(Kel. 12) Influence, Power, and Politics [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

INFLUENCE, POWER, AND POLITICS



DISUSUN OLEH :



Isma Henisa Putri (11180700000044) Muhammad Kevin Lestiyanto (11180700000126) Finka Amelia Sukandar (11180700000139) Siti Zahrah Anjainah (11180700000201)



KELAS 3-D



FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA TAHUN 2019



KATA PENGANTAR



Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami panjatkan puji dan syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayat, dan inayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang Influence, Power, and Politics. Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar proses pembuatan makalah ini. Untuk itu kami sampaikan banyak terima kasih kepada bapak Miftahuddin M.Psi., selaku dosen mata kuliah Psikologi Industri dan Organisasi, serta rekan-rekan kelompok yang telah terlibat dalam pembuatan makalah ini. Karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman, kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, kami berharap makalah ini dapat membawa manfaat serta menambah pengetahuan bagi pembaca.



Jakarta, 26 Oktober 2019



Penyusun



1



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR…………………………………………………………………



1



DAFTAR ISI ………………………………………………………………………….



2



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah …………………………………………………………



3



B. Rumusan Masalah ……………………………………………………………….



3



BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Pengaruh, Kekuasaan, dan Politik ………………………………………. 4 B. Menjelaskan Pengaruh: Penggunaan Kontrol Sosial ……………………………



5



C. Menjelaskan Kekuasaan: Kekuatan Utama dalam Organisasi Kerja …………..



7



D. Menjelaskan tentang Politik Organisasi (organizational politics) …………….



15



E. Menjelaskan tentang Pendekatan Kontingensi Terhadap ……………………...



25



Kekuatan Organisasi dan Politik BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN ……………………………………………………………….



28



DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………



29



2



BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Kekuasaan adalah penggunaan beberapa aspek hubungan sosial untik memaksa orang lain melakukan suatu tindakan meskipun ada perlawanan. Politik organisasi adalah penggunaan kekuatan untuk mecapai tujuan yang egois, atau mementingkan diri sendiri. Pengaruh, kekuasaan, dan politik adalah proses yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari dari setiap organisasi kerja, dengan implikasi penting bagi kinerja organisasi dan kepuasan karyawan. Aspek-aspek ini juga merupakan aspek penting kepemimpinan, juga memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan kelompok. Pengaruh, kekuasaan, dan politik adalah proses yang sangat signifikan dan meresap di semua organisasi dan kelompok kerja. Tiga aspek ini juga memiliki konsep yang berbeda. Tiga aspek ini berasal dar proses umum yang sama, karena melibatkan satu pihak yang mencoba mempengaruhi pihak lainnya. Namun ketiganya tetap memiliki perbedaan. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini, kami akan membahas mengenai influence, power, and politics dalam sudut pandang psikologi industri organisasi.



B. Rumusan Masalah 1. Pengertian influence, power, and politics 2. Menjelaskan pengaruh: penggunaan kontrol sosial 3. Menjelaskan kekuasaan: kekuatan utama dalam organisasi kerja 4. Menjelaskan tentang politik organisasi (organizational politics) 5. Menjelaskan tentang pendekatan kontingensi terhadap kekuatan organisasi dan politik



3



BAB II Pembahasan A. Definisi Pengaruh, Kekuatan, dan Politik Pada satu sisi pengaruh, kekuatan dan politik memiliki persamaan, karena ketiganya dapat membuat seseorang untuk melakukan sesuatu. Namun ada perbedaan yang penting diantara ketiganya. •



PENGARUH Kemampuan untuk menggunakan kekuatan sosial untuk mempengaruhi tingkah laku



orang lain. Pengaruhi juga dapat diliat sebagai kontrol sosial atau kekuatan sosial dan ini merupakan kemampuan individu untuk membuat seseorang melakukan tindakan tertentu. Biasanya pengaruh itu diberikan menggunakan strategi informal seperti persuasi, tekanan teman sebaya, dan teknik kepatuhan. Contohnya saja seperti saat seseorang menggunakan pengaruh persuasi untuk mendapatkan pinjaman dari teman atau saat mencoba membujuk rekan kerja untuk membantu mnyelesaikan tugas. Pengaruh teman sebaya bisa dikatakan seperti saat seorang pekerja meminta kepada kolega atau rekan kerja untuk melanggar peraturan perusahaan dengan alasan “semua orang melakukan itu”. Untuk teknik kepatuhan misalnya pada saat seorang atasan menggunakan sanjungan atau tawaran bantuan untuk seorang asisten bekerja untuk menyelesaikan laporan. Artinya dapat dikatakan bahwa “pengaruh sosial” penggunaanya lebih terbatas dibandingkan dengan gagasan umum tentang pengaruh, yang didefinisikan sebagai proses apapun yang mempengaruhi perilaku terhadap orang lain (Allen & Porter, 1983). •



KEKUATAN Penggunaan beberapa aspek dari hubungan kerja untuk memaksa orang lain



melakukan tindakan meskipun ada perlawanan. Kekuatan dalam dunia kerja merupakan proses yang lebih formal yang dapat didefinisikan sebagai penggunaan beberapa aspek dari hubungan pekerjaan untuk mendorong atau memaksa orang lain untuk melakukan suatu tindakan meskipun terdapat perlawanan. Contohnya, pada saat seorang presiden perusahaan memberi perintah terhadap wakil presiden perusahaan dan berharap hal tersebut akan dilakukan karena kekuasaan terkait hubungan status. Meskipun pengaruh utama kekuatan terletak pada individu itu sendiri, kekuatan juga biasanya berasal dari 4



hubungan antar dua pihak. Contohnya, saat seorang pekerja menggunakan kemampuan persuasinya untuk membuat pekerja yang tidak termotivasi untuk melakukan pekerjaan meningkatkan hasil kerjanya dengan cara memberi kata-kata yang memotivasi. •



POLITIK ORGANISASI Sebuah tindakan mementingkan diri sendiri dengan cara mempengaruhi orang lain



agar tercapainya tujuan pribadi. Perbedaan dari politik organisasi dengan pengaruh dan kekuasaan adalah politik organisasi selalu mementingkan diri sendiri, sedangkan pengaruh dan kekuasaan tidak selalu mementingkan diri sendiri. B. Pengaruh: Penggunaan Kontrol Sosial Sebuah studi oleh Kipnis, Schmidt, dan Wilkinson (1980) berusaha untuk mengklasifikasikan berbagai taktik pengaruh yang digunakan di tempat kerja dengan meminta 165 manajer tingkat rendah menulis esai yang menggambarkan perilaku di mana mereka mempengaruhi atasan, rekan kerja, atau bawahan mereka. 370 taktik dimasukkan ke dalam delapan kategori: ketegasan, ingratiation, rasionalitas, sanksi, pertukaran, naik banding, pemblokiran, dan koalisi. KETEGASAN



