Kelompok 5 PAI.C TEORI CONE OF EXPERIENCE BY EDGAR DALE [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TEORI CONE OF EXPERIENCE BY EDGAR DALE Makalah ini Dibuat untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Media Pembelajaran PAI” Dosen Pengampu: Nurul Malikah, M.Pd.



Disusun Oleh: KELOMPOK 5/PAI C : 1. Eva Riyanti



201190078



2. Firda Ayu Lailis S



201190088



3. Ika Lidyawati



201190096



JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO 2021



DAFTAR ISI DAFTAR ISI .................................................................................................................. 1 BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................... 2 A. Latar Belakang .................................................................................................... 2 B. Rumusan Masalah ............................................................................................... 2 BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................. 3 A. Pemgertian Media Pembelajaran..............................................................................3 B. Sejarah Singkat Munculnya Kerucut Pengalaman Edgar Dale .............................. 3 C. Tingkatan Kerucut Pengalaman Edgar Dale ......................................................... 5 D. Keragaman Gaya Belajar ..................................................................................... 11 BAB III PENUTUP ........................................................................................................ 16 A. Kesimpulan ......................................................................................................... 16 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 17



1



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Media pembelajaran merupakan sebuah alat bantu yang dapat membantu dalam proses belajar serta mengajar dan berfungsi untuk memperjelas makna pesan yang disampaikan, sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran dengan lebih baik dan sempurna. Media pembelajaran merupakan alat bantu proses belajar mengajar yang dapat digunakan untuk merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemampuan atau keterampilan belajar sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar. Pembelajaran yang dilakukan dalam proses belajar mengajar tidaklah dapat lepas dari adanya peran serta media didalamnya. Peran media tentu bukanlah satu-satunya alat bantu yang digunakan dalam pembelajaran. Dalam hal inilah muncul adanya teori kerucut pengalaman yang dikemukakan oleh Dale. Kerucut pengalaman Edgar Dale dan konsep mengenai gaya belajar bukan hal yang asing lagi bagi pengajar. Terutama dalam kaitannya dengan media pembelajaran. Bahkan, salah satu gambaran yang paling banyak dijadikan acuan sebagai landasan teori penggunaan media dalam proses belajar adalah kerucut pengalaman Edgar Dale. Untuk memahami peranan media dalam proses mendapatkan pengalaman belajar bagi siswa, maka Edgar Dale melukiskannya dalam sebuah kerucut pengalaman tersebut yang akan dijelaskan oleh pemakalah. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pengertian media pembelajaran? 2. Bagaimana sejarah singkat munculnya kerucut pengalaman Edgar Dale? 3. Apa saja tingkatan dalam kerucut pengalaman Edgar Dale? 4. Apa saja keragaman gaya belajar itu? .



2



BAB II PEMBAHASAN



A. Pengertian Media Pembelajaran Pengertian media secara harfiah yaitu “perantara” atau “ pengantar”. Media merupakan sesuatu yang bersifat menyalurkan pesan dan dapat merangsang pikiran, perasaan, dan kemauan audien (siswa) sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar pada dirinya. 1 Jadi, dengan adanya media peserta didik dapat lebih mudah dalam memehami materi yang disampaikan oleh guru, sedangkan pengertian dari media pembelajaran adalah suatu alat bantu baik secara fisik maupun non fisik yang digunakan dalam proses belajar mengajar agar dapat memperjelas penyampaian materi atau pesan dari pendidik kepada peserta didik. Pada awal sejarah pembelajaran, media hanyalah alat bantu yang digunakan gur untuk menyampaikan pelajaran. Alat bantu yang digunakan mula-mula adalah alat bantu visual, yaitu berupa sarana yang dapat memberikan pengalaman visual terhadap siswa, yang digunakan untuk mendorong motivasi belajar, memperjelas dan mempermudah konsep yang abstrak. Dengan berkembangnya tekologi khususnya audio, pada pertengahan ke-20 lahirlah alat bantu audio yang menggunakan pengalaman yang konkret untuk menghindari verbalisme( kekaburan pengetahuan). Dalam usaha memanfaatkan media sebagai alat bantu tersebut, Edgar Dale mengadakan klasifikasi menurut tingkatan konkret ke tingkat yang paling abstrak. Klasifikasi tersebut dikenal dengan “ kerucut pengalaman” dari Edgar Dale yang pada saat itu dianut luas dalam alat bantu yang sesuai untuk pengalaman belajar. B. Sejarah Singkat Munculnya Kerucut Pengalaman Edgar Dale Dalam usaha memanfaatkan media sebagai alat bantu tersebut, Edgar Dale mengadakan klasifikasi menurut tingkatan konkret ke tingkat yang paling abstrak. Klasifikasi tersebut dikenal dengan “ kerucut pengalaman” dari Edgar Dale yang pada saat itu dianut luas dalam alat bantu yang sesuai untuk pengalaman belajar. 2 Kerucut pengalaman atau cone of experience diperkenalkan oleh Edgar Dale pertama kali pada tahun 1946, dalam bukunya yang berjudul Audiovisual Methods in Teaching, tentang metode audiovisual dalam pengajaran. Kemudian, ia merevisinya pada pencetakan kedua pada tahun 1954 dan revisi lagi pada tahun 1969. Kerucut pengalaman Edgar Dale 1 2



