KLP 6 Efek Kondisi Kritis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH KEPERAWATAN KRITIS “EFEK KONDISI KRITIS TERHADAP PASIEN DAN KELUARGA”



OLEH : KELOMPOK 6 NI MADE HENI WAHYUNI



(18.322.2935)



NI MADE SRI DAMAYANTI



(18.322.2936)



NI MADE WIDIADNYANI



(18.322.2937)



NI MADE YUNI ANTARI



(18.322.2938)



NI PUTU AYU SWASTININGSIH



(18.322.2939)



NI PUTU EKA PRADNYA KARTINI



(18.322.2940)



PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN STIKES WIRA MEDIKA PPNI BALI TAHUN 2019



KATA PENGANTAR



Om Swastyastu Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kami sehingga kami mampu menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Adapun makalah ini merupakan salah satu tugas dari mata kuliah Keperawatan Kritis. Dalam menyelesaikan penulisan makalah ini, kami mendapat banyak bantuan dari berbagai pihak dan sumber. Karena itu kami sangat menghargai bantuan dari semua pihak yang telah memberi kami bantuan dukungan juga semangat, buku-buku dan beberapa sumber lainnya sehingga tugas ini bias terwujud. Oleh karena itu, melalui media ini kami sampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu pembuatan makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya dan jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan kemampuan dan ilmu pengetahuan yang kami miliki. Maka itu kami dari pihak penyusun sangat mengharapkan saran dan kritik yang dapat memotivasi saya agar dapat lebih baik lagi dimasa yang akan datang.



Om Santih, Santih, Santih Om



Denpasar, Oktober 2019



Penulis



i



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ........................................................................................ i DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 2 1.3 Tujuan .................................................................................................. 2 1.4 Manfaat ................................................................................................ 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Efek Kondisi Kritis Terhadap Pasien ................................................... 3 2.2 Efek Kondisi Kritis Terhadap Keluarga ............................................... 5 2.3 Perubahan Kondisi Perawatan Kritis ................................................... 10 BAB III PENUTUP 3.1 Simpulan .............................................................................................. 36 3.2 Saran ..................................................................................................... 36 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 37



ii



BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Kondisi kritis merupakan suatu kondisi krusial yang memerlukan penyelesaian atau jalan keluar dalam waktu yang terbatas. Pasien kritis adalah pasien dengan disfungsi atau gagal pada satu atau lebih sistem tubuh, tergantung pada penggunaan peralatan monitoring dan terapi. Pasien dalam kondisi gawat membutuhkan pemantauan yang canggih dan terapi yang intensif. Suatu perawatan intensif yang menggabungkan teknologi tinggi dengan keahlian khusus dalam bidang keperawatan dan kedokteran gawat darurat dibutuhkan untuk merawat pasien yang sedang kritis (Vicky, 2011). Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri (instalasi dibawah direktur pelayanan), dengan staf dan perlengkapan yang khusus yang ditujukan untuk observasi, perawatan dan terapi pasienpasien yang menderita penyakit, cedera atau penyulit-penyulit yang potensial mengancam nyawa. ICU menyediakan sarana-prasarana serta peralatan khusus



untuk



menunjang



fungsi-fungsi



vital



dengan



menggunakan



ketrampilan staf medik, perawat, dan staf lain yang berpengalaman dalam pengelolaan keadaan-keadaan tersebut (Kemenkes, 2011). Intensive care mempunyai 2 fungsi utama, yaitu yang pertama untuk melakukan perawatan pada pasien-pasien gawat darurat dan untuk mendukung organ vital pada pasien-pasien yang akan menjalani operasi yang kompleks elektif atau prosedur intervensi dan risiko tinggi untuk fungsi vital. Keperawatan kritis termasuk salah satu spesialisasi di bidang keperawatan yang secara khusus menangani respon manusia terhadap masalah yang mengancam hidup. Seorang perawat kritis bertanggung jawab untuk menjamin pasien yang kritis di Intensive Care Unit (ICU) beserta keluarganya mendapatkan pelayanan keperawatan yang optimal (Dossey, 2002).



1



Untuk dapat memberikan pelayanan prima maka ICU harus dikelola dengan baik. Perawat yang bekerja di dalam Intensive Care Unit harus memiliki kemampuan komunikasi dan kerjasama tim. Proses keperawatan kritis mengatasi klien yang sedang dalam kondisi gawat tersebut. Oleh karena itu, diperlukan peran seorang perawat yang dapat bertindak cepat dan tepat serta melaksanakan standar proses keperawatan kritis.



1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah efek kondisi kritis terhadap pasien? 2. Bagaimanakah efek kondisi kritis terhadap keluarga? 3. Bagaimanakah perubahan kondisi perawatan kritis ? 1.3 Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui tentang bagaimana efek kondisi kritis terhadap pasien. 2. Untuk mengetahui tentang bagaimana efek kondisi kritis terhadap keluarga. 3. Untuk mengetahui tentang bagaimana perubahan kondisi perawatan kritis 1.4 Manfaat Penulisan Adapun manfaat dalam pembuatan makalah ini adalah : 1.



Manfaat Teoritis Hasil dari penyusunan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, khususnya kepada mahasiswa untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai efek kondisi kritis pada pasien dan keluarga dan perubahan kondisi perawatan kritis.



2.



Manfaat Praktis Hasil dari penyusunan makalah ini diharapkan dapat dijadikan sebagai suatu pembelajaran bagi mahasiswa yang nantinya ilmu tersebut dapat dipahami dan diaplikasikan dalam praktik keperawatan kritis.



2



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Efek Kondisi Kritis Terhadap Pasien: Pasien kritis adalah pasien yang memiliki besar kemungkinan menjadi sangat rentan, tidak stabil, dan kompleks sehingga memerlukan perawatan intensif dan asuhan keperawatan (Nurhadi, 2014). Area keperawatan kritis melibatkan keluarga karena keluarga dapat menjadi bagian integral dari perawatan pasien di ICU dan mempengaruhi kesembuhan pasien. Pasien kritis dapat diketahui dari beberapa tanda dan gejala berikut : 1.



Kehilangan kesadaran



2.



Mengalami kelumpuhan dan dapat dilakukan monitoring Stress:muncul apabila pasien dihadapkan dengan stimulus yang



menyebabkan ketidakseimbangan antara fungsi fisiologis dan psikologis.



Respon terhadap stress: Kecemasan yaitu penyebab: perasaan terisolasi, dan perasaan kesepian. Kecemasan terjadi saat seseorang mengalami hal-hal: 1. Ancaman ketidakberdayaan 2. Kehilangan kendali 3. Merasa kehilangan fungsi dan harga diri 4. Pernah mengalami kegagalan pertahanan 5. Rasa isolasi 6. Rasa takut sekarat



3



Adapun efek psikologis terhadap pasien kritis antara lain: 1. Stres akibat kondisi penyakit 2. Rasa cemas dan takut bahwa hidup terancam (kematian) 3. Perasaan isolasi 4. Depresi 5. Perasaan rapuh karena ketergantungan fisik dan emosional* (Morton et al, 2011) Sebuah penelitian di Norwegia yang mereview beberapa penelitian kualitatif pada pasien yang dirawat diruang ICU menemukan bahwa pasien mengalami stres yang berhubungan dengan 3 tema besar, yaitu: 1. Stres berkaitan dengan tubuh mereka 2. Stres berkaitan dengan ruangan ICU 3. Stres berkaitan dengan relationship dengan orang lain (Jastremski, 2000 dalam Suryani, 2012) Adapun efek non psikologis terhadap pasien kritis antara lain 1. Ketidakberdayaan 2. Pukulan (perubahan) konsep diri 3. Perubahan citra diri 4. Perubahan pola hidup 5. Perubahan pada aspek sosial-ekonomi (pekerjaan, financial pasien, kesejahteraan pasien dan keluarga) 6. Keterbatasan komunikasi (tidak mampu berkomunikasi)* (Morton et al, 2011) *(Suryani, 2012). Respon terhadap kecemasan: 1. Respon fisologisfrekuensi nadi cepat, peningkatan tekanan darah, peningkatan pernapasan, dilatasi pupil, mulut kering, dan vasokontriksi perifer dapat tidak terdeteksi 2. Respon sosiopsikologisrespon perilaku yang menandakan kecemasan seringkali didasari oleh sikap keluarga dan budaya. Peran Perawat pada pasien kritis: 1. Menciptakan lingkungan yang menyembuhkan 2. Menumbuhkan rasa percaya



4



3. Memberikan informasi 4. Memberikan kendali 5. Kepekaan budaya 6. Kehadiran dan penenangan 7. Teknik kognitif 2.2



Efek Kondisi Kritis Terhadap Keluarga: Efek kondisi kritis pada keluarga:



1. Stres. Stresor dapat berupa: fisiologis (trauma, biokimia, atau lingkungan), psikologis (emosional, pekerjaan, sosial, atau budaya) 2. Rasa takut dan kecemasan 3. Peralihan tanggung jawab 4. Masalah keuangan 5. Tidak adanya peran social Respon keluarga merupakan respon seseorang terhadap stimulus yang berkaitan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan. 1. Stress Stress adalah suatu kondisi secara psikologis dimana seseorang merasakan tertekan dan ingin menyerah. Penyebab stress inilah disebut dengan stressor. Stressor ini dibagi menjadi 2 yaitu: 1) Jangka pendek yaitu stressor yang di alami keluarga yang memperlukan penyelesaian dalam waktu kurang dari 6 bulan 2) Jangka Panjang yaitu stressor yang di alami keluarga yang memperlukan penyelesaian dalam waktu lebih dari 6 bulan. Penyebab stress pada keluarga ini dapat berasal dari : 1) Kondisi keluarga yang masuk ICU dan tidak dapat mengunjungi keluarga karena ruangan intensif. 2) Keluarga tidak mampu beradaptasi dengan stressor yang dimiliki yaitu memikirkan kondisi pasien yang berada di ICU. 3) Keluarga merasa takut akan kematian atau kecacatan tubuh yang terjadi pada pasien yang sedang dirawat di ICU. 4) Masalah keuangan tarif di ruang ICU relatif mahal.



