Keratitis  [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



NAMA : Arie Fandy Harahap NIM : 130100243



PAPER KERATITIS



Disusun oleh : Arie Fandy Harahap 130100243



Supervisor :



dr. Delfi, M.Ked(Oph), Sp.M (K) PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2020



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



NAMA : Arie Fandy Harahap NIM : 130100243



KATA PENGANTAR Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas kasih, berkat, dan penyertaanNya penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Keratitis”.Penulisan makalah ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Delfi, M.Ked(Oph), Sp.M (K) selaku pembimbing yang telah memberikan arahan dalam penyelesaian makalah ini. Dengan demikian diharapkan makalah ini dapat memberikan kontribusi positif dalam sistem pelayanan kesehatan secara optimal. Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk perbaikan dalam penulisan makalah selanjutnya.



Medan, 15 Desember 2020



i



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



NAMA : Arie Fandy Harahap NIM : 130100243



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ......................................................................................i DAFTAR ISI .....................................................................................................ii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................iii BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................................1 1.1 Latar Belakang ............................................................................................1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA........................................................................3 2.1



Anatomi dan Histologi Kornea..................................................................3



2.2



Fisiologi Kornea.........................................................................................5



2.3



Keratitis......................................................................................................6 2.3.1



Definisi..........................................................................................6



2.3.2



Etiologi..........................................................................................7



2.3.3



Epidemiologi ................................................................................8



2.3.4



Klasifikasi......................................................................................9 2.3.4.1



Klasifikasi Berdasarkan Tempat.....................................9



2.3.4.2



Klasifikasi Berdasarkan Penyebab..................................12



2.3.4.3



Klasifikasi Berdasarkan Klinis.......................................16



2.3.5



Patofisiologi...................................................................................18



2.3.6



Diagnosis.......................................................................................20



2.3.7



Tatalaksana....................................................................................22



BAB 3 KESIMPULAN.....................................................................................27 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................28



ii



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



NAMA : Arie Fandy Harahap NIM : 130100243



DAFTAR GAMBAR Gambar 1



Anatomi dan Histologi Kornea...................................................... 3



Gambar 2



Keratitis Pungtata Superfisial........................................................ 9



Gambar 3



Keratitis Marginal.......................................................................... 10



Gambar 4



Keratitis Interstisial dengan sifilis kongenital............................... 11



Gambar 5



Keratitis Bakterial.......................................................................... 12



Gambar 6



Keratitis Fungal.............................................................................. 12



Gambar 7



Keratitis Herpetik........................................................................... 13



Gambar 8



Keratitis Dendritik......................................................................... 14



Gambar 9



Keratitis Disiformis........................................................................ 14



Gambar 10 Keratitis Infeksi Herpes Zoster...................................................... 15 Gambar 11 Keratokonjungtivitis Epidemi........................................................ 15 Gambar 12 Keratitis Filamentosa..................................................................... 16 Gambar 13 Keratitis Neuroparalitik................................................................. 17 Gambar 14 Keratokonjungtivitis Sika.............................................................. 18



iii



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



NAMA : Arie Fandy Harahap NIM : 130100243



BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keratitis merupakan suatu proses peradangan kornea yang dapat bersifat akut maupun kronis yang disebabkan oleh berbagai faktor antara lain bakteri, jamur, virus atau karena alergi-imunologi. Di antara jenis-jenis keratitis, "keratitis bakteri" merupakan mayoritas dan merupakan penyebab utama di negara-negara berkembang. Keratitis dapat dibagi



menjadi beberapa golongan berdasarkan



kedalaman lesi pada kornea (tempatnya), penyebab dan bentuk klinisnya.1,2,3 Epitel kornea adalah salah satu garis pertahanan pertama yang cukup kuat untuk menghalau sebagian besar infeksi, namun terdapat beberapa organisme yang dapat menembus garis ini dan menyebabkan infeksi. Sebagian besar organisme tidak dapat menembus epitel utuh, sehingga tidak dapat memicu keratitis tanpa adanya cedera seluler. Neisseria meningitides, N. gonorrhea, Corynebacterium diphtheria, Haemophilus influenzae, dan Listeria adalah organisme ganas yang berpotensi menembus epitel utuh dan menyebabkan keratitis.1 Berdasarkan tempatnya keratitis secara garis besar dapat dibagi menjadi keratitis pungtata superfisialis, keratitis marginal dan keratitis interstitial. Berdasarkan penyebabnya keratitis digolongkan menjadi keratitis bakterialis, keratitis fungal, keratitis viral, keratitis akibat alergi. Kemudian berdasarkan bentuk klinisnya dapat dibagi menjadi keratitis sika, keratitis flikten, keratitis nurmularis dan keratitis neuroparalitik.4 Variasi geografi yang luas dari epidemiologi keratitis bakteri dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan iklim. Keratitis jamur terhitung sebanyak 50% dari seluruh kasus dari kultur keratitis di beberapa negara berkembang. 4 Gejala umum keratitis adalah visus turun perlahan, mata merah, rasa silau, dan merasa ada benda asing di matanya. Gejala khususnya tergantung dari jenisjenis keratitis yang diderita oleh pasien. Gambaran klinik masingmasing keratitis pun berbeda-beda tergantung dari jenis penyebab dan tingkat kedalaman yang



1



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



NAMA : Arie Fandy Harahap NIM : 130100243



terjadi di kornea, jika keratitis tidak ditangani dengan benar maka penyakit ini akan



2



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



NAMA : Arie Fandy Harahap NIM : 130100243



berkembang menjadi suatu ulkus yang dapat merusak kornea secara permanen sehingga akan menyebabkan gangguan penglihatan bahkan dapat sampai menyebabkan kebutaan sehingga pengobatan keratitis haruslah cepat dan tepat agar tidak menimbulkan komplikasi yang merugikan di masa yang akan datang terutama pada pasien yang masih muda.2,3,4



2



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



NAMA : Arie Fandy Harahap NIM : 130100243



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi dan Histologi Kornea



Gambar 1. Anatomi dan Histologi Kornea5



Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan, erukuran 11-12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37. Kornea memberikan kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25 dioptri (D) dari total 58,60 kekuatan dioptri mata manusia. Kornea juga merupakan sumber astigmatisme pada sistem optik. Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada difusi glukosa dari aqueus humor dan oksigen yang berdifusi melalui lapisan air mata. Sebagai tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus. Kornea adalah salah satu organ tubuh yang memiliki densitas ujung-ujung saraf terbanyak dan sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan dengan konjungtiva. Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V, saraf siliar longus yang berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran Bowman melepas selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan. Sensasi dingin oleh Bulbus Krause ditemukan pada daerah limbus.6 Kornea dalam bahasa latin “cornum” artinya seperti tanduk, merupakan selaput bening mata, bagian dari mata yang bersifat tembus cahaya, merupakan lapis dari jaringan yang menutup bola mata sebelah depan.



