Kelompok 1B - Makalah Daging Segar [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN BAHAN PANGAN PENYIMPANAN DAN PENGEMASAN DAGING SEGAR DAN PRODUK OLAHANNYA



Disusun oleh: Alnadia Yusriya Hibatullah Rahma Khairunnisa Sadely Nashilla Maulidina Azhar Ratna Ashifa Putri Muhammad Tsabit W



(240210160082) (240210160088) (240210160100) (240210160106) (240210160109)



UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PANGAN JATINANGOR, SUMEDANG 2019



i



KATA PENGANTAR



Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas karunia-Nya penulis bisa menyusun sebuah makalah yang berjudul "Penyimpanan dan pengemasan daging segar dan produk olahannya" dengan lancar. Tujuan penulisan makalah dengan judul "Penyimpanan dan pengemasan daging segar dan produk olahannya" ini untuk memenuhi tugas kelompok dalam mata kuliah Pengemasan dan Penyimpanan Bahan Pangan. Makalah ini membahas mengenai kemasan yang sesuai terhadap daging segar dan produk olahannya. Semoga makalah yang kami selesaikan ini memberi banyak manfaat dan semakin menambah pengetahuan serta bisa menjadi bahan pembelajaran baik oleh dosen maupun mahasiswa. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak hal yang mesti diperbaiki oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis butuhkan untuk menjadi bahan introspeksi serta masukan agar penulis dapat melakukan perbaikan di kemudian hari.



Jatinangor, 24 Mei 2019



Penulis



ii



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ........................................................................................................ ii



BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. iii 1.1



Latar Belakang......................................................................................................... 1



1.2



Rumusan Masalah ................................................................................................... 2



1.3



Tujuan ...................................................................................................................... 2



BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 3 2.1



Daging ..................................................................................................................... 3



2.2



Karakteristik Daging ............................................................................................... 4



2.3



Kerusakan pada Daging ........................................................................................... 8



2.3.1 Bakteri pada Daging ................................................................................................ 9 2.3.2 Kontaminasi ........................................................................................................... 10 2.3.2.1 Faktor yang Mempengaruhi Kontaminasi Mikroba .............................................. 10 2.3.2.2 Tipe Mikroba Kontaminan .................................................................................... 11 2.3.3 Kerusakan Daging ................................................................................................. 12 2.3.3.1 Daging Mentah...................................................................................................... 13 2.3.3.2 Daging dalam Kemasan ........................................................................................ 16 2.3.3.3 Produk Daging ...................................................................................................... 17 2.4



Produk Olahan Daging Segar ................................................................................ 17



2.4.1 Abon ...................................................................................................................... 17 2.4.2 Sosis....................................................................................................................... 18 2.4.3 Bakso Daging ........................................................................................................ 19 2.4.3.1 Bahan Bakso dan Peranannya ............................................................................... 20 2.4.3.2 Pembuatan Bakso .................................................................................................. 22 2.4.4 Sosis....................................................................................................................... 23 2.4.4.1 Bahan Sosis dan Peranannya................................................................................. 23 2.4.4.2 Pembuatan Sosis ................................................................................................... 25 2.5



Pengemasan Daging Segar dan Produk Olahannya ............................................... 26



2.6



Penyimpanan Daging Segar dan Produk Olahannya ............................................. 27



BAB III PENUTUP ......................................................................................................... 30 3.1



Kesimpulan ............................................................................................................ 30



DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 31



iii



BAB I PENDAHULUAN



1.1



Latar Belakang Daging merupakan bahan pangan yang sering dikonsumsi oleh masyarakat.



Daging adalah bahan pangan yang sangat bermanfaat bagi manusia karena banyak mengandung zat – zat makanan yang dibutuhkan oleh manusia. Zat – zat makanan tersebut adalah protein, karbohidrat, lemak, mineral, vitamin dan air. Kandungan nutrisi yang baik pada daging mengakibatkan daging mudah mengalami kerusakan. Hal ini dikarenakan kandungan nutrisi pada daging merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme. Keberadaan mikroorganisme dalam daging dapat menyebabkan hal – hal yang tidak diinginkan seperti perubahan karakteristik – karakteristik daging sehingga daging tidak layak untuk dikonsumsi. Karakteristik daging yang mudah rusak perlu dicegah dengan penyimpanan dan pengemasan yang baik pada daging sehingga daging terhindar dari kerusakan. Pengolahan pada daging juga dapat memperpanjang umur simpan daging. Daging dapat diolah menjadi berbagai macam produk seperti sosis, bakso, abon, dendeng, dan produk – produk lainnya. Pengemasan makanan merupakan hal penting untuk melindungi bahan makanan dari kerusakan. Pengemasan daging segar terutama ditujukan untuk mencegah dehidrasi, mencegah masuknya bau dan rasa asing dari luar kemasan, dan mencegah kontaminasi mikrooganisme tetapi dapat melewatkan oksigen seperlunya ke dalam kemasan sehingga warna merah cerah pada daging dapat dipertahankan. Oksigen yang masuk perlu diperhatikan karena dapat menyebabkan ketengikaSn lemak dan oksidasasi pada daging. Kemasan makanan di masa modern sudah berkembang dengan pesat menuju kemasan praktis yang memudahkan konsumen. Berbagai kemasan yang banyak dijumpai di pasaran antara lain karton, aluminium, kaca (botol), dan plastik. Belakangan ini, hampir semua bahan pengemas makanan terbuat dari plastik. Kemasan pada daging pun biasanya menggunakan bahan plastik. Pengemas daging dapat berupa piastik yang memiliki permeabilitas terhadap oksigen yang tinggi yaitu lebih besar dari 200 ml oksigen/100 sq.inch/24 jam/atm (Suradi, 2005).



1



Selain kemasan pencegahan kerusakan daging dapat dilakukan dengan kondisi penyimpanan yang baik pada daging. Kerusakan daging dapat dicegah dengan menyimpannya pada suhu rendah. Suhu rendah digunakan untuk memperlambat kecepatan pencemaran mikroba dari awal hingga terjadi kerusakan. Daging dan ikan dapat disimpan dengan menggunakan teknik suhu rendah yakni pendinginan dan pembekuan. Penggunaan teknik pendinginan dengan suhu sedikit diatas 0°C, memungkinkan bahan makanan dapat disimpan selama beberapa hari sampai beberapa minggu tergantung jenis makanan, suhu dan teknik penyimpanan. Pada teknik pembekuan dimana suhu dibawah 0°C, umumnya sekitar – 18°C, bahan makanan/daging dapat disimpan selama beberapa bulan, bahkan daging dapat disimpan sampai beberapa tahun pada suhu – 30°C (Abustam, 2005). Kerusakan yang sering terjadi pada daging mengharuskan produsen dan distributor daging baik daging segar dan produk olahannya memerhatikan kondisi penyimpanan dan pengemasan pada daging sehingga kualitas daging tetap terjaga sampai diterima oleh konsumen.



1.2



Rumusan Masalah Rumusan masalah dari makalah ini adalah : 1. Bagaimana karakteristik daging? 2. Produk apa saja yang dapat dibuat dengan berbahan dasar daging? 3. Apa saja jenis kerusakan pada daging dan bagaimana mekanisme kerusakan pada daging? 4. Bagaimana kondisi penyimpanan dan pengemasan yang baik pada daging?



1.3



Tujuan Tujuan dari makalah ini adalah : 1. Mengetahui karakteristik – karakteristik yang terdapat pada daging. 2. Mengetahui produk – produk olahan berbahan dasar daging. 3. Mengidentifikasi kerusakan yang dapat terjadi pada daging. 4. Mengidentifikasi bagaimana penyimpanan dan pengemasan yang baik pada daging.



