Konflik Korea Utara Dan Selatan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KONFLIK KOREA UTARA DAN SELATAN A. Awal Terjadinya Perang Korea Menurut National Geographic, sejarah Perang Korea berakar dari pendudukan Jepang di Korea selama 1910-1945. Ketika Perang Dunia II berakhir dan Sekutu mulai membongkar Kekaisaran Jepang, nasib Semenanjung Korea menjadi tawar-menawar antara Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet. Pada 1948, Korea Utara dan Korea Selatan dipisah oleh garis paralel ke-38, garis lintang yang melintasi Semenanjung Korea. Korea Utara menjadi negara sosialis yang dipimpin Kim Il Sung dan didukung Uni Soviet, sedangkan Korea Selatan menjadi negara kapitalis yang dipimpin oleh Syngman Rhee dan didukung AS. Alasan mengapa Korea terbagi menjadi dua, karena diharapkan dapat menyeimbangkan kekuatan di Asia Timur, tetapi baik Korea Utara dan Korea Selatan memandang satu sama lain sebagai negara yang tidak sah. Serangkaian pertempuran perbatasan pun terjadi, hingga akhirnya berujung Perang Korea pada 1950. B. Kepentingan Amerika Serikat Dan Uni Soviet Terlibat Dalam Perang Korea Perang Korea dimulai pada 25 Juni 1950, ketika 75.000 Tentara Rakyat Korea Utara terjun melintasi batas paralel ke-38, yang memisahkan Republik Demokratik Korea di Utara yang didukung Soviet, dan Republik Korea di selatan yang pro-Barat. Invasi ini adalah aksi militer pertama di Perang Dingin. Pada Juli pasukan Amerika Serikat (AS) memasuki medan perang atas nama Korea Selatan, dan seperti biasa mereka memerangi komunisme. Namun, AS memasuki Perang Korea tanpa deklarasi perang resmi dan tidak melalui persetujuan Kongres. AS hanya menekan Dewan Keamanan PBB yang baru dibentuk, untuk mengizinkan penggunaan kekuatan guna membantu Korea Selatan. Presiden AS saat itu, Harry Truman, tidak meminta persetujuan Kongres, padahal lembaga itulah yang satu-satunya berwenang di "Negeri Paman Sam" untuk menyatakan perang. "Kami tidak berperang," kata Truman kepada pers pada 29 Juni 1950. "(Korea Selatan) diserang secara tidak sah oleh sekelompok bandit yang bertetangga dengan Korea Utara."



Terlepas dari pertanyaan tentang apakah Truman melampaui otoritas kepresidenan, keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Korea secara resmi dikaitkan dengan "tindakan polisi". Ketika Amerika Serikat berkepentingan membela Korea Selatan di Perang Korea, Uni Soviet juga memiliki keperluan untuk mendukung Korea Utara dan membantu China. Pada hari-hari awal Perang Korea, pasukan PBB sempat mendorong tentara Korea Utara ke perbatasan China, yang kemudian direspons China dengan mengerahkan lebih dari tiga juta tentara ke Korut. Sementara itu, Uni Soviet memasok dan melatih pasukan Korea Utara dan China, serta mengirim pilot untuk misi melawan pasukan PBB. C. Akhir Dari Perang Korea Pada musim panas 1951, pasukan kedua kubu terlibat pertempuran sengit di sekitar garis paralel ke-38. Korban-korban pun berjatuhan. Negosiasi kemudian dimulai pada Juli 1951, tetapi terhambat karena persoalan nasib tawanan perang. Meskipun banyak tawanan perang yang ditangkap oleh pasukan Amerika tidak ingin kembali ke negara asal mereka, baik Korea Utara maupun China bersikeras agar mereka dipulangkan sebagai syarat perdamaian. Serangkaian pertukaran tahanan pun terjadi menjelang gencatan senjata tahun 1953. Lebih dari 75.000 tahanan komunis dikembalikan, sedangkan tak kurang dari 22.000 tawanan perang yang membelot atau mencari suaka. Banyak juga tentara yang hilang pada akhir Perang Korea, dan keberadaannya tidak pernah diketahui. Sekitar 80.000 tentara Korea Selatan ditangkap di Korea Utara ketika perang Korea berakhir. Korut membantah telah menahan, tetapi para pembelot dan pejabat Korsel melaporkan tawanan perang itu dipekerjakan sebagai pekerja paksa. Sementara itu di kubu AS, ada lebih dari 7.500 tentara yang hilang. Perang Korea juga terlupakan di "Negeri Paman Sam", karena perhatian media tidak sebesar Perang Dunia I, Perang Dunia II, atau Perang Vietnam. Tanggal 27 Juli 1953, Korea Utara, China dan Amerika Serikat menandatangani perjanjian gencatan senjata Perang Korea.



