Kumpulan Materi Hukum Humaniter [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KELOMPOK 2 HUKUM HUMANITER A. PENDAHULUAN 1. Peristilahan a. Law of War b. Law of Armed Conflict c. International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict 2. Ruang Lingkup Hukum Humaniter a. Ius ad Bellum dan Ius in Bello Mochtar Kususmaatmadja menyebutkan bahwa hukum Hukum Humaniter merupakan bagian dari hukum perang. Beliau kemudian meembagi hukum perang dalam dua kelompok, yaitu: • Jus Ad Bellum atau hukum perang, yaitu hukum yang mengatur mengenai dalam hal bagaimanakah suatu Negara dibenarkan untuk menggunakan kekerasan senjata ; • Jus In Bello, yaitu hukum yang berlaku dalam perang. Hukum yang berlaku dlam perang dapat dibagi dalam ketentuanketentuan hukum yang mengatur cara dilakukannya perang itu sendiri (the conduct of war) termasuk pembatasanpembatasannya dan hukum menenai perlindungan orangorang yang menjadi korban perang, baik sipil maupun politik. (Sumber : Buku Hukum Internasional dan Kepentingan Nasional Indonesia karya Dr. Muh. Risnain, Sh.,Mh (2020) hal 126) b. Hukum Humaniter sebagai cabang dari Hukum Internasional c. Hubungan antara Hukum Humaniter dengan Hukum HAM Internasional d. Hubungan antara Hukum Humaniter dengan Hukum Pidana Internasional B. SEJARAH & ASAS HUKUM HUMANITER (Elsha Gita Aprivia 2100024114) (Sumber: Buku HUKUM HUMANITER ( Pramono, B., Supartono, I., & MM, C. (2022). HUKUM HUMANITER. SCOPINDO MEDIA PUSTAKA.))



1. Sejarah Hukum Humaniter keberadaan hukum humaniter sejalan Setua dengan adanya konflik bersenjata dalam kehidupan manusia itu sendiri. Sejarah perang dapat ditelusuri dari dokumen yang ada sejak zaman prasejarah sampai modern zaman dahulu banyak panglima perang yang memerintahkan pasukannya untuk menyelamatkan jiwa dan harta benda musuh yang tertangkap melakukan perawatan terhadap musuh yang menderita luka-luka serta menyelamatkan penduduk sipil yang tidak terlibat perang. Pada saat konflik berakhir biasanya para pihak yang terlibat perang melakukan negosiasi untuk pertukaran tawaran perang selama waktu tersebut Praktek pertukaran tawaran barang seperti ini dan yang serupa seperti perang secara ksatria berkembang menjadi kebiasaan internasional yang berhubungan dengan perang. Hukum humaniter dalam perkembangan sejarah tersusun dalam berbagai lembaga aturan dan norma hukum yang berasal dari kebiasaan berbagai negara pembahasan sejarah tidak dapat dilepaskan dalam persoalan masa lampau dengan struktur masyarakat yang berbeda dengan saat ini upaya menafsirkan sejarah