PERTUKARAN



Membuat pesanan atau permintaan



Menawarkan pertukaran bantuan



Menetapkan tenggat waktu dan



Mengingatkan orang lain tentang bantuan



memastikan mereka mampu



masa lalu



Menekankan aturan yang akan dipatuhi



Menawarkan untuk melakukan pengorbanan pribadi dengan imbalan bantuan



INGRATIATION



NAIK BANDING



Menggunakan pujian atau membuat



Memperoleh dukungan atasan



orang lain merasa penting



Mengirim target orang untuk melihat



Menunjukkan kebutuhan akan bantuan



atasan



orang lain. Bersikap sopan dan ramah



Mengajukan laporan tentang target orang kepada atasan



RASIONALITAS



PEMBLOKIRAN



Menggunakan logika untuk meyakinkan



Mengancam berhenti bekerja dengan



5



orang lain



orang lain



Menulis pembenaran terperinci dari suatu



Mengabaikan orang lain atau menarik



rencana



persahabatan



Menyajikan informasi untuk mendukung



Terlibat dalam perlambatan kerja



permintaan bersama dengan permintaan tersebut SANKSI



KOALISI



Pemotongan gaji



Memperoleh dukungan rekan kerja atas



Mengancam memecat seseorang atau



permintaan



memberikan evaluasi kinerja yang buruk



Membuat permintaan pada konferensi



Menjanjikan atau memberi kenaikan gaji



formal Memperoleh dukungan bawahan atas permintaan



Dari studi tersebut dapat diketahui bahwa pilihan taktik pengaruh ditentukan oleh situasi, status individu yang terlibat, dan karakteristik lain dari organisasi seperti ukuran dan apakah organisasi itu serikat atau tidak. Misalnya, orang yang berstatus lebih tinggi lebih cenderung menggunakan ketegasan atau sanksi, sedangkan orang yang berstatus lebih rendah menggunakan banding rasional untuk memengaruhi atasan. Rekan kerja pada umumnya menggunakan ingritation dan bertukar ketika mencoba untuk mempengaruhi satu sama lain untuk mendapatkan bantuan pribadi, sedangkan taktik rasional dan koalisi sering digunakan untuk melembagakan perubahan dalam tugas kerja atau dalam konteks kerja. Menariknya, tidak ada perbedaan jenis kelamin dalam penggunaan berbagai taktik pengaruh. Pria dan wanita tampaknya menggunakan taktik yang sama dengan cara yang sama, dan dengan hasil yang sama. Sebuah meta-analisis menunjukkan bahwa ingratiation dan rasionalitas adalah taktik pengaruh yang efektif untuk pekerja, tetapi taktik promosi diri tidak tefektif (Higgins, Judge, & Ferris, 2003). Studi lain telah menemukan bahwa bawahan menggunakan taktik pengaruh ke atas yang berbeda dengan atasan, tergantung pada apakah mereka mencari tujuan pribadi, seperti kenaikan gaji atau promosi, atau tujuan organisasi, seperti mendapatkan persetujuan penyelia dari prosedur kerja baru yang lebih efisien. Saat mencari tujuan pribadi, bawahan cenderung 6



menggunakan taktik seperti ingratiation. Ketika mencari tujuan organisasi, mereka lebih menyukai strategi seperti naik banding dan persuasi rasional untuk mencoba mempengaruhi atasan (Ansari & Kapoor, 1987; Schmidt & Kipnis, 1984). Selain itu, taktik pengaruh bawahan bervariasi tergantung pada apakah atasannya otokratis dan berorientasi pada tugas atau partisipatif dan berorientasi pada hubungan. Bawahan cenderung menggunakan teknik ingratiation, blocking, dan naik banding dengan manajer otokratis tetapi strategi persuasi rasional dengan atasan partisipatif (Ansari & Kapoor, 1987). Studi tentang taktik pengaruh pengawas menemukan bahwa persuasi rasional adalah strategi pengaruh manajerial yang sangat efektif, sedangkan taktik tekanan, seperti ancaman, paling tidak efektif. Selain itu, taktik pengaruh ingratiation dan pertukaran cukup efektif dalam mempengaruhi bawahan dan manajer lainnya (Yukl & Tracey, 1992). Penelitian telah menyarankan beberapa perbedaan lintas budaya dalam penggunaan taktik pengaruh. Sebagai contoh, manajer A.S. menilai persuasi rasional dan pertukaran sebagai taktik pengaruh yang lebih efektif, sedangkan manajer Cina percaya bahwa taktik koalisi, naik banding, dan hadiah akan lebih efektif (Fu & Yukl, 2000). Namun, beberapa perbedaan dalam preferensi untuk taktik pengaruh ditemukan antara manajer Asia Amerika dan Kaukasia Amerika (Xin & Tsui, 1996). Seperti halnya individu, kelompok juga akan menggunakan berbagai macam taktik untuk memberikan pengaruh. Misalnya, kelompok cenderung menggunakan pengaruh untuk membuat anggota menyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok. Contohnya, jika seorang anggota melanggar norma kelompok, tekanan akan diberikan dalam bentuk kritik, isolasi ("perlakuan diam"), atau dalam kasus ekstrim, pengusiran. Tekanan untuk menyesuaikan diri seperti itu adalah proses pengaruh yang sangat umum dan sangat penting dalam kelompok kerja dan organisasi (Feldman, 1984; Moscovici, 1985; see “Up Close” box). C. Kekuasaan: Kekuatan Utama dalam Organisasi Kerja Kekuasaan, berbeda dengan berpengaruh, kekuasaan adalah kekuatan yang lebih formal dalam organisasi kerja yang berasal dari peran atau posisi individu atau dari beberapa karakteristik spesifik individu, seperti keahlian yang terkait dengan pekerjaan atau kualitas kepemimpinan yang mengagumkan. Sedangkan pengaruh tergantung pada keterampilan influencer dalam mempengaruhi orang lain di tempat atau waktu tertentu, kekuasaan adalah kekuatan yang konsisten yang cenderung bekerja melintasi situasi dan waktu. Dalam 7



organisasi, kekuasaan adalah kapasitas atau potensi yang cukup stabil yang dapat secara konsisten memengaruhi perilaku orang lain, selama kekuasaan tetap ada pada individu (Hocker & Wilmot, 1985). Dengan kata lain, penggunaan strategi pengaruh untuk mempengaruhi perilaku orang lain kadang-kadang berhasil, tetapi penggunaan kekuatan hampir selalu berhasil. a. Sumber Daya Kekuasaan dapat mengambil banyak bentuk dan berasal dari berbagai sumber yang terdiri dari dua jenis utama (Yukl & Falbe, 1991). Paling sering, kekuatan datang dari organisasi. Kekuatan organisasi berasal dari posisi individu dalam organisasi dan dari kontrol atas sumber daya organisasi penting yang disampaikan oleh posisi itu. Kekuatan Daya Organisasi berasal dari posisi seseorang dalam suatu organisasi dan dari kontrol atas sumber daya penting yang diberikan oleh posisi itu. Kekuatan Tenaga Individual berasal dari karakteristik pribadi yang bernilai bagi organisasi, seperti keahlian atau kemampuan kepemimpinan tertentu. Kekuatan individu berasal dari karakteristik pribadi, seperti keahlian atau kemampuan kepemimpinan tertentu, yang bernilai bagi organisasi dan anggotanya. Sumber daya organisasi ini dapat berwujud, seperti uang, penugasan kerja, atau ruang kantor, atau lebih tidak berwujud, seperti akses informasi atau komunikasi ke orang lain. 1) Power Basis sumber kekuatan yang dimiliki oleh individu dalam organisasi French dan Raven (1959) melihat berbagai jenis kekuatan yang mereka sebut basis daya, yang merupakan sumber kekuatan seseorang atas orang lain dalam organisasi. Mereka menetapkan lima basis kekuatan penting: kekuatan koersif, kekuatan hadiah, kekuatan yang sah, kekuatan pakar, dan kekuatan referensi. a) Kekuatan Paksa Kekuatan paksaan adalah kemampuan untuk menghukum atau mengancam untuk menghukum orang lain. Misalnya, mengancam untuk mendenda, menurunkan, atau memecat seseorang semuanya adalah sarana untuk menggunakan kekuatan koersif, seperti halnya menugaskan seseorang pada tugas kerja yang tidak menyenangkan. Seseorang dapat memiliki kekuatan koersif dengan memegang posisi dalam organisasi yang memungkinkan orang tersebut menghukum orang lain. Namun, setiap individu, apapun posisinya, dapat menggunakan kekuatan koersif dengan mengancam untuk melukai seseorang baik secara fisik maupun psikologis dengan taktik seperti 8



