Konflik Bersenjata Internasional Dalam Perspektif Hukum Humaniter Internasional [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KONFLIK BERSENJATA INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL (KASUS KONFLIK BERSENJATA ANTARA ISRAEL DAN PALESTINA)



Oleh : Ida Bagus Putu Abhijana Brahmastra



FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA BALI 2017



DAFTAR ISI



DAFTAR ISI........................................................................................................................................... 1 BAB I ...................................................................................................................................................... 3 PENDAHULUAN .................................................................................................................................. 3 1.1



Latar Belakang ........................................................................................................................ 3



1.2



Rumusan Masalah ................................................................................................................... 6



BAB II..................................................................................................................................................... 7 PEMBAHASAN ..................................................................................................................................... 7 2.1



Bagaimanakah konflik bersenjata Israel-Palestina dilihat dari perspektif hukum humaniter



internasional ........................................................................................................................................ 7 1.



Konflik Bersenjata Internasional ............................................................................................ 8



2.



Konflik Bersenjata Non-Internasional (Non-International Armed Conflict) ........................ 10



3.



Konflik Bersenjata yang Diinternasionalkan (Internationalized Internal Armed Conflict). . 13



4.



Bahasan Singkat Mengenai Awal Dan Sejarah Konflik Bersenjata Antara Israel Dan



Palestina ........................................................................................................................................ 14 2.2



Bagaimanakah pelanggaran HAM yang terjadi pada konflik bersenjata Israel-Palestina



ditinjau dari perspektif hukum humaniter internasional. .................................................................. 15 BAB III ................................................................................................................................................. 20 PENUTUP ............................................................................................................................................ 20 3.1



Kesimpulan ........................................................................................................................... 20



DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 22



BAB I



PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Konflik bersenjata tentunya bukanlah hal yang diinginkan oleh setiap pihak dalam penyelesaian masalah namun tidak dapat dipungkiri bahwa eksistensi konflik bersenjata di dunia internasional masih ada hingga saat ini meskipun sudah banyak negara yang menandatangani berbagai konvensi dan perjanjian internasional guna menjaga perdamaian dan keamanan dunia dari timbulnya konflik-konflik bersenjata. Keamanan negara dan situasi yang mendesak tentunya menjadi faktor yang paling dasar dalam timbulnya konflik bersenjata yang sudah ataupun masih terjadi hingga saat ini. Terjadinya konflik bersenjata diawali dari adanya pertentangan kepentingan dengan bangsa lain atau pertentangan antar kelompok dalam suatu bangsa sendiri. Secara implisit, hal ini dapat disebut sebagai suatu bentuk perjuangan nasional atau memperjuangkan kepentingan nasional. Konflik bersenjata baik yang berupa perang atau konflik bersenjata lainnya adalah suatu keadaan yang sangat dibenci oleh bangsa-bangsa beradab diseluruh dunia dan harus dihindari, karena akan mengakibatkan kesengsaraan dan penderitaan bagi umat manusia. Dapat dipastikan bahwa konflik bersenjata tidak bisa dihindarkan dari jatuhnya korban, baik pihak kombatan maupun dari pihak penduduk sipil yang tidak ikut berperang, baik golongan tua maupun golongan muda, wanita dan anakanak. Akibat dari konflik bersenjata dapat mengenai siapa saja yang berada dalam daerah konflik tersebut. Beberapa akibat yang sering ditimbulkan selama terjadi nya konflik bersenjata antara lain : 1. Terjadinya kekerasan terhadap tubuh maupun nyawa seseorang 2. Penyanderaan 3. Pelecehan martabat, pemerkosaan 4. Penjatuhan dan pelaksanaan pidana tanpa proses peradilan yang menjamin hak-hak seseorang 5. Perbudakan dan perdagangan orang Oleh karena itu dengan alasan apapun perang ataupun konflik bersenjata sebisa mungkin harus dihindari. Namun upaya menghapus perang dari muka bumi



nampaknya sia-sia karena perang akan selalu terjadi. Karena upaya menghapus perang tidak mungkin dilakukan maka umat manusia berupaya mengurangi penderitaan akibat perang dengan membuat hukum. Hukum yang dimaksud pada waktu dulu dikenal dengan istilah hukum perang dan sekarang lebih dikenal dengan istilah Hukum Humaniter Internasional. Secara keseluruhan hukum humaniter dapat diartikan sebagai aturan-aturan internasional, yang dibentuk oleh perjanjian internasional atau kebiasaan, yang secara spesifik, diharapkan untuk mengatasi problem-problem kemanusiaan yang muncul secara



langsung



dari



sengketa-sengketa



bersenjata



internasional



maupun



noninternasional, dan untuk alasan-alasan kemanusiaan, membatasi hak dari pihakpihak yang berkonflik untuk menggunakan metode dan alat perang pilihan mereka atau untuk melindungi orang-orang dan harta milik mereka yang mungkin terkena dampak konflik. 1. Selain itu para ahli juga mengemukakan pendapatnya tentang definisi dari hukum humaniter diantaranya adalah, 1. Jean Pictet: “International humanitarian law in the wide sense is constitutional legal provision, whether written and customary, ensuring respect for individual and his well being2.” Yang secara sederhana



dapat



diterjemahkan



sebagai



“Hukum



humaniter



internasional secara luas adalah sebuah ketentuan konstitusional hukum baik tertulis atau yang merupakan kebiasaan yang menjamin penghormatan setiap individu dan keberadaanya dengan baik.“. 2. Mochtar Kusumaatmadja: “Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang iu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri.”3 Dengan telah dijabarkanya pengertian dan pemahaman singkat mengenai konflik bersenjata dan hukum humaniter internasional maka perlu diketahui bahwa di dalam paper ini penulis akan membahas secara spesifik dengan menggunakan contoh kasus atau kejadian konflik bersenjata yang terjadi antara Israel dan Palestina yang 1



