Kerajaan Tanah Jawa Tahun 1889 - 1946: Fauzan, M. Hilmy [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Universitas Sumatera Utara Repositori Institusi USU



http://repositori.usu.ac.id



Departemen Sejarah



Skripsi Sarjana



2016



Kerajaan Tanah Jawa Tahun 1889 - 1946 Fauzan, M. Hilmy Universitas Sumatera Utara http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/18690 Downloaded from Repositori Institusi USU, Univsersitas Sumatera Utara



KERAJAAN TANAH JAWA TAHUN 1889 - 1946



SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN



O L E H



NAMA NIM



: M. HILMY FAUZAN : 120706036



DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Lembar Persetujuam Ujian Skripsi



Kerajaan Tanah Jawa Tahun 1889 - 1946 Yang telah diajukan oleh : Nama : M. Hilmy Fauzan NIM : 120706036



Telah disetujui untuk diajukan dalam ujian skripsi oleh : Pembimbing,



Tanggal,...............



Dr. Suprayitno, M.Hum. NIP. 196101191988031004



Ketua Departemen Sejarah,



Tanggal,...............



Drs. Edi Sumarno, M.Hum. NIP. 19640922989031001



DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI KERAJAAN TANAH JAWA TAHUN 1889-1946 Skripsi Sarjana Dikerjakan O L E H NAMA: M. HILMY FAUZAN NIM: 120706036 Pembimbing



Dr. Suprayitno, M.Hum NIP. 196101191988031004 Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, untuk melengkapi salah satu ujian sarjana Fakultas ilmu Budaya dalam bidang Ilmu Sejarah



DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



LEMBAR PERSETUJUAN KETUA DEPARTEMEN



DISETUJUI OLEH : FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016



DEPARTEMEN SEJARAH Ketua Departemen,



Tanggal:



2016



Drs. Edi Sumarno, M.Hum. NIP. 19640922989031001



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Lembar Pengesahan Skripsi oleh Dekan dan Panitia Ujian PENGESAHAN Diterima oleh: Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat sarjana Fakultas Ilmu Budaya dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya USU Medan Pada 2016 Tanggal : : Hari Fakultas Ilmu Budaya USU Dekan,



Dr. Budi Agustono, M.S. NIP 196008051987031001 Panitia Ujian: No.



Nama



(Tanda Tangan)



1.



Drs. Edi Sumarno, M.Hum.



(.................................................)



2.



Dra. Nurhabsyah, M.Si.



(.................................................)



3.



Dr. Suprayitno, M.Hum.



(.................................................)



4.



Dra. Junita Setia Ginting, M.Si



(.................................................)



5.



Dra. Ratna, M.S.



(.................................................)



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



KATA PENGANTAR



Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena kuasa berkat-Nya, penulisan ini dapat diselesaikan dengan baik, meskipun penulis sadari bahwa masih perlu kajian tambahan untuk melengkapi tulisan namun mengingat waktu, kemampuan dan pengetahuan penulis, dengan kerendahan hati mengharapkan adanya perbaikan dan penyempurnaan tulisan dengan koreksi serta saran dari pembaca sekalian. Skripsi ini merupakan sebuah karya ilmiah yang disusun sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul “Kerajaan Tanah Jawa Tahun 1889 - 1946”. Demikianlah yang penulis bisa sampaikan apabila ada kekurangan ataupun kesalahan kiranya dapat dimaafkan. Penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca



untuk



penyempurnaan



kedepannya.



Atas



perhatiannya



penulis



menyampaikan terima kasih. Medan,



2016 Penulis



M. Hilmy Fauzan



i



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



UCAPAN TERIMAKASIH Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidakakan bisa selesai tanpa bantuan, perhatian dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada : 1. Yang utama kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas ridho-Nya skripsi ini dapat terselesaikan. 2. Bapak Dr. Budi Agustono selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya 3. Bapak Drs. Edi Sumarno,M.Hum. selaku Ketua Departemen Sejarah yang telah memberikan pengetahuan dan arahan selama berkuliah. 4. Bapak Dr. Suprayitno,M.Hum selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak membimbing, mengarahkan serta memberi saran kepada penulis. 5. Bapak Drs. Edi Sumarno,M.Hum, selaku Dosen PA yang memberi pengetahuan selama berkuliah. 6. Seluruh Bapak Ibu Dosen dan Pegawai Departemen Sejarah, untuk semua pengetahuan selama perkuliahan. 7. Buat kedua orang tua tercinta Ayah Sukanto dan Bunda Mahdalena Hasibuan, yang telah membesarkan saya dengan Doa, kasih sayang tulus, beserta dukungan, semangat, senyuman dan juga untuk segala hal yang kalian berikan kepada saya. 8. Kepada adik-adik saya yang saya sayangi Firgiawan Lestanto dan Nawrah Zhafirah.



ii



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



9. Untuk semua keluarga yang ada di Medan terkhususnya terimakasih telah memberikan kasih sayangnya kepada saya selama saya tinggal di Medan. 10. Untuk teman seperjuangan stambuk 2012 sekaligus keluarga yang intens menemani selama empat tahun Tirta Utama Sinuhaji, M. Iqbal Hafidz, M. Purnawan, Ellel Lilis S, Jefri Simbolon, Junita Sihombing, M. Azis Rizki, Zuli Ariny, Daniel Jonatan Tito Sigalingging, Rio Sitorus, Zetta Agustina, Putri, Eka syahputri, Halimah, Susiniati, Roi Haryanto, Harapan, Maria Kasuarina, Agung Roi,Veronica Natalina, Visi Bestari, Utari Mahara, Andri Ismayantri serta seluruh kawan-kawan yang tidak tersebutkan satupersatu, terimakasih. 11. Untuk The Best Partner saya Ika Azura Margolang yang telah memberikan support selama penulisan skripsi ini. 12. Kepada senior-senior yang ada di Ilmu Sejarah yang telah memberikan banyak pengalaman berharga. .



iii



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ………………………………………………………



i



UCAPAN TERIMAKASIH ………………………………………………..



ii



DAFTAR ISI ………………………………………………………………..



iv



DAFTAR TABEL …………………………………………………………...



vi



DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………..



vi



GLOSSARY ………………………………………………………………….



vii



ABSTRAK .....................................................................................................



ix



BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ……………………………………………



1



1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………….



5



1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian …………………………………….



6



1.4 Tinjauan Pustaka …………………………………………………..



7



1.5 Metode Penelitian …………………………………………………



9



BAB II KERAJAAN TANAH JAWA 2. 1 Latar Belakang berdirinya kerajaan Tanah Jawa ……………..



11



2. 2 Kondisi Geografis …………………………………………….



13



2. 3 Penduduk ……………………………………………………..



15



BAB III SISTEM PEMERINTAHAN KERAJAAN TANAH JAWA 3. 1 Sistem pemerintahan ………………………………………...



23



3. 2 Pengangkatan raja-raja Tanah Jawa ……………………………



30



3. 3 Wilayah kerajaan Tanah Jawa ……………………………….



37



iv



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



BAB IV SISTEM KEPEMILIKAN TANAH DI KERAJAAN TANAH JAWA 4. 1 Tanah Raja ………………………………………………….



43



4. 2 Tanah penduduk ………………………………………........



49



4. 3 Hancurnya Kerajaan Tanah Jawa dan Perubahan Sistem Kepemilikan Tanah ………………………………………………………..



57



BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6. 1 Kesimpulan ……………………………………………….



65



6. 2 Saran ……………………………………………………..



68



BIBLIOGRAFI ………………………………………………………….



69



LAMPIRAN ……………………………………………………………..



72



v



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



DAFTAR TABEL Tabel I : Jumlah Penduduk Sumatera Timur …………………………



16



Tabel II: Pembagian suku-suku di Sumatera Timur 1930 …………….



18



Tabel III: Sislsilah Raja Kerajaan Tanah Jawa ………………………..



32



Tabel IV: Tingkatan Wilayah Kerajaan Tanah Jawa ………………….



36



DAFTAR GAMBAR Gambar 1: Regency of Simalungun ………………………………….



vi



38



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



GLOSSARY Astronomis



: Letak suatu wilayah atau daerah berdasarkan garis lintang dan garis bujur.



Bulang-bulang



: Kain penutup kepala



Gamot



: Pimpinan dari sebuah huta.



Galunggung



: Tanah yang baru saja dibuka namun belum lama ini ditinggalkan lagi dan pemiliknya bisa diketahui.



Harangan



: tanah yang kembali menjadi liar namun yang masih bisa ditemukan beberapa bekas penggarapannya.



Tombak



: Hutan belukar, atau tanah yang tidak pernah dibuka atau tidak lagi ada bekas pembukaannya.



Parbapaan



: Seorang yang dituakan oleh masyarakat.



Partuanon



: Orang yang memimpin pada satu distrik (bergelar Tuan).



Pangulu



: Orang yang membantu urusan dari tuan.



Puang



: Para istri kepala adat.



Puang Bolon



: Istri pertama raja.



Puang Huta



: Istri pertama Tuan.



Topografi



: Studi tentang bentuk permukaan bumi dan objek lain seperti planet dan sateli alami.



Voorzitter



: Hakim



vii



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



ABSTRAK Dalam perkembangan kerajaan-kerajaan yang ada di Simalungun terdapat tujuh kerajaan besar yaitu Siantar, Tanah Jawa, Dolog Silou, Panei, Raya, Purba dan Silimakuta yang di sebut (Raja Marpitu) yang menentang penjajahan Hindia-Belanda dan jepang. Datangnya bangsa kolonial ke Simalungun memberikan dampak besar pada kerajaan-kerajaan yang ada di Simalungun khususnya kerajaan Tanah Jawa Dalam Skripsi ini penulis menerangkan sejarah dan perkembangan dari salah satu kerajaan yang ada di Simalungun yaitu Kerajaan Tanah Jawa mulai dari awal terbentuknya Kerajaan tanah Jawa, sistem pemerintahan, hak-hak tanah serta runtuhnya Kerajaan tanah Jawa akibat dari “Revolusi Sosial” yang terjadi pada 1946. Kajian ini menggunakan metode sejarah dalam proses penelitiannya. Pada proses heuristik, digunakan sumber-sumber berupa arsip dari Perpustakaan dan kearsipan daerah Simalungun, buku-buku dan jurnal sejaman sebagai data primer serta, artikel, skripsi dan disertasi sebagai data sekunder. Setelah data terkumpul kemudian dilakukan verifikasi yakni kritik intern dan ekstren untuk menemukan fakta-fakta. Selanjutnya fakta tersebut diinterpretasikan, sehingga diperoleh data yang objektif untuk diceritakan kembali dalam proses historiografi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang Kerajaan Tanah Jawa mulai dari tahun 1889-1946. Namun sebelumnya dijelaskan pula latar belakang berdirinya Kerajaan Tanah Jawa dan berkembangnya serta runtuhnya Kerjaan Tanah jawa akibat dari “Revolusi Sosial” di Simalungun. Kata kunci : Kerajaan di Simalungun, Hak Tanah, Revolusi Sosial.



viii



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Datangnya bangsa Belanda ke Simalungun1 memberikan dampak besar pada kerajaan-kerajaan yang ada di Simalungun, khususnya kerajaan Tanah Jawa2. Tanah Jawa merupakan salah satu kerajaan di Simalungun. Arifin Alamsyah Sinaga yang merupakan turunan langsung dari Tuan Jintar Sinaga raja Tanah Jawa menjelaskan bahwa pada awalnya nama Tanah Jawa adalah “Panatap Daoh” kemudian Tahtah Daoh, kemudian Tanah jawa3 sehingga bisa menatap jauh karena tanahnya datar.4 Versi lain menyebutkan bahwa berasal dari kampung Urat Samosir, terkenal dengan nama Nadihoyong. Nadihoyong memiliki 3 keturunan yaitu, yang sulung bernama Muharaja, mengembara kedaerah Simalungun dan membentuk perkampungan bernama Limbong, yang kemudian berganti nama menjadi Dolog Panribuan dan sekarang daerah tersebut dinamakan Kecamatan Dolog Panribuan.5 Pada suatu ketika Muharaja dibawa menghadap raja Sitanggang untuk menjelaskan dari mana asal



1



Simalungun adalah sebuah kabupaten di Sumatera Utara yang ibu kotanya adalah Raya. Kabupaten Simalungun berbatasan dengan Deli Serdang dan Serdang Bedagai disebelah utara,disebelah selatan dengan kabupaten Toba Samosir, sedangkan di sebelah barat adalah kabupaten Karo dan disebelah timur dengan kabupaten Batu Bara. 2 Kerajaan tanah Jawa berkedudukan di daerah Pematang Tanah Jawa yang terletak diantara Kesultanan Asahan, Kesultanan Deli dan Serdang. Kerajaan Tanah Jawa terdiri dari beberapa perbapaan yaitu Tuan Dolog Panribuan, Tuan Djorlang Hataran, Tuan Marjandi Asih, Tuan Hatonduan, Tuan Batangio dan Raja Girsang Sipangan Bolon 3 Tanoh = Daerah, Jawa= Datar. 4 Dr.Budi Agustono dkk., Sejarah Etnis Simalungun, Medan : USU Press, 2012, hlm. 52. 5 J. Tideman, Simeloengoen, hal. 13.



1



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



keturunannya, Muharaja menerangkan dirinya adalah seorang pengembara. Raja Sitanggang menerima dirinya sebagai penduduk didaerahnya dan ditugaskan untuk menjadi penyedia minuman untuk raja Sitanggang. Dari nama Tanoh Jawa menimbulkan dugaan bahwa di sini pada masa lalu menjadi tempat tinggal koloni orang Jawa Hindu. Mungkin saja bahwa imigrasi Minangkabau dari tempat ini telah terjadi, pada masa dominasi Jawa atas Sumatera Selatan dan Tengah (Abad XIV dan XV). Dalam memori residen Bengkulu L.C.Wesenk disebutkan, pada tahun 1365 “Koloni orang Melayu Hindu dan orang Jawa minimal membentang sampai arus hilir (arah 2 kilometer di timur laut terletak patung Budha di dalam hutan seperti Avalokiteswara Roco), dan ke arus hulu sampai Pulu Punjung” Tanah Jawa yang mungkin paling subur dan produktif dari semua daerah ini dan merupakan daerah paling luas di seluruh Simalungun. Di sini jalan niaga membentang dari Labuhan Ruku melalui Pasar Maligas, Pamatang Tanah Jawa, Girsang dan Simpangan Bolon sampai Aji Bata (yang terletak di danau Toba). Tideman berdasarkan penelitiannya menyebutkan bahwa di Tanah Jawa pada masa lalu menjadi tempat tinggal koloni orang Jawa Hindu. Muharaja pendiri Tanah Jawa Maligas, Pamatang Tanah Jawa, Girsang dan Simpangan Bolon. Hak-hak kepemilikan tanoh (tanah) terutama di Kerajaan Tanah Jawa dimiliki oleh para kepala yang ternyata merupakan pemilik tanah liar, bahkan semua tanah. Di



2



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



sana bila sawah dibuka dan kampung dibangun, hak milik lahan itu dilimpahkan kepada penduduk: para kepala kampung dan penduduk kampung.6 Semua yang dimiliki kampung seperti kebun dengan buahnya menjadi satu dan tidak lagi termasuk milik daerah; ini menjadi hak milik kampung; dan hanya bisa kembali dimiliki raja apabila telah sengaja ditinggalkan. Jika ini ditinggalkan maka seluruh lahan termasuk tanaman di atasnya menjadi hak milik raja. Apabila tanah liar memadai, setiap penduduk kampung bisa menggunakan tanah itu semaunya; selain itu dia harus menyerahkan 1/10 hasil panennya kepada raja. Di daerah Toba kondisinya berbeda. Di sini seluruh tanah termasuk milik marga induk; namun para kepala memiliki kekuasaan atas tanah liar dan tidak berpenghuni. Mereka sering memberi pertimbangan kepada para kepala bawahan dengan kawulanya dalam kasus penyerahan hak tanah, juga dalam pemberian sebagian panen, namun mereka tidak diwajibkan seperti para kepala Simalungun. Bisa diduga pada masa lalu bahwa tanah dimiliki oleh marga yang berkuasa, jadi untuk seluruh warga tanah dimiliki secara komunal. Dengan pembagian desa dan kemunculan semakin banyak kompleks kampung (kampung induk dengan pemukimannya di sini dianggap sebagai suatu kompleks), suatu pembagian lahan muncul sehingga setiap kompleks memiliki tanahnya sendiri. Sebaliknya semakin banyak kekuasaan tunggal kepala urung yang berkembang, raja yang memiliki semakin banyak hak yang terutama dianggap sebagai penguasa dan pemilik semua



6P.A.L.E



van Dijk, “Laporan mengenai Simalungun” dalam TBG (terj.)., hlm. 24.