2



BAB II PEMBAHASAN



2.1



Daging Daging merupakan salah satu komoditas pertanian yang mengandung



protein bermutu tinggi. Protein dari daging mampu menyumbangkan asam amino esensial yang lengkap. Menurut Soputan (2004), daging didefinisikan sebagai bagian dari hewan potong yang digunakan manusia sebagai bahan makanan, selain mempunyai penampakan yang menarik selera, juga merupakan sumber protein hewani berkualitas tinggi. Daging adalah seluruh bagian dari ternak yang sudah dipotong dari tubuh ternak kecuali tanduk, kuku, tulang dan bulunya. Dengan demikian hati, limpa, otak, dan isi perut seperti usus juga termasuk daging. Soputan (2004) menyatakan bahwa jaringan otot, jaringan lemak, jaringan ikat, tulang dan tulang rawan merupakan komponen fisik utama daging. Jaringan otot terdiri dari jaringan otot bergaris melintang, jaringan otot licin, dan jaringan otot spesial. Sedangkan jaringan lemak pada daging dibedakan menurut lokasinya, yaitu lemak subkutan, lemak intermuskular, lemak intramuskular, dan lemak intraselular. Jaringan ikat yang penting adalah serabut kolagen, serabut elastin, dan serabut retikulin. Secara garis besar struktur daging terdiri atas satu atau lebih tot yang masing-masing disusun oleh banyak kumpulan otot, maka serabut otot merupakan unit dasar struktur daging. Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Berdasarkan keadaan fisik, daging dapat dikelompokkan menjadi: (1) daging segar yang dilayukan atau tanpa pelayuan, (2) daging segar yang dilayukan kemudian didinginkan (daging dingin), (3) daging segar yang dilayukan, didinginkan kemudian dibeku (daging beku), (4) daging masak, (5) daging asap, (6) daging olahan (Soeparno, 2015). Daging yang umum diolah dan dikonsumsi sehari-hari di Indonesia adalah daging sapi. Daging sapi memiliki warna merah terang, mengkilap, dan tidak pucat. Secara fisik daging elastis, sedikit kaku dan tidak lembek. Jika dipegang masih terasa basah dan tidak lengket di tangan. Dari segi aroma, daging sapi sangat khas



3



(gurih) (Usmiati, 2010). Sapi pedaging dapat dibedakan dari jenis kelamin dan mur, dimana dengan perbedaan tersebut akan membedakan mutu dari daging sapi. Pada saat hewan dipotong akan diperoleh karkas dan non karkas. Dari seekor sapi yang beratnya 500 kg, akan diperoleh 350 kg karkas dan 270 kg daging (Susilawati, 2001). Komposisi daging menurut Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1981) dalam Soputan (2004), dalam 100 gram daging dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi daging sapi tiap 100 gram bahan Komponen



Jumlah



Kalori (kal)



207,00



Protein (g)



18,00



Lemak (g)



14,00



Karbohidrat (g)



0



Kalsium (mg)



11,00



Fosfor (mg)



170,00



Besi (mg)



2,80



Vitamin A (SI)



30,00



Vitamin B1 (mg)



0,08



Vitamin C (mg)



0



Air (g) 66,00 Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1981) dalam Soputan (2004)



2.2



Karakteristik Daging Daging tersusun dari jaringan ikat, epitelial, jaringan – jaringan saraf,



pembuluh darah dan lemak. Jumlah jaringan ikat berbeda diantara otot, jaringan ikat berhubungan dengan kealotan daging. Otot skeletal merupakan sumber utama jaringan otot daging. Otot skeletal mengandung sekitar 75 % air dengan kisaran 6880%, protein sekitar 19%, substansi-substansi non protein yang larut 3.5 % serta lemak sekitar 2.5 % (Forrest et al., 1975 dan Lawrie, 1979 dalam Soeparno, 2005). Sedangkan menurut Winarno (1997) dan Burhan (2003) komponen terbesar dari daging adalah air (65-80%) kemudian protein yang merupakan komponen terbesar dari berat kering (16-22%), lemak (1.3-13%), karbohidrat (0.5-1.3%) dan mineral (1%).



4



Tabel 2. Komposisi Kimiawi Daging Sapi



(Sumber: Muchtadi, 2007) Protein yang ada dalam urat daging secara umum dapat dibagi menjadi sarkoplasma (larut dalam air dan garam encer, miofibril (larut dalam larutan garam pekat) dan protein yang tidak larut dalam larutan garam pekat. Menurut Winarno (1999), lemak sapi separuhnya terdiri dari monounsaturated atau lemak tak jenuh tunggal tetapi sisa seluruhnya terdiri atas lemak jenuh sehingga bersifat kurang baik. Daging merupakan sumber utama untuk mendapatkan asam amino esensial. Asam amino esensial terpenting di dalam otot segar adalah alanin, glisin, asam glutamat, dan histidin. Daging sapi mengandung asam amino leusin, lisin, dan valin yang lebih tinggi daripada daging babi atau domba. Pemanasan dapat mempengaruhi kandungan protein daging. Daging sapi yang dipanaskan pada suhu 70oC akan mengalami pengurangan jumlah lisin menjadi 90%, sedangkan pemanasan pada suhu 160oC akan menurunkan jumlah lisin hingga 50%, pengasapan dan penggaraman sedikit mengurangi kadar asam amino (Lawrie, 2003). Karakteristik daging yang diatur oleh SNI 3932:2008 meliputi mutu fisik dan mutu mikrobiologis. Mutu fisik terdiri dari warna daging, warna lemak, marbling, dan tekstur. Sedangkan mutu mikrobiologis mempertimbangkan Total Plate Count (TPC), coliform, Staphylococcus aureus, Salmonella sp., dan



5



Escherichia coli. Berikut ini adalah persyaratan mutu fisik dan mikrobiologis pada daging. Tabel 3. Tingkatan Mutu Daging (Mutu Fisik)



(Sumber: SNI 3932:2008) Tabel 4. Syarat Mutu Mikrobiologis Daging Sapi



(Sumber: SNI 3932:2008) Warna menjadi salah satu karakteristik yang cukup diperhatikan untuk menentukan kualitas daging. Menurut Natasasmita dkk. (1987), daging sapi berwarna cerah dan merah ceri atau merah muda kecoklatan pada karkas sapi muda. Perubahan warna terjadi karena terjadinya perubahan status ion besi dalam pigmen daging (myoglobin). Jika terjadi oksidasi maka ion ferro akan berubah menjadi ion ferri dan warna daging akan menjadi coklat karena terbentuk metmyoglobin. Dalam keadaan oksigen berlebih (daging dibiarkan terbuka), maka terjadi oksigenasi dan warna daging menjadi merah cerah karena terbentuk oksimyoglobin. Menurut Winarno (1973) myoglobin yang memberikan warna merah pada daging. Soeparno (1998) menyebutkan warna normal daging segar dengan adanya oksigen adalah merah terang, karena oksimioglobin mendominasi permukaan daging. Menurut Taylor (1984) dalam Suryati dan Maheswari (2006), pigmen yang memberikan warna pada daging adalah struktur hem. Hem ini berkombinasi dengan protein membentuk hemoglobin dan mioglobin. Munculnya warna merah cerah pada daging disebabkan oleh adanya ikatan oksigen pada atom besi (Fe2+) pada struktur molekul mioglobin.



6



Gambar 1. Standar Warna Karkas Sapi (Sumber: SNI 3932:2008) Perubahan warna daging cerah atau gelap saat direbus tergantung pada suhu interior daging. Daging yang dimasak pada suhu 140oF tidak akan mengubah warna mioglobin, namun lebih dari suhu tersebut akan menyebabkan mioglobin kehilangan kemampuannya dalam mengikat oksigen dan struktur molekul atom besi di bagian tengah akan kehilangan elektron. Proses tersebut mengakibatkan warna kecoklatan yang disebut hemichrome yang merupakan warna tengah pada daging. Ketika bagian dalam daging mencapai suhu 170oF, kadar hemichrome akan meningkat dan mioglobin menjadi metmioglobin yang memberikan warna daging matang menjadi abu – abu. Thohari dkk. (2017) menyatakan bahwa identifikasi visual pada kualitas daging didasarkan pada warna, marbling, dan kapasitas air yang terkandung. Marbling merupakan goresan lemak yang ditemukan di dalam otot dan dapat dilihat pada daging yang telah dipotong. Marbling memberikan pengaruh yang



7



menguntungkan pada juiciness dan rasa daging. Daging harus memiliki warna normal yang seragam di sepanjang potongan penuh. Daging sapi, domba, dan babi juga harus memiliki marbling di seluruh bagian daging. Berikut adalah standar marbling yang diatur oleh SNI 3932:2008.



Gambar 2. Standar Marbling (Sumber: SNI 3932:2008) Keempukan dan tekstur daging dapat dipengaruhi oleh faktor – faktor, yaitu status kontraksi dan struktur miofibril, jaringan ikat, WHC protein daging, dan juiciness pada daging. Tekstur mengacu pada ukuran ikatan serabut otot dengan dibatas septum jaringan ikat, membagi otot secara longitudinal. Tekstur otot terdiri dari kasar dan halus (Thohari dkk., 2017).



