Praktek Negara Dalam Hukum Internasional [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Praktek Negara-Negara Dalam Hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional  NEGARA INGGRIS Inggris menganut doktrin inkorporasi (incorporation doctrin) yang mengacu pada suatu ajaran yang menyatakan bahwa Hukum Internasional adalah Hukum Negara. Ketentuan ini dipandang sebagai asas dasar dari pelaksanaan hukum di Inggris terutama pada abad 18 dan 19. Dalam hukum positif yang berlaku saat ini, Inggris mengacu pada; (1) Hukum Kebiasaan Internasional, (2) Hukum Internasional Tertulis (Traktat, Konvensi/Perjanjian). Untuk Hukum Kebiasaan Internasional, doktrin ini berlaku dengan 3 pengecualian, yaitu: i.



Tidak bertentangan dengan suatu undang-undang baik yang lebih tua maupun yang akan ada kemudian.



ii. Sekali ruang lingkup suatu ketentuan Hukum Kebiasaan Internasional ditetapkan oleh keputusan mahkamah tertinggi, maka semua pengadilan di bawahnya terikat oleh keputusan itu, walaupun di kemudian hari ternyata kebiasaan tersebut bertentangan dengan Hukum Nasional. iii. Ketentuan hukum kebiasaan tersebut harus merupakan ketentuan yang umum diterima oleh masyarakat internasional Mengenai hukum yang bersumberkan pada perjanjian (Hukum Internasional tertulis), hukum Inggris menyatakan bahwa perjanjian yang memerlukan persetujuan parlemen, memerlukan pula pengundangan nasional, sedangkan perjanjian yang tidak memerlukan persetujuan parlemen dapat berlaku langsung setelah penandatanganan. Perjanjian yang memerlukan persetujuan parlemen: i.



Perjanjian yang memerlukan diadakannya perubahan perundang-undangan nasional.



ii. Perjanjian yang menyebabkan perubahan status atau garis batas wilayah negara. iii. Perjanjian yang mempengaruhi hak sipil warga negara Inggris. iv. Perjanjian yang akan menambah beban keuangan negara.  NEGARA AMERIKA Praktik Amerika Serikat tentang hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional tidak jauh berbeda dengan Inggris. Hal ini disebabkan karena sistem hukum Hukum Amerika Serikat sangat dipengaruhi oleh sistem hukum Inggris. Dalam hal ini Amerika Serikat juga menganut doktrin inkorporasi. Undang-undang yang dibuat



dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (Congress) diusahakan tidak bertentangan dengan hukum internasional, namun jika kemudian sebuah undang undang baru ternyata bertentangan dengan hukum internasional, maka yang harus dimenangkan adalah undang-undang. Terkait dengan Perjanjian Internasional, untuk dapat masuk dan berlaku sebagai bagian dari Hukum Nasional Amerika Serikat tergantung pada apakah perjanjian tersebut bertentangan dengan konstitusi serta berdasarkan pada jenis perjanjian itu sendiri. Dalam praktiknya, Amerika Serikat membedakan Perjanjian Internasional dalam dua golongan: 1) Non self executing treaty (perjanjian yang tidak dapat berlaku sendiri), dapat berlaku sebagai bagian dari Hukum Nasional Amerika Serikat apabila telah memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari parlemen (kongres) Amerika Serikat. 2) Self executing treaty (perjanjian yang dapat berlaku dengan sendirinya), dapat langsung menjadi Hukum Nasional Amerika Serikat tanpa harus mendapat persetujuan dari kongres terlebih dahulu. Misalnya untuk perjanjian perjanjian yang bersifat fundamental (law making treaty) dan perjanjian perjanjian yang berhubungan dengan Hak Asasi Manusia.  Indonesia Mochtar Kusumaadmatja berpendapat bahwa UUD 1945 pada dasarnya tidak menyatakan bahwa Hukum Nasional lebih utama atau pun Hukum Internasional yang lebih utama. Kendati demikian, hal tersebut tidak dapat dijadikan dasar bahwa Indonesia tidak mengakui keberlakuan hukum internasional. Kedudukan hukum internasional dalam sistem perundang-undangan nasional merupakan salah satu sumber hukum yang pengesahan dan pemberlakuannya dalam hukum nasional dilakukan baik melalui undang-undang maupun melalui Keputusan Presiden. Hal ini sendiri telah diatur dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (selanjutnya disebut UU Perjanjian Internasional) yang menyebutkan: 1) Pengesahan perjanjian internasional oleh Pemerintah RI dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut; 2) Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.



