Kumpulan Contoh SPO Pencegahan Dan Tata Laksana Gizi Buruk Balita [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL PENCEGAHAN DAN TATA LAKSANA GIZI BURUK PADA BALITA (KUMPULAN CONTOH SPO)



KEMENTERIAN KESEHATAN RI TAHUN 2021



Pengarah: 1. Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat 2. Direktur Gizi Masyarakat



Kontributor: UKK Nutrisi dan Metabolik IDAI: Sri Nasar; Titis Prawitasari; PERSAGI: Y. Endang Budiwiarti; Mitra Pembangunan: Julia Suryantan; Direktorat Gizi Masyarakat: Julina; Yuni Zahraini; Dyah Yuniar Setiawaty; Mursalim; Andri Mursita; Catur Mei Astuti; Dewi Astuti; Devvi; Evarini Ruslina; Evi Firna; Evi Fatimah; Fembriana Syarifah; Inge



Yuliane;



Haji



Lia



Samkani;



Rahmawati



Hera S;



Nurlita;



Ivonne



Kusumaningtias;



Rully



Wahyuningrum;



Marlina



Nanda Indah Permatasari; Nyimas; Paulina Hutapea; Rian Anggraini; Sri Nurhayati; Tiska



Yumeida;



Visilia



Isminarti



Mahani;



Yosnelli;



Zahrotus



Sholuhiyah.



Editor : Inti Mudjiati; Rivani Noor



Standar Prosedur Operasional Pencegahan dan Tata Laksana Laks ana Gizi Buruk pada Bal ita



1



Gizi buruk adalah salah satu faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya stunting dan merupakan penyebab tidak langsung kematian pada balita. Selain kurangnya jumlah dan kualitas makanan yang dikonsumsi dan atau adanya penyakit penyerta, balita gizi buruk juga rentan terkena penyakit infeksi, sehingga dibutuhkan penanganan secara cepat dan tepat. Upaya menurunkan prevalensi stunting menjadi 14% dan wasting menjadi 7% pada tahun 2024, merupakan tantangan bersama untuk dapat kita wujudkan. Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 terdapat 10,2% balita gizi kurang (wasting) dan 3,5% diantaranya adalah gizi buruk (severe wasting). Dalam upaya mencapai target tersebut, perlu didukung dengan pencapaian Indikator Renstra Persentase Puskesmas Mampu Tata Laksana Gizi Buruk pada Balita, dengan target 60% atau sekitar 6.000 Puskesmas pada tahun 2024. Target tersebut akan dicapai secara bertahap mulai 10% atau sekitar 1000 Puskesmas pada tahun 2020, 20% atau sekitar 2.000 Puskesmas pada tahun 2021 dan seterusnya hingga mencapai 60% pada tahun 2024 (atau sekitar 6000 Puskesmas). Puskesmas mampu tata laksana gizi buruk pada balita adalah Puskesmas yang mempunyai tim asuhan gizi yang terlatih serta mempunyai Standar Prosedur Operasional (SPO) Pencegahan dan Tata Laksana Gizi Buruk pada Balita. Sehubungan dengan pandemi COVID-19, pelaksanaan pelatihan fasilitator dan pelatihan end user menjadi terkendala dalam penyelenggaraannya. Oleh karena itu untuk pencapaian indikator, disepakati dengan menetapkan tahapan atau penyesuaian definisi



operasional, selama masa pandemi dapat dipenuhi bila Puskesmas mempunyai SPO Pencegahan dan Tata Laksana Gizi Buruk Pada Balita. Dalam rangka mendorong Puskemas untuk dapat memenuhi ketersediaan SPO, Direktorat Gizi Masyarakat menyusun dan mensosialisasikan contoh SPO, sehingga dapat digunakan sebagai rujukan bagi Puskesmas. Dengan demikian seluruh Puskesmas dapat menyusun SPO yang disesuaikan dengan kondisi dan ketersediaan sumber daya masing–masing mengacu pada Pedoman Pencegahan dan Tata Laksana Gizi Buruk pada Balita. Terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan Kumpulan Contoh SPO ini. Saran dan masukan yang membangun sangat kami harapkan untuk penyempurnaan. Semoga Kumpulan Contoh SPO ini bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tenaga kesehatan di Puskesmas dalam memberikan pelayanan yang berkualitas, khususnya deteksi dini pencegahan dan penanganan balita gizi buruk sehingga dampak gizi buruk dapat ditekan seminimal mungkin. Jakarta, Juli 2021 Direktur Gizi Masyarakat, DR. Dhian P. Dipo, MA



