Kehamilan Patologi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Lata Belakang Patologi kehamilan adalah penyulit atau gangguan atau komplikasi yang menyertai ibu saat hamil (Sujiyatini,2009:3). Patologi merupakan cabang bidang kedokteran yang berkaitan dengan ciri-ciri dan perkembangan penyakit melalui analisis perubahan fungsi atau keadaan bagian tubuh. Bidang patologi terdiri atas patologi anatomi dan patologi klinik. Ahli patologi anatomi membuat kajian dengan mengkaji organ sedangkan ahli patologi klinik mengkaji perubahan pada fungsi yang nyata pada fisiologis tubuh. Patologi anatomi adalah spesialisasi medis yang berurusan dengan diagnosis penyakit berdasarkan pada pemeriksaan kasar, mikroskopik, dan molekuler atas organ, jaringan, dan sel. Di banyak negri, dokter yang berpraktek patologi dilatih dalam patologi anatomi dan patologi klinik, diagnosis penyakit melalui analisis laboratorium pada cairan tubuh. Patologi anatomi mendiagnosis penyakit dan memperoleh informasi yang berguna secara klinis melalui pemeriksaan jaringan dan sel, yang umumnya melibatkan pameriksaan visual kasar dan mikroskopik pada jaringan, dengan pengecatan



khusus



dan



imunohistokimia



yang



dimanfaatkan



untuk



menvisualisasikan protein khusus dan zat lain pada dan dikelilingi sel. Kini, patologi anatomi mulai mempergunakan biologi molekuler untuk memperolah informasi klinis tambahan dari spesimen yang sama. Ada beberapa macam patologi yang harus di antisipasi oleh setiap dokter dan tenaga kesehatan lainnya : patologi kehamilan, patologi persalinan, patologi nifas. Patologi kehamilan terdiri atas : Mola hidatidosa, Ketuban pecah dini, Abortus, Kehamilan lewat waktu, Persalinan preterm, Kehamilan ektopik, Solusio plasenta, Preeklamsia, Eklamsia, Plasenta previa (Sujiatini, 2009).



BAB II LANDASAN TEORI 2.1 ANATOMI FISIOLOGI KEHAMILAN 2.2 HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN A. DEFINISI Yang dimaksud dengan preeklamsi adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuri akibat kehamilan, setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Sedangkan yang dimaksud dengan eklamsi adalah kelainan akut pada preeklamsi dalam kehamilan, persalinan, atau nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang dengan atau tanpa penurunan kesadaran (gangguan sistem saraf pusat). Ada pula istilah eclamsia sine eclampsia adalah eklamsi yang ditandai oleh penurunan kesadaran tanpa kejang. Hipertensi kronik adalah hipertensi pada ibu hamil yang sudah ditemukan sebelum kehamilan atau yang ditemukan pada umur kehamilan < 20 minggu, dan yang menetap setelah 12 minggu pascasalin. Hipertensi kronis yang diperberat oleh preeklamsi atau eklamsi adalah preeklamsi atau eklamsi yang timbul pada hipertensi kronis dan disebut juga Superimposed Preeclampsia. Sedangkan hipertensi gestasional adalah timbulnya hipertensi dalam kehamilan pada wanita yang tekanan darah sebelumnya normal dan tidak disertai proteinuri. Gejala ini akan menghilang dalam waktu < 12 minggu pascasalin. B. KLASIFIKASI Wanita hamil dengan hipertensi secara luas dapat dibagi menjadi 3 kategori yaitu hipertensi kronis, hipertensi non-proteinuri (kadang dikenal sebagai



pregnancy-induced hypertension), dan pre-eklamsi. Menurut The



International Society for the Study of Hypertension in Pregnancy (ISSHP) klasifikasi hipertensi pada wanita hamil dibagi menjadi :



1. Hipertensi gestasional dan/atau proteinuria selama kehamilan, persalinan, atau pada wanita hamil yang sebelumnya normotensi dan non-proteinuri. -



Hipertensi gestasional (tanpa proteinuria)



-



Proteinuria gestasional (tanpa hipertensi)



-



Hipertensi gestasional dengan proteinuria (pre-eklamsi)



2. Chronic hypertension (sebelum kehamilan 20 minggu) dan penyakit ginjal kronis (proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu) -



Hipertensi kronis (without proteinuria)



-



Penyakit ginjal kronis (proteinuria dengan atau tanpa hipertensi)



-



Hipertensi kronis dengn superimposed



-



Pre-eklamsi (proteinuria)



3. Unclassified hypertension dan/atau proteinuria 4. Eklampsia. Klasifikasi hipertensi pada kehamilan oleh Working Group of the NHBPEP (2000) dibagi menjadi 5 tipe, yaitu : 1. Hipertensi gestasional : Tekanan darah > 140/90 mmHg untuk pertama kali, tidak disertai proteinuria dan tekanan darah kembali normal < 12 minggu pascasalin. 2. Preeklamsi : Hipertensi disertai proteinuria dan edema setelah usia kehanilan 20 minggu 1. Ringan : Tekanan darah > 140/90 mmHg setelah usia kehamilan 20 minggu disertai dengan proteinuria > 300 mg/ 24 jam atau > 1+ sampai 2+ 2. Berat : Tekanan darah > 160/110 mmHg setelah usia kehamilan 20 mgg disertai dengan proteinuria > 500 mg atau 3+ sampai 4+ 3. Eklamsi : Preeklampsia disertai kejang atau koma. 4. Preeklamsi superimposed pada hipertensi kronis : Terdapat proteinuria > 300 mg/24 jam pada wanita hamil yang sudah mengalami hipertensi sebelumnya. Proteinuria hanya timbul setelah kehamilan 20 minggu.