merupakan kegiatan menginterpretasikan persoalan masa lalu dengan menggunakan bahasa kekinian belajar sejarah perkembangan hukum humaniter merupakan hal penting guna memahami perkembangan norma yang dihasilkan serta lembaga yang ada pada masa lalu tersebut termasuk hal-hal positif dan negatif yang dapat dimanfaatkan memahami hukum yang berlaku saat itu melakukan kajian terhadap sejarah dapat diartikan sebagai upaya penelusuran kehidupan masa lalu biasanya yang lebih baik untuk dapat dibandingkan dengan kehidupan masa sekarang. Hukum humaniter sebagai salah satu ketentuan internasional telah berkembang seirama dengan evolusi peradaban manusia berbagai upaya dalam meningkatkan eksistensinya telah dilakukan oleh individu negara maupun organisasi internasional guna memanusiakan perang perkembangan hukum humaniter dapat di periodisasi kan dalam beberapa zaman yang meliputi zaman kuno periode abad pertengahan dan zaman modern. 2. Zaman Kuno (Mesir, Sumeria, Hittite, India) Perang pada zaman kuno sudah menunjukkan adanya jiwa sifat ksatria tidak boleh dilakukan secara licik (culas) dengan tipu daya perlakuan ksatria terusit dengan adanya ketentuan bahwa para pihak yang akan melakukan serangan harus memberitahukan terlebih dahulu (sebelum Perang harus ada pernyataan perang. Ujung panah yang akan digunakan tidak boleh diarahkan ke sasaran ulu hati dan jantung guna menghindari lukaluka yang berlebihan dan tidak manusiawi. Pada saat perang berlangsung, apabila sudah banyak prajurit yang terbunuh dan menderita luka maka perang dihentikan untuk sementara waktu atau diadakan waktu jeda (gencatan senjata) biasanya dilakukan selama kurang lebih 15 hari. Pada saat gencatan senjata prajurit yang terlibat perang ditarik ke garis belakang yang menderita luka dilaksanakan pengobatan dan yang gugur dilakukan pemakaman. Dalam berbagai peradaban bangsa selama 3000 SM, upaya membuat ketentuan (hukum) perang secara ksatria telah dibuat dan secara terus-menerus dikembangkan Jean Pictet (1975:17) menjelaskan sifat kesatria dari perang zaman kuno tergambar dari tindakan yang dilakukan adalah sebagai berikut: a. Konsepsi perang yang terlembaga dalam penyusunan sejarah dimulai dari bangsa Sumeria. Peran yang dilakukan sudah merupakan kegiatan yang terlembaga dan terorganisir menjadi satu kesatuan yang bulat dan utuh terlihat adanya pernyataan perang sebelum melakukan serbuaN. Para pihak selama dimungkinkan untuk melakukan perdamaian dengan cara langsung maupun melalui pihak ketiga Netral (mediasi dan Arbritase), melakukan perjanjian damai dengan pihak lain, dan lain sebagainya. b. Bangsa Mesir sejak dahulu sudah mempunyai kebudayaan yang lebih maju apabila dibandingkan dengan bangsa lain. Dalam ajaran seven works of true mercy yang merupakan pegangan hidupnya, dijelaskan bahwa bangsa Mesir kuno telat mempunyai kebudayaan untuk memberikan pakaian, minuman dan makanan serta melindungi musuh atas perlakuan yang tidak manusiawi (sadis) dalam perang. Disamping itu, juga ada perintah melakukan perawatan terhadap musuh yang menderita luka dan sakit serta menguburkan sesuai ajaran agamanya terhadap yang mati.