Ambarwati, Denny Ramdhany dan Rina Rusman, 2009, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta. h. 29. 2 Dewa Arka, 2010, Hukum Humaniter Internasional, https://dewaarka.wordpress.com/2010/03/08/hukumhumaniter-internasional/, diakses pada 12 Maret 2017. 3 Ibid.



sempat hangat dibicarakan akhir-akhir ini di berbagai media baik elektronik maupun sosial. Konflik yang tak kunjung usai dan berkelanjutan membuat banyak kalangan kebingungan dengan apa yang menjadi sebab awal terjadinya konflik ini dan sejarah tentang kapan berawalnya konflik antara dua pihak tersebut. Konflik antara kedua belah pihak diawali dengan peluncuran operasi pertama yang disebut OR (Operation Rainbow) merupakan operasi militer dari tanggal 18 hingga 23 Mei 2004 di Rafah untuk membersihkan infrastruktur teroris dan menemukan terowongan penyelundupan yang menyambungkan Gaza dan Mesir, juga untuk membunuh para milisi yang sebelumnya menewaskan 13 tentara Israel dalam serangan gerilya. Sementara itu, ODP merupakan operasi yang dilaksanakan di Gaza utara pada tanggal 30 September hingga 15 Oktober 2004, berfokus pada kamp pengungsi Beit Hanoun, Beit Lahia, dan Jabalia yang digunakan sebagai tempat peluncurun roket Qassam, dan sebagai respon akan tewasnya dua anak di Sderot. Pada ODP (Operation Days of Penitence), menewaskan sekitar 104 hingga 133 orang Palestina dan 5 orang Israel. 4. Konflik antara kedua belah pihak terus berlanjut hingga beberapa tahun kedepan sejak tahun 2004 dimana pada tahun 2008 mencapai puncak ketegangan dimana kala itu ±1500 warga Palestina dan 10 orang tentara Israel serta 3 orang warga Israel, bukan hanya itu saja cara israel menyerang palestina, ternayata Israel juga secara keji menggunakan bom fosfor putih (white phosporous cluster bomb)5 dimana ketika bom itu meledak maka fosfor putih yang mematikan akan tumpah dan mengenai penduduk sipil yang akhirnya memakan korban dalam jumlah besar baik korban jiwa maupun luka-luka. Tahun 2008 tentunya seluruh perhatian masyarakat Internasional tertuju pada keprihatinan terhadap situasi dan kondisi yang dialami oleh masyarakat Palestina, dukungan berupa bantuak kemanusiaan dan simpati masyarakat dunia mulai tertuju pada masyarakat Palestina yang kesejahteraan dan keselamatan hidupnya telah diganggu dan dibahayakan oleh serangan-serangan militer Israel yang begitu gencar menggempur berbagai wilayah di Palestina.



4



Portal Sejarah, 2014, http://www.portalsejarah.com/sejarah-terjadinya-konflik-israel-palestina-di-gaza.html, diakses pada 12 Maret 2017. 5 Ardan Annafi Saputra, 2014, http://ardaannafi.blogspot.co.id/2014/10/pelanggaranhumaniter-di-jalurgaza.html, diakses pada 12 maret 2017



Guna melindungi dan menghormati nilai-nilai hak asasi manusia di dunia maka terbentuklah suatu bagian baru dari hukum internasional yang kini kita kenal dengan hukum humaniter, yang mana didalamnya mempelajari tentang hukum-hukum perang, kebiasaan perang, asas-asas dalam peperangan serta perlindungan terhadap para tahanan perang. Maka dari itu dirasa topik permasalahan konflik internasional dan dengan ditambah dengan contoh kasus konflik bersenjata yang terjadi di wilayah Israel dan Palestina, penulis merasa perlu untuk dilakukan pembahasan dan analisis yang lebih mendalam mengenai pokok permasalahan ini agar kelak dapat menjadi bahan bacaan dan memberikan manfaat kepada mahasiswa dalam melakukan pembuatan karya tulis serupa.



1.2 Rumusan Masalah Dari berbagai hal yang sudah dijelaskan pada latar belakang maka penulis dapat menarik beberapa rumusan masalah yaitu, 1. Bagaimanakah konflik bersenjata yang terjadi di wilayah Israel dan Palestina apabila dilihat dari ruang lingkup hukum humaniter internasional. 2. Bagaimanakah pelanggaran HAM yang terjadi pada konflik bersenjata IsraelPalestina ditinjau dari perspektif hukum humaniter internasional.



BAB II



PEMBAHASAN



2.1 Bagaimanakah konflik bersenjata Israel-Palestina dilihat dari perspektif hukum humaniter internasional Konflik bersenjata adalah suatu peristiwa penuh dengan kekerasan dan permusuhan antara pihak-pihak yang bertikai. Dalam sejarah konflik bersenjata telah terbukti bahwa konflik tidak saja dilakukan secara adil, tetapi juga menimbulkan kekejaman. 6 terjadinya konflik bersenjata tidak hanya berdampak bagi keamanan negara tapi juga secara langsung memberikan dampak yang sangat terasa bagi masyarakat disekitar wilayah dimana terjadi konflik bersenjata. Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa kata konflik dan perang tidaklah asing lagi di telinga kita, suatu kata yang identik dengan kekerasan, kekejaman dan pertumpahan darah tentunya kita semua tidak menginginkan perang atau konflik itu sendiri terjadi disekitar kita, namun banyak faktor yang menyebabkan hal ini tetap terjadi meskipun umat manusia di dunia telah melakukan berbagai usaha untuk memperkecil pecahnya suatu peperangan atau konflik bersenjata, yang salah satunya diwujudkan dengan cara membuat suatu kumpulan peraturan hukum yang mengatur tentang tata cara berperang, perlindungan terhadap rakyat sipil serta etika-etika dalam berperang itu sendiri yang kemudian diwujudkan dalam suatu hukum yang dikenal dengan hukum humaniter internasional. Hukum Humaniter Internasional adalah seperangkat aturan yang karena alasan kemanusiaan dibuat untuk membatasi akibat-akibat dari pertikaian senjata. Hukum ini ,melindungi mereka yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam pertikaian, dan membatasi cara-cara dan metode berperang.7 Istilah hukum humaniter atau disebut International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict, awalnya dikenal sebagai hukum perang (Law of War) yang kemudian berkembang menjadi hykum konflik bersenjata (Laws of Arms Conflict) yang akhirnya dikenal dengan istilah Hukum Humaniter. 6



Asep Darmawan, 2005, Prinsip Pertanggungjawaban Pidana Komandan Dalam Hukum Humaniter Sebuah Kumpulan Tulisan, Jakarta, Hal. 51. 7 Bahan Kuliyah, 2014, http://www.bahankuliyah.com/2014/05/hukum-humaniter-internasional.html, diakses pada 16 Maret 2017.