3



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



tanah liar. Dan akhirnya atas lahan-lahan yang telah dibuka, di samping hak pembuka, bisa disebutkan adanya hak waris turun-temurun. Aspek spasial dan ruang lingkup dari penelitian ini adalah pada pada tahun 1889 sampai dengan tahun 1946. Peneliti tertarik mengkaji pada rentang waktu tersebut karena secara lengkap belum ada penelitian tentang Kerajaan Tanah Jawa, meski demikian dalam beberapa buku ada disinggung mengenai kerajaan Tanah Jawa, tetapi bagaimana bentuk pemerintahannya, hak tanah, perkembangan masyarakat dan sampai runtuhnya kerajaan Tanah Jawa pada tahun 1946 belum banyak disinggung. Berdasarkan hal tersebut perlu saya teliti dalam penelitian skripsi untuk melengkapi kekurangan itu. Berdasarkan uraian diatas maka penelitian ini diberi judul “Kerajaan Tanah Jawa 1889-1946”. Penelitian ini akan menjelaskan bagaimana kerajaan Tanah Jawa sebelum masuknya bangsa kolonial, setelah masuknya bangsa kolonial, permasalahan mengenai hak tanah,kebiasaan penduduk, sampai Revolusi sosial tahun 1946 . C. Rumusan Masalah Dalam melakukan suatu penelitian, rumusan masalah menjadi landasan yang sangat penting dari sebuah penelitian karena akan memudahkan peneliti dalam proses pengumpulan data dan analisis data. Dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka penelitian ini mencoba mengkaji Kerajaan Tanah Jawa di Simalungun 1889 - 1946 . Penjabaran permasalahan yang akan di kaji dalam penelitian ini akan dipandu melalui pertanyaan-pertanyaan utama sebagai berikut:



4



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



1. Bagaimana Latar belakang berdirinya Kerajaan Tanah Jawa. 2. Bagaimana sistem pemerintahan di Kerajaan Tanah Jawa. 3. Bagaimana sistem kepemilikan tanah di Kerajaan Tanah Jawa. D. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan dan manfaat yang penting tentunya, bukan hanya bagi peneliti tetapi juga bagi masyarakat umum. Penelitian ini bertujuan : 1. Untuk mendeskripsikan latar belakang terbentuknya Kerajaan Tanah Jawa. 2. Untuk mendeskripsikan bagaimana sistem pemerintahan dan peraturan di kerajaan Tanah Jawa. 3. Untuk mendeskripsikan mengenai hak-hak tanah di Kerajaan Tanah Jawa.. E. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk memperbanyak penelitian sejarah lokal di Sumatera Utara. 2. Sebagai informasi bagi masyarakat yang ingi mengetahui seperti apa kerajaan Tanah Jawa sebelum dan sesudah runtuhnya kerajaan Tanah Jawa. 3. Hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi penelitian berikutnya yang akan meneliti tentang kerajaan Tanah Jawa.



5



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



E.Tinjauan Pustaka Pembahasan pengaruh Kerajaan Tanah Jawa banyak disinggung di beberapa buku dan skripsi. Namun belum ada buku yang membahas penuh tentang kerajaan Tanah Jawa seperti, sistem pemerintahan dan sistem kepemilikan tanah. Buku-buku yang ada saat ini hanya menyinggung secara umum tentang kerajaan Tanah Jawa. Budi Agustono dkk, Sejarah Etnis Simalungun. (2012). Buku ini menjelaskan secara umum mengenai sejarah kerajaan Tanah Jawa serta kerajaan-kerajaan lain di Simalungun pada masa Prakolonial Belanda, sampai pasca Kolonial. Dalam buku itu dijelaskan latar belakang historis kerajaan yang ada disimalungun, gambaran umum tentang suku, agama di Simalungun pada masa Kolonial Belanda dan akhir dari kerajaan di Simalungun. P.A.L.E van Dijk, Laporan Controleur Toba Mengenai Simalungun Daerah Tanjung Kasau, Tanah Jawa dan Siantar dalam TBG terjemahan oleh Tim Penulisan Sejarah Simalungun tahun 1894. Van Dijk mengambarkan secara umum daerah Simalungun, letak daerah, letak perkampungan, penduduk,situasi pertanian, peternakan, perdagangan, bahasa, tulisan, agama serta politik pada masa kolonial sampai runtuhnya kerajaan Simalungun akibat revolusi pada tahun 1946. Tuan Bandar Alam Purba Tambak. Sejarah Simalungun (1982), menjelaskan tentang kerajaan-kerajaan yang ada di Simalungun, sistem pemerintahan, letak geografis, silsilah kerajaan-kerajaan di Simalungun. Buku ini juga menjelaskan tentang beberapa versi mengenai asal-usul kerajaan di Simalungun. Sejarah kerajaan



6



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Simalungun yang diceritakan oleh buku ini masih terdapat unsur-unsur cerita rakyat dalam penulisannya. P.A.L.E van Dijk dalam “Nota Penjelasan mengenai daerah Siantar,Pane, Tanah Jawa dan Raya di Simalungun” yang dimuat TBG tahun 1909. Laporan ini menjelaskan tentang sistem kepemilikan tanah di Tanah Jawa masa kolonial, gambaran perjalanan, kunjungan peristiwa dalam perjalanan komisi 7 ke tanah batak pendampingnya terdiri atas beberapa kepala dari Onderafdeling Toba (wilayah pantai barat Sumatra). Semua buku-buku tersebut diatas relevan dengan pokok bahasan dalam skripsi ini. Khususnya pada pembahasan tentang latar belakang sejarah berdirinya kerajaan di Tanah Jawa, sistem kepemilikan tanah dan sistem pemerintahannya. F. Metode Penelitian Penelitian yang saya lakukan adalah sebuah penelitian sejarah yang menekankan pada aspek manusia, temporal, dan spasial. Oleh karena itu penelitian ini akan menggunakan metode sejarah. Yang dimaksud dengan metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau8. Metode sejarah berisi tahapan yang harus dilalui untuk menghasilkan



7 Dalam keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 18 Pebruari 1892 nomer 5 sebuah komisi yang terdiri atas Kontrolir klas-1 Pemerintahan di daerah luar Jawa dan Madura P.A.L.E. van Dijk dan J.A. Kroesen ditugasi untuk mengadakan suatu penelitian lokal terhadap kondisi di Tanjung Kasau, Siantar dan Tanah Jawa (Karesidenan Pantai Timur Sumatra) untuk menyiapkan sebuah peraturan lebih lanjut mengenai hak-hak dan kewajiban para raja daerah ini terhadap pemerintah Belanda. 8 Louis Gottschalk,Mengerti Sejarah, terj.dari Nugroho Notosusanto, Jakarta: UI Press, 1985,hlm. 39.



7



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



sebuah tulisan sejarah. Tahapan-tahapan tersebut adalah heuristik, kritik, intepretasi, dan historiografi. Tahap pertama adalah heuristik. Secara sederhana heuristik berarti proses pengumpulan sumber-sumber historis yang berkaitan dengan topik penelitian. Dalam kaitannya dengan hal ini, peneliti akan melakukan studi arsip dan studi pustaka. Selain sumber primer, peneliti akan mengumpulkan sumber sekunder melalui studi pustaka. Studi pustaka dilakukan untuk mengumpulkan sumber-sumber yang berhubungan dengan topik penelitian ini baik dalam bentuk buku, skripsi, tesis, disertasi, jurnal dan lainnya. Untuk mengumpulkan sumber pustaka saya mengunjungi beberapa perpustakaan yakni, Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, di perpustakaan Universitas Sumatera Utara saya mendapatkan beberapa buku yang mengarah ke judul penelitian saya, ada beberapa masalah yang saya alami ketika mencari buku di perpustakaan Universitas Sumatera utara, pada sistem pencarian buku tersebut berada di rak nomor 335 tetapi setelah dicari buku tersebut ternyata tidak ada dan hampir semua buku terjadi hal yang sama. Perpustakaan Daerah



Sumatera



Utara,dan



Perpustakaan



Tengku



Lukman



Sinar.



Untuk



mendapatkan arsip saya meminta bantuan teman yang berangkat ke Jakarta untuk melakukan studi arsip. Setelah mendapatkan sumber-sumber yang diinginkan, maka tahap yang selanjutnya adalah kritik sumber. Pada tahap ini, sumber-sumber relevan yang telah



8



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



diperoleh diverifikasi kembali untuk mengetahui keabsahannya.9 Oleh karena itu perlu dilakukan kritik, baik kritik ekstern maupun intern. Kritik ekstern mencakup seleksi dokumen. Apakah dokumen tersebut perlu digunakan atau tidak dalam penelitian. Kemudian juga menyoroti tampilan fisik dokumen, mulai dari ejaan yang digunakan, jenis kertas, stempel, atau apakah dokumen tersebut telah dirubah atau masih orisinil. Tahap selanjutnya adalah intepretasi. Intepretasi merupakan penafsiranpenafsiran terhadap sumber-sumber yang telah dikritik. Dalam tahap ini, peneliti akan melakukan analisa dan sintesa. Analisa berarti menguraikan. Dari proses analisa akan diperoleh fakta-fakta. Kemudian data-data yang telah diperoleh disintesakan sehingga mendapat sebuah kesimpulan.10 Tahap terakhir dari penelitian sejarah adalah historiografi. Historiografi merupakan proses penulisan fakta-fakta yang telah diperoleh secara kronologis dan kritis-analitis. Penulisan tersebut akan dituangkan dalam bentuk skripsi yang berpedoman pada outline yang telah dirancang sebelumnya.



9



Kuntowijoyo,Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995, hlm.



99 10



Ibid., hlm. 100.



9



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



BAB II KERAJAAN TANAH JAWA 2.1 Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Tanah Jawa Ada 2 versi tentang asal usul berdirinya Kerajaan Tanah Jawa; 1. Menurut pendiri dari kerajaan Tanah Jawa11 yang berasal dari kampung Urat Samosir, terkenal dengan nama Nadihoyong. Nadihoyong memiliki 3 keturunan yaitu, yang sulung bernama Muharaja, mengembara kedaerah Simalungun dan membentuk perkampungan bernama Limbong, yang kemudian berganti nama menjadi Dolog Panribuan dan sekarang daerah tersebut dinamakan Kecamatan Dolog Panribuan.12 Pada suatu ketika Muharaja dibawa menghadap raja Sitanggang untuk menjelaskan dari mana asal



keturunannya,



pengembara.



Raja



Muharaja Sitanggang



menerangkan menerima



dirinya



dirinya



adalah



sebagai



seorang penduduk



didaerahnya dan ditugaskan untuk menjadi penyedia minuman untuk raja Sitanggang.



11



Kerajaan tanah Jawa berkedudukan di daerah Pematang Tanah Jawa yang terletak diantara Kesultanan Asahan, Kesultanan Deli dan Serdang. Kerajaan Tanah Jawa terdiri dari beberapa perbapaan yaitu Tuan Dolog Panribuan, Tuan Djorlang Hataran, Tuan Marjandi Asih, Tuan Hatonduan, Tuan Batangio dan Raja Girsang Sipangan Bolon (dengan kampung-kampung otonom: huta Parapat Sibaganding dan Panhatan yang sempat berada dibawah kekuasaan Tuan Dolog Panribuan). 12 J. Tideman, Simeloengoen, hal. 13.



10



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Dari nama Tanoh Jawa menimbulkan dugaan bahwa di sini pada masa lalu menjadi tempat tinggal koloni orang Jawa Hindu. Mungkin saja bahwa imigrasi Minangkabau dari tempat ini telah terjadi, pada masa dominasi Jawa atas Sumatera Selatan dan Tengah (Abad XIV dan XV). Dalam memori residen Bengkulu L.C.Wesenk disebutkan, pada tahun 1365 “Koloni orang Melayu Hindu dan orang Jawa minimal membentang sampai arus hilir (arah 2 kilometer di timur laut terletak patung Budha di dalam hutan seperti Avalokiteswara Roco), dan ke arus hulu sampai Pulu Punjung”.13 2. Menurut P. Moolenburgh asal usul berdirinya Kerajaan Tanah Jawa berasal dari seorang putra raja Jawa berangkat ke suatu daerah asing untuk mendirikan sebuah kerajaan di sana. Dia membawa serta segenggam tanah dari tanah asalnya bersama sebuah kendi (yang terbuat dari buah labu) berisi air dari sungai. Pertama-tama dia berangkat ke Minangkabau dan dari sana, didampingi dengan orang Melayu berangkat semakin ke utara dan akhirnya mereka tiba di Urat, sebuah kampong dipantai selatan semenanjung Samosir. Setelah kembali mengelilingi danau tiba-tiba di Hataran (Hataran Jawa sekarang) di Kerajaan Sitonggang dan dari sana berangkat keibukota raja, di mana pendampingnya orang Melayu, kembali dalam pengembaraannya (betapa). Setibanya di ibukota dia memerciki tanah yang dibawahnya dan duduk di atasnya, memegang air kendi di tangannya. Ketika raja mendengar 13



J. Tideman, Simeloengoen, hal. 101-102.



11



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



tentang orang asing yang datang, bersama pengiringnya pergi menemuinya dan bertanya kepadanya apa yang bisa dia lakukan di daerahnya. Orang Jawa itu menjawab: tanah tempatku duduk adalah tanahku, air ini adalah airku. Raja yang tidak memahami berkata begitu saja: jadi pergilah kemana engkau suka, kemudian jadilah raja di tempatku. Penyelesainnya adalah sederhana orang Jawa itu menjadi raja dan tanah itu kemudian disebut Tanah Jawa.14 Dari 2 versi tentang asal usul berdirinya Kerajaan Tanah Jawa diatas dapat disimpulkan bahwa, Nadihoyong seorang pengembara yang berasal dari kampung Urat Samosir mengembara kedaerah Simalungun dan membentuk perkampungan bernama Limbong yang menjadi asal usul Kerajaan Tanah Jawa dan pada saat itu Raja Sitanggang mempersilahkan Nadihoyong menjadi seorang raja didaerahnya dan meminta sebuah marga yaitu Sinaga Siurat. 2.2 Kondisi Geografis Kerajaan Tanah Jawa memiliki luas daerah 174,33 km2, letak Kerajaan Tanah Jawa terletak diantara Kesultanan Asahan, Kesultanan Deli dan Serdang, letak astronomis Kerajaan Tanah Jawa berada pada 02o50' 18" LU dan 99o11' 20" BU. Nama Tanah Jawa yang berarti tanah datar memang menunjukkan Kerajaan Tanah Jawa berada pada satu hamparan datar, menurut topografi Kerajaan Tanah Jawa berada pada ketinggian 100-500 mdpl dengan kemiringan berkisar 95%



14



pada



Dr.Budi Agustono dkk.,”Sejarah Etnis Simalungun” Medan : USU Press, 2012, hlm. 60.