Asnawir dan M. Basyiruddin Usman, Media pembelajaran, (Jakarta:Ciputat Press, 2002), hlm. 11 Rudi Susilana dan Cepi Riyana, Media pembelajaran, (bandung: CV Wacana Prima,2007), hlm.7



3



menunjukkan pengalaman yang diperolah dalam menggunakan media dari paling konkret (di bagian paling bawah) hingga paling abstrak (di bagian paling atas). Awalnya pada tahun 1946 Dale menyebutkan kategori pengalaman sebagai berikut: (1) pengalaman, pengalaman yang disengaja, (2) pengalaman yang dibuat-buat, (3) partisipasi dramatis, (4) demonstrasi, (5) kunjungan lapangan, (6) pameran, (7) gambar bergerak, (8) rekaman radio, gambar diam (audio visual dengan gambar), (9) simbol visual, (10) simbol verbal. Dale mengklaim bahwa klasifikasinya sederhana dan berkualitas. Dalam revisi kedua, Dale membuat modifikasi pada pengalaman dramatis dan menambahkan televisi. Sedangkan pada edisi ketiga buku itu, Dale (1969) tertarik dengan konsep-konsep teori psikologi Bruner (1966) tentang tingkatan modus belajar yaitu pengalaman langsung (enactive), pengalaman pictorial/gambar (iconic) dan pengalaman abstrak (simbolis). Kemudian, Dale memadukan semua klasifikasi Bruner dengan konsepnya sendiri. Konsep Bruner digambarkan oleh Arsyad dengan contoh pembelajaran tali temali. Pengalaman langsung ialah ketika peserta didik belajar dengan langsung membuat ikatan atau simpul dengan tali. Dengan begitu peserta didik belajar memahami pula makna kata “simpul” dipahami dengan langsung dengan membuat simpul. Sedangkan pengalaman pictoral ialah bila peserta didik belajar memahami kata “simpul” melalui gambar, lukisan, foto atau film yang menunjukkan maksud kata “simpul”. Peserta didik mempelajarinya melalui media berbasis visual. Sedangkan pada tingkatan simbol, peserta didik membaca atau mendengar penjelasan mengenai kata “simpul”.3 Kerucut pengalaman Edgar Dale yang terakhir direvisi pada tahun 1969 disebutkan gambaran pengalaman dari paling konkret (paling bawah) hingga paling abstrak (paling atas), sebagai berikut: (1) pengalaman langsung, pengalaman dengan tujuan tertentu, (2) pengalaman yang dibuat-buat, (3) pengalaman dramatis, (4) demonstrasi, (5) studi banding, (6) pameran, (7) televisi edukasi, (8) gambar bergerak, (9) rekaman radio, gambar diam, (10) simbol visual, (11) simbol verbal. Kerucut pengalaman ini memberikan model tentang berbagai jenis media audiovisual dari yang paling abstrak hingga paling konkret. Dale tidak ingin kategori-kategori ini dilihat sebagai hal yang kaku dan tidak fleksibel. Dengan tegas ia menyatakan bahwa klasifikasi itu mestinya tidak dianggap sebagai hierarki ataupun rangking. Namun, kerucut ini telah banyak disalahartikan. Bahkan sering pula disebut sebagai Cone of Learning (Kerucut Belajar), The Pyramid of Learning (Piramida 3



Azhar Arsyad, Media Pembelajaran ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), 11.



4



Belajar) yang memberi gambaran tentang seberapa besar informasi dapat diserap dan diingat oleh seseorang dalam belajar. Padahal sesungguhnya Dale tidak memasukkan angka dan tidak mendasarkan kerucutnya pada penelitian ilmiah. Dale juga memperingatkan pembaca untuk tidak menganggap kerucutnya dengan terlalu serius. Bentuk-bentuk yang telah disalahartikan ini telah tersebar dengan sangat cepat dan semakin cepat dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi serta keberadaan jaringan internet di dunia. Kerucut pengalaman yang disalahartikan dapat ditemukan dalam berbagai bahasa. Kerucut pengalaman Dale banyak dijadikan sebagai acuan dan landasan teori penggunaan media dalam proses belajar. Pemikiran Edgar Dale dipandang memiliki kontribusi penting dalam penggunaan media di bidang pendidikan. Ketika mulai berkembang teknologi perfilman (tahun 1960-an), Edgar Dale menunjukkan bahwa film juga memiliki kekuatan untuk mendukung proses belajar seseorang. C. Tingkatan Kerucut Pengalaman oleh Edgar Dale Adapun tingkatan dalam penggolongan Kerucut Pengalaman adalah sebagai berikut