3



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



1.



NAMA : Arie Fandy Harahap NIM : 130100243



Epitel Terdiri dari sel epitel squamos yang bertingkat, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; sel poligonal dan sel gepeng. Tebal lapisan epitel kira-kira 5 % (0,05 mm) dari total seluruh lapisan kornea. Epitel dan film air mata merupakan lapisan permukaan dari media penglihatan. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa melalui barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren. Sedangkan epitel berasal dari ektoderem permukaan. Epitel memiliki daya regenerasi.6



2. Membran Bowman Membran yang jernih dan aselular, Terletak di bawah membran basal dari epitel. Merupakan lapisan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari epitel bagian depan stroma. Lapisan ini tidak mempunyai daya generasi.6 3.



Stroma Lapisan ini mencakup sekitar 90% dari ketebalan kornea. Merupakan lapisan tengah pada kornea. Bagian ini terdiri atas lamel fibril-fibril kolagen dengan lebar sekitar 1 μm yang saling menjalin yang hampir mencakup seluruh diameter kornea, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama, dan kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.6



4.



Membran Descemet Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea yang dihasilkan oleh endotel. Bersifat sangat elastis dan jernih yang tampak



4



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



NAMA : Arie Fandy Harahap NIM : 130100243



amorf pada pemeriksaan mikroskop elektron, membran ini berkembang terus seumur hidup dan mempunyai tebal + 40 mm. Lebih kompak dan elastis daripada membran Bowman. Juga lebih resisten terhadap trauma dan proses patologik lainnya dibandingkan dengan bagian-bagian kornea yang lain.6 5.



Endotel Berasal dari mesotelium, terdiri atas satu lapis sel berbentuk heksagonal, tebal antara 20-40 mm melekat erat pada membran descemet melalui taut. Endotel dari kornea ini dibasahi oleh aqueous humor. Lapisan endotel berbeda dengan lapisan epitel karena tidak mempunyai daya regenerasi, sebaliknya endotel mengkompensasi sel-sel yang mati dengan mengurangi kepadatan seluruh endotel dan memberikan dampak pada regulasi cairan, jika endotel tidak lagi dapat menjaga keseimbangan cairan yang tepat akibat gangguan sistem pompa endotel, stroma bengkak karena kelebihan cairan (edema kornea) dan kemudian hilangnya transparansi (kekeruhan) akan terjadi. Permeabilitas dari kornea ditentukan oleh epitel dan endotel yang merupakan membrane semipermeabel, kedua lapisan ini mempertahankan kejernihan daripada kornea, jika terdapat kerusakan pada lapisan ini maka akan terjadi edema kornea dan kekeruhan pada kornea.6



2.2. Fisiologi Kornea Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan “jendela” yang dilalui berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strukturnya yang uniform, avaskuler dan deturgesensi. Deturgesensi atau keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh “pompa” bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel jauh lebih penting daripada epitel, dan kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel berdampak jauh lebih parah daripada kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya, kerusakan pada epitel hanya menyebabkan edema stroma kornea lokal sesaat yang akan meghilang bila sel-sel epitel telah beregenerasi. Penguapan air dari lapisan air mata prekorneal menghasilkan hipertonisitas ringan lapisan air mata tersebut,



5



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



NAMA : Arie Fandy Harahap NIM : 130100243



yang mungkin merupakan faktor lain dalam menarik air dari stroma kornea superfisial dan membantu mempertahankan keadaan dehidrasi.7 Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut-lemak dapat melalui epitel utuh dan substansi larut-air dapat melalui stroma yang utuh. Karenanya agar dapat melalui kornea, obat harus larut-lemak dan larut-air sekaligus. Epitel adalah sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme kedalam kornea. Namun sekali kornea ini cedera, stroma yang avaskular dan membran bowman mudah terkena infeksi oleh berbagai macam organisme, seperti bakteri, virus, amuba, dan jamur.6 Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui cahaya, dalam perjalanan pembentukan bayangan di retina, karena jernih, sebab susunan sel dan seratnya tertentu dan tidak ada pembuluh darah. Biasan cahaya terutama terjadi di permukaan anterior dari kornea. Perubahan dalam bentuk dan kejernihan kornea, segera mengganggu pembentukan bayangan yang baik di retina. Oleh karenanya kelainan sekecil apapun di kornea, dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang hebat terutama bila letaknya di daerah pupil.7 2.3. Keratitis 2.3.1. Definisi Keratitis adalah peradangan kornea yang dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, jamur, virus atau suatu proses alergi-imunologi 1. Keratitis adalah radang pada kornea atau infiltrasi sel radang pada kornea yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh sehingga tajam penglihatan menurun. Infeksi pada kornea biasanya diklasifikasikan menurut lapisan kornea yang terkena, yaitu keratitis superfisialis apabila mengenai lapisan epitel atau membran bowman dan keratitis profunda atau interstisialis (disebut juga keratitis parenkimatosa) apabila sudah mengenai lapisan stroma.3



6



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



NAMA : Arie Fandy Harahap NIM : 130100243



2.3.2. Etiologi Keratitis dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti kurangnya air mata, keracunan obat, reaksi alergi terhadap yang diberi topikal, dan reaksi terhadapkonjungtivitis menahun.3 Infeksi korena pada umumnya didahului trauma, penggunaan lensa kontak, pemakaian kortikosteroid topikal yang tidak terkontrol. Kelainan ini merupakan penyebab kebutaan ketiga terbanyak di Indonesia.2 Berdasarkan agen penyebabnya, keratitis dapat diklasifikasikan sebagai:1,8,9 Keratitis Infeksi 



Keratitis bakteri - termasuk Pseudomonas, Staphylococcus, Streptococcus, Moraxella, Nocardia, dan Atypical Mycobacteria







Keratitis protozoa - termasuk Acanthamoeba







Keratitis oleh Oomycete - Pythium keratitis. Secara morfologis, sangat mirip dengan jamur; Namun, tidak seperti jamur, dinding sel di sini mengandung (1-3) (1-6) beta D glukan







Keratitis jamur - Ini termasuk infeksi oleh Aspergillus, Fusarium, Candida (ragi), Cladosporium, Alternaria, Curvularia, dan Microsporidia







Keratitis virus - Ini termasuk infeksi oleh virus Herpes simplex (HSV), virus Herpes zoster (HZV), Adenovirus, dan lainnya.







Helminths- Keratitis onchocercal (sclerosing keratitis).



