Komunikasi Kepemimpinan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Nabilla Kusuma Vardhani 14/372835/PSP/05205 Manajemen Komunikasi dan Kepemimpinan



Kepemimpinan Ki Hadjar Dewantara



Makna kata kepemimpinan telah diterjemahkan dalam berbagai versi, tergantung pada di konteks apa kata tersebut akan digunakan. Kata ini merupakan kata yang diambil dari kata-kata yang merupakan gabungan dari kata ilmiah yang tidak didefinisikan kembali secara tepat. Dengan demikian, kata ini memiliki konotasi yang tidak ada hubungannya dengan kepemimpinan sehingga mempunyai arti yang mendua (Janda, 1990). Namun demikian, perkembangan definisi baru kepemimpinan mengalami reduksi



setelah



Stogdill



(1974:259)



melakukan



observasi



dan



mendefinisikan kepemimpinan berdasarkan ciri-ciri, perilaku, pengaruh, pola interaksi, hubungan peran, dan posisi jabatan interaktif. 1 Berikut ini akan penulis sajikan definisi kepemimpinan dari beberapa tokoh yang sumbernya berasal dari buku RPKPS Manajemen Komunikasi dan Kepemimpinan Prodi S2 Ilmu Komunikasi UGM 2014: “Kepemimpinan dilaksanakan ketika seseorang ...memobilisasi... sumber daya institusional, politis, psikologis, dan sumber-sumber lainnya untuk membangkitkan, melibatkan, dan memenuhi motivasi pengikutnya.” (Burns, 1978:18) Ini berarti, siapapun dapat disebut sebagai pemimpin selama ia berperan untuk menggerakkan pengikutnya, untuk memenuhi kepentingan bersama. Contoh pemimpin yang termasuk pada definisi ini adalah Nelson Mandela. Beliau adalah pejuang politik apartheid di Afrika yang begitu tegar dan membara dalam memperjuangkan nasib orang kulit hitam di sana. 1 dalam RPKPS Manajemen Komunikasi dan Kepemimpinan Prodi S2 Ilmu Komunikasi UGM



“Kepemimpinan adalah kemampuan untuk bertindak di luar budaya... untuk memulai proses perubahan evolusi agar menjadi lebih adaptif.” (EH Schein, 1992:2) Sebagai contoh nyata adalah Steve Jobs, CEO Perusahaan Apple yang kini termasuk dalam top 4 inovator dunia melalui karyanya berupa iPhone, iMac, iPad, dan sebagainya. Steve Jobs termasuk orang yang bertindak di luar budaya, mengakomodasi kebutuhan ‘masa depan’ user sehingga terciptalah produk-produk canggih yang bisa kita rasakan sekarang. “Kepemimpinan adalah cara mengartikulasikan visi, mewujudkan nilai, dan menciptakan lingkungan guna mencapai sesuatu.” (Richards & Eagel, 1986:4) Ini berarti, bagaimana sebuah kepemimpinan digambarkan sebagai aktivitas integratif yang dibangun untuk mencapai suatu hal yang besar. Ini sebagaimana terjadi di Indonesia pada zaman menjelang kemerdekaan. Banyak pahlawan yang muncul, baik dikenal hingga kini atau tidak. Adalah Soewardi Soerjaningrat atau biasa kita kenal dengan Ki Hadjar Dewantara, seorang Bapak Pendidik Indonesia. Sebelum pada akhirnya mendirikan perguruan Tamansiswa pada 3 Juli 1922, beliau telah terlebih dahulu melakukan berbagai perjuangan dalam merintis kemerdekaan. Perjuangan



beliau



dalam



memimpin



pergerakan



kemerdekaan



di



Indonesia membuat beliau dianugerahi berbagai penghormatan dan penghargaan



meliputi:



penetapan



sebagai



Perintis



Kemerdekaan,



penerima gelar doctor honoris cause dalam Ilmu Kebudayaan dari Universitas Gadjah Mada, pengangkatan sebagai Perwira Tinggi secara anumerta, serta pengangkatan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden RI di tahun 1959. Salah satu yang paling terkenal dari beliau hingga saat ini adalah semboyan “Ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” Kalimat tersebut merupakan salah satu pedoman hidup yang beliau pegang dan sebarkan ke masyarakat. Secara bahasa, ia memiliki makna: ketika kita berada di depan, kita memberi contoh; ketika di