Hukum Humaniter Internasional memiliki 2 aliran sejarah, yaitu : 1. Hukum Jenewa Hukum Jenewa adalah hukum yang melindungi personil militer yang tidak lagi ambil bagian dalam pertempuran dan orang-orang yang tidak terlibat aktif dalam peperangan, yaitu penduduk sipil. 2. Hukum Den Haag Hukum Den Haag adalah hukum yang menetapkan hak dan kewajiban pihak-pihak yang berperang dalam melakasanakan operasi militer dan menetapkan batasan-batasan mengenau sarana yang boleh dipakai untuk mencelakai musuh. Perang adalah pelaksanaan atau bentuk konflik dengan intensitas kekerasan yang tinggi. Di dalam sejarah dunia ini kita sudah mengenal berbagai kejadiankejadian penting yang bernuansa peperangan baik perang dunia I & II hingga konflik bersenjata di suriah yang hingga kini baru saja menemukan titik terang dalam penyelesaian permasalahan yang dialami oleh pemerintah suriah dengan organisasi bersenjata yang kita kenal dengan nama ISIS. Lazimnya peperangan atau konflik bersenjata dapat disebabkan oleh berbagai hal diantaranya faktor ekonomi, budaya, SARA, politik, perebutan wilayah bahkan hingga persaingan kekuatan militer. Maka dari itu tak heran bila dewasa ini masih sering saja terjadi konflik-konflik bersenjata baik antara suatu negara dengan entitas bukan negara ataupun konflik bersenjata yang pihaknya sama-sama dari pihak entitas bukan negara, untuk mengetahui lebih jelas tentang jenis dan bentuk konflik bersenjata maka dibawah akan disajikan jenis serta bentuk konflik bersenjata yang dapat penulis rangkum dari berbagai sumber, diantaranya adalah : 1. Konflik Bersenjata Internasional Secara sederhana konflik bersenjata internasional dapat diartikan sebagai konflik bersenjata dimana di dalam konflik tersebut melibatkan 2 atau lebih negara lain didalamnya. Namun di dalam instrumen-instrumen hukum yang kami teliti terdapat beberapa pasal dan ayat yang menekankan definisi atau ruang lingkup dari konflik bersenjata internasional. Seperti yang disebutkan pada pasal 1 ayat (4) Protokol Tambahan Pada Konvensi-Konvensi Jenewa 12 Agustus yang menyatakan bahwa “The situations referred to in the preceding paragraph include armed conflicts in which peoples are fighting against colonial domination and alien occupation and



against racist régimes in the exercise of their right of self-determination, as enshrined in the Charter of the United Nations and the Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Co-operation among States in accordance with the Charter of the United Nations.”8. Yang dalam terjemahan dapat diartikan sebagai “yang dimaksudkan situasi-situasi di dalam ayat di atas termasuk pula pertikaian-pertikaian bersenjata yang di dalamnya rakyat-rakyat sedang berperang melawan dominasi kolonial dan pendudukan asing dan melawan pemerintahan-pemerintahan rasialis untuk melaksanakan hak menentukan nasib sendiri mereka sebagaimana yang dijunjung tinggi di dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Deklarasi tentang asas-asas Hukum Internasional mengenai hubungan-hubungan persahabatan dan kerjasama di antara negara-negara sesuai dengan piagam perserikatan bangsa-bangsa.”9. Interpretasi dari ketentuan pasal diatas diartikan sama dengan konflik bersenjata internasional. Sementara itu didalam pasal 2 Konvensi-konvensi Jenewa 1949 juga memberikan tentang definisi mengenai konflik/sengketa bersenjata internasional yang berbunyi sebagai berikut “In addition to the provisions which shall be implemented in peacetime, the present Convention shall apply to all cases of declared war or of any other armed conflict which may arise between two or more of the High Contracting Parties, even if the state of war is not recognized by one of them. The Convention shall also apply to all cases of partial or total occupation of the territory of a High Contracting Party, even if the said occupation meets with no armed resistance”. 10



Secara sederhana ketentuan ini dapat diterjemahkan sebagai “sengketa bersenjata



yang melibatkan dua negara atau lebih, baik sebagai perang yang diumumkan maupun apabila pernyataan perang tersebut tidak diakui oleh salah satu dari mereka.” 11. Jadi dengan mengetahui beberapa ketentuan-ketentuan yang memuat tentang definisi dari konflik bersenajata internasional maka secara umum yang dimaksud dengan konflik bersenjata internasional adalah konflik yang mana para pihaknya adalah 2 negara atau lebih dan bisa juga dengan pihak bukan negara (non-state entity), meskipun keadaan perang itu tidak diumumkan namun ketentuan-ketentuan hukum humaniter tetaplah mengikat kepada para pihak yang ada. 8



Protocols Additional To The Geneva Conventions Of 12 August 1949, 1949, pasal 1 ayat (4) Syahmin AK., 1985, Hukum Internasional Humaniter, Jilid 2, Armico, Bandung, h. 28 10 Geneva Convention, 1949, pasal 2 11 Ambarwati, Denny Ramdhany dan Rina Rusman, 2009, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta. h. 56. 9