merusak reputasi dengan menyebarkan desas-desus palsu. Kita telah melihat bahwa penggunaan kekuatan koersif, dengan hukuman dan ancaman hukumannya, membawa risiko tertentu, karena dapat menimbulkan kemarahan dan kebencian pada subjek. Kekuatan paksaan harus dilakukan dengan hati-hati, dengan kesadaran akan kekuatan dan kelemahan potensial dari strategi hukuman. Misalnya, meskipun ancaman paksaan mungkin mendapatkan tindakan cepat, orang yang terancam dapat mencoba untuk membalas nanti. Raven (1992) mengatakan bahwa jika seorang pemimpin menggunakan kekuatan koersif yang dihasilkan dari kenyataan bahwa seorang individu dihormati, dikagumi, dan disukai oleh kekuatan orang lain secara efektif, pemimpin harus siap dan bersedia untuk menindaklanjuti ancaman, terlepas dari biaya yang harus dikeluarkan terlibat. Selain itu, pemimpin yang menggunakan kekuatan koersif harus siap untuk menjaga pengawasan terhadap target, untuk memastikan bahwa target berperilaku dengan tepat. Dengan demikian, agar dapat digunakan secara efektif, kekuatan koersif dapat menguras manajer yang menggunakannya, karena manajer harus terus-menerus mengawasi bawahan untuk menerapkan sanksi dengan cepat ketika perilaku kerja yang tidak diinginkan terjadi.



b) Kekuatan Hadiah Dalam banyak hal, kekuatan hadiah adalah kebalikan dari kekuatan koersif, karena meskipun kekuatan koersif adalah kemampuan untuk melukai, kekuatan hadiah adalah kemampuan untuk memberikan sesuatu yang positif, seperti uang, pujian, promosi, dan tugas kerja yang menarik atau menantang. Kemampuan untuk menghargai orang lain adalah sumber kekuatan yang umum dalam organisasi kerja, di mana ia sering berasal dari memiliki kendali atas sumber daya yang dihargai orang lain. Memiliki kemampuan untuk mengelola kenaikan gaji, bonus, promosi, atau tugas pekerjaan yang didambakan bisa menjadi basis kekuatan yang sangat kuat.



c) Kekuatan yang Sah Kekuasaan yang sah melibatkan hak atau wewenang formal yang dimiliki seseorang berdasarkan posisi dalam suatu organisasi. Gelar-gelar seperti manajer, pengawas shift, direktur, atau wakil presiden semuanya adalah basis untuk kekuasaan yang sah. Ketika karyawan melakukan permintaan hanya karena "bos" meminta mereka untuk melakukannya, mereka merespons kekuatan tersebut. Dalam organisasi kerja, kekuatan yang sah biasanya digabungkan dengan basis kekuatan paksaan dan 9



paksaan. Artinya, kebanyakan orang dengan otoritas yang sah juga memiliki kekuatan untuk menghargai atau menghukum bawahan. Tiga basis kekuatan ini biasanya, meskipun tidak selalu, diikat bersama. Mungkin ada beberapa contoh langka di mana orang diberikan beberapa posisi formal yang tidak disertai dengan hadiah dan kekuatan paksaan — posisi kekuasaan hanya dalam nama. Seperti halnya wakil presiden untuk urusan publik di perusahaan asuransi yang relatif kecil. Bagan organisasi untuk perusahaan ini mengungkapkan bahwa wakil presiden ini mungkin tidak memiliki banyak penghargaan atau kekuatan koersif untuk mendukung jabatannya yang sah karena ia adalah satu-satunya karyawan di departemen tanpa bawahan! Namun ada bukti bagus bahwa pekerja merespons dengan baik terhadap orang yang memiliki kekuatan sah (Hinkin & Schriesheim, 1994; Yukl & Falbe, 1991), mungkin karena sebagian besar individu diajari sejak usia dini untuk menghormati orang yang berwenang.



d) Kekuatan Tenaga Pakar Kekuatan pakar adalah salah satu basis kekuatan terkuat yang bisa dimiliki seseorang karena ia dihasilkan dari kepemilikan beberapa pengetahuan, keterampilan, atau keahlian terkait pekerjaan tertentu. Dalam organisasi atau perusahaan teknologi tinggi yang didasarkan pada pengetahuan dan ide-ide, seperti pengembangan perangkat lunak, pengembangan obat-obatan yang kompleks dan perangkat medis, dan sejenisnya, pengetahuan dan keahlian adalah komoditas yang berharga. Penelitian telah menunjukkan bahwa kepemilikan keahlian yang berhubungan dengan pekerjaan ditemukan sangat terkait dengan pengawas yang memberikan kenaikan gaji bawahan (Bartol & Martin, 1990). Tenaga ahli juga merupakan sumber kekuatan di balik banyak profesional perawatan kesehatan. Misalnya, Anda bersedia mengikuti saran dokter karena Anda percaya bahwa orang ini memiliki pengetahuan khusus mengenai kesehatan Anda. e) Daya Referensi Jenis basis kekuatan yang sangat berbeda adalah kekuatan referensi, yang berkembang karena seorang individu dihormati, dikagumi, dan disukai oleh orang lain. Karena orang itu disukai atau dikagumi, pekerja merespons keinginan orang tersebut dalam upaya untuk menyenangkan orang tersebut dan untuk mendapatkan bantuan. Ilustrasi paling dramatis tentang kekuatan rujukan adalah pemimpin politik 10



yang karismatik yang dapat mendorong seluruh populasi untuk bertindak hanya karena kekaguman dan rasa hormat mereka terhadap orang tersebut. b. Dinamika Daya dalam Organisasi Kerja Topik kekuasaan dalam pengaturan pekerjaan adalah yang penting, dan penelitian tentang topik tersebut telah meningkat terutama pada dinamika kekuasaan dalam organisasi kerja (Bacharach & Lawler, 1980; Tarakci, Greer, & Groenen, 2016). Sebagai contoh, peneliti telah menyelidiki masalah-masalah seperti distribusi kekuasaan dalam organisasi, upaya anggota organisasi untuk meningkatkan daya, hubungan kekuasaan dan ketergantungan, dan efek kekuasaan pada hasil organisasi penting khususnya kinerja dan kepuasan kerja. 1) Perbedaan Distribusi Daya Kita tahu bahwa kekuatan, karena banyak bentuknya, tidak terdistribusi secara merata di lingkungan kerja. Biasanya, organisasi diatur dalam hierarki kekuasaan, dengan orang-orang di tingkat atas memiliki kekuatan besar dan yang di bawah memiliki kekuatan yang relatif kecil. Namun, perbedaan individu dalam basis daya pakar dan rujukan memastikan bahwa tidak ada dua orang, bahkan mereka yang berada pada tingkat status yang sama, memiliki kekuatan yang sama persis. Oleh karena itu, walaupun orang-orang yang berada dalam hierarki tinggi cenderung memiliki lebih banyak kekuatan daripada mereka yang berada di level yang lebih rendah, bahkan anggota berpangkat rendah dapat menggunakan kekuatan yang cukup besar karena sumber-sumber kekuatan pribadi, seperti kekuatan pakar dan kekuatan referensi. McClelland (1975) dan lainnya (Winter, 1973) telah menunjukkan bahwa orang menempatkan nilai-nilai yang berbeda pada perolehan dan penggunaan kekuasaan, dengan beberapa orang yang tinggi dalam kebutuhan akan kekuasaan dan yang lain memiliki kebutuhan yang rendah akan kekuasaan. Dengan demikian, organisasi mungkin memiliki beberapa individu yang "haus kekuasaan" dan yang lain memiliki sedikit minat dalam mendapatkan banyak kekuasaan. Namun, walaupun orang mungkin berbeda dalam kebutuhan mereka akan kekuasaan, begitu individu memperoleh kekuasaan, mereka biasanya enggan untuk menyerah (Kipnis, 1976). Mungkin inilah yang mendasari anggapan umum bahwa kekuasaan dapat "memabukkan" atau "membuat kecanduan." Ini masuk akal, karena itu adalah



