Konseling Pastoral Pak Totok [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Nama



: Sindy Rampa Panggalo



Stambuk



: 2181.3714



Tugas



: Tinjauan Buku



Buku



: Pengantar Konseling Pastoral “Totok S. Wiryasoputra” Dalam buku pak Totok, sejarah konseling pastoral lahir pada awal abad XX dan pada



awal 1980-an konseling pastoral masuk ke Indonesia. Secara penomenologis konseling sudah ada sejak awal manusia berada di bumi. Konseling pastoral yang mewarisi saling mengasihi, memerhatikan, memedulikan, mendampingi,mengubah, dan menumbuhkan sudah berkembang sejak komunitas Kristen perdana. Secara generik tidak ada perbedaan antara konseling Kristiani dan non-kristiani, karena pada dasarnya prototip konseling dapat disebut sebagai pendampingan psiko-spiritual-sosial. Tanpa pendampingan pada hakikatnya manusia bukan manusia. Konseling pastoral ini bersifat contraktual, terencana, berkelanjutan,formal, terstruktur,tercatat, terevaluasi dan



dilakukan



secara



profesional.



Konseling



pastoral



berakar



pada



pendampingan.



Pendampingan dan konseling komunitas Kristiani harus berdasarkan pada perspektif inkarnasi Allah dalam pribadi dan karya Yesus Kristus, karena inkarnasi menggambarkan karakter Allah. Orang yang melakukan pendampingan merupakan hasil dari proses kulturnya secara alamiah dalam hidup sehari-hari. Penulis menggunakan karya Yesus sebagai titik awal sejarah perkembangan pendampingan dan konseling pastoral. Kemudian penulis membaginya kedalam tiga periode yaitu pra-modern, modern, dan post-modern. Penulis juga mengemukakan faktor eksternal yang menyebabkan kelahiran konseling pastoral memiliki berbagai halangan yaitu pekerjaan sosial, psikologi, dan filsafat pragmatisme. Kemudian ada juga faktor internal yang menurut penulis lebih dominan yaitu pendekatan ilmiah dalam memahami teks dan konteks, psikologi agama, pengangguran mantan pendeta tentara, dan kekuatiran pendeta akan kehilangan maut. Kemudian penulis juga mengemukakan akan kecenderungan-kecenderungan konseling pastoral yang pertama pada dekade pertama dan kedua ditandai dengan lahirnya gerakan Emmanuel yang dirintis oleh Dr. Elwood Worcester. Pada dekade ketiga ditandai oleh usaha yang dilakukan oleh William Sebald Keller di Ohio. Dekade keempat, pada tahun 1930-an ditandai dengan kelahiran The Council Of for Clinical Training of Theological Studies. Dekade kelima, pada tahun 1940-an dunia psikologi dan konseling di Amerika Serikat mulai dipengaruhi



oleh psikologi kepribadian. Pada dekade 1950-an, arus Rogerian dan psikologi kepribadian makin kuat pengaruhnya. Dekade tahun 1960-an dan 1970-an, konseling pastoral dan pendidikan atau pelatihan profesi konselor pastoralnya telah mencapai titik kedewasaan yang optimal. Dekade 1980-an konseling pastoral mulai peduli akan masalah politik, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Konseling pastoral bisa juga dikatakan layanan kesehatan mental dan pertolongan antar manusia. Konseli dan konselor harus memiliki pemahaman yang utuh tentang manusia agar semuanya dapat terlaksana dengan baik. Karena itu kita harus memahami manusia secara holisti. Holistik artinya keseluruhan, utuh, lengkap, sehat dan sempurna. Dengan memahami hal ini maka dapat mendorong kita untuk memedulikan manusia secara utuh bukan malah menambah masalah manusia. Seseorang itu dapat dikatakan sehat bukan hanya karena tidak ada penyakit atau keluhan tertentu dalam dirinya, melainkan juga mampu hidup secara utuh baik itu secara fisik, mental, emosional, kejiwaan, sosial, dan spiritual. Manusia adalah makhluk sosial yang akan selalu berinteraksi dan berelasi, dalam keadaan sendiri pun, manusia tidak bisa dikatakan sendiri, karena bisa saja dalam kesendiriannya dia berinteraksi dengan dirinya sendiri. Jadi pada hakikatnya keberadaan manusia itu selalu berhadapan dengan sang lain. Manusia itu bertumbuh melalui proses menjumpai dan dijumpai dan konseling pastoral berkembang sebagai akibat langsung dari hakikat manusia keperjumpaan dan pada dasarnya seorang konselor menolong konseli bersedia menjumpai dirinya sendiri dan persoalannya secara terbuka. Menurut penulis ada tujuh kesalahpahaman pengertian konseling pastoral, yaitu, banyak yang menganggap konseling pastoral itu adalah proses percakapan, proses wawancara, menganggap sebagai percakapan dan tempat untuk mengajar,mendidik,menasehati. Ada juga yang menganggap konseling pastoral itu adalah bimbingan, konsultasi, proses terapi atau pengobatan dan terakhir banyak orang yang menganggap konseling pastoral itu sama dengan berkhotbah, berceramah atau penginjilan. Pengertian sebenarnya tentang konseling pastoral yaitu proses perjumpaan pertolongan antara dua orang manusia sebagai subyek yakni konselor dan konseli dan bertujuan untuk menolong konseli agar dapat menghayati keberadaannya dan pengalamannya secara utuh dan penuh. Kedua belah pihak ini secara sukarela bersedia saling menjumpai dan dijumpai. Perjumpaan konseling pastoral bukan perjumpaan yang biasa tetapi khusus dan unik, dan keduanya harus bisa bersikap terbuka sehingga menghasilkan perubahan