c. Bangsa Hitie telah mempunyai kebudayaan yang maju hampir sama dengan bangsa Mesir kuno. dalam melakukan peperangan bangsa Hitie surah mempunyai peradaban tinggi, sangat elegan dan manusiawi. Hukum (aturan) yang digunakan dalam peperangan harus didasarkan pada asas keadilan, ksatria bermartabat dan menjunjung tinggi integritas. Pada saat akan melakukan penyerangan, bangsa Hitie memberikan pernyataan perang terlebih dahulu dan membuat traktat (perjanjian internasional) antarnegara, baik terhadap pihak musuh maupun pihak ketiga yang netral. Civilions yang telah menyerah tidak boleh diganggu kehormatannya dan tidak boleh dilakukan penganiayaan hingga terluka atau mati. Penduduk dalam suatu wilayah apabila melakukan perlawanan akan diberantas dengan menggunakan armada perang dan dilakukan penindakan secara tegas dan terukur. kemurahan hati bangsa Hitie bertolak belakang dengan bangsa Assiria,. yang dalam memperoleh kemenangan dengan menggunakan tindakan yang keji, biasa, tidak bermartabat, tidak berperikemanusiaan dan dengan menggunakan kekerasan fisik, kota dirusak yang diperkosa, dibunuh dan dijadikan budak. d. Bangsa India juga susah mempunyai kebudayaan yang tinggi dalam berperang, hampir sama dengan bangsa Sumeria dan Hitie. Tata cara berperang telah diatur dalam undang-undang Manu dan Kitab Mahabarata yang menjadi pegangan kehidupan pribadi, kehidupan berbangsa dan bernegara rakyatnya. Para prajurit dan ksatria dalam melakukan peperangan dilarang melakukan pembunuhan terhadap musuh yang mengalami kecacatan, telah menyerah serta yang menderita luka-luka dikembalikan ke daerah asal (negaranya) untuk dilakukan pengobatan. Senjata api dan beracun yang sasarannya dapat menusuk hati dilarang digunakan, tata cara penyitaan terhadap harta benda musuh dan masyarakat yang mempunyai status sebagai tawanan perang yang menang tidak boleh menyatakan bahwa tidak terdapat tempat tinggal untuk melakukan penahanan. 3. Abad Pertengahan Konsepsi perang abad pertengahan dipengaruhi oleh doktrin agam Kristen dan Islam, seperti larangan penggunaan jenis senjata tertentu yang bersifat tidak manusiawi dan adanya pernyataan perang terlebih dahulu sebelum dilakukan penyerangan. Doktrin agam kristen mempengaruhi konsep perang yang adil dan bijaksana sebagaimana yang dijelaskan dalam Stn Agustine, bahwa dalam peperangan terdapat prinsip perlindungan terhadap anak-anak, wanita dan para lanjut usia. 5idak semua daerah merupakan zona perang, masih terdapat daerah netral yang penuh dengan kedamaian yang selanjutnya menghasilkan hal kekebalan diplomatik atau hak untuk mengungsi pada wilayah yang netral. Keterlibatan kaum Kristiani dalam suatu peperangan yang adil, ksatria dan dengan maksud yang benar sangat dimungkinkan menusur pandangan St. Agustine. Konsepsi perang yang adil dan ksatria juga diatur dalam Al Qur'an yang merupakan pegangan hidup dan kitab suci pemeluk agama Islam. Perang bukan merupakan misi rumah sehingga bangsa Eropa (barat) yang berpandangan bahwa Islam merupakan benar dan perlu diluruskan. Dalam pandangan Islam, perang merupakan jalan terkahir apabila jalur diplomatik telah menemukan jalan buntu dan tida diperoleh kesepakatan di antara para pihak yang terlibat. Prinsip perang yang manusiawi sudah dikenal Islam sebagaimana yang telah disareatkan dalam Al Quran. Perang hanya dapat dibenarkan



apabila digunakan sebagai sarana untuk membela diri karena adanya upaya dari kaum kafir yang menghalang-halangi pelaksanaan syiar agama Islam. 4. Zaman Modern Hukum humaniter mengalami perkembangan pesat setalah penggunaan senjata jenis baru dengan efek merusak (destruktif) yang tidak dapat dikendalikan. Keberadaan hukum humaniter dipengaruhi adanya korban yang menderita luka-luka dan sakit dalam pertempuran dengan tidak mendapatkan perawatan kesehatan. Kecenderungan ini merupakan momentum berdirinya palang merah internasional yang salah satu tugasnya adalah mengurusi korban luka akibat perang. Palang merah internasional juga mengharuskan para pihak yang terlibat pertempuran untuk melakukan perawatan terhadap korban perang yang terluka, dengan perlakuan yang sama baik terhadap musuh maupun pasukan sendiri. Masyarakat internasional sampai dengan saat ini sudah menghasilkan beberapa konvensi atau perjanjian internasional yang berkaitan dengan perang, antara lain sebagai berikut: a. Pada tahun 1861 Henry Dunant menerbitkan buku Un Souvernir de Solferino yang menginspirasi penduduk Janewa untuk berserikat membentuk sociate d'utilite publique. Perserikatan tersebut dibawah pimpinan Gustave Moynier dan dibantu 5(lima) orang staf sebagai panitia mempersiapkan konferensi internasional tentang penangan korban perang. Pada tahun 1863 panitia yang dipimpin oleh Gustave Moynier mengadakan konferensi internasional namun masih bersifat non-formal. Tema yang menjadi isu utama adalah kurangnya perawatan kesehatan terhadap korban terluka akibat perang yang terjadi di wilayah daratan. Konferensi dihadiri 16bnegara yang menghasilkan kesepakatan untuk membetuk sejenis palang merah internasional (Comitte International et Permanen ee Aux Militaries Blesses). Konferensi ini dikarenakan sifatnya tidak reski maka produk yang dihasilkan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat masyarakat internasional, namun demikian dalam annex terdapat saran agar anggota medis dan tentara yang terluka akibat perang mendapatkan perlindungan dengan jalan menetralisirnya. b. Amerika Serikat pada tahun 1861 mempersiapkan draft sarat serta perlu adanya asas kemanusiaan dalam perang. Rancangan manual tersebut selesai pada tahun 1863 dan diberi nama Instructuon for Government of Armies of Unites States 1863 (kode leiber). Manual ini memuat taharap perang di darat, perlakuan terhadap tawanan perang, perlakuan terhadap korban perang yang menderita luka-luka, perlakuan terhadap penduduk sipil, tindakan perang yang benar, dan lain sebagainya. c. Pada tahun 1864 Dewan Federal Swiss memprakarsai konferensi internasional yang dihadiri secara resmi oleh perwakilan negara peserta dengan kuasa penuh yang menghasilkan kodifikasi ketentuan perang di darat dan perlindungan terhadap personil kesehatan negara netral dengan cara melarang menghalangi dan melakukan penyerangan pada saat personil tersebut melaksanakan tugas kemanusiaan, penduduk sipil yang memberikan bantuan pengobatan terhadap penderita luka dan menguburkan yang mati ( baik terhadap kawan maupun lawan) tidak boleh dijatuhi hukuman.



