Konsep Berduka [PDF]

  • Author / Uploaded
  • ubaid
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PAPER KEBUTUHAN AMAN NYAMAN KONSEP BERDUKA (GRIEF) Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Kebutuhan Aman Nyaman



Disusun oleh : Annisa Ika S.



(22020114120026)



Arintan Nur Safitri



(22020114120046)



Aryani Wahyuningsih



(22020114120013)



Avinda Deviana



(22020114120028)



Dwi Putri Puspitarini



(22020114120029)



Fera Ayu Fitriyani



(22020114120031)



Niken Kusumaningrum



(22020114120019)



Noor Dhyana M.



(22020114120017)



Tara Najmia L. S.



(22020114120014)



Ubaid Hanif N.



(22020114120016)



Umi Afrikhah



(22020114120024)



JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2015



A. DEFINISI DAN PROSES BERDUKA Berduka atau dukacita adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas, susah tidur, dan lain-lain. (Potter & Perry, 2005) Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. Perilaku dan perasaan yang berkaitan dengan proses berduka terjadi pada individu yang menderita kehilangan seperti perubahan fisik atau kematian teman dekat. Proses ini juga terjadi ketika individu menghadapi kematian mereka sendiri. Seseorang yang mengalami kehilangan, keluarganya, dan dukungan sosial lainnya juga mengalami dukacita. (Potter & Perry, 2005) Teori Proses Berduka Tidak ada cara yang paling tepat dan cepat untuk menjalani proses berduka. Konsep dan teori berduka hanyalah alat yang dapat digunakan untuk mengantisipasi kebutuhan emosional seseorang dan keluarganya, serta rencana intervensi untuk membantu mereka memahami dukacita dan menghadapinya. Berikut penjelasan teori proses berduka dari beberapa pakar. 1. Teori Engels Menurut Engels (1964) proses berduka mempunyai beberapa fase yang dapat diaplikasikan pada seseorang yang sedang berduka maupun menjelang ajal. Berikut beberapa fase yang dilalui : a. Fase I (shock dan tidak percaya) Seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan mungkin menarik diri, duduk malas, atau pergi tanpa tujuan. Reaksi secara fisik termasuk pingsan, diaporesis, mual, diare, detak jantung cepat, tidak bisa istirahat, insomnia dan kelelahan. b. Fase II (berkembangnya kesadaran) Seseoarang mulai merasakan kehilangan secara nyata/akut dan mungkin mengalami putus asa. Kemarahan, perasaan bersalah, frustasi, depresi, dan kekosongan jiwa tiba-tiba terjadi. c. Fase III (restitusi) Berusaha mencoba untuk sepakat/damai dengan perasaan yang hampa/kosong, karena kehilangan masih tidak dapat menerima perhatian dari seseorang yang bertujuan untuk mengalihkan kehilangan seseorang. d. Fase IV Menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan terhadap almarhum. Bisa merasa bersalah dan sangat menyesal tentang kurang perhatiannya di masa lalu terhadap almarhum. e. Fase V



Kehilangan yang tak dapat dihindari harus mulai diketahui/disadari. Sehingga pada fase ini diharapkan seseorang sudah dapat menerima kondisinya. Kesadaran baru telah berkembang. 2. Teori Kubler-Ross Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross (1969) adalah berorientasi pada perilaku dan menyangkut 5 tahap, yaitu sebagai berikut : a. Penyangkalan (Denial) Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat menolak untuk mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan. Pernyataan seperti “tidak, tidak mungkin seperti itu!” atau “tidak akan terjadi pada saya!” sangat umum dilontarkan. Reaksi fisik : letih, lemah, diare, gelisah, sesak nafas dan nadi cepat. b. Kemarahan (Anger) Individu mempertahankan kehilangan dan mungkin “bertindak lebih” pada setiap orang dan segala sesuatu yang berhubungan dengan lingkungan. Pada fase ini orang akan lebih sensitif sehingga mudah sekali tersinggung dan marah. Hal ini merupakan koping individu untuk menutupi rasa kecewa dan merupakan menifestasi dari kecemasannya menghadapi kehilangan. Reaksi fisik : nadi cepat, tangan mengepal, susah tidur, muka merah, bicara kasar, dan agresif. Contoh : "Saya benci dengan dia karena......, "Ini terjadi karena dokter tidak sungguh-sungguh dalam pengobatannnya". c. Penawaran (Bargaining) Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang halus atau jelas untuk mencegah kehilangan. Pada tahap ini, klien sering kali mencari pendapat orang lain. Contoh : "Kalau saja saya sakit, bukan anak saya....", "Kenapa saya ijinkan pergi. Kalau saja dia dirumah ia tidak akan kena musibah ini"., "Seandainya saya hati-hati, pasti hal ini tidak akan terjadi". d. Depresi (Depression) Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari makna kehilangan tersebut. Tahap depresi ini memberi kesempatan untuk berupaya melewati kehilangan dan mulai memecahkan masalah. Reaksi fisik : susah tidur, letih, menolak makan, dorongan libido menurun. Contoh : "Biarkan saya sendiri"., "Tidak usah bawa ke rumah sakit, sudah nasib saya". e. Penerimaan (Acceptance)