tengah, kita membangun kerja sama; dan ketika di belakang, kita memberikan dorongan. Semboyan ini tidak dapat dipisahkan dari konteks pendidikan. Misalnya, pada kasus yang sempat ramai dibicarakan masyarakat: Kurikulum 2013. Guru, dalam pendidikan, menjadi elemen terpenting dalam membangun karakter dan mendidik generasi bangsa. Ing ngarso sung tuladha, di depan memberi contoh. Filosofi ini memiliki arti bahwa seseorang yang berada di garis depan atau seorang pemimpin, harus bisa memberi contoh kepada para anggotanya. Seorang leader akan dilihat oleh followernya sebagai panutan. Follower tidak hanya memperhatikan perilaku dari seorang leader secara pribadi, namun juga meliputi sejauh mana nilai-nilai budaya organisasi telah tertanam dalam diri leadernya, bagaimana cara leadernya dalam mengatasi masalah, sejauh mana leader berkomitmen terhadap organisasi, sampai kerelaan seorang leader untuk mengutamakan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadinya. Oleh karena itu, sepatutnya seorang leader memiliki karakteristik-karakteristik yang dapat menjadi teladan untuk para followernya. Leader yang memiliki charisma atau seorang pemimpin yang kharismatik akan lebih mudah menjalankan peran ini. Hal ini disebabkan oleh charisma mereka yang dapat menginspirasi para followernya. Guru, pemimpin di dalam kelas, seyogyanya menjadi contoh pendidikan karakter bagi anak-anak mereka. Dalam kasus Kurikulum 2013, guru digadang sebagai seseorang yang mampu menjadi contoh dari segi ilmu dan perilaku. Sayangnya, kini justru sering muncul kasus kekerasan dilakukan oleh guru. Banyak cerita guru memerkosa muridnya sendiri, melakukan tindakan kekerasan terhadap anak didiknya, dan kasus-kasus lainnya. Ing madya mangun karsa, di tengah memberi dukungan. Filosofi ini berarti bahwa seorang leader harus mampu menempatkan diri di tengah-tengah followernya sebagai pemberi semangat, motivasi, dan stimulus agar follower dapat mencapai kinerja yang lebih baik. Melalui filosofi ini, jelas bahwa



seorang



leader



harus



mampu



mengidentifikasi



kebutuhan-



kebutuhan followernya. Terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tersebut,



akan memotivasi follower untuk memberikan yang terbaik bagi organisasi. Teori-teori motivasi memiliki peranan penting bagi seorang leader untuk mengaplikasikan



peranan



sesuai



filosofi



ke



dua



ini.



Sayangnya,



kebanyakan sistem pendidikan di Indonesia memberlakukan metode di mana pendidik ditempatkan menjadi subyek aktif sementara anak didik menjadi obyek pasif yang harus mau menerima apapun yang keluar dari pendidik. Metode pendidikan yang menempatkan guru sebagai subjek aktif dan murid sebagai objek pasif disebut Freire sebagai metode banking. Metode banking adalah metode pendidikan di mana guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan “mengisi tabungan” yang diterima, dihafal dan diulangi dengan patuh oleh para murid (Freire, 1991:50). Ruang gerak yang disediakan bagi murid terbatas pada menerima, mencatat, dan menyimpan. Seperti menyimpan uang dalam bank, murid-murid ini diasumsikan akan mendatangkan hasil berlipat ganda di masa depan. Dengan para guru sebagai investornya, mereka mengabaikan fakta bahwa murid hakikatnya adalah makhluk yang bergerak dan berfikir. Hal ini tidak selaras dengan prinsip Ing madya mangun karsa karena guru tidak mampu mengeksplorasi kebutuhan muridnya. Tut wuri handayani, di belakang memberi dukungan. Filosofi yang terakhir ini memiliki makna bahwa seorang leader tidak hanya harus memberikan dorongan, namun juga memberikan arahan untuk kemajuan organisasi. Arahan di sini berarti leader harus mampu mengerahkan usaha-usaha followernya agar sejalan dengan visi, misi, dan strategi organisasi yang telah ditetapkan. Sebagai dasarnya, leader nilai-nilai organisasi harus tertanam kuat dalam diri masing-masing anggota. Di dalam kelas, hendaknya seorang guru mampu memberikan dukungan apapun yang menjadi



cita-cita



muridnya.