Dari kerucut tersebut maka dapat kita ketahui rinciannya sebagai berikut: 1. Pengalaman langsung dan bertujuan Pengalaman langsung diperoleh dengan jalan berhubungan langsung. Sedangkan pengalaman bertujuan diperoleh dengan memiliki tujuan untuk dicapai. Pengalaman langsung juga merupakan pengalaman yang diperoleh siswa sebagai hasil dari aktivitas sendiri. Siswa mengalami, merasakan, sendiri segala sesuatu yang



5



berhubungan dengan pencapaian tujuan.4 Siswa berhubungan langsung dengan objek yang hendak dipelajari tanpa menggunakan perantara. Karena diperoleh siswa secara langsung maka menjadi konkret sehingga akan memiliki ketepatan yang tinggi. 4 Sehingga melalui pengalaman langsung ini akan dapat memberikan suasana pembelajaran yang lebih nyata pada siswa karena mereka dapat melakukan berbagai kegiatan dalam pembelajaran tersebut secara langsung. Misalnya saja dalam pembuatan relief peserta didik dapat dilibatkan secara langsung di dalam pembuatannya dengan tetap adanya arahan dari pendidik tentunya. 2. Pengalaman tiruan Pengalaman ini diperoleh dengan benda-benda atau kejadian tiruan dari yang sebenarnya. Pengalaman yang diperoleh dari memanipulasi suatu benda yang mendekati sebenarnya. Pengalaman tiruan itu bukanlah pengalaman langsung lagi, sebab ojek yang dipelajari bukan asli melainkan yang menyerupai bentuk sesungguhnya. Manfaat mempelajari objek tiruan yaitu untuk menghindari verbalisme. Misalkan siswa akan mempelajari beruang kutub atau panda. Oleh karena itu, binatang tersebut sulit diperoleh apalagi dibawa di kelas, maka untuk mempelajarinya dapat menggunakan model binatang yang menyerupai binatang yang sulit tersebut namun terbuat dari plastik. Dengan pengalaman tiruan ini, maka dapat memberikan gambaran secara lebih jelas kepada siswa tentang objek tertentu. Sehingga dapat meminimalisir adanya salah pengertian atau salah pemahaman oleh peserta didik dalam menerima informasi. 3. Dramatisasi Pengalaman melalui drama, pengalaman yang diperoleh dari kondisi drama (peraga) dengan menggunakan skenario sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Walaupun siswa tidak mengalami secara langsung, namun siswa akan lebih menghayati berbagai peran yang dimainkan Tujuannya agar siswa mendapatkan pengalaman belajar yang lebih luas dan konkret.5 Penyajian dalam bentuk drama, dari berbagai gerakan dengan pakaian dan dekorasi. Di mana dengan adanya kesesuaian antara gerakan dengan pakaian dan dekorasi yang dirancang sedemikian rupa, maka drama dapat tersampaikan dengan lebih jelas. Misalnya dengan pakaian tertentu dapat menggambarkan sosok tokoh tertentu dalam drama. Dramatisasi ini dapat dilakukan di panggung (de play), pertunjukan sejarah setempat yang dilakukan 4 5



Wina Sanjaya, Media Komunikasi Pembelajaran (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2012), 65. Wina Sanjaya, Media Komunikasi Pembelajaran (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2012), hlm. 66



6



di tempat terbuka (the pageant), sandiwara bisu (panronime), permainan yang merupakan skene yang tidak ada gerakan atau suara (tableau), sandiwara yang terdiri dari boneka-boneka yang diberi pakaian (pupet), drama yang bersifat perorangan yang menggambarkan ketegangan-ketegangan yang terdapat dalam dirinya (psycodrama), drama kemasyarakatan (socio-drama), atau bermain peranan (role playing).6Melalui drama ini pesan yang ingin disampaikan oleh para pemainnya dapat tersalurkan kepada audiens secara lebih jelas. 4. Demonstrasi Demonstrasi adalah petunjuk cara membuat suatu proses. Pengalaman melalui demonstrasi yaitu teknik penyampaian informasi melalui peragaan. Contohnya dalam drama siswa terlibat secara langsung dalam masalah yang diperankan walaupun bukan situasi nyata, maka pengalaman demonstrasi siswa hanya melihat peragaan orang lain. 7Demonstrasi yaitu pengalaman melalui percontohan atau pertunjukan mengenai suatu hal atau sesuatu proses, misalnya cara membuat makanan, sabun detergen dan sebagainya. 5. Karyawisata Karyawisata adalah membawa kelas objek luar sekolah yang bermaksud menambah, memperkaya dan memperluas pengalaman siswa. Dengan melakukan pengalaman karyawisata ini akan menjadikan kelas aktif mengadakan observasi terhadap suatu obyek tertentu, mencatat, melakukan tanya jawab dan membuat laporan.8 Pengalaman wisata, yaitu pengalaman yang diperoleh dari kunjungan siswa terhadap suatu objek yang ingin dipelajari. Melalui wisata siswa dapat mengamati secara langsung, mencatat dan bertanya tentang hal-hal yang dikunjungi. Dengan berkaryawisata selain dapat menambah pengetahuan siswa, juga dapat dijadikan sebagai sarana hiburan yang mendidik. 6. Pameran Pameran adalah usaha untuk menunjukkan suatu hasil karya. Melalui pameran siswa dapat mengamati hal-hal yang ingin dipelajari seperti karya seni baik seni tulis, seni pahat, atau benda-benda bersejarah dan hasil teknologi modern yang berbagai cara kerjanya. Pameran lebih abstrak kerjanya dibandingkan dengan wisata, sebab pengalaman yang diperoleh hanya sebatas pada kegiatan mengamati wujud benda itu sendiri, namun demikian, untuk memperoleh wawasan, dapat dilakukan 6