5



2.



Kecemasan Kecemasan adalah perasaan yang tidak senang dan tidak nyaman sehingga



orang-orang berusaha untuk menghindarinya (Stuart, 2009). Penyebab kecemasan dapat berasal dari perilaku (Behaviour). Teori ini menjelaskan bahwa kecemasan akan meningkat melalui konflik yang terjadi sehingga tercipta perseosi dan menuju rasa tidak berdaya. Kecemasan dapat menimbulkan berbagai respon, diantaranya: 1) Kognitif Gangguan



kognitif



merupakan



gangguan



pada



proses



berpikir,



memecahkan masalah, mengambil keputusan, dan mengingat. 2) Psikomotor Gangguan psikomotor merupakan gangguan yang terjadi saat melakukan aktivitas fisik. 3) Fisiologis Gangguan fisiologis merupakan gangguan fungsi tubuh yang mendukung kehidupan. 4) Perasaan Tidak Nyaman Perasaan tidak nyaman terjadi ketika seseorang merasa berada di dalam bahaya. 3.



Traumatis Traumatis berkaitan erat dengan pengalaman yang dilalui seseorang yang



bersifat psikis hingga memberikan dampak yang negatif pada dirinya untuk sekarang dan masa depan. Trauma psikologis akan terus terbayang selama hidup jika individu tersebut tidak menemukan dukungan. Dukungan yang diperlukan biasanya berasal dari keluarga dan teman-teman terdekat. Traumatis adalah sikap dengan dukungan keluarga pasien dapat menurunkan level kecemasan dan meningkatkan level kenyamanan ( Holly, 2012).



Tugas



keluarga



pasien



kritis



agama



adalah



mengembalikan



keseimbangan dan mendapatkan ketahan. Menurut Mc Adam,dkk (2008) peran keluarga : 1. Active Presence (keluarga berada di sisi pasien) 2. Protector (Memastikan perawatan terbaik)



6



3. Facilitator( memberikan fasilitas sesuai dengan kebutuhan pasien) 4. Historian ( Sumber informasi ) 5. Coaching ( Pendukung pasien ) Adapun efek psikologis terhadap keluarga: 1. Stres akibat kondisi penyakit pasien (anggota keluarga), prosedur penanganan 2. Ansietas berhubungan dengan ancaman kematian pada pasien (anggota keluarga) 3. Pengingkaran terhadap kondisi kritis pasien (anggota keluarga)



Sedangkan efek non psikologis terhadap keluarga: 1. Perubahan struktur peran dalam keluarga 2. Perubahan pelaksanaan fungsi peran dalam keluarga 3. Terbatasnya komunikasi dan waktu bersama 4. Masalah financial keluarga 5. Perubahan pola hidup keluarga (Morton et al, 2011).



7



EFEK KONDISI KRITIS PADA PASIEN DAN KELUARGA Efek Kondisi Kritis Pada Keluarga



Pada Pasien Kondisi kritis Kecemasan menyebabkan respon : 1. Kognitif 2. Psikomotor 3. Fisiologis 4. Perasaan tidak nyaman



Peran keluarga adalah kondisi dimana terjadi disfungsi atau gagal pada satu atau lebih sistem tubuh



Pasien kritis adalah pasien yang beresiko tinggi terhadap masalah kesehatan yang mengancam jiwa (American Association of Critical Nursing)



8



Menurut kelurga :



Mc



Adam,dkk



(2008)



1. Active Presence (keluarga berada disisi pasien) 2. Protector (Memastikan perawatan terbaik) 3. Facilitator( memberikan fasilitas sesuai dengan kebutuhan pasien) 4. Historian ( Sumber informasi ) 5. Coaching ( Pendukung pasien )



PENJELASAN : Sakit kritis merupakan kejadian yang tiba-tiba dan tidak diharapkan serta membahayakan hidup bagi pasien dan keluarga yang mengancam keadaan stabil. Stress dan penyakit merupakan efek dari kondisi kritis terhadap pasien. Stress



didefinisikan



sebagai



suatu



stimulus



yg



mengakibatkan



ketidakseimbangan fungsi fisiologis dan psikologis. Pada kenyataannya, bahwa dengan diterimanya pasien di ICU menjadikan tanpa adanya ancaman terhadap kehidupan dan kesejahteraan pada semua individu yang dirawat. Di sisi lain, perawat keperawatan kritis merasakan bahwa unit keperawatan kritis merupakan tempat di mana hidup dengan kewaspadaan. Di sisi lain juga pasien dan keluarga merasa bahwa diterimanya di ICU sebagai tanda akan tiba kematian karena pengalaman mereka sendiri atau orang lain. Karena perbedaan persepsi tentang perawatan kritis antara pasien, keluarga, dan perawat, maka terputusnya komunikasi kedua pihak harus diantisipasi. Peran sakit pada pasien yang sering ditemukan adalah peran tidak berdaya. Stres karena penerimaan peran sakit, ketidakberdayaan dapat menyebabkan



terputusnya



komunikasi



antara



pasien



dan



perawat.



Ketidakberdayaan sering dihubungkan dengan ansietas yang menjelaskan bahwa mengalami kemunduran pada pasien dewasa. Berbagai macam perilaku koping pasien seperti mengingkari, marah, pasif, atau agresif umumnya dapat dijumpai pada pasien. Upaya koping pasien mungkin efektif atau tidak efektif dalam mengatasi stres dan ini mengakibatkan ansietas. Jika perilaku koping efektif, energi dibebaskan dan diarahkan langsung ke penyembuhan. Jika upaya koping gagal atau tidak efektif, maka keadaan tegang meningkatkan dan terjadi peningkatan kebutuhan energi. Hubungan antara stres, ansietas, dan mekainsme koping adalah kompleks dan ditunjukkan secara kontinyu dalam berbagai situasi keperawatan kritis. Tingkat stres yang ekstrem merusak jaringan tubuh dan dapat mempengaruhi respon adaptif jaringan patologis. Jika koping tidak efektif, ketidakseimbangan dapat terjadi dan respon pikiran serta tubuh akan meningkat berupaya untuk mengembalikan keseimbangan.



9



2.3 Perubahan Kondisi Perawatan Kritis 2.3.1 Psikososial Psikososial adalah setiap perubahan dalam kehidupan individu, baik yang bersifat psikologik maupun social yang mempunyai pengaruh timbal balik. Masalah psikososial adalah masalah kejiwaan dan kemasyarakatan yang mempunyai pengaruh timbal balik, sebagai akibat terjadinya perubahan social dan atau gejolak social dalam masyarakat yang dapat menimbulkan gangguan jiwa. Teori Erik Erikson membahas tentang perkembangan manusia dikenal dengan teori perkembangan psiko-sosial. Teori perkembangan psikososial ini adalah salah satu teori kepribadian terbaik dalam psikologi. Seperti Sigmund Freud, Erikson percaya bahwa kepribadian berkembang dalam beberapa tingkatan. Salah satu elemen penting dari teori tingkatan psikososial Erikson adalah perkembangan persamaan ego. Persamaan ego adalah perasaan sadar yang kita kembangkan melalui interaksi sosial. Menurut Erikson, perkembangan ego selalu berubah berdasarkan pengalaman dan informasi baru yang kita dapatkan dalam berinteraksi dengan orang lain. Erikson juga percaya bahwa kemampuan memotivasi sikap dan perbuatan dapat membantu perkembangan menjadi positif, inilah alasan mengapa teori Erikson disebut sebagai teori perkembangan psikososial. ICU seringkali digambarkan sebagai suatu tempat yang penuh dengan stress, tidak hanya bagi klien dan keluarganya tetapi juga bagi perawat. Pemahaman yang baik tentang stres dan akibatnya akan membantu ketika bekerja pada unit keperawatan kritis. Pemahaman ini dapat memungkinkan perawat untuk mengurangi efek destruktif stress dan meningkatkan potensi positif dari stress baik pada pasien dan dirinya sendiri. 2.3.1.1 Stress Stress didefinisikan sebagai respon fisik dan emosional terhadap tuntutan yang dialami individu yang diiterpretasikan sebagai sesuatu yang mengancam keseimbangan (Emanuelsen & Rosenlicht, 1986). Stress merupakan suatu fenomena komplek, dimana sekumpulan komponen saling berinteraksi dan bekerja serentak. Ketika sesuatu hal mengubah satu komponen subsistem, maka keseluruhan sistem dapat terpengaruh. Jika tuntutan untuk berubah menyebabkan