5. Hipertensi kronis : Tekanan darah > 140/90 mmHg sebelum kehamilan atau sebelum kehamilan 20 minggu dan tidak menghilang setelah 12 minggu pasca persalianan. Faktor Risiko Faktor risiko pada preeklamsi dapat dibagi menjadi 3 yaitu : 1. Faktor risiko maternal : -



Kehamilan pertama



-



Primipaternity



-



Usia < 18 tahun atau > 35 tahun



-



Riwayat preeklamsi



-



Riwayat preeklamsi dalam keluarga



-



Ras kulit hitam



-



Obesitas (BMI ≥ 30)



-



Interval antar kehamilan < 2 tahun atau > 10 tahun.5,7



2. Faktor risiko medikal maternal : -



Hipertensi kronis, khusunya sebab sekunder hipertensi kronis seperti hiperkortisolisme, hiperaldosteronisme, faeokromositoma, dan stenosis arteri renalis



-



Diabetes yang sedang diderita (tipe 1 atau 2), khususnya dengan komplikasi mikrovaskular



-



Penyakit ginjal



-



Systemic Lupus Erythematosus



-



Obesitas



-



Trombofilia



-



Riwayat migraine



-



Pengguna anti depresan selective serotonin uptake inhibitor > trimester I.



3. Faktor risiko plasental atau fetal : -



Kehamilan multipel



-



Hidrops fetalis



-



Penyakit trofoblastik gestasional



-



Triploidi.



C. DIAGNOSIS DAN GEJALA KLINIS Diagnosis dini harus diutamakan bila diinginkan angka morbiditas dan mortalitas rendah bagi ibu dan anaknya. Walaupun terjadinya preeklamsi sukar dicegah, tetapi berat dan terdinya eklamsi biasanya dapat dihindari dengan mengenal secara dini penyakit tersebut dan dengan penanganan secara sempurna. Tekanan darah sebaiknya diukur pada posisi duduk dengan posisi cuff setinggi jantung. Adanya penekanan vena kava inferior oleh uterus gravid pada posisi berbaring dapat mengganggu pengukuran sehingga terjadi pengukuran yang lebih rendah. Sebelum pengukuran, wanita hamil dianjurkan untuk duduk tenang 5-10 menit. Hipertensi didiagnosa apabila tekanan darah pada waktu beristirahat 140/90 mmHg atau lebih besar, fase ke V Korotkoff digunakan untuk menentukan tekanan darah diastolik.. Pada masa lalu, telah dianjurkan agar peningkatan tambahan tekanan diastolik 15 mmHg atau sistolik 30 mmHg digunakan sebagai kriteria diagnostik, bahkan apabila tekanan darah saat diukur di bawah 140/90 mmHg. Kriteria tersebut sekarang ini tidak lagi dianjurkan karena bukti menunjukkan bahwa wanita tersebut tidak memiliki kecenderungan untuk mengalami efek samping merugikan saat kehamilan. Sebagai tambahan, tekanan darah biasanya menurun pada trimester ke-II kehamilan dan tekanan diastolik pada primigravida dengan kehamilan normotensi kadang-kadang naik sebesar 15 mmHg. Oedem telah ditinggalkan sebagai kriteria diagnostik karena hal tersebut juga banyak terjadi pada wanita hamil yang normotensi. Oedem dianggap patologis bila menyeluruh dan meliputi tangan, muka, dan tungkai. Sebagai catatan, oedem tidak selalu terdapat pada pasien preeklamsi maupun eklamsi. 1.



Hipertensi Gestasional Hipertensi gestasional didiagnosis pada wanita dengan tekanan darah mencapai 140/90 mmHg atau lebih besar, untuk pertama kalinya selama kehamilan tetapi tidak terdapat proteinuria. Hipertensi gestasional disebut juga transient hypertension jika preeklampsia tidak berkembang dan



tekanan darah telah kembali normal pada 12 minggu postpartum. Apabila tekanan darah naik cukup tinggi selama setengah kehamilan terakhir, hal ini berbahaya terutama untuk janin, walaupun proteinuria tidak pernah ditemukan. Seperti yang ditegaskan oleh Chesley (1985), 10% eklamsi berkembang sebelum proteinuria yang nyata diidentifikasi. Dengan demikian, jelas bahwa apabila tekanan darah mulai naik, ibu dan janin menghadapi risiko yang meningkat. Proteinuria adalah suatu tanda dari penyakit hipertensi yang memburuk, terutama preeklampsia. Proteinuria yang nyata dan terus-menerus meningkatkan risiko ibu dan janin. Kriteria Diagnosis pada hipertensi gestasional yaitu : 1. TD 140/90 mmHg yang timbul pertama kali selama kehamilan. 2. Tidak ada proteinuria. 3. TD kembali normal < 12 minggu postpartum. 4. Diagnosis akhir baru bisa ditegakkan postpartum. 5. Mungkin ada gejala preeklampsia lain yang timbul, contohnya nyeri epigastrium atau trombositopenia. 2.



Preeklamsi Proteinuria adalah tanda penting dari preeklampsia, dan Chesley (1985) menyimpulkan secara tepat bahwa diagnosis diragukan dengan tidak adanya proteinuria. Proteinuria yaitu protein dalam urin 24 jam melebihi 300mg per 24 jam, atau pada sampel urin secara acak menunjukkan 30 mg/dL (1 + dipstick) secara persisten. Tingkat proteinuria dapat berubahubah secara luas selama setiap periode 24 jam, bahkan pada kasus yang berat. Oleh karena itu, satu sampel acak bisa saja tidak membuktikan adanya proteinuria yang berarti. Dengan demikian, kriteria minimum untuk diagnosis preeklamsi adalah hipertensi dengan proteinuria yang minimal. Temuan laboratorium yang abnormal dalam pemeriksaan ginjal, hepar, dan fungsi hematologi meningkatkan kepastian diagnosis preeklamsi. Selain itu, pemantauan secara terus-menerus gejala eklampsia, seperti sakit kepala dan nyeri epigastrium, juga meningkatkan kepastian tersebut.



Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas merupakan akibat nekrosis hepatocellular, iskemia, dan oedem yang merentangkan kapsul Glissoni. Nyeri ini sering disertai dengan peningkatan serum hepatik transaminase yang tinggi dan biasanya merupakan tanda untuk mengakhiri kehamilan. Trombositopeni adalah karakteristik dari preeklamsi yang memburuk, dan hal tersebut mungkin disebabkan oleh aktivasi dan agregasi platelet serta hemolisis mikroangiopati yang disebabkan oleh vasospasme yang berat.



