16 0 431 KB
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Terdapat banyak ungkapan yang dapat di pakai untuk menggambarkan pengertian korupsi, meskipun tidak seutuhnya benar. Akan tetapi tidak terlalu menjauh dari hakikat dan pengertian korupsi itu sendiri. Ada sebagian yang menggunakan istilah “ikhtilas” untuk menyebutkan prilaku koruptor, meskipun dalam kamus di temukan arti aslinya yaitu mencopet atau merampas harta orang lain. Realitanya praktikal korupsi yang selama ini terjadi ialah berkaitan dengan pemerintahan sebuah Negara atau public office, sebab esensi korupsi merupakan prilaku yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku di pemerintahan yang terletak pada penggunaan kekuasaan dan wewenang yang terkadung dalam suatu jabatan di sau pihak dan di pihak lain terdapat unsure perolehan atau keuntungan, baik berupa uang atau lainnya. Sehingga tidak salah apabila ada yang memberikan definisi korupsi dengan ungkapan “Akhdul Amwal Hukumah Bil Bathil” apapun istilahnya, korupsi laksana dunia hantu dalam kehidupan manusia. Mengapa saya mengungkapkan dunia hantu, sebab dunia hantu merupakan dunia yang tidak tampak wujut jasadnya, akan tetapi hanya dapat dirasakan dampaknya. Dunia hantu merupakan sebuah ilusi-fantasi yang mengimplikasikan terhadap dunia ketidak jujuran, kebohongan, dan hilangnya sebuah kepercayaan. B. RUMUSAN MASALAH 1. Pengertian korupsi menurut islam 2. Dalil larangan korupsi 3. Hukuman terhadap koruptor 4. Cara pemberantasan korupsi menurut islam 5. Nilai – nilai pendidikan dalam hukuman korupsi BAB II PEMBAHASAN A. PENGERTIAN KORUPSI MENURUT ISLAM Ajaran hukum Islam yang sangat menjunjung tinggi pemeliharaan akan kesucian baik lahir maupun bathin, menghendaki agar manusia (umat islam) dalam melakukan sesuatu harus sesuai fitrahnya, yakni apa yang telah dtentukan dalam al-Quran dan As Sunnah yang merupakan sumber hukum tertinggi. Pemeliharaan akan kesucian begitu ditekankan dalam hukum Islam, agar manusia (umat Islam) tidak terjerumus dalam perbuatan kehinaan atau
kedhaliman baik terhadap dirinya maupun terhadap orang lain. Pelanggaran sesuatu hal dalam hukum (pidana) Islam tidak terlepas dari tujuan pokok hukum Islam (al maqashid asysyari’ah alkhams) yang merupakan hal esensial bagi terwujudnya ketentraman hidup manusia. Adapun tujuan pokok hukum Islam tersebut adalah memelihara keselamatan agama, jiwa, akal, harta dan keturunan. Salah satu tujuan pokok hukum Islam ialah memelihara keselamatan (kesucian) harta. Harta merupakan rezeki dalam arti material, karena dalam bahasa agama rezeki melipuu rezeki material dan rezeki spiritual. Islam adalah agama yang sangat menjujung tinggi akan arti kesucian, sehingga sangatlah rasional jika memelihara keselamatan (kesucian) harta termasuk menjadi tujuan pokok hukum (pidana) Islam, karena mengingat harta mempunyai dua dimensi, yakni dimensi halal dan dimensi haram. Perilaku korupsi adalah harta berdimensi haram karena morupsi menghalalkan sesuatu yang diharamkan, dan korupsi merupakan wujud manusia yang tidak memanfaatkan keluasan dalam memproleh rezeki Allah. Secara teoritis kedudukan korupsi merupakan tindakan kriminal (jinayah atau jarimah) dimana bagi pelakunya diancam dengan hukuman hudud (had) dan juga hukuman ta’zir. Islam membagi Istilah Korupsi kedalam beberapa Dimensi. Yaitu risywah (suap), saraqah (pencurian) al gasysy (penipuan) dan khianat (penghianatan). Yang pertama, korupsi dalam dimensi suap (risywah) dalam pandangan hukum Islam merupakan perbuatan yang tercela dan juga merupakan dosa besar serta Allah sangat melaknatnya. Islam tidak menentukan apa hukuman bagi pelaku suap, akan tetapi menurut fuquha bagi pelaku suapmenyuap ancaman hukumanya berupa hukuman ta’zir (jarimah ta’zir) yang disesuaikan dengan peran masing-masing dalam kejahatan. Suap adalah memberikan sesuatu kepada orang penguasa atau pegawai dengan tujuan supaya yang menyuap mendapat keuntungan dari itu atau dipermudahkan urusanya. Jika praktek suap itu dilakuakan dalam ruang lingkup peradilan atau proses penegakkan hokum maka hal itu merupakan kejahatan yang berat atau sejahat-jahatnya kejahatan. Abu Wail mengatakan bahwa apabila seorang hakim menerima hadiah, maka berarti dia telah makan barang haram, dan apabila menerima suap, maka dia sampa pada kufur.
Yang kedua, Korupsi dalam dimensi pencurian (saraqah). Saraqah (pencurian) menurut
etimologinya
berarti
melakukan
sesuatu
tindakan
terhadap
orang
lain
secara
tersembunyi.Sedangkan menurut Abdul Qadir ‘Awdah pencurian didefinisikan sebagai suatu indakan yang mengambil harta orang lain dalam keadaan sembunyi-sembunyi, artinya mengambil tanpa sepengetahuan pemiliknya. Jadi sariqah adalah mengambil barang milik orang lain dengan cara melawan hokum atau melawan hak dan tanpa sepengetahuan pemiliknya. Seperti halnya korupsi yang mengambil harta dengan cara melawan hak dan tanpa sepengetahuan pemiliknya (rakyat/masyarakat). Dalam syariah ancaman terhadap pelaku sariqah (pencurian) ditentukan dengan jelas sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al Maidah: 38, Allah berfirman :
Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, maka potomglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(QS. Al-Maidah:38) Sehubungan dengan hukuman potong tangan dalam jarimah sariqah (pencurian) terdapat perbedaan pendapat apakah juga berlaku terhadap korupsi karena berdasarkan hadist Nabi SAW, yang bersabda: “Tidak dipotong tangan atas penghianatan harta (korupstor ), perampok dan pencopet”. Yang ketiga, Korupsi dalam dimensi penipuan (al gasysy). Secara tegas berdasarkan sabda Rosulullah saw, Allah mengharamkan surga bagi orang-orang yang melakukan penipuan. Terlebih penipuan itu dilakukan oleh seorang pemimpin yang mempecundangi rakyatnya. “Dari Abu Ya’la Ma’qal ibn Yasar berkata: “ Aku mendengar Rosulullah saw. Bersabda :” seorang hamba yang dianugerahi allah jabatan kepemimpinan, lalu dia menipu rakyatnya; maka Allah mengharamkannya masuk surga.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Yang keempat, Korupsi dalam dimensi khianat (penghianatan). Bahasa Agama tentang korupsi yang sebenarnya adalah khianat (penghianatan), khianat berkecenderungan mengabailak, menyalahgunakan, dan penyelewengan terhadap tugas, wewenang dan
kepercayaan yang amanahkan kepada dirinya. Khianat adalah pengingkaran atas amanah yang dibebankan kepada dirnya atau mengirangi kewajiban-kewajiban yang seharusnya dipenuhi. Perilaku khianat akan menyebabkan permusuhan diantara sesame karena orang yang berkhianat selalu memutar-balikkan fakta, dan juga berakibat terjadinya destruksi baik secara moral, social maupun secara politik-ekonomi. Islam melarang keras bagi orang-orang yang beriman terhadap perbuatan khianat baik terhadapa Allah, Rasul serta terhadap sesamanya. Dalam surat Al-Anfal: 27, Allah berfirman:
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu menghianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahuinya”. (QS. Al-Anfal:27) Dari apa yang telah dijelaskan diatas, bahwasanya korupsi (dengan berbagai nama) dalam Islam digolongkan sebagai suatu perbuatan yang tercela dan pelakunya dikualifikasi sebagai orang-orang yang munafik, dzalim, fasik dan kafir, serta merupakan dosa besar yang ancaman hukumanya (selain had dan ta’zir) adalah neraka jahannam. B. DALIL LARANGAN KORUPSI
Ada banyak Ayat dan Hadits, disamping yang sudah disebutkan di depan, yang menjelaskan posisi atau hukum korupsi dalam pandangan Islam, diantaranya :Firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah [2] :188
Artinya : “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS. Al-Baqarah : 188) "Ayat diatas jelas jelas melarang kita untuk mengambil harta orang lain dengan caracara yang tidak benar. Dan "larangan" dalam pengertian aslinya bermakna "haram", Dan ke"haram"an ini menjadi lebih jelas, ketika Alloh menggunakan lafadh “bilitsmi” yang artinya "dosa". Dari sini, jelas mengambil harta yang bukan miliknya —termasuk diantaranya korupsi — adalah haram hukumnya, sama haramnya dengan pekerjaan berzina, membunuh dan semacamnya. F
irman Allah Ta'ala dalam surat an-Nisa' [4]:29
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka-sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesunguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu ".(QS. An-Nisaa’:29) Seperti yang pertama, ayat ini pun melarang dengan tegas mengambil harta orang dengan cara-cara tidak benar, bedanya ayat ini memberikan solusi bagaimana mengambil harta orang lain tetapi dengan cara yang benar, salah satu di antaranya dengan melakukan jual beli atau transaksi dagang yang terlandasi kerelaan diantara pembeli dan penjual. Yang menarik, dalam ayat ini disebutkan dengan jelas larangan membunuh diri sendiri – apalagi membunuh orang lain – setelah larangan memakan harta orang lain dengan cara batil, sehingga – paling tidak – hukum dan hukuman orang yang memakan harta orang lain dengan cara batil sama dengan hukum dan hukuman membunuh orang, kalau tidak saya katakan "lebih berat", mengingat penyebutan larangan memakan harta orang lain dengan cara batil didahulukan dari larangan membunuh.
Larangan untuk melakukan perbuatan korupsi terdapat dalam beberapa ayat AlQur’an dan Hadits. Walaupun secara literer tidak terdapat langsung mengenai arti kata korupsi, namun secara analogi ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut melukiskan tentang beberapa definisi korupsi sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Dalam pembahasan ini, penulis hanya mengemukakan dalil-dalil tentang al-‘ghashab (penggunaan hak orang lain tanpa izin), al-‘ghulul (penyelewengan harta negara), ar-risywah (suap), al-khianah (khianat), dan al-haraabah (perampasan). Sedangkan as-sariqah (pencurian) sudah tercakup dari keseluruhan definisi tersebut. As-sariqah (pencurian) menurut penulis hanya berlaku bagi kasus pencurian di mana hasil curian telah dimanfaatkan oleh si pencuri tanpa dikembalikan hasil curiannya sehingga berlaku hukum potong tangan dalam hukum Islam. Sedangkan bagi koruptor, wajib hukumnya mengembalikan hasil usaha korupsinya secara utuh dan dikenakan hukuman sesuai dengan syari’at Islam berdasarkan putusan hakim.