Asnawir dan M. Basyiruddin Usman, Media Pembelajaran, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 22 Wina Sanjaya, Media Komunikasi Pembelajaran (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2012), hlm. 66 8 Asnawir dan M. Basyiruddin Usman, Media Pembelajaran, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 23 7



7



melalui wawancara dengan pemandu dan membaca leaflet atau booklet yang disediakan penyelenggara. Pengalaman tersebut dapat diperoleh melalui pertunjukan hasil pekerjaan siswa, perkembangan dan kemajuan sekolah. Benda-benda yang dipamerkan dapat berupa model spesimen barang hasil kerajinan dan sebagainya. Penyelenggaraan pameran ini bertujuan untuk mempertunjukkan hasil karya siswa, pekerjaan dan kemajuan sekolah di mata masyarakat umum. 7. Televisi Pengalaman melalui televisi merupakan pengalaman yang tidak langsung, karena televisi merupakan perantara. Melalui televisi siswa dapat menyaksikan berbagai peristiwa dari jarak jauh yang sesuai dengan program yang dirancang.9 Televisi adalah suatu media yang digunakan untuk menyampaikan pendidikan pada anak dan masyarakat yang diperoleh melalui program-program yang ditayangkan melalui televisi, seperti program televisi Indonesia pintar dan televisi lainnya yang dapat memberikan tayangan yang bersifat mendidik. Melalui media televisi ini siswa dapat memperoleh gambaran mengenai berbagai objek atau suatu peristiwa di belahan dunia mana pun, yang nantinya akan memberikan suatu informasi yang dapat dijadikan sebagai informasi dalam belajar. Yang terpenting tayangan yang terkandung di dalamnya bersifat mendidik bagi penontonnya terutama anak-anak. 8. Gambar hidup atau film Rangkaian gambar yang diproyeksikan ke layar yang tampak seperti gambar sebenarnya. Gambar hidup atau film ini memberikan tampilan berupa visual dan audio. Sehingga akan lebih menarik untuk dinikmati. Dengan mengamati film siswa belajar sendiri walaupun bahan yang dipelajari terbatas sesuai dengan naskah yang disusun. 9. Radio Merupakan media audio yang dapat digunakan untuk media pembelajaran secara efektif dan menimbulkan motivasi bagi para pendengarnya yang diperoleh dalam bentuk ceramah, wawancara, sandiwara dan sebagainya. Pengalaman melalui radio atau tape recorder ini bersifat abstrak dibandingkan pengalaman melalui gambar hidup, sebab hanya mengandalkan salah satu indra saja yaitu indra pendengaran. 10. Gambar Yaitu segala sesuatu yang diwujudkan secara visual dalam bentuk dua 9



Wina Sanjaya, Media Komunikasi Pembelajaran (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2012), hlm. 66-67