dan pertumbuhan eksistensial. Konselor dalam menjalankan tugasnya tidak harus kehilangan dirinya dan tidak akan menjadi sama dengan konseli, sehingga posisi seorang konselor yaitu bisa dikatakan muncul saat dibutuhkan dan menghilang kembali pada saat tidak dibutuhkan. Penulis dalam bukunya juga mengemukakan tiga jenis pendampingan. Pertama, pendampingan yang dilakukan oleh semua anggota keluarga dimanapun mereka tinggal dan biasa pendampingan ini disebut pendampingan eksistensial. Kedua, pendampingan yang dilakukan oleh para pengemban profesi selain konselor dan pendampingan ini disebut pendampingan fungsional. Ketiga, pendampingan yang dilakukan oleh orang professional yang telah dididik dan dilatih untuk melakukan konseling profesioanl dan pendampingan ini disebut pendampingan konselor. Menurut penulis teologi pastoral



adalah bagian dari teologi praktika. Teologi praktika



menyangkut seluruh praksis gereja dan teologi pastoral berkaitan dengan jabatan, wewenang, tugas, fungsi dan pekerjaan seorang pastor, pendeta atau gembala sidang. Teologi pastoral dan konseling pastoral hendaknya didasarkan pada cinta kasih serta kepedulian gereja/ jemaat kepada warga/jemaat. Perlu kita ketahui bersama bahwa konseling pastoral dan CPE memiliki hubungan yang erat dan susah untuk dibedakan tetapi bukan berarti kita dapat menyimpulkan bahwa keduannya sama, karena CPE dapat menjadi awal dari orang yang ingin belajar konseling pastoral, namun seorang yang belajar menjadi konselor pastoral tidak harus melalui CPE. Konseling pastoral adalah bantuan psikologis spiritual bagi orang yang sedang mengalami krisis kehidupan. Krisis ini muncul secara tiba-tiba dan dapat memunculkan penderitaan batin sehingga dengan pertimbangan ini tujuan konseling yaitu membantu konseli mengalami pengalamannya dan menerima kenyataan, membantu konseli mengungkapkan diri secara penuh dan utuh, berubah, bertumbuh, dan berfungsi secara maksimal, dapat menciptakan komunikasi yang sehat, membantu konseli bertingkah laku baru, bertahan dalam situasi baru dan terakhir membantu konseli menghilangkan gejala disfungsional. Dari tujuan diatas konseling pastoral juga berfungsi untuk menyembuhkan, menopang, membimbing, memperbaiki hubungan, dan memberdayakan. Agar tujuan dan fungsi itu dapat berjalan dengan baik maka proses konseling itu yang pertama, menciptakan kepercayaan konseli sehingga konseli percaya dan mempersilakan konselor masuk dalam kehidupannya. Kedua, mengumpulkan informasi, data, fakta, termasuk riwayat hidup konseli dan persoalan atau gangguan yang dialaminya. Ketiga, dari data yang terkumpul maka, konselor mengambil kesimpulan sementara dan melakukan lagi konseling pastoral berikutnya dan membuat diagnosa final. Keempat, pembuatan



