Kumpulan Tugas Hukum Andri Wiguna [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KUMPULAN TUGAS ASPEK HUKUM DAN ETIKA RS 1. Bagaimana tanggapan saudara untuk membedakan etika, norma, disiplin, dan hukum dalam kehidupan masyarakat dan dalam bidang layanan kesehatan di RS 



Etika: Pedoman perilaku yang baik dan yang



buruk tentang hak dan kewajiban



moral (akhlak) yang dianut suatu golongan masyarakat : a. Etika perangai : adat istiadat atau kebiasaan yang menggambarkan perangai (sifat batin manusia yang mempengaruhi pikiran dan perilaku manusia dalam hidup bermasyarakat didaerah dan waktu tertentu b. Etika moral : kebiasaan berperilaku baik dan benar berdasarkan kodrat manusia apabila dilanggar timbulah kejahatan Manfaat etika begit besar dalam kehidupan sehari hari sebagai rambu tata perilaku agar terwujud keharmonisan saat saling berinteraksi dan bergaul antar sesama 



Moral: Ajaran tentang apa yang dilarang dan apa yang wajib dilakukan oleh manusia supaya baik , moral bagaimana manusia supaya melakukan kebaikan, prinsip moral adalah sebagai penuntun, pedoman dan sekaligus control dalam mengarahkan kehidupan manusia Fungsi etika dan moralitas dalam masyarakat : a. Menjaga otonomi dari setiap individu misal tenaga professional dan Klien b. Menjaga



untuk



melakukan



kebaikan



dan



mencegah



tindakan



yg



merugikan/membahayakan orang lain c. Menjaga privacy setiap individu d. Mengatur manusia untuk berbuat adil & bijaksana sesuai dengan porsinya e. Dengan etik kita mengatahui apakah suatu tindakan itu dapat diterima dan apa alasannya f.



Mengarahkan pola pikir seseorang dalam bertindak atau dalam menganalisis suatu masalah



g. Menghasilkan Tindakan yang benar h. Mendapatkan informasi tentang hal yang sebenarnya i.



Memberikan petunjuk terhadap tingkah laku atau perilaku manusai antara baik, buruk, benar atau salah sesuai moral yang berlaku



j.



Memfasilitasi proses pemecahan masalah etik dan mengatur hal-hal yang bersifat praktik



k. Mengatur tata cara pergaulan baik didalam tata tertib masyarakat maupun tata cara didalam organisasi profesi l.



Mengatur sikap, tindak tanduk orang dalam menjalankan tugas profesinya







Norma: Kaidah yang merupakan standar yang harus ditaati atau dipenuhi setiap orang, suatu nilai yang mengatur dan memberikan pedoman atau patokan tertentu bagi setiap orang atau masyarakat untuk bersikap tindak, dan berperilaku sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah disepakati Bersama, bertujuan menjdai pedoman dasar arahan dan tata tertib bagi anggota masyarakat terdiri dari norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, norma hukum







Disiplin: Ajaran tentang kenyataan yg patuh/pantas dan tidak patuh/ tidak pantas, seluruh aturan dalam pergaulan manusia baik dalam pekerjaan atau aktivitas masyarakat.







Hukum: Aturan dan peraturan ttg yang benar dan salah



Dalam rumah sakit pelayanan yang dilakukan terhadap pasien haruslah memperhatikan etika, moral, norma, disiplin dan hukum yang berlaku, dan tentunya berdasarkan azas hukum (norma dasar hukum yang berlaku), hal ini sesuai dengan pengertian dari hukum kesehatan: Prof.H.J.J.Leenen: Hukum Kesehatan adalah semua peraturan hukum yang berhubungan langsung



pada



pemberian pelayanan kesehatan dan penerapannya pada hukum perdata, hukum administrasi dan hukum pidana berarti mencakup hukum internasional, hukum kebiasaan, hukum yurisprudensi dll. Prof. Van der Mijn: Hukum Kesehatan adalah sebagai kumpulan peraturan yang berkaitan dengan pemberian perawatan dan juga penerapannya kepada hukum perdata, hukum pidana dan hukum administrasi. PERHUKI (Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia): Hukum kesehatan adalah semua ketentuan hukum yg berhubungan langsung dengan pemeliharaan, pelayanan kesehatannya dan penerapannya serta hak dan kewajiban baik perorangan maupun segenap lapisan masyarakat sebagai penerima palayanan kesehatan maupun pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala aspek organisasi sarana pedoman



medis



Nasional/Internasiaonal



hukum



kedokteran



pengetahuan kedokteran kesehatan 2. Masalah-masalah dalam persyaratan perizinan RS MASALAH-MASALAH DALAM PROSEDUR PERIZINAN RS : 



Pendirian RS karena peralihan dari klinik







Kepemilikan lahan yang berbeda







Lokasi yang berdekatan dengan rs lain



,jurisprudensi,dan



ilmu







Adanya jumlah RS yang tidak seimbang dengan rasio penduduk, namun tetap diberikan izin pendirian







Banyaknya perijinan yang harus diurus untuk mendirikan RS maupun untuk memperpanjang ijin RS. Ada lebih dari 30 macam perijinan RS karena dalam satu ijin bisa mengandung prasyarat beberapa perijinan yang harus ada sebelumnya. Hal ini tentu tidak efektif dan juga menjadi post pengeluaran yang besar untuk suatu RS, yang tidak sejalan dengan semangat dan kinerja keuangan RS dalam era JKN ini. Dalam pengurusan ijin seringkali dikeluarkan sertifikat kelayakan dari suatu badan profeisonal yang dapat ditunjuk menjadi konsultan resmi yang diakui penerbit ijin, namun ini tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Namun bukan hanya masalah biaya, prosedur ini juga menjadi berbelit. Contoh menyambung setelah sertifikat ada, baru dikeluarkan suatu rekomendasi dari Dinas. Rekomendasi dibawa ke Badan Perijinan Terpadu untuk mendapatkan surat izinnya. Berbelitnya prosedur akhirnya memungkinkan pihak yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan, dari biaya resmi dan tidak resmi yang membuat suatu ijin menjadi mahal harganya. Berikut terlampir beberapa perizinan RS NO 1 2 3



NAMA IZIN Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Izin Operasional RS Sertifikat Laik Fungsi Bangunan



4 5 6



Izin Instalasi Listrik Izin Bejana Tekan Izin Instalasi



7 8 9 10



Kebakaran Izin Genset Izin Sistem Proteksi Kebakaran Izin Penyimpanan Limbah B3 Izin Pemakaian Pesawat Angkat



11 12 13



Angkut (lift) Izin Instalasi Penyalur Petir UPTD Pengawasan Ketenagakerjaan Izin Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Izin Peruntukan Penggunaan Pemerintah Kabupaten Bogor



14



Tanah Izin Pengusahaan Air Tanah



Dinas



15



Surat



Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kantor Kecamatan



16



Usaha Nomor Induk Berusaha (NIB)



Keterangan



KETERANGAN Badan Perizinanan Terpadu Dinas Kabupaten Bogor Dinas Tata Bangunan



dan



Pemukimam UPTD Pengawasan Ketenagakerjaan UPTD Pengawasan Ketenagakerjaan Pemadam UPTD Pengawasan Ketenagakerjaan



Domisili



UPTD Pengawasan Ketenagakerjaan Dinas Pemadam Kebakaran Dinas Lingkungan Hidup UPTD Pengawasan Ketenagakerjaan



Dinas



Penanaman



Penanaman



Modal



Modal



Pelayanan Terpadu Satu Pintu



dan



dan



17 18 19 20 21 22



Izin komersial/operasional Izin lingkungan Sertifikat laik fungsi Tanda daftar perusahaan Surat izin usaha perdagangan Izin Operasional Genset



Online Single Submission (OSS) Online Single Submission (OSS) Online Single Submission (OSS) Badan Perizinan Terpadu Badan Perizinan Terpadu Dinas Penanaman Modal dan



23 24 25



Izin Tera Meter Air DW 2 SLO Genset Izin Pembuangan Air Limbah



Pelayanan Terpadu Satu Pintu Badan Meteorologi ESDM Dinas Penanaman Modal



dan



Pelayanan Terpadu Satu Pintu o



Persoalan lain adalah terkadang ada overlapping siapa sebenarnya pejabat yang



berwenang



mengeluarkan



suatu



rekomendasi.



Contoh



dalam



pengurusan ijin rekomendasi dari Damkar meminta pengetesan untuk semua alat pemadam kebakaran, namun dalam perijinan dari Disnaker yaitu untuk K3 juga diajukan prasyarat yang sama. o



Masalah lain adalah mengenai sosiliasasi pengurusan ijin yang seringkali tidak tersampaikan ke pihak RS. Tata cara pengurusan belum disampaikan juknisnya tetapi Peraturan baru pengurusan ijin sudah diberlakukan. Tentu hal ini menjadikan kesulitan untuk RS, dan ketidaktahuan ini kadang dimanfaatkan pihak tertentu untuk menawarkan bantuan dan mencari keuntungan.



TANGGAPAN TENTANG PERSYARATAN PIMPINAN RS SESUAI PMK 971 TH 2008 



Persyaratan tentang menjadi pimpinan dalam permenkes 971 tahun 2008 menurut saya sudah tepat untuk mewakili uraian tugas wewenang dan tanggung jawab yang akan di emban nantinya, namun pelaksanaannya agak sulit dilakukan melihat begitu banyaknya persyaratan pelatihan yang harus diikuti oleh seorang pemimpin, terkait tentunya dengan waktu, biaya dll







Kemampuan memimpin RS dapat juga diperoleh dari pengalaman selama bekerja di rs, menurut saya factor utama adalah lama bekerja di RS







Dengan adanya PMK 971 th 2008, mencegah adanya pimpinan RS yang bukan dari tenaga medis



MASALAH DALAM PERSYARATAN PERIZINAN RS DI INDONESIA : 



Masih ada rs yang belum memenuhi persyaratan fasilitas kelas (ICU) masih dibawah 8%







Ada RS yang memiliki layanan sub namun jumlah bed tidak memenuhi syarat, sehingga harus turun kelas







Kepemilikan lahan yang berbeda







Masih banyak rumah sakit yang memiliki tata letak banguna yang tidak sesuai syarat







Rumah sakit tidak memiliki lahan parkir yang memadai



3. Bagaimana tanggapan saudara tentang klasifikasi RS RSU kelas A merupakan RSUyang memiliki jumlah tempat tidur paling sedikit 250 (dua ratus lima puluh) buah. RSUkelas B merupakan RSU yang memiliki jumlah tempat tidur paling sedikit 200 (dua ratus) buah. RSU kelas C merupakan RSUyang memiliki jumlah tempat tidur paling sedikit 100 (seratus) buah. RSU kelas D merupakan RSU yang memiliki jumlah tempat tidur paling sedikit 50 (lima puluh) buah. Dalam rangka menyelenggarakan pelayanan rumah sakit yang Profesional dan bertanggungjawab diperlukan penataan terhadap Klasifikasi dan perizinan rumah sakit yang memenuhi aspek perlindungan hukum baik bagi penyelenggara atau pelaku usaha di bidang perumahsakitan maupun bagi masyarakat penerima pelayanan kesehatan. Lahirnya Peraturan Menteri Kesehatan No 3 Tahun 2020 yang telah diundangkan di Jakarta pada tanggal 16 Januari 2020 ini menjawab Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor HK.02.01/Menkes/606/2019 tentang Penundaan Pemberlakuan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2019 tentang Kasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit yang ditetapkan di Jakarta tanggal 4 November 2019 lalu. Dalam Surat edaran teresebut Menteri Kesehatan berpendapat bahwa Peraturan Menteri kesehatan Nomor 30 tahun 2019 tentang klasifikasi dan perizinan rumah sakit yang telah diundangkan pada tanggal 26 September 2019 memerlukan beberapa persiapan dalam implementasinya agar dapat memenuhi tujuan perlindungan hukum dalam pengelolaan rumah sakit yang memiliki karakteristik dan organisasi yang kompleks sehingga perlu dilakukan penundaan pemberlakuan Peraturan Menteri kesehatan tersebut sampai dengan adanya kajian untuk penyempurnaan dengan penyesuaian waktu peralihan untuk tetap menjaga kesinambungan penyelenggaraan rumah sakit dan pemenuhan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dirumah sakit Masalah dalam Permenkes No 3 Tahun 2020, 1.