12



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



kemiringan 0-2% atau seluas 16.386 Ha. Karena terletak dekat garis khatulistiwa, Kerajaan Tanah Jawa tergolong ke dalam daerah tropis dan daerah datar, beriklim sedang dengan suhu maksimum rata-rata 30,3 oC dan suhu minimum rata-rata 21,1 o



C, sedangkan curah hujan rata-rata 229 mm di mana curah hujan meningkat pada



akhir tahun yang mencapai 341 mm.15 Tanah Jawa yang mungkin paling subur dan produktif dan juga merupakan daerah paling luas di seluruh Simalungun16, dikarenakan dengan intensitas curah hujan yang cukup tinggi membuat lahan pertanian dan persawahan tidak kekurangan air. Untuk menuhi kebutuhan hidupnya masyarakat Kerajaan Tanah Jawa menanam berbagai bahan pokok di djoema mereka seperti padi, jagung, serta nira (tuak). Hasil bumi ini tidak semua untuk kehidupan mereka sebagian diberikan kepada raja yang berupa suhei (pajak) dan sebagian lagi diniagakan atau diperjual belikan.



15



T.B.A Purba Tambak, Sejarah Simalungun, Pematang Siantar,1982, hlm. 20. Kerajaan Tanah Jawa meliputi wilayah terluas di seluruh Simalungun. Kedudukan raja berada di Pematang Tanoh Jawa dibantu oleh partuanon-partuanon. Pada zaman Belanda, distrik Tanoh Jawa terdiri dari Dolog Panribuan di Tigadolog. Jorlang Hataran di Tigabalata dan Bosar Maligas di Pasarbaru. Tahun 1904 Girsang Sipanganbolon menjadi satu distrik berkedudukan di Parapat dikepalai putera mahkota Kerajaan Siantar Tuan Sarmahata Damanik tanah raja Siantar T. Sangnaualuah Damanik. Wilayah Girsang Sipangan Bolon masuk dalam wilayah partuanon Jorlang Hataran. Girsang pada zaman Belanda dipimpin oleh Raja Na Onom yaitu: Tuan Sidasuhut Girsang (Tuan Kaba) yaitu Ompu Ranjo (leluhur dr. T. Maruahal Sinaga dan T. Gindo Sinaga), Tuan Sidahapitu Girsang, dan Porti Girsang, Tuan Sidasuhut Sipanganbolon, Tuan Sidahapitu Sipanganbolon dan Tuan Porti Sipanganbolon. Pada saat pelantikan raja di Tanoh Jawa, Tuan Girsang yang membawa “horbou panraja”, yang tanduknya disangkutkan di Tiang Nanggar Rumahbolon sebagai tanda pelantikan seorang raja, sedangkan dagingnya dibagikan kepada seluruh rakyat yang hadir untuk disantap bersama. 16



13



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Perniagaan di Kerajaan Tanah Jawa membentang dari Labuhan Ruku melalui Pasar Maligas, Pamatang Tanah Jawa, Girsang dan Simpangan Bolon sampai Aji Bata (yang terletak di danau Toba).17



2.3 Penduduk Diketahui pada tahun 1930 di adakan sensus penduduk di Sumatera Timur dari data tersebut diketahui penduduk di wilayah Simalungun dan karo yaitu 370.000 penduduk sedangkan data yang didapat dari masa pemerintahan Jepang pada 10 maret 1943 adalah 480.000 penduduk, dari table dibawah ini dapat menunjukkan data sensus penduduk pada tahun 1930 dan data dari pemerintahan jepang pada tahun 1943.



17



PALE van Dijk, “Laporan mengenai Simalungun” dalam TBG (terj.) hlm. 4.



14



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Tabel I : Jumlah Penduduk Sumatera Timur berdasarkan sensus penduduk tahun 1930 dan 1943. Kepadatan Nama Daerah



Penduduk dalam



Penduduk pada



penduduk rata-



1930



10 maret 1943



rata per KM2 1943



Langkat



254.000



279.000



44,5



Deli dan Serdang



460.000



545.000



113,0



Simalungun dan Karo Asahan



370.000



480.000



74,6



338.000



448.000



31,6



76.000



108.000



7.240,0



Jumlah 1.498.000



1.860.000



58,6



Kota Medan



Sumber : Karl J. Pelzer, Toean Keboen dan Petani : Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Suamtera Timur 1863-1947 Pada tahun 1912 atas kerjasama pemerintah Hindia Belanda dengan zending Kristen didatangkanlah orang-orang dari Toba, Angkola dan Mandailing, dengan menjanjikan fasilitas-fasilitas tertentu dengan syarat mau membawa rombongan dalam jumlah yang besar ke Simalungun terutama untuk membuka areal persawahan. Pada tahun 1920, masyarakat Toba telah mencapai 21.832 orang, dan Mandailing sebanyak 4.669 orang yang tersebar diseluruh Simalungun18.



18



D. Kenan Purba dkk,.Sejarah Simalungun, Bina Budaya Simalungun, hlm. 65.



15



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Tabel II: Pembagian suku-suku di Sumatera Timur, 1930 Suku Bangsa



Banyaknya



%



Eropa



11,079



0,7



Cina



192,822



11,4



India, dan Lainnya



18,904



1,1



Subtotal nonIndonesia Jawa



589,836



35,0



Batak Toba



74,224



4,4



MandahilingAngkola Minangkabau



59,638



3,5



50,677



3,0



Sunda



44,107



2,6



Aceh



7,795



0,5



Subtotal kaum Pendatang Melayu



334,870



19,9



Batak Karo



145,429



8,6



Batak Simalungun



95,144



5,6



Lain-lain



5,436



0,3



Jumlah



%



222,805



13,2



882,189



52,3



580,879 34,5 Subtotal “Pribumi” 1,685,873 100,0 Jumlah Seluruhnya Sumber: Karl J. Pelzer, Toean Keboen dan Petani : Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Suamtera Timur 1863-1947.



16



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Berbicara tentang penduduk Kerajaan Tanah Jawa tidak terlepas dari unsur ; 



Adat Kebiasaan.







Pakaian, dan







Rumah. Para penduduk Kerajaan baik pria maupun wanita lebih putih dan nampak



lebih baik dari pada orang Toba. Para petinggi atau kepala pada umumnya memiliki sejumlah istri terutama para raja dan Tuan utama. Para istri sering memotong rambutnya sangat pendek, karena banyak wanita yang tidak suka memiliki rambut yang panjang. Mereka memakai sejumlah giwang pada telinganya. Lubang telinga sering ditarik sepanjang bingkai giwang sedangkan kaum pria tidak mengenakan perhiasan apapun. Orang kecil dalam artian tidak memiliki harta berlimpah biasanya hanya memiliki satu orang istri yang dia peroleh lewat pembelian misalnya seperti di Toba yaitu pembayaran sinamot19, harga beli di Simalungun umumnya tidak setinggi di



19



Sinamot adalah sejumlah uang yang disiapkan keluarga laki-laki untuk disampaikan/ diberikan kepada keluarga perempuan. Sejumlah uang tersebut biasanya digunakan oleh keluarga wanita tersebut untuk pesta kawin. Marhata sinamot adalah membicarakan jumlah uang yang akan diserahkan pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga wanita untuk biaya pesta perkawinan. Apabila pesta itu dilakukan di tempat orang tua si wanita maka dalam istilah adat disebut dialap jual, maka jumlah sinamot akan lebih besar bila dibandingkan dengan bila pesta adat itu dilakukan di tempat si pemuda yang dalam istilah adat disebut taruhon jual. Menurut adat, uang sinamot yang diterima orang tua si wanita harus dibagi kepada : 1. 2. 3.



Sijalo bara atau pamarai, yaitu abang atau adik orang tua si wanita . Tulang, yaitu saudara laki-laki dari ibu si wanita. Pariban, yaitu kaka si wanita yang sudah bersuami, kalau tidak maka posisi itu digantikan oleh namboru, yaitu saudara perempuan ayah si wanita yang sudah berkeluarga pula.



17



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Toba. Mas kawin yang harus dibayar oleh orang biasa menurut adat biasanya hanya mencapai 6 dollar, apabila pria tetap tinggal di kampung wanita. Jika dia membawa istrinya ke kampungnya sendiri, maka dia harus membayar sebanyak 12 dollar. Namun dari jumlah ini 2 dollar disetorkan kepada kepala kampung dan 4 dollar kepada raja atau Tuan. Para kepala kampung dan Tuan kecil membayar mas kawin sebanyak 30 dollar; para raja dan Tuan besar harus membayar 200 dollar. Orang tidak perlu menyimpan jumlah yang disebutkan. Mereka juga bisa memberikan lebih banyak namun tidak lebih sedikit biasanya ini diatur menurut apa yang dibawa wanita dalam perkawinan. Adat menetapkan jumlah ini. Orang biasa sering membayar 200 ringgit untuk mas kawin dan lebih banyak lagi. Para istri kepala adat menyandang gelar atau nama puang, dan berasal dari berbagai kedudukan. Istri pertama raja disebut puang bolon para putranya akan menggantikan ayahnya. Istri pertama Tuan disebut Puang Huta semua istri lain menyandang nama puang. Istri pertama harus selalu putri seorang raja atau Tuan. Para puang lainnya juga bisa merupakan anak orang biasa. Istri pertama disebut Tuan Laen dan orang secara semaunya bisa memilih salah satu. Para putra yang diturunkan raja lewat puang bolon kemudian menjadi penggantinya; hanya bila tidak ada anak ini kerabat Dalam istilah adat ke-empat penerima sinamot ini, yaitu suhut ( orang tua si wanita ), sijalo bara ( pamarai ), tulang, dan pariban disebut suhi ni ampang na opat. Di lain tempat , suhut ( orang tua si wanita ) tidak termaksud dalam suhi ni ampang na opat, karena itu simandokhon yatitu saudara lakilaki si wanita yang sudah berkeluarga termaksud suhi ni ampang na opat danmenerimajambar atau bagian dari sinamot.



18



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



pria terdekat (terutama saudara atau pamannya) akan tampil selain keturunan puang dengan status lebih rendah sebagai penggantinya. Para raja biasanya pertama memungut puang bolon pada usia dewasa (30 tahun) dengan tujuan hanya untuk menemukan anak; anak-anak lain dari status yang sama kemudian memberikan alasan untuk saling berperang. Busana pria hampir seluruhnya mirip orang Melayu dan terdiri atas baju katun, sebuah kain bawah dan penutup kepala. Celana tidak dikenakan, setidaknya di Tanah Jawa dan Siantar. Ini dilarang, juga orang asing tidak boleh masuk rumah raja dengan celana panjang. Kaum pria juga memakai banyak pakaian pribumi yang dirajut oleh para istrinya dengan warna biru gelap, modelnya sama dan berkualitas sangat rendah. Kaum wanita memakai kain penutup kepala (bulang-bulang) dan mengenakan jumpai yang terbuat dari kumpai, yang nampaknya kurang enak dipandang. Mereka memakai kain tradisional seperti di Toba dan Silindung di atas dada di bawah lengan dengan diikat begitu juga para wanita yang sudah menikah. Pada umumnya penduduk sangat bersih tubuhnya dan menekankan kesucian. Adapun tempat mandi kedua jenis kelamin ini dipisahkan secara ketat. Sebagai perhiasan pria dan wanita juga memakai cincin di jarinya. Senjata terdiri atas tombak, senapan dengan batu api dan pedang kecil dalam sarung kayu, dari luar dibungkus dengan kain merah atau hijau. Selanjutnya pisau besar dan kecil begitu juga kapak umum yang dibawa oleh hampir setiap orang Simalungun dari kasta rendah, digunakan di ladang dan merupakan alat sangat penting di hutan, dalam kondisi darurat menjadi senjata ampuh di tangan yang terampil. Namun biasanya



19



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



kapak ini sangat panjang, lebar, berat dan diasah secara tajam. Juga kaum wanita yang melakukan pekerjaan ringan di ladang hanya dilengkapi dengan parang demikian, apabila mereka pergi dari kampungnya menuju sawah. Selain kain kepala pria juga mengenakan banyak kopiah bulat, dengan berbagai warna dan dihiasi dengan berbagai cara. Jelas bahwa pada umumnya cara berpakaian tradisional lenyap dan digantikan dengan cara Melayu. Ini khususnya terjadi di daerah Tanjung Kasau, di mana baik pria maupun wanita telah menerima cara berpakaian penduduk pantai; kaum pria juga berkain dan kaum wanita memakai baju dan kebaya. Berbagai hiburan yang kini dilakukan oleh pria pada saat itu adalah sepak bola Melayu (sipakraga) dan menari, apakah dengan seragam atau dengan pakaian biasa sehari-hari; namun tentang menari tidak banyak yang dimanfaatkan seperti di Toba. Tarian biasa memiliki banyak meni ancak (tirai) seperti yang dilakukan di Mandailing dan Angkola. Tarian berseragam sepenuhnya bisa disamakan dengan tari begu di Mandailing, dengan perbedaan bahwa di Simalungun orang masih memakai topeng berwarna menarik, sementara beberapa pemain harus memerankan berbagai hewan dan juga diberi pakaian demikian. Tarian berseragam di antaranya bisa kita lihat di Pematang Purba. Semua kaum wanita terlibat dalam tarian umum, banyak gerakan menarik yang sebaliknya tidak mereka tunjukan. Gerakan mereka sangat tidak berarti. Peralatan musik sama seperti yang digunakan di Toba. Juga di sini peralatan itu disebut orkes: gandang atau gondang. Namun pada umumnya orang sangat sedikit menggunakan. Sementara di Toba di mana-mana para pejabat Eropa disambut dan



20



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



dihibur dengan musik, ini hanya terjadi di Purba dalam perjalanan kita, daerah Toba yang kita kunjungi, sebagai sesuatu peristiwa khusus. Juga ada prinsip sangat umum, bahwa pada siang harinya di kampung tidak ditemukan seorangpun kecuali kepala kampung, beberapa wanita tua dan beberapa anak. Rumah masih dibangun tinggi di atas tanah, terutama para kepala; lantai minimal dua meter tingginya dari tanah, kadang-kadang 4 meter. Pada sejumlah tonggak besar, yang biasanya terbuat dari kayu juar yang berdiri tegak di tanah kemudian bertumpu pada batu besar, bentuk rumah ini hampir seluruhnya sama di rumah Batak di tanah Toba, namun jauh lebih tinggi, lebih lebar dan lebih rapi. Di depan rumah dan sering juga di belakangnya dibangun sebuah ruangan dengan atap khusus, sejenis beranda depan atau belakang. Beranda depan digunakan sebagai tempat menerima pengunjung dan ruang pertemuan, beranda belakang biasanya untuk dapur.20



20



PALE van Dijk, , op,. cit., hlm. 6.



21



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



BAB III SISTEM PEMERINTAHAN TANAH JAWA 3.1 Sistem Pemerintahan Kerajaan Tanah Jawa dikepalai oleh seorang Raja sebagai kepala pemerintahannya. Dibawah Raja ada tingkatan-tingkatan sesuai strata atau pangkat pada struktur pemerintahan yaitu :



RAJA



PARBAPAAN



PARTUANON



PANGULU



GAMOT







Parbapaan Parbapaan artinya seorang yang dituakan oleh masyarakat, tempat bertanya hal-hal yang diperlukan tentang ilmu yang terkandung pada alam semesta, karena kebijaksanaannya parbapaan terkadang menjadi pemimpin upacara adat serta penasehat raja.



22



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA







Partuanon Partuanon adalah orang yang memimpin pada satu distrik di salah satu kerajaan, partuanon memiliki gelar tuan yang diberikan langsung oleh Raja.