Bukti



adanya



hemolisis



yang



luas



dengan



ditemukannya



hemoglobinemia, hemoglobinuria, atau hiperbilirubinemi dan merupakan indikasi penyakit yang berat. Faktor lain yang menunjukkan hipertensi berat meliputi gangguan fungsi jantung dengan oedem pulmonal dan juga pembatasan pertumbuhan janin yang nyata. Kriteria diagnosis pada preeklamsi terdiri dari : Kriteria minimal, yaitu : - TD 140/90 mmHg pada kehamilan > 20 minggu. - Proteinuria 300 mg/24 jam atau 1+ dipstick.



Kemungkinan terjadinya preeklamsi : - TD 160/110 mmHg. - Proteinuria 2.0 g/24 jam atau 2+ dipstick. - Kreatinin serum > 1.2 mg/dL kecuali sebelumnya diketahui sudah meningkat. - Trombosit 8 ng/kgbb/menit menghasilkan respons tekanan darah 20 mmHg, tetap normotensi selama kehamilan, sedangkan yang mendapat < 8 ng/kgbb/menit dan terjadi kenaikan tekanan diastolik 20 mmHg, 90% akan terjadi hipertensi dalam kehamilan. Namun tes ini mahal, rumit dan memakan waktu sehingga tidak praktis dipakai sebagai tes penapisan. 3. Tes Latihan Isometrik (Isometric exercise test) Tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifitas cukup tinggi. Degani dkk berpendapat bahwa tekanan darah diastol yang berespons terhadap tes hand grip ini menggambarkan reaktifitas vaskular pada wanita hamil, jadi dapat digunakan untuk deteksi hiperaktivitas vaskular dan untuk prediksi preeklampsia. Tes dilakukan dengan cara penderita baring kesisi lateral kiri, ukur tekanan darah, kemudian penderita memijit bola karet tensimeter yang dipasang pada lengan lain, sampai kontraksi maksimal untuk 30 detik dalam waktu 3 menit. Tes dikatakan positif bila terdapat kenaikan tekanan diastolik lebih dari 20 mmHg.



3. Pemeriksaan Biokimia 1. Kadar Asam Urat Pada hipertensi dalam kehamilan terjadi perubahan sistim hemodinamik seperti penurunan volume darah, peningkatan hematokrit dan viskositas darah. Akibat dari perubahan-perubahan tersebut akan terjadi perubahan fungsi ginjal, aliran darah ginjal menurun, kecepatan filtrasi glomerulus menurun yang mengakibatkan menurunnya klirens asam urat dan akhirnya terjadi peningkatan kadar asam urat serum. Rata-rata kadar asam urat mulai meningkat 6 minggu sebelum preeklampsia menjadi berat. Konsentrasi asam urat > 350 umol/l merupakan pertanda suatu preeklampsia berat dan berhubungan dengan angka kematian perinatal yang tinggi khususnya pada umur kehamilan 28-36 minggu. Pada penderita yang sudah terbukti preeklampsia maka kadar asam urat serum menggambarkan beratnya proses penyakit. 2. Kadar Kalsium Beberapa peneliti melaporkan adanya hipokalsiuria dan perubahan fungsi ginjal pada pasien preeklampsia. Perubahan-perubahan tersebut terjadi beberapa waktu sebelum munculnya tanda-tanda klinis. Hal ini terlihat dari perubahan hasil tes fungsi ginjal. Rondriquez mendapatkan bahwa pada umur kehamilan 24-34 minggu bila didapatkan mikroalbuminuria dan hipokalsiuria ini dideteksi dengan pemeriksaan tes radioimunologik. 3. Kadar  - Human Chorionic Gonadotrophin (-hCG) Beberapa peneliti melaporkan bahwa kadar hCG meningkat pada penderita preeklampsia. Sorensen dkk melaporkan bahwa wanita hamil trimester II dengan kadar -hCG > 2 kali nilai rata-rata mempunyai risiko relatif 1,7 kali lebih besar untuk mengalami preeklampsia dibandingkan dengan wanita yang mempunyai kadar -hCG < 2 kali nilai rata-rata. Terakhir Miller dkk melaporkan bahwa peningkatan kadar -hCG pada kehamilan 15-20 minggu memprediksi timbulnya preeklampsia terutama



preeklampsia berat. Namun hingga saat ini pemeriksaan kadar preeklampsia masih terbatas. 4. Pemeriksaan Hematologi 1. Volume plasma Pada keadaan hipertensi dalm kehamilan terjadinya penurunan volume plasma sesuai dengan beratnya penyakit. Terjadinya



penurunan volume



plasma sebesar 30%-40% dari nilai normal, bahkan ada beberapa peneliti yang melaporkan terjadinya penurunan volume plasma jauh sebelum munculnya manifestasi klinik hipertensi. Volume plasma diukur dengan cara : penderita tidur posisi miring ke kiri selama 30 menit, diambil 10 cc darah kemudian tambahkan dengan 3 ml Evans dye blue selanjutnya dicampur dengan 10 ml NaCL. Setiap 10 menit diambil darah untuk 3 sampel kemudian disentrifus untuk memisahkan serum. Sampel darah kemudian dibandingkan dengan serum kontrol yang mempunyai ukuran 620 nm, dengan mempergunakan spektofotometer Beckman Acta C III. Hasil yang didapat dimasukkan ke dalam rumus: Dye injected (ug) Volume Plasma ( ml) = -------------------------------Konsentrasi dye ( ug/ml ) 2. Kadar hemoglobin dan hematokrit Pengurangan volume plasma pada preeklampsia tampak pada kenaikan kadar hemoglobin dan hematokrit. Murphy dkk menunjukkan bahwa pada wanita hamil terdapat korelasi yang tinggi antara terjadinya preeklampsia dan kadar Hb. Mereka mendapatkan pada primigravida frekuensi terjadinya hipertensi dalam kehamilan 7% bila kadar Hb < 10.5 gr% sampai 42% bila kadar Hb > 14.5% gr%. Gerstner menyatakan adanya hubungan langsung antara nilai Ht dengan indeks gestosis. Indeks gestosis > 7 selalu disertai Ht > 37%, dan dikatakan ada korelasi antara hematokrit dan progesivitas penyakit.



3. Kadar trombosit dan fibronectin Redman menyatakan bahwa hipertensi dalam kehamilan didahului oleh menurunnya trombosit sebelum tekanan darah meningkat, dan trombositopeni merupakan



tanda



awal



hipertensi



dalam



kehamilan.