UU No 44 Tahun 2009 Pasal 24 dan Penjelasan Ayat 2, rumah sakit umum perbedaan klasifikasi didasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan medik. Permenkes No 3 Tahun 2020 menghilangkan perbedaan itu, pembedaan



kelas rumah sakit didasarkan jumlah tempat tidur. Permenkes No 3 Tahun 2020 tidak sesuai dengan UU No 44 Tahun 2009. 2.



UU No 36 Tahun 2009 Pasal 30, sistem rujukan berjenjang melalui Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama, kemudian fasilitas Kesehatan Tingkat Kedua dan terakhir Fasilitas Kesehatan Tingkat Tiga. sistem rujukan memastikan pelayanan tingkat kedua memiliki kemampuan standar, dan pelayanan tingkat tiga memiliki kemampuan menerima rujukan. Permenkes No 3 tahun 2020, meniadakan perbedaan pelayanan. Kelas rumah sakit hanya dibedakan berdasarkan jumlah tempat tidur. sehingga permenkes No 3 tahun 2020 tidak sesuai dengan pola rujukan dalam UU No 36 Tahun 2009. UU No 44 Tahun 2009 memberikan celah, agar dibuat sistem rujukan baru.



3.



Permenkes No 3 Tahun 2020, memberikan kebebasan dokter, dokter spesialis dan dokter subspesialis untuk berpraktik pada seluruh kelas rumah sakit namun proses masuknya dokter ke rumah sakit di ikuti kajian analisa kebutuhan kerja, kebutuhan pelayanan dan kemampuan pelayanan, artinya dokter berpraktik didukung oleh kebutuhan masyarakat, didukung sarana prasarana sesuai kompetensi nya. kajian kajian tersebut bila disetujui dinas kesehatan, maka diterbitkan SIP, demikian sebaliknya.



4.



Permenkes No 3 tahun 2020 bersifat otomatis dalam hal kenaikan kelas. bila tempat tidur rumah sakit menyentuh minimal tempat tidur klasifikasi kelas rumah sakit diatas nya maka reviu klasifikasi kelas rumah sakit secara nasional atau laporan BPJS Kesehatan dapat otomatis menaikkan kelas rumah sakit. Permenkes No 3 tahun 2020 memposisikan setiap rumah sakit untuk bersaing secara terbuka, persaingan tersebut dimungkinkan terjadi karena dokter sebagai komponen utama pelayanan dapat berada pada seluruh klasifikasi kelas rumah sakit



4. Bagaimana implementasi kewajiban dan hak RS dikaitkan dengan hak-hak pasien di era BPJS dalam pelayanan kesehatan di RS Dalam era BPJS rumah sakit tetap harus melaksanakan kewajiban dan memperoleh haknya dengan tetap memperhatikan mutu pelayanan keselamatan pasien, dan konsep patient center care, tanpa menurunkan standar pelayanan, walaupun rumah sakit tetap memperhatikan efisiensi biaya operasional



Kewajiban rumah sakit terhadap pasien: 1. Memberikan informasi yang benar tentang pelayanan Rumah Sakit kepada masyarakat a) informasi umum tentang Rumah Sakit; b) informasi yang berkaitan dengan pelayanan medis kepada pasien.



2. Informasi umum tentang Rumah Sakit meliputi: Status perizinan, klasifikasi dan akreditasi Rumah Sakit;



Jenis dan fasilitas pelayanan Rumah Sakit;



Jumlah, kualifikasi dan jadwal praktik Tenaga Kesehatan; peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;



Tata tertib dan



Hak dan kewajiban pasien dan



Pembiayaan. 3. Rumah Sakit



wajib memberikan informasi kepada pasien



dan masyarakat



mengenai status Rumah Sakit sebagai Rumah Sakit pendidikan. 4. Informasi umum dapat diberikan secara langsung dan tidak langsung. 5. Pemberian informasi secara langsung dilakukan dengan menyediakan fasilitas pelayanan informasi atau dilakukan oleh petugas Rumah Sakit. 6. Pemberian informasi secara tidak langsung dilakukan antara lain melalui papan pengumuman, brosur, rambu, pamflet, dan website. 7. Informasi yang berkaitan dengan pelayanan medis kepada pasien meliputi: 1. pemberi pelayanan; 2. diagnosis dan tata cara tindakan medis; 3. tujuan tindakan medis; 4. alternatif tindakan; 5. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; 6. rehabilitatif; 7. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan; dan h. perkiraan pembiayaan. 8. wajib memberikan informasi dan meminta persetujuan kepada pasien untuk melibatkan pasien dalam penelitian kesehatan. 9. Informasi



harus



diberikan



sejak pasien



masuk



ke



Rumah



Sakit,



selama



menerima pelayanan, hingga pasien meninggalkan Rumah Sakit. 10. Penyampaian informasi pelayanan medis dilakukan oleh Dokter, Dokter Gigi atau Tenaga Kesehatan lain yang merawat pasien sesuai dengan kewenangannya. 11. Informasi keputusan atas tindakan medik dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 12. Wajib memberikan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, anti diskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit 13. Wajib memberikan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, anti diskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit, yakni 1. ketepatan identifikasi pasien; 2. komunikasi yang efektif; 3. keamanan penggunaan obat dan alat kesehatan;



4. kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, tepat pasien operasi; 5. pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan; 6. pengurangan risiko pasien jatuh. 14. Pelayanan kesehatan yang bermutu merupakan pelayanan kesehatan yang dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit sebagai bagian dari tata kelola klinis yang baik. 15. Standar pelayanan Rumah Sakit disusun memperhatikan standar profesi, standar pelayanan masing-masing Tenaga Kesehatan, standar prosedur operasional, kode etik profesi dan kode etik Rumah Sakit. 16. Pelayanan



kesehatan



yang



antidiskriminasi



diwujudkan dengan tidak



membedakan pelayanan kepada pasien dalam memberikan pelayanan kesehatan, baik menurut ras, agama, suku, gender, kemampuan ekonomi, orang dengan kebutuhan khusus (difable), latar belakang sosial politik dan antar golongan 17. Memberikan



pelayanan



gawat



darurat



kepada



pasien



sesuai dengan



kemampuan pelayanannya di instalasi gawat darurat, meliputi: 1. triase 2. tindakan penyelamatan nyawa (life saving). 18. Kemampuan pelayanan dilakukan sesuai dengan standar instalasi gawat darurat sesuai dengan jenis dan kelas Rumah Sakit. 19. Setiap pasien yang datang ke instalasi gawat darurat harus dilakukan triase 20. Triase



merupakan



pemeriksaan awal atau skrining secara cepat untuk



mengidentifikasi status kegawatdaruratannya dan prioritas penanganan. 21. Prioritas penanganan pasien didasarkan pada hasil triase harus sesuai standar pelayanan. 22. Kewajiban Rumah Sakit dalam membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu pelayanan kesehatan di Rumah Sakit dilaksanakan dengan : 1. menyusun,



menetapkan,



melaksanakan



dan



mengevaluasi



standar



pelayanan Rumah Sakit; 2. membentuk



dan



menyelenggarakan



komite



medik



dan



komite



keperawatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 3. melakukan audit medis; 4. memenuhi ketentuan akreditasi Rumah Sakit. 23. Menyelenggarakan



rekam



medis dilaksanakan



melalui penyelenggaraan



manajemen informasi kesehatan di Rumah Sakit, 24. Penyelenggaraan manajemen informasi kesehatan di Rumah Sakit dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.



25. Kewajiban



Rumah



Sakit



dalam



melaksanakan



sistem



rujukan dilaksanakan



sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam melakukan rujukan pasien Rumah Sakit paling sedikit harus: 1. melakukan



pertolongan



pertama



dan/atau



tindakan



stabilisasi kondisi



pasien sesuai indikasi medis serta sesuai dengan kemampuan untuk tujuan keselamatan pasien selama pelaksanaan rujukan; 2. melakukan komunikasi dengan penerima rujukan dan memastikan bahwa penerima dapat menerima pasien dalam hal keadaan pasien gawat darurat; dan 3. membuat surat rujukan untuk disampaikan kepada penerima rujukan. 26. Menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan etika serta ketentuan peraturan perundang-undangan dilakukan dengan cara: 1. melakukan komunikasi, informasi dan edukasi; 2. membuat peraturan internal Rumah Sakit; 3. memberdayakan komite etik dan hukum di Rumah Sakit. 27. Menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan etika serta ketentuan peraturan perundang-undangan, antara lain: 1. permintaan untuk melakukan aborsi illegal; 2. permintaan untuk eutanasia dan physician assisted suicide; 3. pemberian keterangan palsu; 4. melakukan fraud. 28. Penolakan keinginan pasien dilakukan



setelah diberikan penjelasan mengenai



alasan penolakan tersebut dan dicatat dalam dokumen tertulis dokumen tertulis dapat berupa rekam medis atau dokumen tersendiri. 29. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak dan kewajiban pasien dilaksanakan kepada pasien yang memerlukan informasi lengkap tentang hak dan kewajibannya. 1. Informasi diberikan secara lisan, tertulis atau dengan cara lain. 30. Kewajiban Rumah Sakit untuk menghormati dan melindungi hak-hak pasien dilaksanakan dengan



memberlakukan



peraturan dan



standar



Rumah



Sakit,



melakukan pelayanan yang berorientasi pada hak dan kepentingan pasien, serta melakukan monitoring dan evaluasi penerapannya Hak-hak RS : Setiap Rumah Sakit mempunyai hak: 1. menentukan jumlah, jenis, dan kualifikasi sumber daya manusia sesuai dengan klasifikasi Rumah Sakit;



2. menerima imbalan jasa pelayanan serta menentukan remunerasi, insentif, dan penghargaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 3. melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam rangka mengembangkan pelayanan; 4. menerima



bantuan dari pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan



perundangundangan; 5. menggugat pihak yang mengakibatkan kerugian; 6. mendapatkan



perlindungan hukum dalam melaksanakan pelayanan



kesehatan; 7. mempromosikan



layanan kesehatan yang ada di Rumah Sakit sesuai



dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan 8. mendapatkan insentif pajak bagi Rumah Sakit publik dan Rumah Sakit yang ditetapkan sebagai Rumah Sakit pendidikan 



Hak



dan



Kewajiban



Rumah



Sakit



mutlak



dilaksanakan



dalam



setiap



penyelenggaraan rumah sakit 



Hak dan Kewajiban pasien harus diminta untuk dilaksanakan melalui sosialisasi pada pasien







Pimpinan Rumah Sakit wajib memonitor pelaksanaan hak dan kewajiban rumah sakit maupun hak dan kewajiban pasien







Didalam standar akreditasi ada hak pasien dan keluarga RS berkewajiban melaksanakannya



5. Bagaimana pula tanggung jawab RS dikaitkan hak-hak tenaga kesehatan dalam pelaksanaan pelayanan covid 19? Hak – hak tenaga Kesehatan sesuai UU No 36 Tahun 2009 



Memperoleh perlindungan hukum







Memperoleh informasi yang lengkap dan benar







Menerima imbalan jasa







Memperoleh perlindungan atas keselamatan kesehatan kerja, perilaku yang sesuai harkat, martabat, moral, kesusilaan, dan agama







Menolak keinginan penerima pelayanan yang tidak sesuai aturan (SOP, Standar Profesi, Kode Etik dll)



Berdasarkan hak-hak tersebut diatas maka tanggung jawab RS terhadap nakes antara lain : 



Melindungi tenaga kesehatannya sesuai hukum yang berlaku dengan menjamin legalitas nakes dan bertanggung jawab Ketika terjadi pelanggaran hukum, terkait penanganan situasi darurat bencana nasional covid 19







Nakes memperoleh informasi yang lengkap dari pasien maka rs bertanggung jawab membuat suatu form assesmen dan SOP tentang penerimaan dan pemberian informasi terkait pelayanan pasien covid 19