Keratitis Non-Infeksi 



Penyebab lokal - termasuk trichiasis, papila raksasa, benda asing di sulcus subtarsalis







Keratitis ulseratif perifer







Penyakit



pembuluh



darah



kolagen,



seperti



rheumatoid



arthritis,



granulomatosis dengan poliangiitis, poliarteritis nodosa, polikondritis relaps, lupus eritematosus sistemik, dan lain-lain 



Ulkus kornea neurotrofik (post-herpes zoster ophthalmicus, kerusakan saraf trigeminal akibat pembedahan atau tumor)







Xerophthalmia



7



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



NAMA : Arie Fandy Harahap NIM : 130100243



2.3.3. Epidemiologi Variasi geografi yang luas dari epidemiologi keratitis bakteri dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan iklim. Keratitis jamur terhitung sebanyak 50% dari seluruh kasus dari kultur keratitis di beberapa negara berkembang. Penelitian yang dilakukan oleh Marlon M. Ibrahim dkk menunjukkan bahwa angka kejadian keratitis bakteri di Banglades 82%, India 68,4%, dan yang terendah yaitu di Taiwan 40%. Fusarium sp merupakan penyebab keratitis jamur paling umum di Florida, Nigeria, Tanzania, dan Singapura. Spesies Aspergillus lebih banyak ditemukan di India bagian utara, Nepal, dan Banglades. Di India dan Nepal, Steptococcus pneumoniae merupakan bakteri patogen yang lebih dominan. Sedangkan Pseudomonas sp merupakan spesies bakteri yang lebih banyak ditemukan dalam penelitian di Banglades, Hongkong dan Paraguai.10 Perbedaan tersebut dipegaruhi oleh faktor ikim dan lingkungan. Keratitis jamur dan keratitis bakteri lebih sering terjadi pada musim semi. Hal ini berhubungan dengan peningkatan aktivitas agrikultur dan/ atau peningkatan proliferasi dari agen patogen pada periode tersebut. Faktor predisposisi keratitis bakteri yang sering di Brazil adalah taruma, khususnya taruma pada kornea. Penelitian Marlon M. Ibrahim dkk menunjukkan bahwa iklim, lingkungan tempat tinggal mempengaruhi karakteristik dari keratitis bakteri.10 Menurut Murillo Lopez, sekitar 25.00 orang Amerika terkena keratitits bakteri per tahun. Kejadian keratitis bakteri bervariasi, dengan lebih sedikit pada negara negara industri yang secara signifikan lebih sedikit memiliki jumlah pengguna lensa kontak. Insiden keratitis jamur bervariasi sesuai dengan lokasi geografis dan berkisar 2% dari kasus keratitis di New York dan 35% di Florida. Spesies Fusarium merupakan penyebab paling umum dari infeksi jamur kornea di Amerika Serikat bagian selatan (45-76% dari keratitis jamur). Sedangkan spesies Candida dan Aspergillus lebih umum di negara negara utara. Secara signifikan lebih sedikit yang berkaitan dengan infeksi lensa kontak.11,12



8



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



NAMA : Arie Fandy Harahap NIM : 130100243



2.3.4. Klasifikasi Berdasarkan tempatnya keratitis secara garis besar dapat dibagi menjadi keratitis pungtata superfisialis, keratitis marginal dan keratitis interstitial. Berdasarkan penyebabnya keratitis digolongkan menjadi keratitis bakterialis, keratitis fungal, keratitis viral, keratitis akibat alergi. Kemudian berdasarkan bentuk klinisnya dapat dibagi menjadi keratitis sika, keratitis flikten, keratitis nurmularis dan keratitis neuroparalitik.6 2.3.4.1. Klasifikasi Berdasarkan Tempat A. Keratitis Pungtata Superfisialis



Gambar 2. Keratitis Pungtata Superfisial14



Keratitis yang terkumpul di daerah membran Bowman dengan infiltrat berbentuk bercak bercak halus. Penyebab: Moluscum kontagiosum, acne rosasea, Herpes simpleks, Herpes zoster, Blefaritis neuroparalitik, Infeksi virus, vaksinia, Trakoma dan trauma radiasi, dryeyes, trauma, lagoftalmus, keracunan obat seperti: neomisin, tobramisin. Keratitis Pungtata biasanya terdapat bilateral, berjalan kronis tanpa terlihat gejala konjungtiva atau tanda akut yang biasanya terjadi pada dewasa muda. Keratitis Pungtata Superfisial memberikan gambaran seperti infiltrat halus bertitik-titik pada permukaan kornea. Merupakan cacat halus kornea superfisial dan hijau bila diwarnai fluoresein. Dapat disebabkan sindrom dry eye, blefaritis, keratopati logaftalmos, keracunan obat topical (neomisin, tobramisin ataupun obat



9



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



NAMA : Arie Fandy Harahap NIM : 130100243



lainnya), sinar ultraviolet, trauma kimia ringan dan pemakaian lensa kontak.Pasien akan mengeluh sakit, silau, mata merah dan rasa kelilipan. Pasien diberi air mata buatan, tobramisin tetes mata dan siklopegik. Keratitis Pungtata Subepitel: keratitis yang terkumpul di membran Bowman. Pada keratitis ini biasanya terdapat bilateral dan berjalan kronis tanpa terlihatnya gejala kelainan konjungtiva ataupun tanda akut yang biasanya terjadi pada dewasa muda. B. Keratitis Marginal



Gambar 2. Keratitis Marginal14



Merupakan infiltrat yang tertimbun pada tepi kornea sejajar dengan limbus. Penyakit infeksi lokal konjungtiva dapat menyebabkan keratitis kataral/marginal. Keratitis marginal kataral biasanya terdapat pada pasien setengah umur dengan adanya blefarokonjungtivitis. Bila tidak diobati dengan baik maka akan mengakibatkan tukak kornea. Penderita mengeluh sakit seperti kelilipan, lakrimasi, fotofobia berat. Pada mata akan terlihat blefarospasme satu mata, Injeksi konjungtiva, Infiltrat atau ulkus memanjang, dangkal unilateral dapat tunggal atau multiple, sering disertai neovaskularisasi dari arah limbus.



