penyebab signifikan morbiditas dan mortalitas pada pasien hemodialisis saat ini. Komplikasi akut hemodialisis didefinisikan sebagai adanya manifestasi klinis terkait dengan hemodialisa yang terjadi selama sesi dialisis atau dalam 24 jam pertama setelah dialisis. Komplikasi kardiovaskular merupakan komplikasi akut yang paling umum dari hemodialisis saat ini. Di antara komplikasi kardiovaskular, gejala hipotensi intradialisis terjadi antara 20% sampai 50%, dan itu tetap merupakan masalah penting. Komplikasi lain yang menjadi perhatian adalah aritmia terkait hemodialisis, dengan data dilaporkan +5%-75%. Jenis paling umum dan mematikan dari aritmia adalah aritmia ventrikel dan ektopik. Tingkat 2



hemodialisis terkait aritmia ventrikel kompleks adalah sekitar 35% dan tipe kedua yang paling umum dari aritmia adalah atrium fibrilasi sekitar 27%. Sekitar 62% dari kematian jantung mendadak dikaitkan dengan gangguan aritmia. Tahun pertama hemodialisis sangat berkaitan penting dengan kejadian kematian jantung mendadak, yang ditemukan pada 93 dari 1.000 pasien pada tahun pertama hemodialisis. B. Rumusan Masalah Hemodialisis merupakan terapi paling umum untuk penderita penyakit ginjal dari banyaknya manfaat hemodialisis yang terbukti bukan tanpa risiko atau efek samping komplikasi akut pada penyakit gagal ginjal yang membutuhkan penanganan kegawatdaruratan. Berdasarkan latar belakang dan kejadian yang muncul maka apa saja komplikasi yang dapat terjadi pada hemodialisis sehingga dapat mengakibatkan kegawatdaruratan hemodialisis. C. Tujuan Untuk mengetahui komplikasi akut penyakit gagal ginjal sehingga dapat mengakibatkan kegawatdaruratan hemodialisis.



3



BAB II PEMBAHASAN A. Klasisfikasi Komplikasi Akut Hemodialisis Komplikasi akut hemodialisis dapat dikalsifikasikan sebagai berikut: 1.



Komplikasi kardiovaskular a) Hipotensi b) Aritmia c) Perikarditis d) Sudden cardiac death e) Nyeri dada



2. Komplikasi terkait peralatan hemodialisis a) terkait dengan alat hemodialisis b) terkait dengan membrane c) terkait sistem air d) terkait dengan akses vaskuler 3. Komplikasi neurologi a) Sindrom disequilibrium b) Cerebrovaskular event c) Perubahan kesadaran d) Nyeri kepala e) Kejang f) Tremor 4. Komplikasi terkait terapi antikoagulan a) Heparin induced trombositopenia b) diathesis perdarahan 5. Komplikasi hematologi 6. Lainnya seperti mual, muntah, gatal, kram.



4



B. Komplikasi Akut Penyakit Gagal Ginjal Yang Membutuhkan Penanganan Kegawatdaruratan 1. Sindrom Kardiorenal Akibat Gagal Jantung a) Definisi Sindrom Kardiorenal The National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI), di Amerika,



membentuk



mengajukan



definisi



grup



kerja



sederhana



”Cardio-Renal tentang



sindrom



Connections”, kardiorenal



(CRS/Cardiorenal syndrome) pada tahun 2004, CRS adalah penurunan fungsi ginjal yang disebabkan oleh penurunan fungsi jantung. Mengingat fungsi ginjal antara lain mengatur garam dan cairan maka penurunan fungsinya akan menyebabkan pengobatan terhadap gagal jantung terganggu. Definisi ini tidak dapat menjelaskan semua bentuk korelasi antar organ ginjal-jantung. Bila ditinjau dari sudut ahli ginjal (nefrologis) kondisi ini adalah bila terjadi penyakit kardiovaskular atau gagal jantung yang berhubungan dengan penurunan fungsi ginjal sebelumnya. Bila ditinjau dari ahli jantung (kardiologis) kondisi ini adalah penurunan fungsi ginjal yang terjadi akibat penyakit kardiovaskular atau gagal jantung sebelumnya. Atas dasar itu, Schrier (2007) membedakan istilah antalra “cardiorenal syndrome “, yaitu : penurunan fungsi ginjal yang terjadi pada pasien gagal jantung dan menimbulkan perburukan prognosis, sedangkan penurunan fungsi jantung akibat gagal ginjal, disebutnya sebagai “renocardiac syndrome“. b) Klasifikasi Sindrom Kardiorenal Klasifikasi