d. Pada tahun 1868 dilangsungkan konvensi internasional pelarangan luka serius dan tidak manusiawi dalam suatu peperangan, yang sering disebut dengan Deklarasi St. Petersburg. Deklarasi ini merupakan perjanjian internasional pertama yang melarang penggunaan senjata jenis tertent yang dapat mengakibatkan luka serius dan tidak manusiawi. e. Presiden Rusia Nicolai II dengan dukungan Perdana Menteri Mikhail Nikolayevich Muravyov memprakasai dilangsungkan konferensi internasional yang mengatur pelaksanaan perang. Konferensi ini menghasilkan konvensi Den Haag 1899 yang berisi penyesuaikan prinsip Janewa 1854 terhadap perang dilaut dan penghoratan terhadap hukum dan kebiasaan perang di darat. f. Pada tahun 1907 dilakukan konferensu internasional guna melakukan peninjauan Kembali terhadap konvensi Den Haag 1899 dan dalam rangka mengikuti perkembangan persenjataan yang pesat sehingga diperlakukan pengadopsian ketentuan baru. g. Dan lain lain masih banyak yang dibuat pada decade akhir ini. 5. Asas-Asas Hukum Humaniter a. Asas Kepentingan Militer b. Asas Kesatriaan c. Asas Perikemanusiaan C. SUMBER-SUMBER HUKUM HUMANITER 1. Pasal 38 Ayat (1) Statuta ICJ 2. Perjanjian Internasional a. Konvensi-Konvensi Den Haag 1899 dan 1907 b. Marten Clause c. Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 beserta Protokol-Protokol Tambahannya d. Common Articles e. Mini Convention 3. Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan 4. Prinsip Hukum Umum Tidak ada definisi atau daftar prinsip hukum umum yang sudah disepakati. Pada intinya, istilah ini mengacu pada prinsip-prinsip hukum yang diakui di semua sistem hukum nasional yang sudah dikembangkan, seperti kewajiban untuk bertindak dengan itikad baik, hak untuk menjaga diri dan hukum pidana yang tidak berlaku surut. Prinsip-prinsip hukum umum sulit untuk diidentifikasi secara akurat dan oleh karena itu tidak memainkan peran penting dalam implementasi HHI. Namun setelah diidentifikasi secara otoritatif, prinsip-prinsip hukum umum dapat menjadi hal yang menentukan karena memunculkan kewajiban internasional yang independen. (Sumber : 5. Putusan Pengadilan 6. Doktrin D. JENIS-JENIS KONFLIK BERSENJATA (NABILA SYAFA)(Sumber : Buku HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL SEBUAH PENGANTAR KOMPREHENSIF)