8



dimensi atau tiga dimensi. Pengalaman di sini diperoleh dari segala sesuatu yang diwujudkan secara visual seperti dalam bentuk dua dimensi sebagai curahan perasaan dan pikiran, misalnya lukisan ilustrasi karikatur, kartun, poster, potret, slid, dan sebagainya. 10 Gambar tersebut dapat memberikan pesan tertentu kepada penontonnya saat melihatnya. 11. Lambang visual Gambaran yang secara keseluruhan dapat divisualkan. Pengalaman di sini diperoleh melalui lambang-lambang visual, seperti hasil lukisan yang bentuknya lengkap atau tidak lengkap (sketsa), kombinasi garis dengan gambar yang dijelmakan secara logis untuk meragakan antara fakta dengan ide (bagan), gambaran yang memberi keterangan tentang angka-angka (grafik), gambar untuk pengetahuan, peringatan atau menggugah (poster), lukisan yang bersambung berupa cerita (komik), gambar untuk menghibur, mengkritik (kartun), kombinasi antara garis dan gambar yang menunjukkan gabungan intern yang bersifat abstrak (diagram), dan gambar yang melukiskan lambang dari keadaan yang sebenarnya (peta). Pengalaman melalui lambang-lambang visual seperti grafik, gambar, dan bagan. Sebagai alat komunikasi lambang visual dapat mengetahui pengetahuan siswa yang lebih luas. Siswa dapat memahami berbagai perkembangan atau struktur melalui bagan dan lambang visual lainnya. 11 12. Lambang kata Pengalaman semacam ini dat diperoleh dalam buku dan bahan bacaan. 12 Misalnya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kita dapat menemukan kumpulan kata yang memiliki makna tertentu. Pengalaman melalui media verbal atau lambang kata, merupakan pengalaman yang sifatnya abstrak, karena siswa memperoleh pengalaman melalui bahasa, baik lisan maupun tulisan. Berdasarkan penjelasan di atas lambang kata menempati posisi yang sangat rendah. Oleh karena itu, agar pembelajaran dapat memberikan pengalaman yang lebih berarti, maka perlu dipikirkan mengenai media yang akan digunakan agar siswa mendapatkan pengalaman yang lebih konkret. Kerucut pengalaman dianut secara luas untuk menentukan alat bantu yang sesuai untuk pembelajaran siswa agar memperoleh pengalaman belajar secara mudah.



10



Asnawir dan M. Basyiruddin Usman, Media Pembelajaran, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 23 Wina Sanjaya, Media Komunikasi Pembelajaran (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2012), hlm. 68 12 Asnawir dan M. Basyiruddin Usman, Media Pembelajaran, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 24 11



9



Kerucut pengalaman yang dikemukakan menggambarkan bahwa pengalaman belajar siswa dapat diperoleh melalui proses perbuatan atau mengalami sendiri, proses mengamati dan mendengarkan melalui media tertentu. Semakin konkret siswa mempelajari bahan pembelajaran contohnya melalui pengalaman langsung, maka semakin banyak pengalaman yang didapatkan oleh siswa. Sebaliknya semakin konkret siswa mendapatkan pengalaman contohnya menggunakan bahasa verbal, maka semakin sedikit pengalaman yang diperoleh oleh siswa. Dari gambaran kerucut pengalaman tersebut siswa akan lebih konkret memperoleh pengetahuan melalui pengalaman langsung, melalui benda-benda tiruan, melalui gambar, drama, demonstrasi, wisata dan melalui pameran. Hal ini sangat efektif untuk siswa karena dapat secara langsung berhubungan dengan objek yang dipelajari. Sedangkan siswa akan lebih abstrak memperoleh pengalaman melalui benda-benda atau alat peragaan seperti televisi, gambar hidup/film, radio atau tape recorder, lambang visual. Kedudukan media pembelajaran dalam sistem belajar mengajar memiliki sifat yang sangat penting. Sebab semua pengalaman belajar tidak diperoleh dari pengalaman langsung. Olsen berpendapat bahwa prosedur belajar dapat ditempuh dalam tiga hal, yaitu: 1.



Pengajaran langsung melalui pengalaman langsung. Pengajaran ini diperoleh dengan teknik karya wisata, wawancara, resource visitor.



2.



Pengajaran tidak langsung, dapat melalui alat peraga. Pengalaman ini diperoleh melalui gambar, peta, bagan, objek, model, televisi, dan lain-lain.



3.



Pengajaran tidak langsung melalui lambang kata, misalnya melalui kata-kata dan rumus-rumus. Kerucut pengalaman secara luas untuk menentukan alat bantu atau media apa



yang sesuai agar siswa memperoleh pengalaman belajar agar mudah dipahami. Kerucut pengalaman menggambarkan bahwa pengalaman belajar yang diperoleh siswa dapat melalui proses perbuatan atau mengalami sendiri apa yang dipelajari, proses mengamati dan mendengarkan melalui media tertentu dan proses mendengarkan melalui bahasa. Menurut Dale, pembelajaran yang paling konkret adalah pengalaman langsung atau observasi kelapangan/lokasi. Artinya penggunaan media real object adalah paling efektif dalam mencapai tujuan pembelajaran. 13 Sependapat dengan Dale, 13



Rayandra Asyhar, Kreatif Menggambarkan Media Pembelajaran, (Jakarta: Referensi Jakarta, 2002), hlm. 49-50