10



ketidakseimbangan (disequilibrium) pada sistem, maka terjadilah stress. Individu kemudian memobilisasi sumber-sumber koping untuk mengatasi stress dan mengembalikan keseimbangan. Idealnya, stress bergabung dengan perilaku koping yang tepat akan mendorong suatu perubahan positif pada individu. Ketika stress melebihi kemampuan koping seseorang, maka potensi untuk menjadi krisis dapat terjadi. 2.3.1.2 Stressor Stressor merupakan faktor internal maupun eksternal yang dapat mengubah individu dan berakibat pada terjadinya fenomena stress. Sumber stressor dapat berasal dari subsistem biofisikal, psikososial atau masyarakat. Stressor biofisik antara lain organisme infeksius, proses penyakit atau nutrisi yang buruk. Sedangkan contoh stressor psikososial adalah harga diri yang rendah, masalah hubungan interpersonal, dan krisis perkembangan. Stressor ini berasal dari masyarakat luas seperti fluktuasi ekonomi polusi dan teknologi tinggi. Bagaimana orang mengalami suatu stressor tergantung pada persepsinya tentang stressor dan sumber kopingnya. Stress juga merupakan tambahan (additive). Jika seseorang mendapat serangan stressor yang multipel, maka respon stress akan lebih hebat. 2.3.1.3 Respon stres Rspon stress dapat diinduksi oleh stressor biofisik, psikososial atau stressor social. Para ahli mengemukakan temuanya tentang stress kedalam suatu model stress yang disebut general adaptation syndrome (GAS). GAS terdiri atas 3 tahap yaitu (a) alarm respon, (b) stage of resistance dan stage of exhaustion. 1. Alarm respon. Alarm respon merupakan tahap pertama dan ditandai oleh respon cepat, singkat, melindungi/memelihara kehidupan dimana merupakan aktivitas total dari system saraf simpatis. Tahap ini sering disebut dengan istilah menyerang atau lari (fight-or-flight response). 2. Stage of resistance. Stage of resistance merupakan tahap kedua, dimana tubuh beradaptasi terhadap ketidakseimbangan yang disebabkan oleh stressor. Tubuh bertahan pada tahap ini sampai stressor yang membahayakan hilang dan tubuh mampu



11



kembali kekeadaan homeostasis. Jika semua energi tubuh tubuhnya digunakan untuk koping, maka dapat terjadi tahap yang ketiga yaitu tahap kelelahan. 3. Stage of exhaustion. Stage of exhaustion adalah saat semua energi telah digunakan untuk koping, maka tubuh mengalami kelelahan dan berakibat pada terjadinya sakit fisik, gangguan psikososial dan kematian. 2.3.1.4 Klien Klien yang sakit dan harus masuk ke ruang ICU tidak saja bertambah menderita akibat stress sakit fisiknya tetapi juga stress akibat psikososialnya. Konsekuensinya, perawat yang melakukan asuhan keperawatan pada unit keperawatan kritis didesign untuk memelihara atau mengembalikan semua fungsi fisik vital dan fungsi-fungsi psikososial yang terganggu oleh keadaan sakitnya. 2.3.1.5 Respon psikososial Respon psikososial klien terhadap pengalaman keperawatan kritis mungkin dimediasi oleh fenomena internal seperti keadaan emosional dan mekanisme koping atau oleh fenomena eksternal seperti kuantitas dan kualitas stimulasi lingkungan. 1. Reaksi emosional. Intensitas reaksi emosional dapat mudah dipahami jika menganggap bahwa ICU adalah tempat dimana klien berusaha menghindari kematian. Klien dengan keperawatan kritis memperlihatkan reaksi emosional yang dapat diprediksi dimana mempunyai cirri-ciri yang umum, berkaitan dengan sakitnya. Takut dan kecemasan secara umum adalah reaksi pertama yang tampak. Klien mungkin mengalami nyeri yang menakutkan, prosedur yang tidak nyaman, mutilasi tubuh, kehilangan kendali, dan/atau meninggal. 2. Depresi Seringkali muncul setelah takut dan kecemasan. Depresi seringkali merupakan respon terhadap berduka dan kehilangan.pengalaman kehilangan dapat memicu memori dimasa lalu muncul kembali dengan perasaan sedih yang lebih hebat.



12



2.3.1.6 Mekanisme koping Mekanisme koping merupakan skumpulan strategi mental baik disadari maupun tidak disadari yg digunakan untuk menstabilkan situasi yang berpotensi mengancam dan membuat kembali ke dalam keseimbangan. Strategi koping klien merupakan upaya untuk menimbulkan stabilitas emosional, menguasai lingkungan, mendefinisikan kembali tugas atau tujuan hidup, dan memecahkan masalah yang ditimbulkan oleh karena sakit atau penyakit. Beberapa contoh perilaku koping adalah humor, distraksi, bertanya untuk suatu informasi berbicara dengan yang lain tentang keluhan/perasaan-perasaannya, mendefinisikan kembali masalah kedalam istilah yang lebih disukai, menghadapi masalah dengan dengan melakukan



beberapa



tindakan,



negosiasi



kemungkinan



pilihan/alternatif,



menurunkan ketegangan dengan minum, makan atau menggunakan obat, menarik diri, menyalahkan seseorang atau sesuatu, menyalahkan diri sendiri menghindar dan berkonsultasi dengan ahli agama. 2.3.2 Tidur dan Istirahat Istirahat dan tidur merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh semua orang. Untuk dapat berfungsi secara normal, maka setiap orang memerlukan istirahat dan tidur yang cukup. Pada kondisi istirahat dan tidur, tubuh melakukan proses pemulihan untuk mengembalikan stamina tubuh hingga berada dalam kondisi yang optimal. Kata ‘istirahat’ mempunyai arti yang sangat luas meliputi bersantai menyegarkan diri, diam menganggur setelah melakukan aktivitas, serta melepaskan diri dari apa pun yang membosankan, menyulitkan, atau menjengkelkan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa istirahat merupakan keadaan yang tenang, rileks, tanpa tekanan emosional dan bebas dari kecemasan (ansietas). Tidur merupakan suatu keadaan tidak sadar di mana persepsi dan reaksi individu terhadap lingkungan menurun atau hilang, dan dapat dibangunkan kembali dengan indera atau rangsangan yang cukup. Tidur diperlukan untuk menjaga keseimbangan mental emosional, fisiologi, dan kesehatan. Menurut Stacy (2012) mendeskripsikan gangguan tidur pada pasien kritis sebagai ketidakcukupan durasi atau kelengkapan fase tidur yang dapat mempengaruhi kenyamanan dan kualitas hidup pasien. Beberapa penelitian



13



menghasilkan bahwa sebagian besar pasien kritis mengalami gangguan tidur dan banyak yang menerima pengobatan untuk membantu gangguan tidur tersebut. Penyebab terbesar gangguan tidur pada pasien kritis adalah adanya nyeri. Nyeri dipengaruhi oleh somatostatin dan substansi P. Pada kondisi tidur dalam orang normal, somatistatin dapat diproduksi, tanpa zat tersebut maka nyeri akan dialami oleh pasien. Substansi P dihasilkan ketika pasien dalam kondisi tidur yang dalam, dan substansi P dapat menyebabkan nyeri pada pasien. Ketika pasien kritis berada pada kondisi tidur yang dalam, somatostatin akan lebih sedikit dihasilkan dan substansi P mengalami peningkatan produksi, hal tersebt yang dapat menyebabkan nyeri yang lebih hebat dan gangguan tidur. Gangguan tidur pada pasien kritis dapat dipengaruhi oleh stress seperti kondisi lingkungan perawatan, tindakan operasi, suara/kebisingan, pemberian perawatan, nyeri, cahaya yang terlalu terang, dan ketidaknyamanan pada otot dan sendi karena bed rest yang lama. Pemasangan ventilator pada pasien kritis juga dapat menyebabkan gangguan tidur pada pasien. Gangguan tidur diantaranya Sleep apneu syndrome terjadi ketika aliran udara tidak ada atau mengalami penurunan. Apneu dalam tidur dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu obstruktif, pusat, dan campuran. Pada jenis apneu obstruktif, tidak ada aliran udara disebabkan oleh obstruksi pada saluran nafas bagian atas. Obstruksi total akan terjadi dalam waktu 10 detik atau lebih lama atau yang biasa disebut obstructive apneu, sedangkan obstruksi parsial disebut hypopnea. Semua tipe dari sleep apneu syndrome diikuti oleh desaturasi arteri dan berpotensi menimbulkan hipoksemia, yang dapat menyebabkan vasokontriksi pulmonal serta meningkatkan tahanan sistemik vaskular. Intervensi keperawatan yang diberikan berfokus kepada optimalisasi oksigenasi dan ventilasi, menyediakan kenyamanan dan dukungan emosi, mempertahankan pengawasan untuk pencegahan komplikasi serta memberikan pendidikan kesehatan pada pasien dan keluarga. 1. Obstructive sleep apnea Penyebab Obstructive Sleep Apnea (OSA) belum dapat diketahui secara pasti, tapi beberapa faktor dapat menyebabkan terjadinya OSA, seperti



14



penyempitan saluran nafas bagian atas, peningkatan pemenuhan jaringan dari saluran nafas atas, reflek kemampuan saluran nafas bagian atas, fungsi otot paringeal. Fokus pengkajian yang dilakukan perawat kritis adalah monitoring saturasi oksigen dan pola nafas pasien. Pasien dengan OSA memiliki faktor yang berpengaruh seperti, mendengkur, obesitas, pendek, leher pendek, penyakit jantung, hipertensi sistemik, hipertensi pulmonal, riwayat tidur yang terpotong, refluks gastroesophageal, dan penurunan kualitas hidup. Apnea dapat terjadi pada orang dengan tenggorokan yang kecil. Otot tidak dapat menahan tenggorokan secara normal ketika tenggorokan terbuka saat pasien tidur. Mendengkur terjadi disebabkan karena jaringan halus di sekitar tenggorokan bergetar. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk penegakan diagnosa menggunakan PSG yang dapat menentukan jumlah dan panjang episode apnea dan fase tidur, jumlah aliran udara, usaha nafas, dan desaturasi oksigen. Intervensi medis yang dapat diberikan pada pasien OSA adalah dengan memberikan CPAP sebagai alat bantu nafas. CPAP dapat menahan jalan nafas tetap terbuka dan mencegah terjadinya collaps, mengatasi dengkuran, tersedak, dan terengah-engah, dan dapat memperbaiki kondisi kardiovaskular. Alternatif lain selain CPAP adalah BiPAP (Bimodal Positive Airway Pressure), Laser Uvulopalato Pharingoplasty (LAUP), yaitu laser untuk menghilangkan jaringan di palatum. Peran perawat dalam managemen pasien dengan OSA diantarannya memberikan pendidikan kesehatan kepada keluarga dan pasien termasuk mengenai tindakan operasi seperti UPPP. Monitoring pasien juga harus dilakukan meliputi monitoring pola nafas, jam tidur, dan saturasi oksigen. 2. Central Sleep Apnea CSA dapat diidentifikasi melalui PSG dengan melihat aliran udara dan usaha nafas selama minimal 10 detik. Kemoreseptor sensitif terhadap kada CO2 dalam otak. Ketika kadar CO2 mengalami peningkatan, maka usaha nafas adalah mengeluarkan kelebihan CO2 tersebut untuk membuat keadaan yang homeostatis antara CO2 dan oksigen dalam tubuh. OSA disebabkan oleh obstruksi jalan nafas, sedangkan pasien dengan CSA disebabkan karena usaha nafas yang tidak adekuat. Hal tersebut banyak ditemui pada pasien yang memiliki masalah pernafasan atau