Akan tetapi, Korea Selatan keberatan dengan pembagian Korea dan tidak menyetujui gencatan senjata atau menandatangani perjanjian damai formal. Jadi, meskipun pertempuran di medan laga telah berakhir, secara teknis Perang Korea masih berlangsung. Jumlah korban tewas dari Perang Korea diperkirakan hampir 40.000 dari militer AS, 46.000 dari tentara Korea Selatan, 215.000 tentara Korea Utara, 400.000 tentara China, dan 4 juta warga sipil. D. Alasan Korsel Dan Korut Tidak Bersatu Upaya reunifikasi untuk menyatukan Korea Selatan dan Korea Utara belum ada titik terangnya, meski gencatan senjata seharusnya diakhiri dengan perjanjian damai. Syngman Rhee dari Korsel tidak mau menandatangani perjanjian damai karena ingin mengalahkan "saudaranya", sedangkan Korut terus mengembangkan senjata nuklir serta rudal jarak jauh untuk membendung invasi AS. Akibatnya Korea Utara dijatuhi serangkaian sanksi dari Dewan Keamanan PBB, dan Amerika Serikat masih menempatkan 28.500 tentaranya di Korea Selatan. Hampir 70 tahun lamanya sejak gencatan senjata Perang Korea, Korsel dan Korut belum bersatu karena sama-sama mengeklaim sebagai penguasa sah dari Semenanjung Korea.



KONFLIK JEPANG- CHINA Pada tahun 1915, Jepang mengeluarkan Dua Puluh Satu Permintaan terhadap Tiongkok untuk menambah kepentingan dalam bidang politik dan perdagangan dengan Tiongkok. Setelah Perang Dunia I, Jepang merebut kekuasaan daerah Shandong dari Jerman. Tiongkok di bawah pemerintahan Beiyang tetap terpecah-belah dan tidak mampu untuk melawan serbuan



asing



sampai Ekspedisi



Utara tahun



1926-1928,



yang



dilancarkan



oleh Kuomintang (KMT, atau Partai Nasionalis Tiongkok), pemerintahan saingan yang berpusat di Guangzhou. Ekspedisi Utara meluas ke seluruh Tiongkok hingga akhirnya terhenti di Shandong. Pemimpin militer Beiyang, Zhang Zongchang yang didukung Jepang berusaha menghentikan gerak maju Pasukan Kuomintang dalam menyatukan Tiongkok. Situasi ini mencapai puncaknya ketika pasukan Kuomintang dan Jepang terlibat dalam pertempuran yang disebut Insiden Jinan tahun 1928. Pada tahun yang sama, pemimpin militer Manchuria, Zhang Zuolin juga dibunuh karena ia tidak lagi mau bekerja sama dengan Jepang. Setelah insiden-insiden ini, pemerintah Kuomintang di bawah pimpinan Chiang Kaishek akhirnya berhasil menyatukan Tiongkok pada tahun 1928. Walaupun demikian, sejumlah pertempuran antara Tiongkok dan Jepang terus berlanjut karena meningkatnya nasionalisme Tiongkok, dan untuk memenuhi salah satu tujuan dari Tiga Prinsip Rakyat, yaitu untuk mengeluarkan Tiongkok dari imperialisme asing. Bagaimanapun, Ekspedisi Utara hanya mampu menyatukan Tiongkok secara nama saja, dan perang saudara pecah di antara para mantan pemimpin militer dan faksi saingan, Kuomintang. Sebagai tambahan lagi, para komunis Tiongkok memberontak terhadap pemerintah pusat setelah melakukan pembersihan terhadap anggotanya. Karena situasi-situasi demikian, pemerintahan pusat Tiongkok mengalihkan banyak perhatian pada perang-perang saudara dan mengikuti kebijakan "pendamaian internal didahulukan sebelum melawan pihak asing". Situasi ini memberikan kesempatan yang mudah bagi Jepang untuk melanjutkan agresinya. Pada tahun 1931, Jepang menginvasi Manchuria segera setelah Insiden Mukden. Setelah bertempur selama lima bulan, pada tahun 1932, negara boneka Manchukuo dibentuk dengan kaisar terakhir Tiongkok, Puyi, diangkat sebagai kepala negara. Tidak bisa menantang Jepang secara langsung, Tiongkok meminta bantuan kepada Liga Bangsa-Bangsa. Investigasi liga ini menerbitkan Laporan Lytton, yang mengutuk Jepang karena telah menyerang Manchuria, dan mengakibatkan Jepang mengundurkan diri dari Liga Bangsa. Sejak akhir tahun 1920-an dan selama tahun 1930-an, ketenangan adalah dasar dari komunitas internasional dan tidak ada satu negara pun yang ingin menunjukkan pendirian