Sayangnya,



justru



banyak



guru



kini



membatasi apa yang menjadi harapan muridnya karena berbagai alasan. Banyak sekali kasus mental block yang muncul justru dari guru, pendidik yang banyak berkontribusi pada pendidikan murid-muridnya.



Harus diakui bahwa guru merupakan sosok yang dijagokan Ki Hadjar Dewantara dalam rangka memajukan pendidikan Indonesia. Apabila ingin memajukan sistem pendidikan Indonesia, elemen yang penting untuk dibenahi juga dari guru. Beberapa pengamat pendidikan menyatakan, bahwa yang perlu UN bukan hanya muridnya, tetapi juga guru-guru pendidik di Indonesia demi tercapainya kesetaraan pendidikan di seluruh Indonesia. Tak hanya dari segi tersebut, dapat kita telisik bagaimana perjuangan Ki Hadjar Dewantara, yang sempat menjabat sebagai mentri pendidikan dan kebudayaan di Indonesia. Berikut ini akan diuraikan kepemimpinan yang dilakukan oleh Ki Hadjar Dewantara. Cara Memimpin Ki Hadjar Dewantara Merujuk pada bagaimana cara beliau merintis kemerdekaan RI, penulis cenderung melihat kepemimpinan beliau termasuk dalam kepemimpinan yang transformasional. James McGregor Burns (1978) mendefinisikan kepemimpinan transformasional sebagai berikut: “Kepemimpinan transformasional menyerukan nilai-nilai moral dari para pengikut dalam upayanya



untuk meningkatkan kesadaran mereka



tentang masalah etis dan untuk memobilisasi energi dan sumber daya mereka untuk mereformasi institusi.” Dalam



Yukl



(2009),



dijelaskan



Pedoman



untuk



Kepemimpinan



Transformasional, yakni:     



Menyatakan visi yang jelas dan menarik Menjelaskan bagaimana visi tersebut dapat dicapai Bertindak secara rahasia dan optimistis Memerlihatkan keyakinan terhadap pengikut Menggunakan tindakan dramaris dan simbolis untuk menekankan



 



nilai penting Memimpin dengan memberikan contoh Memberikan kewenangan kepada orang-orang untuk mencapai visi itu



Pedoman Kepemimpinan Transformasional A. Menyatakan visi yang jelas dan menarik Para pemimpin transformasional memperkuat visi yang ada atau membangun komitmen terhadap sebuah visi baru. Keberhasilan visi ini tergantung sekali dengan bagaimana baiknya hal ini disampaikan kepada orang. Hal ini harus disampaikan berulang kali pada setiap kesempatan dan dalam cara-cara yang berbeda (Yukl, 2009:316). Dalam urusan berkomunikasi, Ki Hadjar Dewantara sebenarnya telah mengajarkan pada kita bagaimana caranya. Di samping memiliki kemampuan berbahasa Belanda, beliau adalah tokoh yang mampu menulis



dengan



indah



meskipun



latar



belakang



beliau



adalah



pembelajar ilmu kedokteran. Melalui sebuah brosur yang beliau sebar di bulan November 1913 (menjelang perayaan seabad Belanda merdeka), beliau menuliskan sebuah surat yang menggugah baik pihak Belanda



maupun



rakyat



Indonesia.