sindroma



kardiorenal



(CRS)



menurut



Ranco



dkk



berdasarkan konferensi konsesus Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) Tipe I



Syndrome Acute Cardio-renal



5



Patofisiologi Penurunan fungsi jantung akut (acute cardiogenic shock atau ADHF-acute coronary syndrome/ACS) yang menyebabkan acute kidney injury



II



Chronic renal



Cardio-



III



Acute Reno-cardiac



IV



Chronic cardiac



V



Secondary Cardiorenal



Reno-



(AKI) Penurunan fungsi jantung kronis (gagal jantung kongestif) yang menyebabkan penyakit ginjal kronis(PGK) Penurunan fungsi ginjal akut (iskemik atau glomerulonefritis) menyebabkan gangguan jantung akut (aritmia,iskemia,infark) Penurunan fungsi ginjal kronis (iskemik atau glomerulonefritis kronik) menyebabkan gangguan jantung kronis (LVH/ left ventricular hypertrophy, gagal jantung) Kondisi sitemik (diabetes mellitus, sepsis) menyebabkan gangguan kedua organ



Berdasarkan definisi tersebut World Congress of Nephrology tahun 2008 Ronco dkk mengklasifikasikan sindroma kardiorenal atas 5 subtipe,



yaitu:  Tipe 1 : Acute Cardiorenal Syndrome Didefinisikan sebagai suatu perburukan akut fungsi jantung dijumpai pada syok kardiogenik, gagal jantung kongestif dekompensata, dan sindroma koroner akut yang mencetuskan secara mendadak perburukan



fungsi



ginjal



ataupun



gagal



ginjal



akut



yang



dideskripsikan sebagai peningkatan kadar kreatinin serum sebesar 0,3-0,5 mg/dl, ataupun penurunan laju filtrasi glomerulus sebesar 915 ml/menit saat awal masuk rawatan dengan gagal jantung akut. Sekitar 27-40% pasien yang dirawat dengan acute decompensated heart failure (ADHF) tampaknya berkembang menjadi acute kidney injury (AKI). Kebanyakan pasien dengan kondisi ini mengalami mortalitas dan morbiditas yang tinggi dan meningkatkan lamanya rawat inap.



6



 Tipe 2 : Chronic Cardiorenal Syndrome Didefinisikan sebagai gagal jantung kronik yang rnengarah menjadi penyakit ginjal kronik akibat dari kerusakan mikrovaskular dan makrovaskular ginjal yang semakin dirumitkan dengan gangguan hemodinamik. Sindroma tipe ini cukup sering terjadi dan telah dilaporkan pada 63% pasien gagal jantung kongestif rawat inap.  Tipe 3 : Acute Renocardiac Syndrome Didefinisikan sebagai penurunan fungsi ginjal akut seperti dapat dijumpai pada keadaan kekurangan volume cairan, glomerulonefritis akut ataupun pada stenosis arteri renal bilateral yang menyebabkan gangguan