Reaksi fisiologi menurun dan interaksi sosial berlanjut. Kubler-Ross mendefinisikan sikap penerimaan ada bila seseorang mampu menghadapi kenyataan dari pada hanya menyerah pada pengunduran diri atau berputus asa. Contoh : "Ya sudah, saya iklaskan dia pergi.", "Apa yang harus saya lakukan supaya saya cepat sembuh". "Ya pasti dibalik bencana ini ada hikmah yang tersembunyi.” 3. Teori Martocchio Martocchio (1985) menggambarkan 5 fase kesedihan yang mempunyai lingkup yang tumpang tindih dan tidak dapat diharapkan. Durasi kesedihan bervariasi dan bergantung pada faktor yang mempengaruhi respon kesedihan itu sendiri. Berikut penjelasannya. a. Lahir sampai usia 2 tahun Tidak punya konsep tentang kematian. dapat mengalami rasa kehilangan dan dukacita. Pengalaman ini menjadi dasar untuk berkembangnya konsep tentang kehilangan dan dukacita. b. Usia 2 sampai 5 tahun Menyangkal kematian sebagai suatu proses yang normal. Melihat kematian sebagai sesuatu dapat hidup kembali. Mempunyai kepercayaan tidak terbatas dalam kemampuannya untuk membuat suatu hal terjadi. c. Usia 5 sampai 8 tahun Melihat kematian sebagai akhir, tidak melihat bahwa kematian akan terjadi pada dirinya. Melihat kematian sebagai hal yang menakutkan. Mencari penyebab kematian. d. Usia 8 sampai 12 tahun Memandang kematian sebagai akhir hayat dan tidak dapat dihindari. Mungkin tak mampu menerima sifat akhir dari kehilangan. Dapat mengalami rasa takut akan kematian sendiri. e. Usia remaja Memahami seputar kematian, serupa dengan orang dewasa. Harus menghadapi implikasi personel tentang kematian. menunjukkan perilaku berisiko. Dengan serius mencari makna tentang hidup lebih sadar dan tentang masa depan. 4. Teori Rando Rando (1993) mendefinisikan respon berduka menjadi 3 kategori seperti penjelasan berikut. a. Penghindaran Pada tahap ini terjadi shock, menyangkal dan tidak percaya. b. Konfrontasi



Pada tahap ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien secara berulang-ulang melawan kehilangan mereka dan kedukaan mereka paling dalam dan dirasakan paling akut. c. Akomodasi Pada tahap ini terjadi secara bertahap penurunan kedukaan akut dan mulai memasuki kembali secara emosional dan sosial dunia sehari-hari dimana klien belajar untuk menjalani hidup dengan kehidupan mereka. Berikut tabel perbandingan teori proses berduka : PERBANDINGAN TEORI PROSES BERDUKA ENGELS, 1964 Syok dan tidak percaya Berkembangnya



KUBLES-ROSS, 1969 Menyangkal



MARTOCCHIO, 1985



RANDO, 1991



Syok dan tidak percaya



Penghindaran



Marah



Kerinduan dan protes



Konfrontasi



kesadaran



Kesedihan yang Restitusi (ganti rugi)



Tawar-menawar



mendalam,



Idealisasi



Depresi



Reorganisasi (hasil)



Penerimaan



disorganisasi, putus asa Identifikasi kehilangan Reorganisasi dan



Akomodasi



restitusi (ganti rugi)



B. TIPE BERDUKA NANDA merumuskan ada dua jenis tipe berduka, yaitu berduka disantisipasi dan berduka disfungsional (Rachmad, 2011). 1. Berduka diantisipasi (anticipatory grief) adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu dalam merespon kehilangan yang aktual ataupun yang dirasakan seseorang, hubungan/kedekatan, objek atau ketidakmampuan fungsional sebelum terjadinya kehilanngan. Tipe ini masih dalam batas normal. Misalnya seorang istri yang suaminya sekarat, atau seorang gadis yang akan menjalani operasi di wajahnya yang pasti akan meninggalkan bekas yang buruk. 2. Berduka disfungsional (Pathologic or dysfunctional grief) adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu yang responnya dibesar-besarkan saat individu kehilangan secara aktual maupun potensial, hubungan, objek dan ketidakmampuan fungsional. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke tipikal, abnormal, atau kesalahan/kekacauan.