Pangulu Pangulu merupakan orang yang membantu urusan dari tuan, bisanya dalam satu distrik memiliki beberapa pangulu yang memimpin sebuah Nagori.







Gamot Gamot merupakan pimpinan dari sebuah huta mempunyai tugas membantu melaksanakan tugas Pangulu dalam wilayah kerjanya dan bertanggungjawab kepada Pangulu. Untuk melaksanaan tugas pemerintahan umum, maka seorang Raja dibantu



oleh sebuah dewan yang dinamakan Harajaan yaitu semacam kabinet yang terdiridari para pembesar negeri atau orang-orang besar kerajaan. Mereka diberikan gelar yang bervariasi menurut Kerajaan yang bersangkutan21, seperti; 1. Tuan Dolog Panribuan 2. Tuan Jorang Hataran 3. Tuan Bosar Maligas, dibantu oleh : 1. Tuan Marjandi Asih 2. Tuan Partenduhan 21



D. Kenan Purba dkk,.Sejarah Simalungun, Bina Budaya Simalungun, hlm. 53.



23



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



3. Tuan Batangiou 4. Sidasuhut 5. Tuan Porti-Girsang 6. Tuan Sidaha Pintu 7. Tuan Sipangan Bolon 8. Tuan Sibaganding 9. Tuan Panahatan22 Selanjutnya pada tingkat Parbapaan dan Pangulu ada juga Harajaan (dewan) sesuai dengan unsur-unsur yang ada di wilayahnya masing-masing, urusan adatistiadat langsung di pimmpin oleh Raja dibantu oleh Partuha Maujana serta Guru/Datu. Dalam urusan pertahanan, Raja sebagai Raja Gohara23 dibantu oleh seorang Puanglima24, urusan pemilihan puanglima kerajaan dipilih langsung oleh raja, pemilihan puanglima berdasarkan orang yang berjasa atas pertahanan kerajaan dan memiliki pengalaman dalam urusan peperangan maupun menjaga pertahanan kerajaan. Urusan peradilian juga dipimpin langsung oleh Raja sebagai hakim tertinggi dibantu oleh Harajaan. Sebagian wewenang Raja didelegasikan kepada Perbapaan dan Pangulu, pada tingkat pertama dan tugas banding pada perkara-perkara kecil dan



22



Ibid., hlm. 55. Hakim tertinggi yang memimpin persidangan yang biasanya hanya mengurusi perkaraperkara besar seperti sengketa tanah pada kerapatan kerajaan. 24 Panglima tentara yang memimpin dalam urusan pertahanan kerajaan tetapi masih dibawah perintah Raja. 23



24



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



urusan perkara adat. Dalam bidang peradilan ini dikenal 3 jenis badan peradilan atau kerapatan yaitu: 1.Kerapatan Balei Pada tiap-tiap kantor diangkat seorang kepala kantor yang dinamakan “penghulu balai” yang memimpin persidangandi kerapatan balei dan bertindak juga selaku jaksa (penuntut Umum) dalam perkara pidana pada Pengadilan Swapraja tingkat “kerapatan urung”. Yaitu pelanggaran denda di antara 20-60 gulden dan ancaman Tingkat Landschap (Kerajaan) melalui Kerapatan Urung yang langsung diketuai oleh Raja (Kepala Landschap) dibantu oleh Pangulu Balei dan beberapa Gamot Harajaan. 2.Kerapatan Urung Pada tahun 1917 gedung Kantor para Kepala Landschap (Raja) di Simalungun dibangun dan pada setiap kantor diangkat seorang Pangulu Balei (Kepala Kantor) yang sekaligus merangkap sebagai jaksa pada tingkat Kerapatan Urung. 3.Kerapatan Nabolon Pengadilan Tertinggi di Onder Afdeeling Simalungun disebut Kerapatan Na Bolon yang langsung diketuai oleh Controleur dan anggotanya adalah ke 7 Raja-raja Simalungun. Tugasnya ialah untuk menyelesaikan perkara atau sengketa di antara Raja-raja Simalungun. Tetapi hakekatnya kepada Badan tersebut



25



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



dibebankan juga tugas-tugas pelaksanaan pengaturan otonomi dan medebewind (tugas perbantuan).25 Dengan berakhirnya perlawanan rakyat Simalungun menentang kolonialisme Belanda, maka pemerintahan Raja-raja mengalami perubahan. Perubahan itu sudah mulai terasa sejak tahun 1889 ketika pengaruh Belanda melalui Controleur Batubara mulai merembes ke Kerajaan Tanah Jawa, Siantar dan Panei. Begitu pula melalui pengaruh Controleur Belanda V.C.J. Westenberg yang berkedudukan di Bangun Purba (Deli/Serdang) sejak tahun 1904 mulai mempengaruhi Kerajaan Tanah Jawa, Dolog Silou, Silimakuta, Purba dan Raya. Pada tahun 1906 berdasarkan Gubernement Besluit tanggal 12 Desember 1906 No. 22 Staatsblad No. 531 oleh Pemerintah Hindia Belanda dibentuklah Afdeling Simalungun en de Karolanden (Simalungun dan Tanah Karo) yang dikepalai oleh Asisten Residen Belanda yang pertama bernama V.C.J. Westenberg bekas controleur Tanah Karo. Mula-mula Asisten Residen ini berkedudukan di Seribudolog akan tetapi guna memperlancar pelaksanaan dari pada surat keputusan Pemerintah Hindia Belanda tersebut, maka buat sementara Westenberg pada tahun 1905-1907 ia tetap tinggal di Pardagangan Tomuan (Bandar) dan pada tahun 1907 kedudukan Controleur dari Seribu Dolog dipindahkan ke Pematang Siantar.Berkat pengaruh yang kuat dari Westenberg di Simalungun (isterinya orang Simalungun



25



D. Kenan Purba dkk, Sejarah Simalungun, Bina Budaya Simalungun, hlm. 55.



26



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



marga Purba Tambak), maka Raja-raja di Simalungun bersedia menanda tangani Korte Verklaring (Perjanjian Pendek), pelaksanaanya adalah sebagai berikut: a. Kerajaan Panei, Raya dan Silima Kuta tanggal 4 September 1907, b. Kerajaan Purba pada tanggal 5 September 1907, c. Kerajaan Tanoh Jawa pada tanggal 6 September 1907, d. Kerajaan Dolog Silou pada tanggal 10 September 1907, e. Kerajaan Siantar pada tanggal 16 September 190726. Namun realisasi penyatuan Simalungun dan Tanah Karo dalam satu Afdeling baru terlaksana pada tahun 1909 dimana Controleur Tanah Karo berkedudukan di Kaban Jahe dan Controleur Simalungun berkedudukan di Pematang Siantar. Pada tahun 1910 semua yang berstatus jabolon (budak) di Simalungun telah dibebaskan atas perintah dari Pemerintah Hindia Belanda, maka tahun ini terkenal dengan Tahun Penghapusan Perbudakan di Simalungun. Untuk memperkuat kedudukan dan pertahanan Belanda pada tahun 1910 ini didirikanlah Markas Tentera Belanda di Seribu Dolog, akan tetapi kemudian pada tahun 1911 markas ini dipindahkan ke Sidikalang di Dairi. Pada tahun 1912 kedudukan Asisten Residen Simalungun dan Tanah Karo dipindahkan dari Seribu Dolog ke Pematang Siantar. Sesudah penanda tanganan Korte Verklaring tahun 1907, sistem pemerintahan di Simalungun sudah berubah, dari Kerajaan-kerajaan yang berdiri sendiri berubah menjadi Swapraja yang disebut 26 T. Luckman Sinar, Bangun dan runtuhnya Kerajaan di Sumatera TImur, (Medan: Penerbit sendiri, Tanpa tahun), hlm. 410.



27



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Landschap berada dalam Onder Afdeling Simalungun dibawah pemerintahan Hindia Belanda. Dengan adanya perubahan tersebut maka peranan Harajaan (Dewan Kerajaan) tidak lagi, karena semua kekuasaan telah dipusatkan pada Raja sebagai Kepala Landschap. Kemudian dengan Gubernement Besluit tahun 1914 No. 24 ditetapkan hakhak dan wewenang Raja-raja Simalungun termasuk Peradilan Swapraja/Landraad sebagai pengganti Kerapatan atau Harungguan, tetapi baru mulai berlaku pada tahun 1917. Pada tahun 1917 gedung Kantor para Kepala Landschap (Raja) di Simalungun dibangun dan pada setiap kantor diangkat seorang Penghulu Balei (Kepala Kantor) yang sekaligus merangkap sebagai jaksa pada tingkat Kerapatan Urung. Sedangkan hirarki dan tingkat-tingkat peradilan yang ada di Simalungun waktu itu adalah sebagai berikut: a. Tingkat Huta (Kampung) tugas peradilan dipegang oleh Kepala Kepala Kampung (Pengulu) dibantu oleh beberapa orang pengetua (Parhuta Maujana). b. Tingkat Perbapaan (gabungan beberapa kampung) peradilan diadakan melalui Kerapatan Balei yang diketuai oleh Parbapaan dan anggota-anggotanya adalah para Penghulu yang ada wilayahnya. c. Tingkat Landschap (Kerajaan) melalui Kerapatan Urung yang langsung diketuai oleh Raja (Kepala Landschap) dibantu oleh Penghulu Balei dan beberapa Gamot Harajaan.



28



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



d. Pengadilan Tertinggi di Onder Afdeeling Simalungun disebut Kerapatan Na Bolon yang langsunh diketuai oleh Controleur dan anggotanya adalah ke 7 Raja-raja Simalungun. Tugasnya ialah untuk menyelesaikan perkara atau sengketa diantara Raja-raja Simalungun. Tetapi hakekatnya kepada Badan tersebut dibebankan juga tugas-tugas pelaksanaan pengaturan otonomi dan medebewind (tugas perbantuan). Controleur mempunyai tugas ganda, yaitu sebagai Zelfbestuur kepada pemerintah di daerahnya dan sebagai Voorzitter (hakim). Dalam sistem Swapraja ini Raja-raja merasa kuasanya dikukuhkan, akan tetapi mereka tidak sadar bahwa mereka telah menjadi alat kolonial. Sebagai bukti, raja-raja ditugaskan memungut belasting (pajak) dan bagi rakyat yang tidak mampu membayar pajak dipaksa untuk melaksanakan pekerjaan Rodi (kerja paksa)27. 3.2 Pengangkatan raja-raja Tanah Jawa Kerajaan Tanah Jawa memiliki sistem dan syarat-syarat untuk mengangkat seseorang menjadi raja, Pengangkatan menjadi raja harus dengan rapat dan persetujuan harajaon setelah calon raja yang diajukan memenuhi syarat-syarat adat. Dalam hal pengangkatan, Raja Tanah Jawa diangkat oleh orang-orang pemerintahan seperti raja Siantar dan Tanjung Kasau. Dia memiliki kekuasaan paling terjamin atas kawulanya daripada ketiganya dan memiliki wilayah paling luas serta paling subur. Ketika itu dia memiliki kekuasaan mutlak atas seluruh daerah dan kawulanya seperti 27



D. Kenan Purba dkk, Sejarah Simalungun, Bina Budaya Simalungun, hlm. 59-60.



29



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



raja Siantar; ini dijelaskan kepada komisi. Raja Tanah Jawa adalah anak yang dilahirkan dari puang bolon, seperti halnya kedua rekannya. Dia diakui dan dikukuhkan oleh seluruh penduduk, pertama-tama oleh empat tungkat atau raja namara. Mereka adalah Tuan Batangiya Sinaga, Hatunduhan, Dolok Paribuan, dan Merjanjen28. Bila raja wafat yang berhak menggantikannya adalah putera kandung dari Puang Bolon, yang pandai serta berwibawa, Puang Bolon merupakan istri yang diadatkan dan putri dari tondang, bila putera dari raja sudah pantas untuk menikah namun boru tulang belum dewasa maka putera raja dapat menikah dengan putri lain dengan istilah Puang Nai Rangringan, bila tiba waktunya boru tulang telah dewasa makan putera raja harus dinikahkan lagi dengan boru tulangnya itu



dan harus



diadatkan,inilah yang dinmaksud permaisuri dan putera-puteranyalah kelak yang berhak memangku kerajaan, dan jika anak puang bolon hanya laki-laki maka anak puang poso dapat dinobatkan sebagai pemangku kerajaan29. Tetapi terkadang hal ini meninmbulkan konflik antara anak tertua dengan anak nomor dua disini peranan harajaon sebagai penasihat raja dibutuhkan sebagai penengah terkadang pula anak tertua tidak menjadi raja seperti setelah raja ke-6 wafat, tahta kerajaan jatuh kepada anak keduanya yang bernama Podang rani menjadi raja ke-7, setelah Podang rani wafat maka beliau digantikan oleh abang tertuanya bernama Horpanaloean menjadi raja ke-8. 28



P.A.L.E van Dijk, Loc. cit., hlm. 23-24. T. Luckman Sinar, dkk, Lintas Adat dan Budaya Simalungun, Sumatera utara, FORKALA, 2009. Hlm. 54. 29



30



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Tabel III : Raja-raja Kerajaan Tanah Jawa :



Tuan Sorgalawan



Tuan Djontaboelan



Tuan Sorgahari



Toean Oesol



Tuan Djintanari



Tuan Horatimboel



Podang Rani



Tuan Horpanaloen



Tuan Sanggah Goraha (1907-1912)



Tuan Djintar (1912-1917)



Setelah Tuan Djintar wafat tahun 1918 beliau digantikan sementara oleh permaisurinya yaitu Puang Bolon Br Damanik (1918-1919)



Tuan Sangmajadi (1919 – 1940)



Tuan Kaliamsjah (1940-Revolusi Sosial)



Sumber: Dr.Budi Agustono dkk.,”Sejarah Etnis Simalungun” Medan : USU Press, 2012.



31



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Dari Silsilah diatas diterangkan raja ke-1 adalah Sorgalawan, kemudian raja ke-2 Djontaboelan dilanjutkan oleh raja ke-3 Sorgahari. Sorgahari mempunyai anak laki-laki 2 (dua) orang, yang pertama bernama Oesoel dan yang kedua bernama Djintanari. Setelah Sorgahari wafat, anak pertama Sorgahari bernama Oesoel menjadi raja ke-4 dan setelah Oesoel wafat tahta kerajaan dilanjutkan oleh adiknya bernama Djintanari menjadi raja ke-5. Raja ke-6 bernama Timboel beliau adalah putra dari Djintanari. Raja ke-6 ini mempunyai putra sebanyak 5 (lima) orang. Setelah raja ke-6 wafat tahta kerajaan jatuh kepada anak keduanya yang bernama Podang rani menjadi raja ke-7, setelah Podang rani wafat maka beliau digantikan oleh abang tertuanya bernama Horpanaloean menjadi raja ke-8. Pada masa kekuasaannya Horpanaloean mempunyai 3 (tiga) buah Parhutaan (kampung) yaitu : 1. Huta Pematang Tanah Jawa. 2. Huta Bayu raja. 3. Huta raja Maligas30. Beliau bergelar Tuan Raja Maligas, beliau bermukim di Huta Pematang Tanah jawa karena roda pemerintahan ada di Huta Pematang Tanah Jawa, karena beliau memegang tampuk Kerajaan Tanah Jawa maka kekuasaannya adalah meliputi seluruh wilayah Kerajaan Tanah Jawa. Pada waktu-waktu tertentu ketiga huta ini selalu beliau kunjungi bahkan menginap disalah satu huta yang dikehendakinya.