Tim Penyusun....................................................................................................................... 1 Kata Pengantar..................................................................................................................... 2 Daftar Isi................................................................................................................................. 4 I. Indikator Renstra 2020-2024 Puskesmas Mampu Tata Laksana Gizi Buruk....................................................................................................... 5 II. Contoh Standar Prosedur Operasional..................................................7 A. Contoh SPO Deteksi Dini dan Rujukan Balita Gizi Buruk atau yang Berisiko Gizi Buruk.................................................................................. 8 B. Contoh SPO Penetapan dan Klasifikasi Balita Gizi Buruk di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.......................................................................20 C. Contoh SPO Tata Laksana Balita Gizi Buruk di Layanan Rawat Jalan............................................................................................................ 27 D. Contoh SPO Tata Laksana Gizi Buruk pada Balita Usia 6-59 Bulan di Layanan Rawat Inap.........................................................................35 E. Contoh SPO Tata Laksana Gizi Buruk Pasca Rawat Inap pada Bayi Usia < 6 Bulan Dan Balita Usia ≥ 6 Bulan dengan Berat Badan < 4 kg di Layanan Rawat Jalan.............................................54



I Tujuan pembangunan kesehatan dalam RPJMN 2020-2024, yaitu menurunkan stunting menjadi 14% dan wasting menjadi 7% pada tahun 2024, untuk mewujudkannya perlu didukung oleh pencapaian Indikator Renstra, Persentase Puskesmas Mampu Tata Laksana Gizi Buruk pada Balita. Definisi operasional indikator tersebut adalah Puskesmas dengan kriteria memiliki SPO Tata Laksana Gizi Buruk pada Balita dan mempunyai Tim Asuhan Gizi (dokter, tenaga gizi dan bidan/perawat) terlatih. Balita dengan status gizi buruk berisiko lebih tinggi untuk mengalami stunting dan meningkatkan risiko kematian pada balita, sehingga penanganan kasus harus dilakukan sedini mungkin, mengacu pada Pedoman Pencegahan dan Tata Laksana Gizi Buruk pada Balita. Menurut kriteria WHO untuk proporsi status gizi buruk (severe wasting atau “sangat kurus”) dan status gizi kurang (wasting atau “kurus”) pada balita berdasarkan hasil Riskesdas 2018, Indonesia masih termasuk dalam masalah kesehatan masyarakat kategori “serius” dengan prevalensi 10,2% wasting dan 3,5% diantaranya severe wasting atau sekitar 805.000 untuk gizi buruk. Pada awal tahun 2020 seluruh dunia termasuk Indonesia dilanda pandemi COVID19. Hal tersebut menyebabkan perubahan pada sistem dan pelaksanaan program kesehatan, termasuk tidak dapat dilaksanakannya workshop dan pelatihan Pencegahan dan Tata Laksana Gizi Buruk pada Balita.



Direktorat Gizi Masyarakat melakukan berbagai upaya pencapaian indikator Renstra, salah satunya dengan merumuskan kembali tahapan pencapaian definisi operasional dari indikator Persentase Puskesmas Mampu Tata Laksana Gizi Buruk pada Balita. Definisi operasional indikator disepakati tetap, namun pelaksanaannya secara bertahap, dalam masa pandemi dimulai dari pemenuhan SPO Tata Laksana Gizi Buruk pada Balita di Puskesmas. Telah disusun 5 (lima) contoh SPO Pencegahan dan Tata Laksana Gizi Buruk pada Balita, yaitu: 1) SPO Deteksi Dini dan Rujukan Balita Gizi Buruk atau yang Berisiko Gizi Buruk; 2) SPO Penetapan dan Klasifikasi Balita Gizi Buruk di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, 3) SPO Tata Laksana Balita Gizi Buruk pada Balita usia 6-59 bulan di Layanan Rawat Jalan; 4) SPO Tata Laksana Gizi Buruk pada Balita Gizi Buruk di Layanan Rawat Inap; dan 5) SPO Tata Laksana Gizi Buruk Pasca Rawat Inap pada Bayi Usia < 6 bulan dan Balita usia ≥ 6 bulan dengan Berat Badan < 4 kg di Layanan Rawat Jalan. Selanjutnya contoh SPO Pencegahan dan Tata Laksana Gizi Buruk ini dapat gunakan sebagai acuan bagi Puskesmas dalam menyusun SPO yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing Puskesmas. Dengan tersedianya SPO ini, Puskesmas dapat memberikan pelayanan sesuai standar dan dicatat dilaporkan melalui elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (e-PPGBM) Puskesmas yang telah memiliki SPO dapat mengunggah dalam aplikasi e-PPGBM sebagai bentuk capaian indikator Puskesmas Mampu Tata Laksana Gizi Buruk pada Balita.



.