Dalam surat al-Kahfi ayat 79, Allah berfirman:
Artinya : “Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera dengan jalan ‘ghasab.” (QS. AL – Kahfi: 79) Kemudian Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadits yang berasal dari ‘Addiy bin ‘Umairah al-Kindy yang artinya, “Hai kaum muslim, siapa saja di antara kalian yang melakukan pekerjaan untuk kami (menjadi pejabat/pegawai negara), kemudian menyembunyikan sesuatu terhadap kami walaupun sekecil jarum, berarti ia telah berbuat curang. Lalu, kecurangannya itu akan ia bawa pada hari kiamat nanti.” Selanjutnya masih terkait dengan hadits tersebut, sabda Nabi, “Siapa saja yang mengambil harta saudaranya (tanpa izin) dengan tangan kanannya (kekuasaan), ia akan dimasukkan ke dalam neraka, dan diharamkan masuk surga”. Seorang sahabat bertanya:
Wahai Rasul, “bagaimana kalau hanya sedikit saja”? Rasulullah menjawab: “Walaupun sekecil kayu siwak,” (HR Muslim, an-Nasai, dan Imam Malik). Ketiga, yang berkaitan dengan ar-risywah (suap). Mengenai hal ini terdapat dalam surat al-Maidah ayat 42:
Artinya : “Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil”.(QS. Al – Maidah : 42) C. HUKUMAN TERHADAP KORUPTOR Berdasarkan Al-Quran, perbuatan pidana yang dilakukan Oleh seseorang yang bertanggung jawab diberi hukuman dengan hukuman tertentu sesuai keadilan menurut Petunjuk Allah. Dasar dari pada Siapa yang berbuat pidana, perbuatan kejahatan apa yang dapat dipidana dan bagaimana hukumanya. Perama didasarkan pada Keimanan Kepada Allah dan Wahyu Allah dan Al-Quran dan kedua didasarkan kepada akal sehat manusia untuk mendapatkan kemaslahatan didunia dan kebahagiaan di akherat. Islam sebagai sistim nilai memegang peranan penting untuk memberikan pencerahan nilai, penyadaran moral, perbaikan mental atau penyempurnaan akhlak, dengan memanfaatkan potensi baik setiap indivisu, yakni hati nurani. Lebih jauh Islam tidak hanya komitmen dengan upaya pensalehan individu, tetapi juga pensalehan social. Dalam pensalehan sosial ini, Islam mengembangkan
semangat untuk mengubah kemungkaran, semangat saling mengingatkan, dan saling menasehati. Sejatinya Islam mengembangkan semangat kontrol sosial. Dalam bentuk lain, Islam juga mengembangkan bentuk peraturan perundangan yang tegas, sistim pengawasan administratif danb managerial yang ketat. Oleh karena itu dalam memberikan dan menetapkan hukuman bagi pelaku korupsi, seharusnya tidak pandang bulu, apakah ia seorang pejabat ataukah ia orang kebanyakan. Tujuan hukuman tersebut adalah memberikan rasa jera guna menghentikan kejahatan yang telah ia lakukan, sehingga dapat diciptakan rasa damai, dan rukun dalam masyarakat. Korupsi merupakan perbuatan maksiat yang dilarang oleh syara’, meskipun nash tidak menjelaskan had atau kifaratnya. Akan tetapi pelaku korupsi dikenakan hukuman ta’zir atas kemaksiatn tersebut. Perbuatan maksiat mempunyai beberapa kemiripan, diantaranya, mengkhianati janji, menipu, sumpah palsu, makan harta riba dll. Maka perbuatan termasuk ke dalam jarimah ta’zir yang penting. Hal ini sejalan dengan hadis Nabi SAW berikut :
ﻝﺎﻗ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﱮﻨﻟﺍ ﻦﻋ ﻪﻨﻋ ﷲﺍ ﻰﺿﺭ ﺮﺑﺎﺟ ﻦﻋ: ﺐﻬﺘﻨﻣ ﻻﻭ ﻦﺋﺎﺧ ﻰﻠﻋ ﺲﻴﻟ (ﻊﻄﻗ ﺲﻠﺘﲪ ﻻﻭ )ﻯﺬﻣﺮﺘﻟﺍﻭ ﺪﲪﺍ ﻩﺍﻭﺭ Artinya : “Tidak
ada
(hukuman)
potong
tangan
bagi
pengkhianat,
perampok
dan
perampas/pencopet”. (HR.Ahmad dan Tirmizy). Diriwayatkan oleh Jabir RA dari nabi SAW, Nabi bersabda : Sebagai aturan pokok, Islam membolehkan menjatuhkan hukuman ta’zir atas perbuatan maksiat, pabila dikendaki oleh kepentingan umum, artinya perbuatan-perbuatan dan keadaan-keadaan yang bisa dijatuhi hukuman ta’zir tidak mungkin ditentukan hukumannya sebelumnya, sebab hal ini tergantung pada sifat – sifat tertentu, dan pabila sifatsifat tersebut tidak ada maka perbuatan tersebut tidaklagi dilarang dan tidak dikenakan hukuman. Sifat tersebut adalah merugikan kepentingan dan ketertiban umum. Dan apabila perbuatan tersebut telah dibuktikan di depan Pengadilan maka hakim tidak boleh membebaskannya, melainkan harus menjatuhkan hukuman ta’zir yang sesuai untuknya. Penjatuhan hukuman ta’zir untuk kepentingan dan ketertiban umum ini, merujuk kepada perbuatan Rasulullah SAW, dimana ia pernah menahan seorang laki-laki yang dituduh mencuri
unta,
Setelah
diketahui/terbukti
ia
tidak
mencurinya,
maka
Rasulullah
membebaskannya. Syari’at Islam tidak menentukan macam-macam hukuman untuk jarimah ta’zir, tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dimulai dari hukuman yang seringan-ringannya, seperti nasehat, ancaman, sampai pada hukuman yang seberat-beratnya.
Penerapannya sepenuhnya diserahkan kepada Hakim (Penguasa), dengan kewenangan yang dimilikinya, ia dapat menetapkan hukuman yang sesuai dengan kadar kejahatan dan keadaan pelakunya,9 dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan umum Islam dalam menjatuhkan hukuman, yaitu : 1. Tujuan penjatuhan hukuman, yaitu menjaga dan memelihara kepentingan umum 2. Efektifitas hukuman dalam menghadapi korupsi tanpa harus merendahkan martabat kemanusiaan pelakunya 3. Sepadan dengan kejahatan, sehingga teras adil 4. Tanpa pilih kasih, semua sama keudukannya di depan hukum. Seorang Hakim dapat mempertimbangkan dan menganalisa berat dan ringanya perbuatan yang dilakukan oleh pelaku korupsi. Kejahatan yang telah ditetapkan sanksi hukumnya oleh nash, seorang Hakim tidak punya pilihan lain kecuali menerapkannya. Meskipun sanksi hukum bagi pelaku korupsi tidak dijelaskan dalam nash secara tegas, namun perampasan dan pengkhiatan dapat diqiyaskan sebagai penggelapan dan korupsi. Filsafat Hukum Islam dalam bidang pidana, khususnya dalam perbuatan korupsi dan juga pemberian hukumanya, seperti disebutkan diatas telah terbagi dalam beberapa dimensi. Islam membagi Istilah Korupsi kedalam beberapa Dimensi. Yaitu risywah (suap), saraqah (pencurian) al gasysy (penipuan) dan khianat (penghianatan). Yang pertama, korupsi dalam dimensi suap (risywah) dalam pandangan hukum Islam merupakan perbuatan yang tercela dan juga merupakan dosa besar serta Allah sangat melaknatnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hukuman terhadap Koruptor masuk kedalam hukuman Ta’zier. Hanya dalam dimensi mencuri saja yang berupa hukuman hudud. Hukuman ta’zier adalah kejahatan yang ancaman hukumanya tidak terdapat didalam Nash. Sehingga Diserahkan kepada Penguasa Secara Penuh. Namun dalam menjatuhkan hukuman yang tidak terdapat didalam nash harus didasarkan kepada pertimbangan akal sehat dan keyakinan hakim untuk mewujudkan maslahat dan menimbulkan rasa keadilan. Ulama sepakat bahwa ta’zier dapat diterapkan pada setiap maksiat pelanggaran yang tidak ada hukum haddnya. Adanya Ta’zier dalam hukum Islam menjamin rasa keadilan masyarakat untuk mewujudkan maslahat. Yang sifat dan bentuk hukuman ta’zir deserahkan kepada kebbijaksanaan akal sehat, keyakinan dan rasa keadilan hakim yang didasarkan keadilan masyarakat. Prisip prinsip dalam pidana Islam ada 3 macam, yaitu: a.
Hukumanya hanya ditimpakan kepada orang yang berbuat jarimah atau pidana, tidak boleh orang yang tidak berbbuat jahat dikenai hukuman. Hal ini sesuai dengan Firman Allah Surat Al-an’am, ayat 164
b. Adanya kesengajaan. Seseorang dihukum karena kejahatan apabila ada unsure kesengajaan untuk berbuat itu, tidak ada kesengajaan berarti ada kelalaian, tersalah, atau keliru atau terlupa. Walaupun tersalah, atau keliru atau terlupa ada hukumanya, namun bukan hukuman karena kejahatan, melainkan untuk kemaslahatan dan bersifat mendidik. Hal ini sesuai dengan firman Allah Surat An-Nisa ayat 92. c.
Hukuman hanya dijatuhkan apabila kejahatan itu secara meyakinkan telah diperbuat.
D. CARA PEMBERANTASAN KORUPSI MENURUT ISLAM Sesungguhnya terdapat niat cukup besar untuk mengatasi korupsi. Bahkan, telah dibuat satu tap MPR khusus tentang pemberantasan KKN, tapi mengapa tidak kunjung berhasil? Tampak nyata bahwa penanganan korupsi tidak dilakukan secara komprehensif, sebagaimana ditunjukkan oleh syariat Islam berikut: 1. Sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintah harus bekerja dengan sebaik-baiknya. Hal itu sulit berjalan dengan baik bila gaji tidak mencukupi. Para birokrat tetaplah manusia biasa yang mempunyai kebutuhan hidup serta kewajiban untuk mencukup nafkah keluarga. Agar bisa bekerja dengan tenang dan tidak mudah tergoda berbuat curang, mereka harus diberikan gaji dan tunjangan hidup lain yang layak. Berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan hidup aparat pemerintah, Rasul dalam hadis riwayat Abu Dawud berkata, “Barang siapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah, jika belum beristri hendaknya menikah, jika tidak mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil pelayan, jika tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan) hendaknya diberi. Adapun barang siapa yang mengambil selainnya, itulah kecurangan”. 2.
Larangan menerima suap dan hadiah. Hadiah dan suap yang diberikan seseorang kepada aparat pemerintah pasti mengandung maksud agar aparat itu bertindak menguntungkan pemberi hadiah. Tentang suap Rasulullah berkata, “Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap” (HR Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Rasul berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur” (HR Imam Ahmad). Suap dan hadiah akan berpengaruh buruk pada mental aparat pemerintah. Aparat bekerja tidak sebagaimana mestinya. Di bidang peradilan, hukum ditegakkan secara tidak adil atau cenderung memenangkan pihak yang mampu memberikan hadiah atau suap.
3.
Perhitungan kekayaan. Setelah adanya sikap tegas dan serius, penghitungan harta mereka yang diduga terlibat korupsi merupakan langkah berikutnya. Menurut kesaksian anaknya,
yakni Abdullah bin Umar, Khalifah Umar pernah mengalkulasi harta kepala daerah Sa’ad bin Abi Waqash (Lihat Tarikhul Khulafa). Putranya ini juga tidak luput kena gebrakan bapaknya. Ketika Umar melihat seekor unta gemuk milik anaknya di pasar, beliau menyitanya. Kenapa? Umar tahu sendiri, unta anaknya itu gemuk karena digembalakan bersama-sama unta-unta milik Baitul Mal di padang gembalaan terbaik. Ketika Umar menyita separuh kekayaan Abu Bakrah, orang itu berkilah “ Aku tidak bekerja padamu “. Jawab Khalifah, “Benar, tapi saudaramu yang pejabat Baitul Mal dan bagi hasil tanah di Ubullah meminjamkan harta Baitul Mal padamu untuk modal bisnis !” (lihat Syahidul Aikral). Bahkan, Umar pun tidak menyepelekan penggelapan meski sekedar pelana unta (Lihat Kitabul Amwal). Apa yang dilakukan Umar merupakan contoh baik bagaimana harta para pejabat dihitung, apalagi mereka yang disinyalir terlibat korupsi. Seluruh yayasan, perusahaanperusahaan, ataupun uang yang disimpan di bank-bank dalam dan luar negeri semuanya diusut. Kalau perlu dibuat tim khusus yang independen untuk melakukannya, seperti halnya Muhammad bin Maslamah pernah diberi tugas khusus oleh Umar untuk hal tersebut. Baru setelah itu, dibuktikan lewat pengadilan. Di dalam buku Ahkamul Bayyinat, Syekh Taqiyyuddin menyatakan bahwa pembuktian itu bisa berupa pengakuan dari si pelaku, sumpah, kesaksian, dan dokumentasi tertulis. Kaitannya dengan dokumentasi tertulis ini Allah Swt. menegaskan di dalam alQuran: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya. Hendaklah penulis di antara kalian menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya…” (QS al-Baqarah [2]: 282). Bila dicermati, penulisan dokumen ini sebenarnya merupakan bukti tentang siapa yang berhak dan apa yang terjadi. Oleh karena kata “maka tuliskanlah (faktubuh)” dalam ayat tersebut umum, maka mencakup semua muamalah dan semua dokumen termasuk perjanjian, katabelece, keputusan pemerintah yang dibuatnya, dan lain-lain. Di samping itu, pembuktian pun dilakukan dengan pembuktian terbalik. Bila semua bukti yang diajukan tidak diterima oleh terdakwa, maka terdakwa itu harus membuktikan dari mana harta itu diperoleh dan harus pula menunjukkan bahwa hartanya itu bukan hasil korupsi. Hal ini bisa dilihat dari apa yang dicontohkan oleh Umar bin Khaththab. Ketika Umar menyita separuh kekayaan Abu Bakrah, orang itu berkilah, “ Aku tidak bekerja padamu “. Jawab Khalifah, “Benar, tapi saudaramu yang pejabat Baitul Mal dan bagi hasil tanah di Ubullah meminjamkan harta Baitul Mal padamu untuk modal bisnis !” Setelah itu, Abu
Bakrah tidak dapat membuktikan bahwa dakwaan Umar tersebut salah. Ia tidak dapat menunjukkan bahwa hartanya itu bukan hasil nepotisme. Akhirnya, Umar pun tetap pada putusannya (Lihat Syahidul Aikral). Cara inilah yang sekarang dikenal dengan istilah pembuktian terbalik yang sebenarnya sangat efektif mencegah aparat berbuat curang. Tapi anehnya cara ini ditentang untuk dimasukkan dalam perundang-undangan. 4.