rencana tindakan pertolongan. Kelima, setelah membuat rencana tindakan pertolongan, maka semua rencana tadi dilakukan secara berkesinambungan. Keenam, melihat kembali dan melakukan evaluasi atas seluruh proses yang telah dilakukan. Dan proses terakhir yaitu mengakhiri seluruh proses kontrak konseling dan memutuskan hubungan kontrak pertolongan. Seorang konselor itu harus bisa menguasasi semua ilmu tidak hanya ilmu konseling pastoral, berkualitas dan menjalani praktikum konseling selama 400-1200 jam, dan juga harus memiliki kepribadian dan keterampilan berelasi sehingga mampu bersikap tepat ketika bersama dengan konseli. Ada 10 sikap seorang konselor pastoral yang dikemukakan oleh penulis, yaitu pertama memiliki rasa empati karena ketika konselor tidak memiliki rasa empati maka dengan mudah tergelincir dan bisa jadi dia bukan lagi disebut konselor. Ketika konselor dapat merasa empati dengan konseli maka dengan mudah dia masuk ke dunia konselinya. Kedua, konselor harus bisa tertarik kepada kehidupan dan krisis yang dialami oleh konselinya. Tertarik disini dalam artian senang, betah berada bersama dengan konselinya. Ketiga, konselor percaya pada proses terutama yang berkaitan dengan waktu yang dipakai oleh konseli dalam proses menyelesaikan krisisnya. Keempat, konselor harus bisa bersifat terbuka dengan inti krisis hidup yang dialami konseli. Kelima, konselor harus lebih sehat daripada konseli, maka dari itu konselor harus memiliki sikap yang lebih spontan. Keenam, konselor harus bersikap tulus hati dalam artian tidak bersikap pura-pura dalam menolong konseli. Ketujuh, sebelum melakukan konseling pastoral konselor harus bisa mengenal dirinya lebih dalam terlebih dahulu. Kedelapan, memiliki sikap holestik yang mampun melihat konseli dari seluruh segi kehidupannya. Kesembilan, bersikap universalistik. Kesepuluh, konselor bersikap otonom yang memiliki hak dan kemampuan untuk mengatur diri sendiri, tidak memaksa konseli untuk menginformasikan segala masalah konseli karena konseli juga memiliki privasi, tidak hanyut, tidak kehilangan diri dan terus bersikap netral. Pak Totok juga menjelaskan tentang keterampilan konselor pastoral yang menciptakan hasil ganda yaitu konselor harus mampu membantu konseli memecahkan masalahnya dan juga mampu membuat proses konseling itu berkualitas dan hasil akhir juga berkualitas. Ada 10 keterampilan konselor pastoral berdasarkan pengamatan penulis yaitu,pertama mendengarkan dalam artian tidak hanya dengan telinga, melainkan juga dengan pikiran, perasaan, mata batin dan hati. Kedua, memperjelas dalam artian konselor harus memperjelaskan kembali pesan atau



berita yang disampaikan konseli karena pikiran konseli masih dalam keadaan kacau jadi bisa saja konseli lupa apa yang telah ia dikatakan. Ketiga, memantulkan dalam artian konselor harus bisa menjadi cermin yang sempurna yang dapat memantul kepada konseli sehingga konseli dapat melihat wajahnya sendiri dengan jelas. Keempat, menafsir dalam artian konselor dapat membuat konseli menghayati krisis kehidupan yang dialaminya sehingga konseli dapat menemukan makna baru dari pengalamannya ini. Kelima, mengarahkan dalam artian keterampilan ini konselor hanya membuat jelas arah dan sasaran perjumpaan yang terjadi. Keenam, memusatkan dalam artian konselor harus bisa berpusat pada satu masalah konseli karena konseli dalam keadaan yang tidak baik jadi tidak heran jika konseli arahnya kesana-kemari. Ketujuh, meringkas dalam artian konselor meringkas semua yang telah dibahas sehingga membuat konseli melihat seluruh perjumpaan dan dapat mengambil keputusan selama pertemuan mereka. kedelapan, memberi informasi atau memberi nasihat, dan keterampilan ini digunakan konselor ketika konseli bingung dalam mengambil keputusan. Kesembilan, mengajukan pertanyaan dalam artian keterampilan ini dilakukan oleh konselor agar konselor dapat mengetahui informasi yang lebih dalam tentang konseli. Hal yang diperhatikan oleh konselor juga adalah tidak memunculkan pertanyaan yang bersifat ganda. Dan keterampilan yang terakhir adalah menantang dalam artian konselor disini mengajak konseli untuk bersedia bersikap realistik terhadap dirinya sendiri dna hal ini tentu membuat konseli tertantang. Model dan teknik yang dikemukan oleh penulis ada 9 yaitu model psikoanalisis, eksistensial,