10



bahwa penggunaan real object lebih efektif karena sesuai dengan perkembangan anak yang akan lebih mudah memahami materi dalam pembelajaran yang diajarkan jika menggunakan media langsung (real object). Selain itu, penggunaan media real object juga akan memberikan pengalaman pada siswa secara konkret sehingga informasi yang didapatkan akan tersimpan dalam memori atau daya ingat anak dalam jangka waktu yang panjang. Dan anak dapat menggali serta mengembangkan konsep pengetahuannya sendiri. Salah satu gambar yang paling banyak digunakan untuk acuan landasan teori penggunaan media dalam proses pembelajaran adalah Dale’s Cone of Experience. Hasil belajar seseorang diperoleh mulai dari pengalaman langsung (konkret), kenyataan yang ada di lingkungan kehidupan seseorang melalui benda tiruan, sampai ke lambang verbal (abstrak). Semakin ke atas di puncak kerucut semakin abstrak media penyampaian pesan. Semakin ke bawah semakin konkret media penyampaian pesan. Urutan kerucut pengalaman tidak berarti proses belajar dan interaksi pembelajaran harus selalu dimulai dari pengalaman langsung, melainkan dimulai dari jenis pengalaman yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan peserta didik. Dasar pengembangan kerucut pengalaman bukanlah tingkat kesulitan, melainkan gambaran tingkat keabstrakan jumlah jenis indra yang turut serta dalam penerimaan isi pengajaran atau pesan yang mempengaruhi pemahaman siswa dalam pembelajaran. Jadi, dalam kerucut pengalaman yang disampaikan oleh Dale bahwa tingkatan yang ada di dalamnya bukanlah berdasarkan tingkat kesulitan yang diperoleh atau akan didapatkan oleh siswa dalam suatu pembelajaran, namun hal tersebut berdasarkan tingkat keabstrakannya. Di mana semakin ke atas maka akan semakin abstrak apa yang diperoleh oleh siswa, dan semakin ke bawah maka akan semakin konkret. Dan ini juga bisa dikatakan berdasarkan keindraan. Misalnya, jika suatu pesan disampaikan dalam lambang-lambang seperti bagan, grafik, atau kata, maka indra yang terlibat akan semakin terbatas yaitu di sini yang terlibat hanya indra penglihatan dan pendengaran, meskipun dalam situasi ini daya imajinatif akan berkembang tapi ini akan memberikan gambaran yang abstrak terhadap peserta didik. D. Keragaman Gaya Belajar Gaya belajar adalah cara seseorang menerima informasi baru dan proses yang akan mereka gunakan untuk belajar.14 Menurut De Porter dan Hernacki gaya belajar



14



Andri Priyatna, Pahami Gaya Belajar Anak! Maksimalkan Potensi Anak dengan Modifikasi Gaya Belajar, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2013), hlm. 2-3



11



adalah kunci untuk mengembangkan kinerja dalam pekerjaan, di sekolah, dan dalam situasi-situasi antar pribadi. Jika seseorang menyadari bagaimana cara dia dan orang lain menyerap dan mengolah informasi, maka ia dapat menjadikan belajar dan berkomunikasi lebih mudah dengan caranya sendiri. Cara belajar merupakan kombinasi dari bagaimana menyerap, mengatur, dan mengolah informasi. Ada beberapa pandangan umum mengenai gaya belajar. Berikut ini beberapa model yang disebutkan oleh Barbara Prashnig, yaitu15: 1. Model VAK Model VAK (Visual, Auditori, Kinestetik) ini memperhitungkan modalitas indrawi seseorang dalam memproses dan menyimpan informasi. Model ini diciptakan di tahun 1970-an dan digunakan secara luas untuk konseling, pembelajaran, dan pelatihan komunikasi. Model ini paling populer di kalangan masyarakat. Model ini juga disebutkan De Porter dan Hernacki dalam buku Quantum Learning: Unleashing The Genius in You. Orang dengan gaya belajar visual, belajar dari apa yang mereka lihat. Sedangkan mereka yang auditori melakukannya melalui apa yang mereka dengar, dan pelajar kinestetik melakukannya melalui gerakan dan sentuhan. Walaupun masing-masing orang belajar dengan ketiga modalitas ini pada tahap tertentu, kebanyakan orang lebih cenderung pada salah satu di antara ketiganya. Atau ada pula yang memiliki kombinasi di antaranya. 2. Model Sistem 4MAT Model Sistem 4MAT, dikembangkan pada tahun 1980an dan didasarkan pada dominasi otak kanan dan otak kiri. Model ini memberikan wawasan mengenai cara seseorang menerima dan kemudian memproses informasi. Model ini menganalisis bagaimana belajar melalui pengalaman konkret, observasi reflektif, eksperimentasi aktif, serta konsep yang abstrak. 3. Model Dunn dan Dunn Model ini dikembangkan oleh Rita Stafford Dunn dan Kenneth J. Dunn sejak akhir 1960-an. Mereka mengidentifikasi preferensi-preferensi individu selama berlangsung proses belajar dan menemukan banyak variabel yang mempengaruhi cara belajar orang. Variabel tersebut yaitu situasi dan kondisi lingkungan, keadaan emosional, sosiologi, fisik, dan psikologi yang dibutuhkan untuk dapat menerima informasi atau belajar dengan optimal. 15