Teladan pemimpin. Khalifah Umar menyita sendiri seekor unta gemuk milik putranya, Abdullah bin Umar, karena kedapatan digembalakan bersama di padang rumput milik Baitul Mal Negara. Hal ini dinilai Umar sebagai bentuk penyalahgunaan fasilitas negara. Demi menjaga agar tidak mencium bau secara tidak hak, Khalifah Umar bin Abdul Azis sampai menutup hidungnya saat membagi minyak kesturi kepada rakyat. Dengan teladan pemimpin, tindak penyimpangan akan mudah terdeteksi sedari dini. Penyidikan dan penyelidikan tindak korupsi pun tidak sulit dilakukan. Tapi bagaimana bila justru korupsi dilakukan oleh para pemimpin? Semua upaya apa pun menjadi tidak ada artinya sama sekali.
5. Hukuman setimpal. Pada galibnya, orang akan takut menerima risiko yang akan mencelakaan dirinya. Hukuman dalam Islam memang berfungsi sebagai zawajir (pencegah). Artinya, dengan hukuman setimpal atas koruptor, diharapkan orang akan berpikir sekian kali untuk melakukan kejahatan itu. Dalam Islam, tindak korupsi bukanlah seperti pencurian biasa yang pelakunya dipotong tangannya. “Perampas, koruptor, dan pengkhianat tidak dikenakan hukuman potong tangan” (HR Ahmad, Ashabus Sunan, dan Ibnu Hibban). Akan tetapi, termasuk jarîmah (kejahatan) yang akan terkenai ta’zir. Bentuknya bisa berupa hukuman tasyh’ir (berupa pewartaan atas diri koruptor – dulu diarak keliling kota, sekarang bisa lewat media massa). Berkaitan dengan hal ini, Zaid bin Khalid al-Juhaini meriwayatkan Rasulullah pernah memerintahkan para sahabat untuk menshalati seorang rekan mereka yang gugur dalam pertempuran Hunain. Mereka, para sahabat, tentu saja heran, karena seharusnya seorang yang syahid tidak disembahyangi. Rasul kemudian menjelaskan, “Sahabatmu ini telah berbuat curang di jalan Allah.” Ketika Zaid membongkar perbekalan almarhum, ia menemukan ghanimah beberapa permata milik kaum yahudi seharga hampir 2 dirham (lihat al- Muwwatha ). Atau, bisa juga sampai hukuman kurungan. Menurut Abdurrahman al-Maliki dalam kitab Nidzamul ‘Uqubat fil Islam (hlm. 190), hukuman kurungan koruptor mulai 6 bulan sampai 5 tahun. Namun, masih dipertimbangkan banyaknya uang yang dikorup. Bila mencapai jumlah yang membahayakan ekonomi negara, koruptor dapat dijatuhi hukuman mati. 6.
Kekayaan keluarga pejabat yang diperoleh melalui penyalahgunaan kekuasaan diputihkan oleh kepala negara (Khalifah) yang baru. Caranya, kepala negara menghitung kekayaan para
pejabat lama lalu dibandingkan dengan harta yang mungkin diperolehnya secara resmi. Bila dapat dibuktikan dan ternyata terdapat kenaikan yang tidak wajar, seperti dilakukan Umar, kepala negara memerintahkan agar menyerahkan semua kelebihan itu kepada yang berhak menerimanya. Bila harta kekayaan itu diketahui siapa pemiliknya yang sah, maka harta tersebut–katakanlah tanah–dikembalikan kepada pemiliknya. Sementara itu, apabila tidak jelas siapa pemiliknya yang sah, harta itu dikembalikan kepada kas negara (Baitul Mal). Namun, bila sulit dibuktikan, seperti disebut di dalam buku Tarikhul Khulafa, Khalifah Umar bin Khaththab membagi dua kekayaan mereka bila terdapat kelebihan dari jumlah semula, yang separuh diambil untuk diserahkan ke Baitul Mal dan separuh lagi diberikan kepada mereka. 7.
Pengawasan masyarakat. Masyarakat dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Masyarakat yang bermental instan akan cenderung menempuh jalan pintas dalam berurusan dengan aparat dengan tak segan memberi suap dan hadiah. Adapun masyarakat yang mulia akan turut mengawasi jalannya pemerintahan dan menolak aparat yang mengajaknya berbuat menyimpang. Demi menumbuhkan keberanian rakyat mengoreksi aparat, Khalifah Umar di awal pemerintahannya menyatakan, “Apabila kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam, maka luruskan aku walaupun dengan pedang”. Dengan pengawasan masyarakat, korupsi menjadi sangat sulit dilakukan. Bila ditambah dengan teladan pemimpin, hukuman yang setimpal, larangan pemberian suap dan hadiah, serta dengan pembuktian terbalik dan gaji yang mencukupi, insya Allah korupsi dapat diatasi dengan tuntas. Inilah pentingnya seruan penerapan syariat Islam guna menyelesaikan segenap problem yang dihadapi negeri ini, termasuk dalam pemberantasan korupsi. Karena itu, selamatkan Indonesia dari keserakahan para koruptor.
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN Tidak ada satu dalil pun yang membenarkan perilaku korupsi dalam Islam. Bahkan Islam melarang dengan tegas terhadap tindakan korupsi karena di dalamnya mengandung unsur pencurian, penggunaan hak orang lain tanpa izin / penyalahgunaan jabatan, penyelewengan harta negara, suap / sogok, pengkhianatan, dan perampasan / perampokan. Islam memandang korupsi sebagai perbuatan yang dapat merugikan masyarakat, mengganggu kepentingan publik, dan menimbulkan teror terhadap kenyamanan dan ketertiban masyarakat. Hukum Islam memberikan sanksi yang tegas terhadap perilaku korupsi seperti hukuman terhadap jiwa, hukuman terhadap badan, hukuman terhadap harta benda, dan hukuman terhadap kemerdekaan seseorang. Dalam upaya meminimalisir terjadinya korupsi, filosofi Islam menganjurkan agar dilakukan pencegahan secepat mungkin. Sebagaimana adagium “mencegah suatu penyakit lebih baik daripada mengobatinya”, begitu juga dengan korupsi yang lebih baik dicegah daripada diberantas secara tuntas. Untuk itu diperlukan langkah dan strategi yang tepat, salah satunya adalah dengan cara meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan dan menanamkan pendidikan anti korupsi secara dini bagi generasi penerus bangsa. DAFTAR PUSTAKA Munawar Fuad Noeh, Islam dan Gerakan Moral Anti Korupsi, (Jakarta, Zikrul Hakim, 1997),hal.154-155 A.Hanafi, Azas-azas Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1993), hal.69 Wahab Afif, Hukum Pidana Islam, Banten ( Yayasan Ulumul Quran, 1988), hal. 214 http://thamrin.wordpress.com/2006/07/14/korupsi-dalam-dimensi-sejarah-indonesia-bagiankeempat-penutup/ Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta, Bumi Aksara, 1992), h.87 http://ibrahim-muhlis.blogspot.com/2011/02/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html http://mgtabersaudara.blogspot.com/2011/06/ketegasan-syariat-islam-dalam.html http://arengiff.blogspot.com/2011/01/korupsi-dalam-islam.html http://www.fahmina.or.id/artikel-a-berita/mutiara-arsip/630-korupsi-pandangan-dan-sikapislam.html http://bagindams.blogspot.com/2009/11/korupsi-dalam-perspektif-islam_23.html http://ganimeda.wordpress.com/2010/12/07/perspektif-islam-terhadap-korupsi/ http://hukum.kompasiana.com/2012/04/23/filsafat-pemidanaan-islam-dalam-pemberian-hukumanbagi-koruptor/
http://zulchizar.wordpress.com/2010/07/10/cara-pemberantasan-korupsi-dalam-perspektif-islam/ http://alquran.babinrohis.esdm.go.id/
KORUPSI DALAM PANDANGAN ISLAM Mata Kuliah Pendidikan Anti Korupsi Nama dosen : Waluyo Erry Wahyudi M.Pd.I Disusun oleh : Muzannifi
:
1311010295
Purwendi
:
1311010276
Jurusan/Semester/Kelas : PAI/VI/F
FAKULTAS TARBIYAH & KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG 2015/2016
KATA PENGANTAR Assalamualaikum.wr.wb Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya yang dengan ini kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah tanpa ada halangan apapun. Shalawat beriring salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW. Beserta sahabat-sahabat dan para pengikutnya, yang telah berjuang untuk menegakkan ajaran islam . Makalah yang kami susun ini tentang Korupsi Dalam Pandangan Islam. Dalam penyajian makalah ini mungkin masih banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan. Wassalamualaikum wr.wb
Bandar Lampung,
20 Maret 2016
Penulis,
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ………………………......………………………............…i KATA PENGANTAR …………..……………………………………................ ii DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii BAB 1 PENDAHULUAN .....................................................................................1 1.1 Latar Belakang Masalah ....................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................1 1.3 Tujuan Masalah .................................................................................................1 BAB II PEMBAHASAN …...……….……………………..….............…………3 2.1 Korupsi Dalam Pandangan Isla......................................................................... 3 2.2 Ayat dan Hadits Tentang Korupsi .....................................................................4 2.3 Hukum dan Syariat Tentang Korupsi ................................................................. 2.4 Pintu-pintu Korupsi............................................................................................. 2.5 Bahaya Ghulul (Korupsi).................................................................................... BAB III PENUTUP …………………………………….……………................10 3.1 Kesimpulan .................................................................................................... 10 DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terdapat banyak ungkapan yang dapat di pakai untuk menggambarkan pengertian korupsi, meskipun tidak seutuhnya benar. Akan tetapi tidak terlalu menjauh dari hakikat dan pengertian korupsi itu sendiri. Ada sebagian yang menggunakan istilah “ikhtilas” untuk menyebutkan prilaku koruptor, meskipun dalam kamus di temukan arti aslinya yaitu mencopet atau merampas harta orang lain. Realitanya praktikal korupsi yang selama ini terjadi ialah berkaitan dengan pemerintahan sebuah Negara atau public office, sebab esensi korupsi merupakan prilaku yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku di pemerintahan yang terletak pada penggunaan kekuasaan dan wewenang yang terkadung dalam suatu jabatan di sau pihak dan di pihak lain terdapat unsure perolehan atau keuntungan, baik berupa uang atau lainnya. Sehingga tidak salah apabila ada yang memberikan definisi korupsi dengan ungkapan “Akhdul Amwal Hukumah Bil Bathil” apapun istilahnya, korupsi laksana dunia hantu dalam kehidupan manusia. Mengapa saya