berpusat



pada



person/klien,



gestalt,



Adlerian,



analisis



transaksional,



behavioral,emotif-rasional, dan yang terakhir realitas. Dari semua model ini tentu memiliki kelemahan dan kelebihan, maka dari itu model apa yang harus kita gunakan?, itu tergantung dari konselor dan tentu konselor kembali pada teori dasar tentang manusia sebagai makhluk holistik dan keperjumpaan dan juga kembali pada konselor yang harus bersikap selektif,kreatif,efektif, dan efesien dalam menggunakan teknik-teknik dalam setiap model yang ada dan tentu harus memperhatikan konteks dan persoalan yang dihadapai oleh konseli. Menggunakan sarana keagamaan dalam melaksanakan konseling pastoral merupakan salah satu sarana praktik dari konseling pastoral yang dapat menolong konseli memecahkan masalahnya. Tetapi satu hal yang harus kita perhatikan, bahwa kita boleh menggunakan sarana itu dengan catatan kita harus bertanggung jawab penuh dalam penggunaannya karena saranan ini



adalah sarana yang suci, jangan hanya karena ingin di anggap kreatif sehingga asal menggunakan sarana tersebut tanpa memahami dan mempercayai kegunaannya, karena sarana ini dipakai untuk membantu konseli menghayati hidupnya secara penuh dan utuh sehingga dia bisa berubah dan bertumbuh. Jenis-jenis sarana keagamaan itu seperti: Doa, Alkitab, musik/nyanyian, Ziarah, Ibadah, penumpangan tangan dan sarana yang lain yaitu minyak, air, lilin, roti, anggur, bunga, dll. Dalam konseling pastoral meskipun kita sudah menjadi konselor yang hebat, kita harus tetap sadar kalau kita manusia yang penuh keterbatasan, karena itu tidak menutup kemungkinan kita merujukkan konseli kita kepada kolegas konselor atau profesi lain, bukan berarti kita lepas tangan atau kita tidak mampun lagi menyelesaikan masalah konseli, tetapi semua itu di lakukan demi hasil konseling yang lebih baik dan harus kita tanamkan bahwa kita merujuk demi konseli bukan demi konselor. Merujuk ini bisa terjadi ketika konselor sudah tidak memiliki waktu yang cukup untuk konseli, ketika konseli datang kepada konselor dan konselor juga sedang mengalami masalah, ketika konselor tidak memiliki keterampilan dan pengetahuan sesuai dengan masalah konseli, ketika konseling pastoral yang dilakukan pelan-pelan berubah dari hubungan professional ke hubungan pribadi, hal ini terjadi karena batin konseli sedang tidak baik,maka sebagai konselor profesional harus mengambil tindakan merujukkan konseli ke konselor lain, ketika konselor memiliki hubungan keluarga dengan konseli, ketika konselor sedang sakit, ketika konselor tidak dapat menjangkau lokasi konseli. Dalam melaksanakan konseling pastoral etika profesi merupakan perhatian utama seorang konselor, sama seperti penulis kemukakan dalam bukunya tentang kode etik profesi harus menjadi perhatian utama konselor karena manusia adalah ciptaan Tuhan yang sangat berharga karena itu konselor terus mendampingi konseli dalam proses menjadi makhluk otonom dan mulia. Konseling pastoral adalah usaha yang serius karena itu konselor harus sungguhsungguh dalam melaksanakan konseling pastoral dan tidak bersifat amatir atau main-main. Konselor memiliki hak istimewa untuk melayani dan menolong konseli, dan juga konselor diundang secara khusus oleh konseli untuk masuk kedalam dunianya, sehingga konselor harus menjaga kepercayaan konseli dan jangan perna menyalahgunakan kepercayaan itu. Dalam konseling pastoral rahasia konseli pasti akan terungkap karena itu etika profesi disini harus diperhatikan, dimana konselor memiliki tanggung jawab yang besar dalam menjaga rahasia