Pusvyta Sari, Analisis Terhadap Kerucut Pengalaman Edgar Dale dan Keragaman Gaya Belajar untuk Memiih Media yang tepat dalam Pembelajaran( Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 1 No. 1, 2019), hlm. 66-68



12



4. Model Brain Quadrants Model Brain Quadrants dikembangkan oleh Herrmann di akhir tahun 1970an. Model ini menjabarkan preferensi-preferensi untuk fungsi mental dan dominasi otak. Dengan model ini seseorang memperkirakan bagaimana otak kiri dan otak kanan bisa berperan dengan baik untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan. 5. Gregorc Energic Model of Mindstyles Gregorc Energic Model of Mindstyles, diciptakan pertengahan tahun 1970-an. Model ini menyajikan cara yang terorganisasi untuk mempertimbangkan bagaimana pikiran bekerja. 6. Model Working Style Analysis Model Working Style Analysis ini didasarkan pada model yang dikembangkan Dunn dan Dunn. Model ini diciptakan Prashnig bersama Dunn dan Dunn pada tahun 1993. Konsep yang dikemukakan dalam model ini ialah menyadari keragaman dalam proses belajar, berlatih dan bekerja. Learning Style Analisis (LSA) atau analisis gaya belajar dikembangkan dari model ini. Caranya yaitu dengan mengamati variabelvariabel yang mempengaruhi seseorang dalam belajar, antara lain bagaimana dominasi otak kanan/kiri, modalitas indrawi, kebutuhan fisik, lingkungan, sosial, dan sikap. Mengenal kondisi lingkungan, seseorang dapat mengukur bagaimana suara, cahaya, suhu dan wilayah kerja yang paling nyaman untuk belajar. Sedangkan untuk pengelompokan sosial, LSA berupaya mengetahui apakah seseorang nyaman belajar sendiri, berpasangan, dengan teman sebaya, dengan tim atau dengan orang yang dianggap memiliki otoritas, misalnya guru atau orang tua. Dalam hal sikap, seseorang memperhitungkan motivasi, ketekunan, penyesuaian, struktur dan variasi. Bagaimana ia mendapatkan motivasi yang cukup untuk mengoptimalkan belajar? Apakah ia termasuk orang yang tekun suatu bidang atau bisa belajar melalui aktivitas yang bermacam- macam. Apakah ia membutuhkan belajar secara rutin/konsisten, atau membutuhkan banyak variasi metode belajar? Hasil dari analisis gaya belajar ini bisa digunakan oleh individu untuk melakukan proses belajar yang sesuai dengan gayanya. Di sisi lain, hasil itu bermanfaat bagi orang tua agar menyadari gaya belajar anaknya. Sedangkan bagi guru dan sekolah, pengetahuan mengenai gaya belajar peserta didik diharapkan dapat mendorong penyelenggaraan proses belajar yang sesuai dengan gaya belajar peserta didik agar kemampuan dan hasil belajarnya bisa diraih dengan lebih optimal. 13



Konsep tentang gaya belajar ini tampak begitu meyakinkan dan teruji kebenarannya. Namun, beberapa kejanggalan menunjukkan bahwa konsep itu adalah mitos. Bahkan Riener dan Willingham menyatakan bahwa, tidak ada bukti yang dapat dipercaya bahwa gaya belajar itu ada. Beberapa klaim konsep gaya belajar terbantahkan dengan teori-teori dan pendekatan dalam pembelajaran yang ada, sehingga mencari tahu mengenai gaya belajar diri sendiri ataupun peserta didik bisa menjadi tindakan yang membuang waktu saja. Klaim yang pertama konsep gaya belajar menyatakan bahwa setiap pembelajar berbeda satu sama lain, perbedaan-perbedaan ini mempengaruhi kinerja mereka, dan para guru seharusnya memperhitungkan perbedaan-perbedaan ini. Semua pengajar memandang itu benar dan penting, namun ada hal yang lebih utama harus dipertimbangkan, yaitu:16 1. Bakat, kemampuan, atau kecerdasan mereka yang berbeda, dalam kapasitas mereka untuk belajar dalam materi yang berbeda-beda. 2. Kemampuan dan minat belajar siswa yang berbeda-beda. Seseorang bisa lebih senang dan memiliki minat yang tinggi dalam hal musik sementara yang lainnya tertarik dalam hal olahraga atau bidang lainnya. 3. Peserta didik atau pembelajar berbeda latar belakang pengetahuan, dan perbedaan itu mempengaruhi mereka belajar. 4. Beberapa siswa memiliki kesulitan atau ketidakmampuan belajar tertentu, dan ini mempengaruhi pembelajaran mereka dengan cara tertentu. 5. Pelajar memiliki preferensi tentang caranya untuk belajar yang tidak tergantung pada kemampuan dan konten dan memiliki implikasi yang bermakna bagi pembelajaran mereka. Klaim itu menjadi sangat janggal ketika dikaitkan dengan pertanyaan apakah kita bisa menjawab cara kita belajar tanpa mengetahui materi apa dan tujuan belajar seperti apa yang ingin dicapai? Kemudian mengenai penggunaan media pembelajaran, apakah perlu pengajar mencari gaya belajar peserta didik ketika yang digunakan adalah multimedia? Apakah seseorang yang dikatakan memiliki gaya belajar visual hanya menghendaki media pembelajaran berbasis visual saja? Atau yang auditori hanya mau belajar dengan media berbasis pendengaran saja? Pengajar yang berencana menerapkan multimedia dalam proses pembelajaran tidak perlu melakukan analisis mengenai gaya belajar peserta didik terlebih dahulu, karena 16