mengungkapkan dunia hantu, sebab dunia hantu merupakan dunia yang tidak tampak wujut jasadnya, akan tetapi hanya dapat dirasakan dampaknya. Dunia hantu merupakan sebuah ilusi-fantasi yang mengimplikasikan terhadap dunia ketidak jujuran, kebohongan, dan hilangnya sebuah kepercayaan. 1.2. Rumusan Masalah 1. Bagaimana korupsi menurut pandangan Islam? 2. Bagaimana hukum dan syariat korupsi? 3. Apa saja pintu-pintu korupsi? 4. Apa saja bahaya korupsi? BAB II PEMAHASAN KORUPSI DALAM PANDANGAN ISLAM A. Pengertian Korupsi Menurut Islam Ajaran hukum Islam yang sangat menjunjung tinggi pemeliharaan akan kesucian baik lahir maupun bathin, menghendaki agar manusia (umat islam) dalam melakukan sesuatu harus sesuai fitrahnya, yakni apa yang telah dtentukan dalam alQuran dan As Sunnah yang merupakan sumber hukum tertinggi. Pemeliharaan akan kesucian begitu ditekankan dalam hukum Islam, agar manusia (umat Islam) tidak terjerumus dalam perbuatan kehinaan atau kedhaliman baik terhadap dirinya maupun terhadap orang lain. Pelanggaran sesuatu hal dalam hukum (pidana) Islam tidak terlepas dari tujuan pokok hukum Islam (al maqashid asy-syari’ah alkhams) yang merupakan hal esensial bagi terwujudnya ketentraman hidup manusia. Adapun tujuan pokok hukum Islam tersebut adalah memelihara keselamatan agama, jiwa, akal, harta dan keturunan. Salah satu tujuan pokok hukum Islam ialah memelihara keselamatan (kesucian) harta. Harta merupakan rezeki dalam arti material, karena dalam bahasa agama rezeki meliputi rezeki material dan rezeki spiritual. Islam adalah agama yang sangat menjujung tinggi akan arti kesucian, sehingga sangatlah rasional jika memelihara keselamatan (kesucian) harta termasuk menjadi tujuan pokok hukum (pidana) Islam, karena mengingat harta mempunyai dua dimensi,
yakni dimensi halal dan dimensi haram. Perilaku korupsi adalah harta berdimensi haram karena morupsi menghalalkan sesuatu yang diharamkan, dan korupsi merupakan wujud manusia yang tidak memanfaatkan keluasan dalam memproleh rezeki Allah. Secara teoritis kedudukan korupsi merupakan tindakan kriminal (jinayah atau jarimah) dimana bagi pelakunya diancam dengan hukuman hudud (had) dan juga hukuman ta’zir. Islam membagi Istilah Korupsi kedalam beberapa Dimensi. Yaitu risywah (suap), saraqah (pencurian) al gasysy (penipuan) dan khianat (penghianatan). Yang pertama, korupsi dalam dimensi suap (risywah) dalam pandangan hukum Islam merupakan perbuatan yang tercela dan juga merupakan dosa besar serta Allah sangat melaknatnya. Islam tidak menentukan apa hukuman bagi pelaku suap, akan tetapi menurut fuquha bagi pelaku suap-menyuap ancaman hukumanya berupa hukuman ta’zir (jarimah ta’zir) yang disesuaikan dengan peran masing-masing dalam kejahatan. Suap adalah memberikan sesuatu kepada orang penguasa atau pegawai dengan tujuan supaya yang menyuap mendapat keuntungan dari itu atau dipermudahkan urusanya. Yang kedua, Korupsi dalam dimensi pencurian (saraqah). Saraqah (pencurian) menurut etimologinya berarti melakukan sesuatu tindakan terhadap orang lain secara tersembunyi.Sedangkan menurut Abdul Qadir ‘Awdah pencurian didefinisikan sebagai suatu indakan yang mengambil harta orang lain dalam keadaan sembunyi-sembunyi, artinya mengambil tanpa sepengetahuan pemiliknya. Jadi sariqah adalah mengambil barang milik orang lain dengan cara melawan hokum atau melawan hak dan tanpa sepengetahuan pemiliknya.
B. Ayat dan Hadits Tentang Korupsi Korupsi dalam islam terdapat pengungkapan “Ghulul” dan mengistilahkan “Akhdul Amwal Bil Bathil”, sebagaimana disebutkan oleh al-qur’an dalam surat albaqarah : 188. لعثممت نوأنعنمتعمت نتععلنممنونن نوالت نتعأمكملنوﺍت أنعمننوﺍﻟنمكعمت نبعينﻨمكعمت مبلاعﻟنبلامطملت نومتعدمﻟنوﺍت مبنهلات إمنﻟ ىت ﺍعﻟمحنكلاممت مﻟنتعأمكملنوﺍت نفمرقيقالات ممعنت أنعمننوﺍملت ﺍﻟنﻨلامست مبلا ع م ‘’Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.’’
Dalam hadits Ubadah bin ash Shamit radhiyallâhu’ anhu, bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda : (… )نفمإننت ﺍعﻟمغملنونلت نعلاررت نعنل ىت أنعهملمهت نقيعنونمت ﺍعﻟمقنيلانممةت نونشنﻨلاررت نوننلارر “…(karena) sesungguhnya ghulul (korupsi) itu adalah kehinaan, aib dan api neraka bagi pelakunya’’ Sedangkan dalam al-Hadits lebih konkret lagi, dinyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Allah melaknati penyuap dan penerima suap dalam proses hukum.” Dalam redaksi lain, dinyatakan: “Rasulullah SAW melaknati penyuap, penerima suap, dan perantara dari keduanya.” Kemudian dalam kesempatan yang berbeda, Rasulullah SAW bersabda: “penyuap dan penerima suap itu masuk ke neraka.” Dari ‘Adiy bin ‘Amirah Al Kindi Radhiyallahu 'anhu berkata : Aku pernah mendengar
Nabi
Shallallahu
'alaihi
wa
sallam
bersabda
yang
artinya:
“Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulul (belenggu, harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat”. (‘Adiy) berkata : Maka ada seorang lelaki hitam dari Anshar berdiri menghadap Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, seolah-olah aku melihatnya, lalu dia berkata,"Wahai Rasulullah, copotlah jabatanku yang engkau tugaskan." Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya,"Ada apa gerangan?” Dia menjawab,"Aku mendengar engkau berkata demikian dan demikian (maksudnya perkataan di atas, Pen.)." Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pun berkata,"Aku katakan sekarang, (bahwa) barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), maka hendaklah dia membawa (seluruh hasilnya), sedikit maupun banyak. Kemudian, apa yang diberikan kepadanya, maka dia (boleh) mengambilnya. Sedangkan apa yang dilarang, maka tidak boleh.”
C. Hukum dan Syariat Tentang Korupsi Sangat jelas, perbuatan korupsi dilarang oleh syari’at, baik dalam Kitabullah (al Qur`an) maupun hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih. Di dalam Kitabullah, di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Tidak mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang).
Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan perang itu), maka pada hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu …" [Ali Imran: 161]. Dalam ayat tersebut Allah SWT mengeluarkan pernyataan bahwa, semua nabi Allah terbebas dari sifat khianat, di antaranya dalam urusan rampasan perang. Menurut penjelasan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ayat ini diturunkan pada saat (setelah) perang Badar, orang-orang kehilangan sepotong kain tebal hasil rampasan perang. Lalu sebagian mereka, yakni kaum munafik mengatakan, bahwa mungkin Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengambilnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan ayat ini untuk menunjukkan jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam terbebas dari tuduhan tersebut. Ibnu Katsir menambahkan, pernyataan dalam ayat tersebut merupakan pensucian diri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dari segala bentuk khianat dalam penunaian amanah, pembagian rampasan perang, maupun dalam urusan lainnya. Hal itu, karena berkhianat dalam urusan apapun merupakan perbuatan dosa besar. Semua nabi Allah ma’shum (terjaga) dari perbuatan seperti itu. Mengenai besarnya dosa perbuatan ini, dapat kita pahami dari ancaman yang terdapat dalam ayat di atas, yaitu ketika Allah mengatakan : “Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan perang itu), maka pada hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu …” Ibnu Katsir mengatakan,"Di dalamnya terdapat ancaman yang amat keras.” Selain itu, perbuatan korupsi (ghulul) ini termasuk dalam kategori memakan harta manusia dengan cara batil yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala, sesuai yang telah Allah firmankan dalam surat al Baqarah/2:188. Allah Juga firman:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil…" [an Nisaa`/4 : 29]. Adapun larangan berbuat ghulul (korupsi) yang datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka hadits-hadits yang menunjukkan larangan ini sangat banyak, di antaranya hadits dari ‘Adiy bin ‘Amirah Radhiyallahu 'anhu dan hadits Buraidah Radhiyallahu 'anhu di atas.
Dalam sejarah, baik para sahabat Nabi, generasi sesudahnya (tabi'in), maupun para ulama periode sesudahnya, semuanya bersepakat tanpa khilaf atas keharaman korupsi, baik bagi penyuap, penerima suap maupun perantaranya.
D. Pintu-pintu Korupsi Peluang melakukan korupsi ada di setiap tempat, pekerjaan ataupun tugas, terutama yang diistilahkan dengan tempat-tempat “basah”. Untuk itu, setiap muslim harus selalu berhati-hati, manakala mendapatkan tugas-tugas. Dengan mengetahui pintu-pintu ini, semoga kita selalu waspada dan tidak tergoda, sehingga nantinya mampu menjaga amanah yang menjadi tanggung jawab kita. Berikut adalah di antara pintu-pintu korupsi. 1.
Saat pengumpulan harta rampasan perang, sebelum harta tersebut dibagikan. Nabi Saw. menceritakan : "Ada seorang nabi berperang, lalu ia berkata kepada kaumnya : "Tidak boleh mengikutiku (berperang) seorang yang telah menikahi wanita, sementara ia ingin menggaulinya, dan ia belum melakukannya; tidak pula seseorang yang yang telah membangun rumah, sementara ia belum memasang atapnya; tidak pula seseorang yang telah membeli kambing atau unta betina yang sedang bunting, sementara ia menunggu (mengharapkan)
peranakannya".
Lalu nabi itu pun berperang dan ketika sudah dekat negeri (yang akan diperangi) tiba atau hampir tiba shalat Ashar, ia berkata kepada matahari : "Sesungguhnya kamu diperintah, dan aku pun diperintah. Ya Allah, tahanlah matahari ini untuk kami," maka tertahanlah matahari itu hingga Allah membukakan kemenangan baginya. Lalu ia mengumpulkan harta rampasan perang. Kemudian datang api untuk melahapnya, tetapi api tersebut tidak dapat melahapnya. Dia (nabi itu) pun berseru (kepada kaumnya): "Sesungguhnya di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul (mengambil harta rampasan perang secara diam-diam). Maka, hendaklah ada satu orang dari setiap kabilah bersumpah (berbai’at) kepadaku," kemudian ada tangan seseorang menempel ke tangannya (berbai’at kepada nabi itu), lalu ia (nabi itu) berkata,"Di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul, maka hendaknya kabilahmu bersumpah
(berbai’at) kepadaku," kemudian ada tangan dari dua atau tiga orang menempel ke tangannya (berbai’at kepada nabi itu), lalu ia (nabi itu) berkata,"Di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul," maka mereka datang membawa emas sebesar kepala sapi, kemudian mereka meletakkannya, lalu datanglah api dan melahapnya. Kemudian Allah menghalalkan harta rampasan perang bagi kita (karena) Allah melihat kelemahan kita. 2.