ataupun



penurunan



fungsi



jantung



yang



akut



dimanifestasikan dengan gagal jantung akut, aritmia, ataupun iskemia. Subtipe ini mengacu pada kelainan pada fungsi jantung sekunder terhadap AKI.  Tipe 4 : Chronic Renocardiac Syndrome Didefinisikan sebagai penyakit ginjal kronik yang berkontribusi pada penurunan berkelanjutan terhadap fungsi jantung atau gagal jantung, hipertrofi jatung, dan predisposisi terhadap kejadian kardiovaskular lainnya yang merugikan. Berbagai efek disfungsi ginjal kronik menyebabkan gangguan fungsi jantung meliputi ketidakseimbangan hemodinamik, inflamasi kronik, dan proses aterosklerosis yang progresif. Subtipe ini mengacu pada penyakit atau disfungsi jantung yang terjadi sekunder akibat penyakit ginjal kronis.  Tipe 5 : Secondary Cardiorenal Syndrome Didefinisikan sebagai gangguan ataupun disfungsi secara simultan fungsi jantung maupun ginjal yang dipengaruhi atau disebabkan oleh obat-obatan maupun gangguan sistemik seperti diabetes melitus, hipertensi,



penyakit



autoimun,



sepsis,



amiloidosis,



ataupun



disseminated intravascular coagulation (DIC). Gangguan ini dapat bersifat akut (seperti pada kondisi toksisitas obat ataupun keadaan



7



sepsis) maupun kronik (contohnya bila diakibatkan oleh diabetes melitus). c) Patofisiologi Sindroma Kardiorenal Mekanisme



dasar



penyebab



sindroma



kardiorenal



bersifat



multifaktorial yang meliputi kerusakan struktur oleh karena proses aterosclerosis, perubahan hemodinamik, efek neurohormonal, dan peranan komponen inflamasi. Pada kondisi fisiologis GFR dipertahankan tetap konstan dalam rentang tekanan darah yang tinggi oleh mekanisme autoregulasi yang terutama berada dalam pembuluh darah afferent dan efferent glumerulus. Bila terjadi penurunan cardiac output, tekanan darah dapat turun dibawah rentang yang dapat dikompensasi oleh mekanisme autoregulasi tersebut. Kondisi ini akan diikuti oleh hipoperfusi, hipofiltrasi dan kemudian iskemia ginjal. Menurunnya perfusi ginjal akan mengaktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA) dengan dilepaskannya renin yang akan meningkatkan perubahan angiotensin I oleh angiotensin converting enzyme (ACE) menjadi angiotensin II yang kemudian akan menyebabkan vasokonstriksi sistemik dan retensi natrium di ginjal, sehingga terjadi peningkatan volume sirkulasi efektif. Pada gagal jantung, respons fisiologik tersebut tidak hanya mengaktivasi sistem RAA, tetapi juga meyebabkan efek spiral negatif berupa aktivasi sistem saraf simpatik, disfungsi endotel, inflamasi, dan gangguan keseimbangan reactive oxygen/nitric oxide. Berbagai sistem yang teraktivasi tersebut akan berinteraksi membentuk lingkaran setan yang akan mempercepat penurunan fungsi ginjal dan fungsi jantung lebih lanjut. Mekanisme disfungsi ginjal pada penderita gagal jantung sangat kompleks dan sangat mungkin beberapa faktor bekerja pada penderita yang sama. Mengenal faktor-faktor yang terlibat pada masing-masing



8



penderita dan mengeliminasinya bila mungkin merupakan komponen yang penting dalam tatalaksana sindrom kardiorenal. 2. Hiperkalemia a) Definisi Hiperkalemia Hiperkalemia adalah suatu kondisi di mana kadar kalium dalam darah yang lebih tinggi dari normal. Kalium adalah zat kimia yang sangat penting untuk fungsi sel saraf dan otot, termasuk yang ada di dalam hati. Kadar kalium normal dalam darah adalah 3,6 - 5,2 mmol/L. Hiperkalemia berat menyebabkan kelemahan otot skeletal dan bahkan paralysis, yang berhubungan dengan blok depolarisasi pada otot. b) Patofisiolohi Hiperkalemia Ketidakseimbangan kalium merupakan salah satu gejala yang sangat serius yang dapat terjadi pada gagal ginjal, (Normal=3,5-5,5 mkal/L). Sekitar 80% asupan normal yaitu sebesar 50-150 Mea/hari diekresi kedalam kemih. Hiperkalemia akan selalu timbul bila pasien mengalami oliguria pada gagal ginjal kronik. Disamping itu, asidosis sistemik juga dapat menimbulkan hiperkalemia melalui pergeseran K+ dari dalam sel ke cairan ekstraseluler. Efek hiperkalemia yang sangat mengancam kehidupan adalah pengaruhnya pada penghantaran listrik jantung. Bila kadar K+ serum 7-8 Mea/L akan timbul disritmia yang fatal atau terhentinya denyut jantung. c) Penyebab Hiperkalemia Hiperkalemia pada tubuh dapat terjadi karena disebabkan oleh beberapa kondisi berikut :  Penggunaan obat - obatan yang menghalangi proses pembuangan kalium oleh ginjal, seperti obat spironolakton, triamterene, dan ACE inhibitor (contohnya captopril).