Berduka disfungsional dibedakan menjadi dua tipe : a. Unresolved grief Unresolved grief adalah berduka yang lama dan berat. b. Inhibited grief Inhibited grief adalah berduka tetapi gejala-gejalanya secara emosional ditekan tetapi nantinya akan muncul gejala somatik. Dysfunctional grieving ditandai dengan : a. Klien gagal berduka akibat kematian orang yang dicintai. Misalnya tidak menangis, tidak hadir pada pemakaman. b. Gejala-gejala akan muncul lagi pada saat-saat tertentu. Misalnya pada hari peringatan kematian, hari raya, dll. c. Menolak mengunjungi makam dan menolak upacara-upacara peringatan orang yang meninggal, walaupun peringatan tersebut adalah bagian dari budayanya. d. Masih terus mencari orang yang meninggal walaupun sudah lama. e. Tetap belum bisa membicarakan obyek yang hilang, misalnya selalu berkacakaca, suara menjadi serak. f. Setelah waktu yang lama masih melaporkan keluhan-keluhan fisik. g. Relasi dengan orang lain memburuk. C. REAKSI NORMAL KLIEN DENGAN BERDUKA Respons berduka seseorang terhadap kehilangan dapat melalui tahap-tahap berikut (Kubler-Rose, dalam Potter & Perry, 1997) 1. Tahap Pengingkaran “Tidak mungkin, ini tidak mungkin” Merupakan reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak percaya, mengerti, atau mengingkari kenyataan bahwa kehilangan benarbenar terjadi. Reaksi fisik yang terjadi pada tahap ini adalah letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernapasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah dan tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi ini dapat berakhir dalam waktu beberapa menit atau beberapa tahun. Tindakan : a. Memberi kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan perasaannya dengan cara : 1) Mendorong pasien untuk mengungkapkan perasaan berdukanya. 2) Meningkatkan kesabaran pasien secara bertahap tentang kenyataan dan kehilangan apabila sudah siap secara emosional. b. Menunjukkan sikap menerima dengan ikhlas dan mendorong pasien untuk berbagi rasa dengan cara : 1) Mendengarkan dengan penuh perhatian dan minat apa yang dikatakan oleh pasien tanpa menghukum atau menghakimi. 2) Menjelaskan kepada pasien bahwa sikap tersebut dapat terjadi pada orang yang mengalami kehilangan.



c. Memberikan jawaban yang jujur terhadap pertanyaan pasien tentang sakit, pengobatan dan kematian dengan cara : 1) Menjawab pertanyaan pasien dengan bahasa yang sudah dimengerti, jelas dan tidak berbelit-belit. 2) Mengamati dengan cermat respon pasien selama berbicara. 3) Meningkatkan kesadaran secara bertahap. 2. Tahap Marah “Kenapa saya? Ini tidak adil, siapa yang harus disalahkan” Yaitu individu menolak kehilangan. Kemarahan timbul sering diproyeksikan kepada orang lain atau dirinya sendiri. Orang yang mengalami kehilangan juga tidak jarang menunjukkan perilaku negatif, berbicara kasar, menolak pengobatan dan menuduh dokter/bidan yang tidak kompeten. Respon fisik yang terjadi; muka marah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal, dst. Tindakan : Mengizinkan dan mendorong pasien untuk mengungkapkan rasa marah secara verbal tanpa melawan dengan kemarahan : a. Menjelaskan kepada keluarga bahwa kemarahan pasien sebenarnya tidak ditujukan kepada mereka. b. Menizinkan pasien untuk menangis. c. Mendorong pasien untuk membicarakan rasa marahnya. d. Membantu pasien menguatkan system pendukung dengan orang lain. 3. Tahap Tawar-menawar “Saya akan lakukan apapun agar dapat bertahan beberapa tahun lagi” Terjadi penundaan kesadaran atas kenyataan terjadinya kehilangan dan dapat mencoba untuk membuat kesepakatan secara halus atau terangterangan seolaholah kehilangan tersebut dapat dicegah. Individu mungkin berupaya untuk melakukan tawar-menawar dengan memohon kemurahan Tuhan Yang Maha Esa. Tindakan : Membantu pasien dalam mengungkapkan rasa bersalah dan takut dengan cara : a. Mendengar ungkapan dengan penuh perhatian. b. Mendorong pasien untuk membicarakan takut atau rasa bersalahnya. c. Bila pasien selalu mengungkapkan “ kata...” atau “ seandainya....” Beritahu pasien bahwa bidan hanya dapat melakukan sesuatu yang nyata. d. Membahas bersama pasien mengenai penyebab rasa bersalah atau rasa takutnya. 4. Tahap Depresi.