11



kekuatan yang memungkinkan anggota organisasi untuk memenuhi berbagai tujuan terkait pekerjaan mereka (Mitchell, Hopper, Daniels, Falvy, & Ferris, 1998). 2) Cara untuk Meningkatkan Daya Salah satu cara bagi anggota organisasi untuk meningkatkan kekuatan adalah untuk memperoleh keahlian atau pengetahuan yang terkait dengan pekerjaan (Mechanic, 1962; Tarakci et al., 2016). Belajar memecahkan masalah yang rumit, mampu mengoperasikan atau memperbaiki mesin yang canggih, dan mengetahui prosedur yang rumit semuanya terkait dengan basis tenaga ahli. Individu yang berdaya rendah juga dapat meningkatkan kekuatan organisasi mereka dengan mengembangkan hubungan dengan anggota yang lebih tinggi (Bartol & Martin, 1988). Anak didik sering mendapat manfaat dari pergaulan mereka dengan seorang mentor, yang mengarah pada status dan kekuasaan organisasi yang lebih besar. Bahkan, telah ditunjukkan bahwa jaringan dalam organisasi, dan bahkan hanya memiliki pengetahuan tentang jejaring sosial penting dalam organisasi, terkait dengan kepemilikan kekuatan individu (Krackhardt, 1990). Anggota berpangkat rendah juga dapat memperoleh kekuasaan dengan membentuk koalisi, yang melibatkan sekelompok pekerja bersatu untuk mencapai tujuan bersama (Bacharach & Lawler, 1998). Koalisi dapat menjadi kekuatan yang kuat karena kemampuannya untuk memperlambat atau mematikan operasi organisasi. Sekelompok pekerja tingkat rendah yang bertindak bersama sebagai satu unit dapat menjadi kuat dengan sematamata karena jumlah mereka. Dengan kata lain, beberapa pekerja dapat dengan mudah diganti, tetapi seluruh lini pekerja tidak bisa. Koalisi yang kuat dapat diciptakan ketika karyawan bergabung dengan serikat pekerja, yang dapat menggunakan kekuatannya dengan mengancam akan mogok atau dengan benar-benar menyerang. Secara umum, semakin besar koalisi, semakin besar kekuatannya. Memang bisa ada "kekuatan dalam jumlah." Koalisi sekelompok individu yang bersatu untuk menggabungkan kekuatan mereka. 3) Hubungan Kekuasaan dan Ketergantungan Ketika hubungan ketergantungan non-resiprokal ada sehingga pihak A bergantung pada pihak B, tetapi B tidak tergantung pada A, B akan memiliki kekuasaan atas A (Blalock, 1989). Dalam lingkungan kerja, sangat umum bagi individu atau kelompok 12



tertentu untuk bergantung pada orang lain untuk sumber daya tertentu yang diperlukan untuk melakukan suatu pekerjaan. Jika ketergantungan tidak berjalan dua arah, individu atau kelompok yang mengendalikan sumber daya yang langka akan memiliki kekuasaan atas si miskin (Hickson, Hinings, Less, Schneck, & Pennings, 1971). Pekerja yang memiliki banyak keahlian sering kali memiliki kekuatan seperti itu karena mereka yang tidak memiliki pengetahuan ahli harus mengandalkan mereka untuk melakukan pekerjaan mereka dengan benar. Karena kekuatan pakar didasarkan pada individu, pihak dependen kadang-kadang memiliki status yang lebih tinggi daripada pakar. Bisnis berusaha untuk menghindari hubungan ketergantungan pada tingkat organisasi. Sebagai contoh, sebuah perusahaan akan berusaha keras untuk tidak harus bergantung pada satu pemasok untuk bahan-bahan yang dibutuhkan karena ketergantungan tunggal semacam itu memberi kekuatan pemasok atas perusahaan. Satu rantai makanan cepat saji yang terkenal telah menghilangkan sebagian besar hubungan ketergantungan dengan mengendalikan pasokan di dalam perusahaan. Rantai restoran ini memiliki peternakan sapi sendiri untuk memasok daging, peternakan untuk memasok produk biji-bijian, dan bahkan pabrik kertas untuk membuat tas dan wadah. Kemandirian yang dihasilkan memungkinkan perusahaan untuk meningkatkan kekuasaannya terhadap pesaing yang mungkin terluka jika misalnya pemasokan barang mereka mogok. 4) Daya dan Hasil Kerja Kepemilikan dan penggunaan basis daya dapat secara langsung terkait dengan hasil organisasi yang penting seperti kinerja dan kepuasan kerja. Sebagai contoh, tenaga ahli umumnya terkait dengan kinerja pekerjaan yang efektif (Bachman, Bowers, & Marcus, 1968) karena kekuatan tenaga ahli didasarkan pada mengetahui bagaimana melakukan pekerjaan itu. Kekuatan pakar pemimpin yang lebih besar juga terkait dengan perilaku kewarganegaraan organisasi yang lebih tinggi (OCB; Reiley & Jacobs, 2016). Kekuatan referensi, di sisi lain secara konsisten terkait dengan kepuasan anggota dengan orang yang menggunakan kekuatan (Carson, Carson, & Roe, 1993). Ini seharusnya tidak mengejutkan, karena kekuatan rujukan dihasilkan dari kesediaan subyek untuk tunduk pada kekuatan seseorang yang mereka kagumi dan hormati. Sebaliknya, kekuatan koersif cenderung mengurangi daya tarik pemegang



13



kekuasaan dan dapat menyebabkan penurunan kepuasan kerja pada anggota kelompok kerja. Penggunaan kekuatan koersif oleh pengawas juga dapat menghambat kreativitas dan inovasi karyawan (Rousseau & Aube, 2017). Selain itu, penggunaan kekuatan koersif dapat mengikis basis daya referensi individu. Dengan kata lain, kita kehilangan rasa hormat terhadap orang-orang yang secara konsisten menghukum atau mengancam kita. Dalam praktiknya, penggunaan kekuatan paksaan lebih sering melibatkan ancaman hukuman daripada hukuman yang sebenarnya. Meskipun ancaman drastis dapat menjadi cara yang efektif untuk mendapatkan kepatuhan, orang yang membuat ancaman seperti itu berisiko mengambil seseorang “menyebut gertakan mereka” dan menolak untuk mematuhinya. Pelatih



sekarang



dihadapkan



pada



dilema:



jika



orang



tersebut



tidak



menindaklanjuti dengan hukuman, beberapa kekuatan paksaan akan hilang karena subjek mengetahui bahwa itu adalah ancaman kosong. Di sisi lain, pelatih yang melakukan hukuman beresiko membuat marah, atau dalam kasus ancaman pemecatan, kehilangan karyawan. Dalam banyak kasus, penggunaan kekuatan koersif adalah situasi tanpa kemenangan. Meskipun dapat digunakan untuk mengancam pekerja ke tingkat kinerja yang lebih tinggi, kepuasan cenderung menurun, dan organisasi mungkin akan kehilangan dalam jangka panjang melalui peningkatan absensi sukarela dan pergantian tenaga kerja yang tidak puas. Mungkin karena alasanalasan inilah penelitian para manajer yang berlatih menunjukkan bahwa kekuatan koersif adalah yang paling sedikit digunakan dari lima basis kekuatan (mis., Stahelski, Frost, & Patch, 1989). 5) The Power Corollary Power Corollary, konsep bahwa untuk setiap latihan kekuatan, ada kecenderungan bagi subjek untuk bereaksi dengan permainan kekuatan kembali. Salah satu aspek dari dinamika kekuasaan dikenal sebagai kekuasaan wajar (Robbins, 1979), yang menyatakan bahwa untuk setiap penggunaan kekuasaan, ada kecenderungan untuk menggunakan kekuasaan secara wajar - suatu permainan kekuasaan kembali oleh subjek (“untuk setiap aksi di sana adalah reaksi”). Dengan kata lain, ketika orang menjadi subjek permainan kekuasaan yang jelas, mereka cenderung mencoba untuk menegaskan kekuatan mereka sendiri. Menurut French dan Raven (1959), inilah mengapa penting untuk memiliki basis kekuatan yang sah ketika 14