9



 Penyakit Addison akan menyebabkan kelenjar adrenal tidak dapat memproduksi hormon yang dibutuhkan untuk merangsang pembuangan kalium melalui ginjal dalam jumlah cukup.  Penyakit gagal ginjal akan menyebakan ginjal tidak berfungsi secara normal untuk membuang kalium sehingga dapat mengakibatkan terjadinya hiperkalemia berat. Oleh Karena itu penderita dengan fungsi ginjal yang buruk harus menghindari makanan yang megandung banyak kalium seperti pisang, alpukat, kentang, dan kacang - kacangan.  Diabetes. Tingginya kadar gula (glukosa) dalam darah dan asidosis menyebabkan keluarnya kalium dari sel dan masuk ke aliran darah. Selain itu, penderita diabetes juga cenderung mengalami penurunan fungsi ginjal dalam mengeluarkan kalium melalui urine. Hal inilah yang menyebabkan meningkatnya jumlah kalium dalam darah penderita diabetes. d) Komplikasi Hiperkalemia Hiperkalemia dapat menyebabkan aritmia, yaitu perubahan irama jantung yang dapat membahayakan jiwa. Kondisi ini dapat memicu terjadinya ventrikel fibrilasi yang menyebabkan jantung bagian bawah bergetar cepat, namun tidak memompa darah. Jika hiperkalemia tidak segera mendapat penanganan, maka bisa membuat jantung berhenti berdetak dan menyebabkan kematian. 3. Hipokalemia Keadaan ini sering terjadi pada pasien yang dilakukan hemo atau peritoneal dialisis. Diduga keadaan inilah yang sering mengakibatkan kematian mendadak pada pasien dialisis. Umumnya terdapat pada PGK tahap 5 yang sudah banyak mengalami gagal jantung, kardiomiopati, penyakit jantung koroner, anemia, sehingga lebih rentan terhadap perubahan kadar kalium. Oleh karena itu pemeriksaan kalium serum secara



10



berkala dilakukan agar dengan segera dapat mendeteksi dini gangguan kalium. a) Definisi Hipokalemia Hipokalemia adalah suatu keadaan dimana kadar atau serum mengacu



pada



konsentrasi



dibawah



normal



yang



biasanya



menunjukkan suatu kekurangan nyata dalam simpanan kalium total. (Brunner dan Suddarth, 2002). Hipokalemia didefinisikan sebagai kadar kalium serum yang kurang dari 3,5mEq/L. (Price & Wilson, 2006). b) Penyebab Hipokalemia Hipokalemia yang terjadi pada tubuh dapat disebabkan oleh beberapa keadaan berikut :  Penyakit hormon endokrin: peningkatan kadar aldosteron yang



berlebihan seperti pada keadaan hiperaldosteronisme atau sindrom Cushing juga dapat menyebabkan ginjal membuang kalium yang berlebihan.  Penyakit genetik ginjal : Penderita sindrom Fanconi, sindroma