30



Simalungunonline.com.html/2016/09/l, /raja-tanah-jawa, diakses 02 Oktober 2016, jam



11.30 WIB.



32



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Pada suatu waktu beliau jatuh sakit di Huta Pematang Tanah Jawa, beliau minta diantar berobat ke Kramat Parsiroan di Huta Raja Maligas, akan tetapi beliau tidak kunjung sembuh bahkan akhirnya meninggal dunia dan dimakamkan di Huta Raja Maligas pada tahun 1905. Bangunan makam beliau terbuat dari kayu teras yang memakai pasak dan tiang maka beliau diberi gelar Raja Nairassang. Beliau meninggalkan dua orang putra yang bernama Djintar dan Sangmajadi. Karena kedua putra beliau belum cukup dewasa maka Kerajaan Tanah Jawa dipangku oleh Tuan Sanggah Goraha dari tahun 1907 sampai dengan 1912. Raja Tanah Jawa yang ke-9 ditahun 1905 sampai dengan masa kepemimpinan Sanggah Goraha sebagai pemangku Kerajaan Tanah Jawa perlawanan terhadap Belanda terus terjadi, di Tanah Djawa beliau sebagai salah seorang pemimpin perlawanan rakyat yang akhirnya dapat ditundukkan oleh Belanda dan beliau dibuang ke Batubara dan tidak pernah diakui sebagai Raja oleh Pemerintah Belanda dan sampai akhirnya beliau kembali lagi ke Tanah Jawa. Sanggah Goraha meninggal duniapada tahun 1930. Setelah Tuan Djintar cukup dewasa maka beliau diangkat menjadi raja Tanah Jawa yang ke-10 dan berkuasa dari tahun 1912 sampai dengan tahun 1917. Pada masa Tuan Djintar diangkat menjadi raja Tanah Jawa, kondisi rumah bolon Huta Pematang Tanah Jawa sudah tidak memenuhi syarat untuk ditempati karena sudah tua, hal ini dapat dimaklumi karena telah dihuni oleh tiga generasi yaitu dari Tuan Djintanari, Tuan Timboel Madjadi dan Tuan Horpanaloean. Pembangunan rumah



33



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



bolon yang baru tersebut dikepalai oleh Tuan Mahasar Damanik dari Sipolha. Atas perintah raja Tanah Jawa yang baru yaitu Tuan Djintar maka dibangunlah sebuah rumah bolon yang baru diseberang sungai Bahkisat berikut dibuat parhutaan yang baru dinamakan Huta Dipar (artinya Huta diseberang). Letak Huta tersebut adalah disebelah Kantor Camat Tanah Jawa yang ada sekarang ini. Diparhutaan yang baru ini diangkat seorang penghulu yang bernama Hoela Sinaga (orang tua dari Toulong Sinaga mertua Marsekal Pertama Syahalam Damanik). Karena adanya konflik dengan Pemerintah Belanda Tuan Djintar diasingkan oleh Pemerintah Belanda ke kota Medan, beliau wafat di Medan pada tahun 1918 dan jenazahnya dibawa pulang ke Tanah Jawa oleh yang salah seorangnya bernama Tuan Raja Ihoet Sinaga anak dari Tuan Sanggah goraha Sinaga (pemangku kerajaan Tanah Jawa dari 1907-1912) karena kuburan raja-raja belum ada di Huta Dipar maka jenazah Tuan Djintar dimakamkan di kuburan keluarga di Huta Pematang Tanah Jawa didekat makam opung nininya yaitu Puang Namartuah dan opung dolinya Tuan Timboel Madjadi, karaena kuburan Tuan Djintar terbuat dari batu dan semen maka diberi gelar Raja Naisimin. Setelah Tuan Djintar wafat, Kerajaan Tanah Jawa untuk sementara dipangku langsung oleh permaisurinya yaitu Puang Bolon boru Damanik dari Bandar dari tahun 1918 sampai dengan tahun 1919. Pemerintah Belanda meberitahutakn kepada permaisuri untuk segera memilih raja dari Tanah Jawa selanjutnya. Puang Bolon tidak segera menjawab dan minta waktu untuk mempertimbangkannya.



34



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Sebagaimana diketahui yang berhak menjadi raja adalah anak Puang Bolon, akan tetapi anak beliau hanya satu-satunya yaitu seorang putri Silandit Bou istri dari Tuan Mahasar Ke-IV (Toean Akim Damanik dari Sipolha) . Karena Pemerintah Belanda terus mendesak agar segera diangkat seorang Raja baru, maka Puang Bolon boru Damanik dari Bandar menunjuk Tuan Sangmadjadi adik dari Tuan Djintar untuk diangkat menjadi Raja Tanah jawa yang baru. Pada Tahun 1919/1920 Tuan Sangmadjadi diangkat menjadi Pemangku Kerajaan Tanah Jaawa. Pada tanggal 27 Juli 1921 Tuan Sangmajadi menandatangani Korte Verklaring yang kemudian disyahkan oleh Pemerintah tertinggi Belanda dengan Gouverments Besluit No.23 buln Januari 1922, sejak penanda tanganan Korte Verklaring tersebut maka telah syahlah Tuan Sangmadjadi menjadi Raja ke-11 Kerajaan Tanah Jawa31.



31



Stamboom Kerajaan Tanah Jawa tanggal 19 Januari 1937.



35



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



3.3 Wilayah Kerajaan Tanah Jawa Daerah Tanah Jawa berdasarkan Keputusan Pemerintah tanggal 8 Juni 1891 nomer 21 masuk kedalam Karesidenan Pantai Timur Sumatra, yang termasuk daerah Tanah Jawa adalah; Dolok Paribuan dengan para kepala Sibaganding, Parapat, Repa, Panahatan, Galung dan Buntu Pasir yang terletak di danau Toba, Girsang yang terdiri atas daerah Sidasuhut, Daporti dan Dapitu, Sipangan Bolon yang terdiri atas daerah Sidasuhut, Daporti, Dapitu dan ompu Raja dingin, Jorlanghataran dan Silampuyang. Tabel IV: Tingkatan wilayah Kerajaan Tanah Jawa KERAJAAN



DISTRIK



PERBAPAAN



NAGORI



HARAJAAN



HUTA



Sumber: T.B.A Purba Tambak, Sejarah Simalungun.



Kerajaan Tanah Jawa terdiri dari 3 (Tiga) Distrik, yaitu : 1. Distrik Dolok Panribuan, Ibukota Tiga Dolok – dikepalai oleh Tuan Mintahain Sinaga, meninggal pada waktu terjadinya “Revolusi Sosial” tgl 03-03 1946 dan dibantu oleh ananya Tuan Hormajawa sinaga.



36



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



2. Diatrik Jorlang Hataran, Ibukota Tiga Balata, dikepalai oleh Tuan Rottahalam Sinaga, kemudian dipangku oleh tuan Jainahut Sinaga dan pada tahun 1940 digantikan oeh Tuan Bisara Sinaga. 3. Distrik Bosar Maligas, Ibukota Bosar Maligas (Pasar baru) dikepalai oleh Tuan Johan Sinaga dan kemudian digantikan oleh Tuan Kaliasan Sinaga. 4. Kemudian pada tahun 1940 dbentuk Daerah Distrik Administratief di Girsang Sipangan Bolon Ibukota Parapat dikepalai oleh Tuan Sarmahata Damanik. Sebelumnya daerah ini adalah daerah perbapaan yang langsung berurusan dengan Raja Tanah Jawa. Gambar I: Regency of Simalungun.



Sumber: T.B.A Purba Tambak, Sejarah Simalungun.



37



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Semua kepala dan kepala rendahan di Tanah Jawa berada langsung di bawah perintah raja dan juga lebih tergantung kepadanya daripada para kepala daerah yang disebutkan sebelumnya. Para kepala daerah ini mengakui kepala urung sebagai pimpinannya dan juga taat ketika mereka menerima perintah dari raja Tanah Jawa, namun memerintah wilayahnya tanpa campur tangan raja dan menikmati hak-hak istimewa tertentu di luar para kepala yang lain. Mereka menyatakan bahwa ketika raja mengeluarkan perintahnya untuk membuat jalan atau menyetorkan sejumlah tertentu uang, apakah sebagai andil dalam biaya perang atau sebagai pajak lain yang dipungut demi kepentingan perang, mereka wajib memenuhinya seperti para kepala lain di urung itu. Selanjutnya mereka juga wajib tampil di hadapan raja segera setelah dipanggil serta untuk memberikan upeti tradisional. Tidak ada keterangan yang diperoleh tentang keberadaan batas-batas yang digariskan secara cermat dengan Tanah Jawa. Namun para kepala ini juga dikenal seperti yang lain dalam membahas daerah-daerah lain, menegakan hak-hak atas tanah di wilayahnya. Juga di Tanah Jawa para kepala dan kepala bawahan menjadi pengelola wilayah yang dipercayakan kepada pemerintahan mereka. Tanah menjadi milik kepala urung. Apabila raja ingin menyerahkan tanah yang terletak dalam batas-batas wilayahnya kepada orang asing, dia wajib memberitahu kepala daerah terkait sebelum menyerahkannya apakah penyerahan itu dikehendaki atau tidak. Menurut adat segera dituntut bahwa raja dalam persoalan tanah harus membicarakan bersama para kepala



38



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



yang memiliki kepentingan dan terkait dalam kasus ini, dan karena mereka memiliki hak atas tanah-tanah yang belum digarap di wilayahnya. Karena kini raja atau kepala urung tidak pernah memiliki kekuasaan mutlak atas tanah urung dan harus meminta persetujuan para kepala terkait, nampaknya bisa dijelaskan bahwa orang akan mengatakan tanah itu menjadi milik raja dan kepala terkait. Dengan demikian juga bisa diduga tentang hak milik tanah di daerah yang disebutkan itu32. Di sepanjang pantai danau Toba daerah Tanah Jawa membentang dari huta pertama di perbatasan daerah Sipolha sampai daerah Aji Bata, sampai di Onan Tiga raja yang menjadi daerah taklukan Raja Girsang, juga daerah yang terletak di danau Toba dan berada di bawah Tanah Jawa adalah Repa, Panahatan, Sibaganding, Parapat, Buntu Pasir dan Galung. Daerah Girsang dan Sipangan Bolon yang terletak antara pegunungan tinggi Sibatu Loteng dan Simanuk-Manuk dengan danau Toba membentang sampai ke belakang daerah Ail yang merdeka dan hanya dipisahkan dengan sederetan tanah sempit yang mencakup daerah Sibisa, Motung dan Aji Bata yang merdeka dengan pantai danau Toba. Daerah Girsang dan Sipangan Bolon juga termasuk Tanah Jawa dan mengakui raja Tanah Jawa sebagai penguasa yang sah. Selain daerah-daerah merdeka tersebut, daerah Jonginihuta, onggang, Gopgopan, Sigaul dan sebagian Uluhan



yang juga merdeka merupakan deretan



daerah kecil yang memisahkan Tanah Jawa dari tanah Batak yang dalam Lembaran Negara 1892 nomer 279 berada di bawah pemerintahan langsung Gubernur Pantai 32



P.A.L.E van Dijk, “Laporan mengenai Simalungun” dalam TBG (terj.) hlm. 51.



39



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Barat Sumatra. Bersama para kepala daerah ini, yang hampir semuanya berhubungan erat dengan para kepala daerah yang termasuk Tanah Jawa atau Siantar dan terletak di tepi danau Toba, sejak dahulu hubungan persahabatan kita buat dengan akibat bahwa para kepala ini hanya ingin berada di bawah pemerintahan Belanda. Jika pada saat yang tepat kepada para kepala ini akta pengangkatan diberikan oleh Residen Pantai Timur Sumatra dan penduduk tetap mempertahankan lembaga adat dan hukumnya, dan jika saat itu pengairan danau Toba (sungai Asahan) diterima sebagai batas alami antara Sumatra Barat dan Timur, maka kondisi peralihan dibentuk sehubungan dengan hubungan kita terhadap daerah-daerah Batak yang baru ditundukan dan saling berbatasan yang terletak di kedua daerah ini. Satu-satunya kepala di Tanah Jawa yang saat itu percaya namun kemudian berbalik melawan rajanya adalah kepala Dolok Paribuan, bukan kepala yang dimaksudkan dalam laporan bulan Mei 1890 melainkan kepala yang sekitar setahun lalu berkuasa. Meskipun ada jaminan kepada raja tentang kepatuhan dan kepercayaan, selain memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan menurut adat, namun dia tetap menolak dengan berbagai alasan untuk memberi tanggapan atas panggilan raja, dengan tujuan untuk mendatangi Pematang Tanah Jawa. Kepala daerah tersebut mencoba menyerang kawula pemerintah di luar daerahnya, sementara dia sendiri menyadari bahwa raja dan penggantinya tunduk kepada pemerintah. Hubungan erat yang dibuat antara dia dan penguasa Raya jelas membuat dia memutuskan sampai hari ini untuk menentang pemerintah dan rajanya.



40



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Semua kepala daerah Tanah Jawa termasuk semua kepala daerah yang terletak di danau Toba atas perintah raja Tanah Jawa bergerak untuk menyerang Dolok Paribuan: ini jelas merupakan bukti kepatuhan mereka kepada rajanya dan pandangan baiknya terhadap pemerintah. Oleh raja kepala pembangkang Dolok Paribuan dipecat sebagai kepala dan putra kepala sebelumnya dengan perwalian pamannya (karena belum mencapai usianya) diangkat menjadi kepala daerah ini sesuai dengan kesepakatan para harajaan di sana33.



33



Ibid., hlm. 52.



41



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



BAB IV KEPEMILIKAN TANAH DI KERAJAAN TANAH JAWA 4.1 Tanah Raja Pada masa Pra-Kolonial hak-hak atas tanah berawal dari pembukaan huta yang selanjutnya berkembang menjadi Urung yang dibentuk oleh marga tertentu, Marga pendiri huta inilah yang memiliki hak atas tanah-tanah tersebut. Jalur damai ataupun perang adalah dua cara yang dipilih untuk memperluas Huta. Dengan semakin luasnya huta maka dapat di bentuk Urung sebagai federasi dari beberapa huta yang di kepalai oleh Raja. Ada beberapa hal yang harus dipahami untuk membatasi suatu huta : a. Ketika memulai membuka sebuah huta baru, tidak ditentukan orang-orang yang mengolah tanah. Dikatakan kemudian bahwa daerah huta adalah talun tersebut. Orang-orang ikut mengeksploitasi huta mendapat walayah yang lebih luas. Disini, perbatasan huta itu terbentuk oleh djoema yang digarap bersama-sama. Mereka melakukan ini karena takut binatang liar dan tinggal dekat djuma menyerang mereka. Orang-orang dari djoema huta lain tidak diperbolehkan untuk membangun taloen kecuali mereka yang sebelumnya telah menerima persetujuan dari kepala. b. Di mana pada zaman dulu, jalur harus diperlebar. Hal ini dilakukan oleh orang-orang dari huta yang berbeda. Berjalan-jalan melalui lalang, orang-



42



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



orang dari huta ini yang bertugas membersikan jalan.. Kemudian, ketika masyarakat ini ingin memperluas ladang mereka, mereka tidak diizikan untuk menyebrang titik perbatasan. Pembersihan dan pelebaran jalan ini di sebut manrandang dalan. c.