10



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



NAMA : Arie Fandy Harahap NIM : 130100243



C. Keratitis Interstisial



Gambar 4. Keratitis Interstisial dengan sifilis kongenital14



Keratitis yang ditemukan pada jaringan kornea yang lebih dalam. Seluruh kornea keruh sehingga iris susah dilihat. Keratitis Interstisial akibat lues kogenital didapatkan neovaskularisasi dalam. Keratitis interstisial merupakan keratitis nonsuppuratif



profunda



disertai



neovaskularisasi



disebut



juga



Keratitis



Parenkimatosa. Pasien mengeluh fotofobia, lakrimasi dan menurunnya visus. Keluhan akan bertahan seumur hidup. Seluruh kornea keruh sehingga iris sukar dilihat. Permukaan kornea seperti permukaan kaca. Terdapat injeksi Siliar disertai serbukan pembuluh ke dalam sehingga memberi gambaran merah kusam yang disebut “Salmon Patch” dari Hutchinson. Seluruh kornea dapat berwarna merah cerah. Keratitis disebabkan sifilis kogenital atau bisa juga oleh tuberkulosis, trauma. Pengobatan tergantung penyebabnya. Diberikan juga Sulfas Atropin tetes mata untuk mencegah sinekia akibat uveitis dan kortikosteroid tetes mata.



11



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



NAMA : Arie Fandy Harahap NIM : 130100243



2.3.4.2. Klasifikasi Berdasarkan Penyebab A. Keratitis Bakterial



Gambar 5. Keratitis Bakterial14



Penyebab: Staphylococcus, Streptococcus, Pseudomonas dan Enterobakteriacea. Faktor Predisposisi : Pemakaian kontak lens, trauma, kontaminasi obat tetes. B. Keratitis Fungal



Gambar 6. Keratitis Fungal14



Penyebab: trauma kornea oleh ranting pohon, daun dan bagian tumbuhtumbuhan. Dapat juga akibat efek samping penggunaan antibiotik dan kortikosteroid yang tidak cepat. Keluhan timbul setelah 3 minggu kemudian. Keluhan sakit mata hebat, berair dan silau. Pada mata terlihat infiltrat berhifa dan satelit bila terletak didalam stroma, disertai cincin endotel dengan plaque



12



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



NAMA : Arie Fandy Harahap NIM : 130100243



bercabang-cabang dengan endotelium plaque, gambaran satelit pada kornea dan lipatan Descemet. C. Keratitis Virus Keratitis Pungtata Superfisial dengan gambaran Infiltrat halus bertitik-titik pada dataran depan kornea yang dapat terjadi pada herpes simpleks, herpes zoster, infeksi virus, vaksinia dan trakoma. Keratitis terkumpul di daerah membran Bowman, bilateral dan kronis tanpa terlihat kelainan konjungtiva. Jenis Keratitis Virus: Keratitis herpetik, Keratitis dendritik, Keratitis Disformis, Infeksi Herpes Zoster, Keratokonjuntivitis Epidemi. a) Keratitis Herpetik



Gambar 7. Keratitis Herpetik14



Disebabkan herpes simpleks dan herpes zoster. Keratitis karena herpes Simpleks dibagi 2 bentuk: Epitelial adalah Keratitis dendritik. Pada epitelial terjadi pembelahan virus di dalam sel epitel yang mengakibatkan kerusakan sel dan membentuk tukak kornea superfisial. Stromal adalah Keratitis diskiformis. Pada Stromal diakibat reaksi imunologik tubuh terhadap virus yang menyerang. Antigen (virus) dan antibodi (tubuh pasien) bereaksi di dalam stroma kornea dan menarik sel leukosit dan sel radang lainnya. Sel ini mengeluarkan bahan proteolitik untuk merusak



13



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



NAMA : Arie Fandy Harahap NIM : 130100243



antigen (virus) yang juga merusak jaringan stromal di sekitarnya. Biasanya infeksi Herpes Simpleks berupa campuran antara Epitelial dan Stromal. b) Keratitis Dendritik



Gambar 8. Keratitis Dendritik14



Merupakan Keratitis Superfisial yang membentuk garis infiltrate pada permukaan kornea kemudian membentuk cabang. Disebabkan oleh virus Herpes Simpleks. Gejala : Fotofobia, kelilipan, tajam penglihatan menurun, konjungtiva hiperemia disertai sensibilitas kornea yang hipestesia. Karena gejala ringan, pasien terlambat berkonsultasi. Dapat menjadi tukak kornea. c) Keratitis Disiformis



Gambar 9. Keratitis Disiformis14



Merupakan keratitis yang membentuk kekeruhan infiltrat yang bulat atau lonjong di dalam jaringan kornea. Penyebab: Infeksi virus Herpes Simpleks.



14



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



NAMA : Arie Fandy Harahap NIM : 130100243



Merupakan reaksi alergi atau imunologik terhadap virus Herpes Simpleks pada permukaan kornea. d) Infeksi Herpes Zoster



Gambar 10. Infeksi Herpes Zoster14



Merupakan keratitis vesikular karena infeksi Herpes Zoster di mata. Biasanya pada usia lanjut. Gejalanya rasa sakit di daerah yang terkena, badan terasa hangat, merah dan penglihatan berkurang. Pada kelopak terlihat vesikel dan infiltrat pada kornea. Vesikel juga tersebar pada dermatom yang dipersarafi saraf Trigeminus, progresif dan tidak melewati garis meridian. e)



Keratokonjungtivitis Epidemi



Gambar 11. Keratokonjungtivitis Epidemi14



Merupakan keratitis akibat reaksi peradangan kornea dan konjungtiva yang disebabkan adenovirus tipe 8. Biasanya unilateral, suatu epidemi. Gejalanya demam, gangguan nafas, penglihatan menurun, merasa ada benda asing,bberair,



15



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



NAMA : Arie Fandy Harahap NIM : 130100243



kadang nyeri. Pada mata berupa edema kelopak dan folikel konjungtiva, pseudomembran pada konjungtiva tarsal yang membentuk jaringan parut, pada kornea terdapat Keratitis Pungtata pada minggu pertama. Kelenjar preaurikel membesar. Kekeruhan subepitel kornea menghilang sesudah 2 bulan sampai 3 tahun atau lebih. 2.3.4.3. Klasifiksi Berdasarkan Klinis A. Keratitis Filamentosa



Gambar 12. Keratitis Filamentosa14



Merupakan keratitis yang disertai filamen mukoid dan deskuamasi sel epitel pada permukaan kornea. Penyebab tidak diketahui. Disertai penyakit lain seperti keratokonjungtivitis sika, sarkoidosis, trakoma, pempigoid okular, pemakaian lensa kontak, edema kornea, keratokonjuntivitis limbik superior DM, trauma dasar otak dan pemakaian antihistamin. Ditemukan pada dry eyes, DM, Post op Katarak, keracunan kornea oleh zat tertentu. Gambaran: filamen mempunyai dasar bentuk segitiga yang menarik epitel, epitel pada filamen terlihat tidak melekat pada epitel kornea. Di dekat filamen terdapat defek filamen dan kekeruhan epitel berwarna abu abu. Gejala: rasa kelilipan, sakit, silau, blefarospasme dan epiforia. Mata merah dan terdapat defek kornea.