menggunakan basis kekuatan lain, terutama kekuatan koersif, karena kombinasi tersebut akan membatasi bentuk penggunaan daya secara wajar. Misalnya, jika rekan kerja mencoba menggunakan taktik pemaksaan pada Anda, Anda mungkin merespons dengan cara yang sama, dengan ancaman Anda sendiri. Namun, jika orang yang menggunakan kekuatan koersif adalah atasan Anda, opsi respons Anda terbatas. Dengan kata lain, kecil kemungkinan Anda akan secara langsung mengancam seseorang yang memiliki wewenang sah. 6) Kekuasaan dan Kepemimpinan Konsep kekuasaan dan kepemimpinan saling terkait erat. Pemimpin menggunakan kekuatan mereka untuk membantu pengikut mencapai tujuan yang diinginkan. Idealnya, agar efektif seorang pemimpin harus memiliki sejumlah basis kekuatan. Memiliki tingkat tinggi dari kelima akan ideal (meskipun mungkin sering jarang), karena berbagai basis kekuatan sering saling melengkapi (Raven et al., 1998). Seperti yang telah kita lihat, kekuatan yang sah cenderung untuk memvalidasi penggunaan hadiah dan kekuatan koersif. Tenaga ahli juga harus ada dalam posisi kekuasaan yang sah, karena orang yang paling memenuhi syarat biasanya adalah pengawas. Jika kelompok kerja berkomitmen untuk melakukan pekerjaan dengan baik, dan jika mereka memiliki pemimpin yang tinggi dalam kekuatan yang sah dan menghargai yang memiliki kekuatan ahli untuk memimpin kelompok ke tingkat produktivitas yang tinggi, pemimpin cenderung mengembangkan kekuatan yang kuat, basis daya referensi juga. Sebaliknya, karena kekaguman mereka yang kuat terhadap seorang pemimpin dengan kekuatan referensi, pengikut juga dapat menganggap pemimpin memiliki keahlian (Podsakoff & Schriesheim, 1985). D. Politik Organisasi (Organizational Politics) Penggunaan politik terjadi setiap hari di semua tingkatan semua organisasi (Ferris & Treadway, 2012; Schein, 1977). Misalnya, seorang individu yang memenuhi syarat dilewatkan untuk promosi yang ditujukan kepada rekan kerja yang jelas-jelas kurang berkualitas; anggota organisasi mengatakan bahwa itu adalah keputusan politik. Dua pekerja kantor yang memiliki riwayat tidak pernah bergaul tiba-tiba mengajukan keluhan resmi bersama tentang atasan yang tidak disukai; pengamat menjelaskan bahwa kolaborasi mereka adalah karena politik kantor. Seorang manajer tingkat junior memberikan perjalanan akhir pekan yang direncanakan untuk tinggal di rumah dan merawat anjing bos sementara eksekutif 15



berada di luar kota. Motivasi manajer? Jelas politis. Siapa pun yang memiliki kesempatan untuk mengamati operasi organisasi telah melihat politik organisasi beraksi. a) Mendefinisikan politik organisasi Definisi sebelumnya menyatakan bahwa politik organisasi melibatkan kepentingkan diri sendiri, atau egois, penggunaan kekuatan, untuk mencapai hasil yang diinginkan. Ini mencakup berbagai perilaku; pada kenyataannya, hampir semua perilaku dapat diartikan sebagai politik. Biasanya, jenis perilaku politik di mana kami tertarik melibatkan penggunaan kekuasaan atau pengaruh yang bukan bagian dari posisi atau peran seseorang dalam organisasi. Karena perilaku politik tidak "disetujui" oleh organisasi, diasumsikan bahwa politik organisasi buruk atau berbahaya bagi fungsi organisasi, tetapi ini tidak selalu benar. Meskipun seorang pekerja dapat bertindak secara politis untuk memenuhi tujuan egois, menggunakan cara yang tidak dianggap sebagai prosedur organisasi yang dapat diterima, hasilnya mungkin sebenarnya menguntungkan bagi organisasi. Dengan kata lain, perilaku politik kadang-kadang mengarah pada hasil organisasi yang sukses. Perilaku seperti itu bisa disebut politik fungsional — perilaku yang membantu organisasi dalam mencapai tujuannya. Di sisi lain, perilaku politik yang menghambat pencapaian tujuan organisasi adalah politik yang disfungsional. Perilaku politik yang sama dapat bersifat fungsional atau disfungsional, tergantung pada bagaimana hal itu mempengaruhi tujuan organisasi. Tidak selalu mudah untuk membedakan antara perilaku politik fungsional dan disfungsional karena perbedaan antara keduanya sering tergantung pada melihat gambaran luas tentang bagaimana perilaku mempengaruhi organisasi dan tujuannya. Namun karyawan tampaknya dapat membedakan perilaku politik "positif" dari "negatif"setidaknya dalam hal persepsi mereka. Politik Fungsional: perilaku politik yang membantu organisasi untuk mencapai tujuannya Politik Disfungsional: perilaku politik yang mengurangi kemampuan organisasi untuk mencapai tujuannya. Idealnya, jika perilaku politik akan terjadi dalam organisasi (dan itu terjadi), itu seharusnya fungsional. Namun, di organisasi mana pun beberapa perilaku politik akan berfungsi dan sebagian lagi akan tidak berfungsi. menunjukkan bagaimana perilaku 16



politik yang beroperasi demi kepentingan individu kadang-kadang dapat tumpang tindih dengan tujuan organisasi. Perilaku politik yang memenuhi tujuan keduanya adalah fungsional; perilaku yang memenuhi tujuan individu tetapi tidak bagi organisasi adalah disfungsional. Meskipun beberapa perilaku politik yang terjadi dalam pemerintahan dan organisasi kerja tidak berfungsi, berorientasi pada pencapaian tujuan pribadi sehingga merugikan tujuan organisasi, banyak perilaku politik sebenarnya fungsional, membantu individu dan organisasi mencapai tujuan masing-masing. Namun, politik disfungsional lah yang sering mendapat perhatian paling besar, karena mereka terkadang melanggar kode etik dan perilaku moral organisasi. Misalnya, dalam satu organisasi, melaporkan informasi negatif tentang pekerja lain kepada manajemen dapat dianggap sebagai pelanggaran etika, sedangkan di organisasi lain perilaku politik semacam itu mungkin lebih diterima. Di satu perusahaan, manajemen mungkin memandang serikat pekerja sebagai praktik politik yang dapat diterima, sedangkan manajemen organisasi saingan mungkin melihatnya sebagai pemberontakan. b) Persepsi karyawan tentang politik organisasi Penelitian telah meneliti bagaimana politik organisasi dan “iklim” politik di tempat kerja dipersepsikan oleh pekerja dan tim kerja. Pertama, penting untuk menekankan bahwa



para



pekerja



cenderung



melihat



organisasi politik



negatif. Akibatnya,



persepsi tingkat tinggi perilaku politik organisasi, atau iklim yang tampaknya toleran terhadap politisasi, dikaitkan dengan hasil negatif karyawan. contohnya, sebuah metaanalisis menemukan bahwa persepsi politik menyebabkan penurunan tingkat kepuasan kerja, komitmen, kinerja tugas, dan perilaku kewarganegaraan organisasi. Ada juga peningkatan persepsi karyawan tentang "tekanan" dan niat untuk turnover (Chang, Rosen, & Levy, 2009).