15



gagal jantung dimana kedua penyakit tersebut dapat meningkatkan kadar CO2 dalam otak. Karakteristik klinis yang dapat diidentifikasi dari CSA adalah adanya gagal nafas, edema perifer, polisitemia, mengantuk sepanjang siang, mendengkur, terbangun dengan diikuti terdedak atau nafas pendek dan cepat. Peran perawat dalam penanganan pasien ini adalah sama dengan pasien OSA, yaitu memberikan pendidikan kesehatan pada pasien dan keluarga. Perawat juga sebaiknya mengkaji ketakutan atau kecemasan pasien ketika akan tidur, memperingatkan pasien untuk tidak mengonsumsi alkohol dan sedatif. Gangguan tidur diantaranya Sleep apneu syndrome terjadi ketika aliran udara tidak ada atau mengalami penurunan. Apneu dalam tidur dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu obstruktif, pusat, dan campuran. Pada jenis apneu obstruktif, tidak ada aliran udara disebabkan oleh obstruksi pada saluran nafas bagian atas. Obstruksi total akan terjadi dalam waktu 10 detik atau lebih lama atau yang biasa disebut obstructive apneu, sedangkan obstruksi parsial disebut hypopnea. 2.3.3 Pertimbangan gerontology Gerontologi merupakan studi ilmiah tentang efek penuaan dan penyakit berhubungan dengan penuaan pada manusia meliputi aspek biologis, fisiologis, psikososial dan aspek rohani dari penuaan. Setiap orang akan mengalami proses menjadi tua dan masa tua merupakan masa hidup terakhir dimana pada masa ini seseorang akan mengalami kemunduran fisik, mental, dan sosial sedikit demi sedikit tidak dapat melakukan tugasnya sehari-hari. Pada lansia kondisi kesehatan dan penyakit yang dialami membutuhkan perhatian yang khusus oleh tim kesehatan sehingga peran perawat lebih efektif dalam memperhatikan kesehatan bagi lansia dengan cara promosi kesehatan, preventif terhadap penyakit dan kuratif. Banyak perubahan yang terjadi pada lansia. Adapun perubahan yang terjadi pada lanjut usia: 2.3.3.1 Perubahan fisik 1. Kardiovaskuler: kemampuan memompa darah menurun, elastisitsas pembuluh darah menurun, dan meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer sehingga



16



tekanan darah meningkat. 2. Respirasi: elastisitas paru menurun, kapasitas residu meningkat sehingga menarik napas lebih berat, dan terjadi penyempitan bronkus. 3. Muskuloskeletal:



cairan



tulang



menurun



sehingga



mudah



rapuh



(osteoporosis), bungkuk (kifosis), persendian membesar dan menjadi kaku. 4. Gastrointestinal: esophagus membesar, asam lambung menurun, lapar menurun dan peristaltik menurun. 5. Persyarafan: saraf panca indra mengecil sehingga fungsinya menurun serta lambat dalam merespon. 6. Vesika urinaria: otot-otot melemah, kapasitasnya menurun, dan retensi urin. 7. Kulit: keriput serta kulit kepala dan rambut menipis. Elastisitas menurun, vaskularisasi menurun,rambut memutih dan kelenjar keringat menurun (Nugroho, 2008). 2.3.3.2 Perubahan sosial Perubahan fisik yang dialami lansia seperti berkurangnya fungsi indera pendengaran, pengelihatan, gerak fisik dan sebagainya menyebabkan gangguan fungsional, misalnya badannya membungkuk, pendengaran sangat berkurang, pengelihatan kabur sehingga sering menimbulkan keterasingan. Keterasingan ini akan menyebabkan lansia semakin depresi, lansia akan menolak untuk berkomunikasi dengan orang lain (Darmajo, 2009). 2.3.3.3 Perubahan psikologis Pada lansia pada umumnya juga akan mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dan lain- lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia semakin lambat. Sementara fungsi kognitif meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi menurun, yang berakibat lansia menjadi kurang cekatan (Nugroho, 2008). 2.3.4



Nyeri dan manajemen nyeri Nyeri adalah sensasi yang tidak menyenangkan dan sangat individual



sertatidak dapat dibagi dengan orang lain. Rasa nyeri seringkali terjadi bersama proses perkembangan penyakit, pemeriksaan-pemeriksaankesehatan dan proses



17



pengobatan yang kita jalani. Bagi seseorang yang masih mampu melakukan komunikasi secara efektif, perasaan nyeri dapat ekspresikan secara langsung dan jelas. Namun bagaimana dengan meraka yang atau sedang berada dalam kondisi koma atau dibawah pengaruh obat penurunan kesadaran. Di ruangan Intensive Care Unit, banyak pasien yang dirawat dengan kondisi terpasang alat bantu pernapasan, tingkat kesadaran yang rendah, serta kemampuan berbicara dan berpikir yang terganggu. Pasien dewasa yang terpasang alat bantu pernapasan di ruang intensif seringkali menerima perawatan yang menyebabkan rasa nyeri seperti perubahan posisi pasien, membersihkan selang bantu pernapasan, penggantian balutan luka dan pemasangan ataupun pelepasan selang pipis. Berbagai prosedur yang dilakukan ini mampu menyebabkan rasa nyeri sedang sampai dengan hebat pada 50% pasien. Namun, pasien tidak mampu berkomunikasi untuk menunjukkan tingkat rasa nyeri mereka secara lisan dan langsung kepada perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan. Hal ini seringkali menyebabkan permasalahan nyeri kronis yang di alami pasien ini tidak terselesaikan atau diperhatikan dengan baik oleh perawat. Beberapa faktor yang sering menyebabkan kurang diperhatikannya penanganan



terhadap



nyeri



adalah



kurangnya



pengetahuan



dari



petugas kesehatan serta kurangnya kemampuan dalam mengkaji atau menilai nyeri



pasien.



Selain



itu,



perilaku



dari



petugs



kesehatan



yang tidak



memprioritaskan penanganan terhadap nyeri juga masih menjadi tantangan tersendiri yang harus segara untuk diatasi. Banyak penelitian yang menunjukan bahwa penilaian nyeri yang dilakukan oleh petugas kesehatan masih kurang dan tidak konsisten dalam penetapan standar penanganan nyeri di rumah sakit.Apabila tidak tertangani nyeri dapat menimbulkan efek psikologis maupun emosional pada pasien maupun keluarga pasien. Selain sakit fisik, nyeri juga akan meningkatkan rasa takut, cemas, kelelahan, serta perasaan tidak berdaya pada pasien. Nyeri juga menjadi salah satu penyebab utama dari kerusakan pola tidur pada pasien dan berkontribusi terhadap terjadinya delirium dan depresi. Pengobatan nyeri yang tepat sangat bergantung pada penilaian nyeri yang sistematis, akurat, rutin dan terstruktur.Namun, penilaian nyeri yang dilakukan



18



terhadap pasien dengan kondisi tidak sadar haruslah berbeda dengan yang dilakukan pada pasien yang mampu berkomunikasi yaitu : 1. Penilaian nyeri pada pasien tidak sadar bisa didasarkan dari gejela-gejala fisik yang bisa kita lihat secara langsung. Beberapa tanda dan gejala nyeri yang bisa kita perhatikan pada pasien adala 2. Wajah meringis atau tegang 3. Merintih atau mendesah 4. Jika pasien terpasang alat bantu pernapasan, lihat apakah alarm mesin sering berbunyi, apakah pasien terbatuk-batuk 5. Kaki atau tangan menegang dan kaku 6. Gerakan tidak terkontrol Jika ditemukan tanda dan gejala seperti ini, pasien perlu dilakukan kembali pengkajian nyeri yang lebih komprehensif dan lengkap. Saat ini sudah terdapat banyak sekali form atau panduan pengkajian nyeri yang di khususkan untuk pasien dengan kondisi tidak sadar atau sedang dalam perawatan kritis. 1. Manajemen Analgesia 1) Manajemen Analgesia Opoid Opioid adalah opiat dan substansi lain yang menghasilkan efek rangsangan terhadap reseptor opioid di sistem saraf pusat.Rangsangan terhadap reseptor opioid menghasilkan beberapa efek, diantaranya analgesia, sedasi, euforis, konstriksi pupil, depresi pernapasan, bradikardia, konstipasi, mual, muntah, rentesi urin dan pruritus. Opioid adalah suatu obat yang sering digunakan dalam mengatasi nyeri dan sedasi ringan di ICU, tanpa memiliki efek anmesia. Opioid yang paling banyak digunakan di ICU adalah morfin, fentanyl dan hydromorfon. Berikut adalah dosis obat opioid :



19



Variabel Loading dose Mula kerja Lama kerja Kecepatan infus PCA Bolus Batasan interval Potency Kelarutan lemak Metabolit aktif Pelepasan histamin Penyesuaian dosis



Morfin 5–10 mg 10–20 menit 2–3,5 jam 1–5 mg/jam



Hydromorfon 1–1,5 mg 5–15 menit 2–3 0,2–0,5 jammg/jam



Fentanil 50–100 mcg 1–2 menit 30–60 menit 50–350 mcg/jam



0,5–3 mg 10–20 m 1x 1x Ya Ya Menurun



0,1–0,5 mg 5–15 5mx 0,2 x Ya Tidak



15–75 mcg 3–10 100 mx 600 x Tidak Tidak Menurun



Dosis pada tabel adalah dosis efektif secara umum, akan tetapi kebutuhan dosis individu dapat bervariasi secara luas sesuai dengan respons setiap pasien, bukan berdasarkan jumlah dosis. Morfin adalah opioid yang paling sering digunakan di ICU, tetapi fentanil lebih disukai karena mula kerja yang cepat, tidak memiliki metabolit aktif dan tidak terlalu berefek terhadap tekanan darah. Morfin memiliki metabolit aktif yang dapat berakumulasi pada kondisi gagal ginjal.