16



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



B.



NAMA : Arie Fandy Harahap NIM : 130100243



Keratokonjungtivitis Flikten Merupakan radang kornea dan konjungtiva sebagai suatu reaksi imun yang



mungkin sel mediated pada jaringan yang sudah sensitif terhadap antigen. Gejala: Terdapat flikten pada kornea berupa benjolan berbatas tegas berwarna putih keabuan dengan atau tanpa neovaskularisasi menuju ke arah benjolan tersebut. Bilateral, pada limbus tampak benjolan putih kemerahan dikelilingi konjungtiva hiperemis. Terdapat papul dan pustula pada kornea dan konjungtiva. Lakrimasi dan fotofobia disertai rasa sakit. Hiperemis konjungtiva, menebalnya epitel kornea, perasaan panas disertai gatal dan tajam penlihatan berkurang. C. Keratitis Lagoftalmus Keratitis yang terjadi akibat lagoftalmus dimana kelopak mata tidak bisa menutup dengan sempurna sehingga menyebabkan kekeringan pada kornea dan konjungtiva sehingga rentan terkena infeksi. Lagoftalmus dapat disebabkan tarikan jaringan parut pada tepi kelopak, eksoftalmus, paralise saraf fasial, atoni orbikularris okuli dan proptosis karena tiroid. D. Keratitis Neuroparalitik



Gambar 13. Keratitis Neuroparalitik14



Merupakan keratitis akibat kelainan saraf trigeminus sehingga terdapat kekeruhan kornea yang tidak sensitif disertai kekeringan kornea. Gangguan persarafan dapat terjadi akibat herpes zoster, tumor fossa posterior kranium, peradangan sehingga kornea menjadi anestetis. Kemudian kornea menjadi



17



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



NAMA : Arie Fandy Harahap NIM : 130100243



kehilangan pertahanannya terhadap iritasi luar. Kornea menjadi mudah infeksi dan terbentuk tukak kornea. Gejalanya : tajam penglihatan menurun, silau, tidak nyeri. Refleks berkedip hilang, injeksi siliar, permukaan kornea keruh, infiltrat dan vesikel pada kornea. E. Keratokonjungtivitis Sika



Gambar 14. Keratokonjungtivitis Sika14



Merupakan keringnya permukaan kornea dan konjungtiva. Gejala : mata berpasir, gatal, silau, penglihatan kabur, sekresi mukus mata yang berlebihan, sukar menggerakkan kelopak mata, mata kering karena ada erosi kornea, Edema kojungtiva bulbi, filamen (benang) di kornea. Pemeriksaan yang dilakukan: Tes Schimer : resapan air mata pada kertas Schimer normal 10-25 mm dalam waktu 5 menit. Abnormal < 10 mm. Tes zat warna Rose Bengal konjungtiva zat warna ini akan mewarnai sel epitel kornea. Terdapat titik merah di konjungtiva bila mata kering. Tear film break up time. 2.3.5. Patofisiologi Epitel adalah sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme kedalam kornea. Namun sekali kornea mengalami cedera, stroma yang avaskuler dan membrane Bowman mudah terinfeksi oleh berbagai macam mikroorganisme seperti



amoeba,



bakteri



dan



jamur.



Streptococcus



pneumonia



(pneumokokus)adalah bakteri pathogen kornea sejati, pathogen lain memerlukan inokulum yang berat atau hospes yang lemah (misalnya pada pasien yang mengalami defisiensi imun) agar dapat menimbulkan infeksi.7



18



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



NAMA : Arie Fandy Harahap NIM : 130100243



Kornea adalah struktur yang avaskuler oleh sebab itu pertahanan pada waktu peradangan, tidak dapat segera ditangani seperti pada jaringan lainnya yang banyak mengandung vaskularisasi. Sel-sel di stroma kornea pertama-tama akan bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah yang ada di limbus dan tampak sebagai injeksi pada kornea. Sesudah itu terjadilah infiltrasi dari sel-sel lekosit, sel-sel polimorfonuklear, sel plasma yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak sebagai bercak kelabu, keruh dan permukaan kornea menjadi tidak licin.6,7 Epitel kornea dapat rusak sampai timbul ulkus. Adanya ulkus ini dapat dibuktikan dengan pemeriksaan fluoresin sebagai daerah yang berwarna kehijauan pada kornea. Bila tukak pada kornea tidak dalam dengan pengobatan yang baik dapat sembuh tanpa meninggakan jaringan parut, namun apabila tukak dalam apalagi sampai terjadi perforasi penyembuhan akan disertai dengan terbentuknya jaringan parut. Mediator inflamasi yang dilepaskan pada peradangan kornea juga dapat sampai ke iris dan badan siliar menimbulkan peradangan pada iris. Peradangan pada iris dapat dilihat berupa kekeruhan di bilik mata depan. Kadangkadang dapat terbentuk hipopion.7 Pada keratitis bakteri adanya gangguan dari epitel kornea yang intak dan atau masuknya mikroorganisme abnormal ke stroma kornea, dimana akan terjadi proliferasi dan menyebabkan ulkus. Faktor virulensi dapat menyebabkan invasi mikroba atau molekul efektor sekunder yang membantu proses infeksi. Beberapa bakteri memperlihatkan sifat adhesi pada struktur fimbriasi dan struktur non fimbriasi yang membantu penempelan ke sel kornea. Selama stadium inisiasi, epitel dan stroma pada area yang terluka dan infeksi dapat terjadi nekrosis. Sel inflamasi akut (terutama neutrofil) mengelilingi ulkus awal dan menyebabkan nekrosis lamella stroma. Difusi produk-produk inflamasi (meliputi cytokines) di bilik posterior, menyalurkan sel-sel inflamasi ke bilik anterior dan menyebabkan adanya hipopion. Toksin bakteri yang lain dan enzim (meliputi elastase dan alkalin protease) dapat diproduksi selama infeksi kornea yang nantinya dapat menyebabkan destruksi substansi kornea.7,13