Ketika pengumpulan zakat maal (harta). Seseorang yang diberi tugas mengumpulkan zakat maal oleh seorang pemimpin negeri, jika tidak jujur, sangat mungkin ia mengambil sesuatu dari hasil (zakat maal) yang telah dikumpulkannya, dan tidak menyerahkannya kepada pemimpin yang menugaskannya. Atau dia mengaku yang dia ambil adalah sesuatu yang dihadiahkan kepadanya. Peristiwa semacam ini pernah terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan beliau memperingatkan dengan keras kepada petugas yang mendapat amanah mengumpulkan zakat maal tersebut dengan mengatakan : (())أللفلل لﻗلعللللللللللللمﺪلت بفلللللللللللل ي لﺑمﻴللللللللللللبت ألبﺑﻴلللللللللللللك لﻭأيمﻣلللللللللللللك لفلﻨلظللللللللللللمﺮلت أليمﻬلللللللللللللﺪﻯ لﻟلللللللللللللك ألمم لﻻ "Tidakkah kamu duduk saja di rumah bapak-ibumu, lalu lihatlah, apakah kamu akan diberi hadiah (oleh orang lain) atau tidak?" Kemudian pada malam harinya selepas shalat Isya’ Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berceramah (untuk memperingatkan perbuatan ghulul kepada khalayak). Di antara isi penjelasan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan : ((لفلوﺍﻟلبﺬ ي لنمفيﺲ يﻣلحلم ٍدﺪ بﺑلﻴبﺪبﻩ لﻻ لييغلل أللحيﺪيكمﻢ بﻣمﻨلﻬﺎ لشمﻴرئﺎ إبلﻻ لﺟﺎلء بﺑبﻪ ليمولم ﺍمﻟبقلﻴﺎلﻣبة ليمحبمﻠييﻪ لﻋلﻠﻰ يﻋيﻨبقبﻪ إبمن لكﺎلن لﺑبعﻴرﺮﺍ لﺟﺎلء بﺑبﻪ لﻟيﻪ يﺭلغﺎءء ))لﻭإبمن لكللللللللﺎلنمت لﺑلقلللللللللﺮرة لﺟللللللللﺎلء بﺑلﻬللللللللﺎ ﻟللﻬللللللللﺎ يﺧلللللللللوﺍءﺭ لﻭإبمن لكللللللللﺎلنمت لشللللللللﺎرة لﺟللللللللﺎلء بﺑلﻬللللللللﺎ لتمﻴلعلللللللليﺮ "(Maka) Demi (Allah), yang jiwa Muhammad berada di tanganNya. Tidaklah seseorang dari kalian mengambil (mengkorupsi) sesuatu daripadanya (harta zakat), melainkan dia akan datang pada hari Kiamat membawanya di lehernya. Jika (yang dia ambil) seekor unta, maka (unta itu) bersuara. Jika (yang dia ambil) seekor sapi, maka (sapi itu pun) bersuara. Atau jika (yang dia ambil) seekor kambing, maka (kambing itu pun) bersuara …"
3.
Hadiah untuk petugas, dengan tanpa sepengetahuan dan izin pemimpin atau yang menugaskannya. Dalam hal ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda yang artinya:"Hadiah untuk para petugas adalah ghulul".
Setiap tugas apapun, terutama yang berurusan dengan harta, seperti seorang yang mendapat amanah memegang perbendaharaan negara, penjaga baitul maal atau yang lainnya, terdapat peluang bagi seseorang yang berniat buruk untuk melakukan ghulul (korupsi), padahal dia sudah memperoleh upah yang telah ditetapkan untuknya. Telah disebutkan dalam hadits yang telah lalu, yaitu sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang artinya : Barangsiapa yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya, maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulul (korupsi).
E. Bahaya Ghulul (Korupsi) Tidaklah Allah melarang sesuatu, melainkan di balik itu terkandung keburukan dan mudharat (bahaya) bagi pelakunya. Begitu pula dengan perbuatan korupsi (ghulul), tidak luput dari keburukan dan mudharat tersebut. Diantaranya : 1. Pelaku ghulul (korupsi) akan dibelenggu, atau ia akan membawa hasil korupsinya pada hari Kiamat, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat ke-161 surat Ali Imran dan hadits ‘Adiy bin ‘Amirah Radhiyallahu 'anhu di atas. Dan dalam hadits Abu Humaid as Sa’idi Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : ((... لﻭﺍﻟلبﺬ ي لنمفبس ي بﺑلﻴبﺪبﻩ لﻻ ليمأيﺧيﺬ أللحءﺪ بﻣمﻨيﻪ لشمﻴرئﺎ إبلﻻ لﺟﺎلء بﺑبﻪ ليمولم ﺍمﻟبقلﻴﺎلﻣبة ليمحبمﻠييﻪ لﻋلﻠﻰ لﺭلﻗلببﺘللبﻪ إبمن لكللﺎلن لﺑبعﻴللرﺮﺍ لﻟلليﻪ يﺭلغللﺎء ألمﻭ لﺑ لقللللللللللللللللللللللللللللﺮرة ﻟل لﻬلللللللللللللللللللللللللللﺎ يﺧللللللللللللللللللللللللللللوﺍءﺭ ألمﻭ لشلللللللللللللللللللللللللللﺎرة لتمﻴ لعللللللللللللللللللللللللللليﺮ...)) "Demi (Allah), yang jiwaku berada di tanganNya. Tidaklah seseorang mengambil sesuatu daripadanya (harta zakat), melainkan dia akan datang pada hari Kiamat membawanya di lehernya. Jjika (yang dia ambil) seekor unta, maka (unta itu) bersuara. Jika (yang dia ambil) seekor sapi, maka (sapi itu pun) bersuara. Atau jika (yang dia ambil) seekor kambing,
maka
(kambing
itu
pun)
bersuara
…”
2. Perbuatan korupsi menjadi penyebab kehinaan dan siksa api neraka pada hari Kiamat. Dalam hadits Ubadah bin ash Shamit Radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda yang artinya: "…(karena) sesungguhnya ghulul (korupsi) itu adalah kehinaan, aib dan api neraka bagi pelakunya".
3.Orang yang mati dalam keadaan membawa harta ghulul (korupsi), ia tidak mendapat jaminan atau terhalang masuk surga. Hal itu dapat dipahami dari sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : (())لﻣلللللمﻦ لفلللللﺎلﺭلق ﺍﻟللللللﺮﻭيح ﺍمﻟلجلسللللللﺪ لﻭيهللللللو لﺑبﺮ يلللللء بﻣلللللمﻦ لثلل ٍدث لدلﺧللللللل ﺍمﻟلجلﻨللللللة بﻣلللللمﻦ ﺍمﻟبكمبلللللبﺮ لﻭﺍمﻟيغيﻠلللللوبﻝ لﻭﺍﻟللللللﺪميبﻦ "Barangsiapa berpisah ruh dari jasadnya (mati) dalam keadaan terbebas dari tiga perkara, maka ia (dijamin) masuk surga. Yaitu kesombongan, ghulul (korupsi) dan hutang". 4. Allah tidak menerima shadaqah seseorang dari harta ghulul (korupsi), sebagaimana dalam sabda Nabi Saw yang artinya: "Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci, dan shadaqah tidak diterima dari harta ghulul (korupsi)". 5. Harta hasil korupsi adalah haram, sehingga ia menjadi salah satu penyebab yang dapat menghalangi terkabulnya do’a, sebagaimana dipahami dari sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : ((ألليلﻬﺎ ﺍﻟلﻨﺎيس إبلن ﺍلﷲل لطمﻴءﺐ لﻻ ليمقلبيل إبلﻻ لطمﻴربﺎ لﻭإبلن ﺍلﷲل أللﻣلﺮ ﺍمﻟيممؤبﻣبﻨﻴلﻦ بﺑلمﺎ أللﻣلﺮ بﺑبﻪ ﺍمﻟيممﺮلﺳبﻠﻴلﻦ لفلقﺎلﻝ ليﺎ ألليلﻬﺎ ﺍﻟلﺮيﺳلليل يكيﻠللوﺍ بﻣللمﻦ ﺍﻟلﻄمﻴلبللﺎبت ﺻﺎبﻟرحﺎ إبمن ي بﺑلمﺎ لتمعلميﻠولن لﻋبﻠﻴءﻢ لﻭلﻗﺎلﻝ ليﺎ ألليلﻬﺎ ﺍﻟلبﺬيلﻦ آلﻣيﻨوﺍ يكيﻠوﺍ بﻣمﻦ لطمﻴلبﺎبت لﻣﺎ لﺭلزمﻗلﻨﺎيكمﻢ يثلﻢ لذلكلﺮ ﺍﻟلﺮيﺟلل يبﻄﻴيل ﺍﻟلسلفلﺮ ألمشلللعلث لﻭﺍمﻋلميﻠوﺍ ل ))ألمغلبلﺮ لييملﺪ ليلﺪميبﻪ إبلﻟﻰ ﺍﻟلسلمﺎبء ليﺎ لﺭمب ليﺎ لﺭمب لﻭلﻣمﻄلعيميﻪ لحلﺮﺍءم لﻭلﻣمشلﺮيﺑيﻪ لحلﺮﺍءم لﻭلﻣمﻠلبيسيﻪ لحلﺮﺍءم لﻭيغبﺬل ي بﺑﺎمﻟلحلﺮﺍبم لفلألنﻰ يمسلﺘلجﺎيب بﻟلﺬبﻟلك "Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang yang beriman dengan apa yang Allah perintahkan kepada para rasul. Allah berfirman,"Wahai para rasul, makanlah dari yang baik-baik dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan". Dia (Allah) juga berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman, makanlah yang baik-baik dari yang Kami rizkikan kepada kamu," kemudian beliau (Rasulullah) Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan seseorang yang lama bersafar, berpakaian kusut dan berdebu. Dia menengadahkan tangannya ke langit (seraya berdo’a): "Ya Rabb…, ya Rabb…," tetapi makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dirinya dipenuhi dengan sesuatu yang haram. Maka, bagaimana do’anya akan dikabulkan?".
BAB III PENUTUP KESIMPULAN Korupsi adalah sebuah kata yang mempunyai banyak arti. Arti kata korupsi secara harfiah ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.1 Korupsi dalam Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa yang dimaksud dengan korupsi adalah usaha memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi dengan cara melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam undang-undang korupsi yang berlaku di Malaysia korupsi diartikan sebagai reswah yang dalam bahasa Arab bermakna suap. Merangkai kata untuk perubahan memang mudah. Namun, melaksanakan rangkaian kata dalam bentuk gerakan terkadang teramat sulit. Dibutuhkan kecerdasan dan keberanian untuk mendobrak dan merobohkan pilar-pilar korupsi yang menjadi penghambat utama lambatnya pembangunan ekonomi nan paripurna di Indonesia. Korupsi yang telah terlalu lama menjadi wabah yang tidak pernah kunjung selesai, karena pembunuhan terhadap wabah tersebut tidak pernah tepat sasaran ibarat “ yang sakit kepala, kok yang diobati tangan “. Pemberantasan korupsi seakan hanya menjadi komoditas politik, bahan retorika ampuh menarik simpati. Oleh sebab itu dibutuhkan kecerdasan masyarakat sipil untuk mengawasi dan membuat keputusan politik mencegah makin mewabahnya penyakit kotor korupsi di Indonesia. Tidak mudah memang. Sebagai pembawa amanat Allah, amanat keadilan dan kemaslahatan segenap rakyat, pemerintah berkewajiban untuk menegakkan ketertiban umum, melindungi
keamanan seluruh rakyat, dan menegakkan keadilan begi kemaslahatan semua pihak, tanpa membedakan warna kulit, suku bangsa, golongan maupun keyakinan agamanya.