Memberikan imbalan jasa medis yang wajar dan sesuai resiko







Menyediakan APD dan menjamin Kesehatan dan keselamatan kerja nakes selama pandemic covid 19







Membuat aturan-aturan SOP, PPK, dan SPM dalam pemberian pelayanan kepada pasien covid 19



6. Uraikan tanggung jawab hukum pimpinan RS sesuai peraturan yang berlaku Direktur atau direksi RS bertanggung jawab untuk menjalankan misi rs yang sudah ditetapkan oleh pemilik ataupun representasi pemilik serta menyusun regulasi pelayanan dan manajemen untuk menjalankan rumah sakit Direktur/direksi rumah sakit mempunyai tugas/ tanggung jawab secara hukum antara lain: 



Mengetahui dan memahami semua peraturan perundang-undangan terkait dengan rumah sakit







Menjalankan operasional rumah sakit dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan







Menjamin kepatuhan rumah sakit terhadap peraturan perundang-undangan







Membantu pemilik (corporate) dalam menyusun regulasi rumah sakit (Hospital ByLaw)







Menjamin kepatuhan staf rumah sakit dalam implementasi semua regulasi rumah sakit (Hospital ByLaw ) yang telah ditetapkan dan disepakati Bersama







Menindak lanjuti terhadap semua laporan hasil pemeriksaan badan audit eksternal







Menetapkan proses untuk mengelola serta mengendalikan sumberdaya manusia dan keuangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan



7. Jelaskan pula tanggung jawab tenaga kesehatandalam pelaksanaan tugasnya Tanggung jawab tenaga kesehatan dalam pelaksanaan tugasnya: 1. Tanggung Jawab Etis Kewajiban umum kewajiban terhadap pasien kewajiban terhadap profesi kewajiban terdahap diri sendiri.



2. Tanggung Jawab Profesi Pendidikan Pengalaman kualifikasi lainnya derajat risiko keperawatan pelaratan dan fasilitas perawatan 3. Tanggung Jawab Hukum Hukum perdata hukum pidana hukum Administrasi. 8. Bagaimana tanggung jawab Management RS terhadap plaksanaan Etika Bisnis di RS dalam sekarang ini 1. Rumah sakit sebagi pemberi pelayanan Bagi profesi manajer etika rumah sakit akan menjadi pegangan dalam memutuskan atau menilai sesuatu hal yang berhubungan langsung dengan prinsip ekonomi yaitu biaya dan mutu pelayanan,maka beberapa hal yang harus di perhatikan dalam etika rumah sakit yaitu pelayanan kesehatan yang baik berarti pelayanan yang terbukti cost-effective, pelayanan yang mahal bukan berarti lebih baik, standar pelayanan minimal harus diberikan pada semua pasien dari berbagai kelas, dan usaha-usaha untuk mengendalikan biaya harus selalu dievaluasi dalam hal pengaruhnya terhadap pasien. 2. Keputusan manajemen dalam kepentingan pasien Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien harus dikaitkan langsung proses pelayanan klinik untuk pasien. Misalnya dalam pembelian alat harus melihat cost dan efek dari pembelian alat itu. Selain itu kondisi dan perencanaan sumber daya manusia harus dilakukan secara baik. Insentif untuk dokter a. Insentif bagi dokter sebaiknya tidak terlalu tinggi. Disadari bahwa pernyataan normative ini masih sangat kaburkarena tinggi atau tidaknya masih tergantung pada jenis dokter spesialis, tempat dan waktu tindakan medik, serta ada tidaknya asuransi kesehatan. b. Pemberian insentif sebaiknya berdasarkan kriteria mutu tertentu. Hal ini perlu untuk mencegah adanya supplier-induced-demain. c. Insentif seharusnya di gunakan untuk mempengaruhi dokter agar berperilaku baik. 3. Rumah sakit sebagi tempat kerja Sebagai layaknya lembaga tempat bekerja, rumah sakit harus memberikan kompensasi bagi stafnya secara layak. Kompensasi bisa berbentuk moneter atau nonmoneter.sebagai bagian



dari etika bisnis rumah sakit harus memberikan gaji dan pendapatan lain yang cukup untuk sumber daya yang bekerja dirumah sakit. Selain itu rumah sakit harus mempunyai system keselamatan kerja yang baik bagi karyawannya. 4. Rumah sakit sebagai warga negara Dampak ekternalitas negative rumah sakit perlu ditangani sebagai bahan dari etika bisnis sebagai warga negara. Sistem limbah rumah sakit harus baik untuk mencegah dampak buruk terhadap lingkungan kerja rumah sakit. 9. Bagaimana saudara mengantisipasi dan meminimalisir terjadinya malpraktek di RS kewajiban RS terhadap pasien 1.memberikan Informasi yang berkaitan dengan pelayanan medis kepada pasien meliputi: a) pemberi pelayanan; b) diagnosis dan tata cara tindakan medis; c) tujuan tindakan medis; d) alternatif tindakan; e) risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; f)



rehabilitatif;



g) prognosis terhadap tindakan yang dilakukan; dan h. perkiraan pembiayaan. 2. wajib memberikan informasi dan meminta persetujuan kepada pasien untuk melibatkan pasien dalam penelitian kesehatan. 3. Informasi



harus



diberikan



sejak pasien



masuk



ke



Rumah



Sakit,



selama



menerima pelayanan, hingga pasien meninggalkan Rumah Sakit. 4. Penyampaian informasi pelayanan medis dilakukan oleh Dokter, Dokter Gigi atau Tenaga Kesehatan lain yang merawat pasien sesuai dengan kewenangannya. 5. Informasi keputusan atas tindakan medik dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 6. Menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan etika serta ketentuan peraturan perundang-undangan dilakukan dengan cara: a. melakukan komunikasi, informasi dan edukasi; b. membuat peraturan internal Rumah Sakit; c. memberdayakan komite etik dan hukum di Rumah Sakit. 7. Menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan etika serta ketentuan peraturan perundang-undangan, antara lain: a. permintaan untuk melakukan aborsi illegal; b. permintaan untuk eutanasia dan physician assisted suicide; c. pemberian keterangan palsu;



d. melakukan fraud. 8. Penolakan keinginan pasien dilakukan



setelah diberikan penjelasan mengenai



alasan penolakan tersebut dan dicatat dalam dokumen tertulis dokumen tertulis dapat berupa rekam medis atau dokumen tersendiri. 9. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak dan kewajiban pasien dilaksanakan kepada pasien yang memerlukan informasi lengkap tentang hak dan kewajibannya. Informasi diberikan secara lisan, tertulis atau dengan cara lain. 10. Kewajiban Rumah Sakit untuk menghormati dan melindungi hak-hak pasien dilaksanakan dengan



memberlakukan



peraturan dan



standar



Rumah



Sakit,



melakukan pelayanan yang berorientasi pada hak dan kepentingan pasien, serta melakukan monitoring dan evaluasi penerapannya Upaya pencegahan terhadap malpraktik di Indonesia, dilakukan dengan penerapan persetujuan tindakan kedokteran sesuai dengan prosedur kententuan hukum yang berlaku. Dalam hal ini dokter sebagai pemegang kewajiban atas prosedur persetujuan tindakan kedokteran harus menjalankan sesuai Standar Operasional Prosedur yang telah ditentukan. Oleh sebab itu ini merupakan dasar hak seorang pasien atas segala sesuatu yang terjadi pada tubuhnya serta tugas utama dokter dalam melakukan penyembuhan terhadap pasien sebagai bentuk pelayanan kesehatan. Persetujuan tindakan kedokteran yang disampaikan dengan baik oleh dokter kepada pasien agar mencegah terjadinya malpraktik medik. Hubungan antara dokter, pasien, dan rumah sakit merupakan suatu hubungan segi tiga. Perikatan tersebut sebagian besar berdasarkan perjanjian yang dapat dikategorikan sebagai perjanjian bersegi dua, sehingga masingmasing pihak mempunyai hak dan kewajiban. Dalam kasus sengketa medik, yang pada umumnya terjadi karena pasien merasa mendapat kerugian dalam perjanjian medis, pasien dapat menggugat dokter, rumah sakit, atau keduanya. Seberapa besar proporsi kesalahan atau kelalaian dokter yang dapat ditimpakan pada rumah sakit sangat bervariasi. Hubungan yang harmonis dan komunikasi yang baik antara rumah sakit, dokter dan pasien memegang peran penting dalam usaha mencegah terjadinya tuntutan hukum terhadap rumah sakit dan/atau dokter. Beberapa saran yang dapat diberikan sebagai berikut: a. Untuk mencegah terjadinya tuntutan hukum, dokter harus selalu sadar, bahwa agar dapat melaksanakan profesinya dengan baik, ia harus mematuhi etika profesi, standar profesi medik, dan aturan hukum serta selalu meningkatkan kualitas pelayanannya. Untuk mencegah terjadinya sengketa medik akibat miskomunikasi, dokter dituntut mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik, khususnya dengan pasien.



b. Rumah sakit perlu membangun sistem manajemen mutu seperti yang sudah diatur oleh Pemerintah dengan beberapa program (antara lain program akreditasi dan keselamatan pasien) yang dapat mengoptimalkan kinerja semua komponen rumah sakit, termasuk dokter. Dokter dan rumah sakit sebaiknya mempunyai perjanjian kerja yang mengatur hak, kewajiban dan tanggungjawab masingmasing pihak, dengan tujuan memberikan pelayanan kesehatan dengan sebaik-baiknya dan mencegah terjadinya tuntutan hukum oleh pasien. c.



Dalam upaya mencegah terjadinya kesalahan atau kelalaian dokter yang berpraktik di rumah sakit, rumah sakit perlu memberdayakan Komite Medik agar melaksanakan



fungsinya



dengan



baik,



khususnya



fungsi



kredensial,



rekredensial, pemberian kewenangan klinis, audit medis, dan penerapan disiplin profesi terhadap semua dokter yang berpraktik di rumah sakit tersebut. Rumah sakit perlu mensosialisasikan hak dan kewajiban pasien agar pasien dan keluarganya ikut membantu rumah sakit dalam mengontrol kinerja dokter yang berpraktik di rumah sakit. d. Melaksanakan doktrin kesehatan yaitu pengadaan rekam medik (medical record), me-ngadakan hak persetujuan tindakan medis (in-formed concent) dan penertiban rahasia kedok-teran (medical secrecy). Hal ini dilakukan untuk menentukan kejelasan dan standarisasi bentuk formulasinya yang beraneka ragam, serta de-ngan pengecualiannya. Kejelasan dalam hal re-kam medik diperlukan sehingga diketahui cara-cara yang telah dilakukan dan akan kelihatan tindakan kelalaian yang telah terjadi ataupun telah terjadi tindakan akibat adanya resiko medis. e. dibuat peraturan pe-laksana ketentuan rumah sakit bertanggung ja-wab terhadap tindakan kelalaian tenaga kese-hatan yang menyebabkan kerugian seseorang/ pasien, seperti: bentuk-bentuk sanksi yang ha-rus ditanggung rumah sakit, bentuk-bentuk ke-lalaian tenaga kesehatan yang menjadi tang-gung jawab rumah sakit, forum penyelesaian ganti kerugian atas tindakan kelalaian tenaga kesehatan f.



Usahakan untuk selalu di dampingi oleh pengacara terutama saat dipanggil oleh pihak penyidik terutama pihak kepolisian. Banyak dokter yang terjerat hukum hanya karena ‘buta’ seluk-beluk hukum.



g. Bacalah dengan cermat tiap lembar Berita Acara Pemeriksaan (BAP) sebelum diparaf. Bila tidak mengerti atau tidak setuju dapat mengajukan keberatan atau tidak menandatangani BAP. Dalam beberapa kasus kadang seorang dokter ‘diintmidasi’ untuk menandatangani BAP. Oleh karena itu sangat penting untuk didampingi seorang pengacara tatkala sedang menghadapi hal-hal seperti ini.



h. Bila diminta rekam medik pasien, jangan serahkan yang asli, tapi cukup fotokopinya. Hal ini penting untuk menghindari terjadinya rekayasa. Pimpinan KPK saja yang ahli hukum bisa direkayasa kasusnya apalagi seorang dokter yang tidak memiliki pengetahuan hukum sama sekali. i.



