10 0 181 KB
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN HEPATOMA
OLEH : PUTU NIHITA TRISA 14.901.0970
PROGRAM STUDI PROFESI NERS STIKES WIRA MEDIKA PPNI BALI 2015
A. KONSEP DASAR PENYAKIT 1. Pengertian Hepatoma atau Kanker Hati Primer, Karsinoma Hepatoselular adalah proses keganassan pada hati. Tumor ganas primer pada hati yang berasal dari sel parenkim atau epitel saluran empedu atau metastase dari tumor jaringan lainnya. Karsinoma hepatoselular atau hepatoma adalah tumor ganas hati primer dan paling sering ditemukan daripada tumor ganas hati primer lainnya seperti limfoma maligna, fibrosarkoma, dan hemangioendotelioma. Hepatocellular Carcinoma (HCC) atau disebut juga hepatoma atau kanker hati primer atau Karsinoma Hepato Selular (KHS) adalah satu dari jenis kanker yang berasal dari sel hati. Hepatoma biasa dan sering terjadi pada pasien dengan sirosis hati yang merupakan komplikasi hepatitis virus kronik. Hepatitis virus kronik adalah faktor risiko penting hepatoma, virus penyebabnya adalah virus hepatitis B dan C. 2. Etiologi a. Virus Hepatitis B Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan timbulnya hepatoma terbukti kuat, baik secara epidemiologis, klinis maupun eksperimental. Sebagian besar wilayah yang hiperendemik HBV menunjukkan angka kekerapan hepatoma yang tinggi. Umur saat terjadinya infeksi merupakan faktor resiko penting karena infeksi HBV pada usia dini berakibat akan terjadinya kronisitas. Karsinogenitas HBV terhadap hati mungkin terjadi melalui proses inflamasi kronik, peningkatan prolifirasi hepatosit, integrasi HBV DNA ke dalam DNA sel penjamu, dan aktivitas protein spesifik-HBV berinteraksi dengan gen hati. Pada dasarnya, perubahan hepatosit dari kondisi inaktif menjadi sel yang aktif bereplikasi menentukan tingkat karsinogenesis hati. Siklus sel dapat di aktivkan secara tidak langsung akibat dipicu oleh ekspresi berlebihan suatu atau beberapa gen yang berubah akibat HBV.
Infeksi HBV dengan pajanan agen onkogenik seperti aflatoksin dapat menyebabkan terjadinya hepatoma tanpa melalui sirosis hati. b. Virus Hepatitis C Di wilayah dengan tingkat infeksi HBV rendah, HCV merupakan faktor resiko penting dari hepatoma. Infeksi HCV telah menjadi penyebab paling umum karsinoma hepatoselular di Jepang dan Eropa, dan juga bertanggung jawab atas meningkatnya insiden karsinoma hepatoselular di Amerika Serikat, 30% dari kasus karsinoma hepatoselular dianggap terkait dengan infeksi HCV. Sekitar 5%-30% orang dengan infeksi HCV akan berkembang menjadi penyakit hati kronis. Dalam kelompok ini, sekitar 30% berkembang menjadi sirosis, dan sekitar 1%-2% pertahun berkembang menjadi karsinoma hepatoselular. Resiko karsinoma hepatoselular pada pasien dengan HCV sekitar 5% dan muncul 30 tahun setelah infeksi. Penggunaan alkohol oleh pasien dengan HCV kronis lebih berisiko terkena karsinoma hepatoselular dibandingkan dengan infeksi HCV saja. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa penggunaan antivirus pada infeksi HCV kronis dapat mengurangi resiko karsinoma hepatoselular secara signifikan. c. Sirosis Hati Sirosis hati merupakan faktor resiko utama hepatoma di dunia dan melatarbelakangi lebih dari 80% kasus hepatoma. Penyebab utama sirosis di Amerika Serikat dikaitkan dengan alkohol, infeksi hepatitis c, infeksi hepatitis b. Setiap tahun 3-5% dari pasien dengan sirosis hati akan menderita hepatoma. Hepatoma merupakan penyebab utama kematian pada sirosis hari. Pada otopsi pada pasien dengan sirosis hati, 20%-80% diantaranya telah menderita hepatoma. d. Aflatoksin Aflatoksin B1 (AFB1) merupakan mikotoksin yang diproduksi oleh jamur aspergillus. Dari percobaan pada hewan diketahui bahwa AFB1 bersifat karsinogen. Aflatoksin B1 ditemukan di seluruh dunia dan terutama banyak berhubungan dengan makanan berjamur. Pertumbuhan jamur yang menghasilkan aflatoksin berkembang subur pada suhu 13oC, terutama pada makanan yang menghasilkan protein. Di Indonesia terlihat sebagai makanan yang tercemar dengan aflatoksin seperti kacang-kacangan, umbi-umbian (kentang rusak, umbi rambat rusak, singkong dll), jamu, bihun, dan beras berjamur. Salah satu mekanisme hepatokarsinogenesisnya ialah kemampuan AFB1 menginduksi mutasi pada gen supresor tumor p53. Berbagai penelitian dengan menggunakan biomarker menunjukkan ada korelasi kuat antara pajanan aflatoksin dalam diet dengan morbiditas dan mortalitas hepatoma. e. Obesitas Suatu penelitian pada lebih dari 900.000 individu di Amerika Serikat diketahui bahwa terjadinya peningkatan angka mortalitas sebesar 5 kali akibat kanker pada
kelompok individu dengan berat badan tertinggi (IMT 35-40 kg/m 2) dibandingkan dengan kelompok individu yang IMT nya normal. Obesitas merupakan faktor resiko utama untuk non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD), khususnya non-alcoholic statohepatitis (NASH) yang dapat berkembang menjadi sirosis hati dan kemudian berlanjut menjadi hepatoma. f. Diabetes Melitus Tidak lama ditengarai bahwa DM menjadi faktor resiko baik untuk penyakit hati kronis maupun untuk hepatoma melalui terjadinya perlemakan hati dan steatohepatitis non-alcoholic (NASH). Disamping itu, DM dihubungkan dengan kadar insulin dan insulin-like growth factors (IGFs) yang merupakan faktor promotif potensial untuk kanker. Indikasi kuatnya asosiasi antara DM dan hepatoma terlihat dari banyak penelitian. Penelitian oleh EI Serang dkk. Yang melibatkan 173.643 pasien DM dan 650.620 pasien bukan DM menunjukkan bahwa insidensi hepatoma pada kelompok DM lebih dari 2x lipat diabandingkan dengan insidensi hepatoma kelompok bukan DM. g. Alkohol Meskipun alkohol tidak memiliki kemampuan mutagenik, peminum berat alkohol (>50-70 g/hari atau >6-7 botol/hari) selama lebih dari 10 tahun meningkatkan resiko karsinoma hepatoselular 5 kali lipat. Hanya sedikit bukti adanya efek karsinogenik langsung dari alkohol. Alkoholisme juga meningkatkan resiko terjadinya sirosis hati dan hepatoma pada pengidap infeksi HBV atau HVC. Sebaliknya, pada sirosis alkoholik terjadinya HCC juga meningkat bermakna pada pasien dengan HBsAg positif atau antiHCV positif. Ini menunjukkan adana peran sinergistik alkohol terhadap infeksi HBV maupun infeksi HCV.
3. Patofisiologi Virus Hepatitis B
Virus Hepatitis C
Aflatoksin
Alkohol, steroid anabolic, androgen yang berlebihan. Bahan kontrasepsi oral, penimbunan zat besi yang berlebihan dalam hati (hemochromatosis)
Integritas DNA virus ke DNA sel
Infeksi sel hati
Mutasi gen
Inflamasi
Peningkatan poliferasi hepatosit
Sirosis hepatic Hepatoma
Anoreksia
Asites
Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang dari Kebutuhan Tubuh
Dinding perut meregang
Penekanan Diafragma
Nyeri Akut
Gangguan pertukaran gas
Pembedahan Insisi bedah
Diskontinuitas jaringan
Luka post operasi
Resiko Infeksi
Nyeri Akut
4. Penentuan Stadium a. Stadium I : satu fokal tumor berdiameter 3 cm. Tumor terbatas pada segmen I
atau multifokal tumor terbatas pada lobus kanan atau lobus kiri hati. c. Stadium III : tumor pada segmen I meluas ke lobus kiri (segmen IV) atau ke lobus kanan segmen V dan VIII atau tuumor dengan invasi peripheral ke system pembuluh darah (vascular) atau pembuluh empedu (biliary duct) tetapi hanya terbatas pada lobus kanan atau lobus kiri hati. d. Stadium IV : multifocal atau diffuse tumor yang mengenai lobus kanan dan lobus kiri hati. Atau tumor dengan invasi ke dalam pembuluh darah hati (intra hepaticavaskular) ataupun pembeluh empedu (biliary duct) atau tumor dengan invasi ke pembuluh darah di luar hati (extra hepatic vessel) seperti pembuluh darah vena limpa (vena lienalis) atau vena cava inferior atau adanya metastase ke luar dari hati (extra hepatic metastase). 5. Manifestasi Klinis a. Gangguan nutrisi b. Penurunan berat badan c. Kehilangan kekuatan d. Anoreksia e. Anemia f. Nyeri abdomen dapat ditemukan disertai dengan pembesaran hati yang cepat serta permukaan yang teraba ireguler pada palpasi. 6. Pemeriksaan Penunjang a. Biopsi Biopsi aspirasi dengan jarum halus (fine needle aspiration biopsy) terutama ditujukan untuk menilai apakah suatu lesi yang ditemukan pada pemeriksaan radiologi imaging dan laboratorium AFP itu benar pasti suatu hepatoma. Cara melakukan biopsy dengan dituntun oleh USG ataupun CT scan mudah, aman, dan dapat ditolerir oleh pasien dan tumor yang akan di biopsy dapat terlihat jelas pada layar televise berikut dengan jarum biopsi yang berjalan persis menuju tumor, sehingga jelaslah hasil yang diperoleh mempunyai nilai diagnostik dan akurasi yang tinggi karena benar jaringan tumor ini yang diambil oleh jarum biopsy itu dan bukanlah jaringan sehat di sekitar tumor. b. Radiologi Untuk mendeteksi kanker hati stadium dini dan berperan sangat menentukan dalam pengobatannya. Kanker hepato selular ini bisa dijumpai di dalam hati berupa benjolan berbentuk kebulatan (nodule) satu buah, dua buah atau lebih atau bisa
sangat banyak dan diffuse (merata) pada seluruh hati atau berkelompok di dalam hati kanan atau kiri membentuk benjolan besar yang bisa berkapsul. c. Ultrasonografi Dengan USG hitam putih (grey scale) yang sederhana (conventional) hati yang normal tampak warna ke abuan dan texture merata (homogen). USG conventional hanya dapat memperlihatkan benjolan kanker hati diameter 2 cm - 3cm saja. Tapi bila USG conventional ini dilengkapi dengan perangkat lunak harmonic system bisa mendeteksi benjolan kanker diameter 1 cm- 2 cm, namun nilai akurasi ketepatan diagnosanya hanya 60%. d. CT-scan CT-scan sebagai pelengkap yang dapat menilai seluruh segmen hati dalam satu potongan gambar yang dengan USG gambar itu hanya bisa dibuat sebagian-seagian saja. CT scan dapat membuat gambar kanker dalam tiga dimensi dan empat dimensi dengan sangat jelas dan dapat pula memperlihatkan hubungan kanker ini dengan jaringan tubuh sekitarnya. e. Angiografi Angiografi ini dapat dilihat berapa luas kanker yang sebenranya. Kanker yang kita lihat dengan USG yang diperkirakan kecil sesuai dengan ukuran pada USG bisa saja ukuran sebenarnya dua atau tiga kali lebih besar. Angiografi bisa memperlihatkan ukuran kanker yang sebenarnya. f. MRI (Magnetic Resonance Imaging) MRI yang dilengkapi dengan perangkat
lunak
Magnetic
Resonance
Angiography (MRA) sudah pula mampu menampilkan dan membuat peta pembuluh darah kanker hati ini. g. PET (Positron Emission Tomography) PET (Positron Emission Tomography) yang merupakan alat pendiagnosis kanker menggunakan
glukosa
radioaktif
yang
dikenal
sebagai
fluorine18
atau
Fluorodeoxyglucose (FGD) yang mampu mendiagnosa kanker dengan cepat dan dalam stadium dini. Caranya, pasien disuntik dengan glukosa radioaktif untuk mendiagnosis sel-sel kanker di dalam tubuh. Cairan glukosa ini akan bermetabolisme di dalam tubuh dan memunculkan respon terhadap sel-sel yang terkena kanker. PET dapat menetapkan tingkat atau stadium kanker hati sehingga tindakan lanjut penanganan kanker ini serta pengobatannya menjadi lebih mudah. Di samping itu juga dapat melihat metastase (penyebaran). 7. Penatalaksanaan Medis
Pemilihan terapi kanker hati ini sangat tergantung pada hasil pemeriksaan radiologi dan biopsi. Sebelum ditentukan pilihan terapi, hendaklah dipastikan ukuran kanker, lokasi kanker di bagian hati yang mana, apakah lesinya tunggal (soliter) atau banyak (multiple), atau merupakan satu kanker yang sangat besar berkapsul atau kanker sudah merata pada seluruh hati, serta ada tidaknya metastasis (penyebaran) ke tempat lain di dalam tubuh penderita ataukah sudah ada tumor thrombus di dalam vena porta dan apakah sudah ada sirosis hati. Tahap penatalaksanaan dibagi menjadi dua yaitu tindakan non-bedah dan tindakan bedah. a. Tindakan Bedah Hati Digabung dengan Tindakan Radiologi Terapi yang paling ideal untuk kanker hati stadium dini adalah tindakan bedah yaitu reseksi (pemotongan) baian hati yang terkena kanker dan juga reseksi daerah sekitarnya. Pada prinsipnya dokter ahli bedah akan membuang seluruh kanker dan tidak akan menyisakannya lagi jaringan kanker pada penderita, karena bila tersisa tentu kankernya akan tumbuh lagi menjadi besar, untuk itu sebelum menyayat kanker, dokter ini harus tahu pasti batas antara kanker dan jaringan yang sehat. Radiologi lah satu-satunya cara untuk menetukan perkiraan pasti batas itu yaitu dengan pemeriksaan CT angiography yang dapat memperjelas batas kanker dan jaringan sehat, sehingga ahli bedah tahu di mana harus dibuat sayatan. Maka harus dilakukan CT angiography terlebih dahulu sebelum di operasi. Dilakukan CT angiography sekaligus membuat peta pembuluh darah kanker sehingga jelas terlihat pembuluh darah mana yang bertanggung jawab memberikan makanan (feeding artery) yang diperlukan kanker untuk dapat tumbuh subur. Sesudah itu barulah dilakukan tindakan radiologi Trans Arterial Embolisasi (TAE) yaitu suatu tindakan memasukkan suatu zat yang dapat menyumbat pembuluh darah (feeding artery) sehingga menghentikan suplai makanan ke sel-sel kanker dan dengan demikian kemampuan hidup (viability) dari sel-sel kanker akan sangat menurun sampai menghilang. Sebelum dilakukan TAE dilakukan dulu tindakan Trans Arterial Chemotherapy (TAC) dengan tujuan sebelum ditutup feeding artery lebih dahulu kanker disiram racun (chemotherapy) sehingga sel-sel kanker yang terkena racun dan ditutup lagi suplai makanannya maka sel-sel kanker benar-benar akan mati dan tak dapat berkembang lagi dan bila sel-sel ini nanti terlepas pun saat operasi tak perlu di khawatirkan, karena sudah tak mampu lagi bertumbuh. Tindakan TAE digabung dengan tindakan TAC yang dilakukan oleh dokter spesialis radiologi disebut tindakan Trans Arterial Chemoembolisation (TACE). Selain itu TAE ini juga untuk
tujuan suporrtif yaitu mengurangi perdarahan pada saat operasi dan juga untuk mengecilkan ukuran kanker dengan demikian memudahkan dokter ahli bedah. Setelah kanker disayat, seluruh jaringan kanker itu harus diperiksakan pada dokter ahli patologi yaitu satu-satunya dokter yang berkompetensi dan dapat menentukan dan memberikan kata pasti apakah benar pinggir sayatan sudah bebas kanker. Bila benar pinggir sayatan bebas kanker artinya sudah pasti tidak ada lagi jaringan kanker yang masih tertinggal di dalam hati penderita. Kemudian diberikan kemoterapi yang bertujuan meracuni sel-sel kanker agar tak mampu lagi tumbuh berkembang biak. Pemberian kemoterapi dilakukan oleh dokter spesialis penyakit dalam bagian onkologi (medical oncologist) ini secara intravena yaitu epirubucin/dexorubucin 80 mg digabung dengan mytomycine C 10 mg. Dengan cara pengobatan seperti ini usia harapan hidup penderita per lima tahun 90% dan per 10 tahun 80%. b. Tindakan Non-bedah Hati Tindakan non-bedah merupakan pilihan untuk pasien yang datang pada stadium lanjut. Termasuk dalam tindakan non-bedah ini adalah : 1) Embolisasi Arteri Hepatika (Trans Arterial Embolisasi = TAE) Pada prinsipnya sel yang hidup membutuhkan makanan dan oksigen yang datang bersama aliran darah yang menyuplai sel tersebut. Pada kanker timbul banyak sel-sel baru sehingga diperlukan banyak makanan dan oksigen, dengan demikian terjadi banyak pembuluh darah baru (non-vascularisasi) yang merupakan cabang-cabang dari pembuluh darah yang sudah ada disebut pembuluh darah pemberi makanan (feeding artery). Tindakan TAE ini menyumbat feeding artery. Caranya dimasukkan kateter melalui pembuluh darah di paha (arteri femoralis) yang seterusnya masuk ke pembuluh nadi besar di perut (aorta abdominalis) yang seterusnya dimasukkan ke pembuluh darah hati (artery hepatica) dan seterusnya masuk ke dalam feeding artery. Lalu feeding artery ini disumbat (di embolisasi) dengan suatu bahan seperti gel foam sehingga aliran darah ke kanker dihentikan dan dengan demikian suplai makanan dan oksigen ke sel-sel kanker akan terhenti dan sel-sel kanker ini akan mati. Apalagi sebelum dilakukan embolisasi dilakukan tindakan trans arterial chemotheraphy yaitu memberikan obat kemoterapi melalui feeding artery itu maka sel-sel kanker diracuni dengan obat yang mematikan. Maka kedua cara ini digabung, maka sel-sel kanker benar-benar terjamin mati dan tak berkembang lagi. Dengan dasar inilah embolisasi dan injeksi
kemoterapi intra-arterial dikembangkan dan nampaknya member harapan yang lebih cerah pada penderita yang terancam maut ini. Angka harapan hidup penderita dengan cara ini per lima tahunnya bisa mencapai sampai 70% dan persepuluh tahunnya bisa mencapai 50%. 2) Infus Sitostatika Intra-arterial Menurut literature 70% nutrisi dan oksigenasi sel-sel hati yang normal berasal dari vena porta dan 30% dari arteri hepatica, sehingga sel-sel ganas mendapat nutrisi dan oksigenasi terutama dari sitem arteri hepatica. Bila vena porta tertutup oleh tumor maka makanan dan oksigen ke sel-sel hati normal akan terhenti dan sel-sel tersebut akan mati. Dapatlah dimengerti kenapa pasien cepat meninggal bila sudah ada penyumbatan vena porta ini. Infus Sitostatika Intraarterial ini dikerjaan bila vena porta sampai ke cabang besar tertutup oleh sel-sel tumor di dalamnya dan pada pasien tidak dapat dilakukan tinakan transplantasi hati oleh karena ketiadaan donor, atau karena pasien men]olak atau karena ketidakmampuan pasien. Sitostatika yang dipakai adalah mitomycin C 10-20 mg kombinasi dengan adriblastina 10-20 mg dicampur dengan NaCl (saline) 100200 cc. Atau dapat juga cisplatin dan 5FU (5 Fluoro Uracil). Metoda ballon occluded intra arterial infusion adalah modifikasi infus sitostatika intra-arterial, hanya kateter yang dipakai adalah double lumen balloncatheter yang di-insert (dimasukkan) ke dalam arteri hepatica. Setelah ballon dikembangkan terjadi sumbatan aliran darah, sitostatika diinjeksikan dalam keadaan ballon mengembang selama 10-30 menit, tujuannya adalah memperlama kontak sitostatika dengan tumor. Dengan cara ini maka harapan hidup pasien per lima tahunnya menjadi 40% dan per sepuluh tahunnya 30% dibandingkan dengan tanpa pengobatan adalah 20% dan 10%. 3) Injeksi Etanol Perkutan (Percutaneus Etanol Injeksi = PEI) Pada kasus-kasus yang menolak untuk dibedah dan juga menolak semua tindakan atau pasien tidak mampu membiayai pembedahan dan tak mampu mebiayai tindakan lainnya makan tindakan PEI lah yang menjadi pilihan satusatunya. Tindakan injeksi etanol perkutan ini mudah dikerjakan,aman, efek samping ringan, biaya murah, dan hasilnya cukup memberikan harapan. PEI hanya dikerjakan pada pasien stadium dini saja dan tidak pada stadium lanjut. Sebagian besar peneliti melakuakan pengobatan dengan cara ini untuk kanker bergaris tengah sampai 5 cm, walaupun pengobatan paling optimal dikerjakan pada garis tengah kurang dari 3 cm. Pemeriksaan histopatologi setelah tindakan
membuktikan bahwa tumor mengalami nekrosis yang lengkap. Sebagian besar peneliti menyuntikkan etanol perkutan pada kasus kanker ini dengan jumlah lesi tidak lebih dari 3 buah nodule, meskipun dilaporkan bahwa lesi tunggal merupakan kasus yang paling optimal dalam pengobatan. Walaupun kelihatannya cara ini mungkin dapat menolong tetapi tidak banyak penelitian memadai dilakukan sehingga hanya dikatakan membawa tindakan ini member hasil yang cukup baik. 4) Terapi Non-bedah Lainnya Terapi non-bedah lainnya saat ini sudah dikembangkan dan hanya dilakukan bila terapi bedah reseksi dan Trans Arterial Embolisasi (TAE) ataupun Trans Arterial Chemoembolisation ataupun Trans Arterial Chemotheraphy tak mungkin dilakukan lagi. Diantaranya yaitu terapi Radio Frequency Ablation Therapy (RFA), Proton Beam Therapy, Three Dimentional Conformal Radiotherapy (3DCRT), Cryosurgery yang ke semuanya ini bersifat palliatif (membantu) bukan kuratif (menyembuhkan) keseluruhannya. 5) Tindakan Transplantasi Hati Bila kanker hati ini ditemukan pada pasien yang sudah ada sirosis hati dan ditemukan kerusakan hati yang berkelanjutan atau sudah hamper seluruh hati terkena kanker atau sudah ada sel-sel kanker yang masuk ke vena porta (thrombus vena porta) maka tidak ada jalan terapi yang lebih baik lagi dari transplantai hati. Transplantai hati adalah tindakan pemasangan organ hati dari orang lain ke dalam tubuh seseorang. Langkah ini ditempuh bila langkah lain seperti operasi dan tindakan radiologi seperti yang disebut di atas tidak mampu lagi menolong pasien. Akan tetapi langkah menuju transplantasi tidak mudah, pasalnya ketersediaan hati untuk ditransplantasikan sangat sulit diperoleh seiring kesepakatan global yang melarang jual beli organ tubuh. Selain itu, biaya transplantasi tergolong sangat mahal. Sebelum proses transplantasi harus dilakukan serangkaian pemeriksaan seperti tes jaringan tubuh dan darah yang tujuannya memastikan adanya kesamaan/kecocokan tipe jaringan tubuh pendonor dan pasien agar tidak terjadi penolakan terhadap hati baru. Penolakan bisa berupa penggerogotan hati oleh zat-zat dalam darah yang akan menimulkan kerusakan permanen dan mempercepat kematian penderita. Seiring keberhasilan tindakan transplantasi hati, usia pasien setidaknya akan lebih panjang lima tahun.
8. Komplikasi Komplikasi yang sering terjadi pada sirosis adalah asites, perdarahan saluran cerna bagian atas, ensefalopati hepatica dan sindrom hepatorenal. Sindrom hepatorenal adalah suatu keadaan pada pasien dengan hepatitis kronik, kegagalan fungsi hati, hipertensi portal, yang ditandai dengan gangguan fungsi ginjal dan sirkulasi darah. Sindrom ini mempunyai resiko kematian yang tinggi. Terjadinya gangguan ginjal pada pasien dengan sirosis hati ini baru dikenal pada akhir abad 19 dan pertama kali dideskripsikan oleh Flint dan Frerichs. Penatalaksanaan sindrom hepatorenal masih belum memuaskan, masih banyak kegagalan sehingga menimbulkan kematian. Prognosis pasien dengan penyakit ini buruk.
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian a. Identitas Nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama, suku bangsa, no.registrasi b. Riwayat kesehatan 1) Keluhan Utama : Klien biasanya mengeluh mual, muntah, nyeri perut kanan atas, pembesaran perut, 2) Riwayat penyakit sekarang
berak hitam : Biasanya klien awalnya mengalami mual, nyeri perut kanan atas, berak hitam kemudian perut klien membesar dan sesak
3) Riwayat penyakit dahulu
napas. : Biasanya klien pernah mengalami penyakit hepatitis B atau C atau D dan mengalami
4) Riwayat penyakit keluarga
sirosis hepatic : Biasanya salah satu atau lebih keluarga klien menderita penyakit hepatitis B atau C atau D. Biasanya ibu klien menderita hepatitis B atau C atau D yang diturunkan kepada
5) Riwayat imunisasi
anaknya waktu hamil. : Biasanya klien tidak diimunisasi untuk penyakit hepatitis B.
c. Pemeriksaan Fisik 1) Keadaan umum Biasanya klien terlihat lemah, letih dengan perut membesar dan sesak napas, penurunan BB. 2) TTV TD : >120/80 mmHg N : > 100 x/menit
RR : < 16 x/menit S : > 37,50C 3) Kepala dan Leher Biasanya terjadi pernapasan cuping hidung, ikterus, muntah 4) Thoraks Biasanya terjadi retraksi dada dikarenakan kesulitan bernapas, penggunaan otot-otot bantu pernapasan 5) Abdomen Biasanya terjadi pembesaran hati (hepatomegali), permukaan hati terasa kasar, asites, nyeri perut bagian kanan atas dengan skala 7-10, splenomegali 6) Ekstremitas Biasanya terjadi gatal-gatal, kelemahan otot 7) Breath Biasanya klien mengalami sesak napas 8) Blood Biasanya klien anemia dikarenakan adanya perdarahan 9) Brain Jika sudah metastase akan terjadi enselopati hepatic 10) Bowel Biasanya klien mengalami anoreksia, mual, muntah, melena, bahkan mungkin terjadi hematomesis. Terjadi penurunan BB, turgor kulit tidak elastic, rambut kering, mukosa oral kering, penurunan serum albumin 11) Bladder Biasanya klien mengeluarkan urine berwarna seperti teh pekat 12) Bone Jika terjadi metastase ke tulang akan terjadi nyeri tulang d. Pola Fungsi Kesehatan 1) Pola Aktivitas Biasanya klien mengalami gangguan dalam beraktivitas dikarenakan nyeri, 2) 3) 4) 5) 6)
kelemahan otot, mual dan muntah Pola Nutrisi Biasanya klien mengalami anoreksia, mual dan muntah Pola Eliminasi Biasanya klien mengeluarkan urine berwarna teh pekat Pola Istirahat Biasanya klien mengalami insomnia Pola Seksual Biasanya klien mengalami penurunan libido Pola Spiritual Biasanya klien terganggu dalam menjalani ibadah
2. Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul Pre Operasi a. Gangguan pertukaran gas b/d adanya asites dan penekanan diafragma b. Kelebihan volume cairan berhubuangn dengan hipertensi portal, tekanan osmotic koloid yang merendah akibat dari penurunan protein albumin
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d faktor biologis d. Nyeri akut b/d agen cedera biologis e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan meningkatnya kebutuhan metabolisme sekunder terhadap infeksi kronik hepatoma. Post Operasi a. Nyeri akut b/d agen cedera fisik b. Resiko Infeksi b/d pertahanan tubuh primer yang tidak adekuat 3. Rencana Keperawatan Pre Operasi a.
Diagnosa Keperawatan : Gangguan pertukaran gas b/d adanya asites dan penekanan diafragma Tujuan & Kriteria Hasil : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ...x24 jam diharapkan pernapasan klien kembali normal, dengan kriteria hasil : 1) Tidak mengeluh sesak napas 2) RR = 16-20 x/menit 3) Hasil lab BGA normal 4) Tidak ada pernapasan cuping hidung 5) Tidak ada penggunaan otot-otot bantu pernapasan
N O
INTERVENSI
RASIONAL
1
Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan. Berguna dalam evaluasi derajat distress Catat penggunaan otot aksesori, napas pernafasan dan/atau kronisnya proses bibir, ketidakampuan berbicara atau penyakit berbincang
2
Pertahankan posisi semi fowler
3
Kaji/awasi secara rutin kulit dan warna Sianosis mungkin perifer (terlihat pada membran mukosa kuku) atau sentral (terlihat sekitar bibir/atau daun telinga). Keabu-abuan dan sianosis sentral mengindikasikan beratnya hipoksemia
Posisi ini memungkinkan tidak terjadinya penekanan isi perut terhadap diafragma sehingga meningkatkan ruangan untuk ekspansi paru yang maksimal dan mengurangi peningkatan volume darah paru sehingga memperluas ruangan yang dapat diisi oleh udara
4
Awasi tingkat kesadaran/status mental. Gelisah dan ansietas adalah manifestasi Selidiki adanya perubahan umum pada hipoksia
5
Evaluasi tingkat toleransi aktivitas. Berikan lingkungan tenang dan kalem. Batasi aktivitas pasien atau dorong untuk tidur/istirahat di kursi selama fase akut
Selama distress pernapasan berat/akut/refraktori pasien secara total tak mampu melakukan aktivitas seharihari karena hipoksemia dan dispnea.
6
Awasi tanda-tanda vital dan irama jantung
Takikardi, disrtimia dan perubahan TD dapat menunjukkan efek hipoksemia sistemik pada fungsi jantung
7
Kolaborasi dalam pemberian oksigen yang Dapat memperbaiki/mencegah sesuai dengan indikasi hasil GDA dan memburuknya hipoksia toleransi pasien
8
Kolaborasi dengan tim medis dalam Untuk mengurangi asites dan cairan pemberian diuretic, batasi asupan cairan, dalam cavum peritoneum sehingga pola dan aspirasi asites napas kembali normal (16-20 x/menit)
b.
Diagnosa Keperawatan : Kelebihan volume cairan berhubuangn dengan hipertensi portal, tekanan osmotic koloid yang merendah akibat dari penurunan protein albumin Tujuan & Kriteria Hasil : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ...x24 jam diharapkan volume cairan px adekuat, dengan kriteria hasil : 1. Volume cairan seimbang antara pemasukan dan pengeluaran, berat badan stabil, tanda-tanda vital dalam batas normal. 2. Tidak ada edema. 3. Tidak ada asites, protein total (6,0-8,0 gr/dl), albumin (3,5-5,5 gr/dl), K (3,5-5,0 mEq/L), Na (135-145 mEq/L).
N O 1
INTERVENSI
RASIONAL
Ukur masukan dan keluaran catat keseimbangannya timbang berat badan tiap Menunjukkan status sirkulasi, terjadinya hari dan catat peningkatan lebih dari 0,5 kg perbaikan perpindahan cairan, dan respon per hari. terhadap terapi. Keseimbangan positif
atau peningkatan berat badan sering menunjukkan retensi cairan lanjut. 2
Awasi tanda-tanda vital
Peningkatan tekanan darah biasanya berhubungan dengan kelebihan cairan
3
Ukur dan catat lingkar perut tiap hari
Perubahan pada pembentukan asites dan penumpukan cairan
4
Awasi albumin serum dan elektrolit khusus Penuruan albumin serum mempengaruhi kalium dan natrium tekanan osmotic koloid plasma, mengakibatkan pembentukan odem. Penurunan aliran darah ginjal menyertai peningkatan kadar aldosteron dna penggunaan diuretik untuk menurunkan air total tubuh, dapat menyebabkan sebagai perpindahan atau ketidakseimbangan elektrolit.
5
Batasi natrium dan cairan sesuai indikasi
Natrium mungkin dibatasi untuk meminimalkan retensi cairan dalam area ekstra vaskuler. Pembatasan cairan perlu untuk memperbaiki/mencegah pengenceran
6
Kolaborasi dalam pemberian obat diuretik
Digunakan untuk mengontrol odem dan asites. Menghambat efek aldosteron, meningkatkan ekstresi air, bila terapi dengan tirah baring dan pembatasan natrium tidak teratasi
c.
Diagnosa Keperawatan : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d faktor biologis Tujuan & Kriteria Hasil : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ...x24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi klien terpenuhi, dengan kriteria hasil : 1) BB klien naik 2) Serum albumin normal 3) Makanan 1 porsi habis
4) Klien tidak terlihat lemas N
INTERVENSI
RASIONAL
O 1
Kaji riwayat nutrisi termasuk makanan Mengidentifikasi
2
yang disukai kemungkinan intervensi Observasi dan catat masukan makanan Mengawasi masukan kalori atau kualitas
3
pasien kekurangan konsumsi makanan Observasi dan catat kejadian mual/muntah, Gejala GI dapat menunjukkan efek
4
flatus dan gejala lain yang berhubungan Timbang berat badan tiap hari
5
efektivitas intervensi nutrisi Berikan makan sedikit dan frekuensi Makan sedikit dapat menurunkan sering
6
defisiensi,
menduga
anemia (hipoksia) pada organ Mengawasi penurunan berat badan atau
kelemahan dan meningkatkan pemasukan
juga mencegah distensi gaster Berikan dan bantu hygiene mulut yang Meningkatkan nafsu makan pemasukan baik;
sebelum
dan
sesudah
makan, oral, menurunkan pertumbuhan bakteri,
gunakan sikat gigi halus untuk penyikatan meminimalkan
kemungkinan
infeksi.
yang lembut. Berikan pencuci mulut yang Teknik perawatan mulut khusus mungkin diencerkan bila mukosa oral luka 7
diperlukan
bila
jaringan
rapuh/luka/perdarahan dan nyeri berat Berikan informasi yang tepat tentang Meningkatkan pengetahuan klien dalam kebutuhan nutrisi dan bagaimana cara memenuhi
kebutuhan
nutrisi
yang
8
memenuhinya Kolaborasi dengan
9
rencana diet untuk memenuhi kebutuhan individual Kolaborasi dengan tim medis dalam Dengan pemberian vitamin membantu pemberian vitamin
ahli
gizi
diperlukannya tentang Membantu dalam membuat rencana diet
proses
metabolisme,
mempertahankan
fungsi berbagai jaringan dan membantu pembentukan sel baru
d.
Diagnosa Keperawatan : Nyeri akut b/d agen cedera biologis Tujuan & Kriteria Hasil : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ...x24 jam diharapkan nyeri berkurang atau terkontrol, dengan kriteria hasil : 1) Klien terlihat tenang 2) Skala nyeri 0-3 3) TD : 120/80 mmHg 4) Nadi : 60-100 x/menit
N O 1
INTERVENSI
RASIONAL
Kaji skala nyeri dengan PQRST
Nyeri merupakan pengalaman subjektif dan
harus
dijelaskan
oleh
pasien.
Identifikasi karakteristik nyeri dan factor yang berhubungan merupakan suatu hal yang
amat
intervensi
penting yang
untuk
cocok
dan
memilih untuk
mengevaluasi keefektifan dari terapi yang 2
Observasi
adanya
tanda-tanda
diberikan nyeri Merupakan indikator/derajat nyeri yang
nonverbal, seperti : ekspresi wajah, posisi tidak langsung yang dialami. Sakit kepala tubuh,
gelisah,
menarik 3
diri,
menangis/meringis, mungkin bersifat akut atau kronis. Jadi perubahan
frekuensi manifestasi fisiologis bisa muncul atau
jantung/pernapasan, tekanan darah Ajarkan teknik distraksi/pengalihan nyeri
tidak Mengajarkan pasien pengendali nyeri dan/atau dapat mengubah mekanisme sensasi nyeri dan mengubah persepsi
4
nyeri Anjurkan untuk beristirahat dalam ruangan Menurunkan stimulasi yang berlebihan
5
yang tenang yang dapat mengurangi nyeri Berikan penjelasan kepada keluarga dan Pengenalan segera meningkatkan pasien jika nyeri tersebut muncul segera intervensi dini dan dapat menurunkan
6
melaporkan kepada petugas kesehatan Kolaborasi dalam pemberian analgetik
beratnya serangan Analgetik dapat memblok nyeri sehingga nyeri dapat berkurang
e.
Diagnosa Keperawatan : Intoleransi aktivitas berhubungan dengan meningkatnya kebutuhan metabolisme sekunder terhadap infeksi kronik hepatoma Tujuan & Kriteria Hasil : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ...x24 jam diharapkan pasien dapat melakukan aktivitas sesuai dengan batas toleransinya, dengan kriteria hasil : 1. Mengembangkan pola aktivitas atau istirahat konsisten dengan keterbatasan fisiologis. 2. ADL pasien terpenuhi
N O 1
INTERVENSI Bantu
pasien
dalam
RASIONAL
mengidentifikasi Memungkinkan
faktor-faktor yang meningkatkan
klien
dapat
memprioritaskan kegiatan- kegiatan yang sangat
penting
dan
meminimalkan
pengeluaran energi untuk kegiatan yang 2
kurang penting Ajarkan pasien untuk mengurangi aktivitas Tirah baring akan meminimalkan energi yang dapat menyebabkan nyeri atau lelah yang dikeluarkan sehingga metabolisme dan anjurkan untuk tirah baring
3
dapat digunakan untuk penyembuhan
penyakit. Ajarkan strategi koping koqnitif (seperti Respon emosional terhadap intoleransi pembandingan,
relaksasi,
pengendalian aktivitas dapat secara efektif ditangani
bernafas)
dengan menggunakan strategi koping
4
Bantu px dalam memenuhi ADL nya
koqnitif Memenuhi kebutuhan dasar pasien yang
5
tidak dapat dipenuhinya sendiri Ajarkan orang terdekat untuk membantu Dukungan sosial meningkatkan pasien dalam melakukan aktivitas
pelaksanaan
Post Operasi a.
Diagnosa Keperawatan : Nyeri akut b/d agen cedera fisik Tujuan & Kriteria Hasil : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ...x24 jam diharapkan nyeri berkurang atau terkontrol, dengan kriteria hasil : 1) Klien terlihat tenang 2) Skala nyeri 0-3 3) TD : 120/80 mmHg 4) Nadi : 60-100 x/menit
N O 1
INTERVENSI Kaji skala nyeri dengan PQRST
RASIONAL Nyeri merupakan pengalaman subjektif dan
harus
dijelaskan
oleh
pasien.
Identifikasi karakteristik nyeri dan factor yang berhubungan merupakan suatu hal yang
amat
intervensi
penting yang
untuk
cocok
dan
memilih untuk
mengevaluasi keefektifan dari terapi yang
2
Observasi
adanya
tanda-tanda
diberikan nyeri Merupakan indikator/derajat nyeri yang
nonverbal, seperti : ekspresi wajah, posisi tidak langsung yang dialami. Sakit kepala tubuh, menarik 3
gelisah, diri,
menangis/meringis, mungkin bersifat akut atau kronis. Jadi perubahan
frekuensi manifestasi fisiologis bisa muncul atau
jantung/pernapasan, tekanan darah Ajarkan teknik distraksi/pengalihan nyeri
tidak Mengajarkan pasien pengendali nyeri dan/atau dapat mengubah mekanisme sensasi nyeri dan mengubah persepsi
4
nyeri Anjurkan untuk beristirahat dalam ruangan Menurunkan stimulasi yang berlebihan
5
yang tenang yang dapat mengurangi nyeri Berikan penjelasan kepada keluarga dan Pengenalan segera meningkatkan pasien jika nyeri tersebut muncul segera intervensi dini dan dapat menurunkan
6
melaporkan kepada petugas kesehatan beratnya serangan Kolaborasi dalam pemberian obat sesuai Biasanya diberikan untuk kontrol nyeri indikasi
seperti
profiksene
asetaminofen
dan adekuat dan menurunkan tegangan otot, yang memperbaiki kenyamanan pasien dan meningkatkan penyembuhan
b.
Diagnosa Keperawatan : Resiko Infeksi b/d pertahanan tubuh primer yang tidak adekuat Tujuan & Kriteria Hasil : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ...x24 jam diharapkan infeksi tidak terjadi, dengan kriteria hasil : 1) Klien dapat mengidentifikasi faktor-faktor resiko dan intervensi untuk mengurangi infeksi 2) Klien dapat mempertahankan lingkungan aseptic yang aman 3) Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
N
INTERVENSI
RASIONAL
O 1
Pantau tanda dan gejala infeksi
2
selanjutnya Pantau/batasi pengunjung. Berikan isolasi Membatasi bila memungkinkan
Evaluasi awal, menentukan intervensi
bakteri/infeksi.
pemajanan Perlindungan
terhadap isolasi
dapat dibutuhkan pada anemia aplastik,
3
bila respon imun sangat terganggu Pantau suhu. Catat adanya menggigil dan Adanya proses inflamasi/infeksi
4 5
takikardi dengan atau tanpa demam membutuhkan evaluasi atau pengobatan Amati eritema/cairan luka Indikator infeksi local Pertahankan teknik aseptik ketat pada Menurunkan risiko kolonisasi/infeksi
6
prosedur/perawatan luka bakteri Berikan perawatan kulit, perianal, oral Menurunkan
7
dengan cermat kulit/jaringan dan infeksi Dorong perubahan posisi/ambulasi yang Meningkatkan ventilasi semua segmen
8
risiko
kerusakan
sering, latihan batuk dan napas dalam
paru dan membantu memobilisasi sekresi
Tingkatkan masukan cairan adekuat
untuk mencegah pneumonia Membantu dalam pengenceran sekret pernapasan
untuk
mempermudah
pengeluaran dan mencegah stasis cairan 9
tubuh (mis : pernapasan & ginjal) Berikan penjelasan kepada keluarga dan Mencegah kontaminasi bakteri pasien agar mencuci tangan yang baik dan
10
benar Ambil specimen untuk kultur/sensitivitas Membedakan sesuai indikasi
11
Berikan
antiseptik
adanya
mengidentifikasi patogen khusus dan topikal,
mempengaruhi pilihan pengobatan antibiotik Mungkin digunakan secara propilaktik
sistemik
untuk menurunkan kolonisasi atau untuk pengobatan proses infeksi lokal
4.
Implementasi Implementasi disesuaikan dengan intervensi yang telah dibuat
5.
infeksi,
Evaluasi Evaluasi sesuai dengan kriteria evaluasi.
DAFTAR PUSTAKA Carpernito, Lynda Juall . 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC Gale, Danielle, Charette, Jane. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi. Jakarta : EGC. Lab/UPF Ilmu Penyakit Dalam FK. Unair RSUD Dr. Soetomo Surabaya. 1994. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Surabaya : RSUD Dr. Soetomo Marilyn E. Doenges, Merry Frances Mourhouse, Allice C. Glisser. 2000. Nursing Care Planning Guidelines For Planning and Documenting Patient Care, Third Edition. Philadelphia FA : Davis Company. Med Muhammad Amin dkk. 1993. Pengantar ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga. Soeparman, Sarwono Maspadji. 1990. Ilmu Penyakit Dalam II. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.