2. Konflik Bersenjata Non-Internasional (Non-International Armed Conflict) Sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebgai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara dapat juga berbentuk perang saudara (civil war). Perang pemberontakan bertujuan untuk memsihakan diri dari negara induk. Ketentuan mengenai aturan-aturan yang berkaitan dengan konflik bersenjata non-internasional terdapat pada pasal 3 konvensi Jenewa 1949 yang menyatakan bahwa “In the case of armed conflict not of an international character occurring in the territory of one of the High Contracting Parties, each Party to the conflict shall be bound to apply, as a minimum, the following provisions”



12



. Namun



isi ketentuan dari pasal ini tidak memberikan kriteria atau definisi yang cukup jelas terkait konflik bersenjata non-internasional. Meskipun di dalam ketentuan konvensi Jenewa definisi dan kriteria mengenai konflik bersenjata non-internasional masih dirasa kurang memberikan pengertian yang jelas dan belum terperinci, maka dari itu definisi dan kriteria yang lebih jelas dapat ditemukan pada pasal 1 ayat (1) Protokol Tambahan II Pada Konvensi Jenewa 1949 dimana di dalam pasal tersebut terdapat ketentuan bahwa “This Protocol, which develops and supplements Article 3 common to the Geneva Conventions of 12 August 1949 without modifying its existing conditions of applications, shall apply to all armed conflicts which are not covered by Article 1 of the Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts (Protocol I) and which take place in the territory of a High Contracting Party between its armed forces and dissident armed forces or other organized armed groups which, under responsible command, exercise such control over a part of its territory as to enable them to carry out sustained and concerted military operations and to implement this Protocol.”. Di dalam ketentuan ini lebih ada kejelasan mengenai apa yang dimaksud dan apa saja kriteria dari suatu konflik bersenjata yang dapat dikatakan sebagai suatu konflik bersenjata non-internasional, hal itu ditekankan pada terjemah dari kutipan pasal diatas yaitu “harus berlaku pada semua sengketa bersenjata yang tidak tercakup oleh pasal 1 Protokol Tambahan Pada Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 dan yang berhubungan dengan Perlindungan Korban-Korban Sengketa Bersenjata Internasional (protokol 1) dan yang berlangsung di wilayah dari suatu pihak peserta agung antara



12



Geneva Convention, 1949, pasal 3.



angkatan perangnya dengan angkatan perang pemberontak atau kelompok-kelompok bersenjata pemberontak lainya yang terorganisir yang dibawah komando yang bertanggung jawab melaksanakan kekuasaan atas suatu bagian dari willayahnya sehingga memungkinkan mereka untuk melaksanakan operasi-operasi militer secara terus menerus dan yang teratur baik dan memungkinkan mereka untuk melaksanakan protokol ini.”.



13



. Sementara itu para ahli yang bergerak di bidang hukum humaniter



atau hukum internasional juga mengemukakan pendapatnya mengenai definisi dan kriteria dari suatu konflik yang dapat dikategorikan sebagai suatu konflik bersenjata non-internasional, diantaranya adalah : 1. Dieter Fleck Konflik bersenjata non-internasional adalah suatu konfrontasi antara penguasa pemerintah yang berlaku dan suatu kelompok yang dipimpin oleh orang yang bertanggung jawab atas anak buahnya, yang melakukan perlawanan bersenjata di dalam wilayah nasional serta telah mencapai intensitas suatu kekerasan bersenjata atau perang saudara.



2. Hans-Peter Gasser Konflik bersenjata non-international adalah konfrontasi bersenjata yang terjadi di dalam wilayah suatu negara, yaitu antara pemerintah di satu sisi dan kelompok perlawanan bersenjata di sisi lain. Anggota kelompok perlawanan bersenjata tersebut – apakah digambarkan sebagai pemberontak, kaum revolusioner, kelompok yang ingin memisahkan diri, pejuang kebebasan, teroris, atau istilah-istilah sejenis lainnya — berperang untuk menggulingkan pemerintah, atau untuk memperoleh otonomi yang lebih besar di dalam negara tersebut, atau dalam rangka memisahkan diri dan mendirikan negara mereka sendiri. Penyebab dari konflik seperti ini bermacam-macam; seringkali penyebabnya adalah pengabaian hak-hak minoritas atau hak asasi manusia lainnya yang dilakukan oleh pemerintah yang diktator sehingga menyebabkan timbulnya perpecahan di dalam negara tersebut”



13



Protocol Additional To The Geneva Conventions Of 12 August 1949, And Relating To The Protection Of Victims Of Non-International Armed Conflicts (Protocol II), Of 8 June 1977, 1977, Pasal 1 ayat (1)



3. Pietro Verri menyatakan bahwa “Suatu konflik non-internasional dicirikan dengan pertempuran antara angkatan bersenjata suatu negara dengan perlawanan dari sekelompok orang atau pasukan pemberontak… Bagaimanapun juga suatu konflik di suatu wilayah negara antara dua kelompok etnis dapat pula diklasifikasikan sebagai konflik bersenjata non-internasional asalkan konflik tersebut memenuhi syarat-syarat yang diperlukan seperti intensitas konflik, lama atau durasi konflik dan partisipasi rakyat pada konflik tersebut”. Selanjutnya, dikatakan pula oleh Verri, bahwa konflik bersenjata non-internasional ini adalah sinonim dari perang saudara.14 Setelah mengetahui definisi dan kriteria dari konflik bersenjata noninternasional yang dikemukakan oleh para ahli maka perlu dicermati bahwa terdapat beberapa kriteria dan indikator-indikator tertentu dalam pengkategorian suatu konflik non-internasional. Dalam menentukan pemberlakuan antara Protokol Tambahan II tahun 1977, perlu dilihat bahwa yang dihadapi oleh pasukan bersenjata negara tertentu adalah pasukan pemberontakan yang mempunyai unsur atau kriteria sebagai berikut 15: a. Merupakan kelompok bersenjata terorganisasi; b. Berada di bawah komando yang bertanggung jawab; c. Melaksanakan kendali sedemikian rupa atas sebagian dari wilayah; d. Mampu melakukan operasi militer yang berkelanjutan dan berkesatuan; e. Mampu menerapkan aturan-aturan HHI yang termuat dalam Protokol Tambahan II tahun 1977. Jadi dapat diartikan bahwa yang dimaksud dengan konflik bersenjata noninternasional adalah suatu konflik yang terjadi antara angkatan bersenjata suatu negara dengan kelompok bersenjata pemberontak atau gerakan-gerakan perjuangan bersenjata yang terjadi dalam wilayah suatu negara dimana terdapat beberapa wilayah 14