Upayakan penyelesaian kasus secara kekeluargaan. Karena saya percaya tidak ada dokter yang sengaja melakukan kesalahan yang merugikan pasien. Beberapa kasus bisa diselesakan dengan kekeluarga



10. Jelaskan pedoman Mediasi dalam proses penyelesaian kasus medis PERANAN MEDIASI DALAM PROSES PENYELESAIAN KASUS MEDIS Istilah mediasi berasal dari bahasa Latin "mediare" yang berarti " ditengah-tengah, " sedangkan definisi mediasi dapat dibaca dalam berbagai literatur, di antaranya definisi dari Moore yang berbunyi: "the intervention in a negotiation or a conflict of an acceptable third party who has limited or no authotitative decision making power, who assists the involved parties in voluntary reaching a mutually accectable settlement ofissues in dispute.” Definisi lain mediasi menu rut Nolan-Haley adalah: "a short term, structured, task oriented, participatory intervention process. Diputing parties work with a neutral third party, the mediator, to reach a mutually acceptable agreement.” Definisi mediasi menurut Kovach: "facilitated negotiation. It is process by which a neutral third party, the mediator, assists disputing parties in reching a mutually satisfactory resolution." Dari berbagai definisi mediasi yang telah diuraikan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa di dalam pengertian tersebut terdapat unsur unsur yang merupakan ciri mediasi, yaitu: 1. Mediasi adalah negosiasi lanjutan; 2. Dibantu oleh pihak ketiga yang netral dan tidak berpihak; 3. Pihak ketiga tidak mempunyai wewenang untuk memutus; 4. keberadaan pihak ketiga diterima oleh para pihak; 5. bertujuan



untuk



menyelesaikan



sengketa



berdasarkan



kesepakatan



yang



memuaskan. Sebagai pihak ketiga yang membantu proses penyelesaian sengketa, seorang mediator harus mampu menjalankan perannya agar tujuan mediasi dapat tercapai. Di samping



itu



seorang



menyelenggarakan



mediator



pertemuan,



mempunyai



memimpin



berbagai



perundingan,



fungsi



mulai



mencatat,



dari



membuat



agenda, mengajukan usul penyelesaian, memelihara ketertiban perundingan, sampai membantu para pihak menyusun kesepakatan. Menurut Moore mediator mempunyai fungsi:



1. Membuka saluran komunikasi yang memprakarsai atau memfasilitasi komunikasi yang baik di antara para pihak. 2. Membantu para pihak memahami hak pihak yang lain untuk dilibatkan dalam perundingan. 3. Fasilitator yang memimpin proses perundingan. 4. Mendidik perunding yang masih baru, tidak mempunyai ketrampilan, atau tidak siap menghadapi proses tawar-menawar. 5. Menawarkan bantuan untuk menghubungkan para pihak dengan ahli atau nara sumber dari luar untuk membantu para pihak memperoleh pilihan-pilihan yang tepat. 6. Membantu para pihak melihat permasalaban dari berbagai sudut pandang agar para mereka dapat menemukan issue dan kepentingan mereka sehingga pilihan menuju kesepakatan bersama yang memuaskan dapat dicapai. 7. Membantu para pihak agar dapat membangun penyelesaian yang layak dan dapat diimplementasikan dan mempertanyakan tujuan pihak tertentu yang bersifat ekstrem dan tidak realistik. 8. Menjadi kambing hitam dan menjadi pihak yang dipersalahkan. Hal ini dapat terjadi bila ada pihak yang merasa apa yang diinginkannya tidak tercapai sebagaimana mestinya. 9. Mengambil inisiatif untuk memimpin perundingan agar perundingan berjalan secara prosedural atau substantif. Keberhasilan mediasi ditentukan oleh kecakapan seorang mediator, oleh karena itu mediator harus menguasai berbagai keterampilan dan teknik. Di awal pertemuan mediator hendaknya mampu membuka pertemuan dengan cara yang membuat para pihak tidak merasa canggung. Selanjutnya dalam proses perundingan mediator harus menguasai keterampilan memfasilitasi para pihak agar dapat menyampaikan kepentingannya secara jelas dan tidak ragu-ragu sehingga mereka dapat bekerjasama dalam menyelesaikan sengketa. Keterampilan lain yang diperlukan bagi seorang mediator adalah kemampuan mendengar secara efektif dan kemampuan berkomunikasi. Pada dasarnya seorang mediator harus bersifat netral , artinya,seorang mediator tidak



adalah kesepakatan bersama para pihak. Namun dalam berbagai sengketa



terutama yang berkaitan dengan masalah keluarga, seringkali mediator tidak sepenuhnya netral karena adanya kepentingan para pihak ataupun kepentingan terhadap hasil akhir perundingan. Menurut Moore ada tiga tipe mediator, yaitu: 1. Social network mediator; 2. Authoritative mediator;



3. Independent mediator. Langkah mediasi dalam menyelesaikan sengketa, diatur dalam Pasal 130 HIR, Pasal 154 RBG, dan PERMA No.1 Tahun 2008 tentang Mediasi, dimana dalam Pasal 1 ayat (7) mendefinisikan bahwa mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Langkah mediasi dalam sengketa medis masuk kedalam lingkup ranah hukum khusus, yang dapat dilakukan melalui sebuah badan arbitrase sebagai mediator, yaitu MKDKI dan IDI sebagai organisasi profesi kedokteran. Hadirnya mediasi dalam menyelesaikan sengketa medis sangat beralasan dikarenakan tidak semua permasalahan sengketa medis harus di selesaikan secara litigasi di pengadilan. Dalam pelaksanaannya, proses mediasi dilakukan melalui beberapa tahapan. Mengenai tahapan ini ada berbagai variasi yang dirumuskan oleh para ahli, namun di sini akan diuraikan tahapan yang dirumuskan oleh Moore yang pada dasarnya mencakup tahapan yang dirumuskan oleh para ahli yang lain. Menurut Moore ada dua belas tahapan mediasi, yaitu: 1. Tahap menjalin hubungan dengan pihak yang bersengketa; 2. Tahap memilih strategi untuk membimbing proses mediasi; 3. Tahap mengumpulkan dan menganalisa informasi latar belakang 4. sengketa; 5. Tahap menyusun rencana mediasi; 6. Tahap membangun kepercayaan dan kerja sarna di antara para pihak; 7. Tahap memulai sidang mediasi; 8. Tahap merumuskan masalah dan menyusun agenda; 9. Tahap mengungkapkan kepentingan tersembunyi para pihak; 10. Tahap membangkitkan pilihan penyelesaian sengketa; 11. Tahap menganalisa pilihan penyelesaian sengketa; 12. Tahap tawar menawar; 13. Tahap penyelesaian formal." Dalam membantu menyelesaikan sengketa, seorang mediator harus dapat melakukan analisis konflik. Hal ini penting agar mediator dapat memetakan penyebab konflik sehingga ia dapat menawarkan alternative penyelesaian yang dapat diterima oleh para pihak. Konflik terjadi apabila dua orang atau lebih yang berinteraksi mempunyai persepsi atau pendapat berbeda terhadap suatu hal, peristiwa atau keadaan. Konflik tidak selalu menimbulkan akibat yang negatif jika dikelola dengan baik. Konflik dapat



dibedakan antara konflik yang tidak terlihat dengan jelas (latent), dan konflik yang dapat terlihat dengan jelas (manifest). Seorang mediator harus dapat mengidentifikasi penyebab timbulnya suaru konflik melalui pengamatan terhadap sikap, persepsi, pola interaksi dan komunikasi yang ditunjukkan para pihak pada waktu proses mediasi. LANGKAH DAN UPAYA YANG HARUS DILAKUKAN DALAM PENANGANAN KASUS MEDIS Penanganannya bila ada kasus litigasi dan non litigasi Alur Penanganan Kasus Litigasi : 1) Timbul Surat Pengaduan (SP) ke Polisi Terjadi tindakan melawan hukum, kelalaian 2) Proses pemeriksaan di kepolisian 



Panggilan polisi ke dokter atau pihak terkait







Antisipasi panggilan dengan persiapan bukti







Penuhi panggilan dengan didampingi Kuasa Hukum (sering diminta RM tapi diberikan Resume Medis)







Jelaskan



dan



buktikan



kebenaran



informasi



medis



(dalam



RM,keterangan dokter,perawat) a. Tindak lanjut polisi 



Pemeriksaan saksi lain







Second opinion  buktikan dengan RM







SP3 atau lanjutkan penanganan kasus ke kejaksaan



b. Kejaksaan 



Pemeriksaan tersangka,saksi







Mencari bukti  RM, keterangan dokter, perawat







Dapat terjadi penahanan  tahanan di LP/tahanan kota







Tersangka tetap didampingi Penasehat Hukum







Bila cukup bukti ke PN



c. Pengadilan 



Berkas perkara dilimpahkan kejaksaan ke pengadilan







Gugatan dari pasien/ keluarga/ kuasa pasien







Pengadilan bentuk majelis hakim







Pemeriksaan dalam persidangan







Pembuktian melalui RM dan keterangan dokter, perawat, second opinion dll







Tuntutan jaksa







Eksepsi penasehat hukum







Replik JPU







Duplik  Penasehat hukum



d. Proses Peradilan a. Dugaan Malpraktik Kelalaian, perbuatan melawan hukum b. Dalil Penggugat (Pasien, Keluarga/Kuasa Hukum) 



Informasi medis yang didapat/didengar







Keterangan second opinion







Hal-hal yang dialami dalam perawatan pasien



c. Keterangan saksi ahli Sesuai keahliannya d. Jawab dalil penggugat 



Buktikan informasi medis (RM, keterangan dokter, perawat)







Keterangan ahli







Dokumen pendukung



e. Kesimpulan sesuai fakta juridis Penanganan Kasus Non Litigasi melalui cara ADR (alternative dispute resolusion), yaitu : a. Negosiasi b. Mediasi c. Konsiliasi d. Konsultasi e. Penilaian / pendapat ahli (Arbitrase) 11. Uraikan langkah-langkah atau upaya-upaya yang harus dilakukan dalam penanganan kasus medis di RS Upaya melalui cara ADR (Alternative Dispute Resolusion ) 1. Negosiasi 2. Mediasi 3. Konsiliasi 4. Konsultasi 5. Penilaian/pendapat ahli 6. Arbitrase



Negoisasi adalah proses untuk mencapai kesepakan dengan memperkecil perbedaan serta mengembangkan persamaan guna mencapai tujuan bersama yg saling menguntungkan , Negoisasi adalah proses consensus yg digunakan para pihak untuk memperoleh kesepakatan bersama (Suyud M). Tujuan yg ingin dicapai negoisasi adalah : a. Negoisasi kepentingan (interest negotiation) adalah kepentingan masing masing pihak dalam sengketa b. Negoisasi Hak (Right Negotiation ) adalah hak masing masing yg lahir dalam hubungan hukum Tahapan Negosiasi : I.



Persiapan dgn pengumpulan bahan,informasi,penguasaan materi , tujuan



dan



,tehnis bernegoisasai tempat dan waktu II.



Mengemukan maksud dan tujuan.mengajukan keinginan dan penawaran dari para pihak



III.



Mengikuti ,memimpin debat, diskusi dalam proses negoisasi . Negoisator harus pintar ,jeli dan lihai menangkap maksud adan arah pembicaraan para pihak.



IV.



Proses tawar menawar menuju suatu kesepakan ,perlu waktu istrahat



menuju



kesepakan dan ini sangat menentukan. V.