konseli. Setiap orang memiliki privasi, begitupun dengan konseli, karena itu konselor tidak harus memaksakan konseli untuk mengungkapkan semua informasi tentang dirinya. Dan yang terakhir konselor tidak dapat bekerja sendiri dalam menyelesaikan masalah konseli, karena itu konselor harus menjalin kebersamaan dengan profesi lain atau membuat tim kerja profesi konselor pastoral agar mendapatkan hasil yang maksimal. Dengan membaca buku karya pak Totok, saya mendapatkan banyak manfaat selaku konselor, dimana dari buku ini proses, model dan teknik konseling pastoral yang dikemukan oleh penulis dapat saya bandingkan dengan proses,model, dan teknik yang selama ini saya lakukan, dan hal ini merupakan suatu tambahan ilmu yang luar biasa bagi saya sehingga proses konseling yang saya lakukan lebih maksimal dan tersistematika. Kemudian dari buku ini saya juga dapat mengintropeksi diri saya sebagai konselor akan sikap saya dalam melakukan konseling pastoral karena penulis juga mengemukakan 10 sikap yang dimiliki oleh konselor, dan 10 keterampilan konselor dapat memperlengkapi saya ketika sedang menghadapi konseli. Lalu sarana yang digunakan ketika melaksanakan konseling pastoral dapat memberikan saya ide yang lebih kreatif sesuai dengan penjelasan dari setiap sarana yang di kemukakan oleh penulis dan buku ini menjelaskan tujuan dari masing-masing sarana itu, sehingga mempermudah saya untuk mengerti arti sarana ini dan menggunakannya sesuai dengan tujuannya. Dari buku ini mengingatkan kepada saya bahwa saya dapat menggunakan sarana tersebut tetapi harus mengetahui dan memahami tujuan dan kegunaannya agar konseling pastoral dapat berjalan dengan baik dan sarana itu saya gunakan bukan dengan alasan agar saya disebut konselor yang hebat dan kreatif tetapi semata-mata karena kebutuhan konseli. Buku ini juga membuat saya semakin rendah hati karena meskipun saya adalah konselor yang hebat tetapi tentu saya memiliki kekurangan karena itu merujuk konseli ke konselor lain atau profesi lain juga perlu, dan dari buku ini mengingatkan saya bahwa merujuk konseli bukan karena saya tidak mampu tetapi demi konseli mendapatkan hasil yang maksimal. dan terakhir dari buku ini, saya mendapatkan ilmu etika profesi seorang konselor, yang dapat memperlengkapi saya sehingga saya bisa menjadi konselor yang berwibawah, totalitas,rendah hati dan dapat dipercaya penuh oleh konseli. Ketika orang lain membaca buku karya Pak Totok ini, menurut saya mereka akan tertolong apalagi ketika dia adalah orang awam dalam dunia konseling pastoral. Karena buku ini menjelaskan juga kesalahpahaman masyarakat luas tentang pengertian konseling pastoral,



dengan demikian buku ini dapat mengubah pikiran mereka dan juga membuat mereka sadar apakah selama ini mereka salah atau benar dalam memahami konseling pastoral. Kemudian ketika orang lain sedang membaca buku ini dan dia dalam keadaan krisis kehidupan atau dia adalah adalah konseli, maka dia dapat tertolong dengan penjelasan proses konseling pastoral, penjelasan sikap seorang konselor, dan etika profesi seorang konselor yang dapat membuat orang ini terinspirasi dan yakin sehingga konseli mengundang konselor masuk dalam masalahnya karena orang ini sudah tahu tugas dan tanggungjawab seorang konselor. Manfaat yang didapatkan Gereja dari buku ini dalam pelaksanaan konseling pastoral adalah Gereja dapat tahu proses-proses dalam melaksanakan konseling dimana proses ini menjadi pertimbangan dan masukan yang didapatkan Gereja sehingga ketika Gereja melakukan konseling pastoral kepada jemaat sudah ada semacam kisi-kisi proses yang harus konselor lakukan dan tahap demi tahap dalam melaksanakan konseling sangat jelas dan tentu konseli puas akan perjumpaan itu. Sikap sebagai seorang konselor yang di bahas dalam buku ini membuat Gereja terus intropeksi diri dan sadar diri bahwa ternyata sikap yang ditunjukkan kepada konseli itu salah atau benar, jadi dari buku ini ada pedoman sikap yang Gereja terima dan harus lakukan. Kemudian Gereja dapat tahu sarana apa saja yang digunakan ketika melakukan konseling pastoral dan yang dikemukakan dalam buku ini membuat Gereja termotivasi sehingga ketika Gereja melakukan konseling pastoral kepada jemaat, Gereja dapat menggunakan sarana itu tetapi bukan hanya karena ingin di anggap hebat, berkembang, dan kreatif tetapi betul-betul memaknai dan tahu tujuan dari sarana itu. Sarana yang disebutkan dalam buku sangat berhubungan dengan Gereja, sehingga Gereja lebih mudah dalam menggunakannya. Dan manfaat yang besar didapatkan Gereja dari buku ini yaitu etika profesi konselor. Dari buku ini Gereja dapat belajar etika profesi konselor, sehingga banyak yang percaya kepada Gereja selaku konselor dan banyak krisis kehidupan yang diselesaikan Gereja dengan anggota jemaat karena Gereja yang sangat memperhatikan etika profesi.