Dikatakan



3



trombositopenia bila kadar trombosit < 150.000/mm . Bukti adanya kelainan proses koagulasi dan aktivasi platelet pertama kali didapatkan pada tahun 1893 dengan ditemukannya deposit fibrin dan trombosit pada pembuluh darah berbagai organ tubuh wanita yang meninggal karena eklampsia. Kelainan hemostatik yang paling sering ditemukan pada penderita preeklampsia adalah kenaikan kadar faktor VIII dan penurunan kadar anti trombin III. Pada penderita hipertensi dalam kehamilan didapatkan peningkatan kadar fibronectin. Fibronectin merupakan glikoprotein pada permukaan sel dengan berat molekul 450.000, disintesis oleh endotel dan histiosit.



Kadar



normalnya



dalam



darah



250-420



ug/ml,



biasanya



berkonsentrasi pada permukaan pembuluh darah. Fibronectin akan dilepaskan ke dalam sirkulasi bila terjadi kerusakan endotel pembuluh darah. Keadaan ini memperkuat hipotesis bahwa kerusakan pembuluh darah merupakan dasar patogenesis terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Bellenger melaporkan peningkatan kadar fibronectin sebagai tanda awal preeklampsia pada 31 dari 32 wanita dengan usia kehamilan antara 25-36 minggu. Kadar fibronectin meningkat antara 3,6 – 1,9 minggu lebih awal dari kenaikan tekanan darah atau proteinuria. 5. Ultrasonografi Dalam 2 dekade terakhir ultrasonografi semakin banyak dipakai alat penunjang diagnostik dalam bidang obstetri. Bahkan dengan perkembangan teknik Doppler dapat dilakukan pengukuran gelombang kecepatan aliran darah dan volume aliran darah pada pembuluh darah besar seperti arteri uterina dan arteri umbilikalis. Pada wanita penderita hipertensi dalam kehamilan sering ditemukan kelainan gelombang arteri umbilikalis, dimana dapat terlihat gelombang diastolik yang rendah, hilang atau terbalik.



Ducey dkk dalam penelitian terhadap 136 wanita hamil mendapatkan 43% penderita preeklampsia mempunyai gambaran SD ratio yang abnormal, dan mendapatkan adanya penurunan



aliran darah arteri



uterina dan arteri umbilikalis pada mayoritas penderita preeklampsia. Nilai prediktif positif pada penelitian ini sekitar 75%. Pada penelitian lain, Kofinas dkk memperlihatkan bahwa insidens preeklampsia pada plasenta letak unilateral 2,8 kali lebih besar dari pada pasien dengan plasenta letak sentral. Penentuan letak plasenta ini dilakukan dengan pemeriksaan USG real time. Dikatakan bahwa bila plasenta terletak unilateral maka arteri uterina yang terdekat dengan plasenta mempunyai tahanan yang lebih rendah dibandingkan dengan yang lainnya, sedang pada plasenta letak sentral tahanan kedua arteri tersebut sama besarnya. Pada tahanan yang lebih besar tersebut dapat menurunkan aliran darah uteroplasenter yang merupakan salah satu kelainan dasar pada preeklampsia. Terjadinya hipertensi dalam kehamilan merupakan salah satu mekanisme kompensasi untuk meningkatkan aliran darah uterus yang disebabkan oleh iskemia. Ultrasonografi dapat digunakan sebagai alat untuk pemeriksaan wanita hamil dengan risiko tinggi sebab cara ini aman, mudah dilakukan, tidak invasif dan dapat dilakukan pada kehamilan muda.



F. TATALAKSANA Kebanyakan rumah sakit merekomendasikan pemberian antikonvulsan kepada semua pasien dengan hipertensi dengan atau tanpa proteinuria/edema. Obat yang digunakan tersebut harus aman bagi ibu dan janin. Pengalaman selama 50 tahun dengan menggunakan magnesium sulfat membuktikan bahwa obat ini cukup aman. Obat ini dipergunakan pada preeklamsi berat dan eklamsi. Penggunaan secara suntikan baik intramuskular intermiten maupun intra vena. Penggunaan secara intravena merupakan antikonvulsi tanpa menimbulkan depresi susunan saraf pusat baik pada ibu maupun pada janin. Obat ini dapat pula diberikan secra intravena dengan infus kontinu. Mengingat persalinan merupakan waktu yang paling sering untuk terjadinya konvulsi, maka wanita



dengan preeklamsi-eklamsi biasanya diberikan magnesium sulfat selama persalinan dan 24 jam post partum atau 24 jam setelah onset konvulsi. Perlu diingat bahwa magnesium sulfat bukan merupakan agen untuk mengatasi hipertensi. Magnesium sulfat yang diberikan secara parentral hampir seluruhnya diekskresikan lewat ginjal. Intoksikasi magnesium sulfat dapat dihindari dengan memastikan bahwa keluaran urine adekuat, reflek patella positif, dan tidak adanya depresi pernafasan. Konvulsi eklamsi dan kejadian ulangannya hampir selalu dapat dicegah dengan mempertahankan kadar magnesium dalam plasma sebesar 4- 7mEq/L (4.8 – 8.4 mg/dL atau 2.0 – 3.5 mmol/L). Pemberian infus intravena awal sebesar 4-6 gram dipakai untuk membuat pemeliharaan tingkat pengobatan yang tepat dan dilanjutkan dengan injeksi intra muskular 10 gram, diikuti 5 gram setiap 4 jam atau infus kontinu 2-3 gram per jam. Jadwal dosis pemberian seperti ini diharapkan dapat mempertahankan tingkat plasma efektif sebesar 4-7 mEq/L. Reflek patella akan menghilang bila kadar plasma magnesium mencapai 10 mEq/L (sekitar 12 mg/L), hal ini dikarenakan adanya kerja kurariformis. Magnesium bebas atau ionized magnesium merupakan bahan yang dapat menurunkan eksitabilitas neuronal. Tanda ini merupakan peringatan akan adanya intoksikasi magnesium karena bila pemberian terus dilakukan maka peningkatan kadar dalam plasma yang lebih lanjut akan menyebabkan depresi pernafasan. Kadar plasma lebih besar dari 10 mEq/L akan menyebabkan depresi pernafasan, bila kadar plasma mencapai 12 mEq/L atau lebih, maka akan menyebabkan paralisis pernafasan dan henti nafas. Intoksikasi magnesium dapat ditangani dengan pemberian kalsium glukonas sebanyak 1 gram secara intravena. Namun keefektifan kerja kalsium glukonas sendiri pendek, maka bila terdapat depresi pernafasan, pemasangan intubasi trakea dan bantuan ventilasi mekanik merupakan tindakan penyelamatan hidup. Jika laju filtrasi glomerulus menurun maka akan mengganggu ekskresi magnesium sulfat. Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan kadar plasma magnesium secara periodik.