Bartter, dan sindrom Liddle terlahir mempunyai penyakit ginjal bawaan yang menyebabkan ginjal tidak berfungsi normal untuk menahan kalium.  Asidosis tubular ginjal : menyebabkan ginjal tidak berfungsi secara



normal sehingga ginjal tidak dapat menahan kalium dengan baik malah mengeluarkan kalium terlalu banyak.  Penggunaan



diuretik : furosemid atau loop diuretik dapat



menyebabkan ginjal membuang kalium, natrium dan air yang berlebihan bersamaan dengan air kemih.  Asupan kalium rendah : merupakan penyebab hipokalemia yang



paling jarang karena sumber kalium banyak sekali ditemukan dalam makanan sehari-hari.  Masalah saluran pencernaan : muntah yang terjadi berulang ulang -



ulang, diare yang kronik, dan penggunaan obat pencahar yang lama



11



dapat mengakibatkan terlalu banyak kalium yang hilang melalui saluran pencernaan. c) Gejala Hipokalemia Beberapa gejala yang dapat muncul pada saat terjadi hipokalemia antara lain: Kelemahan otot, kram otot, kejang otot, kelumpuhan otot termasuk otot bantu pernapasan, detak jantung abnormal, dan berdebar. Kalium sangat vital bagi aktivitas arus listrik dan potensial aksi otot jantung. Penurunan kadar ion kalium ekstraseluler akan meningkatkan perangsangan miokardium yang dapat berpotensi untuk menimbulkan aritmia atau gangguan irama jantung. Aritmia jantung dan kelumpuhan otot pernapasan merupakan komplikasi hipokalemia yang mengancam jiwa dan memerlukan penanganan yang segera. Perubahan pada arus listrik jantung dapat terekam dalam EKG (rekam listrik jantung), dan berikut ini gambaran EKG hipokalemia: - Terbentuknya gelombang U yang jelas. - Terbentuknya Interval QT yang memanjang. - Terbentuknya ST depresi dan T flat atau inversi. - Meningkatnya amplitudo gelombang P. 4. Kegawatan Uremik Pada PGK atau gangguan ginjal akut akan dapat terjadi keadaan sindrom uremik suatu keadaan kegawatan yang memerlukan penanganan segera. Komplikasi sindrom uremik yang berupa hiperkalemia, edema paru, asidosis metabolik, ensefalopati, gangguan fungsi perdarahan, dan perikarditis dapat mengancam jiwa sehingga memerlukan pengobatan di perawatan khusus atau intensif. Umumnya untuk mengatasi keadaan ini diperlukan dialisis segera. 5. Enselopati Uremik Dapat terjadi pada 20% pasien Gagal Ginjal Akut yang dirawat di unit intensif (ICU), sedangkan ada PGK lebih jarang, dan sering tidak 12



berkaitan dengan tingginya konsentrasi ureum. Gangguan kognitif pada pasien PGK dengan Hemodialisis dapat terjadi pada 30% pasien dimana 10% nya mengalami gangguan yang berat. Manifestasi EU ini berupa gangguan mental atau gangguan motorik, pada yang berat dapat berakibat kematian. Dalam tabel dibawah ini dapat dilihat berbagai tingkat manifestasi klinik EU.



a) Definisi Enselopati Uremik Ensefalopati uremikum adalah salah satu komplikasi yang bisa terjadi pada orang-orang yang menderita gangguan ginjal akut maupun kronis, di mana terjadi gangguan pada otak, terutama ketika kemampuan ginjal untuk menyaring racun-racun dalam tubuh menurun dan menetap (laju filtrasi glomerulus menurun hingga dibawah 15mL/menit). b) Patofisiologi ensefalopati uremikum Sampai sekarang, patofisiologi ensefalopati uremikum masih belum jelas, tetapi beberapa faktor diperkirakan berperan dalam proses yang kompleks dan multifaktorial ini. Gangguan hormonal, stres oksidatif, akumulasi metabolit, ketidakseimbagan neurotransmitter eksitatori dan inhibitori, dan gangguan metabolisme perantara telah diidentifikasi sebagai faktor yang berpegaruh.



13







Gangguan hormonal Hormon tiroid diperkirakan menimbulkan efek toksik pada sistem saraf pusat. Percobaan pada hewan menunjukkan perubahan biokimia di otak. Pada gagal ginjal akut dan kronik, kadar hormon paratiroid meningkat dengan diikuti peningkatan kadar kalsium dalam korteks serebri. Hipotesis ini didukung oleh satu penelitian yang menunjukkan kelainan kalsium otak pada gagal ginjal dapat dicegah dengan paratiroidektomi.