Salah



satu



metabolit



morfin



(morphine-3-



glucoronide)



dapat



menyebabkan eksitasi sistem saraf pusat sehingga dapat menimbulkan kejang, sedangkan hasil metabolit lainnya (morphine-6- glucoronide) memiliki efek analgesia lebih kuat dibandingkan dengan obat asalnya. Fentanil tidak memiliki metabolit aktif, sehingga dosisnya tidak perlu edisesuaikan pada pasien dengan gangguan ginjal. Morfin dapat menyebabkan pelepasan histamin yang akan menimbulkan vasodilatasi dan hipotensi. Sedangkan fentanyl tidak mempunyai sifat ini sehingga lebih dipilih pada pasien dengan gangguan hemodinamik. Infus fentanil lebih dari 4 jam dapat menyebabkan akumulasi obat pada jaringan lemak yang menyebabkan pemanjangan efek obat. Efek ini dapat diminimalisir dengan mentitrasi obat serendah mungkin hingga mencapai dosis terendah yang masih dapat mengatasi nyeri. Untuk pasien yang sadar dan mampu untuk memberikan obat sendiri, patient-controlled analgesia (PCA) dapat dijadikan metode efektif dalam



20



mengatasi nyeri.Metode PCA menggunakan pompa infus elektronik yang dapat diaktifkan oleh pasien. Saat merasakan nyeri, pasien menekan tombol pada alat yang akan memompakan bolus obat intravena. Setelah pemberian bolus, alat tersebut tidak dapat digunakan untuk waktu tertentu (lockout interval), untuk menghindari overdosis. PCA dapat digunakan secara tunggal, atau bersamaan dengan infus opioid dosis rendah. PCA berhubungan dengan penanganan analgesia yang efektif, meningkatkan kepuasan pasien dan efek samping yang minimal. Pemberian opioid melalui epidural adalah metode yang popular untuk mengatasi nyeri pasca operasi abdomen dan thorax. Kateter epidural biasanya dipasang di ruang operasi sesaat sebelum operasi, dan dipertahankan beberapa hari setelah operasi. Dosis analgesia yang biasa digunakan pada epidural analgesia, yaitu golongan opioid fentanyl 2–5 mcg/mL, morfin 20–100 mcg/mL, dilaudid 0,04 mg/mL, serta anestesi lokal seperti bupivakain dengan konsentrasi 0,06– 0,125 % dan ropivakain dengan konsentrasi 0,1–0,2 %.Untuk epidural torakal biasanya digunakan kecepatan infus 4–8 mL/jam sedangkan untuk epidural abdominal dengan kecepatan 6–12 mL/ jam. Epidural opioid dapat diberikan dengan cara bolus intermiten, akan tetapi lebih sering diberikan infus dengan disertai anestesi lokal seperti bupivakain. Efek samping dari epidural analgesia lebih sering pada penggunaan morfin dibandingkan fentanil. Epidural morfin dapat menyebabkan depresi pernapasan dan mula kerja yang lambat hingga 12 jam. Kejadian depresi pernapasan berbanding lurus dengan penggunaan morfin intra fena. Selain hal di atas, efek samping lain dari epidural analgesia adalah pruritus, mual dan retensi urin. Efek samping penggunaan opioid intra vena diantaranya depresi pernapasan. Opioid menghasilkan



efek



sentral



berupa



penurunan laju



pernapasan dan volume tidal. Dosis tinggi opioid dapat menimbulkan apnea yang ditimbulkan dari efek opioid terhadap reseptor perifer di paru-paru. Pasien dengan riwayat sleep apnea syndrome atau hiperkapnia kronis lebih mudah mengalami depresi pernapasan yang ditimbulkan oleh opioid. Terhadap sistem kardiovaskular, opioid dapat menimbulkan penurunan tekanan darah dan denyut jantung sebagai akibat dari turunnya aktivitas simpatis



21



dan meningkatnya parasimpatis. Efek ini biasanya ringan dan dapat ditoleransi. Reaksi yang berat biasanya timbul pada pasien hipovolemia atau dengan gagal jantung, atau bila dikombinasikan dengan benzodiazepin. Opioid juga dikenal dalam menurunkan motilitas usus dan efek ini lebih tampak pada pasien di ICU. Naloxon oral 4–8 mg tiap 6 jam dapat mengatasi efek opioid terhadap usus tanpa berefek terhadap efek analgesia sistemik. Pruritus yang ditimbulkan oleh opioid dapat dikurangi dengan pemberian naloxon dosis rendah (0,25–1 mg/kg/jam). Efek dari opioid terhadap chemoreceptor trigger zone dapat menimbulkan adanya atau terjadinya mual dan muntah. Antiemetik seperti ondansetron dan naloxon yang diberikan dalam dosis rendah dapat digunakan untuk mengatasi efek mual dan muntah akibat dari efek samping opioid yang ditimbulkan. 2. Analgesia Nonopioid 1) Ketorolak Terdapat beberapa alternatif analgesia parenteral selain opioid. Di Amerika Serikat hanya satu obat yang diizinkan untuk digunakan di ICU, yaitu ketorolak. Ketorolak adalah obat yang termasuk golongan nonsteroidal antiinflammatory drugs (NSAID) yang diperkenalkan pertama pada tahun 1990 sebagai analgesia parenteral untuk nyeri pasca operasi. Ketorolak tidak menimbulkan sedasi



ataupun depresi



pernapasan. Setelah pemberian



intramuskular, efek analgesia dapat dihasilkan dalam 1 jam, dengan lama kerja selama 5–6 jam. Obat ini dimetabolisme di hepar dan diekskresikan dalam urin. Eliminasinya memanjang pada gangguan ginjal dan usia tua. Untuk analgesia pasca operasi, ketorolak 30 mg setara dengan 10–12 mg morfin. Ketorolak dapat diberikan secara oral, intravena atau intramuskular. Untuk pasien di bawah usia 65 tahun, dapat diberikan dosis inisial 30 mg intravena atau 60 mg intramuskular, diikuti dengan pemberian 30 mg intramuskular atau intravena setiap 6 jam (maksimal 120 mg/hari) selama 5 hari. Untuk pasien di atas usia 65 tahun, atau dengan gangguan ginjal, dosis inisial 15 mg iv atau 30 mg im dilanjutkan dengan 15 mg im atau iv setiap 6 jam (maksimal 60 mg/hari) selama 5 hari. Ketorolak juga dapat diberikan melalui infus intravena dengan kecepatan 5 mg/jam dan menghasilkan analgesia yang lebih efektif



22



dibandingkan dengan pemberian intravena intermiten.Seperti obat NSAIDs lainnya, ketorolak menghambat agregasi trombosit dan sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan risiko perdarahan. Pemberian ketorolak lebih dari 5 hari dengan dosis lebih dari 75 mg/hari dapat meningkatkan risiko perdarahan gastrointestinal dan luka operasi, terutama pada pasien geriatric ≥65 tahun. Ketorolak menghambat sintesis prostaglandin ginjal dan dapat mengakibatkan gangguan fungsi ginjal, terutama pada pemberian lebih dari 5 hari. 2) Parasetamol Analgetik yang sangat berguna untuk mengatasi nyeri pada jaringan lunak dan memiliki efek opioid sparing pada kondisi nyeri yang berat. Parasetamol dapat diberikan melalui oral, rektal atau intravena. Parasetamol dapat menyebabkan gangguan fungsi liver pada dosis normal, sehingga harus diperhatikan pemberiannya pada pasien dengan gangguan hati berat. Parasetamol juga mempunyai efek antipiretik dan dihubungkan dengan hipotensi ringan pada pasien di ICU. 3) Ketamin Ketamin adalah antagonis N-methyl-D-aspartate (NMDA), memiliki potensi sedasi dan analgesia yang baik. Pada dosis yang tinggi (1–2 mg/kg), ketamin merupakan obat anestesi yang baik. Ketamin dapat mengaktivasi sistem saraf simpatis dan berhubungan dingan peningkatan tekanan darah dan takikardia. Obat ini digunakan untuk jangka pendek, pada prosedur tindakan berulang seperti mengganti balutan pada pasien luka bakar. Biasanya diberikan intravena, meskipun dapat diberikan intratekal atau oral. Efek samping utama dari ketamin adalah reaksi psikotomimetik berupa halusinasi dan mimpi buruk yang dapat diminimalisir dengan pemberian benzodiazepin. 2.3.4



Manajemen Delirium dan Sedasi



2.3.1



Pengertian Sedasi Sedasi dapat didefinisikan sebagai penggunaan agen-agen farmakologik



untuk



menghasilkan



depresi



tingkat



kesadaran



secara



cukup



sehingga



menimbulkan rasa mengantuk dan menghilangkan kecemasan tanpa kehilangan



23



komunikasi verbal. The American Society of Anesthesiologists menggunakan definisi berikut untuk sedasi : 1) Sedasi minimal adalah suatu keadaan dimana selama terinduksi obat, pasien berespon normal terhadap perintah verbal. Walaupun fungsi kognitif dan koordinasi terganggu, tetapi fungsi kardiovaskuler dan ventilasi tidak dipengaruhi. 2) Sedasi sedang (sedasi sadar) adalah suatu keadaan depresi kesadaran setelah terinduksi obat di mana pasien dapat berespon terhadap perintah verbal secara spontan atau setelah diikuti oleh rangsangan taktil cahaya. Tidak diperlukan intervensi untuk menjaga jalan napas paten dan ventilasi spontan masih adekuat. Fungsi kardiovaskuler biasanya dijaga. 3) Sedasi dalam adalah suatu keadaan di mana selama terjadi depresi kesadaran setelah terinduksi obat, pasien sulit dibangunkan tapi akan berespon terhadap rangsangan



berulang



atau



rangsangan



sakit.