Setelah pemberian 4 gram magnesium secara intravena selama 15 menit, akan terjadi penurunan sedikit pada MABP dan peningkatan cardiac index sebesar 13%. Dengan demikian, magnesium menurunkan resistensi vaskular sistemik dan tekanan darah arteri rata-rata dan pada saat yang bersamaan meningkatkan cardiac output tanpa depresi miokardium. Hal ini tampak pada pasien berupa mual sementara dan flushing, efek kardiovaskular ini hanya menetap selama 15 menit. Penelitian yang dilakukan oleh lipton dan Rosenberg menunjukkan bahwa efek antikonvulsan adalah memblok influk neuronal kalsium melalui saluran glutamat. Penelitian lain yang dilakukan oleh cotton dan kawan-kawan pada tikus menunjukkan bahwa induksi konvulsi terjadi pada area hipokampus karena merupakan daerah dengan ambang konvulsi yang rendah dengan densitas reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) yang tinggi. Reseptor ini berkaitan dengan beragam bentuk epilepsi. Karena konvulsi dari hipokampus dapat dihambat oleh magnesium, maka dapat diambil kesimpulan bahwa magnesium memiliki efek terhadap susunan saraf pusat dalam memblok konvulsi. Ion magnesium dalam konsentrasi yang tinggi dapat mendepresi kontraktibilitas miometrium. Namun dengan menjalani regimen yang telah ditentukan, maka tidak ada bukti penurunan kontraktibilitas miometrium. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa magnesium sulfat tidak mengganggu induksi oleh oksitosin. Mekanisme magnesium dalam menginhibisi kontraktibilitas miometrium tidak jelas benar, tetapi diasumsikan tergantung dari efek pada kalsium intraselular. Jalur reguler kontraksi uterus adalah peningkatan kalsium bebas intraselular yang akan mengaktivasi rantai ringan miosin kinase. Konsentrasi tinggi magnesium tidak hanya menginhibisi influk kalsium ke selsel miometrium, tetapi juga menyebabkan kadar kalsium intraselular yang tinggi. Mekanisme penghambatan kontrasi uterus tergantung dari dosis, yaitu berkisar 8-10 mEq/L. Hal ini menjelaskan mangapa tidak pernah terjadi hambatan kontrasi uterus ketika magnesium diberikan untuk terapi dan profilaksis eklamsi dengan menggunakan regimen yang telah ditentukan.



Magnesium sulfat tidak menyebabkan depresi pada janin kecuali terjadi hipermagnesemia berat saat persalinan. Gangguan neonatus setelah terapi dengan magnesium juga tidak pernah dilaporkan. Penelitian yang dilakukan oleh Nelson dan Grether menunjukkan bahwa ada kemungkinan efek protektif dari magnesium terhadap serebral palsi terhadap bayi dengan berat badan lahir yang sangat rendah. Menurut penelitian Lucas dan kawan-kawan, magnesium sulfat lebih superior dibandingkan fenitoin dalam mencegah konvulsi eklamsi. Risiko solusio plasenta juga lebih rendah pada terapi dengan menggunakan magnesium sulfat. Pada penelitian Belfort dan kawan-kawan, magnesium juga lebih baik dibandingkan dengan nimodipine dalam mencegah eklamsi. Penelitian lain yang dilakukan oleh Livingstone dan kawan-kawan menunjukkan bahwa magnesium sulfat tidak tampak menghalangi progresi preeklamsi ringan menjadi preeklamsi berat. Oleh karena itu, magnesium sulfat sudah tidak diberikan lagi pada preeklamsi ringan sejak tahun 1999. Jadwal pemberian dosis magnesium sulfat secara infus intra vena kontinu untuk preeklamsi berat dan eklamsi yaitu : 1.



Berikan 4-6 gram loading dose magnesium sulfat yang diencerkan dalam 100 mL cairan infus sekitar 15-20 menit.



2.



Mulai dengan dosis 2 gram/ hari dalam 100 ml cairan infus pemeliharaan.



3.



Ukur serum magnesium setiap 4-6 jam dan sesuaikan infus untuk menjaga level plasma 4-7 mEq/L.



4.



Magnesium sulfat tidak dilanjutkan 24 jam setelah persalinan. Jadwal pemberian dosis magnesium sulfat secara injeksi intra muskular



intermiten untuk preeklamsi berat dan eklamsi yaitu : 1.



Berikan 4 gram magnesium sulfat 20% secara intra vena dengan kecepatan tidak lebih dari 1 gram/menit.



2.



Dilanjutkan dengan 10 gram magnesium sulfat 50%, 5 gram diinjeksikan pada masing-masing kuadran atas bokong kanan-kiri dengan menggunakan jarum 3 inchi (tambahkan 1 ml lidocain 2% untuk mengurangi nyeri). Jika



konvulsi teteap terjadi setelah 15 menit, berikan tambahan 2 gram magnesium sulfat 20% secara intra vena dengan kecepatan tidak melebihi 1 gram/menit. 3.



Setiap 4 jam kemudian, beikan 5 gram magnesium sulfat 50% yang diinjeksikan pada kuadran kanan atas bokong secara bergantian kanan dan kiri. Hal yang harus diperhatikan : reflek patella, tidak ada depresi pernafasan, output urine dalam 4 jam lalu mencapai 100 mL.



4.