“Apa gunanya lagi? Saya akan meninggal, saya tak peduli dengan apapun lagi” Pasien sering menunjukkan sikap menarik diri, kadang-kadang bersikap sangat penurut, tidak mau bicara, menyatakan keputusasaan, rasa tidak berharga bahkan bisa muncul keinginan bunuh diri. Gejala fisik : a. Menolak makan b. Susah tidur c. Letih d. Dorongan libido/ menurun e. Dan lain-lain Tindakan : a. Membantu pasien mengidentifikasi rasa bersalah dan takut dengan cara : 1) Mengamati perilaku pasien dan bersalah dengannya membahas perasaannya. 2) Mencegah tindakan bunuh diri atau merusak diri sesuai derajat resikonya. b. Membantu pasien mengurangi rasa bersalah dengan cara : 1) Menghargai perasaan pasien. 2) Membantu pasien menemukan dukungan yang positif dengan mengaitkan terhadap kenyataan. 3) Bersama pasien membahas pikiran yang selalu timbul. 5. Tahap Penerimaan “Semua akan baik-baik saja. Saya tidak dapat melawan ini, lebih baik saya bersiap diri untuk menghadapinya” Merupakan tahap yang berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran yang selalu berpusat kepada objek yang hilang akan mulai berkurang atau hilang. Individu telah menerima kenyataan kehilangan yang dialaminya dan memulai memandang ke depan. Tindakan : Membantu pasien menerima kehilangan yang tidak bisa dielakkan dengan cara : a. Membantu keluarga mengunjungi pasien secara teratur. b. Membantu keluarga berbagi rasa, karena setiap anggota keluarga tidak berada pada tahap yang sama pada saat yang bersamaan. c. Membahas rencana setelah masa berkabung terlewati. d. Memberi informasi akurat tentang kebutuhan pasien dan keluarganya. D. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROSES BERDUKA 1. Perkembangan manusia : Usia klien dan tahap perkembangan mempengaruhi respon terhadap berduka. Sebagai contoh : anak - anak tidak dapat memahami rasa kehilangan atau



kematian, tapi sering merasakan kecemasan akibat kehilangan objek dan terpisah dari orang tua. 2. Hubungan personal : Ketika rasa kehilangan melibatkan individu lain,



berkualitas dan arti



hubungan yang hilang akan mempengaruhi respon terhadap berduka. Dukungan sosial dalam pemulihan dari rasa kehilangan dan berduka. 3. Membantu perawat memahami secara lebih baik dampak dirasa kehilangan pada perilaku kesehatan dan kesejahteraan klien. Tekanan akibat kematian yang tidak diharapkan dan tiba-tiba memberikan tantangan yang berbeda dibanding dengan kematian karena penyakit kronis. 4. Stress koping : Pengalaman hidup memberikan strategi koping yang digunakan sesorang untuk mengatasi tekanan rasa kehilangan. Ketika strategi koping yang biasanya tidak berhasil individu memerlukan strategi yang baru. 5. Status sosial ekonomi : Status sosial ekonomi mempengaruhi kemampuan



sesorang



untuk



memasukkan dukungan dan sumber daya untuk beradaptasi dengan rasa kehilangan dan respon fisik terhadap tekanan. Ketika individu kekurangan sumber daya financial beban kehilangan menjadi berlipat. Sebagai contoh seorang klien dengan keterbatasan keuangan tidak dapat mengganti mobil yang rusak akibat kecelakaaan dan membayar tagihan pengobatan akibat kecelakaan tersebut. 6. Budaya dan etnik : Budaya seseorang dan struktur sosial lainnya (misalnya keluarga atau keanggotaan keagamaan) mempengaruhi interpretasi terhadap rasa kehilangan, membangun pengungkapan berduka yang dapat diterima, serta menyelengarakan stabilitas dan struktur di tengah kekacauan dan rasa kehilangan.



E. ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN BERDUKA GRIEVING (00136) Domain



: 9 Coping / Stress Tolerance



Class



: 2 Coping Responses



Batasan karakteristik : a. Perubahan tingkat aktifitas



b. Perubahan pola mimpi



c. Perubahan fungsi imun tubuh d. Gangguan fungsi neuro e. f. g. h. i. j. k.



l. Mempertahankan hubungan



endokrin Gangguan pola tidur Marah Menyesal Menyalahkan Keputusasaan Kacau Menemukan arti dari



m. n. o. p. q. r. s.



hingga meninggal Kepedihan Perilaku panik Perkembangan individu Gangguan psikologi Menderita Sikap yang tidak rela Mengalami kelegaan



kehilangan Faktor yang berhubungan : a. Mengantisipasi kehilangan hal yang bermakna (misal kepemilikan, pekerjaan, status, rumah, bagian dan proses tubuh). b. Mengantisipasi kehilangan orang yang terdekat. c. Mengantisipasi kematian orang yang terdekat. d. Kehilangan objek penting (misal kepemilikan, pekerjaan, status, rumah, bagian dan proses tubuh).



No.



Diagnosa Grieving (Berduka) 00136



Tujuan dan Kriteria Hasil Tujuan : Duka yang dirasakan oleh







Intervensi Bantu klien untuk mengontrol



klien dapat berkurang,







kemarahan Lakukan bimbingan antipatif







kepada klien Bantu klien mengatasi



 



peningkatan perasaan berduka Lakukan konseling dengan klien Beri dukungan emosional kepada



 



klien Beri promosi integritas keluarga Anjurkan kepada keluarga klien



dengan kriteria hasil : 



Klien mampu memecahkan







perasaan kehilangan Klien dapat mengungkapkan peristiwa kehilangan







menerima 



kehilangan Klien mampu mendeskripsikan arti







dari kehilangan Klien dapat berdiskusi dalam memecahkan











untuk member dukungan kepada



Klien dapat



masalah Pola tidur klien







klien Berikan tindakan kepada klien untuk meningkatkan waktu tidur







klien Berikan inspirasi kepada klien



Mandiri : Mendengarkan secara aktif tentang apa yang diceritakan klien : 



Buat tujuan dari interaksi yang dilakukan



dapat kembali



Rasional : untuk memfokuskan interaksi



normal Tingkat berdukaan



yang terjadi antara klien dengan perawat 



klien dapat berkurang



Tampilkan sesuatu yang menarik di depan klien



Rasional : supaya klien tertarik untuk melakukan interaksi dengan perawat 



Gunakan pertanyaan atau statement untuk mengungkapkan ekspresi pemikiran, perasaan, dan perhatian



Rasional : untuk mengetahui apa yang dirasakan klien 



Tampilkan kesadaran diri dan sensitivitas terhadap emosi



Rasional : supaya tidak menyinggung perasaan klien 



Gunakan tindakan non verbal untuk memfasilitasi komunikasi



Rasional : untuk mempermudah interaksi antara klien dan perawat 



Klarifikasi pemikiran, pesan untuk mendapatkan umpan balik dari klien



Rasional : supaya komunikasi dapat terjalin dengan baik Kolaborasi : 1. Terapi keluarga  Bantu keluarga untuk melakukan management strategi yang berpengaruh positif Rasional : agar keluarga dapat memberikan pengaruh positif kepada klien 



Fasilitasi strategi dalam rangka penurunan stres (dapat berkolaborasi dengan psikolog)



Rasional : untuk mempercepat proses penurunan stres klien 2. Dukungan spiritiual  Sediakan klien waktu khusus untuk melakukan aktivitas spiritual Rasional : supaya kebutuhan spiritual pasien terpenuhi 



Fasilitasi klien dalam meditasi, berdoa dan melakukan ibadah yang lainnya (dapat dilakukan dengan bantuan tokoh agama)



Rasional : untuk membantu klien dalam meningkatkan spiritualnya



F. DAFTAR PUSTAKA Laluyan, M. M., Kanine, E., Womiling, F. Gambaran tahapan kehilangan dan berduka pasca banjir pada masyarakat di kelurahan perkamil kota manado. Rahayu, E. B. (2008). Respon dan Koping. Diakses pada 4 Mei 2015, dari lib.ui.ac.id/file?file=digital/126756-TESIS0534%20Est%20N08r...pdf Eliana, M. (2011). Konsep Kehilangan. Diakses pada 4 Mei 2015, dari repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24757/4/Chapter%20II.pdf



Potter & Perry. 2005. Fundamental Keperawatan volume 1. Jakarta: EGC