Cara



penyampaian



beliau



disampaikan dengan santun namun tajam, positif namun kritis. Ini adalah cara beliau untuk mengajak masyarakat Indonesia pada saat itu untuk menolak perayaan kemerdekaan negara penjajah di negeri Indonesia. Berikut ini cuplikan brosur yang beliau beri headline ‘Andai Aku Seorang Belanda’. “Andai aku seorang Belanda, tidaklah aku akan merayakan perayaan kemerdekaan bangsaku di negeri yang rakyatnya tidak kita beri kemerdekaan... Tidak dengan sengaja seolah-olah kita berteriak: Lihatlah, hai orang-orang, bagaimana caranya kita memperingati kemerdekaan kita. Cintailah kemerdekaan, karena sungguh bahagialah rakyat yang merdeka lepas dari penjajahan... Andai aku seorang Belanda, pada saat ini juga aku akan memprotes hajat mengadakan peringatan itu. Aku akan mengingatkan kawankawanku di koloni, bahwa berbahayalah di waktu ini mengadakan perayaan-perayaan



kemerdekaan



itu;



aku



akan



menasehatkan



sekalian orang Belanda supaya janganlah menghina rakyat di Hindia Belanda, yang kini mungkin menunjukkan keberanian dan mungkin



akan bertindak pula; sungguh aku akan protes dengan segala kekuatan yang ada padaku. Tetapi... aku bukan seorang Belanda; aku hanya seorang putera dari negeri ini, seorang ‘pribumi’ di negeri jajahan Belanda ini, karena itu aku tidak akan protes,... sebagai ‘inlander’ aku wajib ikut merayakan hari kemerdekaan Nederland, yakni negeri tuan-tuan kita. ... Sungguh, seandainya saya seorang Belanda, tidaklah saya merayakan peringatan



kemerdekaan



di



negeri



yang



masih



terjajah



itu.



(Soeratman, 1985:34) Tulisan yang kemudian berbuntut balas-balasan dari penjajah Belanda dan pejuang Indonesia tersebut sebenarnya menunjukkan visi seorang Ki Hadjar Dewantara untuk menggelitik naluri rakyat untuk tidak terus tunduk pada Belanda. B. Menjelaskan bagaimana visi tersebut dapat dicapai Tidak cukup hanya dengan visi yang menarik, pemimpin juga harus meyakinkan para pengikut bahwa visi tersebut memungkinkan untuk dicapai (Yukl, 2009:317). Karenanya, Ki Hadjar Dewantara beserta dua sahabatnya yakni Douwes Dekker dan Dr. Tjipto Mangunkusumo, sejak awal telah mendirikan organisasi sebagai wadah untuk bertukar pikiran dalam rangka mencapai tujuan kemerdekaan Indonesia. Organisasi yang mereka dirikan bertiga yakni Indische Partij (6 September 1912) yang memiliki tujuan menciptakan Indonesia merdeka yang berdaulat. Tiga serangkai pendiri IP tersebut memiliki etos kerja ‘rawe-rawe rantas, malang-malang putung.’ Selain melalui organisasi, Ki Hadjar Dewantara tidak pernah berhenti menulis bagaimanapun keadaan beliau. Tulisan-tulisan beliau bersifat persuasif dengan gaya tulisan yang disesuaikan dengan kondisi saat itu. Saat dalam pengasingan di Belanda, beliau banyak mengirimkan tulisannya yang bergaya lugas dan terang. Sementara saat kembali ke Indonesia dan berurusan langsung dengan Pemerintah Kolonial, beliau banyak menuliskan aspirasinya dalam bahasa politis dan tajam. C. Bertindak secara rahasia dan optimistis Adapun tindakan yang dilakukan beliau merupakan tindakan yang tanpa lelah. Dalam kondisi diasingkan di negeri yang bermil-mil jauhnya, Ki Hadjar Dewantara tak berhenti mengirimkan surat berisi



kobaran semangat untuk merdeka ke Indonesia. Selain itu, beliau tak segan berdiskusi dengan para pelajar Indonesia yang bersekolah di Belanda untuk menyatukan visi misi untuk Indonesia merdeka. D. Memerlihatkan keyakinan terhadap pengikut Meskipun jauh, Ki Hadjar Dewantara memelihara hubungannya dengan pengikutnya dengan cara mendelegasikan apa yang telah beliau rancang. Indische Partij ia percayakan pada orang-orang pribumi selama beliau dalam masa pengasingan. Selain itu, beliau terus mengirimkan surat baik bagi pendiri lain (Douwes Dekker dan Dr. Tjipto Mangunkusumo) maupun masyarakat Indonesia untuk diterbitkan ke khalayak ramai. Keyakinan beliau telah memberikan pengaruh bagi pengikutnya untuk terus memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dalam Yukl (2009:317-318) disebutkan bahwa, penelitian mengenai “pengaruh pygmalion” menemukan bahwa orang memiliki kinerja yang lebih baik saat seorang pemimpin memiliki harapan yang tinggi bagi mereka dan memperlihatkan keyakinan terhadap mereka (Eden, 1984, 1990; Eden & Shani, 1982; Field, 1989; Sutton & Woodman, 1989). Sebagai hasilnya, saat beliau kembali ke Indonesia, IP yang kemudian berubah nama menjadi Nationale Indische Partij tetap berdiri dan dilanjutkan kembali perjuangannya oleh beliau. E. Menggunakan tindakan dramatis dan