Magnesium sulfat dihentikan 24 jam setelah persalinan. Anti hipertensi diberikan bila tekanan diastol mencapai 110 mmHg. Tujuan



utama pemberian obat anti hipertensi adalah menurunkan tekanan diastolik menjadi 90-100 mmHg. Pilihan obat anti hipertensi Tujuan utama dalam mengobati hipertensi kronis dalam kehamilan adalah menurunkan risiko maternal, tetapi pemilihan obat anti hipertensi lebih memperhatikan keselamatan janin. Terapi lini I yang banyak disukai adalah metil dopa, berdasarkan laporan tentang stabilnya aliran darah uteroplasental dan hemodinamika janin dan ketiadaan efek samping yang buruk pada pertumbuhan anak yang terpapar metil dopa saat dalam kandungan. Preeklamsi lebih umum diderita pada wanita dengan hipertensi kronis, dengan insidensi sekitar 25%. Faktor risiko untuk superimposed preeklamsi meliputi insufisiensi ginjal, riwayat menderita hipertensi selama 4 tahun atau lebih, dan hipertensi pada kehamilan sebelumnya. Pencegahan pada preeklamsi meliputi identifikasi wanita risiko tinggi, deteksi dini secara klinis dan laboratorium, pengamatan intensif atau terminasi kehamilan jika ada indikasi. Penatalaksanaan preeklamsi meliputi perawatan di rumah sakit, kontrol tekanan darah, profilaksis konvulsi pada impending eklamsi, dan terminasi pada waktunya. Banyak wanita dengan preeklamsi mempunyai sejarah normotensi sebelumnya sehingga peningkatan tekanan darah secara akut bahkan pada tingkat terendah (150/100 mmHg) dapat menyebabkan simptomatologi yang signifikan dan memerlukan terapi. Penatalaksanaan tidak mengganggu patofisiologi penyakit, tetapi dapat memperlambat progresi penyakit dan



menyediakan waktu bagi fetus untuk mencapai maturitas. Preeklamsi kadangkadang dapat sembuh sendiri walau jarang dan pada kebanyakkan kasus adalah memburuk sejalan dengan waktu. Ketika persalinan mungkin dapat menjadi terapi yang tepat bagi ibu, haruslah memperhatikan masa gestasi fetus yang



< 32 minggu. Selain



memperhatikan masa gestasi, bila didapatkan tanda-tanda gawat janin intra uterin, atau IUGR atau gangguan maternal seperti hipertensi berat, hemolisis, peningkatan enzim hati, hitung trombosit yang rendah, gangguan fungsi ginjal, pandangan kabur, dan sakit kepala. Persalinan per vaginam lebih disukai daripada seksio untuk menghindari penambahan stress akibat operasi. Terapi anti hipertensi harus memperhatikan keamanan maternal. Seleksi obat anti hipertensi dan rute pemberian tergantung pada antisipasi waktu persalinan. Jika persalinan terjadi lebih dari 48 jam kemudian, metil dopa oral lebih disukai karena keamanannya. Alternatif lain seperti labetalol oral dan beta bloker serta antagonis kalsium juga dapat dipergunakan. Jika persalinan sudah akan terjadi, pemberian parenteral adalah praktis dan efektif. Anti hipertensi diberikan sebelum induksi persalinan untuk tekanan darah diastol 105-110 mmHg atau lebih dengan tujuan menurunkannya sampai 95-105 mmHg. Jenis-jenis obat yang dipergunakan dalam penanganan hipertensi dalam kehamilan : 1.



Hidralazine Merupakan obat pilihan, golongan vasodilator arteri secara langsung yang dapat menyebabkan takikardi dan meningkatkan cardiac output akibat hasil respon simpatis sekunder yang dimediasi oleh baroreseptor. Efek meningkatkan cardiac output penting karena dapat meningkatkan aliran darah uterus. Hidralazin dimetabolisme oleh hepar. Hidralazine diberikan dengan cara intravena ketika tekanan diastol mencapai 110 mmHg atau lebih atau tekanan sistolik mencapai lebih dari 160 mmHg. Dosis hidralazine adalah 5-10 mg setiap interval 15-20 menit sampai tercapai hasil yang memuaskan, yaitu tekanan darah diastol turun



sampai 90-100 mmHg tetapi tidak terdapat penurunan perfusi plasenta. Efek puncak tercapai dalam 30-60 menit dan lama kerja 4-6 jam. Efek samping seperti flushing, dizziness, palpitasi, dan angina. Hidralazine telah terbukti dapat menurunkan angka kejadian perdarahan serebral dan efektif dalam menurunkan tekanan darah dalam 95% kasus preeklamsi. 2.



Labetalol Labetalol merupakan penghambat beta non selektif dan penghambat α1adrenergik post sinaps yang tersedia dalam bentuk oral maupun intra vena. Labetalol diberikan secara intravena, merupakan pemblok 1 dan non selektif β, dan digunakan juga untuk mengobati hipertensi akut pada kehamilan. Pada sebuah penelitian yang membandingkan labetalol dengan hidralazine menunjukkan bahwa labetalol menurunkan tekanan darah lebih cepat dan efek takikardi minimal, tetapi hidralazine menurunkan tekanan arteri rata-rata lebih efektif. Protokol pemberian adalah 10 mg intravena. Jika tekanan darah belum turun dalam 10 menit, maka diberikan 20 mg labetalol. Kemudian 10 menit berikutnya 40 mg, selanjutnya 80 mg, pemberian diteruskan sampai dosis maksimal kumulatif mencapai 300 mg atau tekanan darah sudah terkontrol. Onset kerja adalah 5 menit, efek puncak 10-20 menit, dan durasi kerja 45 menit-6 jam. Pemberian labetalol secara intra vena tidak mempengaruhi aliran darah uteroplasenter. Pengalaman membuktikan bahwa labetalol dapat ditoleransi baik oleh ibu maupun janin. Menurut NHBPEP, pemberian labetalol tidak melebihi 220 mg tiap episode pengobatan.



3.