2.3



Kerusakan pada Daging Karkas yang dihasilkan dari hewan yang disembelih membutuhkan waktu



sampai rigor mortis berakhir sehingga daging menjadi lembut. Beberapa hal yang 8



terjadi selama rigor mortis setelah penyembelihan hewan adalah sebagai berikut : (i) Kemampuan untuk mensintesis ATP menghilang, otot kekurangan ATP sehingga terbentuk kombinasi dari aktin dan miosin membentuk aktomiosin menyebabkan pengkakuan otot. (ii) Suplai oksigen gagal yang menghasilkan reduksi pada potensial oksidasi – reduksi. (iii) Kehilangan vitamin dan antioksidan menyebabkan pelambatan dalam pembentukan ketengikan. (iv) Bagian sistem saraf dan sistem hormon menghilang dan menyebabkan reduksi dari suhu dari karkas dan pemadatan lemak. (v) Respirasi terhenti. (vi) Glikolisis dimulai, menghasilkan konversi dari sebagian besar glikogen menjadi asam laktat, yang mereduksi pH dari 7.2 menjadi 5.7; pH rendah mendenaturasi protein dan mengindikasikan akhir dari rigor mortis. (vii) Akhir dari sistem retikloendotelial Proses ini membutuhkan 5 hari pada suhu 13oC, 2 hari pada 18oC dan 24 – 36 jam sampai 29oC. Daging mudah ditumbuhi mikroba karena mengandung jumlah nutrien yang baik



untuk



pertumbuhan bakteri, khamir dan kapang. Kerusakan dideskripsikan dengan perubahan sensori yang menyebabkan produk tidak dapat diterima oleh konsumen. Kerusakan dapat menyebabkan perubahan warna, perubahan tekstur, timbulnya off – flavors dan off – odors, slime atau karakteristik lainnya (Erkmen dan Bozoglu, 2016). 2.3.1



Bakteri Pada Daging Jaringan otot yang dapat dimakan dari hewan sehat adalah steril.



Mikroorganisme biasanya mencemari daging selama pemrosesan. Kerusakan daging dan unggas pada umumnya terjadi karena tumbuhnya bakteri. Pertumbuhan bakteri pada permukaan daging melibatkan dua tahap. Tahap pertama adalah sorpsi reversibel lemah yang mungkin terkait dengan kekuatan van der Waals atau faktor fisikokimia lainnya. Tahap kedua terdiri dari pertumbuhan ireversibel pada permukaan yang melibatkan produksi ekstraseluler polisakarida. Kemampuan untuk



melekat,



karakteristik



permukaan



daging,



fase



pertumbuhan



mikroorganisme, flora mikroba daging, suhu, dan motilitas mikroorganisne dapat memengaruhi perlekatan bakteri dengan permukaan daging. Salah satunya adalah Pseudomonas spp. yang menempel lebih cepat dengan permukaan daging daripada beberapa jenis pembusuk lainnya bakteri (Erkmen dan Bozoglu, 2016).



9



2.3.2



Kontaminasi



2.3.2.1 Faktor yang Mempengaruhi Kontaminasi Mikroba Daging post-rigor kaya akan senyawa nitrogen non protein (NPN) (sekitar 13 mg/g ; asam amino dan kreatin), peptida, protein, dan karbohidrat (sekitar 1,3 mg/g ; glikogen dan glukosa) dengan pH sekitar 5,7 dan aw > 0,97. Faktor-faktor yang mempengaruhi kontaminasi daging oleh mikroorganisme adalah sebagai berikut : (i) Flora bakteri pada hewan. (ii) Kondisi fisiologis hewan sesaat sebelum disembelih. Jika hewan itu terlalu aktif atau terlalu lelah, bakteri mudah masuk ke dalam jaringan dan menyebar. Mikroorganisme menyebabkan perubahan kimia dalam jaringan karena glikogen digunakan saat kelelahan dan pH tidak akan turun selama rigor mortis. (iii) Metode penyembelihan dan pendarahan. Sanitasi yang lebih baik meningkatkan kualitas daging. (iv) Cedera saat dehairing. Bakteri dapat masuk ke jaringan melalui cedera. (v) Tingkat pendinginan karkas. Pendinginan yang cepat akan mencegah pertumbuhan mikroba. (vi) Memperluas permukaan daging. Grinding dapat memperluas permukaan dan mendorong pertumbuhan mikroba. (vii) Sifat kimiawi daging. Kelembaban yang rendah memungkinkan tumbuhnya jamur dan ragi. Kelembaban tinggi mendukung pertumbuhan bakteri. Jumlah atau tidak adanya karbohidrat yang dapat difermentasi dan kandungan protein yang tinggi cenderung mendukung pertumbuhan mikroorganisme non fermentasi. Nilai pH tinggi mendukung pertumbuhan mikroba. (viii) Ketersediaan oksigen. Kondisi aerobik pada permukaan daging menguntungkan untuk pertumbuhan jamur, ragi, dan bakteri aerob. (ix) Temperatur. Ketika daging disimpan di atas titik beku, jamur, ragi dan bakteri psikrotrofik tumbuh perlahan dan menyebabkan penyimpangan karakteristik. (x) Kontaminasi. Kesehatan Hewan, kebiasaan kerja, dan kebersihan pribadi; tingkat sanitasi dalam operasi selama penyembelihan dan pemotongan karkas; kontak daging dengan kotoran, kulit, kuku dan rambut; sanitasi pisau; dan operasi skinning mempengaruhi tingkat kontaminasi daging oleh mikroorganisme. Jenis dan jumlah mikroba pada daging dapat dipengaruhi oleh kondisi penyembelihan hewan. Jika ada kekurangan glikogen di otot atau jaringan pada saat penyembelihan, asam laktat sedikit diproduksi dan pH tidak turun sangat besar. Daging dengan karakteristik gelap, padat, dan kering mengandung air dan pH



10



relatif tinggi yang dapat memungkinkan pertumbuhan mikroba dengan pemanfaatan asam amino. Hal ini dapat menyebabkan bau dan rasa yang menyimpang (Erkmen dan Bozoglu, 2016).



2.3.2.2 Tipe Mikroba Kontaminan Jaringan bagian dalam dari hewan-hewan sehat umumnya steril. Mikrobiologi karkas daging sangat tergantung pada kondisi hewan dipelihara, disembelih, dan diproses. Dengan demikian, keadaan fisiologis hewan saat pemotongan, penyebaran mikroorganisme selama pemotongan dan pemrosesan, suhu, dan kondisi penyimpanan dan distribusi lainnya adalah faktor penting yang menentukan kualitas mikrobiologis daging. Ketika hewan mati, dinding usus dan jaringan lendir lainnya bisa kehilangan resistensi terhadap populasi bakteri. Kontaminasi utama daging oleh mikroorganisme terjadi setelah karkas hewan dibuka. Bakteri mungkin mencemari saluran usus, kelenjar getah bening, dan kulit binatang; tinja; tempat penyimpanan; pisau pemotong; pakaian dan tangan pekerja; tanah; air; udara; dan sejenisnya. Sebagian besar kontaminasi terjadi selama perdarahan dan pemotongan karkas hewan. Daging segar dapat mengandung bakteri yang berbeda termasuk spesies Acinetobacter,



Aeromonas,



Alcaligenes,



Alteromonas,



Brochothrix,



Carnobacterium, Escherichia, Enterobacter, Enterococcus, Flavobacterium, Hafnia,



Lactobacillus,



Leuconostoc,



Micrococcus,



Moraxella,



Proteus,



Pseudomonas, Sarcina, Serratia, Shewanella, dan Streptococcus serta ragi. Spesies mikroba patogen yang mencemari daging dari saluran pencernaan adalah Salmonella enteric strain, Yersinia enterocolitica, Campylobacter jejuni, Aeromonas hydrophila, Listeria monocytogenes, dan Escherichia coli. Flora normal yang mengkontaminasi daging dari kelenjar getah bening hewan yang adalah



Staphylococcus,



Streptococcus,



Clostridium,



dan



Salmonella.



Mikroorganisme yang mengkontaminasi dari kulit binatang termasuk bakteri (seperti Staphylococcus, Micrococcus, dan Pseudomonas), ragi, dan kapang. Mikroorganisme juga dapat mencemari tinja dan tanah. Banyak mikroorganisme kontaminan dapat berkembang biak pada penyimpanan suhu dingin. Bakteri penting yang terkait dengan daging dingin



11



adalah Acinetobacter, Moraxella, Pseudomonas, Aeromonas, Alcaligenes, dan Micrococcus; jenis Alternaria, Cladosporium, Geotrichum, Mucor, Monilia, Penicillium, Sporotrichum, dan Thamnidium; dan genus ragi Candida, Torulopsis, Debaryomyces, dan Rhodotorula. Penyimpanan lama daging pada suhu dingin dapat menyebabkan meningkatnya jumlah mikroorganisme psikrotrofik. Bakteri penting yang terkait dengan daging olahan dengan proses curing adalah bakteri asam laktat (BAL), Acinetobacter, Bacillus, Micrococcus, Serratia, dan Staphylococcus; genus Aspergillus, Penicillium, Rhizopus, dan Thamnidium; dan genus ragi Candida, Debaryomyces, Torula, Torulopsis, dan Trichosporon. Selama pemotongan dan penyajian, kontaminasi pada makanan dapat berasal dari tangan, mesin pengiris, dan peralatan lainnya. Kebersihan yang tidak memadai dapat menyebabkan kontaminasi daging oleh mikroorganisme pembusuk. Selama pemrosesan produk daging, peralatan (seperti penggiling dan selongsong, bahan-bahan, dan pengisi) dapat menambah mikroorganisme yang tidak diinginkan. Di pasar, pisau, gergaji, parang, pemotong, penggiling, blok potong, timbangan, wadah, dan operator pasar dapat menambah mikroorganisme Di rumah, wadah kulkas yang digunakan sebelumnya untuk menyimpan daging dapat berfungsi sebagai sumber mikroorganisme pembusuk psikrotrofik. Penyimpanan dan distribusi daging dalam kantong kedap gas yang dikemas dengan vakum biasanya menyebabkan pertumbuhan Brochothrix thermosphacta dan bakteri asam laktat (kebanyakan Lactobacillus) (Erkmen dan Bozoglu, 2016).