simbolis



untuk



menekankan nilai penting Sebuah visi diperkuat dengan perilaku kepemimpinan yang konsisten dengannya. Tindakan dramatis dan jelas terlihat merupakan cara efektif untuk menekankan nilai penting (Yukl, 2009:318). Ki Hadjar Dewantara dalam pendiriannya yang teguh untuk hidup sebagai masyarakat yang merdeka, berprinsip kuat untuk tetap menggunakan Oeang Republik Indonesia dalam menjalankan lini usahanya dalam pendidikan. Secara tegas, beliau menolak uang Belanda yang pada saat itu diberlakukan di seluruh Indonesia. Tindakan beliau ini diikuti oleh



pengikutnya,



terutama



di



masyarakat



sekitar



(di



wilayah



Yogyakarta) sehingga di pasar rakyat masih beredar ORI tersebut. Tindakan yang memberikan pengaruh inilah yang dimaksud dengan



tindakan pemimpin sejati. Ki Hadjar Dewantara telah menjadikan ORI sebagai simbol kekuatan rakyat dalam menolak pemerintahan Belanda. F. Memimpin dengan memberikan contoh Ki Hadjar Dewantara meyakini, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu memberikan contoh. Sebagaimana semboyan beliau ‘ing ngarsa sung tuladha,’ beliau selalu hidup mengamalkan sifat baik ayah beliau Sri Paku Alam III dan mencontohkannya dalam mendidik anakanak dan mengelola Taman Siswa. Taman Siswa sendiri dibangun atas asas



pentingnya



pendidikan



untuk



kemajuan



bangsa.



Beliau



berkeyakinan bahwa bangsa yang maju adalah bangsa yang memiliki masyarakat yang cerdas. Oleh sebab itu, beliau mewujudkannya dengan membangun sekolah. Pada saat diasingkan di Belanda, beliau adalah pribadi yang adaptis, dalam artian mampu menyesuaikan diri dengan tetap berpegang teguh pada



pendirian.



Contoh



adaptasi



yang



beliau



lakukan



yakni,



mempelajari dan mengambil nilai-nilai positif masyarakat Belanda seperti kemampuan menulis yang ia lakukan dengan berguru pada salah satu penulis besar di Belanda. G. Memerikan kewenangan kepada orang-orang untuk mencapai visi itu Adapun bagian penting dari kepemimpinan transformasional adalah memberikan kewenangan kepada orang-orang untuk mencapai visi itu (Yukl, 2009:319). Taman Siswa adalah salah satu mimpi ‘kecil’ beliau yang merupakan bagian dari memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan.



Dalam



kepemimpinannya



di



Taman



Siswa,



beliau



mempercayakan berbagai posisi-posisi strategis pada orang-orang yang dianggap mampu mengampu kepercayaan tersebut. Kemampuan delegasi dan kepercayaan beliau terhadap orang-orang tersebut menjadi pembelajaran tersendiri bagi mereka yang pernah bekerja sama dengan beliau. Gaya Kepemimpinan Ki Hadjar Dewantara Dalam salah satu pertemuan dari kuliah Manajemen Komunikasi dan Kepemimpinan, setidaknya terdapat tiga gaya kepemimpinan yang salah satunya dominan dimiliki oleh seorang pemimpin yakni: (a) otoriter, (2)