Pietro Verri, 1992, Dictionary Of The International Law Of Armed Conflict, International Committee of the Red Cross, Jenewa. 15



Ambarwati, Denny Ramdhany dan Rina Rusman, Op.Cit, h. 62.



dari negara yang bersangkutan telah diduduki oleh kelompok-kelompok bersenjata yang kemudian memberikan rasa kekhawatiran terhadap negara lain yang merasa dirugikan atas kehadiran kelompok bersenjata tersebut. Maka dari itu untuk mengkategorikan suatu kasus konflik bersenjata haruslah sesuai dengan unsur-unsur serta kriteria suatu konflik bersenjata yang terdapat pada berbagai instrumen hukum yang mengatur mengenai hukum humaniter internasional.



3. Konflik Bersenjata yang Diinternasionalkan (Internationalized Internal Armed Conflict). Mengenai Internationalized Internal Armed Conflict dapat dikatakan bahwa yang dimaksud adalah suatu non-international armed conflict kemudian karena ada pengakuan atau bantuan dari negara ke tiga berkembang menjadi non-international armed conflict yang di internasionalkan.16. Pendapat Pietro Verri tentang konflik bersenjata yang diinternasionalkan adalah suatu konflik non-internasional atau konflik internal, dapat dianggap atau menjadi konflik bersenjata yang bersifat internasional apabila telah terpenuhi syarat-syarat berikut17 : a. Jika suatu negara yang berperang melawan pasukan pemberontakan di dalam wilayahnya telah mengakui pihak pemberontak tersebut sebagai pihak yang bersengketa (belligerent); b. Jika terdapat satu atau lebih negara asing yang memberikan bantuan kepada salah satu pihak dalam konflik internal, dengan mengirimkan Angkatan Bersenjata resmi mereka dalam konflik yang bersengkutan; dan c. Jika terdapat dua negara asing, dengan Angkatan Bersenjata masing-masing melakukan intervensi dalam suatu negara yang sedang terlibat konflik internal, di mana masing-masing angkatan bersenjata tersebut membantu pihak yang saling berlawanan.



Sementara Hans-Peter Gasser mengemukakan bahwa Konflik Bersenjata yang Diinternasionalkan (Internationalized Internal Armed Conflict) sebagai berikut “An internationalized non-international armed conflict is a civil war characterized by the intervention of the armed forces of a foreign power.”18. Yang dapat diartikan sebagai



16



Bahan Kuliyah, 2014 , http://www.bahankuliyah.com/2014/05/hukum-humaniter-internasional.html, diakses pada 13 Maret 2017. 17 Pietro Verri, Op. Cit., h. 35 18 Hans-Peter Gasser, 1982, Internationalized Non-international Armed Conflicts: Case Studies Of Afghanistan, Kampuchea, And Lebanon. h. 145



Konflik Bersenjata yang Diinternasionalkan adalah suatu perang saudara yang dalam berlangsungnya terdapat intervensi dari angkatan bersenjata dari kekuatan asing atau ada unsur asing dalam angkatan bersenjata yang turut serta dalam konflik bersenjata tersebut.



4. Bahasan Singkat Mengenai Awal Dan Sejarah Konflik Bersenjata Antara Israel Dan Palestina Setelah mengetahui poin-poin penting mengenai jenis konflik bersenjata, definisi serta kriterianya maka kali ini akan dijelaskan duduk awal permasalahan yang menjadi awal mula terjadinya konflik bersenjata antara Israel dan Palestina yang diawali dengan Hamas memenangi pemilu Palestina pada Januari 2006 konstalasi politik di Palestina menghangat. terjadi konflik kepentingan antara aksi fatah dan hamas di parlemen. Presiden mahhmoud abbas dan Perdana menteri Ismail Haniyah terlibat konflik. Peperangan saudara antar faksi pun terjadi. Yang kemudian berlanjut hingga tahun-tahun berikutnya sejak tanggal Desember 2008 – Januari 2009, dunia internasional dikejutkan dengan adanya serangan melalui pemboman lewat udara maupun darat yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina di Jalur Gaza. Serangan ini sebenarnya ditujukan untuk melumpuhkan pejuang HAMAS (Harakat al Muwaqawwamatul Islamiyah) atau secara harfiyah disebut Gerakan Perlawanan Islam agar menghentikan serangan roketnya ke Israel serta menghentikan suplai senjata HAMAS yang dikirim melalui terowongan-terowongan bawah tanah. Hamas dicap sebagai organisasi teroris, oleh Israel, Amerika Serikat dan Uni Eropa. Namun oleh pendukungnya, organisasi itu dianggap sebagai kekuatan perjuangan yang sah untuk membela Palestina dari pendudukan brutal militer Yahudi. Akibat dari serangan yang berlangsung selama 22 hari tersebut sekitar 1434 penduduk Palestina tewas menjadi korban. Korban penduduk sipil berjumlah 960, 239 polisi dan 235 pejuang Hamas. Dari 960 penduduk sipil yang tewas terdiri dari 288 anak, 121 wanita, dan 409 penduduk sipil selain wanita dan anak-anak. Menurut data dari Departemen Kesehatan Palestina, korban luka-luka mencapai 5303 yang terdiri dari 1606 anak-anak dan 828 Wanita.