Stres oksidatif Reactive oxygen species (ROS) dianggap menjadi salah satu mediator penting pada patofisiologi gagal ginjal kronis. Hal ini dibuktikan berdasarkan peningkatan produk peroksidasi lipid, sebagai hasil dari cedera pada membran sel dan membran organel. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa produk toksik ini menyebabkan sebuah beban inflamasi pada gagal ginjal kronis melalui proses ketidakseimbangan antara peningkatan produksi ROS dan terbatasnya atau berkurangnya kapasitas antioksidan. Nitrit Oksida (NO), awalnya dikenali sebagai faktor penenang yang berasal dari endotel, sekarang diketahui sebagai sinyal molekul ekstraseluler dan intraseluler yang memainkan peran regulasi berbagai fungsi biologis. Sebagai tambahan untuk fungsi fisiologis pentingnya, NO berperan dalam berbagai proses patologis yang berujung sitotoksik. Interaksi antara NO dan ROS, khususnya



anion



superoksida,



menyebabkan



pembentukan



biproduk sitotoksik reaktif tinggi, seperti peroksinitrit, yang dapat bereaksi dengan DNA, lipid, dan protein. Singkatnya, peroksinitrit bereaksi dengan tirosin bebas dan tirosin residu pada molekul protein untuk membentuk nitrotirosin. Melalui jalur lain, ROS dapat mengaktifkan tirosin untuk membentuk tirosil, sebuah radikal yang selanjutnya mengoksidasi 14



NO sehingga membentuk nitrotirosin. Selanjutnya, ekspresi NO sintase meningkat pada otak tikus uremik. Telah terdapat hipotesis mengenai peningkatan yang bersamaan antara ROS dengan ekpresi NO



sintase



pada



jaringan



otak



mungkin



meningkatkan



pembentukan dan akumulasi nitrotirosin pada otak uremik. Analisis western blot menunjukkan peningkatan konten nitrotirosin pada korteks serebri tikus dengan gagal ginjal kronik.. 



Akumulasi metabolit Gagal ginjal menyebabkan akumulasi berbagai toksin uremik. Salah satu dari berbagai toksin uremik adalah senyawa guanidine, sebelumnya dilaporkan meningkat pada cairan biologis dan jaringan uremik. Beberapa senyawa guanidine memainkan peran penting pada etiologi ensefalopati uremikum. Empat senyawa guanidine



didapatkan



meningkat



dalam



serum,



cairan



guanidine,



asam



serebrospinal, dan otak pasien uremik. Senyawa



ini



adalah



kreatinin,



guanidinosuksinik, dan metilguanidine; senyawa ini merupakan pencetus kejang pada otak, mirip seperti yang ditemukan pada otak uremik. Senyawa ini juga mencetuskan kejang tonik-klonik pada curut dewasa. Asam guanidinosuksinik dan metilguanidine merupakan pencetus kejang yang lebih poten daripada guanidine dan kreatinin. Jalur kynurenine merupakan jalur utama metabolisme tryptophan pada mamalia; asam amino ini diubah menjadi kynurenine, yang kemudian diubah menjadi 3-hidroksiurenin, sebuah metabolit yang membentuk ROS. Beberapa penelitian menunjukkan akumulasi metabolit kynurenine dalam darah hewan terdapat pada pasien gagal ginjal kronik dan pasien uremik. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa jalur kynurenine mungkin terganggu dan berperan pada ensefalopati uremikum. Kynurenine dan 3-hidroksiurenine mungkin merupakan mediator 15



disfungsi neurologis pada pasien uremik dan hewan coba. Pada penelitian sebelumnya, beberapa gangguan perilaku yang serius, seperti penurunan lokomotor, aktivitasi eksplorasi dan emosional tikus telah dilaporkan, seperti yang terlihat pada pasien uremik.