17



Bagi



banyak



pekerja,



politik



organisasi dipandang



sebagai



sumber stres



yang signifikan , dan organisasi yang sangat politis dapat mengalami tingkat turnover dan ketidakpuasan kerja yang tinggi. Pekerja lain tampaknya benar-benar menikmati terlibat dalam politik organisasi . Meskipun karyawan tingkat rendah dapat memandang politik sebagai beban tambahan , manajer cenderung memandang politik organisasi sebagai "bagian dari pekerjaan". Karyawan di berbagai tingkat organisasi juga tampaknya memandang politik secara berbeda. Satu studi menemukan bahwa manajer tingkat atas dan karyawan tingkat bawah percaya bahwa ada lebih sedikit politisasi yang terjadi di organisasi mereka daripada manajer di tingkat menengah. Selain itu, mungkin ada variasi budaya dalam reaksi terhadap politik organisasi .



c) Jenis perilaku politik Perilaku politik telah didefinisikan sebagai perilaku self-serving yang berarti bahwa politik mencakup banyak jenis perilaku. Farrell dan Petersen mengklaksifikasikan perilaku politik menajdi tiga dimensi: internal-eksternal, lateral-vertikal, sah-tidak sah. 1. Dimensi internal-eksternal Dimensi internal-eksternal mengacu



pada



apakah



perilaku



politik



hanya



melibatkan anggota organisasi atau jika melampaui batas-batas organisasi untuk memasukkan orang dari luar. Contoh perilaku politik eksternal adalah mengajukan gugatan terhadap organisasi atau anggota organisasi, berkonsultasi dengan anggota organisasi pesaing , atau membocorkan informasi rahasia perusahaan kepada pers. 18



2. Dimensi Lateral-vertikal Dimensi



lateral-vertikal



meyangkut



apakah



perilaku



politik terjadi antara anggota status yang sama dalam organisasi atau jmelintasi status vertikal tingkat. Perilaku politik yang melibatkan atasan dan bawahan akan menjadi contoh politik vertikal, sedangkan dua rekan kerja yang berkampanye untuk promosi yang sama terlibat dalam politik lateral . Jika seorang bawahan pergi ke seseorang yang lebih tinggi dalam organisasi untuk mengeluh tentang atasan, ini adalah politik vertikal. Beberapa rekan kerja dengan status yang sama yang membentuk koalisi, ini terlibat dalam politik lateral. 3. Dimensi legitimate-illegitimate Dimensi ini menyangkut apakah perilaku politik tersebut “normal seharihari” atau bentuk perilaku politik yang melanggar “aturan permainan.” yang diterima secara umum. Seperti disebutkan sebelumnya, organisasi dan kelompok kerja membangun kode mereka sendiri tentang apa yang tepat , atau sah, dan apa yang tidak dapat diterima, atau tidak sah. Perilaku politik yang tidak sah kemungkinan besar akan digunakan oleh anggota organisasi yang terasingkan yang merasa bahwa mereka tidak memiliki alternatif lain dan tidak ada ruginya, seperti pekerja yang akan dipecat. Misalnya, memperlambat hasil kerja — penetapan tingkat — mungkin merupakan bentuk perilaku politik yang sah di banyak organisasi, sedangkan sabotase, seperti dengan sengaja merusak peralatan kerja yang penting, akan selalu dianggap tidak sah. Perbedaan antara apakah perilaku politik tertentu itu sah atau tidak, dapat diterima atau tidak dapat diterima, atau baik atau buruk sebagian besar merupakan pertimbangan nilai. Jenis yang sama dari perilaku dapat dianggap tidak dapat diterima dalam satu situasi, tetapi dapat diterima bila dilakukan di negara lain. Juga benar bahwa perilaku politik yang dilakukan oleh anggota organisasi tertentu dapat disetujui, sedangkan perilaku yang sama dari pekerja lain mungkin tidak disetujui. Misalnya , perilaku politik biasanya dianggap sebagai cara hidup di tingkat atas organisasi, tetapi perilaku seperti itu di antara anggota tingkat yang lebih rendah sering



dicap



subversif



dan berpotensi



berbahaya



bagi



organisasi . Perspektif orang yang membuat penilaian juga mempengaruhi apakah 19



perilaku politik dianggap dapat diterima atau tidak dapat diterima. Apa yang satu orang anggap sebagai tindakan yang sangat masuk akal, yang lain mungkin dianggap sebagai politik yang kotor. Selain itu, tindakan yang mungkin disetujui banyak orang adalah perilaku politik yang masuk akal, jika secara ekstrem, mengarah pada tujuan yang sangat negatif dan sangat disfungsional. Misalnya, membentuk koalisi dapat terlihat sebagai cara yang baik untuk anggota low-ranking untuk mendapatkan beberapa kekuatan dan pengaruh dalam organisasi. Namun, manajemen dapat menganggap koalisi tersebut sebagai prekursor untuk hasil negatif seperti penghentian kerja dan pemogokan. Ada salah satu perilaku politik tertentu yang telah menerima banyak perhatian disebut "whistle-blowing". Whistle-blowing adalah ketika karyawan menyampaikan kritik tentang kebijakan dan praktik organisasi mereka kepada orang atau pihak berwenang di luar organisasi (Perry, 1998). Biasanya, whistle-blower percaya bahwa praktik organisasi ilegal, tidak bermoral, atau tidak sah, terlepas dari apakah kritik tersebut memang benar (Johnson, 2003; Near & Miceli, 1985, 2011). Contoh-contoh whistle-blowing yang terkenal yaitu, karyawan perusahaan kimia, yang telah melaporkan pembuangan limbah berbahaya; Karyawan yang mengungkap skandal keuangan perusahaan. d) Penyebab dari Politik Organisasi



1. Kompetisi untuk kekuatan dan sumber daya Ketika sumber daya seperti uang, kenaikan jabatan, dan statusnya langka, orang dapat mencoba menggunakan kekuatan mereka untuk mendapatkan apa yang mereka butuhkan untuk memenuhi tujuan mereka (Parker et al., 1995). Sumber daya yang langka dan semakin sulit untuk mereka mendapatkan, karena “red tape” atau prosedur alokasi sewenang-wenang, semakin besar potensi anggota organisasi akan bertindak secara politis untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Contohnya, seorang individu yang membentuk hubungan yang kuat dengan seseorang dalam organisasi yang memiliki kendali atas pendistribusan sumber daya penting, mungkin bisa mendapatkan bagian sumber daya yang lebih besar (dan untuk mendapatkan mereka lebih



cepat). Dalam



sebuah perusahaan penerbitan ,



seorang manajer



memperhatikan bahwa komputer baru sering didistribusikan pertama kali kepada



20



orang yang bersahabat dengan manajer departemen, daripada kepada mereka yang paling membutuhkannya. Dalam pemerintahan, seorang karyawan melihat bahwa kejadian perilaku politik meningkat setiap kali kota memperoleh hibah besar negara bagian atau federal, ketika masing - masing departemen melobi untuk mendapat bagian uang yang lebih besar. Secara umum, persaingan kekuatan sumber daya meningkatkan insiden politik organisasi.