19



. Dengan melihat dari apa yang sudah



disajikan diatas maka penulis dapat menilai bahwa konflik bersenjata yang terjadi



19



Dakwatuna, http://www.dakwatuna.com/2014/09/08/56704/infografis-data-korban-di-gaza-palestina, diakses pada 15 Maret 2017



antara Israel dan Palestina ini merupakan sebuah konflik bersenjata non-internasional, karena sesuai dengan definisi dan kriteria yang telah dicantumkan pada kutipan instrumen hukum sebelumnya apabila suatu konflik bersenjata terjadi antara satu negara dengan suatu organisasi atau kelompok bersenjata (bukan negara) atau dapat dikatakan sebagai bukan merupakan angkatan bersenjata dari negara yang bersangkutan maka konflik yang terjadi dapat dikategorikan sebagai sebuah konflik bersenjata yang bersifat non-internasional, dapat dikatakan demikian karena yang menjadi pihak dalam berlangsungnya konflik antara Israel dan Palestina adalah tentara nasional Israel dengan pasukan HAMAS yang notabene bukan merupakan angkatan bersenjata resmi dari Palestina. Meskipun banyaknya indikasi seputar peran asing dalam konflik bersenjata ini namun tetap konflik ini masih bisa dikategorikan sebagai suatu konflik non-internasional.



2.2 Bagaimanakah pelanggaran HAM yang terjadi pada konflik bersenjata IsraelPalestina ditinjau dari perspektif hukum humaniter internasional. Rumusan Hak asasi manusia secara universal mulai diakui pada abad 20 tepatnya tanggal 10 Desember tahun 1948 di Paris. Deklarasi Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) adalah untuk mengakui hak setiap orang di seluruh dunia. Deklarasi ini ditandatangani oleh 48 Negara dari 58 Negara yang menjadi anggota PBB. Jaminan HAM dalam perang tertuang dalam Hukum Humaniter Internasional diharapkan menjadi pengelola dan pengendali efek destruktif konflik bersenjata. Namun didalam praktik pelaksanaanya masih saja sering dittemukan berbagai kasus pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum humaniter internasional, sebagaimana yang akan dibahas dalam tulisan ini yang secara khusus membahas pelanggaran HAM yang terjadi pada konflik bersenjata anatara Israel dan Palestina ditinjau dari persepektif hukum humaniter internasional.



Dengan mengetahui prinsip-prinsip HAM, hukum humaniter dan prinsip yang terkandung dalam Piagam PBB, jelas bahwa agresi Israel telah melanggar prinsipprinsip dalam hukum humaniter. Agresi Israel ke Palestina selama 22 hari telah mengakibatkan korban penduduk sipil sekitar 1443 orang tewas dan 5000 orang lukaluka. Hal ini bertentangan dengan prinsip kemanusiaan yang dijunjung tinggi dalam setiap ketentuan-ketentuan instrumen hukum baik dalam bidang HAM maupun Humaniter. Israel juga telah melanggar prinsip pembedaan, dimana dalam



serangannya tidak membedakan antara penduduk sipil dan kombatan serta antara objek-objek militer dan objekobjek sipil yang tidak boleh dijadikan sasaran serangan militer. Sebagian besar korban yang tewas adalah penduduk sipil yang mencapai jumlah 960 jiwa. Selain itu Israel telah menghancurkan objek-objek sipil antara lain, rumah penduduk sipil, rumah sakit, sekolahsekolah, gedung PBB, instalasi listrik dan air, bahkan tempat ibadah. Sebagaimana prinsip pembedaan seperti yang kita telah ketahui adalah prinsip yang membedakan antara kombatan dan penduduk sipil dalam wilayah negara yang sedang berperang. Kombatan adalah penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan dan boleh dijadikan sasaran perang, sedangkan penduduk sipil adalah penduduk yang tidak ikut aktif dalam perang sehingga tidak boleh dijadikan sasaran perang.20. Di dalam berjalanya konflik bersenjata antara Israel dan Palestina ini banyak sekali prinsip-prinsip dasar hukum humaniter dan nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi cenderung diabaikan dan dilanggar, meskipun pelanggaran tidak terjadi pada salah satu pihak saja namun pelanggaran yang dominan terjadi dilakukan oleh pasukan tentara Israel terhadap warga sipil di Palestina, berikut adalah beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh Israel selama konflik bersenjata itu berlangsung dikategorikan dengan jenis prinsip yang dilanggar. 



Prinsip kebutuhan militer (military necessity). Dalam pasal 57 protokol tambahan 1 konvensi Jenewa pun dijelaskan bahwa obyek yang dapat diserang dalam suatu konflik internasional adalah obyek militer dan combatan. Jatuhnya korban sipil dan sasaran serangan terhap obyek sipil, termasuk berbagai infrastruktur dan obyek vital lainnya harus dihindari. Namun, kenyataannya, Israel turut menyerang berbagai obyek sipil termasuk sekolah, rumah sakit, rumah penduduk, jalan, pipa air, dan juga termasuk jaringan listrik. Terputusnya jaringan listrik di Palestina mengancam kelangsungan hidup bayi-bayi di sana karena resiko kedinginan dan alat-alat penunjang kesehatan lainya tidak dapat berfungsi dengan baik.







Prinsip Kemanusiaan (humanity). Terjadi beberapa kejadian yang dilakukan oleh pasukan Israel yang melanggar ketentuan prinsip kemanusiaan salah satunya



adalah



penghadangan



bantuan-bantuan



kemanusiaan



yang



dikirimkan oleh berbagai organisasi internasional yang ingin menunjukkan rasa simpatinya kepada rakyat Palestina yang sedang di dalam penderitaan 20



Arlina Permanasari, 1999, Pengantar Hukum Humaniter, International Committee of the Red Cross, Jakarta, h. 11.



akibat konflik bersenjata yang terjadi di wilayahnya. Hal ini tentu saja melanggar prinsip kemanusiaan karena dengan menghambat bantuan-bantuan kemanusiaan sama saja dengan membiarkan warga Palestina mati perlahanlahan dengan menghambat suplai makanan, air dan kebutuhan-kebutuhan pokok lainya yang dibutuhkan baik oleh pengungsi maupun warga sipil yang masih bertahan disekitar wilayah yang terlibat konflik bersenjata. 