19



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



NAMA : Arie Fandy Harahap NIM : 130100243



Keratitis herpes simplek dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan stromal Kerusakan terjadi pada pembiakan virus intraepitelial, mengakibatkan kerusakan sel epitelial dan membentuk tukak kornea superfisial. Pada yang stromal terjadi reaksi imunologik tubuh terhadap virus yang menyerang yaitu reaksi antigen antibodi yang menarik sel radang kedalam stroma. Sel radang ini mengeluarkan bahan proteolitik untuk merusak virus tetapi juga akan merusak jaringan stroma disekitarnya. Hal ini penting diketahui karena manajemen pengobatan pada yang epitelial ditujukan terhadap virusnya sedang pada yang stromal ditujukan untuk menyerang virus dan reaksi radangnya. Perjalanan klinik keratitis dapat berlangsung lama kaena stroma kornea kurang vaskuler, sehingga menghambat migrasi limfosit dan makrofag ketempat lesi. Infeksi okuler HSV pada hospes imunokompeten biasanya sembuh sendiri, namun pada hospes yang secara imunologik tidak kompeten, perjalanannya mungkin menahun dan dapat merusak.7,13 2.3.6. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, gejala klinik dan hasil pemeriksaan mata. Dari hasil anamnesis sering diungkapkan riwayat trauma, adanya riwayat penyakit kornea, misalnya pada keratitis herpetik akibat infeksi herpes simpleks yang kambuh. Anamnesis mengenai pemakaian obat lokal oleh pasien, karena kortikosteroid merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi, atau virus terutama keratitis herpes simpleks.6,7 Pasien dengan keratitis biasanya datang dengan keluhan iritasi ringan, adanya sensasi benda asing, mata merah, mata berair, penglihatan yang sedikit kabur, dan silau (fotofobia) serta sulit membuka mata (blepharospasme). Penderita akan mengeluh sakit pada mata karena kornea memiliki banyak serabut nyeri, sehingga amat sensitif. Kebanyakan lesi kornea superfisialis maupun yang sudah dalam menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit diperberat oleh kuman kornea bergesekan dengan palpebra. Karena kornea berfungsi sebagai media untuk refraksi sinar dan merupakan media pembiasan terhadap sinar yang



20



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



NAMA : Arie Fandy Harahap NIM : 130100243



masuk ke mata maka lesi pada kornea umumnya akan mengaburkan penglihatan terutama apabila lesi terletak sentral pada kornea.6,13 Fotofobia yang terjadi biasanya terutama disebabkan oleh kontraksi iris yang meradang. Dilatasi pembuluh darah iris adalah fenomena refleks yang disebabkan iritasi pada ujung serabut saraf pada kornea. Pasien biasanya juga mengeluhkan mata berair namun tidak disertai dengan pembentukan kotoran mata yang banyak kecuali pada ulkus kornea yang purulen. Dalam mengevaluasi peradangan kornea penting untuk membedakan apakah tanda yang kita temukan merupakan proses yang masih aktif atau merupakan kerusakan dari struktur kornea hasil dari proses di waktu yang lampau. Sejumlah tanda dan pemeriksaan sangat membantu dalam mendiagnosis dan menentukan penyebab dari suatu peradangan kornea seperti: pemeriksaan sensasi kornea, lokasi dan morfologi kelainan, pewarnaan dengan fluoresin, neovaskularisasi, derajat defek pada epithel, lokasi dari infiltrat pada kornea, edema kornea, keratik presipitat, dan keadaan di bilik mata depan. Tanda-tanda yang ditemukan ini juga berguna dalam mengawasi perkembangan penyakit dan respon terhadap pengobatan.6,13 Pemeriksaan diagnostik yang biasa dilakukan adalah :6,13 1.



Pemeriksaan tajam penglihatan Pemeriksaan tajam penglihatan dilakukan untuk mengetahui fungsi penglihatan setiap mata secara terpisah. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan menggunakan kartu Snellen maupun secara manual yaitu menggunakan jari tangan.



2. Uji dry eye Pemeriksaan mata kering (dry eye) termasuk penilaian terhadap lapis film air mata (tear film), danau air mata ( teak lake ), dilakukan uji break up time tujuannya yaitu untuk melihat fungsi fisiologik film air mata yang melindungi kornea. Penilaiannya dalam keadaan normal film air mata mempunyai waktu pembasahan kornea lebih dari 25 detik. Pembasahan kornea kurang dari 15 detik menunjukkan film air mata tidak stabil.



21



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



NAMA : Arie Fandy Harahap NIM : 130100243



3. Ofthalmoskop Tujuan pemeriksaan untuk melihat kelainan serabut retina, serat yang pucat atropi, tanda lain juga dapat dilihat seperti perdarahan peripapilar. 4. Keratometri (pegukuran kornea) Keratometri tujuannya untuk mengetahui kelengkungan kornea, tear lake juga dapat dilihat dengan cara fokus kita alihkan kearah lateral bawah, secara subjektif dapat dilihat tear lake yang kering atau yang terisi air mata. 5.



Tonometri digital palpasi Cara ini sangat baik pada kelainan mata bila tonometer tidak dapat dipakai atau sulit dinilai seperti pada sikatrik kornea, kornea ireguler dan infeksi kornea. Pada cara ini diperlukan pengalaman pemeriksa karena terdapat factor subjektif, tekanan dapat dibandingkan dengan tahahan lentur telapak tangan dengan tahanan bola mata bagian superior.



2.3.7. Tatalaksana Tujuan penatalaksanaan keratitis adalah mengeradikasi penyebab keratitis, menekan reaksi peradangan sehingga tidak memperberat destruksi pada kornea, mempercepat



penyembuhan



defek



epitel,



mengatasi



komplikasi,



serta



memperbaiki ketajaman penglihatan. Ada beberapa hal yang perlu dinilai dalam mengevaluasi keadaan klinis keratitis meliputi: rasa sakit, fotofobia, lakrimasi, rasa mengganjal, ukuran ulkus dan luasnya infiltrat.1,13 Sebagian besar para pakar menganjurkan melakukan debridement sebelumnya. Debridement epitel kornea selain berperan untuk pengambilan spesimen diagnostik, juga untuk menghilangkan sawar epitelial sehingga obat lebih mudah menembus. Dalam hal ini juga untuk mengurangi subepithelial "ghost" opacity debridement