shared-value, dan (3) partisipatoris. Apabila menilik pada ketiga sifat tersebut, penulis memiliki hipotesis bahwa Ki Hadjar Dewantara adalah seorang pemimpin yang memiliki style memimpin berupa shared-value. Hal ini dapat kita lihat selain melalui tagline ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani, beliau juga mengungkapkan buah pikirnya mengenai berartinya seseorang yang berilmu dan berbudi pekerti: “Bagi saya, hanya ada dua macam bangsawan: bangsawan pikiran dan bangsawan budi. Tiada yang lebih gila dan bodoh pada pemandangan saya daripada melihat orang yang membanggakan soal keturunannya. Bangsawan dan berbudi, boleh dikatakan dua perkataan yang searti” (Soeratman, 1985:xii). Berbagai nilai moral dan upaya peningkatan kesadaran untuk mencapai tujuan (saat itu kemerdekaan) banyak beliau tulis dalam surat kabar dan brosur, misalnya De Beweging, De Expres, Persatuan Hindia, dan Panggugah.



Kemampuannya



berbahasa



Belanda



dan



Jawa



serta



kemahirannya dalam ilmu jurnalistik mempermudah beliau menuangkan buah pikirnya meskipun tidak jarang justru menjadikannya mendekam di penjara. Ciri Khusus Kepemimpinan Ki Hadjar Dewantara Setidaknya, penulis menyimpulkan beberapa ciri kepemimpinan yang dimiliki oleh Ki Hadjar Dewantara, yakni: 1. Pengikut yang baik Sebelum mendirikan IP, beliau telah menjadi anggota di Boedi Oetama di divisi propaganda. Beliau menunjukkan kesetiaan dan antusiasmenya selama berada di organisasi tersebut. 2. Adaptif Yakni kemampuan beliau untuk adjust terhadap lingkungan apapun. Berkali-kali masuk penjara, pindah negara, justru menjadikan beliau semakin solutif. 3. Pembelajar cepat yang inovatif



Beliau juga merupakan pembelajar yang cepat. Hanya setelah satu tahun mengabdi, mengajar di sekolah Adi Dharma, beliau langsung menginisiasi Taman Siswa sebagai goal kecilnya dalam rangka mewujudkan cita-cita besar menjadikan Indonesia negara merdeka yang berdaulat (cita-cita IP). 4. Pemberi pengaruh Beliau juga, dengan keteguhan



hatinya,



dalam



memberikan



keputusan telah mampu memberikan pengaruh bagi pengikutnya. Sifatnya yang yakin telah membuat para pengikutnya yakin akan kepemimpinan beliau, bahkan saat Taman Siswa dilanda kesulitan ekonomi. Keputusan beliau untuk menolak subsidi dari Pemerintah Konglomerat



tidak



membuat



pengikutnya



terpengaruh



dan



meninggalkan beliau. Kesimpulan Pada akhirnya, kepemimpinan merupakan suatu hal yang memerlukan integrasi dari segala arah. Apabila kita ingin meniru Ki Hadjar Dewantara, kita



bisa



melihat



institusional,



bagaimana



politis,



membangkitkan,



psikologis,



melibatkan,



beliau dan



dan



memobilisasi



sumber



daya



sumber-sumber



lainnya



untuk



memenuhi



motivasi



pengikutnya



sebagaimana pengertian oleh Burns. Ki Hadjar Dewantara juga termasuk pemimpn yang memiliki kemampuan untuk bertindak di luar budaya... untuk memulai proses perubahan evolusi agar menjadi lebih adaptif (EH Schein, 1992:2), dari pendidikan Belanda yang dienyam beliau menuju pendidikan di Indonesia yang lebih ketimuran. Terakhir, taman siswa merupakan



bukti



dari



kepemimpinan



yang



mengartikulasikan



visi,



mewujudkan nilai, dan menciptakan lingkungan guna mencapai sesuatu (Richards & Eagel, 1986:4). Ini berarti, apabila ingin mencapai goal tertentu, kita harus mempersiapkan banyak hal.



DAFTAR PUSTAKA



Soeratman. 1985. Ki Hadjar Dewantara. Jakarta: Dept. Pendidikan dan Kebudayaan. RPKPS Manajemen Komunikasi dan Kepemimpinan Prodi S2 Ilmu Komunikasi UGM, 2014.