prinsip kelima adalah proporsionalitas (proportionality). Yang dimaksud dengan prinsip proporsionalitas adalah keseimbangan antara yang diterima dan diberikan dalam suatu konflik bersenjata. Dimana dalam kasus konflik bersenjata antara Israel dan Palestina ini terlihat kesenjangan atau ketidakseimbangan serangan balasan yang dilancarkan oleh Israel guna membalas serangan-serangan mortir ringan dan senjata ringan lainya dari pasukan HAMAS, pasukan Israel melancarkan operasi untuk membombardir wilayah-wilayah sipil yang dijadikan tempat persembunyian oleh HAMAS dengan menjatuhkan bom dari udah selama berhari-hari. Tentu saja dampak dan korban jiwa yang ditimbulkan sangatlah berbeda dengan seranganserangan yang dilancarkan oleh pasukan HAMAS kepada pasukan Israel. Selama serangan di Jalur Gaza oleh Angkatan Pertahanan Israel antara 27 Desember



2008 – 18 Januari 2009, warga Palestina yang kehilangan nyawa mereka selama operasi militer terhitung antara kurang lebih 1444 jiwa. 13 pihak dari pihak Israel yang tewas, 10 adalah tentara dan 3 orang warga sipil. Alih-alih mengambil nyawa, misi keadilan Goldstone juga mencatat bahwa pasukan Israel telah melakukan beberapa pelanggaran kejahatan perang sebagai berikut : 21 1) Menyerang gedung-gedung pemerintah, penjara utama dan orang-orang dari otoritas. 2) Menyerang secara sembarangan oleh pasukan Israel yang mengakibatkan hilangnya nyawa dan korban luka pada penduduk sipil. 3) Serangan atas persimpangan jalan Al Fakhoora di Jabaliya sebelah sekolah UNRWA. 4) Penggunaan senjata tertentu, yaitu fosfor putih, rudal flechette dan bahkan peledak dari logam berat. 5) Serangan terhadap dasar-dasar kehidupan sipil di Gaza 6) Penggunaan warga sipil Palestina sebagai perisai manusia



21



Aspacpalestine, 2013, http://www.aspacpalestine.com/ar/543-human-rights-violations-and-impunity-ingaza/item, diakses pada 14 Maret 2017.



7) Perampasan kebebasan (penduduk Gaza ditahan selama Operasi Cast Lead) Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Israel terhadap rakyat Palestina dan tanah Palestina tampaknya diabaikan oleh Pengadilan Internasional. Ratusan resolusi tentang konflik Israel-Palestina telah dikeluarkan oleh PBB. Misi Pencari Fakta PBB telah menyelidiki kejahatan yang dilakukan oleh Israel dan banyak kecaman yang telah dibuat oleh negara-negara serta organisasi-organisasi internasional. Namun, Israel masih melakukan banyak kejahatan dan melanggar hak-hak Palestina. Prof Richard Falk, pakar HAM PBB yang bertugas di wilayah Palestina dalam pernyataanya mengatakan bahwa : para pimpinan pemerintahan Israel sudah layak diseret ke Pengadilan Kriminal Internasional karena telah menyebabkan krisis kemanusiaan di Jalur Gaza akibat blockade yang dilakukan Israel.22 Israel pantas dituntut secara hukum dengan tuduhan melakukan “kejahatan terhadap kemanusiaan” dan Pengadilan Kriminal Internasional harus segera menetukan apakah para pemimpin Israel dan komandan militer yang bertanggung jawab atas kebijakan blockade itu patut dituntut dan diadili karena telah melanggar. Menteri luar negeri dan para jenderal Israel adalah orang yang bertanggung jawab atas tragedi kemanusiaan di Jalur Gaza. Kejahatan perang yang dilakukan oleh Israel sebenarnya termasuk salah satu kewenangan Mahkamah Pidana Internasional atau ICC sebagai pengadilan tetap yang mulai berlaku efektif sejak tahun 2002. Namun kewenangan ICC ini hanya berlaku bagi negara yang telah meratifikasi Statuta Roma 1998, sedang-kan Israel belum meratifikasi Statuta Roma 1998. Untuk menyeret para pimpinan Israel ke sidang pengadilan, DK PBB menempuh mekanisme pelimpahan wewenang kepada ICC dengan dasar bahwa terjadi beberapa kejahatan yang tercantum dalam Statua. Pelimpahan wewenang DK PBB bersifat mengikat dan dapat dipaksakan atas seluruh negara dan pelaksanaan yurisdiksi mahkamah menjadi bagian dari wewenang tersebut. Persoalannya adalah ketika Amerika menggunakan hak veto pada waktu pelimpahan wewenang kepada ICC untuk mengadili para petinggi Israel atas Kejahatan perang Israel maka konsekuaensinya adalah para pejabat perang tersebut akan terbebas dari hukum dan hukuman (impunity), inilah yang menjadi kelemahan dalam menegakkan hukum internasional. Harapan dan tanggung jawab besar pada negara-negara yang tergabung dalam Dewan Keamanan PBB dapat mengambil sebuah langka efektif dan signifikan untuk mempengaruhi kebijakan politik Internasional Amerika. Untuk memberikan pelajaran berharaga kepada masa depan tentang nilai dan martabat kemanusiaan yang mutlak dimiliki oleh setiap manusia. Sebagai bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan 22



Pbhisul-sel, 2009, http://pbhisul-sel.blogspot.co.id/2009/01/penegakan-ham-atas-kejahatan-perang.html, diakses pada 16 Maret 2017.



serta menentang segala bentuk penjajahan dimuka bumi sebagaimana yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar menjadi keharusan bagi bangsa kita untuk dapat merujudkan perdamaian dunia, aktualisasi nilai tersebut harus diwujudkan dengan langkah konkrit bangsa Indonesia sebagai Anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB sebagai wujud dan tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat Internasional pada umumnya dan rakyat Indonesia pada Khusunya.