DAFTAR PUSTAKA
Munawar Fuad Noeh, Islam dan Gerakan Moral Anti Korupsi, Jakarta, Zikrul Hakim, 1997. Sa’di Abu Jaib, Al-Qamus Al-Fiqhi, Beirut: Dar al-Fikr, 1998. Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid. 3, Beirut: Dar al-Fikr,1983. Wahab Afif, Hukum Pidana Islam, Banten ,Yayasan Ulumul Quran, 1988. Saleh, Wantjik. 1978. Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia . Jakarta : Ghalia Indonesia http://kumpulanmakalah-cncnets.blogspot.com/2012/02/makalah-korupsi.html
Dibuat: Jumat, 31 Oktober 2014 09:17 Ditulis oleh BDPim Magelang Oleh: Suradi Widyaiswara تMadya تBalai تDiklat تKepemimpinan تMagelang Abstrak: Jenis tindak pidana (jarimah) dalam fiqh jinayah dari unsur-unsur dan definisi yang mendekati pengertian korupsi menurut hukum Islam adalah sebagai berikut: Ghulul (Penggelapan), Risywah (Penyuapan), Ghasab (Mengambil Paksa Hak/Harta Orang Lain), Khianat, Sariqah (Pencurian), Hirabah (Perampokan), Al-Maks (Pungutan Liar), Al-Ikhtilas (Pencopetan), dan Al-Ihtihab (Perampasan). Kata kunci: jarimah, fiqh jinayah dan korupsi
A. Tanggung jawab Dalam Pemberantasan Korupsi Sungguh تsangat تmenyedihkan تbahwa تbangsa تIndonesia تmayoritas تberagama namun تsampai تdengan تsaat تini, تIndonesia تmasih تmenyandang تjawara تdalam تhal korupsi. ت ت ت تTulisan تini تbermaksud تuntuk تmengingatkan تkepada تkita تsemua تbahwa korupsi تdilarang تdalam تajaran تagama تapa تpun تtermasuk تagama تIslam. ت تSetelah تkita memahami تsecara تbaik تadanya تlarangan تuntuk تtidak تkorupsi تberdasarkan تSyari’at Islam تdiharapkan تumat تIslam تkhususnya تakan تmanjauhi تpraktek-praktek تkorupsi yang تkotor تdan تkeji. ت Meskipun تterjadinya تpraktek تkorupsi تdi تberbagai تsektor تtidak تserta تmerta berdampak تlangsung تkepada تkehidupan تkita تnamun تjika تkita تsemua تtidak تpeduli تdan turut تserta تpada تupaya تpemberantasan تtindak تpidana تkorupsi تmaka تlambat تlaun تkita semua تakan تhancur تberantakan. تHal تini تdiibaratkan تsebagai تsebuah تkapal تbesar yang تbernama تIndonesia, تberlayar تmenyeberangi تsamudera تnan تluas تdan mengangkut تsarat تpenumpang تdengan تberbagai تkepentingan. تAgar تtujuan تdapat dicapai تdengan تselamat تmaka تkapten تkapal تharus تmenegakkan تaturan تmain تseperti yang تtelah تmereka تsepakati. ت ت تPeristiwa تdemikian تtelah تdi تjelaskan تdalam تsalah تsatu hadist تsebagai تberikut: Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim telah menceritakan kepada kami Zakariyya' berkata, aku mendengar 'Amir berkata, aku mendengar An-Nu'man bin Basyir radliallahu 'anhuma dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Perumpamaan orang yang menegakkan hukum Allah dan orang yang diam terhadapnya seperti sekelompok orang yang berlayar dengan sebuah kapal lalu sebagian dari mereka ada yang mendapat tempat di atas dan sebagian lagi di bagian bawah perahu. Lalu orang yang berada di bawah perahu bila mereka mencari air untuk minum mereka harus melewati orang-orang yang berada di bagian atas seraya berkata; "Seandainya boleh kami lubangi saja perahu ini untuk mendapatkan bagian kami sehingga kami tidak mengganggu orang yang berada di atas kami". Bila orang yang berada di atas membiarkan saja apa yang diinginkan orang-orang yang di bawah itu maka mereka akan binasa semuanya.
Namun bila mereka mencegah dengan tangan mereka maka mereka akan selamat semuanya" (HR. Bukhari) B. Korupsi Menurut Fiqh Jinayah Korupsi تdalam تsyariat تIslam تdiatur تdalam تfiqh تJinayah. تBerikut تini تakan dibahas تbeberapa تjenis تtindak تpidana (تkorupsi) تmenurut تFiqh تJinayah (تIrfan, ت2012). Fiqh تadalah تilmu تtentang تhukum-hukum تsyariat تyang تbersifat تpraktis تdan تmerupakan hasil تanalisis تseorang تmujtahid تterhadap تdalil-dalil تyang تterinci, تbaik تyang تterdapat dalam تAl-quran تmaupun تhadist. تSecara تterminologis, تjinayah تdidefinisikan تdengan semua تperbuatan تyang تdilarang تdan تmengandung تkemudaratan تterhadap تjiwa تatau selain تjiwa. ت ت ت ت ت ت ت ت ت ت ت ت تJinayah تadalah تsebuah تtindakan تatau تperbuatan تseseorang تyang mengancam تkeselamatan تfisik تdan تtubuh تmanusia تserta تberpotensi تmenimbulkan kerugian تpada تharga تdiri تdan تharta تkekayaan تmanusia تsehingga تtindakan تatau perbuatan تitu تdianggap تharam تuntuk تdilakukan تbahkan تpelakunya تharus تdikenai sanksi تhukum, تbaik تdiberikan تdi تdunia تmaupun تhukuman تAllah تkelak تdi تakhirat. ت ت ت ت ت ت ت ت ت ت ت تFiqh تJinayah تadalah تilmu تtentang تhukum-hukum تsyariat تyang تdigali تdan disimpulkan تdari تnash-nash تkeagamaan, تbaik تAlquran تmaupun تhadist, تtentang kriminalitas, تbaik تberkaitan تdengan تkeamanan تjiwa تmaupun تanggota تbadan تatau menyangkut تseluruh تaspek تpancajiwa تsyariat تyang تterdiri تdari:
agama;
jiwa;
akal;
kehormatan تatau تnasab;
harta تkekayaan تmaupun تdi تluar تpancajiwa تsyariat تtersebut
C. Sumber dan Objek Kajian Fiqh Jinayah Menurut تAbdul تQadir تAudah تdalam تIrfan (ت2012) تmengemukakan تbahwa تsumbersumber تyang تbisa تditetapkan تsebagai تdalil تdalam تmasalah تfiqh تjinayah تadalah ت sebagai تberikut: 1. Al-quran; 2. Hadist; 3. Ijma’; 4. qiyas.
Nomor ت1 تs/d ت3 تsudah تdisepakati تfuqaha, تnamun تsebagian تulama تada تyang ت menganggap تqiyas تsebagai تsebagai تsumber تfiqh تjinayah تdan تada تyang تtidak ت menganggapnya تsebagai تsumber تfiqh تjinayah. ت Cara تpenulisan تdan تpembahasan تfiqh تjinayah تdalam تkitab-kitab تfiqh تdapat dibedakan تmenjadi تdua. تAda تyang تsecara تkhusus تdan تada تspesifik. تFiqh تJinayah merupakan تsubbagian تyang تterdapat تpada تbagian تakhir تisi تsebuah تkitab تfiqh تatau kitab تhadist تyang تcorak تpemamparannya تseperti تkitab تfiqh. Objek تutama تkajian تfiqh تjinayah تdapat تdibedakan تmenjadi تtiga تbagian تsebagai berikut: 1. Al-rukn تal-syar’i (تunsur تformil) 2. Al-rukn تal-madi (تunsur تmateriil) 3. Al-rukn تal-adabi (تunsur تmoril) Al-rukn al-syar’i atau unsur formal تadalah تunsur تyang تmenyatakan تbahwa seseorang تdapat تdinyatakan تsebagai تpelaku تpelanggar (تjarimah) تmaka تharus تada nash تatau تundang-undang تyang تsecara تtegas تmelarang تdan تmenjatuhkan تsanksi kepada تpelaku تtindak تpidana. ت ت ت ت ت ت ت ت ت ت ت تAl-rukn al-madi atau unsur materiil تadalah تsebuah تunsur تyang menyatakan تbahwa تseseorang تdapat تdisebut تpelaku تjarimah تmaka تpelaku تharus benar-benar تtelah تterbukti تmelakukan تjarimah, تbaik تyang ت تbersifat تpositif ( تaktif melakukan) تmaupun تyang تbersifat تnegatif (تpasif تtidak تmelakukan تsesuatu). ت ت ت ت ت ت ت ت ت ت ت تSedangkan تAl-rukn al-adabi (unsur moril) تadalah تunsur تyang تmenyatakan تbahwa تseseorang melakukan تsebuah تjarimah تharus تsebagai تsubjek تyang تbisa تdiminta تpertanggungjawaban تatau تpelaku ت harus تbisa تdipersalahkan, تartinya تpelaku تbukan تorang تgila, تanak تdi تbawah تumur تatau تbukan ت seseorang تyang تberada تdi تbawah تancaman تatau تketerpaksaan.
D. Jenis Tindak Pidana Korupsi Dalam Fiqh Jinayah Beberapa تjenis تtindak تpidana (تjarimah) تdalam تfiqh تjinayah تdari تunsur-unsur تdan ت definisi تyang تmendekati تpengertian تkorupsi تdi تmasa تsekarang تadalah: 1. Ghulul (تPenggelapan) 2. Risywah (تPenyuapan) 3. Ghasab (تMengambil تPaksa تHak/Harta تOrang تLain) 4. Khianat 5. Sariqah (تPencurian) 6. Hirabah (تPerampokan)
7. Al-Maks (تPungutan تLiar), تAl-Ikhtilas (تPencopetan), تdan تAl-Ihtihab ت (Perampasan) ت 1. Al-Ghulul (Penggelapan) 1.
Mencuri تharta تrampasan تperang (تAl-ghulul) 2. Menggelapkan تuang تdari تkas تNegara (تbaitul maal) 3. Menggelapkan تzakat 4. Hadiah تuntuk تpara تpejabat
Menggelapkan تuang تNegara تdalam تSyari’at تIslam تdisebut تAl-ghulul, تyakni تmencuri ghanimah ( تharta تrampasan تperang) تatau تmenyembunyikan تsebagiannya ( تuntuk dimiliki) تsebelum تmenyampaikannya تke تtempat تpembagian ( تAbu تFida, ت2006), meskipun تyang تdiambilnya تsesuatu تyang تnilainya تrelatif تkecil تbahkan تhanya تseutas benang تdan تjarum. تMencuri تatau تmenggelapkan تuang تdari تbaitul maal (تkas تNegara) dan تzakat تdari تkaum تmuslimin تjuga تdisebut تdengan تAl-ghulul. Berdasarkan تhaditshadits تdari تRasulullah تmaka تyang تtermasuk تAl-ghulul, adalah تsebagai تberikut: Adapun تdasar تhukum تdari تAl-ghulul, adalah تdalil-dalil تbaik تyang تterdapat تdalam تAlQuran تmaupun تHadits تsebagai تberikut: “Tidak mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang). Barang siapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan perang) maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya”.(QS. Ali-Imran ayat 161) Hadits-Hadits yang mengatur Al-ghulul: a. Larangan Mengambil yang bukan haknya meskipun seutas benang dan sebuah jarum Nabi تMuhammad تSaw تpernah تbersabda,”Serahkanlah benang dan jarum. Hindarilah Al-ghulul, sebab ia akan mempermalukan orang yang melakukannya pada hari kiamat kelak”. beginilah anjuran dari Rasulullah, melarang mengambil sesuatu yang bukan haknya walaupun hanya seutas benang dan sebuah jarum. b. Bagikan segala sesuatu kepada yang berhak Dari Ibnu Jarir dari Al-Dahhak, bahwa nabi mengirimkan beberapa orang pengintai kepada suatu daerah musuh. Kemudian daerah itu diperangi dan dikalahkan serta harta rampasan dibagi-bagi. Tetapi para pengintai tidak hadir ketika rampasan itu dibagi-bagi. Lalu ada diantara mereka menyangka, bahwa mereka tidak akan dapat bagian. Kemudian setelah mereka datang ternyata bagian untuk mereka telah disediakan. Maka turunlah ayat ini yang menegur sangkaan mereka yang buruk, sekaligus menyatakan bahwa nabi tidaklah berbuat curang dengan pembagian harta rampasan perang dan sekali-kali
tidaklah nabi akan menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan diri beliau sendiri. c. Larangan untuk mengambil sesuatu tanpa izin dari yang berhak Bersumber dari Mu’adz bin Jabal yang berkata, “Rasulullah Saw telah mengutus saya ke Negeri Yaman. Ketika saya baru berangkat, ia mengirim seseorang untuk memanggil saya kembali, maka saya pun kembali.” Nabi bersabda, “Apakah engkau mengetahui mengapa saya mengirim orang untuk menyuruhmu kembali? Janganlah kamu mengambil sesuatu apa pun tanpa izin saya, karena hal itu adalah Ghulul (korupsi). Barang siapa melakukan ghulul, ia akan membawa barang ghulul itu pada hari kiamat. Untuk itu saya memanggilmu, dan sekarang berangkatlah untuk tugasmu.” (HR. At-Tirmidzi). d. Pada hari kiamat orang akan memikil terhadap barang yang diambil secara tidak sah Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah berkata, “Suatu hari Rasulullah saw berdiri ditengah-tengah kami. Beliau menyebut tentang ghulul, menganggapnya sebagai sesuatu yang sangat besar. Lalu beliau bersabda, “Sungguh aku akan mendapati seseorang di antara kalian pada hari kiamat datang dengan memikul unta yang melenguh-lenguh. “ Ia berkata, “Wahai Rasulullah tolonglah aku. “Maka aku menjawab, “Aku tidak memiliki sesuatupun dari Allah untuk itu. Sungguh aku telah menyampaikan semuanya kepadamu. Aku juga mendapati seseorang di antara kalian pada hari kiamat datang dengan memikul kambing yang mengembik-embik. “Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah tolonglah aku.’ Maka aku menjawab, ‘Aku tidak memiliki sesuatupun dari Allah untuk itu. Sungguh aku telah menyampaikan semuanya. Aku juga mendapati seseorang di antara lain pada hari kiamat datang dengan memikul binatang yang mengeluarakan suara-suara keras. Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah tolonglah aku.’ Maka aku menjawab, ‘ Aku tidak memiliki sesuatupun dari Allah untuk itu. Sungguh aku telah menyampaikan semuanya kepadamu. Aku juga akan mendapati seseorang di antara kalian pada hari kiamat datang dengan memikul kain dan baju-baju yang berkibar-kibar.’ Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah tolonglah aku.’ Maka aku menjawab, ‘Aku tidak memiliki sesuatupun dari Allah untuk itu. Sungguh aku telah menyampaikan semuanya kepadamu. Aku mendapati seseorang di antara kalian pada hari kiamat datang dengan memikul barangbarang yang berharga.’ Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah tolonglah aku.’ Maka aku menjawab, ‘aku tidak memiliki sesuatu apapun dari Allah untuk itu. Sungguh aku telah menyampaikan semuanya kepadamu.’” (HR. Bukhari) e. Larangan Pejabat Publik untuk mengambil semua kekayaan publik secara tidak sah Hadits تini تmenunjukkan تbahwa تpengertian تghulul تtidak تterbatas تpada تlingkup korupsi تharta تrampasan تperang تsaja, تmelainkan تmencakup تsemua تkekayaan publik, تyang تdiambil تseorang تpejabat تsecara تtidak تsah. تSeperti تtertuang تdalam peringatan تRasulullah تSaw تkepada تMu’adz تyang تdiangkat تmenjadi تGubernur Yaman, تagar تtidak تmengambil تsesuatu تapa تpun تdari تkekayaan تnegara تyang تada تdi