Obat anti hipertensi lain NHBPEP merekomendasikan nifedipin (Ca channel blocker). Obat ini menginhibisi influk transmembran ion kalsium dari ECS ke sitoplasma kemudian memblok eksitasi dan kontraksi coupling di jaringan otot polos dan menyebabkan vasodilatasi dan penurunan resistensi perifer. Obat ini mempunyai efek tokolitik minimal. Dosis 10 mg oral dan diulang tiap 30 menit bila perlu. Nifedipin merupakan vasodilator arteriol yang kuat sehingga memiliki masalah utama hipotensi. Pemberian nifedipin secara sub



lingual, menurut penelitian yang dilakukan oleh Mabie dan kawan-kawan, menunjukkan bahwa dapat terjadi penurunan tekanan darah yang cepat sehingga dapat menyebabkan hipotensi. Karena alasan ini, nifedipin tidak digunakan pada pasien dengan IUGR atau denyut jantung janin abnormal. Walaupun nifedipin tampak lebih potensial, obat ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk digunakan dalam kehamilan. Pemakaian obat anti hipertensi lain seperti verapamil lewat infus 5-10 mg per jam dapat menurunkan tekanan darah arteri rata-rata sebesar 20%. Obat lain seperti nimodipin dapat digunakan baik secara oral maupun infus dan terbukti dapat menurunkan tekanan darah pada wanita penderita preeklamsi berat. Hal ini dinyatakan pada penelitian yang dilakukan oleh Belforts dan kawan-kawan. Pemakaian ketanserin secara intra vena juga memberikan hasil yang baik menurut penelitian Bolte dan kawan-kawan. Nitroprusid tidak direkomendasikan lagi oleh NHBPEP kecuali tidak ada respon terhadap pemberian hidralazin, labetalol atau nifedipin. Sodium nitroprussid dapat menyebabkan vasodilatasi arteri dan vena tanpa efek terhadap susunan saraf otonom atau pusat. Onset kerja 1-2 menit, puncak kerja terjadi setelah 1-2 menit, dan lama kerja 3-5 menit. Obat ini sangat efektif dalam mengontrol tekanan darah dalam hitungan menit di ICU. Rekomendasi penggunaan obat secara intra vena tidak lebih dari 30 menit pada ibu non parturien karena efek samping toksisitas sianida dan tiosianat pada janin. Trimethaphan merupakan pemblok ganglionik yang digunakan oleh ahli anestesi dalam menurunkan tekanan darah sebelum laringoskopi dan intubasi untuk anestesi umum. Efek samping terhadap janin adalah ileus mekonium. Nitrogliserin diberikan secara intra vena sebagai vasodilator vena yang tampak aman bagi janin. Obat ini merupakan anti hipertensi potensi sedang. 4.



Metil dopa Merupakan agonis α-adrenergik, dan merupakan satu-satunya obat anti hipertensi yang telah terbukti keamanan jangka panjang untuk janin dan ibu. Obat ini menurunkan resistensi total perifer tanpa menyebabkan perubahan



pada laju jantung dan cardiac output. Obat ini menurunkan tekanan darah dengan menstimulasi reseptor sentral α-2 lewat α-metil norefinefrin yang merupakan bentuk aktif metil dopa. Sebagai tambahan, dapat berfungsi sebagai penghambat α-2 perifer lewat efek neurotransmitter palsu. Jika metil dopa digunakan sendiri, sering terjadi retensi cairan dan efek anti hipertensi yang berkurang. Oleh karena itu, metil dopa biasanya dikombinasikan dengan diuretik untuk terapi pada pasien yang tidak hamil. Dosis awal 250 mg 3 kali sehari dan ditingkatkan 2 gram/hari. Puncak plasma terjadi 2-3 jam setelah pemberian. Paruh wakti 2 jam. Efek maksimal terjadi dlam 4-6 jam setelah dosis oral. Kebanyakan disekresi lewat ginjal. Efek samping yang sering dilaporkan adalah sedasi dan hipotensi postural. Terapi lama (6-12 bulan) dengan obat ini dapat menyebabkan



anemia



hemolitik



dan



merupakan



indikasi



untuk



memberhentikan obat ini. 5.



Klonidin Merupakan agonis α-adrenergik lainnya. Terapi biasanya dimulai dengan dosis 0.1 mg 2 kali sehari dan ditingkatkan secara incremental 0.1-0.2 mg/hari sampai 2.4 mg/hari. Tekanan darah menurun 30-60 mmHg. Efek maksimal 2-4 jam dan lama kerja 6-8 jam. Aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus dapat terjaga, tetapi cardiac output menurun namun tetap berespon terhadap latihan fisik. Efek samping adalah xerostomia dan sedasi. Penghentian klonidin dapat menyebabkan krisis hipertensi yang dapat diatasi dengan pemberian kembali klonidin. Sampai sekarang belum ada penelitian besar yang mempelajari klonidin seperti metil dopa.



6.



Prazosin Merupakan pemblok kompetitif pada reseptor α1-adrenergik. Obat ini dapat menyebabkan vasodilatasi pada resistensi dan kapasitas pembuluh darah sehingga menurunkan preload dan afterload. Prazosin menurunkan tekanan darah tanpa menurunkan laju jantung, curah jantung, aliran darah ginjal, dan laju filtrasi glomerulus. Obat ini dimetabolisme hampir seluruhnya di hepar. Sekitar 90% ekskresi obat melalui kandung empedu ke



dalam faeses. Selama kehamilan, absorbsi menjadi lambat dan waktu paruh menjadi lebih panjang. Dalam sebuah penelitian, kadar puncak tercapai dalam 165 menit pada wanita hamil. Prazosin dapat menyebabkan hipotensi mendadak dalam 30-90 menit setelah pemberian. Hal ini dapat dihindari dengan pemberian sebelum tidur. Percobaan binatang menunjukkan tidak ada efek teratogenik. Prazosin bukan merupakan obat yang kuat sehingga sering dikombinasikan dengan beta bloker. 7.



Diuretik Obat ini memiliki efek menurunkan plasma dan ECF sehingga curah jantung dan tekanan darah menurun, juga menurunkan resistensi vaskular akibat konsentrasi sodium interselular pada sel otot polos. Obat diuretika yang poten dapat menyebabkan penurunan perfusi plasenta karena efek segera meliputi pengurangan volume intravaskular, dimana volume tersebut sudah berkurang akibat preeklamsi dibandingkan dengan keadaan normal. Oleh karena itu, diuretik tidak lagi digunakan untuk menurunkan tekanan darah karena dapat meningkatkan hemokonsentrasi darah ibu dan menyebabkan efek samping terhadap ibu dan janin. Pemakaian furosemid saat ante partum dibatasi pada kasus khusus dimana terdapat edema pulmonal. Obat diuretika seperti triamterene dihindari karena merupakan antagonis asam folat dan dapat meningkatkan risiko defek janin.