2.3.3



Kerusakan Daging Jenis mikroba pembusuk pada daging dan produk daging terdapat pada



Tabel 5. Tabel 5. Jenis mikroba pembusuk dalam daging dan produk daging Daging dan Produk



Daging Segar (pada 4oC)



Perubahan



Mikroorganisme



Pembentukan slime di permukaan dan/atau off odor



Acinetobacter, Brochothrix, Leuconostoc, Pseudomonas



Bintik merah



Serratia marcescens



Warna biru



Pseudomonas syncyanea



Bintik hitam



P. expansum, P. asperulum



12



Daging dan Produk



Perubahan



Mikroorganisme



Slime, greening



Lactobacillus, Leuconostoc, Pseudomonas



Bone taint



Clostridium



Dark spot



Alternaria



Souring



Alcaligenes, Lactobacillus, Leuconostoc, Pseudomonas



Souring pada 0 - 11°C



Lactobacillus, Leuconostoc



Off - odor



Bakteri Asam Laktat



Souring pada 22°C



Microbacterium



Ham



Sosis



Slime permukaan Greening



Daging Matang



Souring



Lactobacillus, Brochothrix



Slime permukaan



Micrococcus



Off - odor



Flavobacterium



Warna biru



P. syncyanea, P. Spinulosum



Off - odor



Micrococcus, kapang, khamir



Souring



L. plantarum, L. Mesenteroides



Putrefaction, gas



Clostridium, Alcaligenes



Souring, off - odor



Alcaligenes, L. carnosus, L. gelidium, L. mesenteroides



Souring, off - odor



Leuconostoc, Lactobacillus



Daging Kering



Produk Pengasapan Daging dengan Pengemasan Vakum Daging Matang dengan Pengemasan Vakum Daging dengan Pengemasan MAP



Bacillus, Lactobacillus, Leuconoatoc Enterococcus, Lactobacillus, Leuconostoc, Pediococcus



Souring (Sumber : Erkmen dan Bozoglu, 2016).



B. thermosphacta



2.3.3.1 Daging Mentah •



Kerusakan Mikrobial Penyimpanan daging segar di lemari es (5°C) dapat terkontaminasi oleh



aerob psikrotrofik dan anaerob fakultatif. Pseudomonas spp. tumbuh pesat karena waktu generasi pendek, pertama menggunakan glukosa dan kemudian asam amino. Begitu karbohidrat sederhana telah habis, psikrotrof lainnya (seperti Aeromonas, Brochothrix, Shewanella putrefaciens, Acinetobacter, Alcaligenes, Moraxella, 13



Serratia, dan Enterobacter) mulai menggunakan asam amino bebas dan senyawa nitrogen sederhana terkait yang memproduksi metil sulfida, ester, dan asam. Kerusakan daging menyebabkan timbulnya bau tak sedap yang dikenal sebagai pembusukan. Pembusukan adalah dekomposisi anaerob protein. Proses ini menghasilkan senyawa yang berbau busuk, seperti H2S dari asam amino yang mengandung sulfur, merkaptan, indol, amonia, amina, dan NH3 dari asam amino. Slimeness muncul karena massa pertumbuhan bakteri dan pelunakan daging protein. Kerusakan daging ditandai dengan kenaikan pH, peningkatan jumlah bakteri, dan peningkatan kapasitas hidrasi protein daging. Souring daging anaerobik menghasilkan pembentukan formik, asetat, butirat, asam propionat, dan asam laktat. Lendir permukaan daging disebabkan oleh Acinetobacter, Alcaligenes, Bacillus, Leuconostoc, Moraxella, Micrococcus, Pseudomonas, dan Streptococcus; bintik merah oleh Serratia marcescens; warna biru oleh P. syncyanea, perubahan warna kuning oleh Flavobacterium; dan bintik kehijauan-biru atau hitam-kecoklatan oleh Chromobacterium, Lividum. Jamur mendominasi sebagai amikroorganisme pembusuk dalam daging yang dipotong ketika permukaan terlalu kering untuk pertumbuhan bakteri atau ketika daging sapi diperlakukan dengan antibiotik seperti tetrasiklin. Daging cincang dapat terkontaminasi oleh bakteri aerob (terutama Pseudomonas) lebih cepat daripada daging potong karena luas permukaan yang lebih besar. Awalnya di dalam daging memiliki kondisi mikroaerofilik dan kemudian berubah menjadi anaerob, dan pertumbuhan bakteri anaerob



akan



mendominasi. Memasak daging dapat mengurangi nutrisi untuk pertumbuhan mikroflora daging mentah. Mikroorganisme termodurik, seperti spora C. perfringens dan kontaminan B. cereus, biasanya akan berkurang. Penyimpanan yang tidak tepat setelah dimasak dapat memungkinkan pertumbuhan kontaminan tersebut (Erkmen dan Bozoglu, 2016). •



Kerusakan Kimiawi Ketengikan oksidatif lemak terjadi ketika asam lemak tak jenuh bereaksi



dengan oksigen. Ketengikan oksidatif menghasilkan senyawa yang stabil (seperti aldehida, keton, dan asam lemak rantai pendek) serta menghasilkan penyimpangan



14



rasa dan bau tengik. Autoksidasi terjadi pada daging yang disimpan dalam kondisi aerobik. Laju oksidasi tergantung pada proporsi asam lemak tak jenuh dalam lemak. Komponen fosfolipid dari membran jaringan dalam asam lemak tak jenuh yang rentan terhadap oksidasi. Mioglobin (warna merah keunguan) akan mengalami oksidasi untuk menghasilkan mioglobin coklat. Proses oksidasi lemak tak jenuh pada daging terjadi secara kimiawi di udara dan mungkin dikatalisasi oleh cahaya. Ketika lemak menjadi tengik dan peroksida muncul, warna kuning berubah menjadi hijau dan kemudian keunguan ke biru. Bakteri lipolitik (seperti Achromobacter dan Pseudomonas) dan ragi dapat menyebabkan lipolisis (tengik dan dapat mempercepat oksidasi lemak) (Erkmen dan Bozoglu, 2016). •



Diskolorasi Mioglobin Daging Perubahan warna pada mioglobin daging ditunjukkan pada Gambar 1.



Warna daging tergantung pada kandungan pigmen, dampak oksidatif pada pigmen, reaksi pigmen dengan senyawa gas, suhu, dan struktur protein daging.



Gambar 3. Perubahan warna pada mioglobin daging selama penyimpanan dan pemrosesan Warna daging merah hasil curing timbul akibat reaksi antara mioglobin dan agen curing. Proses ini menghasilkan nitrosomioglobin, yang merupakan pigmen



15



merah muda. Untuk memperoleh NO, natrium atau kalium nitrat / nitrit ditambahkan ke dalam campuran daging . Nitrat direduksi menjadi nitrit melalui reaksi bakteri. Nitrit dikonversi menjadi asam nitrat dan akhirnya menjadi NO, yang merupakan gas. PH rendah dan asam askorbat mengurangi kondisi untuk mempercepat reaksi ini. NO kemudian bereaksi dengan mioglobin menghasilkan nitrosomioglobin. Nitrosomioglobin dapat dioksidasi menjadi pigmen coklat yang tidak diinginkan yaitu metmyoglobin. Untuk menghambat reaksi ini, daging yang diawetkan dibungkus film kedap oksigen. Biasanya, setelah curing, panas diterapkan ke produk saat pengasapan. Nitrosomioglobin dikonversi menjadi nitrosohemochrome (warna merah keunguan yang cerah). Nitrosohemochrome dioksidasi menjadi abu – abu coklat atau warna hijau (porfirin teroksidasi) dengan adanya oksigen (Erkmen dan Bozoglu, 2016). •



Penentuan Kerusakan Daging Kerusakan suhu rendah terjadi akibat pemecahan protein. Metode fisik,



kimia, dan mikrobiologis akan menunjukkan pembusukan daging. Teknik extract Release Value (ERV) mampu menunjukkan tingkat pembusukan daging. Teknik ERV didasarkan pada volume ekstrak yang dilepaskan oleh daging jika yang mampu untuk melewati kertas saring dalam jangka waktu tertentu. Daging dengan organoleptik yang baik dan kualitas mikroba yang baik melepaskan volume besar ekstrak, sementara daging dengan kualitas yang buruk melepaskan volume yang lebih kecil (Erkmen dan Bozoglu, 2016).