Ibid, 69



14



multimedia memiliki kelebihan yang bisa digunakan oleh multi modalitas indrawi, baik audio, visual maupun kinestetik untuk multimedia yang interaktif. Namun di sisi lain pengajar tidak bisa menerapkan multimedia tersebut begitu saja tanpa mempertimbangkan aspek pembelajaran yang lainnya. Sebagaimana yang dikemukakan Dweck, peserta didik yang memiliki pola pikir bahwa kemampuan intelektual mereka sifatnya tetap, mereka merasa hanya memiliki



sejumlah



kecerdasan



dan



terus



berusaha



membuktikannya



dan



mengabaikan kemungkinan yang lain dan hanya fokus pada hal itu. Sementara peserta didik yang lain fokus pada usaha dan terus berupaya untuk berhasil menjadi apa yang diinginkannya. Pelabelan tentang kecenderungan gaya belajar peserta didik dapat membuat peserta didik mengabaikan cara-cara belajar yang lain yang bisa jadi justru memberikan dukungan kuat bagi mereka untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya



15



BAB III PENUTUP



Kesimpulan Media secara harfiah yaitu “perantara” atau “ pengantar”. Media merupakan sesuatu yang bersifat menyalurkan pesan dan dapat merangsang pikiran, perasaan, dan kemauan audien (siswa) sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar pada dirinya. Sedangkan pengertian dari media pembelajaran adalah suatu alat bantu baik secara fisik maupun non fisik yang digunakan dalam proses belajar mengajar agar dapat memperjelas penyampaian materi atau pesan dari pendidik kepada peserta didik. Kerucut pengalaman atau cone of experience diperkenalkan oleh Edgar Dale pertama kali pada tahun 1946, dalam bukunya yang berjudul Audiovisual Methods in Teaching, tentang metode audiovisual dalam pengajaran. Kemudian, ia merevisinya pada pencetakan kedua pada tahun 1954 dan revisi lagi pada tahun 1969. Kerucut pengalaman Edgar Dale menunjukkan pengalaman yang diperolah dalam menggunakan media dari paling konkret (di bagian paling bawah) hingga paling abstrak (di bagian paling atas). Kerucut pengalaman yang dikemukakan menggambarkan bahwa pengalaman belajar siswa dapat diperoleh melalui proses perbuatan atau mengalami sendiri, proses mengamati dan mendengarkan melalui media tertentu. Semakin konkret siswa mempelajari bahan pembelajaran contohnya melalui pengalaman langsung, maka semakin banyak pengalaman yang didapatkan oleh siswa. Gaya belajar adalah cara seseorang menerima informasi baru dan proses yang akan mereka gunakan untuk belajar. Menurut De Porter dan Hernacki gaya belajar adalah kunci untuk mengembangkan kinerja dalam pekerjaan, di sekolah, dan dalam situasi-situasi antar pribadi.



16



DAFTAR PUSTAKA



Arsyad, Azhar. 2013. Media Pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Asnawir dan M. Basyiruddin Usman. 2002. Media Pembelajaran. Jakarta: Ciputat Press. Asyhar, Rayandra. 2012. Kreatif Menggambarkan Media Pembelajaran. Jakarta: Referensi Jakarta. Priyatna, Andri. 2013. Pahami Gaya Belajar Anak! Maksimalkan Potensi Anak dengan Modifikasi Gaya Belajar. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Sanjaya, Wina. 2012. Media Komunikasi Pembelajaran. Jakarta: Kencana Pranada Media Group. Sari, Pusvyta. 2019. Analisis Terhadap Kerucut Pengalaman Edgar Dale dan Keragaman Gaya Belajar untuk Memilih Media yang Tepat dalam Pembelajaran. Jurnal Manajemen Pendidikan Vol. 1 No. 1. Susilana, Rudi dan Cepi Riyana. 2007. Media pembelajaran. Bandung: CV Wacana Prima.



17



18