Penutup ,bila negoisasi berhasil ditindak lanjut dan bila gagal upayakan utk dapat bertemu kembali dengan bentuk yg lain Konsiliasi adalah



permufakatan adalah penyelesaian sengketa dengan sesuatu



cara musyawarah yang tidak bertentangan dengan proses di pennar.'an,memiliki pandangan ke aran menghindarkan'proses berpekara dipengadilan dan mencoba untuk terhindar dari akibat buruk sengketa. Permufakatan adalah proses yang berpekara yang mengedepankan proses diluar pengadilan Konsiliasi diartikan sebagai langkah awal perdamaian sebelum sidang peradilan (litigasi) dilaksanakan artinya konsiliasi tidak hanya dapat dilakukan untuk mencegah dilaksanakan proses litigasi, meiainkan juga dapat dilakukan oleh para pihak dalam setiap tingkat peradilan yang sedang berlangsung baik di dalam maupun diluar pengadilan kecuali untuk hal-hal sengketa yang telah diperoleh suatu putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap tentunya tidak dapat dilakukan konsiliasi



Konsultasi







Pada prinsipnya konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara pihak tertentu, yang disebut dengan klien dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan







Pihak Konsultan yang memberikan pendapatnya kepada kliennya tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya







Pihak Konsultan menawarkan berbagai alternatif penyelesaian masalah dan langkah Langkah yang harus ditempuh para pihak Penilaian / Pendapat Ahli.







Penilaian atau pendapat ahli dapat dilakukan dalam dalam penyelesaian masalah yang dikuasai para ahli dimaksud







Pasal 52 UU No.30/1999: "para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari lembaga arbitrase atas hubungan tertentu dar suatu perjanjian.







Pendapat ahli tidak harus dari lembaga arbitrase. Para pihak dapat menunjuk ahli dari luar laembaaa arbitrase untuk memeriksa bahan-bahan yang diserahkan para pihak dan selanjutnya memberikan pendapatnya sehubungan dengan permasalahan yang diajukan kepadany







Pendapat ahli cocok digunakan bila sengketa tidak mengenai tanggung jawab hukum akan tetapi masalah penilaian fakta atau peristiwa, masalah teknis atau ilmiah Abitrasi.



1. Pengertian



Arbitrasi( Latin ).kekuasaan untuk menyelesaikan suatu perkara



dengan kebijaksanaan. 2. Arbitrasi :adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim berdasarkan persetujuan para pihak.( Prof R Subekti SH) 3. Arbitrasi : adalah



procedure penyelesaian



sengketa di luar pengadilan



berdasarkan persetujuan para pihak yg bersengketa (Prof Sudikno Merto kusumo SH) 4. Pelaksaan Arbitrasi sangat tergantung pada model penyelesasaian dari Lembaga yg dipilih 5. Lokasi dan system sesuai Lembaga yang diplih 6. Eksekusi Arbitrasi tergantung dimana pelaksananya Pengertian 1. Arbitrase adalah; "Cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa (UU 30th 1999 ps 1(1)



2. Ada tiga hal pokok yang dapat dikemukakan dari pengertian yang diberikan dalam ketentuan pasal di atas yaitu sebagai berikut: a. Arbitrase merupakan salah satu bentuk perjanjian b. Perjanjian arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis c. Perjanjian arbitrase tersebut merupakan perjanjian untuk menyelesaikan sengketa yang dilaksanakan di luar peradilan hukum Unsur-undur Arbitrasi 1. Adanya kesepakan untuk menyerahkan



penyelesaian sengketa kepada



seseorang atau bebrapa orang pihak ketiga diluar pengadilan untuk mengambil keputusan . 2. Penyelesaian sengketa adalah sengketa yg menyangkut hak pribadi yg dikuasasai sepenuhnya 3. Putusan tersebut akan merupakan putusan akhir dan mengikat (final dan binding) Abitrasi Internasional 1. Menurut badan arbitrasinya ,jika dalam klausul arbitrasinya memilih badan Arbitrasi Internasional sebagai badan yg menyelesaikan perselisihannya/ 2. Menurut struktur dan procedure dimana tata cara persidangannya yg disepakati kedua belah pihak scara Abritrasi Internasional. . 3. Menurut Subjeknya yaitu pelaksanaan arbitrasi dimana para pihak sebagai subjeknya berbeda kewarganegaraan atau domisili. 4. Menurut faktanya dimana terdapat hubungannya lebih dari satu juridiksi yang berbeda Perjanjian Arbitrasi Internasional (Konvensi New York 1958) 1. Perjanjian harus dibuat secara tertulis . 2. Perjanjian mengatur sengketa yang



telah timbul dan yang mungkin



akan



timbul diantara para pihak . 3. Sengketa adalah berasal dari hubungan hukum para pihak. 4. Sengket adalah sengketa yg dapat diselesaikan arbitrasi. 5. Para pihak dalam perjanjaian tsb memiliki kemampuan hukum sesuai aturan yang berlaku. 6. Perjanjian itu sah menurut hukum negara para pihak Lembaga Arbitrasi Internasional 1. BADAN ARBITRASI NASIONAL INDONESIA (BANI) diprakarsai KADIN 1977.



thn



2. THE INTERNATIONAL CENTRE FOR SETTELEMENT OF INVESMENT DISPUTE (ICSID ) oleh BANK DUNIA 1966. 3. THE COURT ARBIRTRASETION OF THE INTERNASIONAL CHAMBER OF COMMERSE (ICC) 1905 pelaksanaannya : a.



The court of Arbitration (Peradilan Arbitrasi ) 1923 di Paris



b.



The Institute of Internationale Bussines Law 1979 Paris.



c.



The intituse Maritime Bureau 1981 di London



Bagaimana hasil Penyelesaian Kasus Non -Litigasi •



Hasilkan kesepakatan yang “win-win solution”







Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak







Dihindari kelambatan akibat prosedural dan administratif







Selesaikan masalah secara komprehensif dan kebersamaan







Tetap jaga hubungan baik



12. Jelaskan peranan kelompok Staf Medis dalam pelaksanaan pelayanan Kesehatan di RS Kelompok Staf Medis (KSM) adalah dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dokter gigi spesialis yang mempunyai penugasan klinis di Rumah Sakit Hak dan Kewajiban KSM 



dalam



menjalankan



tugas



profesi/praktik



kedokteran



di



Rumah



sakit



bertanggung jawab profesi dan hukum secara mandiri. 



secara administratif manajerial bertanggung jawab kepada Direktur Medik dan Keperawatan dan secara teknis profesi bertanggung jawab kepada Komite Medik.



Hak dan kewajiban staf medis fungsional sebagai pegawai dan sebagai tenaga profesi di Rumah Sakit sesuai ketentuan yang berlaku Tugas SMF 



melaksanakan kegiatan profesi yang meliputi prosedur diagnosis, pengobatan, pencegahan dan pemulihan penyakit yang diderita pasien;







meningkatkan kemampuan profesinya, melalui program pendidikan /pelatihan berkelanjutan;







menjaga agar kualitas pelayanan sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan medis serta standar etika dan disiplin kedokteran yang sudah ditetapkan;







menyusun, mengumpulkan, menganalisis dan membuat laporan pemantauan indikator mutu klinis.



Fungsi SMF secara perorangan adalah sebagai pelaksana pelayanan medis, pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan di bidang medis. Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP) 



DPJP adalah KSM yang bertanggung jawab atas pengelolaan asuhan medis seorang pasien di rumah sakit.







Semua KSM dapat menjadi DPJP sesuai tempat tugasnya







DPJP terdiri dari DPJP pada pelayanan Gawat Darurat, DPJP pada pelayanan RJ dan DPJP pada pelayanan RI







DPJP pada pelayanan gawat darurat adalah KSM yang bertugas pada Instalasi Gawat Darurat aturan yg berlaku







DPJP pada pelayanan rawat jalan adalah SMF yang bertugas pada pelayanan rawat jalan aturan yg berlaku







DPJP pada pelayanan rawat inap adalah SMF yang bertugas pada pelayanan rawat inap.aturan yang beraku







DPJP pada pelayanan rawat inap sudah harus ditentukan sebelum pasien masuk rawat inap.







Dalam hal kondisi pasien memerlukan penanganan lebih lanjut di luar kompetensi DPJP, pengaturannya dilakukan oleh Direktur Medik dan Keperawatan.



Tugas dan Tanggung Jawab DPJP : 



melakukan pemeriksaan riwayat kesehatan pasien, pemeriksaan fisik, diagnose penyakit, pemeriksaan penunjang, pemberian terapi, evaluasi keberhasilan terapi dan mendokumentasikannya ke dalam rekam medik;







memberikan informasi dan masukan tentang perkembangan kondisi pasien kepada pasien, keluarga pasien dan tim pelayanan;







memberikan edukasi kepada pasien







bila diperlukan DPJP melakukan presentasi kasus medis yang ditanganinya di hadapan Komite Medik;







membantu dan memberikan bimbingan kepada mahasiswa kedokteran dalam pendidikan klinis di rumah sakit.







DPJP wajib membuat rencana asuhan pelayanan medik dengan memperhatikan kendali biaya dan kendali mutu.







Tugas dan tanggung jawab DPJP ditetapkam Direktur



13. Uraikan tanggung jawab Komite Medik dalam peningkatan profesionalisme Staf medis di RS 



Komite Medik adalah perangkat rumah sakit untuk menerapkan tata kelola klinis (clinical



governance)



agar



staf



medis



fungsional



di



rumah



sakit



terjaga



profesionalismenya melalui mekanisme kredensial, penjagaan mutu profesi medis, dan pemeliharaan etika dan disiplin profesi medis. 



Organisasi non struktural yang dibentuk dan berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Utama.







Kebijakan, prosedur dan sumber daya yang diperlukan untuk menjalankan tugas, fungsi dan wewenang Komite Medik ditetapkan oleh Direktur Utama.







Komite Medik dibentuk dengan tujuan untuk menyelenggarakan tata kelola klinis (clinical governance) yang baik agar mutu pelayanan medis dan keselamatan pasien lebih terjamin dan terlindungi.







Susunan organisasi Komite Medik : o



Ketua Komite Medik



o



Sekretaris Komite Medik



o



Anggota Komite Medik yang terdiri dari: 



Sub Komite Kredensial;







Sub Komite Mutu Profesi Medis;







Sub Komite Etika dan Disiplin Profesi.







Personalia Komite Medik idealnya 9 (sembilan) orang.







Ketua Komite Medik ditunjuk oleh Direktur Utama.







Dalam menentukan Ketua Komite Medik, Direktur Utama dapat meminta pendapat dari Dewan Pengawas.







Sekretaris Komite Medik, Anggota Komite Medik, Ketua Sub Komite, Anggota Sub Komite, dan Sekretaris Sub Komite ditetapkan oleh Direktur Utama berdasarkan usulan Ketua komite Medik.



Tugas Komite Medis Kredensial :  Meningkatkan profesionalisme KSM dengan cara: a. melakukan kredensial bagi seluruh staf medis yang akan melakukan pelayanan medis di rumah sakit; b. memelihara mutu profesi staf medis fungsional; dan c. menjaga disiplin, etika, dan perilaku profesi staf medis fungsional.  Dlm melaksanakan tugas kredensial, KM memiliki fungsi :



a. penyusunan daftar kewenangan klinis dan persyaratan setiap jenis pelayanan medis; b. penyelenggaraan pemeriksaan,pengkajian kompetensi, kesehatan fisik dan mental, perilaku, dan etika profesi; c. pengevaluasian data pendidikan profesional kedokteran/kedokteran gigi berkelanjutan; d. penilaian dan pemberian rekomendasi pemutusan kewenangan klinis yang adekuat. Tugas Komite Medis Mutu Profesi  Dalam melaksanakan tugas memelihara mutu profesi KSM Komite Medik memiliki fungsi: a. berperan menjaga mutu profesi medis dengan memastikan kualitas asuhan medis



yang



diberikan



oleh



staf



medis



fungsional



melalui



upaya



pemberdayaan, evaluasi kinerja profesi yang berkesinambungan (on-going professional practice evaluation),



maupun evaluasi kinerja profesi yang



terfokus (focused professional practice evaluation); b. pendidikan dan pengembangan profesi berkelanjutan dengan memberikan rekomendasi pendidikan, pertemuan ilmiah internal dan kegiatan eksternal; dan pendampingan (proctoring) terhadap staf medis fungsional. Tugas Komite Disiplin Etika Dan Perilaku  Dalam melaksanakan tugas menjaga disiplin, etika dan perilaku profesi KSM,Komite Medik memiliki fungsi : a. pembinaan etika dan disiplin profesi kedokteran; b. pemeriksaan staf medis fungsional yang diduga melakukan pelanggaran disiplin; c. rekomendasi pendisiplinan perilaku staf medis fungsional; dan d. pemberian pertimbangan dalam pengambilan keputusan etis. Wewenang Komite Medis 



memberikan rekomendasi rincian kewenangan klinis (delineation of clinical privilege);







memberikan rekomendasi surat penugasan klinis (clinical appointment);







memberikan rekomendasi penolakan kewenangan klinis (clinical privilege) tertentu;







memberikan rekomendasi perubahan/modifikasi rincian kewenangan klinis (delineation of clinical privilege);







memberikan



rekomendasi



tindak



lanjut



audit



medis;



memberikan rekomendasi pendidikan kedokteran berkelanjutan; 



memberikan rekomendasi pendampingan (proctoring);







memberikan rekomendasi pemberian tindakan disiplin.