1. Konflik Bersenjata Internasional a. Hukum Perjanjian Bentuk klasik konflik bersenjata bersifat internasional dan terjadi antara dua Negara atau lebih. Sekarang ini, HHI yang mengatur situasi konflik bersenjata internasional dikodifikasikan terutama dalam Peraturan Den Haag tahun 1907, empat Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I. Hukum perjanjian dilengkapi oleh kumpulan HHI kebiasaan yang kaya. Pasal 2 ketentuan yang sama menyatakan bahwa: "[s]ebagai tambahan atas ketentuan-ketentuan yang akan dilaksanakan pada masa damai, Konvensi ini akan berlaku untuk semua peristiwa perang yang diumumkan atau setiap konflik bersenjata lainnya yang mungkin timbul antara dua atau lebih Pihak-pihak Peserta Agung, sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh salah satu dari antara mereka; dan "(...) untuk semua peristiwa pendudukan sebagian atau seluruh wilayah Pihak Peserta Agung, sekalipun pendudukan tersebut tidak mendapatkan perlawanan bersenjata." Dengan demikian, keberadaan konflik bersenjata internasional pada intinya bergantung pada dua unsur, yaitu status hukum pihak yang berperang dan sifat konfrontasi antara keduanya. b. Status Hukum Para Pihak yang Berperang Konflik bersenjata mendapatkan sifat internasional-nya dari fakta bahwa hal tersebut terjadi antara Pihak-pihak Peserta Agung pada Konvensi Jenewa 1949, yang artinya Negara-negara.67 Negara pihak pada Protokol Tambahan I selanjutnya sepakat untuk mengakui beberapa jenis gerakan pembebasan nasional tertentu sebagai "pihak" dalam konflik bersenjata internasional meskipun pada saat itu, mereka tidak memenuhi syarat sebagai Negara berdaulat berdasarkan hukum internasional. Konfrontasi bersenjata antar pihak-pihak yang bukan Negara atau bukan pula gerakan pembebasan nasional tidak dapat dianggap sebagai konflik bersenjata internasional namun merupakan konflik bersenjata non-internasional atau situasi kekerasan lainnya. c. Sifat konfrontasi: "perang," "konflik bersenjata" dan "pendudukan" Konflik bersenjata internasional adalah konfrontasi perang antara dua Negara atau lebih. Secara tradisional, Negara menyatakan niat berperang mereka (animus belligerendi) melalui deklarasi perang resmi, yang mana, ipso facto, menciptakan keadaan politik perang dan memicu keberlakuan hukum perang (jus in bello) di antara mereka, sekalipun tidak terjadi permusuhan terbuka. Sebenarnya, hukum perang tradisional lebih luas daripada HHI karena tidak hanya mencakup aturanaturan kemanusiaan, namun pada dasarnya semua norma yang mengatur hubungan antara Negara-negara yang berperang. Ini juga termasuk ketentuan mengenai hubungan diplomatik, ekonomi dan perjanjian, dan mengenai posisi hukum Negaranegara netral. Pada saat yang sama, hukum perang tradisional lebih sempit daripada HHI karena hanya berlaku selama situasi perang formal antar negara, sedangkan HHI menetapkan standar minimum kemanusiaan yang dapat diterapkan dalam konflik bersenjata mana pun, terlepas dari adanya keadaan politik perang. Dewasa ini, suatu konflik bersenjata internasional diasumsikan terjadi segera setelah suatu Negara menggunakan angkatan bersenjata melawan negara lain, terlepas dari alasan atau