16



BAB III KESIMPULAN A. Kesimpulan Komplikasi akut hemodialis merupakan adanya manifestasi klinis terkait dengan hemodialisa yang terjadi selama sesi dialisis atau dalam 24 jam pertama setelah dialisis. Dalam klasifikasi, komplikasi akut hemosialisis terbagi dalam komplikasi kardiovaskuler, komplikasi terkait peralatan



hemodialisis,



komplikasi



neurologis,



komplikasi



terkait



penggunaan heparin, komplikasi hematologi dan lainnya. Selama tahuntahun pertama setelah pengenalan hemodialisis, komplikasi yang umum disebabkan oleh permasalahan teknis yang terkait dengan dialysis mesin dan sistem air, namun diikuti dengan kemajuan teknologi permasalahan tersebut sudah menurun. Hemodialisis masih menyebabkan banyak komplikasi meskipun sudah diikuti oleh kemajuan teknologi. Sangat penting untuk mencegah terjadinya komplikasi terutama di masa awal hemodialisis dan komplikasi yang dapat mengancam jiwa.



17



DAFTAR PUSTAKA Abbott, K.C., Neff, R.T., Bohen, E.M. & Narayan, R. Anticoagulation for chronic atrial fibrillation in hemodialysis patients: which fruit from the decision tree? Am J KidneyDis 2007, 50:3: 345-8. Banerjee, A. & Davenport, A. Changing patterns of pericardial disease in patients with end-stage renal disease. Hemodial Int 2006; 10: 249-55. Biff F. Palmer et al, Recent Advances in the Prevention and Management of Intradialytic Hypotension: J Am Soc Nephrol 2008;19: 8–11. Burton, J.O., Korsheed, S., Grundy, B.J. & McIntyre, C.W.Hemodialysis-induced left ventricular dysfunction is associated with an increase in ventricular arrhythmias. Ren Fail 2008; 30: 7: 701-9 Cruz, D.N., Mahnensmith, R.L. & Perazella, M.A. Intradialytic hypotension: is midodrine beneficial in symptomatic hemodialysis patients? Am J Kidney Dis 1997 ;30:6:772-9. Genovesi, S., Vincenti, A., Rossi, E., Pogliani, D., Acquistapace, I., Stella, A. & Valsecchi, M.G. Atrial fibrillation and morbidity and mortality in a cohort of long-term hemodialysis patients. Am J Kidney Dis 2008; 51: 2: 255-62. Herzog, C.A., Mangrum, J.M., & Passman, R. Sudden cardiac death and dialysis patients. Semin Dial 2008 ; 21: 300-7 Herzog, C.A., Mangrum, J.M., & Passman, R. Sudden cardiac death and dialysis patients. Semin Dial 2008 ; 21: 300-7 Kaze FF, Ashuntantang G, Kengne AP, et al. Acute Hemodialysis Complication in end-stage renal disease patients: The burden and implication for the under-resourced Sub-Saharan African Health system. Hemosialysis International 2012 Shastri, S. & Sarnak, M.J.Cardiovascular disease and CKD: core curriculum 2010. Am J Kidney Dis 2010; 56:2:399-417



18



RESUME JURNAL



1. Judul Enselopati Uremikun Pada Gagal Ginjal Kronis 2. Introduction Ensefalopati uremikum adalah kelainan otak organik yang terjadi pada pasien dengan gagal ginjal akut maupun kronik. Di Indonesia jumlah pasien gagal ginjal kronik diperkirakan sekitar 50 orang per satu juta penduduk. Pasien wanita 51 tahun datang dengan penurunan kesadaran sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Pasien tidak sadar dan demam sepanjang hari disertai keringat di malam hari. Pasien tidak buang air besar dan buang air kecil mengompol. Pasien dipasang kateter namun jumlah urin hanya sedikit. Pasien dianjurkan menjalani cuci darah segera selama 2 jam atas indikasi keadaan klinis yang buruk dan uremia. Pasien telah menjalani cuci darah selama 1 jam dan kondisi pasien menurun. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran koma, tekanan darah 80/60 mmHg, nadi: 112 x/menit, pernafasan: 36x/menit, suhu: 38,7 °C, pemeriksaan laboraturium dengan hasil Hb: 11,9 gr%, LED: 10 mm/jam, Leukosit: 15.050/uL, ureum: 289, kreatinin: 5,3, LFG: 7,95. Pasien didiagnosa dengan penurunan kesadaran et causa (ec) ensefalopati uremikum + Gagal Ginjal Kronis (GGK) + Syok sepsis. Pada pasien diberikan tatalaksana suportif dan medikamentosa. 3. Methods Pasien diobservasi di unit gawat darurat (UGD) selama 2 hari. 4. Results Hasil akhir pasien adalah meninggal dunia, hal ini disebabkan selain karena kondisi pasien yang buruk, disebabkan juga karena keterlambatan dalam penanganan, dimana pasien sudah menunjukkan gejala ensefalopati berupa