Kadang-kadang lembah dan gunung atau pemisahan alami antara dua huta ini dianggap oleh penduduknya sebagai batas tetap, yang mungkin tidak dilewati dalam pembangunan djoema.



d. Meskipun begitu masyarakat tidak memiliki batas-batas relatif terhadap huta lain. Dalam hal ini, orang-orang dari huta diizinkan membangun djoema mereka bersama-sama34. Urung semakin luas dan dibagi menjadi beberapa wilayah kecil dibawah kekuasaan keturunan kepala urung dan muncul pembagian lahan atas urung tersebut oleh turunan kepala urung. Dari sini semakin bertumpulah kekuasaan atas tanah itu ditangan kepala urung, hak-haknya atas tanah di urung semakin besar sehingga raja dianggap penguasa dan pemilik tanah liar yang belum dibuka. Dari sini timbullah pendapatan apapun yang berada diatas tanah tersebut menjadi hak milik raja. Batas masing-masing tanah kerajaan disepakati oleh penguasa urung, jika terjadi sengketa antara masing masing kerajaan akan diselesaikan antara raja yang bersengketa, tanah-tanah yang ada di Kerajaan Simalungun dibatasi oleh gunung,



34



Kaliamsjah Sinaga, “Laporan mengenai Hak Tanah di Tanoh Jawa” dalam TBG (terj.)



hlm. 206.



43



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



lembah, sungai, bukit ataupun alang-alang yang telah dipilih. Tanah di Simalungun dimiliki secara komunal oleh marga penguasa atas huta tersebut.35 Dalam suatu kekuasaan kepala urung atas wilayahnya disanggah oleh vasalnya. Hal ini terjadi di Tanah Jawa pada tahun 1891-1892 terhadap raja Tanah Jawa di pematang Tanah Jawa. Bila muncul pembangangkangan wakil raja di daerah, vasalnya maka raja berhak menurunkan dari posisinya dan menggantikannya dengan orang yang dianggap patuh kepadanya. Van dijk menegaskan bahwa tanah di Simalungun kecuali galunggung dikuasai oleh raja urung sebagai penguasa urung. Hak atas tanah-tanah tersebut didelegasikan kepada wakil-wakilnya para Partuanon di daerah-daerah dengan catatan bahwa mereka harus memperhatikan kepentingan umum warga36. Meskipun raja bertindak sebagai kepala urung, raja wajib berunding terlebih dahulu dengan para partuanon. Para kepala daerah serta bawahannya yang tanpa persetujuan mereka raja tidak bisa memutuskan pemeberian tanah kepada masyarakat. Ketika partuanon ingin menyerahkan lahan di daerahnya untuk membangun huta baru, maka terutama adalah mendapatkan izin dari raja dengan menyebutkan nama orang yang mereka tunjuk sebagai kepala huta baru. Pihak yang diberi hak menguasai oleh raja diwajibkan mengabdi kepada raja dengan membayar



35 36



Dr.Budi Agustono dkk.”Sejarah Etnis Simalungun” (Medan:USU PRESS,2012) hlm.192. P.A.L.E van Dijk, “Laporan mengenai Simalungun” dalam TBG (terj.) hlm. 52.



44



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



pajak dan kerja wajib, orang yang diberi hak memeberikan pajak tanah yang disebut bunga tanoh kepada kepala huta (pangulu).37 Kepala huta bisa mengolah tanah itu atau menyerahkan pengelolaannya kepada orang lain untuk digarap, akan tetapi raja tidak bisa mengalihkan haknya kepada orang lain untuk digarap. Untuk itu si penggarap yang meninggalkan kampungnya harus membayar denda yang ditentukan oleh kepala Urung. Namun bila masih berada dalam urung yang sama, pembayarannya dikenakan setengah dari jumlah yang ditentukan kepala urung. Selama dia berada di luar tanah itu, maka rumah dan perkarangan menjadi gayang-gayang na tading dan mereka bisa tetap menggarap tanahnya. Ketentuan tanggal perarian ini berada di setiap urung di Simalungun. Kewajiban ini dibayarkan kepada raja dan partuanon sampai kepada kepala kampung sebagai birokrasi pemerintahan paling bawah di urung tersebut. Ketika seorang warga tanpa pemberitahuan yang dituntut meninggalkan tanahnya, maka tanahnya akan hilang dan tanamannya menjadi hak milik raja. Tanahtanah yang tidak digarap dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: a. Tombak; hutan belukar, atau tanah yang tidak pernah dibuka atau tidak lagi ada bekas pembukaannya. b. Harangan; tanah yang kembali menjadi liar namun yang masih bisa ditemukan beberapa bekas penggarapannya.



37



Dr.Budi Agustono dkk, op,. cit., hlm. 195.



45



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



c. Galunggung; tanah yang baru saja dibuka namun belum lama ini ditinggalkan lagi dan pemiliknya bisa diketahui. Di antara tanah-tanah yang tidak digarap hanya ada beberapa yang digunakan untuk pengumpulan produk hutan atau untuk tujuan khusus lainnya, seperti untuk lahan perburuan atau penggembalaan. Juga biasanya diduga di daerah tempat huta dibangun di hutan, bahwa di sekitar huta hutan tidak bisa ditebangi sampai jarak 60100 vadem38, yang terutama demi kepentingan keamanan tempat itu. Selanjutnya hutan menjadi tempat kuburan umum bagi orang kecil. Seperti halnya hutan ini, pembukaan beberapa petak tanah kecil yang tertutup tetap ada dimana orang memberikan penghormatan dan sesaji kepada Sinumba atau roh-roh lain. Dari hutan tidak ada yang bisa diperoleh. Tempat-tempat suci pada beberapa huta besar ditemukan dan masing-masing memiliki nama. Pergantian tanah sangat banyak terjadi di daerah di mana tanaman tebu berdiri di lahan kering atau ladang, sementara pergantian ini tidak disebutkan pada sawah basah. Biasanya suatu ladang ditanami selama tiga tahun dan kemudian pertukaran tanah terjadi. Jika suatu ladang ditinggalkan, maka tidak ada yang kembali karena orang lebih suka mengolah tanah baru yang masih banyak tersedia, daripada mulai membersihkan tanah kosong dari belukar dan alang-alang yang tumbuh. Di urung Tanah Jawa sekitar setahun lamanya yakni antara 1891 - 1892 suatu kondisi sejenis muncul dan juga di daerah Dolok Paribuan. Kepala pemberontak



38



Vadem merupakan salah satu jenis ukuran yang digunakan untuk mengukur luas tanah, 1 vadem = dari ujung jari tangan kanan sampai ujung jari tangan kiri orang dewasa jika dibentangkan.



46



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Siraimbang telah menciptakan kondisi ini. Namun kini kepala tersebut oleh raja Tanah Jawa telah diturunkan dari jabatannya dan digantikan sebagai kepala oleh orang yang lebih terpercaya, sehingga dalam hal ini kondisi di Tanah Jawa kembali seperti semula yaitu jika sebidang tanah yang dibuka kembali ditinggalkan, maka tanah ini dianggap kembali liar ketika tidak ada lagi bekas pembukaan yang nampak dan tidak lagi dijumpai tanaman yang bisa digunakan untuk makan. Kondisi liar bisa dikatakan muncul segera setelah tidak lagi ada perbedaan yang bisa dibuat antara tanah yang telah dibuka dan harangan39. Selama tanah ini masih menghasilkan sesuatu dari pohon yang ditanam sebelumnya maka masih disebut galungung40. Karena sawah tidak pernah termasuk status harangan, mereka disamakan dengan galungung. Jika tanah itu termasuk, harangan maka hak penggarap di atasnya lenyap, sementara hak itu tetap ada selama tanah ini masih termasuk galungung.



39



Harangan adalah tanah yang kembali menjadi liar namun yang masih bisa ditemukan beberapa bekas penggarapannya. 40 Galunggung adalah tanah yang baru saja dibuka namun belum lama ini ditinggalkan lagi dan pemiliknya bisa diketahui.



47



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



4.2 Tanah Penduduk Di Kerajaan Tanah Jawa para kepala ternyata merupakan pemilik tanah liar, bahkan semua tanah. Di sana bila sawah dibuka dan kampung dibangun, hak milik lahan itu dilimpahkan kepada para kepala kampung dan penduduk kampung. Semua yang dimiliki kampung seperti kebun dengan buahnya menjadi satu dan tidak lagi termasuk milik daerah ini menjadi hak milik kampung dan hanya bisa kembali dimiliki raja apabila telah sengaja ditinggalkan. Penduduk tidak memiliki hak kepemilikan atas tanah melainkan hanya hak memperusahai dan hak pakai. Bila rakyat menginginkan tanah, maka dia harus menemui kepala urung atau partuanon dimana lokasi tanah yang dikehendakinya itu. Dia juga harus mengutarakan alasannya mengapa meminta tanah itu kepada penguasa ditempat itu. Alasannya haruslah tepat karena tidaklah mudah mencabut hak yang sudah diberikan raja kepadanya. Dia juga diwajibkan tinggal dan mengikuti adat kebiasaan ditempat itu. Setelah itu penghulu kampung pergi untuk menyelidiki hutan yang hendak diperladangi. Hal ini dalam istilah simalungun disebut Manririt Harangan. Kemudian penduduk yang akan membuka lahan melakukan Manotou Harangan41. Setelah itu Penghulu menentukan batas serta luas tanah menurut banyaknya keluarga, yaitu paling banyak 2 (dua) hektare (ha) ketentuan-ketentuan itu sebagai berikut;



41



Suatu kegiatan memilih satu batang pohon kayu yang memiliki getah, disekeliing kayu tersebut dibersihkan dari sampah dan dikumpulkan disekeliling pohon dengan jarak 2 meter setelah dibersihkan diambillah sekepal tanah untuk dibawa pulang maksudnya untuk dimimpikan apakah terdapat kesehatan dan kebahagiaan apabila tempat itu diperladangi.



48



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



1. Penebangan kayu di tentukan waktunya, kemudian pembakarannya dan pada saat ini melekatlah suatu hak atas pemakaian tanah, yaitu ladang yang disebur Juma Tombakan. 2. Ladang yang dipakai untuk tahun ke II dank ke III, dinamakan gasgas. 3. Untuk pertama kalinya ditinggalkan, dinamakan bunga talun, sedangkan apabila ditinggalkan untuk kedua kalinya, disebut talun. 4. Perladangan yang karena ditinggalkan tapi masih ada di atasnya tanam - tanaman muda, disebut galunggung. Hak memperusaha/memakai atas tanah ini melekat, apabila terus menerus dikerjakan. Dalam waktu 2 (dua) tahun berturut-turut tidak dikerjakan, maka hak itu kembali kepada Penghulu/Kepala Adat, yang kemudian dapat memberikannya kepada orang lain yang memerlukannya. Dapat dicatat disini, bahwa tanam-tanaman keras biasnya tidak boleh ditanami disini, agar pada waktunya (secara rotasi) dapat kembali berladang ke daerah kawasan hutan perkampungan ini, kecuali ditepi gubuk ladang (sopou juma). Dalam hal perladangan tersebut oleh Penghulu diberikan kepada orang lain oleh karena pemegang hak pakai semula tidak memerlukannya, maka tanam-tanaman keras tadi (biasanya pohon durian dan petai) oleh sipemakai yang memperoleh kemudian itu, harus membersihkan sekeliling tersebut, jelasnya lingkungan tanam-tanaman itu tidak turut boleh diperladanginya, istilah bahasa Simalungun i-salagsagi.



49



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



5. Tempat tanam-tanaman keras disediakan di luar pagar disebut partoguh atau bidei dari perkampungan dan tempat ini disebut pohon. Dalam hal perluasan kampung, maka tanam-tanaman yang terdapat diatas pohon, diberi ganti kerugian. 6. Hak Penunggu atau Pengayakan, hanya terdapat pada tanah sawah, yaitu tanah sebelah kiri dan kanan sawahnya, ditambah bagi orang yang bersawah paling ujung ialah tanah sebelah hulunya. 7. Selain dari pada tanah hak perseorangan, masih terdapat lagi Hak bersama dari kampung itu, disebut Rahatan ni Huta, yaitu hutan yang berdekatan dengan kampung, di mana kayu-kayunya tidak boleh diambil oleh penduduk, kecuali untuk keperluan kampung itu. Untuk Balai Desa, lumbung desa, dan sebagainya, sedangkan untuk perumahan perseorangan harus mendapat izin dari Penghulu. 8. Hak parjalangan sahuta, yaitu tempat pengembalaan hewan. 9. Hak bong-bongan sahuta, yaitu kolam untuk keperluan mengambil ikan sehabis panen dalam hubungan pesta panen, gurou-gurou haroan atau marbittang narondang dan tempatnya biasanya disediakan di hulu tapian, yaitu pancuran tempat mandi sekampung. 10. Hak panambunan sehuta, yaitu perkuburan bersama. Ada kalanya pengemuka masyarakat di kampung itu dikuburkan atau menyediakan terlebih dahulu bangunan kuburannya di pohon-nya dan cara ini



50



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



dibolehkan, mengingat status tanah pohon itu dikerjakan secara turuntemurun42.



Jelas kiranya, bahwa Hak Memperusahai atau Memakai berdasarkan sejarahnya hanya hak mengusahai yang ada pada penduduk, sekalipun hak ini dapat diwariskan, tetapi hak penguasaan tetap berada di tangan Penghulu/Kepala Adat, ialah Swapraja. Ini terbukti dengan keluarnya peraturan oleh Pemerintah Swapraja didaerah Simalungun pada tahun 1936 no. 13 surat tanah yang disebut GRANT – RAJA dalam arti Hak Memperusahai, tetapi bukan Hak Memiliki. Dapat ditambahkan, bahwa khusus di Siantar sebelum pembentukam Kota menjadi Gemeente pada tahun 1917 telah juga dikeluarkan Grant – Raja. Hak memiliki hanya terdapat atas tanam-tanaman yang melekat di atasnya, oleh karenanya selama itu apabila ada terjadi jual-beli, maka menurut Hukum Adat hanya terdapat ganti kerugian atas tanam-tanaman, yang disebut tulak sakkul atau tolak cangkul – bukan jual – beli atas tanah. Demikian apabila Pemerintah Swapraja memerlukan tanah untuk keperluan umum, maka yang memperusahai tanah hanya mendapat ganti kerugian atas tanam-tanaman, yang disebut iabul. Apabila terkena sawah untuk kepentingan umum maka ganti-rugi disebut tulak sakkul43.



42 43



TBA. Purba Tambak, Sejarah Simalngun. 1982, hlm. 156. Ibid,..



51



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Tanah yang sudah pernah digarap atau Galunggung44 tidak dapat diberikan lagi kepada orang lain dan tanah-tanah yang belum pernah diusahai masih milik kepala urung. Apabila tanah yang sudah dibuka dibiarkan kembali menjadi hutan maka hak penggarap terdahulu menjadi hilang dan kembali kepada penguasa. Namun jika tanah tanah masih menghasilkan sesuatu dari pohon yang ada diatasnya hak tanah itu masih milik penggarap karena tanah itu dianggap masih berstatus galunggung.45 Begitu juga terjadi dengan kebun (ladang) dan tanaman yang terletak jauh dari kampung. Jika ini ditinggalkan maka seluruh lahan termasuk tanaman di atasnya menjadi hak milik raja. Seseorang yang meninggalkan ladangnya tidak berhak menjual pohon atau tanah itu kepada orang lain. Dia bisa melimpahkan tanaman yang terdapat di kampung itu atau semua yang langsung termasuk tanahnya kepada kepala kampung dengan imbalan sesuatu. Tanah yang telah digarap dan setelah itu ditinggalkan lagi disebut tanah talun. Apabila tanah liar memadai, setiap penduduk kampung bisa menggunakan tanah itu semaunya selain padi dia harus menyerahkan 1/10 hasil panennya kepada raja. Sebagai contoh di daerah Toba kondisinya berbeda, di sini seluruh tanah termasuk milik marga induk namun para kepala memiliki kekuasaan atas tanah liar dan tidak berpenghuni. Mereka sering memberi pertimbangan kepada para kepala



44



Tanah yang telah dibuka namun ditinggalkan yang belum termasuk liar kembali dan pembukanya masih bisa bertanggung jawab menuntutnya, sebagai tanda-tanda bekas pembukaan ditanah ini dijumpai pohon-pohon yang sengaja ditanam dan dapat diambil manfaatnya. 45 Dr.Budi Agustono dkk.”Sejarah Etnis Simalungun” (Medan:USU PRESS,2012) hlm. 195.