2.3.3.2`Daging dalam Kemasan Atmosfer kemasan daging dapat dimodifikasi dengan ruang hampa atau menggunakan campuran gas (N2, CO2, dan O2). Daging dalam kemasan vakum (VP) atau modified atmosphere packaging (MAP) memiliki umur simpan yang tinggi dibandingkan dengan yang disimpan secara aerobik. Mikroorganisme dominan di pada daging dengan pengemasan MAP adalah Lactobacillus dan B. thermosphacta. Faktor-faktor berikut mempengaruhi mikroorganisme dalam daging VP atau MAP: (i) kondisi produk tersebut mentah atau dimasak, (ii) konsentrasi zat antimikroba (seperti nitrit), (iii) beban relatif bakteri psikrotrofik,



16



(iv) tingkat O2 tidak termasuk, (v) pH produk, dan (vi) jumlah dan jenis gas dalam kemasan daging (Erkmen dan Bozoglu, 2016).



2.3.3.3 Produk Daging Produk makanan (seperti sucuk, sosis, burger, dan pastırma)



sering



mengandung berbagai kombinasi serealia, rusk, garam, aditif, dan rempah-rempah. Flora pembusukan utama yang berkembang pada produk daging yang didinginkan adalah B. thermosphacta, Lactobacillus, Micrococcus, dan ragi. Coliforms dan Enterococcus juga dapat tumbuh dalam jumlah yang signifikan. Acinetobacter, Pseudomonas, dan Kurthia zopfii dapat tumbuh sebagai mikroorganisme dalam jumlah sedikit. Pada beberapa produk, Leuconostoc atau Pediococcus juga bisa tumbuh. E. coli 0157: H7 dapat hadir dalam produk daging seperti dalam hamburger mentah. Kerusakan produk daging terjadi secara umum dalam tiga jenis: slimeness, asam, dan penghijauan. Bakteri yang berperan dalam slimeness dan penghijauan yang dominan dalam produk ini adalah ragi, Lactobacillus, Streptococcus, B. thermosphacta, dan L. viridescens. Formasi lendir pada permukaan yang lembab (Erkmen dan Bozoglu, 2016).



2.4



Produk Olahan Daging Segar Peternakan merupakan salah satu cabang dari sektor pertanian. Di Indonesia



banyak terdapat industri pengolahan hasil peternakan, salah satunya adalah industri pengolahan daging. Daging merupakan bahan pangan yang



penting dalam



memenuhi kebutuhan gizi. Selain mutu proteinnya tinggi, pada daging terdapat pula kandungan asam amino esensial yang lengkap dan seimbang. Keunggulan lain, protein daging lebih mudah dicerna daripada yang berasal dari nabati. Bahan pangan ini juga mengandung beberapa jenis mineral dan vitamin. Bahan pangan hewani memiliki sifat umum yaitu mudah mengalami kerusakan yang ditandai dengan perubahan fisik, kimia, dan biologi. Pengolahan banyak dilakukan untuk memperpanjang daya simpan, meningkatkan nilai estetika dan nilai ekonomis, serta memungkinkan konsumen mendapatkan bahan pangan hewani dalam ragam bentuk dan rasa. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan



17



dan teknologi yang ada, daging banyak diolah menjadi produk makanan yang menarik. Pengolahan produk daging tersebut mampu meningkatkan harga jual. Bahan makanan yang berasal dari produk olahan daging antara lain bakso daging, korned, dendeng, dan abon (Hanif, 2011).



2.4.1



Abon Abon adalah makanan dibuat dari daging yang disuwir--suwir atau



dipisahkan seratnya, kemudian ditambah bumbu-bumbu dan digoreng. Daging yang umum digunakan untuk pembuatan abon adalah daging sapi atau kerbau. Meskipun demikian, semua jenis daging termasuk daging ikan dapat digunakan untuk pembuatan abon. Abon



tergolong



produk



olahan



daging



yang



awet.



Untuk



mempertahankan mutunya selama penyimpanan, abon dikemas dalam kantong plastik dan ditutup dengan rapat. Dengan cara demikian, abon dapat disimpan pada suhu kamar selama beberapa bulan. Dari segi teknologi, pembuatan abon relatif mudah, tidak memerlukan modal yang besar dan sudah lama dikenal dan digemari oleh semua golongan masyarakat Indonesia. Sehingga, pembuatan abon mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan sebagai industri kecil atau industri rumah tangga (Koswara, 2009).



2.4.2



Dendeng Dendeng adalah makanan berbentuk lempengan yang terbuat dari irisan



atau gilingan daging segar yang diberi bumbu dan dikeringkan. Dendeng termasuk makanan yang dibuat dengan cara pengeringan. Kandungan air dendeng antara 15 sampai 50 persen, bersifat plastis dan tidak terasa kering. Dendeng perlu direndam air, lalu dimasak terlebih dulu sebelum dikonsumsi. Bumbu yang digunakan dalam pembuatan dendeng adalah garam dapur, gula merah, vetsin dan rempah-rempah. Garam dapur merupakan bahan pemberi cita rasa dan pengawet pada makanan karena dapat menghambat pertumbuhan jasad renik.



18



Gula berfungsi untuk melembutkan produk, menurunkan aktivitas air, yaitu air yang dapat digunakan untuk tumbuhnya jasad renik, memberikan rasa dan aroma, juga akan mengimbangi atau mengurangi rasa asin yang berlebihan. Rempah-rempah digunakan untuk menambah aroma dan cita rasa. Sebagian dari rempah-rempah juga mempunyai sifat dapat menghambat pertumbuhan jasad renik. Vetsin dapat membuat seimbang antara rasa manis dan asin dalam makanan. Selain itu vetsin dapat dipergunakan untuk memperbaiki cita rasa yang hilang dan rusak akibat proses pengolahan. Pembuatan dendeng yang biasa dilakukan terdiri dari tahap-tahap berikut : persiapan bahan, pengirisan atau penggilingan, pemberian bumbu, pencetakan (untuk dendeng giling), dan pengeringan. Persiapan meliputi pemilihan daging dan pembersihan dari kotoran dan lapisan lemak maupun urat. Pengirisan dimaksudkan untuk memperluas permukaan daging sehingga pengeringan akan cepat. Sedangkan penggilingan akan memudahkan pencampuran bumbu hingga homogen dan daging mudah dibentuk. Pengeringan



dendeng



bisa



dilakukan



dengan



penjemuran



maupun



menggunakan oven hingga mencapai kadar air tertentu. Daging yang mempunyai kandungan lemak tinggi memerlukan waktu pengeringan yang lebih lama. Oleh karena itu daging yang akan dikeringkan sebaiknya mengadung lemak kurang dari 35 persen (Koswara, 2009).



2.4.3



Bakso Daging Bakso adalah produk pangan yang terbuat dari bahan utama daging yang



dilumatkan, dicampur dengan bahan-bahan lainnya, dibentuk bulatan-bulatan, dan selanjutnya direbus. Berbeda dengan sosis, bakso dibuat tanpa mengalami proses kiuring, pembungkusan maupun pengasapan. Biasanya istilah bakso tersebut diikuti dengan nama jenis dagingnya, seperti bakso ikan, bakso ayam, dan bakso sapi. Berdasarkan bahan bakunya, terutama ditinjau dari jenis daging dan jumlah tepung yang digunakan, bakso dibedakan menjadi 3 jenis yaitu bakso daging, bakso urat dan bakso aci. Bakso daging dibuat dari daging yang sedikit mengandung urat, misalnya daging



19



penutup, pendasar gandik dengan penambahan tapung lebih sedikit daripada berat daging yang digunakan. Bakso urat adalah bakso yang dibuat dari daging yang banyak mengandung jaringan ikat atau urat, misalnya daging iga. Penambahan tepung pada bakso urat lebih sedikit daripada jumlah daging yang digunakan. Bakso aci adalah bakso yang jumlah penambahan tepungnya lebih banyak dibanding dengan jumlah daging yang digunakan. Parameter mutu bakso yang diperhatikan para pengolah maupun konsumen adalah tekstur, warna dan rasa. Tekstur yang biasanya disukai adalah yang halus, kompak, kenyal dan empuk. Halus dimana permukaan irisannya rata, seragam dan serta dagingnya tidak tampak. Kekenyalan bakso dapat ditentukan dengan melempar bakso ke permukaan meja dan lantai, dimana bakso yang kenyal akan memantul, sedangkan keempukan diukur dengan cara digigit, dimana bakso yang empuk akan mudah pecah (Koswara, 2009).