2. Penilaian kinerja subyektif Ketika kinerja pekerjaan tidak diukur secara objektif, itu berarti bahwa kinerja mungkin tidak terkait dengan kesuksesan karir . Ketika keputusan personal, seperti kenaikan gaji dan promosi, didasarkan pada kriteria subyektif yang tidak didefinisikan dengan baik atau diukur dengan buruk , pekerja dapat menggunakan taktik politik seperti membentuk aliansi, menjelekkan orang lain, dan melobi untuk mendapatkan bantuan dari penilai dan maju. Ini bisa menjadi sangat disfungsional bagi organisasi, karena pekerja terbaik mungkin tidak diakui dan didorong atas upaya mereka. Lebih buruk lagi, orang -orang yang berkinerja buruk yang merupakan politisi yang baik kadang-kadang akan ditempatkan pada posisi tanggung jawab. Ketika kriteria selain kinerja, seperti berpakaian dengan cara tertentu atau mengedepankan filosofi perusahaan, terlalu ditekankan dalam keputusan personal, pekerja dapat melakukan upaya untuk terlihat lebih baik daripada berkinerja baik. Ketika manajer berkomentar seperti, "Dia terlihat seperti pria perusahaan sejati," mereka cenderung memberi bobot pada faktor-faktor yang tidak terkait dengan kinerja kerja yang baik. Ini adalah alasan lain bahwa penilaian kinerja yang sehat dan obyektif adalah suatu keharusan.



3. Keterlambatan dalam pengukuran hasil kerja Dalam banyak pekerjaan, terutama posisi kerah putih, pekerja dihadapkan dengan berbagai tugas. Beberapa tugas melihat hasil langsung, sedangkan dengan yang lain, hasilnya mungkin tidak diamati untuk waktu yang lama. Masalah terjadi ketika



manajemen



menginginkan



penilaian



berkala



atas



kinerja



pekerja. Pekerja yang terlibat dalam kegiatan jangka panjang mungkin dirugikan jika dibandingkan dengan mereka yang terlibat dalam tugas "cepat dan kotor", terutama jika metode penilaian kinerja yang ada tidak memperhitungkan kinerja 21



pada tugas jangka panjang. Ini berarti bahwa pekerja dihadapkan dengan pekerjaan jangka panjang dapat dihadapkan pada dua pilihan: memfokuskan energi mereka pada tugas jangka pendek atau terlibat dalam perilaku politik untuk meyakinkan manajemen bahwa mereka memang pekerja yang baik. Kedua kasus dapat menjadi disfungsional bagi organisasi, karena mengarahkan upaya menjauh dari tugas jangka panjang, yang seringkali sangat penting bagi organisasi.



4. Kompensasi untuk ketidakcukupan Ketika pekerjaan ambigu dan pekerja tidak tahu bagaimana cara melakukannya dengan benar , ada potensi perilaku politik yang disfungsional ketika para pekerja berusaha



melihat



seolah-olah



mereka tahu



apa



yang



mereka



lakukan. Mendefinisikan pekerjaan dan prosedur kerja secara jelas dan secara efektif mengarahkan karyawan baru menghilangkan sebagian besar masalah dan mengurangi kemungkinan



bahwa



pekerja



akan



terlibat



dalam



perilaku



politik



untuk mengkompensasi kebingungan atau kurangnya pelatihan. Menurut salah satu teori manajemen, ada kecenderungan bagi anggota dalam hirarki organisasi untuk terus menerus dipromosikan ke atas, sampai mereka mencapai tingkat di mana mereka melampaui kemampuan mereka untuk melakukan pekerjaan dengan baik. Ini telah diberi label "Peter principle" (Peter & Hull , 1969), yang pada dasarnya menyatakan bahwa karyawan pada akhirnya akan naik ke tingkat ketidakmampuan mereka. Jika ini benar — dan mungkin lebih benar bagi sebagian karyawan daripada yang lain — maka pekerja yang “memuncak” ini harus terlibat dalam politik organisasi untuk mempertahankan posisi mereka dan untuk membuat kemajuan lebih jauh ke atas. Praktik ini jelas sangat disfungsional bagi organisasi. Dalam



kasus



tertentu,



pekerja



dapat



terlibat



dalam



politik



untuk



menutupi ketidakcukupan orang lain. Ini mungkin terjadi jika seorang pekerja, karena kasihan, membantu dan menutupi seseorang yang tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pekerjaan. Dalam kasus lain , bawahan dapat melindungi pemimpin yang tidak kompeten karena perasaan positif yang kuat untuk orang itu. Namun, menutupi seorang



pemimpin



yang



secara



sah



diserang



adalah bentuk



politik



yang



disfungsional. Meskipun bawahan mungkin merasa bahwa mereka setia kepada bos mereka, memiliki pemimpin yang buruk berbahaya bagi organisasi.



22



5. Kurangnya kerjasama dan saling ketergantungan Kelompok kerja yang tidak saling tergantung satu sama lain, yang tidak memiliki norma yang kuat untuk kerjasama , atau yang tidak mendukung satu sama lain cenderung terlibat dalam tingkat perilaku politik yang lebih besar daripada kelompok yang kooperatif, saling tergantung, dan mendukung. Politik hampir merupakan cara hidup ketika kelompok saling bergantung.



6. Peningkatan pengambilan keputusan kelompok Semakin banyak prosedur pengambilan keputusan kelompok digunakan dalam organisasi , semakin besar potensi politik. Pengambilan keputusan kelompok pada dasarnya adalah proses politik, dengan anggota melobi untuk tindakan tertentu dan terlibat dalam berbagai pertukaran bantuan dan dukungan untuk mendapatkan hasil tertentu. Sebagian besar, pengambilan keputusan kelompok, yang diatur dengan benar, mengarah pada hasil fungsional. Namun, jika prosesnya mulai terpecah sehingga keputusan yang berkualitas tinggi tidak diterima karena kecakapan dan kekuasaan



politik



lawan,



hasilnya



dapat



menjadi disfungsional. Secara



ekstrem, anggota kelompok dapat mulai memfokuskan lebih banyak energi ke dalam proses politik, mengabaikan implementasi keputusan, yang juga disfungsional.



e) Konsekuensi politik organisasi Politik organisasi dapat bersifat fungsional atau disfungsional, yaitu baik membantu ataupun menghambat organisasi dalam mencapai tujuan yang terkait dengan koneksi kinerja antara politik, dan produktivitas tidak langsung. Jika terlalu banyak politik disfungsional yang terjadi dalam suatu organisasi, maka akan terjadi efek negatif pada produktivitas kelompok kerja. Karyawan mungkin menghabiskan banyak waktu untuk berpolitik dan menghabiskan sedikit waktu untuk melakukan pekerjaan mereka. Namun, setidaknya dalam satu studi menunjukkan bahwa politik organisasi secara positif terkait dengan kinerja kerja, jika pekerja dan pengawas memiliki tujuan yang sama (Witt, 1998). Hubungan antara politik organisasi dan kepuasan kerja sedikit lebih jelas, dalam sebuah penelitian telah menunjukkan hubungan yang konsisten antara perilaku positif dan kepuasan kerja. Selain itu, politik organisasi juga berhubungan negatif dengan komitmen organisasi dan perilaku kewargaan organisasional.