intensitas konfrontasi, dan terlepas dari apakah keadaan politik perang telah dinyatakan atau diakui secara resmi. d. Lingkup temporal dan teritorial konflik bersenjata internasional  Lingkup temporal konflik bersenjata internasional Lingkup temporal konflik bersenjata internasional harus dibedakan dari lingkup temporal penerapan aturan-aturan HHI yang terkait dengan konflik tersebut. Tidak dapat dipungkiri, fakta bahwa konflik telah berakhir tidak menghalangi beberapa aspek HHI untuk terus berlaku bahkan melampaui akhir dari konflik. Misalnya, orang-orang yang dicabut kebebasannya karena alasan yang berkaitan dengan konflik bersenjata tetap dilindungi oleh HHI sampai mereka dibebaskan dan dipulangkan atau status mereka dinormalisasi, dan yang tadinya pihak yang saling berperang juga tetap terikat oleh kewajiban untuk memulihkan hubungan keluarga, bertanggung jawab atas yang meninggal dan orang hilang dan atas upaya-upaya kemanusiaan serupa.  Lingkup teritorial konflik bersenjata internasional Dari segi lingkup teritorial, interpretasi ICTY tidak menyiratkan bahwa HHI tidak dapat berlaku di luar wilayah pihak-pihak yang berperang. Interpretasi tersebut dimaksudkan hanya untuk mengklarifikasi bahwa keberlakuan HHI tidak dapat dibatasi pada wilyah Negara-negara yang berperang di mana pertempuran sebenarnya terjadi, namun bahwa ini meluas ke aksi-aksi yang memiliki hubungan (nexus) dengan konflik (misalnya dilakukan karena alasan yang berkaitan dengan konflik). Tidak dapat dipungkiri, berdasarkan hukum perang tradisional, hubungan antar Negara-negara yang berperang diatur oleh hukum manakala mereka bertemu, meskipun hukum netralitas dapat mencegah mereka untuk terlibat dalam permusuhan di luar wilayah masing-masing, di wilayah udara internasional atau di laut lepas. 2. Konflik Bersenjata Non-Internasional Perjanjian HHI yang mengatur konflik bersenjata noninternasional, pertama dan terutama, terdiri dari Pasal 3 ketentuan yang sama dan Protokol Tambahan II. Sejumlah perjanjian mengenai peraturan, larangan atau pembatasan jenis senjata tertentu juga berlaku dalam konflik bersenjata non-internasional. Terakhir tetapi juga penting, karena kelangkaan relatif perjanjian HHI yang berlaku, hukum kebiasaan sangat penting untuk pengaturan konflik bersenjata non-internasional. Hukum perjanjian membedakan antara konflik bersenjata non-internasional dalam pemaknaan Pasal 3 ketentuan yang sama dan konflik bersenjata non-internasional yang masuk dalam definisi yang diberikan dalam Pasal 1 Protokol Tambahan II. a. Pasal 3 ketentuan yang sama pada Konvensi Jenewa 1949 Selama perundingan sebelum pengadopsian Konvensi Jenewa 1949, usulan disampaikan untuk memperluas keberlakuan Konvensi in toto untuk konflik bersenjata non-internasional. Namun tidak lama berselang, jelas bahwa Negaranegara sepakat menerapkan sepenuhnya ke-empat Konvensi pada konflik bersenjata non-internasional dengan membayar mahal definisi yang sangat sempit dari konflik bersenjata non-internasional yang sangat tidak mungkin terwujud dalam kenyataan. Alhasil, keberlakuan HHI pada konflik bersenjata non-internasional tetap menjadi