bawah تkekuasaannya تtanpa تizin تRasulullah. تJika تhal تini تtetap تdilakukan تmaka تia melakukan تtindakan تkorupsi. Telah menceritakan kepada kami Ubaid bin Isma'il, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Hisyam dari ayahnya, dari Abu Humaid As Sa'idi mengatakan, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam pernah mempekerjakan seorang laki-laki untuk mengelola zakat bani Sulaim yang sering dipanggil dengan nama Ibnu Al Latabiyah, tatkala dia datang, dia menghitungnya dan berkata; 'Ini adalah hartamu dan ini hadiah.' Spontan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam berujar: "kenapa kamu tidak dudukduduk saja di rumah ayahmu atau ibumu sampai hadiahmu datang kepadamu jika kamu jujur." Kemudian beliau berpidato di hadapan kami, memuja dan memuji Allah terus bersabda: "Amma ba'd. Sesungguhnya saya mempekerjakan salah seorang diantara kalian untuk mengumpulkan zakat yang telah Allah kuasakan kepadaku, lantas ia datang dan mengatakan; 'ini hartamu dan ini hadiah yang diberikan kepadaku, ' kenapa dia tidak dudukduduk saja di rumah ayahnya atau ibunya sampai hadiahnya datang kepadanya? Demi Allah, tidaklah salah seorang diantara kalian mengambil sesuatu yang bukan haknya, selain ia menjumpai Allah pada hari kiamat dengan memikul hak itu, aku tahu salah seorang diantara kalian menjumpai Allah dengan memikul unta yang mendengus, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik." Kemudian beliau mengangkat tangannya hingga terlihat putih ketiaknya seraya mengatakan: "Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikan apa yang kulihat dengan mataku dan kudengar dengan dua telingaku?" (HR. Bukhari) 2. Risywah (Penyuapan) Risywah تadalah تsesuatu تyang تdapat تmenghantarkan تtujuan تdengan تsegala تcara agar تtujuan تdapat تtercapai (تAbu تFrida, ت2006). تDefinisi تtersebut تdiambil تdari تasal تkata rosya تyang تberarti تtali تtimba تyang تdipergunakan تuntuk تtali تtimba تdari تsumur. ت Sedangkan تar-raasyi adalah تorang تyang تmemberikan تsesuatu تkepada تpihak تkedua yang تsiap تmendukung تperbuatan تbatil. تAdapun تroisyi تadalah تpenghubung تantara penyuap تdan تpenerima تsuap, تsedangkan تal-murtasyi تadalah تpenerima تsuap. Ruang lingkup Risywah dapat dikelompokkan, antara lain sebagai berikut:
Risywah تdibidang تekonomi, تseperti تtender تfiktif, تpemilihan تdeputi تgubernur تBI ت yang تtelah تdiatur. o
Risywah تdibidang تpendidikan, تseperti تpemberian تnilai تkepada ت siswa/mahasiswa تtertentu, تpenerimaan تsiswa تbaru تlewat تjalur ت belakang.
o
Risywah تdibidang تHukum, تseperti تmafia تperadilan.
o
Risywah تdibidang تkepegawaian, تseperti تkecurangan تdalam ت penerimaan تPNS, تproses تpromosi تdan تmutasi تyang تsarat تKKN.
Syaikh Muhammad bin Abdul wahap memberikan definsi risywah sebagai berikut: “Imbalan yang diambil seseorang atas perbuatannya yang mengaburkan kebenaran dan mengkedepankan kebathilan, dan kompensasi yang dinikmati seseorang atas usaha untuk menyampaikan hak orang lain kepada yang berkompeten.” Dr. Yusuf Qardhawi dalam Abu Fida mendefinisikan risywah sebagai berikut: “Suatu yang diberikan kepada seseorang yang mempunyai kekuasaan atau jabatan (apa saja) untuk menyukseskan perkaranya dengan mengalahkan lawan-lawannya sesuai dengan apa-apa yang diinginkan, atau untuk memberikanpeluang kepadanya (misalnya seperti lelang/tender) atau menyingkirkan lawan-lawannya……” (Al-Halal dan Haram, hal,123) Adapun dasar hukum dari Risywah, adalah dalil-dalil baik yang terdapat dal AlQuran maupun Hadits sebagai berikut: Surat تAL-Maidah (ت5) تayat ت42 “Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram418. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil”. QS: Al-Maidah(5) ayat 42 Haramnya Risywah Berdasarkan As-Sunnah Hadits Pertama Bersumber dari Tsauban ia berkata, “Rasulullah Saw melaknat pelaku, penerima, dan perantara risywah, yaitu orang-orang yang menjadi penghubung di antara keduanya. (HR. Ahmad) Hadits Kedua Bersumber dari Abdillah bin Amr dan Nabi Saw, ia berkata, “Rasulullah Saw melaknat pelaku dan penerima risywah.” Ia berkata, “rasul menambahkan, Allah akan melaknat pelaku dan penerima risywah.” (HR. Ibnu Majah). Hadits Ketiga Rasulullah Saw bersabda, “ Penyuap dan yang menerima suap masuk dalam neraka.” (HR. Tabrani) Hadits Keempat
Bersumber dari Masruq, seorang Qadhi berkata, “Apabila seseorang memakan hadiah, maka ia memakan uang pelicin, dan barang siapa yang menerima risywah (suap) maka ia telah mencapai kafir.” Katanya lagi, “Barang siapa meminum khamr, sungguh ia telah kafir, dan kafirnya adalah bukan kafir (meninggalkan) shalat.” (HR. An-Nasa’i).
1. Ghasab (Mengambil Paksa Hak/Harta Orang Lain) Pengertian تghasab تmenurut ت تIrfan (ت2012) تadalah تmengambil تharta تatau ت تmenguasai hak تorang تlain تtanpa تizin تpemiliknya تdengan تunsur تpemaksaan تdan تterkadang dengan تkekerasan تserta تdilakukan تsecara تterang-terangan. ت Karakteristik dari ghasab:
Karena تada تbatasan تtanpa تizin تpemilik تmaka تbila تyang تdiambil تberupa تharta titipan تatau تgadai تjelas تtidak تtermasuk تperbuatan تghasab تtetapi تkhianat. ت
Terdapat تunsur تpemaksaan تatau تkekerasan تmaka تghasab تbisa تmirip تdengan perampokan, تnamun تdalam تghasab تtidak تterjadi تtindak تpembunuhan
Terdapat تunsur تterang-terangan تmaka تghasab تjauh تberbeda تdengan pencurian تyang تdidalamnya تterdapat تunsur تsembunyi-sembunyi.
Yang تdiambil تbukan تhanya تharta, تmelainkan تtermasuk تmengambil/menguasai hak تorang تlain.
Adapun تdasar تhukum تdari تGhasab, adalah تdalil-dalil تbaik تyang تterdapat تdalam تAlQuran تmaupun تHadits تsebagai تberikut: Surah Al-Nisa (4) ayat 29 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu 287) ; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. QS: Al-Nisa (4) ayat 29 Larangan تmembunuh تdiri تsendiri تmencakup تjuga تlarangan تmembunuh تorang تlain, sebab تmembunuh تorang تlain تberarti تmembunuh تdiri تsendiri, تkarena تumat merupakan تsuatu تkesatuan.
287)
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebagian darpada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS: Al-Baqarah (2) ayat 188) Larangan Melakukan Riba berdasarkan Surat al Baqarah ayat 275: Orang-orang yang makan (mengambil) riba174) tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila 175). Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu176) (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. 174)
تRiba تitu تada تdua تmacam: تnasiah تdan تfadhl. تRiba nasiah تialah تpembayaran تlebih yang تdisyaratkan تoleh تorang تyang تmeminjamkan. تRiba fadhl تialah تpenukaran suatu تbarang تdengan تbarang تyang تsejenis, تtetapi تlebih تbanyak تjumlahnya تkarena orang تyang تmenukarkan تmensyaratkan تdemikian, تseperti تpenukaran تemas dengan تemas, تpadi تdengan تpadi, تdan تsebagainya. تRiba تyang تdimaksud تdalam ayat تini تriba تnasiah تyang تberlipat تganda تyang تumum تterjadi تdalam تmasyarakat Arab تzaman تjahiliyah. ت
175)
تMaksudnya: تorang تyang تmengambil تriba تtidak تtenteram تjiwanya تseperti تorang kemasukan تsyaitan. ت
176)
Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.
4. Khianat Wahbah تal-Zuhaili تdalam تIrfan تmendefinisikan تkhianat تdengan تsegala تsesuatu (tindakan/upaya تyang تbersifat) تmelanggar تjanji تdan تkepercayaan تyang تtelah تdipersyaratkan di تdalamnya تatau تtelah تberlaku تmenurut تadat تkebiasaan, تseperti تtindakan تpembantaian terhadap تterhadap تkaum تmuslim تatau تsikap تmenampakkan تpermusuhan تterhadap تkaum muslim. Adapun تdasar تhukum تdari تKhianat, adalah تdalil-dalil تbaik تyang تterdapat تdal تAl-Quran ت maupun تHadits تsebagai تberikut:
Larangan berkhianat dan faedah bertakwa Surah Al-Anfaal (8) ayat 27 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul
(Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”. (QS: Al-Anfaal (8) ayat 27). Hadits Yang Menjelaskan Ciri-ciri Orang Munafik: Telah menceritakan kepada kami Sulaiman Abu ar Rabi' berkata, telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Ja'far berkata, telah menceritakan kepada kami Nafi' bin Malik bin Abu 'Amir Abu Suhail dari bapaknya dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Tanda-tanda munafiq ada tiga; jika berbicara dusta, jika berjanji mengingkari dan jika diberi amanat dia khianat". (HR. Bukhari) Hadits Yang Menjelaskan Ciri-ciri Munafik: Telah menceritakan kepada kami Qabishah bin 'Uqbah berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Al A'masy dari Abdullah bin Murrah dari Masruq dari Abdullah bin
'Amru bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Empat hal bila ada pada seseorang maka dia adalah seorang munafiq tulen, dan barangsiapa yang terdapat
pada dirinya satu sifat dari empat hal tersebut maka pada dirinya terdapat sifat nifaq hingga dia meninggalkannya. Yaitu, jika diberi amanat dia khianat, jika berbicara dusta, jika berjanji mengingkari dan jika berseteru curang". Hadits ini diriwayatkan pula oleh Syu'bah dari Al A'masy. (HR. Bukhari) Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Abdullah bin Dinar dari Abdullah bin Umar radliallahu 'anhuma dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Setiap pengkhianat diberi bendera pada hari kiamat sebagai tanda pengenalnya." (HR. Bukhari). “Bersumber dari Yusuf bin Mahaq Al-Makki yang berkata: Aku menulis daftar nafkah bagi anak-anak yatim untuk Fulan. Si Fulan ini adalah wali dari anak-anak yatim itu. Suatu ketika, mereka keliru menghitung seribu dirham. Si Fulan memberikan seribu dirham kepada mereka (yatim). Namun, kemudian ternyata aku dapati bahwa harta mereka ada dua ribu dirham. aku berkata, “Ambillah seribu dirham milikmu yang telah mereka bawa”. Kemudian ia menjawab: Ayahku menceritakan kepadaku, ia mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Tunaikanlah amanah terhadap orang yang memberimu amanah. Namun, janganlah berkhianat terhadap orang yang mengkhianatimu”. (HR. Abu Dawud) Keterangan: Siapa تpun تyang تmengaku تberiman تkepada تAllah تdan تRasul-Nya تharus تmenjauhi تsifat تkhianat, تkarena ت pengkhianat تsangat تdibenci تAllah تdan تRasul-Nya.