secara aktif, melainkan hanya mengeluarkan kecaman-kecaman kecil. Jepang menganggap Manchuria sebagai sebuah sumber bahan baku yang tidak terbatas dan juga sebagai sebuah negara penyangga terhadap ancaman Uni Soviet. Konflik yang terjadi menyusul Insiden Mukden tidak terhenti. Pada tahun 1932, tentara Tiongkok dan Jepang bertempur dalam sebuah pertempuran singkat pada Insiden 28 Januari di Shanghai. Pertempuran ini menghasilkan demiliterisasi Shanghai, yang melarang Tiongkok untuk menempatkan tentara di kota mereka sendiri. Di Manchukuo, terdapat sebuah kampanye yang sedang berlangsung untuk mengalahkan tentara sukarelawan yang bangkit karena kekecewaan terhadap kebijakan yang tidak menentang Jepang. Pada tahun 1933, Jepang menyerang wilayah Tembok Besar, dan setelah itu, Gencatan Senjata Tanggu ditandatangani, yang memberi Jepang kendali atas provinsi Rehe dan sebuah zona demiliterisasi antara Tembok Besar dan wilayah Beiping-Tianjin. Jepang bertujuan untuk membuat wilayah penyangga yang lain, kali ini antara Manchukuo dan pemerintah Nasionalis Tiongkok yang saat itu beribu kota di Nanjing. Selain itu, Jepang semakin memperalat konflik internal antara faksi-faksi Tiongkok untuk mengurangi kekuatan mereka satu demi satu. Hal ini disebabkan karena fakta bahwa beberapa tahun setelah Ekspedisi Utara, kekuatan politik pemerintah Nasionalis hanya meluas di sekitar Delta Sungai Panjang (Yangtze), dan wilayah lain Tiongkok yang memang berada dalam kekuatan regional. Jepang sering membeli atau membuat hubungan khusus dengan kekuatan-kekuatan regional ini untuk merusak usaha pemerintah Nasionalis pusat untuk



menyatukan



Tiongkok.



Untuk



itu,



Jepang



mencari



berbagai pengkhianat



Tiongkok untuk bekerja sama dan membantu mereka memimpin beberapa pemerintahan otonomi yang bersahabat dengan Jepang. Kebijakan ini disebut Pengkhususan Tiongkok Utara (Hanzi: 華北特殊化; Pinyin: húaběitèshūhùa), atau yang lebih sering diketahui sebagai Gerakan Otonomi Tiongkok Utara. Provinsi bagian utara yang terlibat dalam kebijakan ini adalah Chahar, Suiyuan, Hebei, Shanxi, dan Shandong. Pada tahun 1935, di bawah tekanan Jepang, Tiongkok menandatangani Perjanjian He-Umezu, yang melarang KMT untuk menjalankan kegiatan partainya di Hebei dan secara langsung mengakhiri kekuasaan Tiongkok atas Tiongkok Utara. Pada tahun yang sama, Perjanjian Chin-Doihara ditandatangani dan mengakibatkan KMT disingkirkan dari Chahar. Dengan demikian, pada akhir 1935, pemerintahan pusat Tiongkok telah disingkirkan dari Tiongkok Utara. Sebagai gantinya, Majelis Otonomi Hebei Timur dan Majelis Politik HebeiChahar dibentuk oleh Jepang