pengecualian, bukan menjadi aturan. Oleh karena itu, pada akhirnya diputuskan untuk membatasi ketentuan yang berlaku dalam konflik bersenjata noninternasional daripada kasus konflik bersenjata non-internasional di mana HHI akan berlaku. Dengan demikian, Pasal 3 ketentuan yang sama hanya mengidentifikasi sejumlah kewajiban dan larangan utama yang memberikan pelindungan minimal kepada semua orang yang tidak, atau yang tidak lagi, mengambil bagian aktif dalam permusuhan. Sebagai imbalannya, "Konvensi miniatur" ini harus diterapkan "sebagai (ketentuan) minimal" oleh setiap pihak untuk setiap "konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional." Pasal 3 ketentuan yang sama berbunyi: "Dalam hal konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung dalam wilayah salah satu Pihak Peserta Agung, setiap Pihak yang terlibat dalam konflik itu akan diwajibkan untuk melaksanakan sekurang-kurangnya ketentuan-ketentuan sebagai berikut: 1. Orang-orang yang tidak ikut serta secara aktif dalam permusuhan, termasuk anggota-anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjatasenjata mereka serta mereka yang menjadi 'hors de combat' karena sakit, luka, penahanan, atau sebab lainnya, dalam segala situasi harus diperlakukan secara manusiawi, tanpa pembedaan yang merugikan apa pun yang didasarkan atas ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, jenis kelamin, keturunan atau kekayaan, atau kriteria lain yang serupa. Untuk tujuan ini maka tindakan-tindakan sebagai berikut dilarang dan tetap akan dilarang untuk dilakukan terhadap orang-orang tersebut di atas setiap saat dan di mana pun juga: (a) tindakan kekerasan atas jiwa dan orang, terutama setiap macam pembunuhan, mutilasi, perlakuan kejam dan penyiksaan; (b) penyanderaan; (c) perlakuan biadab atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat; (d) penjatuhan hukuman dan pelaksanaan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan semua jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa yang beradab. 2. Yang luka dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat. Suatu badan kemanusiaan yang imparsial, seperti Komite Internasional Palang Merah, dapat menawarkan pelayanannya kepada Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Para Pihak yang terlibat dalam konflik, selanjutnya harus berusaha untuk memberlakukan, melalui kesepakatan khusus, semua atau sebagian dari ketentuan lain dari Konvensi ini. Pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut di atas tidak akan mempengaruhi status hukum Para Pihak yang terlibat dalam konflik". Suatu konflik bersenjata non-internasional dalam pemaknaan Pasal 3 ketentuan yang sama tidak harus serta merta melibatkan pemerintah; konflik semacam itu bisa terjadi sepenuhnya antara kelompok-kelompok bersenjata terorganisir, yang mana ini skenario yang sangat relevan di kawasan dengan



b.



c.



d.



e.



pemerintahan yang lemah, yang biasa disebut "Negara gagal." Agar suatu kelompok bersenjata non-Negara dianggap sebagai "pihak" yang terlibat dalam konflik, Pasal 3 ketentuan yang sama tidak mewajibkan pengakuan sebagai lawan perang dari Negara lawan, atau juga tidak membutuhkan dukungan rakyat, kendali teritorial atau motivasi politik. Pasal 1 pada Protokol Tambahan II Protokol Tambahan II hanya berlaku pada konflik bersenjata yang melibatkan suatu Negara peserta sebagai salah satu pihak dalam konflik dan terjadi di wilayah Negara tersebut. Selain itu, sebagian wilayah Negara tersebut harus berada di bawah kendali efektif kekuatan oposisi, sehingga mengasimilasikan peran mereka dengan peran otoritas de facto dengan kewajiban langsung tidak hanya terhadap pihak lawan, tetapi juga terhadap penduduk di wilayah yang berada di bawah kendali mereka. Ambang batas pemberlakuan yang tinggi dari Protokol ini merupakan indikasi keengganan terus-menerus dari pemerintah untuk memperluas regulasi internasional atas konflik bersenjata dalam negeri kecuali konflik tersebut berkembang menjadi situasi yang sebanding dengan konflik bersenjata internasional dalam banyak hal. Ambang batas pengorganisasian Tanpa suatu tingkat pengorganisasian minimum, mustahil untuk melakukan operasi militer terkoordinasi dan untuk memastikan kepatuhan kolektif kepada HHI. Oleh karena itu, pengorganisasian minimal selalu dianggap elemen penentu angkatan bersenjata atau kelompok bersenjata terorganisir yang berpartisipasi dalam konflik bersenjata dibandingkan dengan peserta dalam kerusuhan dan bentuk-bentuk lain dari kekerasan skala besar tidak terorganisir. Ambang batas intensitas Mengingat keragaman situasi yang melibatkan kekerasan noninternasional, klasifikasinya sebagai konflik bersenjata akan selalu bergantung pada penilaian secara seksama atas keadaan konkret dan bukan pada definisi yang seragam, terutama di ujung paling bawah dari skala intensitas. Namun demikian, keberadaan konflik bersenjata non-internasional senantiasa merupakan permasalahan fakta, dan tidak tergantung pada pertimbangan politik dari pihak-pihak yang terlibat. Dalam praktiknya, memoranda rahasia ICRC yang mengingatkan pihak-pihak yang terlibat mengenai kewajiban mereka berdasarkan HHI dapat memainkan peran penting, karena memoranda tersebut pada umumnya juga mengungkapkan pandangan ICRC mengenai klasifikasi hukum situasi yang ada.106 Namun, dalam kasus kontroversial, klasifikasi yang mengikat secara hukum pada umumnya harus dilakukan oleh pengadilan atau mekanisme kuasi-yudisial yang diminta untuk menilai permasalahan sebagai isu hukum internasional. Lingkup temporal dan teritorial dari konflik bersenjata noninternasional  Lingkup temporal dari konflik bersenjata non-internasional Dari segi lingkup temporal, konflik bersenjata non-internasional dimulai segera setelah kekerasan bersenjata yang terjadi antara pihak yang cukup terorganisir mencapai ambang batas intensitas yang disyaratkan. Meskipun unsur-unsur konstitutif menyediakan kriteria objektif untuk identifikasi situasi konflik bersenjata, dalam realitas politik unsur-unsur tersebut sering