Selanjutnya dalam Pasal 10 juga membahas mengenai pengesahan Perjanjian Internasional dilakukan dengan Undang-Undang apabila berkenan dengan: 1) Masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; 2) Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; 3) Kedaulatan atau hak berdaulat negara; 4) Hak asasi manusia dan lingkungan hidup; 5) Pembentukan kaidah hukum baru; Pinjaman dan/atau hibah luar negeri. Selanjutnya, penentuan materi hukum internasional yang disahkan melalui undang undang dan atau melalui Keputusan Presiden tergantung pada derajat materi yang diatur oleh suatu hasil perjanjian internasional. Dalam hal ini, baik undang undang maupun Keputusan Presiden adalah dua bentuk hukum yang menjadi pintu dan dasar pengesahan hukum internasional dalam hukum nasional. Merujuk pada hal tersebut, maka telah menunjukkan bahwa Indonesia dari sudut pandang teoritik menggunakan aliran monisme dengan primat hukum nasional dan aliran dualisme. Sehingga secara praktik lapangan, pemberlakuan hukum internasional dalam sistem hukum nasional dilakukan baik melalui inkorporasi, transformasi, dan adopsi. 1.



Studi Kasus “West Rand Gold Mining Co” (Analisa sehingga jelas penerapan realisai Hukum Internasional dan Hukum Nasional dalam praktik negara-negara) The West Rand Central Gold Mining Company vs The King, 1905



I.



Gambaran Umum Kasus



A. Kronologi Kasus Secara Singkat Kasus ini mengenai petisi hak yang dilembagakan pada bulan Juni Tahun 1905 oleh perusahaan pertambangan emas yang bernama The West Rand Gold Mining Company. Perusahaan sebagai pihak pemohon menuduh bahwa dalam perjalanan pengiriman dari Johannesburg ke Cape Town, dua bungkusan emas milik perusahaan telah disita oleh Otoritas Republik Afrika Selatan untuk keperluan pemerintahan. Menurut hukum Republik, Pemerintah berkewajiban mengembalikan emas itu kepada pemiliknya, atau membayar nilainya. Dalam hal ini, perlu digarisbawahi bahwasanya penyitaan emas tersebut dilakukan sebelum perang



terkenal antara Republik Afrika Selatan dan Inggris Raya yang berujung pada kematian beberapa orang. Akan tetapi tidak lama setelah dua bungkusan emas disita dan sebelum pengembalian emas atau pembayaran nilainya dipenuhi oleh Republik Afrika Selatan, perang pun pecah antara Republik Afrika Selatan dengan Inggris Raya. Hasil akhir dari peperangan tersebut dimenangkan oleh Inggris Raya yang menaklukkan Republik Afrika Selatan dan sukses melakukan aneksasi (pengambilan dengan paksa tanah/wilayah orang/negara lain untuk disatukan dengan tanah/negara sendiri). Hal inilah yang kemudian membuat West Rand Central Gold Mining Company melayangkan gugatannya ke Inggris Raya. Perusahaan tersebut mengklaim bahwa tanggung jawab untuk mengganti kerugian emas yang telah disita oleh Republik Afrika Selatan sekarang berada dalam lingkup tanggung jawab negara bagian Inggris Raya. B. Putusan Majelis Pengadilan Pengadilan Divisi yang dipimpin oleh Lord Alverstone C.J setelah mendengar petisi dari West Rand Central Gold Mining Company memutuskan bahwa prinsip hukum internasional tidak ada sehingga tidak mungkin bagi negara penakluk untuk bertanggung jawab atas emas yang disita. Selanjutnya pengadilan juga menyatakan dan memutuskan: 1) Bahwa Penguasa Negara penakluk tidak bertanggung jawab atas kewajiban yang ditaklukkan, jika tidak ada ketentuan atau konvensi; 2) Hukum internasional merupakan bagian dari hukum Inggris sejauh ia telah menerima persetujuan bersama dari bangsa-bangsa beradab. Aturan-aturan hukum internasional tersebut harus terbukti telah benar-benar diterima sebagai mengikat antara negara-negara dengan bukti yang memuaskan dari persetujuan atau penggunaan internasional; 3) Bahwa tindakan Negara tidak dapat diketahui oleh Pengadilan Inggris. II. Pendapat Penulis Merujuk pada kasus di atas, point permasalahannya ialah apakah pemerintah Inggris bertanggung jawab atas pembayaran utang Republik Afrika Selatan yang telah ditaklukkan? Dalam hal ini, penasihat untuk penggugat (perusahaan) dalam kasus tersebut berargumen bahwa semua kewajiban kontraktual dari Negara yang



kalah yang telah dibuat sebelum pecahnya perang, diteruskan setelah adanya penaklukan kepada Negara pemenang, terlepas dari karakteristik yang tepat dari kewajiban atau asal-usulnya.  Akan tetapi, pada kenyataannya pengajuan gugatan yang dilayangkan oleh perusahaan tersebut tidak diterima dan gugatan ditolak. Dalam hal ini, penulis memberikan pendapat mengenai alasan mengapa pengadilan memberikan putusan tersebut adalah karena pada dasarnya tidak ada prinsip hukum nasional ataupun internasional pada saat itu yang menyatakan bahwa Negara penakluk bertanggung jawab atas pelunasan utang Negara yang telah ditaklukkan.