BAB III



PENUTUP



3.1 Kesimpulan 1. Hukum humaniter adalah cabang dari bidang hukum internasional, dimana hukum humaniter bergerak dalam peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang prosedur dan tata cara dalam melakukan peperangan, serta perlindungan terhadap warga sipil dan mereka yang sudah menyerah serta meletakkan senjata dan memutuskan untuk tidak melanjutkan peperangan. Hukum humaniter menjadi sangat diperlukan mengingat tingkat kejadian daripada konflik bersenjata di dunia masih saja meningkat dari tahun ke tahun dimana hal ini menimbulkan



kekhawatiran



tersendiri



terhadap



kalangan



masyarakat



internasional mengingat peperangan akan memberikan efek negatif yang sangat banyak kepada pihak-pihak yang turut serta dalam peperangan atau konflik bersenjata tersebut. Sementara konflik bersenjata secara umum dapat disimpulkan sebagai sebuah pertikaian yang dimana pihaknya merupakan suatu negara dengan negara lain, atau suatu negara dengan organisasi/kelompok bersenjata yang melakukan perlawanan atau pemberontakan (non-state entity) dan juga dapat terjadi pada dua organisasi atau kelompok bersenjata yang berseteru di dalam wilayah kekuasaan suatu negara. Di dalam pengkategorian terhadap konflik bersenjata terdapat 3 jenis konflik bersenjata yang dapat kami simpulkan yaitu konflik bersenjata internasional (international armed conflict), konflik bersenjata noninternasional (non-international armed conflict) dan konflik bersenjata noninternasional yang di internasionalkan (internationalized non-international armed conflict) yang dimana hal yang menjadi indikator dalam membedakan ketiga kategori konflik bersenjata ini terletak pada pihak dari peperangan atau konflik itu sendiri. Di dalam bahasan pertama dari tulisan ini dapat disimpulkan bahwa konflik bersenjata yang terjadi antara Israel dan Palestina adalah konflik bersenjata yang bersifat non-internasional, sebab pihak yang berhadapan dengan kekuatan militer Israel bukanlah pasukan milier resmi dari Palestina melainkan pasukan



HAMAS yang merupakan kelompok bersenjata yang bergerak dalam pembelaan atas tindakan pendudukan wilayah yang dilakukan oleh militer Israel di wilayah Palestina. Hal ini sesuai dengan unsur-unsur serta kriteria yang tercantum pada instrumen-instrumen hukum yang digunakan dalam penyusunan karya tulis ini. Meskipun terdapat upaya dan campur tangan atau intervensi pihak asing nampaknya konflik bersenjata yang terjadi antara Israel dan Palestina masih menjadi suatu konflik bersenjata non-internasional.



2. Dengan memahami serta mempelajari kasus konflik bersenjata yang terjadi diantara Israel dan Palestina ini dapat disimpulkan bahwa terjadi berbagai jenis pelanggaran terhadap nilai-nilai penting HAM dan ketentuan-ketentuan hukum humaniter yang tidak dihiraukan dalam berjalanya konflik diantara Israel dan Palestina. Hal yang menjadi perhatian khusus bagi penulis adalah banyaknya ketentuan-ketentuan dalam hukum humaniter yang dilanggar dalam seranganserangan serta operasi yang dilakukan oleh militer Israel ke wilayah Palestina tanpa



memperdulikan



prinsip-prinsip



pembedaan,



kemanusiaan



dan



proporsionalitas dalam perang yang pada akhirnya memberikan dampak yang sangat memilukan kepada warga sipil Palestina yang menjadi korban keganasan operasi-operasi militer yang dilakukan oleh pasukan Israel. Namun dalam hal ini kesalahan tidak hanya dilakukan oleh satu pihak, melainkan pihak HAMAS yang berperan selaku kelompok militer perjuangan rakyat Palestina sendiri juga melakukan pelanggaran dengan mempergunakan wilayah perumahan dan areaarea sipil sebagai medan perang dan tempat persembunyian mereka. Tentu saja pemegang wewenang tidak dapat berdiaim diriDengan apa yang sudah dilakukan oleh militer Israel terhadap warga sipil Palestina yang dilanggar dan dirampas haknya untuk hidup dan menentukan nasibnya sendiri, meskipun telah dilakukan berbagai upaya damai namun sepertinya tidak ada yang membuahkan hasil yang signifikan bagi jalanya konflik antara Israel dan Palestina. Sama halnya dengan wewenang yang dilimpahkan dewan keamanan PBB kepada ICC untuk mengadili penjahat perang yang terlibat dalam konflik bersenjata antara Israel dan Palestina, tentu saja Amerika Serikat sebagai anggota tetap dewan keamanan PBB akan menggunakan hak vetonya untuk mengintervensi upaya-upaya yang akan dilakukan untuk mengadili kejahatan perang yang terjadi pada konflik Israel dan Palestina.



DAFTAR PUSTAKA



Ambarwati, Denny Ramdhany dan Rina Rusman, 2009, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Arlina Permanasari, 1999, Pengantar Hukum Humaniter, International Committee Of The Red Cross, Jakarta. Asep Darmawan, 2005, Prinsip Pertanggungjawaban Pidana Komandan Dalam Hukum Humaniter Sebuah Kumpulan Tulisan, Jakarta. Geneva Convention For The Amelioration Of The Condition Of The Wounded And Sick In Armed Forces In The Field Of 12 August 1949, 1949, Jenewa. Hans-Peter Gasser, 1982, Internationalized Non-international Armed Conflicts: Case Studies Of Afghanistan, Kampuchea, And Lebanon, American University Law Review. KGPH. Haryomataram, 2007, Pengantar Hukum Humaniter, Edisi 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Pietro Verri, 1992, Dictionary Of The International Law Of Armed Conflict, International Committee of the Red Cross, Jenewa. Protocols Additional To The Geneva Conventions Of 12 August 1949, 1949. Protocol Additional To The Geneva Conventions Of 12 August 1949, And Relating To The Protection Of Victims Of Non-International Armed Conflicts (Protocol II), Of 8 June 1977, 1977. Syahmin AK., 1985, Hukum Internasional Humaniter, Jilid 2, Armico, Bandung.