2.4.3.1 Bahan Bakso dan Peranannya Bahan-bahan baku bakso terdiri dari bahan baku utama dan bahan baku tambahan. Bahan utamanya adalah daging, sedangkan bahan tambahannya adalah bahan pengisi, garam, penyedap dan es atau air es. Hampir semua bagian daging dapat digunakan untuk membuat bakso. Jenis daging yang sering digunakan antara lain daging penutup, pendasar gandik, lamusir, paha depan dan iga. Umumnya daging yang digunakan untuk membuat bakso adalah daging yang sesegar mungkin, yaitu yang diperoleh segera setelah pemotongan hewan tanpa mengalami proses penyimpanan atau pelayuan. Komponen daging yang terpenting dalam pembuatan bakso adalah protein. Protein daging berperan dalam pengikatan hancuran daging selama pemasakan dan pengmulsi lemak sehingga produk menjadi empuk, kompak dan kenyal. Bahan pengisi yang biasa digunakan dalam pembuatan bakso adalah tepung pati, misalnya tepung tapioka dan tepung pati aren. Bahan pengisi mempunyai kandungan karbohidrat yang tinggi, sedangkan kandungan



20



proteinnya rendah. Bahan tersebut tidak dapat mengemulsikan lemak tetapi memiliki kemampuan dalam mengikat air. Penggunaan tepung pati dalam pembuatan bakso untuk konsumsi rumah tangga biasanya 4 – 5 persen dari berat daging. Sedangkan pada pembuatan komersial, penambahan tepung berkisar antara 50 sampai 100 persen dari berat daging. Hal ini dimaksudkan untuk menekan biaya produksi dan mengurangi harga bakso. Penambahan tepung terlalu tinggi akan menutup rasa daging sehingga rasa bakso kurang disukai konsumen. Garam dapur dan MSG (monosodium glutamat) sama-sama memiliki fungsi sebagai pemberi rasa pada produk bakso. Perbedaanya, garam dapur selain memberi rasa juga berfungsi sebagai pelarut protein, pengawet dan meningkatkan daya ikat air dari protein daging. Pemakaian garam dalam pembuatan bakso berkisar antara 5 – 10 persen dari berat daging. Sedangkan penambahan MSG umumnya berkisar antara 1 sampai 2.5 persen dari berat daging. Tekstur dan keempukan produk bakso dipengaruhi oleh kandungan airnya. Penambahan air pada adonan bakso diberikan dalam bentuk es batu atau air es, supaya suhu adonan selama penggilingan tetap rendah. Dalam adonan, air berfungsi untuk melarutkan garam dan menyebarkannya secara merata keseluruh bagian masa daging, memudahkan ekstraksi protein dari daging dan membantu dalam pembentukan emulsi. Air ditambahkan sampai adonan mencapai tekstur yang dikehendaki. Jumlah penambahan air biasanya berkisar antara 20 – 50 persen dari berat daging yang digunakan. Jumlah penambahan ini dipengaruhi oleh jumlah tepung yang ditambahkan. Untuk menghasilkan tekstur adonan yang sama, semakin banyak penambahan tepung semakin banyak air yang harus ditambahkan. Bahan-bahan lain yang sering digunakan dalam pembuatan bakso adalah bahan pemutih, bahan pengawet, boraks dan tawas. Bahan pemutih yang biasa digunakan adalah Titanium dioksida (Ti02). Penambahan Ti02 ke dalam bakso diperkirakan antara 0.5 sampai 1 persen dari berat adonan. Fungsi bahan ini adalah untuk menghindari warna bakso yang gelap.



21



Bahan pengawet yang biasa digunakan dalam bakso adalah benzoat. Pemakaian benzoat dilakukan dengan cara mencampurkan nya ke dalam adonan bakso, sebanyak 0.1 sampai 0.5 persen dari berat adonan. Peraturan Menkes RI membatasi penggunaan benzoat dalam produk pangan maksimum 0.1 persen dari berat produk. Boraks (Na2B407-1OH2O) berupa serbuk putih sering digunakan oleh pengolah bakso dengan maksud menghasilkan produk yang kering (kasat dan tidak lengket). Tetapi dalam peraturan kesehatan, boraks termasuk salah satu bahan kimia yang dilarang penggunaannya dalam produk pangan. Tawas (A12 (SO4)3) digunakan dalam air yang digunakan untuk merebus bakso. Jumlah penambangannya sekitar 1 sampai 2 gram per liter air. Tujuan penggunaan tawas adalah untuk mengeraskan permukaan bakso dan memberi warna yang cerah. Sodium tripolifosfat yang ditambahkan ke dalam adonan bakso dapat mencegah terbentuknya permukaan kasar dan rekahan pada bakso. Penggunaan polifosfat sebanyak 0.75 persen dari berat daging dan penambahan garam dapur sebanyak 2.0 persen memberikan nilai penerimaan konsumen yang sangat baik. Penambahan polifosfat yang lebih tinggi dapat menyebabkan rasa pahit (Koswara, 2009).



2.4.3.2 Pembuatan Bakso Pembuatan bakso terdiri dari persiapan bahan, penghancuran daging, pencampuran bahan dan pembuatan adonan, pencetakan dan pemasakan. Persiapan bahan meliputi pemilihan daging dan penyiangan bahan tambahan lainnya. Daging bisa dipilih yang segar, bersih atau dibersihkan dari lemak permukaan dan jaringan ikat atau urat. Penghancuran daging bertujuan untuk memecah serabut daging, sehingga protein yang larut dalam larutan garam akan mudah keluar. Penghancuran daging untuk bakso dapat dilakukan dengan cara mencacah, menggiling atau mencincang sampai lumat. Alat yang biasa digunakan antara lain pisau, pencincangan (chopper), atau penggiling (grinder).



22



Pembentukan adonan dapat dilakukan dengan mencampur seluruh bagian bahan kemudian menghancurkan-nya sehingga membentuk adonan. Atau dengan meng-hancurkan daging bersama-sama garam dan es batu terlebih dulu, baru kemudian dicampurkan bahan-bahan lain dengan alat yang sama atau menggunakan mixer. Pemasakan bakso biasanya dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama, bakso dipanaskan dalam panci berisi air hangat sekitar 600C sampai 800C, sampai bakso mengeras dan mengambang di permukaan air. Pada tahap selanjutnya, bakso dipindahkan ke dalam panci lainnya yang berisi air mendidih, kemudian direbus sampai matang, biasanya sekitar 10 menit. Pemasakan bakso dalam dua tahap tersebut dimaksudkan agar permukaan produk bakso yang dihasilkan tidak keripuk dan tidak pecah akibat perubahan suhu yang terlalu cepat (Koswara, 2009).



2.4.4



Sosis Sosis adalah daging lumat yang dicampur dengan bumbu atau rempah-



rempah kemudian dimasukkan dan dibentuk dalam pembungkus atau casing. Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan sosis terdiri dari : daging, lemak, bahan pengikat, bahan pengisi, air, garam dapur dan bumbu (Koswara, 2009).



2.4.4.1 Bahan Sosis dan Peranannya Semua jenis daging ternak termasuk jeroan dan tetelan dapat digunakan untuk pembuatan sosis. Pada prinsipnya semua jenis daging dapat dibuat sosis bila dicampur dengan sejumlah lemak. Daging merupakan sumber protein yang bertindak sebagai pengemulsi dalam sosis. Protein yang utama berperan sebagai pengemulsi adalah myosin yang larut dalam larutan garam. Penambahan lemak dalam pembuatan sosis berguna untuk membentuk sosis yang kompak dan empuk serta memperbaiki rasa dan aroma sosis. Jumlah penambahan lemak tidak boleh lebih dari 30 persen dari berat daging untuk mempertahankan tekstur selama pengolahan dan penanganan. Penambahan lemak yang terlalu banyak akan mengakibatkan hasil sosis yang keriput.



