Konflik Bersenjata Thailand Dan Kamboja, Sebuah Pembuktian Realisme Dalam Hubungan Internasional [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik . Universitas Indonesia ESSAY UTS TEORI HUBUNGAN INTERNASIONAL—KONFLIK BERSENJATA THAILAND DAN KAMBOJA BERDASARKAN PERSPEKTIF REALIS Nama



:



Erika



NPM



:



0706291243



Jurusan



:



Ilmu Hubungan Internasional



Konflik Bersenjata Thailand dan Kamboja, Sebuah Pembuktian Realisme dalam Hubungan Internasional Thailand dan Kamboja. Kedua negara ini awalnya merupakan dua negara Asia Tenggara yang memiliki hubungan yang baik. Keduanya sangat jarang terlibat pertikaian. Hal ini mungkin dikarenakan kedua negara tersebut memiliki banyak persamaan. Salah satu persamaan tersebut adalah persamaan agama, yaitu agama Buddha yang merupakan agama mayoritas di kedua negara tersebut 1. Persamaan kedua adalah dari sistem pemerintahan mereka, yang sama-sama mengadopsi sistem monarki absolut. Namun hubungan yang baik itu lantas menjadi merenggang selepas konflik Perang Indochina pada 1975, selepas Perang Indochina tersebut hubungan kedua negara terus-menerus merenggang. Memburuknya hubungan Thailand dan Kamboja diperparah dengan konflik antara keduanya yang semakin memanas belakangan ini. Permasalahannya terletak pada satu tempat : Kuil Preah Vihear. Sebuah kuil berusia kurang-lebih 900 tahun tersebut kini sedang ramai-ramainya diperbincangkan. Penyebabnya adalah karena wilayah seluas 4,6 km2 di sekitar kuil tersebut kini sedang diperebutkan dua negara ASEAN, Thailand dan Kamboja. Kedua negara itu sama-sama mengklaim wilayah tersebut sebagai wilayahnya, dan kedua negara tersebut sama-sama berpendapat penempatan tentara dari negara lainnya di wilayah tersebut merupakan bukti pelanggaran kedaulatan nasional mereka. Juli 2008 lalu, kedua negara yang bertikai tersebut sama-sama menempatkan tentaranya yang keseluruhannya berjumlah lebih dari 4000 pasukan di kawasan Kuil Preah Vihear tersebut. Sebenarnya sejak dahulu, wilayah seluas 4,6 km2 ini memang sudah menjadi perdebatan. Akan tetapi, perdebatan semakin memanas sejak dikeluarkannya keputusan UNESCO yang memasukkan kuil itu ke dalam daftar warisan sejarah dunia. Keputusan UNESCO ini kemudian mengundang dua reaksi berbeda, reaksi gembira dari rakyat Kamboja, serta reaksi negatif dari rakyat Thailand. Sebenarnya, masalah kepemilikan kuil tersebut sudah diatur oleh Mahkamah Internasional tahun 1962, yang menyatakan kuil tersebut adalah milik rakyat Kamboja namun yang menjadi masalah di sini adalah wilayah seluas 4,6 km2 di sekitar kuil tersebut yang tidak dijelaskan kepemilikannya oleh Mahkamah Internasional. Masalah kepemilikan yang tidak jelas inilah yang menyebabkan terjadinya sengketa yang kemudian berlanjut dengan konflik bersenjata di wilayah itu. Konflik bersenjata yang terjadi pada tanggal 15 Oktober yang lalu tersebut dikabarkan telah menewaskan tiga tentara Kamboja dan membuat empat tentara Thailand luka-luka. Hal ini tentu membuat warga Kamboja berang. Kemarahan warga 1



Derek



Manangka.



Bara



Dendam



Thailand-Kamboja,



Konflik



Thailand



dan



Kamboja



(1).



http://www.inilah.com/berita/politik/2008/10/18/55775/bara-dendam-thailand-kamboja/, diakses pada 27 Oktober 2008, pukul 15.05. Page | 1



Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik . Universitas Indonesia



Kamboja itu menyebabkan kedutaan Thailand dan beberapa usaha milik warga Thailand dibakar dan dijarah2 di Phnom Penh. Perdebatan mengenai wilayah sekitar Kuil Preah Vihear itu sebenarnya sudah dimulai sejak lama. Perdebatan ini muncul karena Kamboja, sebagai negara bekas jajahan Perancis, dan Thailand menggunakan peta berbeda yang menunjukkan teritori masing-masing negara. Dan karena peta yang digunakan kedua negara tersebut berbeda (Kamboja menggunakan peta dari mantan penjajahnya, Perancis sementara Thailand menggunakan petanya sendiri), tentu saja banyak terjadi salah penafsiran mengenai besar wilayah masing-masing. Salah satu wilayah yang disalahtafsirkan itu adalah wilayah seluas 4,6 km2 di sekitar Kuil Preah Vihear tersebut. Dan apabila, misalnya klaim Kamboja tentang wilayah 4,6 km2 ini lantas dikabulkan Thailand, Thailand khawatir Kamboja akan semakin merajalela dan mencaplok pula wilayah-wilayah lain yang juga disalahtafsirkan. Hal yang sama juga berlaku sebaliknya. Karena itu, tidak heran wilayah yang hanya seluas 4,6 km2 itu begitu diperebutkan, baik oleh Kamboja maupun Thailand. Akan tetapi, sebenarnya ada satu masalah lagi yang mendorong Kamboja maupun Thailand untuk memiliki wilayah sekitar Kuil Preah Vihear tersebut. Alasan tersebut adalah karena wilayah sekitar Kuil Preah Vihear adalah wilayah yang kaya akan sumber daya mineral—minyak bumi dan gas alam. Kepemilikan akan wilayah sekitar Kuil Preah Vihear itu berarti akan menjamin terpenuhinya kebutuhan energi negara pemiliknya, juga sekaligus akan meningkatkan pemasukan negara tersebut dari sisi penjualan sumber energi. Hal ini menambah alasan mengapa wilayah sekitar Kuil Preah Vihear merupakan wilayah yang layak untuk diperebutkan, baik oleh Thailand dan Kamboja. Mengenai perkembangan hubungan Thailand dan Kamboja sekarang, hubungan kedua negara tersebut sudah tidak sehangat 15 Oktober lalu. Akan tetapi harus diakui hubungan antar keduanya masih tegang. Walaupun usul untuk mengadakan pertemuan antara kedua belah pihak yang bertikai tersebut telah disetujui oleh wakil Thailand dan Kamboja, namun hingga kini Thailand dan Kamboja belum bertemu secara langsung untuk menyelesaikan konflik perebutan wilayah sekitar Kuil Preah Vihear tersebut. Menanggapi konflik yang terjadi antara Thailand-Kamboja tersebut, realisme sebagai perspektif tertua dalam ilmu hubungan internasional menjelaskan berbagai asumsi dasarnya dan hubungannya dengan konflik Thailand-Kamboja. Asumsi dasar realis yang pertama, dan yang paling utama adalah bahwa negara dipandang sebagai satu-satunya aktor utama dalam ilmu hubungan internasional, realis memandang bahwa aktor yang paling berpengaruh dan paling penting dalam ilmu hubungan internasional adalah negara. Dalam konflik Thailand-Kamboja, pentingnya peran negara sebagai aktor utama dalam hubungan internasional sangat terasa. Hal ini dibuktikan dengan tidak signifikannya peran aktor lain, selain negara dalam konflik Thailand-Kamboja ini. Semisal, keberadaan Organisasi Internasional seperti PBB ataupun ASEAN, yang ternyata tidak mampu memberi signifikansinya dalam penyelesaian masalah konflik bersenjata Thailand-Kamboja. Masalah Thailand-Kamboja tersebut hanya akan dan mungkin dapat diselesaikan bila negara-negara yang berkonflik, dalam hal ini Thailand dan Kamboja bersedia untuk berdamai; yang 2



400-an Warga Thailand Tinggalkan Kamboja. http://www.inilah.com/berita/politik/2008/10/16/55350 /400-an-warga-thailand-tinggalkan-kamboja/, diakses pada 27 Oktober 2008, pukul 15.19. Page | 2



Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik . Universitas Indonesia



sayangnya dalam kasus ini belum terlaksana. Asumsi kedua kaum realis yang terbukti dalam kasus ini adalah bahwa hubungan antar negara adalah hubungan yang bersifat konfliktual dan konflik tersebut pada akhirnya harus diselesaikan melalui perang. Thailand dan Kamboja yang pada awalnya berhubungan baik, pada akhirnya juga akan berkonflik, seperti asumsi kaum realis. Realis memandang setiap hubungan antar negara pastilah mendatangkan konflik, karena dalam hubungannya tiap-tiap negara pasti akan mencari dan melakukan upaya-upaya sehubungan pemenuhan keinginan dan kepentingan nasional, sementara kepentingan nasional tiap negara tentulah berbeda-beda. Hal inilah yang menyebabkan akan mudah sekali terjadi benturan-benturan kepentingan dalam hubungan antar negara, yang pada akhirnya akan berbuntut pada timbulnya konflik antar negara. Dan realis memandang, satu-satunya jalan bagi penyelesaian itu adalah perang, di mana pihak yang kuat kemudian akan mengalahkan pihak yang lemah, dan pihak yang kalah kemudian akan melakukan apa yang diinginkan pihak pemenang perang. Konflik perebutan wilayah seluas 4,6 km2 di sekitar Kuil Preah Vihear antar Thailand-Kamboja kini sudah dapat dikatakan mencapai tahap perang, yang terjadi dengan adanya gencatan senjata yang kemudian menimbulkan tewasnya tiga korban dari tentara Kamboja. Perang ini, menurut realis, dapat dianggap sebagai jalan bagi penyelesaian konflik Thailand-Kamboja, atau dapat juga dianggap sebagai awal dari sebuah jalan panjang menuju terciptanya penyelesaian konflik Thailand-Kamboja. Asumsi dasar realis ketiga yang terbukti relevan digunakan dalam menganalisa konflik bersenjata Thailand-Kamboja adalah bahwa (dalam hubungan internasional) ada konflik kepentingan yang dalam, baik antar negara maupun antar masyarakat3. Menjelaskan mengenai anggapan kaum realis ini, penulis kembali menyebutkan kepentingan nasional Thailand dan Kamboja dalam wilayah seluas 4,6 km2 di sekitar Kuil Preah Vihear itu, yaitu bahwa baik Thailand maupun Kamboja ingin menguasai wilayah yang kaya akan sumber daya energi tersebut. Penguasaan akan wilayah yang menghasilkan minyak bumi dan gas alam 4 tersebut merupakan unsur yang sangat penting bagi pemenuhan power Thailand ataupun Kamboja, yang dapat dikatakan belum memiliki power yang terlalu besar. Kepemilikan akan sumber energi—terutama di masa-masa di mana energi dipandang sebagai sesuatu yang langka dan diperjuangkan oleh setiap negara seperti sekarang—merupakan hal yang dapat menaikkan bargaining position/posisi tawar suatu negara dalam dunia internasional, yang kemudian akan meningkatkan power suatu negara. Kepemilikan sumber energi tersebut juga kemudian akan membawa angin segar bagi perekonomian negara (dalam hal ini bagi Thailand atau Kamboja, tergantung wilayah itu akan jatuh ke tangan siapa), karena setiap negara akan berebut untuk membeli energi dari negara pemilik sumber energi tersebut. Penaikkan bargaining position yang kemudian berdampak pada peningkatan power yang dimiliki, serta kemajuan dalam bidang ekonomi; ketiga-tiganya merupakan unsur yang penting untuk mencapai kepentingan nasional setiap negara, dan ketiga unsur tersebut akan dapat dicapai dengan penguasaan wilayah seluas 4,6 km2 di sekitar Kuil Preah Vihear. Karena 3



4



Robert Jackson dan Georg Sorensen. Pengantar Studi Hubungan Internasional, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hal. 54. Brendan Brady and Thet Sambath. Preah Vihear and Oil. http://preahvihear.com/?p=6, diakses pada 28 Oktober 2008, pukul 03.30. Page | 3



Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik . Universitas Indonesia



itu, tidak heran wilayah tersebut begitu diperebutkan Thailand dan Kamboja—karena wilayah tersebut sangat krusial perannya dalam upaya pencapaian kepentingan nasional kedua negara. Penulis berpendapat perspektif realisme sangat tepat jika digunakan untuk menganalisa kasus konflik bersenjata Thailand-Kamboja, berdasarkan asumsi dasar realis bahwa dalam interaksi internasional antar negara, suatu konflik pasti terjadi. Konflik itu mutlak dan pasti ada dalam hubungan antar negara, karena setiap negara akan terus memperjuangkan kepentingan nasionalnya masing-masing tanpa peduli pada negara lain, inilah yang menyebabkan pandangan kaum realis sering dikatakan amoral—seperti pandangan Joseph Frankel yang mengatakan bahwa kaum realis cenderung menolak nilai moral universal, dan sebaliknya bertindak berdasarkan kepentingan diri dan lebih mementingkan kekuasaan/power daripada keadilan 5 . Walaupun terdengar kejam, namun nyatanya hal inilah yang terjadi dalam hubungan antar negara di dunia internasional. Faktanya, negara lebih sering bertindak atas dasar dan dengan pengaruh power6, dan karena itu, hal-hal lain seperti moralitas dan nilai universal seringkali tidak mendapat porsi semestinya dalam hubungan internasional. Penekanan hubungan internasional dalam masalah perolehan dan peningkatan power juga sangat cocok diterapkan dalam konflik bersenjata Thailand-Kamboja, dengan penjelasan yang kurang-lebih mirip dengan penjelasan unsur kepentingan nasional di atas. Untuk menyimpulkan, penulis kembali menyebutkan berbagai asumsi dasar realis yang kemudian telah dibuktikan kebenarannya dalam konflik bersenjata Thailand-Kamboja ini. Pertama, bahwa negara adalah satu-satunya aktor utama dalam hubungan internasional—yang dibuktikan dengan minimnya peran aktor non negara seperti Organisasi Internasional dalam konflik bersenjata Thailand-Kamboja ini. Kedua, bahwa hubungan antar negara adalah hubungan yang bersifat konfliktual dan konflik antar mereka hanya dapat diselesaikan melalui perang—yang lantas kebenarannya dibuktikan dengan pecahnya konflik bersenjata pada 15 Oktober 2008 lalu yang kemudian menewaskan dua tentara Kamboja sebagai akibat konflik perebutan wilayah yang berkepanjangan. Ketiga, asumsi bahwa adanya konflik kepentingan yang dalam antar negara dan antar masyarakat—yang kemudian dijelaskan dengan menyebutkan rasa sama-sama ingin memenuhi kepentingan nasional terkait dengan wilayah kaya minyak bumi dan gas alam yang sedang diperebutkan Thailand dan Kamboja, serta implikasi kepemilikan itu pada bargaining position dan power mereka. Serta keempat, pandangan bahwa kaum realis cenderung menolak nilai moral universal dan lebih mementingkan power daripada keadilan—yang terbukti dengan memburuknya hubungan Thailand dan Kamboja sebagai negara tetangga yang seharusnya menerapkan good neighbour policy, dan sebaliknya mulai saling menggunakan power-nya untuk menekan pihak yang lain. Berbagai asumsi realis di atas terbukti benar dan terjadi dalam konflik bersenjata Thailand-Kamboja, dan asumsi di atas kembali mengingatkan kita pada pandangan kaum realis yang menurut penulis paling mewakili seluruh pandangan lain, yaitu bahwa dalam dunia internasional, konflik merupakan hal yang mutlak dan pasti ada. Dan bahwa hubungan internasional akan selalu berkisar pada usaha saling menjatuhkan antar negara, demi tercapainya national interest masing-masing. 5 6



Benjamin Frankel. Roots of Realism, (London: Frank Cass and Company, 1996), hal.195. Clive Archer. International Organizations, (London : Routledge, 2000), hal. 79. Page | 4



Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik . Universitas Indonesia



Page | 5



Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik . Universitas Indonesia



DAFTAR REFERENSI



Archer, Clive. International Organizations. London : Routledge, 2000. Frankel, Benjamin. Roots of Realism. London: Frank Cass and Company, 1996. Jackson, Robert dan Georg Sorensen. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.



Rujukan dari internet : Brady, Brendan and Thet Sambath. Preah Vihear and Oil. http://preahvihear.com/?p=6, diakses pada 28 Oktober 2008, pukul 03.30. Manangka, Derek. Bara Dendam Thailand-Kamboja, Konflik Thailand dan Kamboja (1). http://www.inilah.com/berita/politik/2008/10/18/55775/bara-dendam-thailand-kamboja/, diakses pada 27 Oktober 2008, pukul 15.05. 400-an Warga Thailand Tinggalkan Kamboja. http://www.inilah.com/berita/politik/2008/10/16/55350 /400-an-warga-thailand-tinggalkan-kamboja/, diakses pada 27 Oktober 2008, pukul 15.19. Bentrok, Anggaran Militer Kamboja Ditingkatkan. http://www.inilah.com/berita/politik/2008 /10/17/55545/bentrok-anggaran-militer-kamboja-ditingkatkan/, diakses pada 28 Oktober 2008, pukul 06.20. Oil and Gas Resources. http://www.moc.gov.kh/national_data_resource/ Mine%20And%20Energy%20Resources/Oil%20and%20Gas%20Resources.html, diakses pada 28 Oktober 2008, pukul 06.20. Preah Vihear for Koh Kong and Natural Gas / Oil.http://antithaksin.wordpress.com/2008/10 /16/preah-vihear-for-koh-kong-and-natuaral-gasoil/, diakses pada 28 Oktober 2008, pukul 06.20.



Page | 6