8. Penghambat ACE Obat ini menginduksi vasodilatasi dengan menginhibisi enzim yang mengkonversi angiotensi 1 menjadi angiotensin 2 (vasokonstriktor poten), tanpa penurunan curah jantung. Sebagai tambahan, obat ini juga meningkatkan sintesis prostaglandin vasodilatasi dan menurunkan inaktivasi bradikinin (vasodilator poten). Contoh obat ini seperti captopril, enalapril, dam lisinopril. Efek Samping Obat Efek samping obat-obat anti hipertensi antara lain, yaitu :



1. ACE inhibitor Digunakan pada trimester dua dan tiga telah menyebabkan disfungsi ginjal pada fetus yang mengakibatkan oligohidramnion dan anuria. ACE inhibitor telah dihubungkan dengan hipoplasia pulmoner, pertumbuhan terhambat, kelainan ginjal dan hipoplasia lain pada tulang tengkorak.15 2. Diantara golongan penghambat beta, atenolol Terutama ketika dimulai pada awal kehamilan, berhubungan dengan pertumbuhan janin terhambat pada beberapa penelitian yang tidak terkontrol dan sebuah penelitian kecil. Pada kebanyakan penelitian, penyebab asal dari hubungan tersebut tidak jelas karena beberapa obat telah digunakan bersama-sama atau karena ketidakmampuan untuk membedakan apakah ini adalah efek dari patofisiologi ibu atau efek dari obat.15 3. Diuretika Memiliki efek samping terhadap ibu maupun janin. Efek maternal seperti hipokalemia, hiponatremia, hiperglikemi, hiperurikemi, hiperlipid, dan penurunan volume plasma sehingga dapat menganggu pertumbuhan janin. Efek terhadap janin adalah gangguan elektrolit, trombositopeni, dan IUGR. Beberapa efek obat anti hipertensi terhadap pemberian ASI, yaitu : -



Diuretik thiazide sebaiknya dihindari karena dapat menurunkan produksi ASI dan digunakan untuk mensupresi laktasi.



-



Metil dopa kemungkinan aman selama pemberian ASI, dimana tingkat plasma yang rendah ditemukan pada janin.



-



Beta bloker lain selain propranolol ditemukan dalam konsentrasi besar dalam susu ibu daripada plasma ibu.



-



Klonidin ditemukan dalam jumlah sedikit di ASI. Hal yang sama terdapat pada ACE inhibitor.



2.3 PERDARAHAN PERVAGINAM 1. ABORTUS A. DEFINISI B. EPIDEMIOLOGI



C. ETIOLOGI D. PATOGENESIS/ PATOFISIOLOGI E. GEJALA KLINIS F. DIAGNOSA G. TATALAKSANA H. KOMPLIKASI 2. PERDARAHAN PRETERM 3. ATERM



BAB III PEMBAHASAN SKENARIO 3.1 Skenario



KEHAMILAN YANG SULIT Ny. Badriah Seorang ibu berusia 36 tahun, hamil 30 minggu, datang ke IGD Rumah sakit dengan keluhan keluar darah dari vagina. Dari hasil anamnesis diketahui pasien pernah mengalami abortus 2 kali akibat infeksi, Ia juga pernah melahirkan gemelli tetapi hanya 1 anak yang hidup dengan BBL: 2,5 kg.



Selama kehamilan, ibu ini jarang memeriksakan kehamilannya ke dokter, sebelumnya hanya 1 kali saat trimester 1 dengan keluhan perdarahan serta muntah yang berlebihan.



Pasien



juga



sering



mengkonsumsi



obat-obatan tanpa



sepengetahuan dokter. Tidak ada riwayat hipertensi diluar kehamilan.



Pada pemeriksaan fisik, didapatkan TD 180/100 mmHg, Nadi 94 kali/menit, Nafas 23 kali /menit, protein urin (+2), dan ditemukan edema pada kedua tungkai. Kemudian



dokter



memasang



infus berupa regimen MgSO4, dan



memasang kateter urin serta memberikan obat antihipertensi. Status obstetrik : Tinggi fundus uteri pertengahan antara processus xyphoideus dan umbilikus. Denyut jantung janin 10-10-10.



Dokter menjelaskan bahwa Ny. Badriah saat ini menderita preeklampsia berat dan kemungkinan terjadi gangguan



pertumbuhan



janin. Dokter sangat



memahami bahwa preeklampsia ini adalah salah satu penyebab kematian utama Ibu. Sehingga pasien harus menjalani perawatan dan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan USG dan laboratorium berupa faal hemostatik, ginjal, dan hepar. Bagaimana anda menjelaskan apa yang terjadi pada Ny.Badriah . 3.2 Terminologi 1. Abortus : Ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Usia kehamilan < 20 minggu atau BB janin < 500 gram.



2.



Gamelli (hamil kembar)/hamil ganda : kehamilan dengan dua janin atau lebih. Dipengaruhi oleh faktor keturunan, umur, dan paritas.



3.



Peeklampsia : Suatu keadaan dengan timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan edema setelah usia kehamilan 20 minggu.



4.



Faal Hemostasis : Suatu fungsi tubuh untuk mengatur proses perdarahan dan pembekuan darah yang disebabkan adanya gangguan sistem vaskuler, trombosit, koagulasi, dan fibrinolisis.



5.



Regimen MgSO4 : Magnesium sulfat yang sangat larut dalam air dan dapat diberikan melalui berbagai cara. Pemberian secara pranteral dapat beupa : Intraspinal, hipodemal, subcutan, Intravena, dan perinfus secara terus menerus. Tujuan diberikan MgSO4 adalah untuk mencegah terjadinya atau timbulnya kejang pada hipertensi kehamilan.



3.3 Permasalahan 1. Hubungan usia dengan preeklampsia 2. Mengapa terjadi perdarahan pervaginam 3. Hubungan preeklampsia dengan pertumbuhan janin 4. Mengapa terjadi perdarahan serta muntah yang berlebihan 5. Macam-macam perdarahan pada ibu hamil 6. Obat yang boleh dan tidak boleh di konsumsi ibu hamil



3.4 Pembahasan masalah 1.



BAB IV KESIMPULAN 4.1 Kesimpulan