yang sering mengikuti keratitis dendritik. Diharapkan



juga mampu mengurangi



kandungan virus epithelial



jika



penyebabnya virus, konsekuensinya reaksi radang akan cepat berkurang.15



22



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



NAMA : Arie Fandy Harahap NIM : 130100243



A. Keratitis Bakteri Untuk keratitis bakterial, pasien mulai diberikan antibiotik topikal yang diperkaya secara empiris sampai laporan kultur tersedia. Cefazolin 5% yang diperkuat atau vankomisin dan fluoroquinolon atau tobramycin atau gentamisin memberikan perlindungan lengkap terhadap organisme gram positif dan gram negatif. Untuk keratitis yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus yang resisten terhadap methicillin (MRSA), vankomisin topikal adalah obat pilihan. Linezolid 0,2% topikal juga dapat digunakan untuk MRSA.1 Pseudomonas Keratitis: Olesan langsung pada pewarnaan Gram menunjukkan batang dan kultur gram negatif tumbuh Pseudomonas aeruginosa. Pasien mulai diberikan fluoroquinolon topikal setiap jam. Perawatan diubah setelah laporan kultur dan sensitivitas tersedia. Doksisiklin oral ditambahkan untuk menghentikan perkembangan kolagenolisis. Untuk strain resisten, digunakan imipenem-cilastatin (1%) atau colistin (0,19%) topikal.1,15 Nocardia Keratitis: Apusan kornea dilakukan pewarnaan Gram rutin dan pewarnaan tahan asam 1%. [69] Nocardia adalah basil aerobik gram positif dengan filamen manik-manik tipis yang menunjukkan percabangan luas pada suhu 90 °. [70] Nocardia tumbuh baik pada media kultur konvensional, meskipun lebih lambat dari organisme lain. Amikasin yang diperkuat topikal (2,5%) adalah pengobatan pilihan. Perawatan awal dengan steroid topikal memperburuk prognosis.15 Mikobakteri atipikal: Pewarnaan Ziehl Neelsen digunakan untuk mengidentifikasi organisme dalam noda. Amikasin yang diperkuat topikal (4%) adalah pengobatan pilihan. Klaritromisin (2%) adalah lini manajemen kedua. Namun, fluoroquinolones (ciprofloxacin 0,3%) juga dapat digunakan.15,16 B. Keratitis Virus Pewarnaan ganda dengan pewarnaan Rose-Bengal dan fluorescein adalah alat klinis yang sangat penting untuk membuat diagnosis penyakit epitel HSV. Pewarnaan fluorescein membuat dendrit dan ulkus geografis lebih jelas dengan pewarnaan dasar ulkus, dan Rose-Bengal menodai sel di tepi ulkus, yang sarat



23



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



NAMA : Arie Fandy Harahap NIM : 130100243



dengan virus. Diagnosis penyakit epitel sebagian besar bersifat klinis. Pengikisan kornea untuk reaksi berantai polimerase untuk DNA virus HSV dilakukan pada kasus yang meragukan. Antiviral topikal (asiklovir 3% - 5 kali sehari) adalah andalan pengobatan penyakit epitel. Untuk penyakit stroma HSV dan endotelitis, steroid topikal adalah pengobatan andalan. Namun, antivirus oral (asiklovir 400 mg, 5 kali sehari) juga ditambahkan untuk mencegah kekambuhan lebih lanjut. Untuk HSV necrotizing stromal keratitis, pengobatan harus diberikan sedini mungkin untuk menghindari pencairan kornea dan perforasi berikutnya. Dosis awal antivirus baik asiklovir topikal (3%) dan oral (asiklovir 400 mg 5 kali sehari) diberikan selama tiga hari pertama. Steroid topikal ditambahkan pada hari ketiga. Untuk kasus yang menunjukkan penipisan atau perforasi yang parah, perekat jaringan (lem cyanoacrylate) dan lensa kontak perban diaplikasikan. Lebih disukai, steroid topikal dimulai setelah menerapkan perekat jaringan untuk menghindari lisis stroma lebih lanjut yang diinduksi steroid. Untuk keratitis HSV berulang, dosis profilaksis antivirus oral (asiklovir 400 mg dua kali sehari) diberikan selama satu tahun.17,18 Diagnosis HZO bersifat klinis. Lesi kulit yang berhubungan dengan lesi dendritiformis kornea sangat khas. Berbeda dengan lesi cacar air, di sini lesi kulit berada pada stadium yang sama. Ujung lesi dendrit meruncing, tidak seperti ulkus dendritik



pada



keratitis



epitel



HSV.



Pseudodendrit



disebabkan



oleh



pembengkakan sel epitel, sehingga tidak menyerap noda fluorescein. Asiklovir oral (800 mg, 5 kali sehari selama 1 minggu) sangat efektif dalam pengobatannya pada tahap awal. Erosi epitel rekuren sebagian besar harus ditangani dengan pelumas dan antibiotik profilaksis. Ulkus neurotrofik ditangani dengan serum, transplantasi membran ketuban, dan tarsorrhaphy. Peran profilaksis jangka panjang dengan antivirus oral tidak jelas dan perlu dievaluasi.19 Keratitis adenoviral: Diagnosis keratokonjungtivitis adenoviral terutama secara klinis. Namun, jika diragukan, dapat dipastikan dengan menggunakan teknik PCR. Mengingat sifat penyakit yang menular, pemeliharaan kebersihan diri memiliki peran yang sangat penting dalam mencegah penularannya. Povidoneiodine 1% topikal, dalam kombinasi dengan 0,1% deksametason, telah



24



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



NAMA : Arie Fandy Harahap NIM : 130100243



menunjukkan hasil yang baik. Peran steroid pada tahap awal masih kontroversial. Siklosporin topikal 2%, jika ditambahkan pada stadium akut dikombinasikan dengan steroid topikal, mengakibatkan penghambatan infiltrat subepitel.20 C. Keratitis Jamur Keratitis mikrosporidial: Spora mikrosporodial terwarnai dengan baik dengan Gram, perak, dan 10% kalium hidroksida (KOH) dengan putih calcofluor 0,1%. Varian keratoconjunctivitis memiliki perjalanan sembuh sendiri. Pelumas topikal dapat ditambahkan untuk meredakan sensasi benda asing. Debridemen epitel juga merupakan pilihan yang valid untuk resolusi awal lesi kornea. Varian stroma dalam tidak mungkin merespon manajemen konservatif dengan albendazol oral (400 mg dua kali sehari selama 3-4 minggu) dan fumagillin topikal (topikal, 70 mcg / ml, 2 tetes setiap 2 jam selama 4 hari dan kemudian 2 tetes 4- kali sehari). Keratoplasti penetrasi terapeutik adalah pengobatan pilihan.21 Keratitis jamur berfilamen: Mikroskopi rutin dengan 10% KOH saja atau 10% KOH dengan 0,1% calcofluor putih menunjukkan filamen jamur hialin / berpigmen, septat (Aspergillus, Fusarium) / aseptat (Mucor, Rhizopus). Media kultur yang disukai untuk pertumbuhan jamur adalah agar Saboraud's dan potato dextrose. Natamycin topikal (5%) adalah obat pilihan untuk keratitis jamur berserabut. Vorikonazol topikal (1%) ditambahkan sebagai tambahan pada natamycin pada keratitis Aspergillus, tidak merespon terhadap natamycin saja. Vorikonazol tidak diberikan sebagai obat utama untuk keratitis jamur. Anti jamur sistemik ditambahkan untuk ulkus kornea yang besar dan dalam. Sesuai percobaan MUTT II, penggunaan vorikonazol oral tidak membuat perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan plasebo pada keratitis jamur yang parah. Namun, itu memiliki beberapa peran dalam keratitis Fusarium. Debridemen ulkus kornea superfisial berulang merupakan komponen penting dari pengobatan. Debridemen berulang tidak hanya mengurangi beban jamur tetapi juga memfasilitasi penetrasi natamycin hidrofilik ke dalam stroma kornea. Peran vorikonazol intrastromal untuk lesi yang tidak merespons tidak dapat diabaikan. Amfoterisin-B topikal (0,15%) adalah obat pilihan pada kandida keratitis. Keratoplasti penetrasi