52



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



bawahan dengan kawulanya dalam kasus penyerahan hak tanah, juga dalam pemberian sebagian panen namun mereka tidak diwajibkan seperti para kepala Simalungun. Penyerahan tanah liar di sini tidak pernah terjadi, juga sebagai akibatnya karena hampir tidak ada tanah baik yang tersedia. Namun sebuah contoh pemberian tanah di sini bisa dikutip dan kasus Tuan Schwab yang menyewa sebidang tanah hutan di daerah Maranti dari para kepala Paralungin dan Sijorat dari Sitorang dengan harga tertentu, namun yang konsesinya tidak disetujui oleh pemerintah. Contoh kasus tanah ini jelas menunjukan bila tanah luas tak tergarap jelas terdapat di Toba seperti di Simalungun, para kepala merasa dirinya sebagai pemilik dan berhak untuk menyerahkannya kepada orang lain dalam hak sewa atau kontrak namun mereka tidak pernah bisa mengalihkan tanah marga46. Selain tanah marga terdapat tanah yang dapat diperjual belikan oleh individu yaitu berupa tanah sawah, sawah dapat diperjual belikan, disewakan ataupun digadaikan tetapi transaksi harus tetap diketahui dan diadakan didepan kepala adat47.



46



P.A.L.E van Dijk, , op,. cit., hlm. 25.



47



Dr.Budi Agustono dkk, op,. cit., hlm. 199.



53



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



4.2.1 Hak Mengumpulkan Hasil Bumi



Hak mengumpulkan hasil bumi yang terdapat pada tanah tidak digarap yang dimiliki Urung juga termasuk milik huta dan tidak bisa diminta oleh pembuka huta, namun diberikan kepada penduduk. Hak ini tidak termasuk hasil bumi di tanah galungung. Seperti yang ditunjukan pemilik tanah di atas tidak memiliki hak atas apa yang ada di dalam bumi. Biasanya ditetapkan bahwa penemu pertama pohon, pohon getah dan pohon lain berhak mengumpulkan produknya, namun dia wajib menyerahkan sebagian yang ditetapkan kepada raja sebagai tanda raja. Jika pengumpulan hasil hutan dilakukan oleh penduduk menurut kebutuhan sendiri maka tidak perlu dilaporkan. Namun bila ini digunakan untuk perdagangan maka laporan harus dibuat kepada kepala yang menguasai tanah ini. Pada kasus pertama orang tidak membayar dan pada kasus kedua orang harus membayar upeti kepada kepala. Tentang produk yang digunakan untuk perdagangankan pajak (bunga tanah, panungalas atau suhei) yang dipungut oleh raja. Selain itu upeti dibayarkan kepada pertuanan yang menyerahkan sebagian kecil kepada kepala huta, ketika kepala itu terlibat dalam urusan ini. Besaran upeti itu ditetapkan melalui mufakat kedua pihak. Raja selain pajak atas produk hutan, juga memungut pajak atas semua yang diangkut dan diekspor: budak, kuda, babi, kambing, ayam, termasuk pajak (suhei). Raja berhak menerima cukai yang diberikan kepadanya menurut adat dalam penangkapan hewan buruan dan ternak potong, serta salah satu gading gajah yang



54



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



ditembak atau ditangkap dan cula badak. Pemberian ini dianggap sebagai upeti. Jika tidak menyetorkan upeti bisa menimbulkan sengketa. Terutama ketika pertuanan atau kepala bawahan memotong seekor kerbau atau sapi, raja menuntut agar dia dikirimi tulang belakang hewan itu. Penambangan belum dikenal di sini. Peristiwa terjadi bahwa seseorang dalam menggarap lahannya menemukan sebuah periuk yang berisi ringgit Spanyol yang terbukti terpendam. Semua uang yang ditemukan harus disetorkan kepada raja, yang bisa memberi penemunya beberapa dollar sebagai upah kesulitannya. Kepada orang asing sama sekali tidak ada larangan untuk mengumpulkan hasil hutan seperti penduduk dengan syarat yang sama, namun dengan perbedaan bahwa dia sebelumnya harus meminta ijin kepala dan dalam mengumpulkan produk baik untuk digunakan sendiri maupun untuk dijual. Cukai harus dibayar; yang bagi orang asing biasanya jauh lebih tinggi daripada bagi penghuni huta48.



48



P.A.L.E van Dijk, , op,. cit., hlm. 43.



55



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



4.3 Hancurnya Kerajaan Tanah Jawa dan Perubahan Sistem Kepemilikan Tanah di Tanah Jawa



Runtuhnya Kerajaan Tanah Jawa tidak terlepas dari revolusi yang terjadi di Simalungun pada tahun 1946. Ada sebagian masyarakat Simalungun yang berpendapat bahwa masalah terjadinya Revolusi Sosial di Simalungun tidak perlu di ungkit-ungkit lagi, karena masalah itu seolah-olah “mengangkat barang terandam” seperti pepatah Minangkabau. Tetapi dipihak lain banyak juga yang berkeinginan untuk mengetahui sejelas-jelasnya apa dan bagaimana sebenarnya Revolusi Sosial itu. Menurut mereka hal ini penting agar tidak terjadi pembohongan sejarah yang sebenarnya terjadi. Terlepas dari pendapat yang pro dan kontra, menurut penulis wajarlah kalau hal itu diungkapkan dalam sejarah Simalungun, karena memang kejadian itu benar-benar terjadi di Simalungun. Pada tanggal 3 Februari 1946 diadakan rapat antara Pemerintah Republik Indonesia di Sumatera Timur dengan para Sultan, Raja dan Sibayak yang ada di Sumatera Timur termasuk dari Simalungun, bertempat di Kantor KNI (Komite Nasional Indonesia) Sumatera Timur Jalan Sukamulia Medan. Rapat ini sebagai pertemuan silatuhrahmi dengan pokok pembicaraan tentang kedudukan daerah-daerah Swapraja



49



, pertemuan ini membahas tentang rencana penghapusan daerah-daerah



49



Salah satu bentuk yang diakui oleh pemerintah kolonial dan mencakup berbagai bentuk administrasi, seperti kesultanan, kerajaan, dan keadipatian. Status swapraja berarti daerah terssebut dipimpin oleh pribumi berhak mengatur urusan administrasi, hukum dan budaya internalnya. Contoh daerah swapraja adalah Kesultanan Surakarta, pada masa pemerintahan Jepang daerah swapraja diganti statusnya menjadi Kochi.



56



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



swapraja di Sumatera Timur yang diambil alih oleh Pucuk Pimpinan Persatuan Perjuangan Sumatera (P4S) dan Pimpinan Persatuan Perjuangan Sumatera Timur (P3ST) yang dipimpinnya terdiri dari orang-orang yang sama pula. Sejak semula rencana ini sengaja mereka rahasiakan, oleh karena mereka berpendapat bahwa pihak Pemerintah yang saat itu dipimpin oleh Gubernur Mr. Teuku Mohammad Hasan tidak dapat diajak bekerjasama untuk melaksanakan rencana Markas Agung tersebut, oleh karena itu rencana ini hanya mungkin dapat dilaksanakan apabila Gubernur Sumatera sedang tidak berada di Medan50. Berkat kelicikan Abdul Karim MS, Pemerintah di Propinsi Sumatera dapat mempengaruhi Gubernur untuk mengadakan kunjungan kerja keliling, maka pada tanggal 3 Maret 1946 meletuslah apa yang dinamakan oleh Dr. Amir dengan sebutan “Revolusi Sosial”51. Berdasarkan dokumen resmi yaitu hasil pemeriksaan yang berwajib dan laporan Gubernur Militer VII Sumatera Utara (Kolonel M. Simbolon) yang ditujukan



50



D. Kenan Purba dkk,.Sejarah Simalungun, Bina Budaya Simalungun, hlm. 97. Yang dimaksud dengan Revolusi Sosial adalah perubahan yang terjadi secara cepat dan mendasar dari masyarakat dan struktur kelas suatu negara; dan revolusi tersebut disertai sebagian menyebabkan terajadinya pemberontakan kelas dari bawah. Revolusi sosial haruslah dipisahkan dari berbagai jenis konflik dan proses perubahan lainnya terutama yang disebabkan oleh kombinasi dua kejadian yang timbul secara (kebetulan) bersamaan, yaitu terjadinya perubahan struktur masyarakat dan pergolakan kelas, serta terjadinya perubahan politik dan perubahan sosial. Sebaliknya, pemberontakan sekalipun berhasil baik, mungkin saja melibatkan pemberontakan kelas bawah, tetapi tidak menyebabkan timbulnya perubahan struktural. Revolusi politik mengubah struktural negara tetapi tidak mengubah struktur sosial; dan revolusi politik tersebut tidak perlu dilakukan melalui konflik kelas. Proses seperti industrialisasi dapat mengubah struktur sosial tanpa harus menimbulkan, atau diakibatkan oleh pergolakan politik yang tiba-tiba atau perubahan struktur politik yang mendasar. Satu hal yang unik dari revolusi sosial adalah perubahan mendasar perubahan struktur sosial maupun politik yang berlangsung bersamaan dengan masing-masing saling memperkuat satu sama lain. Perubahan ini berlangsung melalui konflik sosial politik yang kuat yang didalamnya perjuangan kelas memainkan peranan, D. Kenan Purba dkk,.Sejarah Simalungun, Bina Budaya Simalungun, hlm. 97. 51



57



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



kepada Menteri Pertahanan RIS di Jakarta dapat diketahui bahwa pelaksanaan Revolusi Sosial di Simalungun sebagai berikut: 



Dalam Berita Acara Pemeriksaan tanggal 10 Mei 1952 A.E. Saragihras menjelaskan bahwa dia selaku pimpinan Barisan Harimau Liar (BHL)52 Simalungun



yang berkedudukan



di



Pematang Siantar,



benar



telah



melaksanakan Revolusi Sosial di Simalungun dan di tempat-tempat lain terhadap Raja-raja dan para pengikut nya sejak 3 Maret 1946. Berarti gerakan ini mereka lakukan sebulan sejak pertemuan Sukamulia dimana wakil Markas Agung Mr. Luat Siregar juga turut berbicara. 



Pembunuhan-pembunuhan dan perampasan harta benda yang dilaksanakan oleh BHL adalah atas perintah Markas Agung yang disampaikan oleh Sarwono Sastrosutardjo, Mohammad Saleh Umar dan Zainal Bacharuddin.



52



Organisasi ini diresmikan secara rahasia pada 20 Maret 1945 sebagai suatu organisasi militer, dengan Inoue sebagai komandan, Jacob Siregar sebagai wakil komandan, Saleh Umar sebagai kepala staf dan Abdullah Jusuf dan Nulung Sirait sebagai perwira staf. Para pemuda direkrut untuk dikirim mengikuti pelatihan Talapeta dalam bidang pertanian, strategi militer dan ajaran nasionalisme selama satu sampai tiga bulan. Jumlah kadernya sekitar 50000 orang yang terdiri dari kaum tani dan nelayan dari etnis Batak Toba, Simalungun dan Karo yang beroperasi di dataran tinggi Sumatra Timur, Selanjutnya masih ada nama Luat Siregar sahabat karib Xarim MS yang menjadi anggota PKI sejak 1945 dan pernah menjabat residen Sumatera Timur (April-September 1946) setelah berhasil menyingkirkan Tengku Hafas kerabat Sultan Deli dari Bedagai. Lalu dr. Mohammad Amir seorang ahli jiwa dokter pribadi Sultan Langkat yang menjabat Wakil Gubernur Sumatera yang setelah pecah Revolusi Sosial membelot ke pihak Belanda (isterinya seorang Belanda). Sedangkan Saragihras sebagai komandan BHL di Simalungun lebih berperan sebagai eksekutor atas perintah dari para aktor intelektual di atas, D. Kenan Purba dkk,.Sejarah Simalungun, Bina Budaya Simalungun, hlm. 97.



58



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Pada 3 Maret 1946 Gerakan revolusioner ini telah mencapai puncaknya dengan dihentikannya kekuasaan Raja-Raja yang ada di Sumatera Timur, Revolusi sosial di Sumatera Timur dilancarkan atas intruksi perubahan. Perjuangan setempat yang sudah menjalankan kekuasaan semi - pemerintah sebab hal itu merupakan tindakan yang secara efektif mewakili kasus pemuda bersenjata. Pada waktu raja-raja Melayu, Simalungun, dan Karo ditangkap bersama relasi-relasi mereka diseluruh Sumatera Timur dan pejabat-pejabat baru sayap kiri dipilih menggantikannya, angkatan darat dan pejabat gubernur menyetujuinya. Setelah keadaaan di Kerajaan Tanah Jawa kembali normal diadakan pemerikasaan didapatilah Rumah Bolon telah rata dengan tanah setelah dibakar oleh BHL begitu pula dengan pusaka-pusaka dan harta benda kerajaan yang tidak sempat diselamatkan, untuk sementara waktu seluruh kegiatan Raja Kaliamsjah Sinaga dilakukan dirumah batu (rumah pribadi T. Sawadin Damanik) sampai dengan tahun 1947. Pada awal



1947 Radja Kaliamsjah Sinaga dihubungi



oleh DR



M.Hatta/Wakil Presiden RI yang memang telah dikenalnya semasa kuliah di Fakultas Hukum di Jakarta yang mana beliau menyatakan Belanda dalam politik Devide et Impera53 dalam waktu dekat akan membentuk Negara Bagian Sumatera Timur yang berpusat di Medan dengan calon Presidennya/Wali Negara Dr Mansoer dan 53



Devide et impera merupakan politik pecah belah atau disebut juga dengan adu domba adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukan. Dalam konteks lain, politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat .



59



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



diharapkan Radja Kaliamsjah bersedia dan dapat bergabung dalam Negara Sumatera Timur yang akan lahir tersebut. Atas permintaan DR M. Hatta tersebut Radja Kaliamsjah Sinaga menjawab bahwa Radja Kaliamsjah Sinaga bersedia menerima sebagai calon Wakil Presiden/Wakil Wali Negara Negara Sumatra Timur dengan catatan bahwa pada saatnya Negara Sumatra Timur adalah Negara bagian yang pertama kali kembali ke NKRI. Disamping itu pertimbangan-pertimbangan Radja Kaliamsjah bersedia menerima tawaran menjadi Wakli Presiden/Wakil Wali Negara Negara Sumatera Timur antara lain sebagain berikut: 1. Kerajaan Tanah Djawa dan kerajaan-kerajaan lain yang berada di Simalungun seluruhnya sudah hancur akibat revolusi sosia tahun 1946 yang didalangi oleh BHL dimana kerajaan-kerajaan tersebut sudah tidak mungkin dapat berdiri lagi dan berdaulat di dalam Negara Republik Indonesia (tidak mungkin ada kerajaan yang berdaulat didalam suatu Negara). 2. Menghindari perang saudara bilamana Wakil Wali Negara tidak dipegang oleh Asli Putera Daerah/Putera Asli Batak, karena pada saat tersebut saudarasaudara dari Karo, dari Toba dan dari Tapanuli Selatan telah bersiap-siap menyerang Medan bilamana Wakil Wali Negara bukan Putera Daerah/Putera Asli Batak.