14. Buatlah Hospital ByLaw meliputi a. Corporate ByLaw b. Medical Staf ByLaw (MSBL) PERATURAN INTERNAL RUMAH SAKIT (HOSPITAL BY LAWS) MUKADIMAH A. LATAR BELAKANG Perubahan paradigma rumah sakit dari lembaga sosial menjadi lembaga sosioekonomi yang dapat dijadikan subyek hukum. Oleh karena itu perlu diantisipasi dengan adanya kejelasan tentang hak dan tanggung jawab masing – masing pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan rumah sakit, yang diatur dalam statuta ( Hospital bylaws ) Pada hakekatnya rumah sakit merupakan institusi padat karya, padat teknologidengan tingkat kompleksitas yang tinggi, hal ini dikarenakan kondisi sumber daya manusia yang multi disiplin dan terikat kepada berbagai standar baik standar profesi maupun standar pelayanan,



padat



tehnologi dan biaya yang tinggi. Kondisi ini sangat



membutuhkan pengelolaan yang baik dari aspek organisasi dan manajemen maupun dari aspek sumber daya manusia sebagai pelaku utama dalam penyelenggaraan pelayanan rumah sakit. Dalam rangka mewujudkan mutu layanan rumah sakit sebagaimana diharapkan oleh semua pihak maka perlu dibuat suatu aturan dasar tata kelola dalam bentuk ”Peraturan Internal Rumah Sakit atau Hospital Bylaws”, yang didalamnya berisi Peraturan Internal Korporasi (Corporate Bylaws) dan Peraturan Internal Staf Medis (Medical Staff Bylaws). Sesuai dengan Permenkes 755 / Menkes / Per / IV / 2011 tentang penyelenggara komite medik yang menegaskan perlu adanya pengaturan tata kelola klinis (Clinical Governance) serta mengawasi pelayanan medis dan keselamatan pasien maka perlu dibuat Hospital by Laws Peraturan Internal Korporasi (Corporate by Laws) menjadi peta jalan (roadmap) bagi operasionalisasi rumah sakit agar tercipta pola tatakelola yang baik sebagai sebuah institusi



sedangkan Peraturan Internal Staf Medis menjadi kerangka kerja (framework)agar tercipta pola tatakelola klinik yang baik, dengan memastikan hanya staf medis yang kompeten dan berperilaku profesional yang boleh melakukan pelayanan medis di rumah sakit dipastikan pula bahwa seluruh staf medis pemberi pelayanan dirumah sakit dapat melaksanakan fungsi profesionalnya dengan senantiasa berorientasi pada mutu dan keselamatan pasien (patient safety). Dengan adanyaPeraturan Internal Rumah Sakit (Hospital Bylaws), diharapkan penyelenggaraan rumah sakit dapat berjalan efektif, efisien, berkualitas, akuntabel dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Rumah Sakit ISLAM KARAWANG adalah Rumah Sakit Type B pendidikan utama yang beralamat di Jl. Pangkal Perjuangan KM 2 ByPass Karawang. Pelayanan yang diberikan Rumah Sakit ISLAM KARAWANGberhubungan dengan kepentingan banyak pihak stakeholder terkait oleh karena itu dibutuhkan Peraturan Internal Hospital bylaws( Statuta ) untuk mengatur hal tersebut agar berjalan dengan baik, efisien dan efektif. Hospital bylaws (Statuta) di RS ISLAM KARAWANG merupakan salah satu bentuk aturan tertulis yang berlaku di lingkungan



rumah sakit dengan tujuan untuk melindungi



semua pihak yang terkait secara baik dan benar berdasarkan rasa keadilan. Pengelolaan Rumah Sakit ISLAM KARAWANG pada dasarnya ditentukan oleh ketiga komponen pihak yang berperan besar yaitu Pemilik dalam hal ini Yayasan, Direksi (Manajemen Rumah Sakit) dan Staf Medis Fungsional yang tergabung dalam Komite Medis. Oleh karena itu dalam Hospital bylaws (Statuta) ini akan diatur hubungan hak dan kewajiban, tanggung jawab, peran dari Yayasan SINGAPERBANGSA KARAWANG, Direksi dan Komite medis/ Staf Medis di rumah sakit. Meningkatnya kesadaran serta kepekaan hukum masyarakat akhir – akhir ini mendorong timbulnya berbagai tuntutan hukum terhadap rumah sakit, sehingga perlu adanya Hospital bylaws ( Statuta ) sebagai aturan tertulis di rumah sakit akan menjadi acuan tertulis dalam pengaturan tugas, fungsi, wewenang, kewajiban dan tanggung-jawab Pengurus Yayasan sebagai pemilik, Direktur RS ISLAM KARAWANG beserta seluruh staf medis di Rumah Sakit ISLAM KARAWANG. B. TUJUAN 1.



Tujuan Umum: Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital Bylaws) bertujuan untuk



mengatur



batas kewenangan, hak, kewajiban dan tanggung jawab Pemilik dalam hal ini yayasan SINGAPERBANGSA KARAWANG, Direksi selaku pengelola, Komite Medik dan Staf Medis Fungsional sebagai pemberi pelayanan dirumah sakit. 2.



Tujuan Khusus :



a)



Adanya kepastian aturan dalam penyelenggaraan rumah sakit. b) Tercapainya kerja sama yang harmonis antara Pemilik, Direksi dan Komite Medik. c) Tercapainya sinergi antara Direksi (manajemen) dengan profesi medis. d) Terciptanya profesionalisme dan tanggung jawab Staf Medis Fungsional terhadap mutu pelayanan medis.



C. MANFAAT Adapun manfaat dari Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital Bylaws), adalah: 1.



Sebagai acuan Pemilik (yayasan) dalam melakukan pengawasan.



2.



Sebagai



acuan



Direksi



dalam



mengelola



dan



menyusun



kebijakan



teknisoperasional. 3.



Sebagai pedoman aspek hukum dalam pengaturan staf medis fungsional.



4.



Sebagai sarana menjamin efektivitas, efisiensi dan mutu.



5.



Sebagai sarana dalam perlindungan hukum.



6.



Sebagai acuan penyelesaian konflik.



7.



Sebagai persyaratan akreditasi rumah sakit BAGIAN KESATU PERATURAN INTERNAL KORPORASI (Corporate Bylaws) BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Pengertian



Dalam Peraturan Internal RS Islam Karawang (Hospital Bylaws) ini, yang dimaksud dengan 1. Peraturan Internal Rumah Sakit ISLAM KARAWANG (Hospital Bylaws)adalah aturan dasaryang mengatur tata cara penyelenggaraan RS Islam Karawang oleh Dewan Pengawas dan Direktur Rumah Sakit yang ditetapkan oleh Direksi. 2. Peraturan Internal Korporasi (Corporate ByLaws) adalah aturan yang mengatur agar tata kelola korporasi (corporate governance) terselenggara dengan baik melalui pengaturan hubungan antara pemilik atau yang mewakili pemilik, direksi dan komite medik di RS Islam Karawang. 3. Peraturan Internal Staf Medis (Medical Staff ByLaws) adalah aturan tata kelola klinis (clinical governance) untuk menjaga profesionalisme staf medis fungsional di RS Islam Karawang.



4. Rumah Sakit adalah Rumah Sakit yang beralamat di Jl. Pangkal Perjuangan, KM 2 Bypass Kabupaten Karawang 5. Pemilik Rumah Sakit adalah Yayasan Singaperbangsa Karawang 6. Dewan Pengawas adalah unit nonstruktural pada rumah sakit yang melakukan pembinaan dan pengawasan rumah sakit secara internal yang bersifat nonteknis perumahsakitan yang melibatkan unsur masyarakat. 7. Direktur



Rumah



sakit



adalah



seseorang



yang



diangkat



oleh



Yayasan



Singaperbangsa Karawang untuk menjabat posisi tersebut sebagaimana ditetapkan dalam statuta ini dan dalam hal yang bersangkutan tidak ada maka pengertian ini juga meliputi orang-orang yang akan ditunjuk oleh Yayasan Singaperbangsa Karawang untuk bertindak dalam jabatan tersebut untuk sementara waktu. 8. Komite Medik adalah



Wadah non struktural yang keanggotaannya berasal dari



kelompok staf medis fungsional Rumah Sakit Islam Karawang . 9. Sub Komite adalah bagian dari Komite medis Rumah Sakit Islam Karawang. 10. Satuan Pemeriksaan Intern (SPI) adalah



wadah non-struktural yang bertugas



melaksanakan pemeriksaan intern di Rumah Sakit Rumah Sakit Islam Karawang 11. Staf Medik Fungsional (SMF) adalah kelompok dokter dan dokter spesialis serta dokter gigi dan dokter gigi spesialis yang berhak memberikan pelayanan medik di RS Islam Karawang 12. Dokter dan dokter gigi adalah seorang tenaga medis yang memiliki ijin praktek dibidang kedokteran dan kedoteran gigi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah No.32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan dan yang telah terikat perjanjian dengan Rumah Sakit dan oleh karenanya diberi kewenangan untuk melakukan tindakan medis di Rumah Sakit Islam Karawang. 13. Kewenangan Klinis (Clinical Privilege )adalah hak yang dimiliki oleh anggota staf medis untuk melakukan pelayanan medis kepada pasien sesuai dengan kualifikasi dan kompetensi individu yang dimilikinya yang ditetapkan oleh Direktur Rumah sakit atas rekomendasi Komite Medis. 14. Penugasan Klinis (Clinical Appointment) adalah penugasan Direktur kepada seorang staf medis fungsional untuk melakukan pelayanan medis di RS Islam Karawang berdasarkan daftar kewenangan klinis (clinical privilege)yang telah ditetapkan baginya. 15. Kredensial adalah proses evaluasi terhadap staf medis fungsional untuk menentukan kelayakan diberikan kewenangan klinis (clinical privilege). 16. Rekredensial adalah proses reevaluasi terhadap staf medis fungsional yang telah memiliki



kewenangan



klinis



(clinical



pemberian kewenangan klinis tersebut.



privilege)untuk



menentukan



kelayakan



17. Audit medis adalah upaya evaluasi profesional terhadap mutu pelayanan medis di rumah sakit. 18. Kompetensi adalah kemampuan profesional yang meliputi penguasaan ilmu pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai (knowledge, skill dan attitude) dalam melaksanakan tugas profesionalnya. 19. Surat Tanda Registrasi (STR) adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Konsil Kedokteran Indonesia kepada dokter dan dokter gigi yang telah di registrasi Pasal 2 Nama, Logo dan Motto 1. Nama Rumah Sakit adalah Rumah Sakit Islam Karawang 2. Logo Rumah Sakit adalah:



3. Motto Rumah Sakit adalah: CARE : “Cepat, Akurat, Rahman Rahim, Efektif dalam Pelayanan” Pasal 3 Visi Visi Rumah Sakit Islam Karawang adalah Menjadi Rumah Sakit pilihan utama masyarakat Karawang dan sekitarnya melalui Pelayanan Kesehatan yang Islami serta mengutamakan Mutu dan Keselamatan Pasien Pasal 4 Misi Misi Rumah Sakit Islam Karawang adalah :



1) Memberikan pelayanan kesehatan prima secara holistik berlandaskan norma dan



saling menghargai



kepada setiap orang, tanpa membedakan status sosial,



golongan, suku dan agama.



2) Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang islami serta mengutamakan Mutu dan Keselamatan Pasien.



3) Mengelola aset secara efektif dan efisien bagi Kesejahteraan dan Pengembangan rumah sakit dengan memanfaatkan potensi Kota Industri, Pertanian dan Wisata.



4) Mengembangkan Sumber Daya Manusia sesuai dengan kompetensi nilai-nilai, normanorma Islami, bekerja dalam tim, dan Profesional.



5) Menjadikan Iman, Islam dan Ihsan sebagai budaya Organisasi BAB II DEWAN PENGAWAS Bagian Pertama Tugas, Kewajiban dan Wewenang Pasal 5 Tugas Dewan Pengawas Dewan Pengawas, bertugas untuk melakukan pengawasan terhadap pengurusan Rumah Sakit Islam Karawang, yang meliputi pelaksanaan Rencana Bisnis dan Anggaran, Rencana Strategis Bisnis Jangka Panjang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 6 Kewajiban Dewan Pengawas Dewan Pengawas dalam melakukan tugasnya berkewajiban : 1. Memberikan pendapat dan saran kepada Pemilik Rumah Sakit mengenai Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA) RS Islam Karawang yang diusulkan oleh Direktur Rumah sakit kepada direksi 2. Mengikuti perkembangan kegiatan Rumah Sakit, memberikan pendapat dan saran kepada Pemilik Rumah Sakit mengenai setiap masalah yang dianggap penting bagi pengurusan Rumah Sakit Islam Karawang 3. Memberikan nasihat kepada Direktur Rumah sakit dalam melaksanakan pengurusan Rumah Sakit 4. Melaporkan dengan segera kepada Pemilik Rumah Sakit apabila terjadi gejala menurunnya kinerja Rumah Sakit Islam Karawang



Pasal 7 Wewenang Dewan Pengawas Dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, Dewan Pengawas mempunyai wewenang sebagai berikut: 1. Melihat buku-buku, surat-surat serta dokumen-dokumen lainnya, memeriksa kas untuk keperluan verifikasi dan memeriksa kekayaan rumah sakit; 2. Meminta penjelasan dari Kepala Rumah sakit dan/atau pejabat lainnya dengan



sepengetahuan



Direksi



mengenai



segala



persoalan



yang



menyangkut pengurusan Rumah Sakit Islam Karawang 3. Meminta



Direktur



Rumah



sakit



dan/atau



pejabat



lainnya



dengan



sepengetahuan Direksi untuk menghadiri rapat Dewan Pengawas; 4. Menghadiri rapat Direksi dan memberikan pandangan-pandangan terhadap hal-hal yang dibicarakan; 5. Memberikan persetujuan atau bantuan kepada Direktur Rumah Sakit dalam melakukan perbuatan hukum tertentu. Bagian Kedua Pengangkatan dan Pemberhentian Pasal 8 1. Dewan Pengawas diangkat dan diberhentikan oleh Direksi Yayasan Singaperbangsa Karawang 2. Pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak bersamaan waktunya dengan pengangkatan anggota Direksi. 3. Dewan Pengawas dapat diangkat kembali dalam jabatan yang sama untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. 4. Dewan Pengawas dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya, apabila berdasarkan kenyataan anggota tersebut : -



Tidak melaksanakan tugasnya dengan baik;



-



Tidak



melaksanakan



ketentuan



perundang-undangan



dan/atau



melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan tentang Pendirian Rumah Sakit Islam Karawang -



Terlibat dalam tindakan yang merugikan Karawang



Rumah Sakit Islam



Dipidana penjara karena dipersalahkan melakukan perbuatan pidana,



-



kejahatan dan/atau kesalahan yang berkaitan dengan tugasnya melaksanakan pengawasan Rumah Sakit.



Bagian Ketiga Keanggotaan Pasal 9 Anggota Dewan Pengawas 1. Anggota Dewan Pengawas terdiri dan unsur-unsur tenaga kesehatan dan unsur Yayasan yang kegiatannya berhubungan dengan perumah sakitan, serta tenaga ahli yang sesuai dengan kegiatan usaha rumah sakit. 2. Persyaratan menjadi Anggota Dewan Pengawas adalah orang-perorangan yang: -



Memiliki dedikasi, memahami masalah-masalah manajemen rumah sakit dan dapat menyediakan waktu yang cukup untuk melaksanakan tugasnya;



-



Mampu melaksanakan perbuatan hukum dan tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota Direksi, Komisaris atau Dewan Pengawas yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu rumah sakit dinyatakan pailit. Pasal 10 Ketua Dewan Pengawas



1. Ketua Dewan Pengawas diangkat dan diberhentikan oleh Pemilik Rumah Sakit. 2. Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas Dewan Pengawas, Pemilik Rumah Sakit dapat mengangkat seorang Sekretaris Dewan Pengawas atas beban Rumah Sakit. 3. Sekretaris Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bertugas menyelenggarakan kegiatan administrasi dalam rangka membantu kegiatan



Dewan Pengawas, sedangkan Sekretaris Dewan Pengawas tidak dapat bertindak sebagai Dewan Pengawas. 4. Tugas Ketua Dewan Pengawas adalah: -



Memimpin semua pertemuan Dewan Pengawas;



-



Memutuskan berbagai hal yang berkaitan dengan prosedur dan tata cara yang tidak di atur dalam peraturan Internal (Hospital Bylaws/Statuta) RS Islam Karawang melalui Rapat Dewan Pengawas;



-



Bekerja sama dengan Pengelola (Direksi) untuk menangani berbagal hal mendesak yang seharusnya diputuskan dalam rapat Dewan Pengawas. Bilamana rapat Dewan Pengawas belum dapat diselenggarakan, maka Ketua dapat memberikan wewenang pada Direktur Utama untuk mengambil segala tindakan yang perlu sesuai dengan situasi saat itu;



-



Melaporkan pada rapat rutin berikutnya perihal tindakan yang diambil sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c di atas, disertai dengan penjelasan yang terkait dengan situasi saat tindakan tersebut diambil. Bagian Keempat Rapat-Rapat Pasal 11 Rapat Rutin



1. Rapat rutin adalah setiap rapat terjadual yang diselenggarakan Dewan Pengawas yang bukan termasuk rapat tahunan dan rapat khusus. 2. Rapat rutin merupakan rapat koordinasi antara Dewan Pengawas dengan Direktur Rumah Sakit dan Komite Medik serta Pejabat lain yang dianggap perlu untuk mendiskusikan, mencari klarifikasi atau alternatif solusi berbagai masalah di RS Islam Karawang. 3. Sekretaris Dewan Pengawas menyampaikan undangan kepada setiap anggota Dewan Pengawas, Direksi, Komite Medik dan pihak lain yang tertentu untuk menghadiri rapat rutin paling lambat tiga hari sebelum rapat tersebut dilaksanakan. 4. Setiap



undangan



rapat



yang



disampaikan



oleh



Sekretaris



sebagaimana diatur dalam ayat (4) harus melampirkan : a. 1 (satu) salinan agenda; b. 1 (satu) salinan risalah rapat rutin yang lalu; c. 1 (satu) salinan risalah rapat khusus yang lalu (bila ada).



Dewan



Pengawas



Pasal 12 Rapat khusus 1. Rapat khusus adalah rapat yang diselenggarakan oleh Dewan Pengawas untuk menetapkan kebijakan atau hal-hal khusus yang tidak termasuk dalam rapat rutin maupun rapat tahunan. 2. Dewan Pengawas mengundang untuk rapat khusus dalam hal : a. Ada permasalahan penting yang harus segera diputuskan; atau b. Ada permintaan yang ditandatangani oleh paling sedikit tiga orang anggota Dewan Pengawas 3. Undangan rapat khusus disampaikan oleh Sekretaris Dewan Pengawas kepada peserta rapat paling lambat 24 (dua puluh empat) jam sebelum rapat khusus tersebut diselenggarakan. 4. Undangan rapat khusus harus mencantumkan tujuan pertemuan secara spesifik. 5. Rapat khusus yang diminta oleh anggota Dewan Pengawas sebagaimana diatur dalam ayat (2) butir b di atas, harus diselenggarakan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah diterimanya surat permintaan tersebut. Pasal 13 Rapat Tahunan 1. Rapat Tahunan adalah rapat yang diselenggarakan oleh Dewan Pengawas setiap tahun, dengan tujuan untuk menetapkan kebijakan tahunan operasional rumah sakit 2. Rapat Tahunan diselenggarakan sekali dalam 1 (satu) tahun. 3. Dewan Pengawas menyiapkan dan menyajikan laporan umum keadaan RS Islam Karawang, termasuk laporan keuangan yang telah diaudit. Pasal 14 Undangan Rapat Setiap rapat dinyatakan sah hanya bila undangan telah disampaikan sesuai aturan, kecuali seluruh anggota Dewan Pengawas yang berhak memberikan suara menolak undangan tersebut. Pasal 15 Peserta Rapat



Setiap rapat rutin, selain dihadiri oleh anggota Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas dan Direktur Utama, juga dihadiri oleh Direktur Rumah sakit, Komite Medik dan pihak lain yang ada di lingkungan Rumah Sakit Islam Karawang dan/atau di luar lingkungan RS Islam Karawang apabila diperlukan.



Pasal 16 Pejabat Ketua 1.



Dalam hal Ketua Dewan Pengawas berhalangan hadir dalam suatu rapat, maka bila kuorum telah tercapai, anggota Dewan Pengawas dapat memilih Pejabat Ketua untuk memimpin rapat.



2.



Pejabat Ketua sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berkewajiban melaporkan hasil keputusan rapat kepada Ketua Dewan Pengawas pada rapat berikutnya. Pasal 17 Kuorum



1. Rapat Dewan Pengawas hanya dapat dilaksanakan bila kuorum tercapai. 2. Kuorum memenuhi syarat apabila dihadiri oleh 2/3 dan seluruh anggota Dewan Pengawas. 3. Bila kuorum tidak tercapai dalam waktu setengah jam dari waktu rapat yang telah diteritukan, maka rapat ditangguhkan untuk dilanjutkan pada suatu tempat hari dan jam yang sama minggu berikutnya. 4. Bila kuorum tidak juga tercapai dalam waktu setengah jam dari waktu rapat yang telah ditentukan pada minggu berikutnya, maka rapat segera dilanjutnya dan segala keputusan yang terdapat dalam risalah rapat disahkan dalam rapat Dewan Pengawas berikutnya. Pasal 18 Risalah Rapat 1. Penyelenggaraan setiap risalah rapat Dewan Pengawas menjadi tanggung jawab Sekretaris Dewan Pengawas.



2. Risalah rapat Dewan Pengawas harus disahkan dalam waktu maksimal 7 (tujuh) hari setelah rapat diselenggarakan, dan segala putusan dalam risalah rapat tersebut tidak boleh dilaksanakan sebelum disahkan oleh seluruh anggota Dewan Pengawas yang hadir.



