Kekerasan Anak [PDF]

  • Author / Uploaded
  • akhir
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Quo Vadis perlindungan anak Oleh: Drg.Irfan Aryanto* Masih ingatkah anda semua dengan penyekapan 3 anak pada hari minggu (16/9/2018) di kota makassar? Kejadian yang berawal dari laporan masyarakat ini, telah mencapai akhir proses investigasi kepolisian dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan anak (P2TP2A). Pelaku penyekapan terbukti bersalah diberikan hukuman 1 tahun 6 bulan dan denda sebesar Rp. 50 juta. Penulis menyadari banyak kekerasan terhadap anak Indonesia yang tidak terpublikasi dan cenderung jauh dari kata hukuman. Faktanya cengkraman kasus kekerasan terhadap anak masih sering dijumpai. Jumlah kekerasan anak Pada tahun 2016 menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tercatat 477 kasus.



Secara umum jumlah pengaduan masyarakat terkait



pelanggaran hak hak anak sebanyak 3.581 kasus. Bahkan Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti di Kantor KPAI pada hari Kamis (2/5/2019)



memaparkan hasil pengawasan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)



terhadap kasus pelanggaran anak selama Januari hingga April 2019 masih dominan pelanggaran hak anak terjadi pada kasus perundungan. yaitu berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis dan kekerasan seksual. Perlindungan terhadap anak adalah bahasa universal. Seluruh dunia mengacu pada regulasi mukaddimah Convention on the right of the child yang disetujui PBB pada tahun 1989 bahwa seorang anak harus tumbuh dalam lingkungan keluarga dengan iklim bahagia, cinta kasih dan pengertian. Di indonesia, bentuk perlindungan anak memiliki payung hukum pada UndangUndang No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Pasal 4 menyebutkan setiap anak berhak hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Menurut Rivanda Abadi dkk model kekerasan terhadap anak dikategorikan empat bagian. Pertama kekerasan fisik seperti anak dipukul, dicekik atau menempelkan benda panas kepada



tubuh anak. Dampak dari kekerasan ini, selain menyisakan luka dan trauma, juga berpotensi anak meninggal dunia. Kedua, Kekerasan verbal kepada anak dalam bentuk makian, cacian ataupun hinaan. Dampak dari kekerasan ini anak meniru mengucapkan kata-kata kasar dan menyebabkan anak rendah diri. Ketiga, kekerasan mental seperti anak tidak diberikan perhatian atau sering membanding-bandingkan anak dengan yang lain. Kekerasan ini tidak terlihat tapi dampak kekerasannya sangat merusak keyakinan pada anak. Tidak hanya anak menjadi takut, tapi juga menyebabkan anak tidak bisa bangkit saat menghadapi masalah. Keempat, kekerasan seksual. Bentuknya pelecehan, pencabulan, hingga pemerkosaan. Dampaknya luka pada jiwanya berupa trauma mendalam hingga dewasa. Pelaku kekerasan seksual kadang dilakukan oleh orang terdekat di keluarga, sekolah, ataupun teman sepermainan. Menempatkan anak sebagai obyek kekerasan merupakan bentuk penyakit kejiwaan yang menyalahi kodrat sebagai manusia. Sejatinya melihat anak-anak menimbulkan kesan lucu, riang dan gembira, tetapi para pelaku melihat anak sebagai sasaran empuk. Kerap para pelaku memanfaatkan anak dengan iming-iming uang dan permen memuluskan rencana jahatnya. Kekerasan yang terjadi pada masa anak2 justru menjadi bahan pelajaran bagi anak itu sendiri. Dengan pengalaman mendapatkan kekerasan, si anak yang tumbuh dewasa akan terinternalisasi dalam dirinya dan kemungkinan besar menjadi pelaku kekerasan ketika dewasa nanti. Mengapa itu terjadi? Karena si anak menganggap metode kekerasan sebagai jalan interaksi terhadap orang lain. Di sisi lain maraknya kasus kekerasan terhadap anak oleh orang terdekatnya kian menyempitkan posisi ruang rasa aman. Pihak terdekat yang seharusnya menjadi tempat berlindung justru menjadi ancaman paling besar. Pemberitaan kekerasan terhadap anak yang dilakukan ibu atau ayahnya masih sering kita jumpai. Entah setan apa yang merasuki hingga menumpahkan rasa sakit pada buah hatinya. Rasa kasih sayang seperti hilang dari negeri kita ini. Induk harimau pun tak tega memakan anaknya sendiri, lantas kenapa oknum orang tua tega memperlakukan anaknya sendiri dengan kejam? Tidak mudah menghilangkan kasus kekerasan terhadap anak. Hal pertama yang dilakukan adalah kesadaran seluruh orang tua di Indonesia memberikan hak perlindungan terhadap anak, baik ancaman dari dalam ataupun luar keluarga. Hal kedua Pemerintah setempat mesti menjamin



terpenuhinya rasa aman anak. Pihak kecamatan, kelurahan dan Desa mengawasi dengan ketat bila muncul potensi kekerasan terhadap anak. Hal ketiga, lingkungan rumah atau tetangga menjadi pengawas jitu untuk melaporkan kejadian kekerasan anak kepada aparat berwajib. Tindakan para tetangga melaporkan dan menghentikan kasus penyekapan 3 orang sangat tepat. Ini harus ditiru untuk mencegah terjadinya kasus yang sama. Hal keempat, perlu diberikan hukuman seberat-beratnya kepada para pelaku. Bila himpitan penjara tidak efektif memberikan efek jera, mungkin kebiri kepada pelaku kekerasan seksual kepada anak bisa dipertimbangkan. Hal kelima, para tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh pemuda selalu melakukan sosialisasi pentingnya menjaga anak dari kekerasan sekaligus melarang anak melakukan kekerasan. Hal ke enam, pemerintah pusat perlu mengawasi tayangan kekerasan baik melalui internet ataupun elektronik. Tontonan yang tidak mendidik dengan mudah dapat ditiru oleh anak untuk melakukan kekerasan kepada kawannya sendiri. Pada ujungnya, kekerasan tak boleh menjadi bagian pola asuh. Benar, di negara kita Undang undang dan peraturan perlindungan anak sudah ada, tetapi itu tidak bisa menjadi jaminan adanya perlindungan terhadap si anak bila dalam implementasinya orang tua atau keluarga terdekatnya tidak menyadari bahaya kekerasan dalam pola asuh. Akhirnya, Bila kegembiraan anak-anak sudah tak terlihat lagi, maka waspadalah. Mungkin mereka sedang merasakan kekerasan. Kejadian yang melibatkan anak sebagai korban kekerasan harus di anggap sebagai bahaya bersama. Negeri kita indonesia harus menjadi syurga bagi rasa aman anak-anak .







Penulis adalah dokter gigi puskesmas lappae, kabupaten sinjai







Pengurus persatuan dokter gigi indonesia kab sinjai