25



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



NAMA : Arie Fandy Harahap NIM : 130100243



terapeutik diindikasikan pada keratitis yang mengancam limbus atau ulkus kornea berlubang yang tidak dapat diaplikasikan pada jaringan perekat.22



26



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



NAMA : Arie Fandy Harahap NIM : 130100243



BAB 3 KESIMPULAN Keratitis adalah suatu peradangan kornea yang disebabkan oleh bakteri, virus, dan jamur. Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan lapis kornea yang terkena seperti keratitis superficial dan profunda, atau berdasarkan penyebabnya yaitu keratitis karena berkurangnya sekresi air mata, keratitis karena keracunan obat, keratitis reaksi alergi, infeksi, reaksi kekebalan, reaksi terhadap konjungtivitis menahun. Pada Keratitis sering timbul rasa sakit yang berat oleh karena kornea bergesekan dengan palpebra, karena kornea berfungsi sebagai media untuk refraksi sinar dan merupakan media pembiasan terhadap sinar yang yang masuk ke mata maka lesi pada kornea umumnya akan mengaburkan penglihatan terutama apabila lesi terletak sentral dari kornea. Fotofobia terutama disebabkan oleh iris yang meradang. Keratitis dapat memberikan gejala mata merah, rasa silau dan merasa ada yang mengganjal atau kelilipan. Manajemen yang tepat dapat mengurangi insidensi kehilangan penglihatan dan membatasi kerusakan kornea. Keterlambatan diagnosis infeksi adalah salah satu faktor yang berperan terhadap terapi awal yang tidak tepat. Kebanyakan gangguan penglihatan ini dapat dicegah, namun hanya bila di diagnosis penyebabnya ditetapkan secara dini dan diobati secara memadai.



27



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



NAMA : Arie Fandy Harahap NIM : 130100243



DAFTAR PUSTAKA



1.



Singh P, Gupta A, Tripathy K. Keratitis. NCBI. 2020. (Accessed: 18



November



2020).



From:



https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559014/



2.



Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI). Panduan manajemen klinis Perdami. Jakarta: PP Perdami. 2006. h 30-33.



3.



Roderick B. Kornea. In: Vaughan & Asbury. Oftalmologi umum. Edisi 17. Jakarta: EGC. 2009. h 125-49.



4.



Ilyas Sidarta. Ilmu penyakit mata. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2009. h 147-158.



5.



Sridhar MS. Anatomy of cornea and ocular surface. Indian Journal of Opthalmology. 2018. NCBI. (Accessed: 18 November 2020). From: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5819093/



6.



Ilyas, Sidarta. 2006. Ilmu Penyakit Mata, Edisi 3. Balai Penerbit FKUI Jakarta.



7.



Vaughan, Daniel. Oftalmologi Umum. Edisi 14 Cetakan Pertama. Widya Medika Jakarta, 2009



8.



Tondolo JSM, Ledur PC, Loreto ÉS, Verdi CM, Bitencourt PER, de Jesus FPK, Rocha JP, Alves SH, Sassaki GL, Santurio JM. Extraction, characterization and biological activity of a (1,3)(1,6)-β-d-glucan from the pathogenic oomycete Pythium insidiosum. Carbohydr Polym. 2017. Pp 719-27



9.



American Academy of Ophthalmology. External eye disease and cornea. San Fransisco. 2012



28



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



10.



NAMA : Arie Fandy Harahap NIM : 130100243



Ibrahim MM, Vanini R, et al. Epidemiology and medical



protection of microbial keratitis on southeast Brazil. Brazil: Arq Bras Oftalmol. 2011.



11.



Thygeson P. Superfisial punctate keratitis. Journal of the American



Medical Association. 1997.



12.



Reed KK. Thygeson’s SPK photos. Nova Southeastem University



College of Optometry 3200 South University Drive Ft. Lauderdale. Florida. 2007.



13.



Dahl, A. Keratitis. Diunduh dari : http: //www . medicinenet .



com/keratitis/ article . htm



14.



American Academy of Opthalmology, External Disease and



Cornea. Section 8. Chapter 9. Basic and Clinical Sciencde Course ; 20192020. Pp. 218-220Chatterjee S, Agrawal D. Multi-drug resistant Pseudomonas aeruginosa keratitis and its effective treatment with topical colistimethate. Indian J Ophthalmol. 2016. Pp 153-7



15.



Moorthy RS, Valluri S, Rao NA. Nontuberculous mycobacterial



ocular and adnexal infections. Surv Ophthalmol. 2012. Pp 202-35



16.



Wilhelmus KR. Antiviral treatment and other therapeutic



interventions for herpes simplex virus epithelial keratitis. Cochrane Database Syst Rev. 2015



17.



Dutt S, Acharya M, Gour A, Sapra N, Chauhan L, Mathur U.



Clinical efficacy of oral and topical acyclovir in herpes simplex virus stromal necrotizing keratitis. Indian J Ophthalmol. 2016. Pp 292-5



18.



Reichstein JB, Patel V, Mekaroonkamol P, Dacha S, Keilin SA,



Cai Q, Willingham FF. Practice Patterns and Use of Endoscopic



29



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



NAMA : Arie Fandy Harahap NIM : 130100243



Retrograde Cholangiopancreatography in the Management of Recurrent Acute Pancreatitis. Clin Endosc. 2020. Pp 73-81



19.



Omari AA, Mian SI. Adenoviral keratitis: a review of the



epidemiology,



pathophysiology,



clinical



features,



diagnosis,



and



management. Curr Opin Ophthalmol. 2018. Pp 365-72.



20.



Das S, Wallang BS, Sharma S, Bhadange YV, Balne PK, Sahu SK.



The efficacy of corneal debridement in the treatment of microsporidial keratoconjunctivitis: a prospective randomized clinical trial. Am J Ophthalmol. 2014. Pp 1151-5



21.



Sharma N, Sahay P, Maharana PK, Singhal D, Saluja G,



Bandivadekar P, Chako J, Agarwal T, Sinha R, Titiyal JS, Satpathy G, Velpandian T. Management Algorithm for Fungal Keratitis: The TST (Topical, Systemic, and Targeted Therapy) Protocol. Cornea. 2019. Pp 141-145



30