II



CONTOH STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL



A. CONTOH STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL



DETEKSI DINI DAN RUJUKAN BALITA GIZI BURUK ATAU YANG BERISIKO GIZI BURUK 1. PENDAHULUAN Deteksi dini dan rujukan kasus balita gizi buruk, gizi kurang atau yang berisiko gizi buruk merupakan salah satu bagian dari pelaksanaan mobilisasi masyarakat. Bila kegiatan pemberdayaan masyarakat dan deteksi dini berjalan optimal, banyak kasus gizi buruk yang dapat dicegah dan ditangani dengan cepat dan tepat sehingga kondisi mereka tidak menjadi lebih buruk. Agar deteksi dini dan rujukan kasus dapat optimal diperlukan upaya penemuan dini aktif dan pasif yang melibatkan semua komponen masyarakat, khususnya orang tua, tokoh masyarakat, kader dan anggota masyarakat lainnya.



2. SASARAN SPO ini ditujukan bagi tenaga kesehatan dalam melaksanakan kegiatan penemuan dini dan rujukan serta pendampingan kepada kader dan anggota masyarakat.



3. HASIL YANG DIHARAPKAN a. Tim asuhan gizi mampu memfasilitasi proses persiapan, pelaksanaan dan pemantauan deteksi dini dan rujukan kasus mulai dari tingkat masyarakat.



Standar Prosedur Operasional Pencegahan dan Tata Laksana Gizi Buruk pada Bal ita



8



b. Deteksi dini dan rujukan kasus yang optimal dapat dilaksanakan dengan melibatkan semua anggota masyarakat. c.



Balita gizi buruk atau yang berisiko gizi buruk dapat dideteksi dini dan dirujuk ke fasyankes untuk mendapatkan perawatan yang cepat dan tepat.



4. LANGKAH-LANGKAH PELAKSANAAN a. Persiapan Awal Sebagai awal kegiatan, tenaga kesehatan, kepala daerah, dan pemangku kepentingan setempat yang terkait melaksanakan kajian masyarakat, yaitu melakukan penilaian kegiatan mobilisasi masyarakat, termasuk untuk kegiatan deteksi dini kasus oleh anggota masyarakat. Untuk kegiatan deteksi dini dan rujukan masyarakat, komponen yang penting untuk dinilai adalah: 3. Titik deteksi dini penemuan kasus. 4. Logistik yang dibutuhkan.



1. Sumber daya manusia. 2. Sumber pembiayaan.



ifaktif diluar kegiatan pemantauan pertumbuhan bulanan. Tempat ataudan kegiatan yang rutinuntuk atau yangguru insidental yang dapat menjadi titik penemuan dini secara aktif, antara ana yang dalam tersedia deteksi dan dini, dapat contohnya dimanfaatkan kader posyandu oleh tenaga dan kesehatan dasawisma, guru anggota PAUD, masyarakat karang taruna, untuk melakukan kelas, pengajian/ deteksi dini,dan guru khususnya sekolah penemuan minggu dankasus anggota aktif. masyarakat lainlain y Logistik dasar yang dibutuhkan adalah alat antropometri standar yang diperlukan pemantauan pertumbuhan pita Lingkar Lengan Atas (LiLA) berwarna (hijau



,



Setelah diperoleh semua informasi tersebut, penting untuk menentukan strategi deteksi dini dan rujukan kasus serta membuat kesepakatan bersama antara semua pemangku kepentingan terkait.



b. Peningkatan Kapasitas Deteksi Dini dan Rujukan Kasus Semua anggota masyarakat dapat dijadikan ‘agen’ dalam deteksi dini kasus. Kasus tersebut kemudian dikonfirmasi status gizinya dan selanjutnya disepakati tahapan upaya intervensi. Diperlukan penguatan kapasitas dalam deteksi dini dan rujukan kasus, langkah awal strategi deteksi dini dan rujukan masyarakat ke fasilitas layanan kesehatan (fasyankes).



teri dalam peningkatan kapasitas:



LiLA balita usia 6–59 bulan alita yang terlihat sangat kurus emungkinan adanya pitting edema bilateral ayi < 6 bulan yang terlalu lemah atau sulit menyusu ambatan pertumbuhan, khususnya untuk kader Posyandu atau anggota masyarakat lain yang terlibat dalam pemantauan pertumbuh us



c. Pelaksanaan Deteksi Dini dan Rujukan Kasus Deteksi dini (penemuan kasus): 1) Secara aktif BAGAN 1. DETEKSI DINI SECARA AKTIF Melalui sweeping dan kunjungan rumah dilakukan:



1. Balita usia 0-59 bulan ditimbang berat badan (BB) 2. Balita usia 6 –59 bulan, diukur LiLA 3. Identifikasi balita yang terlihat sangat kurus 4. Identifikasi pitting edema bilateral 5. Identifikasi bayi < 6 bulan yang terlalu lemah atau sulit menyusu



1. 2.



RUJUK BILA



Terindikasi mengalami hambatan pertumbuhan Balita (6– 59 bulan): a. LiLA di warna kuning (11,5 cm- < 12,5 cm) atau warna merah (< 11,5 cm) b. LiLA di warna hijau namun terlihat sangat kurus



3. Terdapat pitting edema bilateral 4. Bayi