23



Sedangkan penambahan terlalu sedikit akan menghasilkan sosis yang keras dan kering. Penambahan bahan pengikat dan bahan pengisi berfungsi untuk menarik air, memberi warna khas, membentuk tekstur yang padat, memperbaiki stabilitas emulsi, menurunkan penyusutan waktu pemasakan, memperbaiki cita rasa dan sifat irisan. Bahan pengikat dan pengisi dibedakan berdasarkan kadar proteinnya. Bahan pengikat mengandung protein yang terlalu tinggi, sedangkan bahan pengisi pada umumnya mengandung karbohidrat saja. Bahan pengikat dan pengisi yang umum digunakan adalah susu skim, tepung terigu, tepung beras, tepung tapioka, tepung terigu, tepung kedelai, tepung ubi jalar, tepung roti dan tepung kentang. Air yang ditambahkan ke dalam adonan sosis biasanya dalam bentuk serpihan es, supaya suhu adonan selama penggilingan tetap rendah. Selain sebagai fasa pendispersi dalam emulsi daging, air berfungsi juga untuk melarutkan protein sarkoplasma (protein larut air) dan sebagai pelarut garam yang akan melarutkan protein mifibril (protein larut garam). Jumlah penambahan air akan mempengaruhi tekstur sosis. Penambahan yang terlalu banyak menyebabkan tekstur sosis yang lunak. Jumlah penambahan ini tidak boleh melebihi 4 kali protein ditambah 10 persen. Garam berfungsi untuk memberikan cita rasa, mengawetkan dan yang paling penting adalah untuk melarutkan protein. Garam dapur dan garam alkali fosfat secara bersama-sama berpengaruh terhadap pengembangan volume dan daya ikat air dari daging. Garam alkali polifosfat bisa berfungsi untuk mempertahankan warna, mengurangi penyusutan waktu pemasakan dan menstabilkan emulsi. Bahan tambahan lainnya yang sering digunakan dalam pembuatan sosis adalah gula, nitrit atau sendawa dan rempah-rempah. Gula dapat membantumempertahankan aroma dan mengurangi efek pengerasan dari garam glukosa. Jumlah penambahannya sekitar 1 persen. Nitrit ataupun sendawa ditambahkan pada daging terutama sebagai pembangkit warna khas kiuring, yaitu warna merah yang stabil. Penambahan



24



nitrit ini dibatasi maksimum 200 ppm (200 mg per kg bahan) karena pada konsentrasi tinggi dapat membahayakan kesehatan. Rempah-rempah yang biasa digunakan antara lain lada, pala, jahe, dan cengkeh. Ditambahkan dalam bentuk tepung minyak atsiri dan oleoresin. Sebagai wadah pembentuk sosis, biasa digunakan casing yang terbuat dari usus binatang atau casing sintesis. Jenis casing (pembungkus) sintetis yang banyak digunakan dibuat dari selulosa dan kolagen (Koswara, 2009).



2.4.4.2 Pembuatan Sosis Berdasarkan kehalusan emulsi daging, sosis dibedakan menjadi sosis kasar dan sosis emulsi. Pada pembuatan sosis kasar tahapan pengolahannya lebih



sederhana,



yaitu



menggiling



daging



sampai



halus



kemudian



mencampurkannya dengan lemak sampai merata. Sedangkan pada pembuatan sosis emulsi, tahapan pencampurannya terdiri dari pencampuran, pencacahan dan pengemulsian. Secara lengkap tahapan pengolahan kedua jenis sosis tersebut sebagai berikut : pemilihan bahan-bahan yang akan digunakan, penggilingan, pencampuran (termasuk tahapan pencacahan dan pengemulsian), pemasukkan ke dalam casing, pengikatan, penggantungan, pemasakan (perebusan, pengukusan atau pengasapan), pendinginan (penyemprotan dengan air dingin atau penyimpanan dingin), pengupasan dan pengemasan. Penggilingan bertujuan untuk menyebar ratakan lemak dalam daging. Sebelum digiling daging biasanya dulu sampai suhu –20 0C, sehingga suhu penggilingan tetap di bawah 22 oC. Hal ini untuk mencegah terdenaturasinya protein yang sangat penting sebagai emulsifier. Pada tahap pencampuran diharapkan lemak yang ditambahkan akan menyebar secara merata. Demikian juga bahan kuring (sendawa), serpihan es garam dapur, bahan pengikat dan bahan tambahan lainnya. Suhu adonan pada pencampuran harus dipertahankan serendah mungkin yaitu sekitar 3 sampai 12 oC. Pemasukkan adonan sosis ke dalam casing menggunakan alat khusus (disebut stuffer) bertujuan membentuk dan mempertahankan kestabilan sosis. Memantapkan warna dan mematikan mikroba. Pemasakan dapat dilakukan dengan cara seperti



25



perebusan, pengukusan, pengasapan dan kombinasi cara-cara tersebut. Pengasapan dapat memberikan cita rasa khas, mengawetkan dan memberi warna khas. Pendinginan sosis setelah pemasakan selain untuk menurunkan suhu sosis secara cepat, juga untuk memudahkan pengupasan, pembungkus (casing) jika menggunakan jenis yang tidak dapat dimakan (Koswara, 2009). 2.5



Pengemasasn Daging Segar dan Produk Olahannya Daging segar membutuhkan oksigen untuk menjaga warnanya agar tetap



menarik bagi konsumen, namun umur simpannya sangat pendek. Daging yang sudah melalui tahap curing, akan mengalami degradasi oleh keberadaan oksigen. Ada dua hal yang penting untuk diputuskan dalam memilih bahan pengemas, yaitu bentuk dan bahan pembuatnya. Pemilihan bahan pengemas akan sangat bergantung pada faktor-faktor pada bahan pangan yang akan dikemas, seperti warna, stabilitas, kondisi penyimpanan, kondisi microbial, pengawet dan derajat pemrosesan. Sedangkan faktor-faktor yang ditentukan oleh market, adalah waktu distribusi, shelf-life, ukuran kemasan dan biayanya, harga grosir, dan pelabelan. Bahan pangan olahan membutuhkan kemasan yang lebih luas dan canggih, karena mereka akan di simpan dalam suhu tinggi dalam durasi yang lebih lama dari pangan olahan beku (Humaira et al., 2013). Sampai awal 1960, karkas hewan dipisah menjadi bagian utama dan subutama dan dikemas di dalam kantong atau kertas. Pada akhir 1960 hingga saat ini, karkas dikemas dalam kemasan vakum, dan teknologi modfikiasi atmosfir mulai dikenal. Tahun 1980 adalah tahun bermulanya daging yang dipotong dan dijual secara eceran dengan kemasan vakum, atau kemasan dengan atmosfir termodifikasi. Pada kemasan vakum, mulanya daging olahan meliputi fresh sausages, frozen meat, cured meat, frankfurters, dan cooked meat. Produk-produk olahan tersebut masih dapat dirusak dengan mudah oleh oksidasi, bakteri pembusuk dan dehidrasi (Sacharow, 1970). Alternatif yanf dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya hal tersebut adalah dengan menggunakan kemasan vakum. Pengemasan vakum dilakukan dengan cara coating dengan bahan gelatin atau high amylose starch. Tujuan dari pengemasan vakum adalah untuk memperpanjang masa simpan hingga pemasaran. Waktu penyimpanan dengan pengemasan vakum adalah 3



26



minggu, dan selama fase ini, enzim-enzim dalam daging terus melakukan aktivitasnya sehingga daging menjadi lunak pada akhir masa penyimpanan (Putri, 2019) Pengemasan



atmosfir



termodifikasi



(Modified



Atmosphere



Packaging/MAP) merupakan salah satu cara untuk meningkatkan umur simpan bahan pangan. MAP dilakukan dengan memodifikasi komposisi udara di dalam kemasan sehingga dapat menekan laju reaksi pada daging. Pengemasan secara MAP pada daging, selain dapat meningkatkan umur simpannya juga dapat menekan terjadinya kehilangan air (water loss) dan chilling injury. Teknik lain yang dapat diaplikasikan dalam meningkatkan umur simpan buah-buahan adalah dengan pengemasan vakum. Faktor yang menentukan keberhasilan dalam penyimpanan dengan sistem atmosfir termodifikasi ataupun vakum adalah kemampuan komoditi untuk beradaptasi terhadap perubahan atmosfir. Konsentrasi CO2 yang terlalu tinggi atau diatas 5% dalam penyimpanan dengan sistem atmosfir termodifikasi untuk buah tropis, dapat menyebabkan kerusakan fisiologis, dimana buah tidak dapat matang sempurna.