23



f) Mengelola Politik Organisasi Politik dapat dirangsang oleh sejumlah faktor dalam organisasi kerja, dan juga memiliki beberapa bentuk perilaku politik. Bagaimana mengelola politik organisasi ? Langkah pertama adalah mengetahui kapan hal itu terjadi. Yaitu mempelajari penyebab perilaku politik, khususnya faktor-faktor yang cenderung mengarah pada perilaku politik yang disfungsional, seperti ukuran kinerja yang tidak sesuai, deskripsi dan prosedur pekerjaan yang tidak memadai, atau pelatihan yang buruk untuk karyawan baru, hal ini dapat membantu memastikan bahwa kondisi tersebut tidak terlalu banyak mendorong politik tingkah laku. Di sisi lain, sejumlah politik tertentu terjadi secara alami dan bahkan dapat menyebabkan hasil yang fungsional bagi organisasi. Proses pengambilan keputusan kelompok, kritik pekerja terhadap prosedur kerja yang ditetapkan, saran alternatif untuk perbaikan, dan persaingan di antara pekerja dapat menghasilkan perilaku politik fungsional dan meningkatnya hasil organisasi. Lima strategi untuk mengelola politik organisasi (Mayes, 1995): 1) Hapus ambiguitas dan ketidakpastian Deskripsi manual dan prosedur pekerjaan tertulis dapat membantu memperjelas pekerjaan dan prosedur organisasi dan juga membantu menghilangkan beberapa politisasi yang disfungsional. 2) Menyediakan sumber daya "kendur" Dengan memberi manajer sedikit lebih banyak dari sumber daya minimal ,berarti mereka tidak harus mencari bantuan politik untuk memenuhi tujuannya. 3) Menciptakan iklim organisasi yang positif dan etis Dari tingkat atas sampai ke tingkat bawah organisasi, eksekutif dan manajer harus mendorong iklim yang mencegah perilaku politik negatif. Jika manajemen tingkat atas terlibat dalam perilaku politik yang disfungsional, pekerja tingkat bawah akan mengikuti contoh mereka, dan begitupun sebaliknya. 4) Mengklarifikasi proses seleksi dan penilaian personel Semua keputusan personil harus dibuat tanpa politik. 5) Hadiahi kinerja, bukan politik 24



Pekerja seharusnya tidak dapat berhasil dalam organisasi melalui politik saja.



E. Pendekatan Kontingensi terhadap Kekuatan Organisasi dan Politik Penggunaan dan efektivitas kekuatan organisasi dan politik tergantung pada sejumlah faktor. Individu memiliki kecenderungan, kemampuan, dan kemauan yang berbeda untuk menggunakan kekuasaan dan politik.(mis., Kirchmeyer, 1990). Kita juga tahu bahwa kemampuan untuk menggunakan kekuatan secara efektif terkait dengan karakteristik mereka, menjadi subyek dari permainan kekuasaan (Yukl, Guinan, & Sottolano, 1995). Selain itu, organisasi dan kelompok kerja memiliki perbedaan dalam hal sejauh mana mereka mengizinkan jenis kekuatan dan manuver politik tertentu oleh anggota (mis., Near, Dworkin, & Miceli, 1993). Semua ini menunjukkan bahwa kekuasaan dan politik dalam organisasi kerja adalah fenomena yang sangat kompleks yang paling baik dijelaskan dan dipahami melalui pendekatan kontingensi, yang melihat interaksi karakteristik individu atau kelompok dan faktor-faktor yang berkaitan dengan situasi di mana individu atau kelompok berperilaku. Para peneliti telah berupaya untuk menempatkan kekuasaan dan politik ke dalam kerangka kerja darurat. Gray dan Ariss (1985) mengusulkan bahwa politik berbeda-beda di setiap tahapan "siklus hidup" organisasi. Artinya, perilaku politik yang diamati dalam organisasi yang sangat baru (disebut "tahap kelahiran dan pertumbuhan awal") sangat berbeda dengan yang terjadi dalam organisasi yang lebih "dewasa," didirikan. Menurut model ini, perilaku politik yang tepat sangat penting untuk keberhasilan dalam mengelola organisasi secara efektif. Manajer harus dapat menyesuaikan strategi politik dengan strategi yang sesuai dengan organisasi dan tahap siklus hidupnya ( Mintzberg, 1984; Salancik & Pfeffer, 1977). Misalnya, pada tahap paling awal dari suatu organisasi, manajer sebenarnya adalah pengusaha yang mendirikan organisasi. Pada titik ini, manajer harus menggunakan kekuatan absolut, mengendalikan dan mendistribusikan sumber daya sesuai keinginan manajer. Pengusaha-manajer juga mengontrol kekuatan pengambilan keputusan dan menyelaraskan tujuan organisasi dengan kepentingan manajer sendiri. Dengan kata lain, organisasi diciptakan menurut citra dan rupa manajer. Ketika organisasi bergerak menuju kedewasaan, manajer akan beralih ke lebih dari "strategi tawar-menawar" politik untuk bertukar sumber daya untuk bantuan.



25



faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam model kekuasaan episodic cobb Agen 1. orientasi psikologis (motivasi) 2. keerampilan politik 3. Basis kekuatan pribadi



Konteks situasional Target 1. organisasi formal 1. kesiapan untuk bertindak 2. organisasi informal 2. kemampuan untuk bertindak



3. kombinasi



Dalam pendekatan kontingensi lain, Cobb (1984) mengusulkan "model daya episodik" yang meneliti episode daya, atau penggunaan daya dalam pengaturan kerja actual seperti gambar diatas. Model episodik mencakup pertimbangan aspek berolahraga, atau agen, kekuasaan dan subjek, atau target, serta unsur-unsur situasi kekuasaan. Misalnya, dalam mencoba memahami penggunaan daya, model ini melihat tiga faktor yang terkait dengan agen daya. Yang pertama, orientasi psikologis, adalah motivasi untuk menggunakan kekuatan. Yang kedua, keterampilan politik, adalah pemahaman agen tentang politik organisasi dan kemampuannya untuk bertindak secara politis. Terakhir , basis kekuatan pribadi yaitu jumlah dan jenis kekuatan yang dimiliki seseorang. Model ini juga mempertimbangkan dua faktor yang terkait dengan target kekuasaan: kesiapan untuk bertindak dan kemampuan untuk bertindak. Kesiapan didefinisikan sebagai sejauh mana target cenderung untuk bertindak dengan cara yang konsisten dengan keinginan agen. Kemampuan adalah apakah target memang dapat melakukan tindakan yang diinginkan agen. Akhirnya, model ini melihat situasi kekuasaan, memeriksa apakah "episode kekuasaan" terjadi dalam konteks organisasi formal, organisasi informal, atau keduanya. Jika episode kekuasaan adalah situasi formal, kekuasaan dan otoritas agen yang sah kemungkinan akan memainkan peran yang lebih besar 26



dalam mempengaruhi target daripada keterampilan politik agen tersebut. Namun, jika situasinya informal, keterampilan pengaruh agen mungkin lebih penting daripada basis kekuatan yang sah. Model ini berupaya untuk mengintegrasikan penelitian yang tersebar tentang kekuasaan dalam organisasi untuk menawarkan pendekatan yang luas dan kompleks untuk memahami dinamika kekuasaan.



27



BAB III Pentup A. Kesimpulan Pengaruh, kekuasaan, dan politik adalah proses penting dalam kelompok kerja dan organisasi. Pengaruh adalah penggunaan strategi sosial informal untuk membuat orang lain melakukan tindakan tertentu. Kekuasaan adalah penggunaan beberapa aspek hubungan sosial untik memaksa orang lain melakukan suatu tindakan meskipun ada perlawanan. Politik organisasi adalah penggunaan kekuatan untuk mecapai tujuan yang egois, atau mementingkan diri sendiri. Ada lima basis kekuatan utama, atau sumber-sumber kekuatan: kekuatan koersif, yang melibatkan penggunaan atau ancaman hukuman;



kekuatan hadiah, yang merupakan



kemampuan untuk memberikan imbalan organisasi kepada orang lain; kekuasaan yang sah, yang melibatkan hak dan wewenang formal yang menyertai suatu posisi; kekuatan pakar, yang berasal dari pengetahuan, keterampilan, atau keahlian terkait pekerjaan seseorang; dan kekuatan referensi, yang berasal dari fakta bahwa seorang individu dihormati dan dikagumi oleh orang lain. Perilaku politik organisasi dapat dibagi menjadi dua kategori.



Pertama, politik



fungsional, adalah perilaku politik dari anggota organisasi yang membantu organisasi mencapai tujuannya. Yang kedua, politik yang disfungsional, yaitu menghambat pencapaian tujuan organisasi.



28



DAFTAR PUSTAKA Riggio, Ronald E.. 2018. Introduction to industrial/organizational psychology Seventh Edition. Routledge: New York.



29