kali ditafsirkan dengan garis lintang tertentu, terutama oleh pemerintah yang terlibat.  Lingkup teritorial dari konflik bersenjata non-internasional Dari segi cakupan wilayah, keberlakuan Pasal 3 ketentuan yang sama dan Protokol Tambahan II dibatasi untuk konflik bersenjata yang terjadi "dalam wilayah" Pihak Peserta Agung; Protokol ini bahkan mensyaratkan agar Negara teritorial terlibat sebagai pihak yang terlibat dalam konflik. Persyaratan teritorial berakar pada kenyataan bahwa kedua instrumen memperkenalkan aturan-aturan yang mengikat tidak hanya untuk Negara pihak sendiri, tetapi juga untuk kelompok-kelompok bersenjata non-Negara yang beroperasi di wilayah mereka. 3. Konflik Bersenjata Yang Diinternasionalisasikan Pada dasarnya, konsep ini merujuk pada suatu Negara, atau koalisi Negara-negara, yang melakukan intervensi terhadap konflik bersenjata non-internasional yang sudah ada, sehingga menjadi salah satu pihak (yang turut berperang) dalam konflik tersebut. Dari segi hukum yang berlaku, di mana Negara melakukan intervensi untuk mendukung perjuangan pemerintah teritorial terhadap insurgensi, hubungan antara insurgensi dan Negara pengintervensi, sama seperti konflik yang sudah ada, akan diatur oleh HHI yang berlaku untuk konflik bersenjata noninternasional. Namun, apabila Negara pengintervensi mendukung insurgensi melawan Negara teritorial, situasi menjadi lebih kompleks. Konfrontasi bersenjata antara Negara pengintervensi dan Negara teritorial secara otomatis akan memicu keberlakuan HHI yang mengatur konflik bersenjata internasional. Konfrontasi antara Negara teritorial dan insurgensi, di sisi lain, akan mempertahankan sifat non-internasional dari konflik tersebut dan masih diatur oleh HHI yang berlaku pada konflik bersenjata non-internasional. Dari segi hukum yang berlaku, hal ini mengakibatkan adanya konflik bersenjata internasional dan noninternasional pada waktu bersamaan, suatu situasi yang kadang-kadang disebut sebagai "klasifikasi ganda". Terakhir, manakala Negara pengintervensi tidak hanya mendukung, tetapi sebenarnya mengarahkan dan mengendalikan pihak insurgen sedemikian rupa sehingga operasi tersebut harus dianggap sebagai operasi Negara pengintervensi itu sendiri, konflik bersenjata non-internasional yang sudah ada sebelumnya antara Negara teritorial dan insurgensi akan berubah menjadi konflik bersenjata internasional antara Negara teritorial dengan Negara pengintervensi. E. PRINSIP PEMBEDAAN 1. Pembedaan Antara Orang Sipil Dan Kombatan 2. Pembedaan Antara Objek Sipil Dan Sasaran Militer 3. Target Sah Dan Target Tidak Sah 4. Prinsip Proporsionalitas F. PENEGAKAN HUKUM HUMANITER 1. Peran PBB Dan Organisasi Internasional Publik Lainnya 2. Peran ICRC Dan Non-Governmental Organizations 3. Negara Pelindung 4. Peradilan Nasional



5. Peradilan Internasional 6. Peradilan Hibrida