Kemampuan



untuk



mempertahankan fungsi ventilasi dapat terganggu dan pasien dapat memerlukan bantuan untuk menjaga jalan napas paten. Fungsi kardiovaskuler biasanya dijaga. Dapat terjadi progresi dari sedasi minimal menjadi sedasi dalam di mana kontak verbal dan refleks protektif hilang. Sedasi dalam dapat meningkat hingga sulit dibedakan dengan anestesi umum, dimana pasien tidak dapat dibangunkan, dan diperlukan tingkat keahlian yang lebih tinggi untuk penanganan pasien. Kemampuan pasien untuk menjaga jalan napas paten sendiri merupakan salah satu karakteristik sedasi sedang atau sedasi sadar, tetapi pada tingkat sedasi ini tidak dapat dipastikan bahwa refleks protektif masih baik. Beberapa obat anestesi dapat digunakan dalam dosis kecil untuk menghasilkan efek sedasi. Obat-obat sedative dapat menghasilkan efek anestesi jika diberikan dalam dosis yang besar. Terdapat 2 istilah, sedasi dan analgesia, yang digunakan di ICU. Sedasi adalah istilah untuk hipnotik dan ansiolisis, sedangkan analgesia istilah untuk menghilangkan nyeri dan supresi dari respiratory drive. Pada tahun 1980an, pasien dengan ventilasi mekanik seringkali disedasi dalam dan diberikan pelumpuh otot, namun saat ini pasien sakit kritis hanya diberikan sedasi ringan, 24



tanpa disertai dengan penggunaan pelumpuh otot. Hal ini berkaitan dengan berkembangnya jenis ventilasi mekanik yang dapat menyesuaikan pada pola respirasi intrinsik pasien, penggunaan trakheostomi perkutaneous dini dan diketahuinya efek negatif dari penggunaan sedasi secara rutin , analgesia dan pelumpuh otot. 1. Indikasi 1) Premedikasi Obat-obat sedatif dapat diberikan pada masa preoperatif untuk mengurangi kecemasan sebelum dilakukan anestesi dan pembedahan. Pemilihan obat tergantung pada pasien, pembedahan yang akan dilakukan, dan keadaan-keadaan tertentu: misalnya kebutuhan pasien dengan pembedahan darurat berbeda dibandingkan pasien dengan pembedahan terencana atau pembedahan mayor. Penggunaan oral lebih dipilih dan benzodiazepin adalah obat yang paling banyak digunakan untuk premedikasi. 2) Sedo-analgesia Istilah ini menggambarkan penggunaan kombinasi obat sedatif dengan anestesi lokal, misalnya selama pembedahan gigi atau prosedur pembedahan yang menggunakan blok regional. Perkembangan pembedahan invasif minimal saat ini membuat teknik ini lebih luas digunakan. 3) Prosedur radiologi Beberapa pasien, terutama anak-anak dan pasien cemas, tidak mampu mentoleransi prosedur radiologis yang lama dan tidak nyaman tanpa sedasi. Perkembangan penggunaan radiologi intervensi selanjutnya meningkatkan kebutuhan penggunaan sedasi dalam bidang radiologi.



4) Endoskopi Obat-obat sedatif umumnya digunakan untuk menghilangkan kecemasan dan memberi efek sedasi selama pemeriksaan dan intervensi endoskopi. 5) Terapi intensif Kebanyakan pasien dalam masa kritis membutuhkan sedasi untuk memfasilitasi penggunaan ventilasi mekanik dan intervensi terapetik lain dalam Unit Terapi Intensif (ITU). Dengan meningkatnya penggunaan ventilator



25



mekanik, pendekatan modern yaitu dengan kombinasi analgesia yang adekuat dengan sedasi yang cukup untuk mempertahankan pasien pada keadaan tenang tapi



dapat



dibangunkan.



Farmakokinetik



dari



tiap-tiap



obat



harus



dipertimbangkan, di mana sedatif terpaksa diberikan lewat infus untuk waktu yang lama pada pasien dengan disfungsi organ serta kemampuan metabolisme dan ekskresi obnat yang terganggu. Beberapa obat yang berbeda digunakan untuk menghasilkan sedasi jangka pendek dan jangka panjang di ITU, termasuk benzodiazepin, obat anestetik seperti propofol, opioid, dan agoni α2-adrenergik. Nilai skor sedasi selama perawatan masa kritis telah dibuat sejak bertahun-tahun, tapi perhatian lebih terfokus akhir-akhir ini pada pentingnya sedasi harian ‘holds’; strategi interupsi harian dengan obat-obat sedasi menyebabkan lebih sensitifnya kebutuhan untuk sedasi. Hal ini bertujuan untuk mengurangi insiden terjadinya komplikasi terkait penggunaan ventilasi mekanik selama masa kritis dan untuk mengurangi lama perawatan. 2.3.2



Pemantauan Sedasi Panduan



pemberian



sedasi



merekomendasikan dilakukannya



pemantauan dari tingkat sedasi. Evaluasi tingkat sedasi dapat mengurangi waktu penggunaan ventilasi mekanik sebanyak 50%. Metode pemantauan tingkat sedasi diantaranya sistem skoring, elektroensefalogram, bispectral index, auditory evoked potential. 1) Sistem Skoring Saat ini terdapat beberapa sistem skoring yang dapat digunakan untuk pemantauan tingkat sedasi, akan tetapi tidak ada sistem yang dijadikan acuan utama. Setiap sistem akan mengevaluasi kesadaran pertama kali dari respons spontan terhadap pemeriksa, kemudian jika dibutuhkan pemeriksaan terhadap



respons



rangsangan eksternal, berupa suara atau sentuhan, secara bertahap.



Skor sedasi tidak dapat digunakan untuk pasien yang tidak sadar atau mendapatkan pelumpuh otot. Skala Ramsay, yang telah diperkenalkan pertama kali pada tahun 1974, merupakan suatu sistem skoring pertama yang dipergunakan



untuk



mengevaluasi



tingkat



sedasi



pada



pasien



yang



mendapatkan ventilasi mekanik. Skala ini dibuat untuk mengevaluasi tingkat kesadaran dan bukan tingkat agitasi. Meskipun demikian terdapat kelemahan



26



dan kurangnya validasi ilmiah, skala Ramsay adalah metode terpilih untuk memantau sedasi pada lebih dari 75% ICU. Metode lain adalah the sedationanalgesia scale (SAS) yang membagi agitasi kedalam 3 tingkatan. Kemudian the richmond agitation sedation scale (RASS) yang memberikan keuntungan dalam mengevaluasi perubahan tingkat sedasi dari hari ke hari. Tujuan dari sedasi di ICU adalah pasien tenang namun



dapat



mudah



dibangunkan.



Kegunaan dari skala sedasi adalah memudahkan petugas kesehatan untuk mencapai tujuan pemberian sedasi dengan menggunakan dosis obat sedatif seminimal mungkin. Dengan demikian akan mengurangi risiko terhadap pasien. Berikut ini adalah table tentang skala sedasi modifikasi ramsay : Skor



Deskripsi



1



Cemas dan agitasi atau gelisah, atau keduanya



2



Kooperatif, orientasi baik, dan tenang



3



Mengantuk tetapi berespons terhadap perintah



4



Tidur, berespons dengan cepat terhadap tepukan ringan glabelar atau rangsangan suara keras



5



Tidur, sulit berespons terhadap tepukan ringan glabelar atau rangsangan suara keras



2) Elektroensefalogram Elektroensefalogram untuk mengukur aktivitas dari sereberal. Penggunaan teknik ini kompleks dan membutuhkan petugas yang terlatih. Metode ini lebih cocok untuk mengevaluasi tingkat kedalaman anestesi dan sulit digunakan untuk pasien dengan ensefalopati 3) Bispectral Index (BIS) Bispectral index (BIS) digunakan untuk mengevaluasi tingkat kedalaman anestesi di ruang operasi. Metode ini memberikan nilai kuantitatif dari 0–99, dengan nilai 0 menggambarkan EEG datar dan 100 menggambarkan pasien yang sadar penuh. 4) Auditory Evoked Potentials (AEP) Auditory evoked potential (AEP) mengukur aktivitas listrik pada beberapa daerah otak, pada saat diberikan rangsangan spesifik terhadap saraf kranial VIII.



27



2.3.3



Manajemen Farmakologi Sedasi Saat ini tidak ada obat sedatif yang ideal. Hampir semua obat sedatf



memiliki efek samping yang hampir sama. Akumulasi obat akibat pemberian berkepanjangan dapat mengakibatkan keterlambatan penyapihan dukungan organ dan memperlama perawatan di ICU. Efek samping terhadap sirkulasi dan tekanan darah dapat mengakibatkan pasien membutuhkan dukungan obat inotropik. Efek terhadap pembuluh darah paru-paru dapat menyebabkan ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi sehingga kebutuhan dukungan ventilasi mekanik meningkat serta berisiko terhadap pneumonia nosokomial. Selain itu penggunaan yang lama dapat menyebabkan toleransi dari pasien dan gejala withdrawal saat obat sedasi dihentikan. Obat sedatif tidak menghasilkan tidur rapid eye movement, sehingga dapat mengakibatkan psikosis pada pasien yang dirawat di ICU. Di samping itu, efek terhadap motilitas usus dapat mengganggu penyerapan makanan dan obat enteral. 1) Sedasi dengan Benzodiazepin Benzodiazepine adalah obat sedatif yang popular digunakan di ICU. Dari 13 obat benzodiazepin, terdapat 3 jenis obat yang diberikan secara intravena yaitu midazolam, lorazepam, and diazepam



Berikut ini beberapa sifat dari



benzodiazepin adalah larut di dalam lemak, dimetabolisme di liver dan diekskresikan melalui urin, dosis terapi benzodiazepin tidak menimbulkan adanya depresi pernapasan pada orang sehat, akan tetapi dapat terjadi pada pasien sakit kritis di ICU, dosis benzodiazepin yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat sedasi yang adekuat pada pasien usia tua, gagal jantung dan gangguan fungsi hepar lebih rendah oleh karena metabolismenya yang lebih lambat. Bila pemberian lorazepam atau diazepam melebihi dosis, waktu pemulihan akan lebih lama akibat terjadinya akumulasi obat. Midazolam adalah benzodiazepin terpilih untuk pemberian sedasi jangka pendek. Hal ini disebabkan oleh kelarutannya yang tinggi di dalam lemak, mula dan lama kerja yang singkat. Untuk mengurangi sedasi yang berlebihan, kecepatan infus harus disesuaikan dengan berat badan ideal.



28



Lorazepam memiliki kerja mula yang paling singkat. Lama kerjanya yang panjang



menyebabkan



lorazepam



menjadi



pilihan



pada



pasien



yang



membutuhkan sedasi yang lama. Pemberian dosis benzodiazepin yang berlebih dapat menyebabkan hipotensi, depresi pernapasan dan sedasi yang dalam. Sediaan intravena dari lorazepam dan diazepam mengandung larutan propyleneglycol yang dapat menyebabkan iritasi pada vena. Pemberian suntikan bolus propylene glycol menyebabkan hipotensi dan bradikardia. Selain itu, pemberian dalam jangka panjang dapat menimbulkan agitasi, asidosis metabolik dan sindrom klinis yang menyerupai sepsis berat. Penghentian mendadak dari benzodiazepin dapat menimbulkan sindrom withdrawal berupa cemas, agitasi, disorientasi, hipertensi, takikardia, halusinasi dan kejang. Risiko terjadinya hal ini sulit diprediksi. Bagi pasien-pasien yang telah diberikan midazolam untuk beberapa hari, transisi dengan pemberian propofol (dosis 1,5 mg/kg/ jam) 1 hari sebelum rencana ekstubasi trakhea dapan menurunkan kejadian agitasi pada pasien. Berikut adalah tabel dosis benzodiazepine : Variabel Loading dose (IV) Mula kerja Durasi Dosis pemeliharaan Potensi Kelarutandalam lemak Metabolit aktif



Midazolam 0,02–0,1 mg/kg 1–5 menit 1–2 jam 0,04–0,2 mg/kg/jam 3x 1,5 x Ya



Lorazepam 0,02–0,06 mg/kg 5–20 menit 2–6 jam 0,01–0,1 mg/kg/jam 6x 0,5 x Tidak



Diazepam 0,05–0,2 mg/kg 2–5 menit 2–4 jam Jarang 1x digunakan 1x Ya



2) Sedasi dengan propofol Propofol adalah salah satu obat anestesi yang paling sering digunakan di ICU yang memiliki sifat mula kerjanya yang cepat, efektif, dapat dititrasi dan lama kerja yang singkat. Beberapa penelitian lain menunjukan bahwa penggunaan propofol berhubungan dengan pengurangan waktu penggunaan ventilasi mekanik dibandingakan dengan sedasi menggunakan benzodiazepin. Akan tetapi propofol dapat menyebabkan depresi miokardium, menurunkan resistensi vaskular sistemik



29



dan hipotensi terutama pada pasien hipovolemik. Pemberian infus jangka panjang dapat menyebabkan asidosis metabolik dan nekrosis otot yang berhubungan dengan gangguan oksidasi rantai asam lemak dan penghambatan fosforilasi oksidatif di mitokondria. Penggunaan propofol berhubungan dengan peningkatan mortalitas pada anak dan saat ini tidak diizinkan penggunaannya pada anak kurang dari 3 tahun. Propofol dapat menimbulkan sedasi dan amnesia, tanpa efek analgesia. Bolus intravena dapat menghasilkan sedasi dalam waktu 1 menit dan lama kerja 5–8 menit. Karena lama kerjanya yang singkat, propofol dapat diberikan melalui infus secara berkelanjutan. Setelah penghentian infus propofol, pasien dapat bangun dalam waku 10–15 menit meskipun setelah penggunaan jangka panjang. Propofol dapat digunakan untuk sedasi jangka pendek bila diharapkan pasien dapat bangun dengan cepat, atau transisi dari penggunaan jangka panjang obat sedatif lain. Propofol juga dapat bermanfaat pada trauma neurologi, oleh karena dapat menurunkan konsumsi oksigen serebral dan tekanan intrakranial. Propofol sangat larut dalam lemak dan merupakan suspensi dari emulsi lemak 10 %, sehingga memiliki kandungan nutrisi 1,1 kkal/ mL. Dosis propofol dihitung berdasarkan berat badan ideal, dan tidak perlu penyesuaian dosis pada kondisi gagal ginjal atau gangguan hati.Propofol dapat menimbulkan nyeri saat penyuntikan, depresi pernapasan, apnea dan hipotensi. Oleh karena risiko depresi pernapasan, infus propofol sebaiknya diberikan pada pasien dengan ventilasi mekanik. Penurunan tekanan darah seringkali timbul setelah pemberian bolus propofol, terutama pada pasien usia tua atau dengan gagal jantung. Propofol harus dihindari pada pasien dengan syok perdarahan. Emulsi lemak dapat menimbulkan hipertrigliseridemia pada 10 % pasien setelah 3 hari pemberian. Selain itu, emulsi lemak dapat merangsang pertumbuhan bakteri dan teknik penyuntikan yang tidak steril dapat menyebabkan reaksi hipertermia dan infeksi luka operasi. Pemberian propofol lebih dari 24–48 jam dengan dosis 4–6 mg/kg/jam. Trias bradikardia, hiperlipidemia dan rhabdomiolisis adalah tanda yang unik untuk membedakan sindrom ini dari syok sepsis. Penanganannya dengan penghentian obat, perawatan suportif dan pacu jantung bila dibutuhkan. Infus propofol di bawah 4 mg/kg/ jam



30



dapat mengurangi resiko terjadinya sindrom ini. Berikut dosis daro propofol dan dextominidin : Variabel Loading dose Mula kerja Lama kerja Dosis pemeliharaan Metabolit aktif Depresi pernapasan Efek samping



Propofol 0,25–1 mg/kg < 1 menit 10–15 menit 25–75 mcg/kg/mnt Tidak Ya Hipotensi Hiperlipidemia Kontaminasi/sep sis Rhabdomiolisis



3) Sedasi dengan Dextomidin



Propofol infusion syndrom



Dexmedetomidin 1 mcg/kg dalam 10 menit 1–3 6–10 menit 0,2–0,7 mg/kg/jam menit Tidak Tidak Hipotens i Bradikardi a Rebound simpatis setelah penggunaan



Dexmetomidin diperkenalkan pertama pada tahun 1999 sebagai obat >24 jam



sedatif intravena yang tidak menimbulkan depresi pernapasan. Dexmetomidin 2



adalah



agonis



reseptor



α –adrenergik yang menghasilkan sedasi, ansiolisis,



analgesia ringan dan simpatolitik. Setelah pemberian dosis bolus, sedasi timbul dalam beberapa menit dengan lama kerja kurang dari 10 menit. Karena lama kerjanya yang singkat, dexmedetomidin biasanya diberikan dengan infus berkelanjutan. Oleh karena tidak menimbulkan depresi pernapasan, obat ini merupakan pilihan untuk pasien yang cenderung mengalami depresi pernapasan (pasien dengan sleep apnea atau penyakit paru obstruktif kronis), khususnya pada pasien yang akan disapih dari ventilasi mekanik. Dexmetomidin



diberikan



dengan loading dose 1 mg/kg selama 10 menit, dilanjutkan dengan infus 0,2– 0,7 mg/kg/jam. Hipertensi ringan dapat timbul setelah loading dose pada 15 % pasien. Hal ini berlangsung singkat dan dapat diminimalisir dengan pemberian loading dose lebih dari 20 menit. Dosis harus dikurangi pada pasien dengan gangguan fungsi hepar berat. Efek samping dari infus dexmedetomidin adalah hipotensi dan bradikardia. Hal ini timbul lebih berat pada pasien usia tua >65 tahun dan pasien dengan blok jantung. Risiko agitasi dan sympathetic rebound timbul setelah penghentian obat. Untuk meminimalisirnya, dexmedetomidin sebaiknya digunakan tidak lebih dari 24 jam.