5. Sariqah (Pencurian) 1. 1.
Pencurian تkecil 2. Pencurian تbesar
Sariqah تadalah تmengambil تbarang تatau تharta تorang تlain تdengan تcara تsembunyisembunyi تdari تtempat تpenyimpanannya تyang تbiasa تdigunakan تuntuk تmenyimpan barang تatau تharta تkekayaan تtersebut. Menurut Abdul Qadir Audah, pencurian dikelompokkan menjadi dua: Pencurian تkecil تyaitu تproses تpengambilan تharta تkekayaan تtidak تdisadari تoleh تkorban dan تdilakukan تtanpa تseizinnya تsebab تdalam تpencurian تkecil تharus تmemenuhi تdua unsur تini تsecara تbersamaan (تyaitu تkorban تtidak تmengetahui تdan تtidak تmengizinkan). Pencurian تbesar تadalah تpengambilan تharta تyang تdilakukan تdengan تsepengetahuan korban, تtetapi تia تtidak تmengizinkan تhal تitu تterjadi تsehingga تterdapat تunsur تkekerasan, Adapun تdasar تhukum تdari تSariqah (تPencurian), adalah تdalil-dalil تbaik تyang تterdapat dalam تAl-Quran تmaupun تHadits تsebagai تberikut:
Surah Al-Maidah (5) ayat 38 “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS: Al-Maidah (5) ayat 38). Keterangan: Ayat تini تturun تuntuk تmenjelaskan تhukuman تbagi تyang تmencuri تbaik تbagi تlaki-laki maupun تperempuan. تturunnya تayat تini تterkait تdengan تkisah تseorang تperempuan تdari kabilah تMakhzumiah تyang تmencuri تpada تzaman تRasulullah. تKorban تpencurian melaporkan تkepada تRasulullah, تmereka تberkata: “ تInilah تperempuan تyang تtelah mencuri تharta تbenda تkami, تdan تkeluarganya تakan تmenebusnya”. تBeliau تbersabda: “Potonglah تtangannya”. تKeluarga تpelaku تmenjelaskan, “تKami تberani تmenebus تlima ratus تdinar”. تNabi تSaw تbersabda, “تPotonglah تtangannya”. تMaka تdipotonglah تtangan kanan تperempuan تitu. تLalu تpelaku تbertanya, “ تApakah تtobatku تmasih تditerima تya Rasulullah?” تBeliau تmenjawab, “تYa تengkau تhari تini تbersih تdari تdosamu تseperti تketika engkau تdilahirkan تoleh تibumu”. Anjuran Untuk Tidak Menyekutukan Allah, Tidak Mencuri, Tidak Berzina, dan Tidak Berbohong: Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman berkata, telah mengabarkan kepada kami Syu'aib dari Az Zuhri berkata, telah mengabarkan kepada kami Abu Idris 'Aidzullah bin Abdullah, bahwa 'Ubadah bin Ash Shamit adalah sahabat yang ikut perang Badar dan juga salah seorang yang ikut bersumpah pada malam Aqobah, dia berkata; bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda ketika berada ditengah-tengah sebagian sahabat: "Berbai'atlah kalian kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anakanak kalian, tidak membuat kebohongan yang kalian ada-adakan antara tangan dan kaki kalian, tidak bermaksiat dalam perkara yang ma'ruf. Barangsiapa diantara kalian yang memenuhinya maka pahalanya ada pada Allah dan barangsiapa yang melanggar dari hal tersebut lalu Allah menghukumnya di dunia maka itu adalah kafarat baginya, dan barangsiapa yang melanggar dari halhal tersebut kemudian Allah menutupinya (tidak menghukumnya di dunia) maka urusannya kembali kepada Allah, jika Dia mau, dimaafkannya atau disiksanya". Maka kami membai'at Beliau untuk perkaraperkara tersebut. (HR. Bukhari)
1. Hirabah (Perampokan) Pengertian تHirabah/perampokan ( تIrfan, ت2012) تadalah تtindakan تkekerasan تyang dilakukan تoleh تseseorang تatau تsekelompok تorang تkepada تpihak تlain, تbaik تdilakukan di تdalam تrumah تmaupun تdi تluar تrumah, تdengan تtujuan تuntuk تmenguasai تatau merampas تharta تbenda تmilik تorang تlain تtersebut تatau تdengan تmaksud تmembunuh korban تatau تsekedar تbertujuan تuntuk تmelakukan تteror تdan تmenakut-nakuti تpihak korban. Adapun تdasar تhukum تdari تHirabah ( تPerampokan), adalah تdalil-dalil تbaik تyang terdapat تdal تAl-Quran تmaupun تHadits تsebagai تberikut: Hukuman Terhadap Perusuh dan Pengacau Keamanan Berdasarkan Surah AlMaidah (5) ayat 33
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan
Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik 414) , atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar” (QS: Al-Maidah (5) ayat 33). 414) ت
Maksudnya تialah: تmemotong تtangan تkanan تdan تkaki تkiri; تdan تkalau تmelakukan kejahatan تsekali تlagi تmaka تdipotong تtangan تkiri تdan تkaki تkanan.
Kitab: Perbuatan-perbuatan zhalim dan merampok Bab: Qishash perbutaan zhalim 2260. Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami Mu'adz bin Hisyam telah menceritakan kepadaku bapakku dari Qatadah dari Abu Al Mutawakkil An-Naajiy dari Abu Sa'id Al Khudriy radliallahu 'anhu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika orang-orang beriman telah melewati neraka, mereka akan ditahan di suatu jembatan yang disebut Qanthorah yang terletak antara surga dan neraka, lalu disana mereka akan diqishas (dibalas) atas kezhalimin yang terjadi sesama mereka di dunia, sehingga apabila telah tidak ada lagi dosa barulah mereka diizinkan untuk memasuki surga. Dan demi Dzat yang jiwaku berada di tangaNya, sungguh seorang dari mereka berada di tempat tinggalnya di surga lebih aku kenal dari pada rumah mereka di dunia". Dan berkata, Yunus bin Muhammad telah menceritakan kepada kami Syaiban dari Qatadah telah menceritakan kepada kami Abu Al Mutawakkil (HR. Bukhari)
Dosa orang yang menzhalimi (seseorang) dengan mengambil tanahnya Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman telah mengabarkan kepada kami Syu'aib dari Az Zuhriy berkata, telah menceritakan kepadaku Tholhah bin 'Abdullah bahwa 'Abdurrahman bin 'Amru bin Sahal mengabarkan kepadanya bahwa Sa'id bin Zaid radliallahu'anhu berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang pernah berbuat aniaya terhadap sebidang tanah (di muka bumi ini) maka nanti dia akan dibebani (dikalungkan pada lehernya) tanah dari tujuh bumi".(HR. Bukhari) 2273. Telah menceritakan kepada kami Abu Ma'mar telah menceritakan kepada kami 'Abdul Warits telah menceritakan kepada kami Husain dari Yahya bin Abi Katsir berkata, telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Ibrahim bahwa Abu Salamah menceritakan kepadanya bahwa dia pernah bertengkar dengan seseorang lalu diceritakan hal ini kepada 'Aisyah radliallahu 'anha, maka 'Aisyah radliallahu 'anha berkata: "Wahai Abu Salamah hindarkanlah bertengkar dalam urusan tanah karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda: "Siapa yang pernah berbuat aniaya sejengkal saja (dalam perkara tanah) maka nanti dia akan dibebani (dikalungkan pada lehernya) tanah dari tujuh petala bumi". 2274. Telah menceritakan kepada kami Muslim bin Ibrahim telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Al Mubarak telah menceritakan kepada kami Musa bin 'Uqbah dari Salim dari bapaknya radliallahu 'anhu berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang mengambil sesuatu (sebidang tanah) dari bumi yang bukan haknya maka pada hari qiyamat nanti dia akan dibenamkan sampai tujuh bumi".
7. Al-Maks (Pungutan Liar), Al-Ikhtilas (Pencopetan), dan Al-Ihtihab
(Perampasan) Surah تAsyy-Syura (ت42) تayat ت42 “Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih” (QS: Asyy-Syura (42) ayat 42). Pungutan تliar تyang تterjadi تsejak تkita تmengurus تakte تkelahiran تhingga تakte تkematian yang تterjadi تdi تNegara تkita تbarangkali تtermasuk تdalam تkategori تini. تKarena تpungli merupakan تpungutan تyang تtidak تmemiliki تdasar تhukum تagar تseseorang تtetap membayarnya تagar تurusannya تlancar. تMasyarakat تsebenarnya تsangat تkeberatan namun تapa تdaya تkarena تberhadapan تdengan تmereka تyang تmemiliki تkekuasaan. Nabi saw bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang kerjanya melakukan pungutan liar.” (HR. abu Dawud). Rasulullah bersabda, “Tahukah kamu, siapakah orang bangkrut (muflis) itu? Sahabat menjawab, ‘Wahai Rasulullah orang yang bangkrut itu adalah orang yang tidak memiliki dirham atau kekayaan.’ Rasulullah menjelaskan, ‘Sebenarnya orang yang bangkrut dari umatku orang-orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, shiyam, dan haji. Namun ia datang dalam keadaan telah mencela seseorang, mengambil harta, melecehkan kehormatan, dan menumpahkan darahnya. Maka kebaikannya diambil untuk tersebut. Apabila kebaikannya telah habis sebelum habis kebaikannya terhadap orang-orang tersebut, maka diambillah kesalahan orang-orang itu, lalu dipindahkan kepadanya, sehingga akhirnya ia masuk neraka.” (HR. Muslim) E. Hikmah MempelajariKorupsi Menurut Hukum Islam Ada تbeberapa تhikmah تyang تdapat تdiperoleh تdalam تmempelajari تkorupsi تmenurut syariat تIslam تantara تlain تsebagai تberikut: 1. تMelakukan تkorupsi تatau تtindakan تkriminal تyang تdapat تmerugikan تnegara تatau تorang lain تsangat تlah تtidak تbaik تdan تsangat تtidak تdisukai تoleh تAllah. تOleh تkarena تitu, perbuatan تtersebut تharus تdihindari. 2. تDengan تmempelajari تjinayah, تmaka تkita تakan تmengetahui تjenis-jenis تtindakan kriminal تdan تhukumnya. 3. تDapat تmempertebal تrasa تpersaudaraan, تkarena تperbuatan تyang تdapat تmerugikan orang تlain تsangat تdi تbenci تoleh تAllah تSWT. 4. تMengingatkan تkepada تkita تbahwa تpemberantasan تtindak تpidana تkorupsi تadalah tugas تkita تsemua. Daftar تPustaka:
Abidin, تZaenal تbin تSyamsudin. تJihad Melawan Korupsi. تJakarta: تPustaka تImam تAbu Hanifah. ت2008. Harahap, تHakim تMuda. تAyat-ayat Korupsi. تJogjakarta: تGama تMedia. ت2009. Irfan, تNurul. تKorupsi Dalam Hukum Pidana Islam. تJakarta: تAmzah. ت2011. Muslich, تAhmad تWardi. تPengantar dan Asas Hukum Islam. تJakarta: تSinar تGrafika. ت2004. Rafi’, Abu fida’ Abdur. Terapi Penyakit Korupsi. Jakarta: Republika. 2006