19



gangguan neurologis sejak 5 hari SMRS, serta tidak tersedia kamar perawatan intensif atau Intensive Care Unit (ICU). 5. Discussion Seorang wanita, 51 tahun datang ke RSAM dengan penurunan kesadaran dan didiagnosis dengan penurunan kesadara e.c. ensefalopati uremikum + GGK + syok sepsis. Pasien wanita ini dapat dikatakan mengalami gagal ginjal kronik, karena telah mengalami kerusakan ginjal selama 1 tahun dan didukung oleh nilai laboratorium kimia darah ureum dan kreatinin yang meningkat. Kadar ureum 289 mg/dl dan kreatinin 5,3 mg/dl. Berdasarkan rumus Kockroft–Gault 12, maka didapatkan nilai LFG adalah sebagai berikut:



LFG (ml/mnt/1,73m2)= (140 umur) x berat badan/ 72 x kreatinin plasma (mg/dl) (pada perempuan dikalikan 0,85).



Sehingga, nilai LFG pasien wanita usia 51 tahun dengan berat badan 40 kg ini adalah 7,93 ml/min. Hal ini sesuai dengan kriteria CKD stage V atau yang dapat disebut juga sebagai ESRD. Peningkatan amonia pada pasien ini didukung pula dengan keadaan pasien yang tidak bisa BAB selama 3 minggu. Jumlah amonia semakin bertambah dan sintesis urea menjadi lebih banyak, namun hal ini tidak didukung dengan kerja ginjal yang optimal untuk mengeluarkan urea yang terbentuk. Pasien wanita pada kasus ini mengalami syok karena tekanan darah pasien adalah 80/60 mmHg disertai akral yang dingin. Hal ini menunjukkan terjadinya kegagalan sirkulasi. Syok septik merupakan keadaan dimana terjadi penurunan tekanan darah (sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan tekanan darah sistolik lebih dari 40 mmHg) disertai tanda kegagalan sirkulasi.



20



Syok yang dialami pasien merupakan syok karena sepsis. Sepsis adalah bila ditemukan gejala Systemic Inflamatory Respiration Syndrome (SIRS) ditambah tempat infeksi yang diketahui. Pada pemeriksaan fisik ditemukan nadi 112x/menit, pernafasan 36x/menit, dan suhu 38,7 °C.16 Pemeriksaan laboratorium darah lengkap menunjukkan nilai hitung leukosit adalah 15.050/ul dan peningkatan netrofil segmen menjadi 90%. Hal ini sesuai dengan kriteria SIRS. Pasien yang mengalami SIRS adalah pasien yang memiliki dua atau lebih dari kriteria berikut: Suhu >38 °C atau 90 denyut/menit, Respirasi >20x/menit atau PaCO2 12.000/mm3 atau >10% sel imatur. Penanganan



pada



pasien



sudah



sesuai.



Pada



pasien



telah



mendapatkan tindakan hemodialisa cyto dan berlangsung selama 1 jam. Pasien disarankan untuk dilakukan hemodialisa selama 2 jam. Indikasi hemodialisa segera adalah bila ditemukan kegawatan ginjal berupa keadaan klinis uremik berat, oligouria (produksi urine 150 mg/dL), ensefalopati uremikum, neuropati/miopati uremikum, perikarditis uremikum, disnatremia berat (Na >160 atau