31



4) Sedasi dengan Haloperidol Haloperidol adalah suatu obat sedatif pilihan untuk pasien ICU karena tidak menimbulkan depresi kardiorespirasi. Obat ini efektif untuk menenangkan pasien dengan kondisi delirium. Haloperidol menghasilkan sedasi dan antipsikosis dengan memblok reseptor dopamin di sistem saraf pusat. Setelah pemberian dosis intravena, sedasi dapat timbul dalam 10–20 menit dan lama kerja beberapa jam. Lama kerjanya yang panjang membuat haloperidol tidak cocok digunakan infus berkelanjutan. Mula kerjanya yang lambat mengakibatkan haloperidol tidak diindikasikan untuk mengontrol suatu kecemasan secara cepat. Haloperidol dipilih untuk pasien dengan kondisi delirium dan memfasilitasi pasien yang akan disapih dari ventilasi mekanik. Dosis yang direkomendasikan adalah 0,5–20 mg bolus, disesuaikan dengan tingkat kecemasan. Untuk memelihara sedasi, diberikan ¼ dari dosis awal setiap 6 jam. Pasien secara individual menunjukan variasi yang lebar dalam hal kadar obat dalam serum setelah pemberian haloperidol. Haloperidol dapat menimbulkan adanya suatu reaksi ekstrapiramidal, akan tetapi



hal ini jarang terjadi pada pemberian intravena. Insiden reaksi



ektrapiramidal akan lebih rendah apabila dikombinasikan dengan benzodiazepin. Efek samping haloperidol yang paling ditakuti adalah terjadinya sindrom neuroleptik malignan dan torsades de pointes. Sindrom neuroleptik malignan adalah reaksi idiosinkrasi yang jarang, ditandai dengan hipertermia, kekakuan otot berat dan rhabdomiolisis. 2.3.4



Delirium pada Pasien ICU Delirium adalah manifestasi insufisiensi serebral akut yang dapat disertai



dengan abnormalitas dari neurotransmiter yang mempengaruhi kesadaran serta gangguan



tingkah



laku



psikomotoris.Delirium berupa agitasi yang ekstrim.



Delirium dapat timbul segera atau setelah beberapa hari, dengan gejala yang berfluktuasi secara periodik. Kejadian delirium lebih banyak pada pasien pasca operasi (40%) dan meningkat pada usia tua (60%). Hal ini dapat timbul sebagai akibat dekompensasi



hemodinamik



dan



metabolik, juga sebagai akibat dari



nyeri, kecemasan dan gangguan siklus sirkadian normal. Selain itu, delirium juga dapat berupa efek samping dari obat sedasi dan analgesia. Pengelolaan delirium dan agitasi meliputi komunikasi simpatik dengan pasien. Indentifikasi dan



32



mengatasi penyakit yang mendasarinya. Pemberian obat sedasi, setelah faktor penyebabnya diketahui dan diatasi. 2.3.5



Isu End of Life Di Keperawatan Kritis



2.3.5.1 Pengertian End Of LifeEnd of life merupakan salah satu tindakan yang membantu meningkatkan kenyamanan seseorang yang mendekati akhir hidup (Ichikyo,2016). End of life care adalah perawatan yang diberikan kepada orang-orang yang berada di bulan atau tahun terakhir kehidupan mereka (NHS Choice,2015). End of life akan membantu pasien meninggal dengan bermartabat.Pasien yang berada dalam fase tersebut biasanya menginginkan perawatan yang maksimal dan dapat meningkatkan kenyamanan pasien tersebut. End oflife merupakan bagian penting dari keperawatan paliatif yang diperuntukkan bagi pasien yang mendekati akhir kehidupan.End of life care bertujuan untuk membantu orang hidup dengan sebaik- baiknya dan meninggal dengan bermartabat (Curie, 2014). End of life care adalah salah satu kegiatan membantu memberikan dukungan psikososial dan spiritual (Putranto, 2015). Jadi dapat disimpulkan bahwa End of life care merupakan salah satu tindakan keperawatan yang difokuskan pada orang yang telah berada di akhir hidupnya, tindakan ini bertujuan untuk membuat orang hidup dengan sebaik-baiknya selama sisa hidupnya dan meninggal dengan bermartabat. 2.3.5.2 Prinsip-Prinsip End Of LifeMenurut NSW Health (2005) Prinsip End Of Life antara lain : 1. Menghargai kehidupan dan perawatan dalam kematian. Tujuan utama dari perawatan adalah menpertahankan kehidupan, namun ketika hidup tidak dapat dipertahankan, tugas perawatan adalah untuk memberikan kenyamanan dan martabat kepada pasien yang sekarat, dan untuk mendukung orang lain dalam melakukannya. 2. Hak untuk mengetahui dan memilih Semua orang yang menerima perawatan kesehatan memiliki hak untuk diberitahu tentang kondisi mereka dan pilihan pengobatan mereka.Mereka memiliki hak untuk menerima atau menolak pengobatan dalam memperpanjang hidup.Pemberi perawatan memiliki



33



kewajiban etika dan hukum untuk mengakui dan menghormati pilihan- pilihan sesuai dengan pedoman. 3. Menahan dan menghentikan pengobatan dalam mempertahankan hidup Perawatan end of life yang tepat harusbertujuan untuk memberikan pengobatan yang terbaik untuk individu. Ini berarti bahwa tujuan utama perawatan untuk mengakomodasikan yang nyaman dan martabat, maka menahan atau menarik intervensi untuk mempertahankan hidup mungkin diperbolehkan dalam kepentingan terbaik dari pasien yang sekarat. 4. Sebuah pendekatan kolaboratif dalam perawatan Keluarga dan tenaga kesehatan memiliki kewajiban untuk bekerjasama untuk membuat keputusan bagi pasien yang kurang bisa dalam pengambilan keputusan, dengan mempertimbangkan keinginan pasien. 5. Transparansi dan



akuntabilitas Dalam rangka menjaga kepercayaan dari



penerima perawatan,dan untuk memastikan bahwa keputusan yang tepat dibuat, maka proses pengambilan keputusan dan hasilnya harus dijelaskan kepada para pasien dan akurat di dokumentasikan 6. Perawatan non diskriminatif Keputusan pengobatan pada akhir hidup harus non-diskriminatif dan harus bergantung hanya pada faktor-faktor yang relevan dengan kondisi medis, nilai-nilai dan keinginan pasien. 7. Hak dan kewajiban tenaga kesehatan Tenaga kesehatan tidak berkewajiban untuk memberikan perawatan yang tidak rasional, khususnya, pengobatan yang tidak bermanfaat bagi pasien.Pasien memiliki hak untuk menerima perawatan yang sesuai, dan tenaga kesehatan memiliki tanggung jawab untuk memberikan pengobatan yang sesuai dengan norma-norma profesional dan standar hukum 8. Perbaikanterus-menerus Tenaga kesehatan memiliki kewajiban untuk berusaha dalam memperbaiki intervensi yang diberikan pada standar perawatan end of life baik kepada pasien maupun kepada keluarga. 2.3.5.3 Kriteria The Peaceful End of Life Teori Peacefull EOL ini berfokus pada beberapa kriteria utama dalam perawatan end of life pasien yaitu : 1. Terbebas dari Nyeri Bebas dari penderitaan atau gejala disstres adalah hal yang utama diinginkan pasien dalam pengalaman EOL (The Peaceful End Of Life).



34



Nyeri merupakan ketidaknyamanan sensori atau pengalaman emosi yang dihubungkan dengan aktual atau potensial kerusakan jaringan(Lenz, Suffe, Gift, Pugh, & Milligan, 1995; Pain terms, 1979). 2. Pengalaman



Menyenangkan



Nyaman



atau



perasaan



menyenangkan



didefinisikan secara inclusive oleh Kolcaba (1991) sebagai kebebasan dari ketidaknyamanan, keadaan tenteram dan damai.



35



BAB III PENUTUP



3.1 SIMPULAN Masing-masing efek kondisi kritis baik bagi pasien maupun keluarga ada efek psikologis maupun non psikologis. Adapun efek psikologis terhadap pasien kritis antara lain: stres akibat kondisi penyakit , rasa cemas dan takut bahwa hidup terancam (kematian), perasaan isolasi, depresi, dan perasaan rapuh karena ketergantungan fisik dan emosional. Adapun efek non psikologis terhadap pasien kritis antara lain: ketidakberdayaan, pukulan (perubahan) konsep diri, perubahan citra diri, perubahan pola hidup, perubahan pada aspek sosial-ekonomi (pekerjaan, financial pasien, kesejahteraan pasien dan keluarga), keterbatasan komunikasi (tidak mampu berkomunikasi). Adapun efek psikologis terhadap keluarga: stres akibat kondisi penyakit pasien (anggota keluarga), prosedur penanganan, ansietas berhubungan dengan ancaman kematian pada pasien (anggota keluarga), pengingkaran terhadap kondisi kritis pasien (anggota keluarga). Sedangkan efek non psikologis terhadap keluarga: perubahan struktur peran dalam keluarga, perubahan pelaksanaan fungsi peran dalam keluarga, terbatasnya komunikasi dan waktu bersama, masalah financial keluarga, perubahan pola hidup keluarga. 3.2 SARAN Sebagai perawat professional kita harus mengetahui bagaimana efek kondisi kritis terhadap pasien dan keluarga. Selain itu pemahaman terhadap konsep holism, komunikasi, dan kerjasama tim dalam keperawatan kritis penting untuk menunjang perawatan terhadap klien agar kondisi klien lebih baik dan status kesehatan meningkat sehingga angka kematian dapat ditekan semaksimal mungkin.



\



36



DAFTAR PUSTAKA



Andarmoyo, S. (2012). Keperawatn Keluarga (Pertama). Yogyakarta: Graha Ilmu



Baradro, M., Dayrit, M., & Maratning, A. (2016). Seri Asuhan Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri. (A. Linda, Ed). Jakarta: EGC



Halgin, & Whitbourne. (2010). Psikologi Abnormal Perspektif Klinis Pada Gangguan Psikologis (6th ed). Jakarta: Salemba Medika.



Harmoko. (2012). Asuhan Keperawatan Keluarga. (S. Riyadi, Ed.) (Pertama). Yogyakarta: Pustaka Pelajar Mardiyono.



2018.



Perawatan



End



of



Life



Yogyakarta:Universitas Muhammadiyah



37



Instalasi



Gawat



Darurat.