60



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Setelah Kerajaan Tanah Jawa runtuh dan kembali ke NKRI otomatis akan ada timbul masalah mengenai kepemilikan tanah di Tanah Jawa, dijelaskan dalam UUPA No.5 Tahun 1960 sebagai bentuk UU baru tentang ketentuan pokok agraria yang dikenal dengan UUPA, berlaku sebagai induk dari segenap peraturan pertanahan di Indonesia. UUPA ini mengandung asas (prinsip) bahwa semua hak atas



tanah



dikuasi oleh negara, dan asas bahwa hak milik atas tanah “dapat dicabut untuk kepentingan umum”. Kedua prinsip tersebut dengan tegas telah dituangkan dalam pasal 2 dan pasal 18 UUPA. Berdasarkan pasal 2 UUPA ini negara menjadi pengganti semua pihak yang mengaku sebagai penguasa tanah yang sah. Negara dalam hal ini merupakan lembaga hukum sebagai organisasi seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah sebagai lembaga pelaksana UU negara dalam proses ini bertindak sebagai pihak yang melaksanakan dan menerapkan ketentuan yang terdapat dalam pasal 2 UUPA tersebut54. Dalam hak kepemilikan tanah di wilayah Simalungun masih dalam tahap sengketa antara tanah Negara dan tanah adat, dalam konsepsi hukum tanah nasional mengenai tanah adat sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat 1 UUPA Nomor 5 tahun 1960 yang menyatakan: “Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia”.



54



Syafruddin Kalo, " Perbedaan persepsi mengenai penguasaan tanah dan akibatnya terhadap masyarakat petani di Sumatera Timjur: Pada Masa Kolonial Yang Berlanjut Pada Masa Kemerdekaan, Orde Baru dan Reformasi ", Medan: USU digital library, 2004, hlm. 3.



61



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Dan dalam pasal 1 ayat 2 dinyatakan pula dengan tegas: “Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”. Pada pasal 2 ayat 1 ditegaskan pula bahwa semua bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat. Dalam hal ini negara sebagai lembaga hukum menerima wewenang dari hukum dasar tertinggi untuk melaksanakan hak penguasaan atas tanah. Semua tindakan yang diambil oleh negara



diarahkan



bagi



kepentingan



negara dan



tidak



boleh



bertentangan



dengan kepentingan nasional. Wewenang ini juga bisa dijadikan sebagai sumber penghasilan negara tersebut. Dalam pasal 2 ayat 2 dikatakan bahwa hak penguasaan oleh negara dimaksud mencakup wewenang untuk mengatur dan menyelenggarakan



peruntukkan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan



bumi, air dan ruang angkasa tersebut. Kemudian negara berwenang juga mengatur dan menentukan hubungan hukum antara manusia dengan air, bumi dan ruang angkasa itu. Negara juga berwenang untuk menentukan dan mengatur hubungan antara orang dan tindakan hukum yang menyangkut bumi, air dan ruang angkasa di wilayah hukumnya.55



55



Ibid., hlm. 4.



62



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Pada akhirnya tanah-tanah yang ada di wilayah Tanah Jawa secara hukum menjadi milik Negara, tetapi ada beberapa masyarakat yang menganggap bahwa tanah yang berada di wilayah Tanah Jawa masih milik marga yang menempati tanah tersebut, karena tanah untuk masyarakat adat simalungun bukan sekedar sebuah keperluan primer, tanah berkaitan dengan nilai religius. Dikatakan religius karena sehubungan dengan tata cara kepemilikan tanah harus melalu proses hukum adat.



63



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Pembahasan pada skripsi ini menjelaskan tentang sejarah Keajaan Tanah Jawa dari tahun 1889-1946, periode tahun yang dijelaskan didalam skripsi ini mancakup latar belakang berdirinya Kerajaan Tanah Jawa, sistem pemerintahan, dan hak kepemilikan tanah. Berdirinya Kerajaan Tanah Jawa bermula dari seorang pengembara yang bernama Nadihoyong berasal dari kampung Urat Samosir yang mengembara kedaerah Simalungun dan membentuk perkampungan bernama Limbong yang menjadi asal usul Kerajaan Tanah Jawa dan pada saat itu Raja Sitanggang mempersilahkan Nadihoyong menjadi seorang raja didaerahnya dan meminta sebuah marga yaitu Sinaga Siurat. Sistem pemerintahan di Kerajaan Tanah Jawa dikepalai oleh seorang Raja sebagai kepala pemerintahannya. Dibawah raja ada tingkatan-tingkatan sesuai strata atau pangkat pada struktur pemerintahan yaitu Parbapaan, Partuanon, Pangulu dan Gamot. Dalam tingkat perbapaan urusan adat istiadat langsung dipimpin oleh raja Partuha Maujana serta guru/datu. Urusan peradilan juga dipimpin langsung oleh raja sebagai hakim dibantu oleh Harajaan. Sebagian wewenang didelegasikan kepada



64



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



perbapaan dan pangulu. Dalam bidang peradilan ini dikenal 3 jenis badan peradilan atau kerapatan yaitu Kerapatan Balei, Kerapatan Urung dan Kerapatan Nabolon. Pada masa Pra-Kolonial hak-hak atas tanah berawal dari pembukaan huta yang selanjutnya berkembang menjadi Urung yang dibentuk oleh marga tertentu, marga penguasa inilah yang memiliki hak atas tanah-tanah tersebut. Jalur damai ataupun perang adalah dua cara yang dipilih untuk memperluas Huta. Setiap urung diperintah oleh kepala urung yang disebut Raja. Urung semakin luas dan dibagi menjadi beberapa wilayah kecil dibawah kekuasaan keturunan kepala urung dan muncul pembagian lahan atas urung tersebut oleh turunan kepala urung, dari sini semakin bertumpulah kekuasaan atas tanah itu ditangan kepala urung, hak-haknya atas tanah di urung semakin besar sehingga raja dianggap penguasa dan pemilik tanah liar yang belum dibuka. Dari sini timbullah pendapatan apapun yang berada diatas tanah tersebut menjadi hak milik raja. Runtuhnya Kerajaan Tanah Jawa akibat dari revolusi sosial menimbulkan pro-kontra apakah kejadian ini harus diungkit kembali. Masalah-masalah yang timbul akibat jatuhnya sistem pemerintahan kerajaan di Simalungun membuat tanah-tanah yang dulunya dimiliki oleh raja menjadi tidak bertuan, masalah ini menimbulkan sengketa antara pihak pemerintah dengan ahli waris tanah dari kerajaan yang memiliki tanah tersebut. Untuk menyelesaikan konflik tanah yang terjadi di Sumatera Timur khususnya Simalungun maka pemerintah membuat Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) seperti yang dijelaskan dalam UUPA No.5 Tahun 1960 sebagai



65



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



bentuk UU baru tentang ketentuan pokok agraria yang dikenal dengan UUPA, berlaku sebagai induk dari segenap peraturan pertanahan di Indonesia. UUPA ini mengandung asas (prinsip) bahwa semua hak atas tanah dikuasi oleh negara, dan asas bahwa hak milik atas tanah “dapat dicabut untuk kepentingan umum”. Kedua prinsip tersebut dengan tegas telah dituangkan dalam pasal 2 dan pasal 18 UUPA. Berdasarkan pasal 2 UUPA ini negara menjadi pengganti semua pihak yang



mengaku



sebagai penguasa



tanah yang sah. Negara dalam hal ini



merupakan lembaga hukum sebagai organisasi



seluruh rakyat Indonesia.



Pemerintah sebagai lembaga pelaksana UU negara dalam proses ini bertindak sebagai pihak yang melaksanakan dan menerapkan ketentuan yang terdapat dalam pasal 2 UUPA tersebut.



66



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



5.2 Saran Dalam sejarah perkembangan kerajaan-kerajaan yang ada di Simalungun masih terdapat banyak kejanggalan-kejanggalan yang tidak sesuai dengan fakta yang ada, hal ini menimbulkan banyak perspektif mengenai seperti apa sebenarnya sejarah dari kerajaan-kerajaan di Simalungun. Oleh karena itu saya menyarankan: 1.



Memulai untuk menulis sejarah-sejarah dengan perspektif yang ilmiah dengan berangkat dari teori-teori dan fakta yang kredibel. Buku-buku sejarah yang diterbitkan harus objektif sehingga proses penelusuran sejarah dapat berjalan dan menghasilkan insane-insan yang sadar sejarah serta menghargai sejarahnya. Untuk itu perlu sikap jujur dan objektif dalam mengungkapkan data serta fakta yang ada pada setiap peristiwa yang diteliti.



2. Memulai penulisan sejarah yang aplikatif dan berdayaguna langsung bagi masyarakat. Dengan kajian mengenai sejarah kerajaan di Simalungun yang objektif, maka tidak ada lagi salah perspektif mengenai sejarah yang ada. Perlu adanya pelurusan sejarah sebagai salah satu dasar untuk dapat meninjau ulang data serta fakta yang ada untuk menjadikan pengetahuan sejarah yang lebih baik lagi kedepannya.



67



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



BIBLIOGRAFI ARSIP Algemeen Secretariaat Grote Bundel Besluit 1891-1942 No. 53 SoK Het recht op de woeste grond in het Landschap Tanoh Djawa, Kaliamsjah Sinaga, 1939, ANRI Surat Keputusan Pemerintah Wilayah Pantai Timur Sumatera Dewan HindiaBelanda, No. 2598, Buitenzorg, 4 Juli 1904, ANRI. Surat Pemerintah Wilayah Karesidenan Pantai Timur Sumatra C.L. Schaal Kepada Gubernur Jenderal Hindia-Belanda No.2173/4 Medan, 20 Mei 1904, ANRI. Surat Pemerintah Wilayah Karesidenan Pantai Timur Sumatra Kepada Gubernur Jenderal Hindia-Belanda No.3963/4, Medan, 15 Oktober 1903,ANRI. Surat Sekretaris I Pemerintah No. 2369 kepada Residen Pantai Timur Sumatera, Buitenzorg, 18 Juli, ANRI. Zelfbestuursbesluit Gouverneur der Ooskust van Sumatera No. 52, Januari 1936, ANRI.



BUKU Agustono, Budi, dkk., 2012, Sejarah Etnis Simalungun, Medan: USU Press. --------------. 1998, Politik perburuhan di Sumatera Timur 1863 - 1942, F. SastraUSU. Agustono, Budi, 1993, Bangsawan Serdang dan revolusi sosial, Medan: FS USU. Devi, T. Keizerina, dkk., 2004, Globalisasi ekonomi dan perubahan hukum: studi mengenai penghapusan poenale sanctie di Sumatera Timur (1870-1950), (Globalization of economy and law reform: a study of the prohibition of the "poenale sanctie" in East Sumatera (1870-1950), PPS USU.



68



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Fa'al, Fahsin M., 2005, Negara dan revolusi sosial : pokok - pokok pikiran tan malaka, Resist Book. Gottschalk, Louis, 1985. Mengerti Sejarah, terj. dari Nugroho Notosusanto, Jakarta : UI Press. J. Pelzer, Karl, 1985. Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatera Timur 1863-1947, Jakarta: Sinar Harapan. Kalo, Syafruddin, 2004, Di bawah cengkeraman kapitalisme konflik status tanah jaluran antara onderneming dan rakyat penunggu di Sumatera Timur Jaman Kolonial, PPS USU. --------------, 2004, " Perbedaan persepsi mengenai penguasaan tanah dan akibatnya terhadap masyarakat petani di Sumatera Timjur: Pada Masa Kolonial Yang Berlanjut Pada Masa Kemerdekaan, Orde Baru dan Reformasi ", Medan: USU digital library. Kroessen, J.A., 1897. Sebuah Laporan Perjalanan di Daerah Tanjung Kasau, Siantar dan Tanah Jawa, dalam TBG. Kuntowijoyo, 1995. Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. Langenberg, Michael van, 1976. National Revolution in North Sumatera: Sumatera Timur and Tapanuli 1942-1950, Sydney, Disertasi, 1976. Monografi Kebudayaan Suku Batak Simalungun di Kabupaten Simalungun, Medan: Proyek pengembangan Permuseuman Sumatara Utara Departemen Pendidikan dan kebudayaan Simalungun, 1980. Purba, D. Kenan,dkk., 1995. Sejarah Simalungun, Jakarta: Bina Budaya Simalungun. Purba, M.D., 1986. Lintasan Sejarah Kebudayaan Simalungun, (Medan: Penerbit sendiri). --------------. Mengenal Kepribadian Asli rakyat Simalungun, (Medan: Penerbit sendiri), 1977. Purba Tambak, T.B.A., 1986. Sejarah Simalungun, (Medan: Penerbit sendiri), 1983. Reid, Anthony, 1987. Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.



69



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Tideman, J., 2012. Simeloengoen, terj., Kantor Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Kabupaten Simalungun. Sinar, Luckman T., 2009. Lintasan adat dan Budaya Simalungun, Medan: Forkala. --------------. Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur, Medan, 2006. Sembiring, Rosnidar, 2008, Esistensi hak ulayat atas tanah dalam masyarakat adat Simalungun, Pustaka Bangsa Press. Suprayitno, 2001. Mencoba Lagi Menjadi Indonesia: Kasus Negara Sumatera Timur, Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia. Van Dijk, P.AL.E., 1894, Laporan mengenai Simalungun, dalam TBG, (terj) Tim Penulisan Sejarah Simalungun.



SUMBER WEB Simalungunonline.com.html/2016/09/l/raja-tanah-jawa, diakses 02 Oktober 2016, jam 11.30 WIB. SKRIPSI Alamsyah, Muhammad, “Bangsawan Melayu Serdang dalam Revolusi Indonesia di Sumatera Timur 1945-1950”, tidak diterbitkan, Skripsi S1 Program Studi Ilmu Sejarah, USU, 2001.



70



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Lampiran I: Stamboom Raja Tanah Jawa



Sumber: Simalungunonline.com.html/2016/09/l/raja-tanah-jawa, diakses 02 Oktober 2016, jam 11.30 WIB.



71



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Lampiran II: Raja Marpitu 1. Tn Gomok Saragih Garingging I Pematang Raya Radja Raya 2. Tn Bosar Sumalam Purba Dasuha I Pematang Panei,.Radja Panei 3. Tn Sang Madjadi Sinaga Dadihoyong I Pematang Tanah Djawa,Radja Tanah Djawa 4. Tn Ragaim Purba Tambak I Pematang Dologsilou,Radja Dologsilou 5. Tn Padiraja Purba Girsang I Naga Saribu,Radja Silimakuta 6. Tn Sawadin Damanik I Pematang Siantar ,Radja Siantar 7. Tn Karel Tanjung ( Parjabayak ) Purba PakPak I Pematang Purba.Radja Purba



Sumber: Dr.Budi Agustono dkk.,”Sejarah Etnis Simalungun” Medan : USU Press, 2012.



72



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Lampiran III: Makam raja-raja Kerajaan Tanoh Djawa di Pamatang Tanah Jawa



73



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Makam Tuan Sangmajadi Sinaga



74



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Lampiran IV: Tuan Sangmajadi Sinaga



Sumber: Simalungunonline.com.html/2016/09/l/raja-tanah-jawa, diakses 02 Oktober 2016, jam 11.30 WIB.



75



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Lampiran V: Tuan Djorlang Hataran



76



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Lampiran VI: Tampak palasumpak batu pondasi bekas IstanaRumah Bolon Kerajaan Tanoh Jawa di huta Pamatang Tanoh Jawa



77



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Lampiran VII: Stempel Kerajaan Tanah Djawa dan Tanda Tangan T Sang Madjadi tanggal 2 Maret 1934 atas Perjanjian Tambahan atas Perkebunan Permanangan Register no 56, Sesuai Perjanjian dibawah tangan dng NILS tanggal 12 Agustus 1912.



78



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Lampiran VIII: Radja Kaliamsjah Sinaga/Radja Terakhir Keradjaan Tanah Djawa dari th 1941 s/d 1947 beserta Poeang Bolon/Permaisuri, Poeang Bolon Salimah Damanik adalah Putri Dari Tn Sawadin Damanik ( Radja dari Keradjaan Siantar yg terakhir ).



79



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA