Kontribusiku Bagi Indonesia [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KONTRIBUSIKU BAGI INDONESIA : KONTRIBUSI YANG TELAH, SEDANG DAN AKAN SAYA LAKUKAN UNTUK MASYARAKAT DAN PROFESI BEDAH SARAF INDONESIA



Saya menyelesaikan pendidikan kedokteran di Universitas Andalas tahun 2013. Semasa kuliah, saya aktif di organisasi Tim Bantuan Medis Hippocrates Emergency Team Fakultas Kedokteran Universitas Andalas (TBM HET FK UNAND) sebagai Ketua Umum. Organisasi mahasiswa ini aktif dalam berbagai kegiatan penanganan bencana alam dan bencana social, serta dalam kegiatan pencegahan bencana seperti melakukan pembinaan dan pelatihan penanganan bencana. Selama aktif di organisasi ini, saya memiliki banyak pengalaman kepemimpinan, bagaimana bekerja dalam sebuah tim dan berinteraksi dengan berbagai kelompok elemen masyarakat dan pemerintahan serta bagaimana mewujudkan visi misi menjadi sebuah kerja nyata. Salah satu prestasi yang berhasil saya raih adalah terpilih sebagai anggota Tim Penanggulangan Bencana Provinsi Sumatera Barat yang ditunjuk oleh Gubernur pada tahun 2009. Posisi ini membuat saya bisa terlibat aktif dalam penanggulangan bencana gempa bumi Sumatera Barat tahun 2009 dan bencana Tsunami Mentawai tahun 2010. Pada saat itu, saya bersama tim penanggulangan bencana lainnya seperti Dinas Kesehatan dan perwakilan Ikatan Dokter Indonesia cabang Sumatera Barat aktif sebagai tim medis saat pengevakuasian korban dan rehabilitasi pasca bencana. Selain itu, kami juga aktif mensosialisasikan kepada siswa-siswa tingkat SD, SMP dan SMA di Sumatera Barat tentang teknik penyelamatan diri saat terjadi bencana, terutama gempa bumi, yang kerap melanda provinsi ini. Setelah menyelesaikan pendidikan kedokteran, saya termotivasi untuk memberikan kontribusi nyata untuk Indonesia terutama dalam bidang kesehatan dengan mengabdikan ilmu yang telah saya peroleh sebagai seorang dokter. Pada tahun 2014, saya diterima sebagai dokter PTT dan ditempatkan di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua. Wamena adalah salah satu daerah di pedalaman pegunungan tengah Papua. Di daerah ini masih banyak ditemui suku-suku asli Papua yang masih menjaga tradisi budaya mereka, berpakaian koteka dan tinggal di honai, rumah adat asli Papua. Selama di sana, saya memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat yang rata-rata berasal dari suku pedalaman, yang harus menempuh



perjalanan berhari-hari dengan berjalan kaki dengan mengandalkan jumlah obatobatan dan fasilitas kesehatan yang terbatas. Melihat usaha yang cukup berat hanya untuk sekedar pergi berobat, banyak diantara mereka yang sakit tidak bisa datang ke pusat layanan kesehatan. Saya bersama beberapa teman dokter, perawat dan relawan yang rata-rata berprofesi sebagai guru secara rutin melakukan pengobatan dengan langsung mengunjungi perkampungan-perkampungan setiap minggunya. Selain itu, kami juga menyempatkan memberikan semacam sekolah mini gratis buat anak-anak dengan mengajarkan membaca, menulis dan berhitung. Agenda yang rutin dilakukan ini membuat kami berhasil membangun sebuah “Rumah Pintar” yang terletak di desa Hitigima, beberapa puluh kilometer di pinggiran Wamena, tempat yang dijadikan pusat pendidikan dan taman bermain informal yang kami buat bekerjasama dengan tokoh masyarakat setempat. Salah satu masalah kesehatan yang sering saya temui disini adalah tingginya angka kematian yang diakibatkan oleh kecelakaan ataupun karena perang. Banyak kasus cedera kepala ataupun kelumpuhan anggota gerak tidak mendapatkan pelayanan yang layak karena keterbatasan fasilitas kesehatan dan SDM. Masalah lainnya, tak satupun dokter bedah saraf Indonesia berpraktik di Indonesia Timur, khususnya Papua. Di Indonesia sendiri baru terdapat sekitar 280 dokter spesialis bedah saraf, rata-rata terkonsentrasi di Pulau Jawa. Dengan jumlah penduduk sekitar 240an juta jiwa, rasio dokter spesialis bedah saraf dan penduduk adalah 1: 1.000.000. Bandingkan dengan pernyataan salah satu guru besar bedah saraf Indonesia dalam acara World Federation of Neurosurgical Society (WFNS) and Educational Course tahun 2013 bahwa rasio dokter bedah saraf dengan penduduk di negara maju sudah 1:200.000 jiwa. Di kesempatan yang sama, disebutkan juga bahwa WFNS menunjuk Indonesia sebagai salah satu pusat pendidikan dan pelatihan bagi dokter spesialis bedah saraf di dunia. Apalagi seiring dengan kemajuan teknologi skrinning dan deteksi dengan hadirnya



berbagai peralatan pemindai seperti CT SCAN



(Computerized Axial Tomography) dan MRI (Magnetic Resonance Imaging), penemuan kasus-kasus tumor dan kelainan di otak semakin membaik dan membutuhkan penanganan, terutama pembedahan. Oleh sebab itu, jika saya berkesempatan mendapatkan beasiswa ini, saya ingin menjadi dokter bedah saraf yang berkomitmen memajukan pelayanan bedah saraf yang lebih berkualitas dan merata di seluruh Indonesia, khususnya Papua. Saya juga ingin berkontribusi melakukan berbagai research di bidang bedah saraf, untuk



memajukan pelayanan bedah saraf yang bermutu, efektif dan efisien, untuk meningkatkan derajat kesehatan rakyat Indonesia dan agar Indonesia bisa berbangga di bidang bedah saraf.