2.6



Penyimpanan Daging Segar dan Produk Olahannya Penyimpanan daging atau makanan dalam lemari pendingin merupakan



salah satu cara yang biasa dipergunakan oleh kalangan ibu rumah tangga. Hal ini dikarenakan fitur lemari pendingin telah memungkinkan daging dapat disimpan dalam jangka waktu yang lebih lama. Daging sapi mentah dapat bertahan tiga sampai lima hari dalam kulkas. Jika ditempatkan dalam freezer, daging ini bisa bertahan enam hingga sembilan bulan (Saraswati, 2015). Menurut Rahmy (2011), Penyimpanan bahan makanan merupakan satu dari 6 prinsip higiene dan sanitasi makanan. Penyimpanan bahan makanan yang tidak baik terutama dalam jumlahyang banyak (untuk katering dan jasa boga) dapat menyebabkan kerusakan bahan makanan tersebut. Adapun tata cara penyimpanan bahan makanan yang baik menurut higiene dan sanitasi makanan adalah sebagai berikut:



27



1. Suhu penyimpanan yang baik Setiap bahan makanan mempunyai spesifikasi dalam penyimpanan tergantung



kepada



besar



dan



banyaknya



makanan



dan



tempat



penyimpanannya. Makanan jenis daging, ikan, udang dan olahannya dapat disimpan hingga: a. 3 hari: penyimpanan -5oC sampai 0oC. b. Penyimpanan untuk 1 minggu: -19oC sampai -5oC. c. Penyimpanan lebih dari 1 minggu: di bawah -10oC. 2. Tata cara penyimpanan Penyimpanan suhu rendah dapat berupa: 1) Lemari es (freezer) yang dapat mencapai suhu -5oC dapat digunakan untuk penyimpanan daging, unggas, ikan dengan waktu tidak lebih dari 3 hari. 2) Kamar beku yang merupakan ruangan khusus untuk menyimpan makanan beku (frozen food) dengan suhu mencapai -20oC untuk menyimpan daging dan makanan beku dalam jangka waktu lama. Sumoprastowo (2000) menyatakan bahwa ada beberapa cara dalam penanganan daging segar, yaitu: 1. Cara menyimpan daging Penyimpanan daging yaitu di dalam lemari es yang bersuhu 1,6oC – 4,4oC. Daging tahan disimpan selama 5 hari. Tetapi pada suhu -1,6oC – 1,1oC tahan sampai 9 hari. 2. Cara membekukan daging a. Usahakan proses pembekuan daging berlangsung secepat mungkin. Semakin cepat daging membeku, maka semakin sedikit kristal air yang terbentuk di antara serat dan semakin kecil pula pengaruh negatif akibat bekuan air terhadap daging. b. Untuk mempercepat pembekuan, daging dibungkus dengan potongan – ptotongan kecil pada plastik yang kuat dan rapat, kemudian dimasukkan ke dalam freezer dan pasang suhu serendah mungkin. Penyimpanan dalam freezer sedikit banyak akan memperlunak dan mengurangi cita rasa daging. Daging yang telah benar – benar membeku akan



28



terlihat adanya kristal – kristal air diantara kelompok – kelompok. Kristal – kristal air tersebut merupakan bekuan es. Makanan tidak tahan lama adalah makanan yang mudah membusuk dan membutuhkan metode khusus untuk mencegah pembusukannya, misalnya daging, ikan, daging unggas, telur, yogurt, susu dan produk susu, dan sayur-‐sayuran. Berbagai makanan tersebut disimpan dengan suhu rendah untuk memperlambat pembusukan



makanan



atau



proses



enzimatik



yang



disebabkan



oleh



mikroorganisme. Biasanya, penyimpanan tersebut dilakukan di dalam kulkas dengan pengaturan suhu 5 ̊C atau lebih rendah, dan suhu makanan didalam freezer sebesar ‐16 ̊C. Peletakan makanan di dalam kulkas pun harus diperhatikan, bahan makanan mentah diletakan di bagian paling bawah, sedangkan makanan yang telah dimasak berada di bagian paling atas. Jangan memasukkan kembali makanan yang telah dikeluarkan dari freezer dan sebaiknya memberikan label nama makanan dan tanggal mulai penyimpanan. Shelf life masing-‐masing makanan berbeda-‐beda tergantung pada metode penyimpanannya (Sari dan Hadiyanto, 2013).



29



BAB III PENUTUP 3.1



Kesimpulan Daging adalah bahan pangan yang sangat bermanfaat bagi manusia karena



banyak mengandung zat – zat makanan yang dibutuhkan oleh manusia. Zat – zat makanan tersebut adalah protein, karbohidrat, lemak, mineral, vitamin dan air. Kandungan nutrisi yang baik pada daging mengakibatkan daging mudah mengalami kerusakan. Hal ini dikarenakan kandungan nutrisi pada daging merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme. Karakteristik daging yang mudah rusak perlu dicegah dengan penyimpanan dan pengemasan yang baik pada daging sehingga daging terhindar dari kerusakan. Pengolahan pada daging juga dapat memperpanjang umur simpan daging. Daging dapat diolah menjadi berbagai macam produk seperti sosis, bakso, abon, dendeng,



30



DAFTAR PUSTAKA Abustam, E dan H. M. Ali. 2005. Dasar Teknologi Hasil Ternak. Buku Ajar. Jurusan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Sulawesi Selatan. Badan Standardisasi Nasional. 2008. SNI 3932:2008 Mutu Karkas dan Daging Sapi. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta. Burhan, B. 2003. Panduan Praktis Memilih Produk Daging Sapi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Erkmen, Osman and Bozoglu, T.F. FoodMicrobiology:PrinciplesintoPractice,FirstEdition. JohnWiley&Sons,Ltd., USA.



2016.



Forrest, J.C., E.D. Aberle, H.B. Hedrick, M.D. Judge dan R.A. Merkel. 1975. Principles of Meat Science. W.H. Freeman and Co., San Fransisco. Hanif, Khoiruddin Muhammad. 2011. Strategi Pemasaran Bakso Daging Di Pt Kepurun Pawana Indonesia Kabupaten Klaten. Skiripsi. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. Surakarta. Koswara, Sutrisno. 2009. Ebookpangan.com.



Teknologi



Praktis



Pengolahan



Daging.



Lawrie, R. A. 2003. Ilmu Daging. Penerjemah: Aminuddin Parakkasi. UI Press, Jakarta. Muchtadi, T.R. 1997. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. IPB-Press. Bogor. Natasasmita, S., R. Priyanto, dan D. M. Tauchid. 1987. Pengantar Evaluasi Karkas. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rahmy. 2011. Manajemen Penerimaan dan Penyimpanan Bahan Makanan di Rumah Sakit Haji Jakarta. Laporan Magang. Fakultas Kedokteran dan Ikmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta Putri, K. 2019. Prinsip Pengemasan Daging. Dikutip 26 Mei 2019 dari https://duniakumu.com/pengemasan-produk-segar-pengemasan-dagingsegarprinsip-pengemasanjenis-pengemasan-untuk-dagingpengemasanvakum-untuk-daging-olahan/2/ Saraswati, D. 2015. Pengaruh Lama Penyimpanan Daging Sapi pada Refrigerator terhadap Angka Lempeng Total Bakteri (ALT) dan Keberadaan Bakteri Escherichia coli. Jurnal Entropi X(1): 967-973.



31



Sari, D. A. dan Hadiyanto. 2013. Teknologi dan Metode Penyimpanan Makanan sebagai Upaya Memperpanjang Shelf Life. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 2(2): 52-59. Soeparno. 1998. Ilmu Dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Soeparno. 2015. Ilmu dan Teknologi Daging. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Soputan, J. 2004. Dendeng Sapi Sebagai Alternatif Pengawetan Daging. IPB, Bogor. Sumoprastowo. 2000. Memilih dan Menyimpan Sayur-Mayur, Buah-Buahan, dan Bahan Makanan. Edisi ke-1. Bumi Aksara, Jakarta. Suradi, K. 2005. Pengemasan Bahan Pangan Hasil Ternak dan Penentuan Waktu Kadaluarsa. Dibawakan dalam seminar : Fasilitas Penanganan Pengemasan Olahan Ternak pada tanggal 5 – 7 Juni 2005 di Makasar, Sulawesi Selatan. Suryati, A. T. dan R. R. A. Maheswari. 2006. Sifat Fisik Daging Sapi Dark Firm Dry (DFD) Hasil Fermentasi Bakteri Asam Laktat Lactobacillus plantarum. J. Anim. Sci. 27(2): 46-54. Susilawati. 2001. Pengetahuan Bahan Hasil Hewani Daging. Buku Ajar. Universitas Lampung. Bandar Lampung Thohari, I., Mustakim, M. C. Padaga, dan P. P. Rahayu. 2017. Teknologi Hasil Ternak. UB Press, Malang. Usmiati, S. 2010. Pengawetan Daging Segar dan Olahan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Bogor. Winarno, F. G., dan D. Fardiaz. 1973. Dasar Teknologi Pangan. Departemen Teknologi Hasil Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian lnstitut Pertanian Bogor, Bogor. Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Winarno, F. G. 1999. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.



32