Pasal 19 Pemungutan Suara 1. Setiap masalah yang diputuskan melalui pemungutan suara dalam rapat Dewan Pengawas ditentukan dengan mengangkat tangan atau bila dikehendaki oleh para anggota Dewan Pengawas, pemungutan suara dapat dilakukan dengan amplop tentutup. 2. Putusan rapat Dewan Pengawas didasarkan pada suara terbanyak setelah dilakukan pemungutan suara. Pasal 20 Pembatalan Putusan Rapat 1. Dewan Pengawas dapat menubah atau membatalkan setiap putusan yang diambil pada rapat rutin atau rapat khusus sebelumnya, dengan syarat bahwa usul perubahan atau pembatalan tersebut dicantumkan dalam pemberitahuan atau undangan rapat sebagaimana ditentukan dalam Peratunan Internal (Hospital Bylaws/Statuta) ini. 2. Dalam hal usul perubahan atau pembatalan putusan Dewan Pengawas tidak diterima dalam rapat tersebut, maka usulan ini tidak dapat diajukan lagi dalam kurun waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak saat ditolaknya usulan. Pasal 21 Stempel 1. Dalam Peraturan Internal ini ditentukan dua macam Stempel, yaitu Stempel Dewan Pengawas atau Tim Pengawas dan Stempel Rumah Sakit;



2. Setiap dokumen tidak akan dibubuhi Stempel Dewan Pengawas selain menyangkut hal-hal yang diputuskan oleh Dewan Pengawas seperti yang tercantum dalam risalah rapat, kecuali pada saat diantara dua rapat Dewan Pengawas dimana Ketua diberi wewenang untuk menggunakan Stempel tersebut dengan persetujuan dua anggota Dewan Pengawas lainnya. 3. Penggunaan Stempel oleh Ketua pada saat diantara dua rapat Dewan Pengawas sebagaimana tercantum pada ayat (4) diatas harus dilaporkan pada rapat Dewan Pengawas berikutnya untuk memperoleh pengakuan. 4. Setiap



dokumen



yang



menggunakan



Stempel



Dewan



Pengawas



harus



ditandatangani oleh sekurangnya dua orang anggota Dewan Pengawas. BAB III DIREKTUR RUMAH SAKIT Pasal 22 DIREKTUR 1. Pengelolaan atau pelaksanaan kegiatan secara keseluruhan di RS ISLAM KARAWANG dilakukan oleh Direktur Rumah Sakit 2. Anggota diangkat dan diberhentikan oleh Pemilik Rumah Sakit. 3. Direktur Rumah Sakit bertanggung jawab kepada Pemilik melalui (Direksi) dalam hal pengelolaan dan pengawasan rumah sakit beserta fasilitasnya, personil dan sumber daya terkait. 4. Direktur Rumah sakit bertugas untuk melaksanakan kebijakan pengelolaan Rumah Sakit ISLAM KARAWANG setelah ditetapkan oleh Dewan Pengawas sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundangan-undangan dan peraturan kebijakan serta segala



ketentuan



umum



yang



berlaku



dan



Peraturan



Internal



(Hospital



Bylaws/Statuta) serta memperhatikan hasil pelaksanaan tindakan/audit yang dilaksanakan oleh Komite Medik dan SPI (Satuan Pemeriksaan Intern). 5. Direktur Rumah sakit mempunyai tugas dan wewenang untuk : a.



Memimpin dan mengelola Rumah Sakit sesuai dengan Visi dan Misi serta tujuan Rumah Sakit ISLAM KARAWANG



b.



Bertanggung jawab memelihara dan mengelola kekayaan RS ISLAM KARAWANG



c.



Menyelesaikan berbagai masalah teknis di rumah sakit dengan menggunakan berbagai sumber daya secara efektif dan efesien



d.



Mewakili Rumah Sakit ISLAM KARAWANG, baik di dalam maupun di luar Pengadilan



Pasal 23 Pengangkatan, Masa Kerja dan Pemberhentian Direktur Rumah Sakit 1. Direktur Rumah sakit diangkat dan diberhentikan oleh Pemilik Rumah Sakit (Yayasan SINGAPERBANGSA KARAWANG). 2. Anggota Direktur Rumah sakit diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. 3. Anggota dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya apabila: a. Tidak melaksanakan tugas dengan baik b. Tidak melaksanakan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku c. Terlibat dalam tindakan yang merugikan Rumah Sakit d. Dipidana penjara karena di persalahkan melakukan perbuatan pidana, kejahatan, dan atau kesalahan yang bersangkutan dengan pengurusan Rumah Sakit. 4. Keputusan pemberhentian dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a, huruf b, dan huruf c, ditetapkan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan membela diri. 5. Pemberhentian karena alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf d, merupakan pemberhentian tidak dengan hormat. 6. Kedudukan



sebagai



Direksi



berakhir



dengan



dikeluarkannya



keputusan



pemberhentian oleh Pemilik Rumah Sakit Pasal 24 Persyaratan Menjadi Direktur Rumah Sakit Yang dapat diangkat menjadi anggota Pengelola Rumah Sakit adalah orang perorangan yang: 1. Memenuhi kriteria keahlian, integritas, kepemimpinan dan pengalaman di bidang perumahsakitan 2. Berkelakuan baik serta memiliki dedikasi untuk mengembangkan kinerja guna kemajuan rumah sakit 3. Mampu melaksanakan perbuatan hukum dan tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota Direksi atau Komisaris atau Dewan Pengawas yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu rumah sakit dinyatakan pailit. 4. Berkewarganegaraan Indonesia



Pasal 25 Rapat Pengelola RS 1. Rapat Pengelola rumah sakit (Direktur Rumah Sakit) diselenggarakan sekurangkurangnya 1 (satu) bulan sekali. 2. Dalam rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dibicarakan hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan RS ISLAM KARAWANG sesuai dengan tugas, kewenangan dan kewajibannya. 3. Keputusan Rapat Direksi diambil atas dasar musyawarah untuk mufakat. 4. Dalam hal tidak tercapai kata sepakat, maka keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.mpaikan secara tertulis. 5. Dalam rapat –rapat yang bersifat khusus, Direktur Rumah Sakit dapat mengundang dewan pengawas yang di sampaikan secara tertulis. 6. Untuk setiap rapat daftar hadir dan risalah risalah rapat oleh Notulis Pasal 26 Koordinasi antar Direksi 1. Dalam menjalankan tugas-tugas Direktur sebagimana dimaksud dalam Pasal 22, maka: a. Direktur bertindak atas nama rumah sakit b. Direktur dan Kepala Bidang berhak dan berwenang bertindak atas nama rumah sakit, untuk masing-masing bidang yang menjadi tugas dan wewenangnya. 2. Apabila salah satu atau beberapa anggota Direksi berhalangan tetap menjalankan pekerjaannya atau apabila jabatan itu terluang dan penggantinya belum memangku jabatan, maka kekosongan jabatan tersebut dipangku oleh anggota Direksi Iainnya yang ditunjuk sementara oleh Direktur Utama atas persetujuan Pemilik Rumah Sakit. 3. Dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan terhitung sejak terjadinya keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pemilik Rumah Sakit dapat menunjuk anggota Direksi yang baru untuk memangku jabatan yang terluang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). Pasal 27 Stempel Rumah Sakit 1. Untuk kepentingan operasional rumah sakit digunakan Stempel rumah sakit.



2. Direktur bertanggung jawab atas keamanan stempel Rumah Sakit. 3. Stempel Rumah Sakit terdiri dari 1 jenis yaitu yang di gunakan oleh sekretariat, bagian keuangan dan kasir. 4. Setiap stempel rumah Sakit tersebut di atas dibubuhi masing – masing bagian secara berbeda – beda. 5. Penggunaan stempel rumah sakit di tentukan lebih lanjut oleh direktur. 6. Bagian sekretariat bertanggung jawab atas pengamanan dan penggunaan setiap stempel Rumah Sakit.



Pasal 28 Satuan Pemeriksaan Intern (SPI) 1. Dalam membantu Direksi dalam bidang pengawasan dan pengelolaan Sumber Daya yang ada di Rumah Sakit ISLAM KARAWANG dibentuk Satuan Pemeriksaan Intern. 2. Satuan Pemeriksaan Intern adalah kelompok Fungsional yang bertugas :  Melakukan pemeriksaan terhadap setiap unsure/kegiatan di lingkungan Rumah Sakit yang meliputi pengelolaan administrasi keuangan, administrasi pelayanan serta administrasi umum dan kepegawaian yang dipandang perlu.  Melakukan pengujian serta penilaian atas hasil laporan berkala atau sewaktuwaktu dari setiap unsure/kegiatan dilingkungan Rumah Sakit atas petunjuk Direktur Utama Rumah Sakit.  Melakukan penelusuran mengenai kebenaran laporan atau informasi tentang hambatan, penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang yang terjadi.  Memberikan saran dan alternative pemecahan kepada Direktur Rumah Sakit terhadap penyimpangan yang terjadi. 3. Satuan Pemeriksaan Intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatas dibentuk dan ditetapkan oleh Direktur Utama sesuai dengan kebutuhan. 4. Pengelolaan Sumber Daya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatas adalah Sumber



Daya



Keuangan,



Sumber



Daya



Manusia,



dan



Sumber



Daya



Sarana/Prasarana. 5. Struktur Organisasi dari Satuan Pemeriksaan Intern (SPI) terdiri dari 1 (satu) orang Ketua, 1 (satu) orang Sekretaris dan beberapa orang Anggota yang bertanggung jawab langsung kepada Direktur Utama.



6. Penetapan Keanggotaan dalam Satuan Pemeriksaan Intern dilakukan dengan mempertimbangkan Kompetensi dan Jabatan seseorang yang disesuaikan dengan peraturan yang berlaku. 7. Masa kerja Satuan Pemeriksaan Intern (SPI) adalah 3 (tiga) tahun BAB IV HUBUNGAN-HUBUNGAN DALAM HOSPITAL BYLAWS Pasal 29 Hubungan Kepla Rumah Sakit dengan Dewan Pengawas 1. Pengelolaan Rumah Sakit dilakukan oleh Direktur Rumah sakit. 2. Direksi bertanggung jawab kepada Pemilik melalui Dewan Pengawas. 3. Dewan Pengawas melakukan pembinaan dan pengawasan dalam pengelolaan Rumah Sakit, dengan menetapkan kebijakan pelaksanaan, baik di bidang pelayanan medis, pendidikan dan latihan serta penelitian dan pengembangan kesehatan untuk tercapainya vlsi, misi, falsafah dan tujuan rumah sakit. 4. Keberhasilan rumah sakit tergantung dari pengurusan Direksi dan pembinaan serta pengawasan



dan



Pemilik



melalui



Dewan



Pengawas



sehingga



dalam



pertanggungjawaban tugas dan kewajiban antara Pengelola dan Pemilik adalah bersifat tanggung renteng. Pasal 30 Hubungan Dewan Pengawas dengan Komite Medik 1. Dewan Pengawas berperan mendorong dan mendukung dalam bentuk kebijakan dalam upaya memberdayakan Komite Medik untuk mencapai tujuan Rumah Sakit sesuai dengan Visi, Misi, Falsafah dan Tujuan RS ISLAM KARAWANG 2. Peran terhadap Komite Medik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui integrasi dan koordinasi secara terus-menerus dan berkesinambungan. 3. lntegrasi dan koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diselenggarakan melalui pemberdayaan fungsi-fungsi dalam Organisasi Komite Medik Rumah Sakit ISLAM KARAWANG Pasal 31 Hubungan Direksi dengan Komite Medik



1. Komite Medik berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Utama Rumah SakIT ISLAM KARAWANG. 2. Pelaksanaan tugas-tugas Komite Medik dilaporkan secara tertulis kepada Direktur Utama dalam bentuk rekomendasi. 3. Bahan pertimbangan berupa rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), adalah berdasarkan penugasan dari Direktur Utama. Pasal 32 Hubungan Direksi dengan Satuan Pemeriksaan Intern (SPI) 1. Satuan Pemeriksaan Intern berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Utama Rumah Sakit ISLAM KARAWANG 2. Tugas pokok Satuan Pemeriksaan Intern adalah melaksanakan pengawasan dan penilaian terhadap pelaksanaan kegiatan semua unsur di rumah sakit agar dapat berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan yang berlaku. 3. Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Satuan Pemeriksaan Intern berfungsi : a. Melaksanakan pemeriksaan/audit keuangan dan operasional; b. Merancang dan melaksanakan pengawasan pelaksanaan pengendalian intern; c. Melakukan identifikasi risiko; d. Mencegah terjadinya penyimpangan; e. Memberikan konsultasi pengendalian intern; f.



Melakukan hubungan dengan Eksternal Auditor;



Tugas dan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan (3) disampaikan dalam bentuk rekomendasi kepada Direktur Utama. BAGIAN KEDUA PERATURAN INTERNAL STAF MEDIK (MEDICAL STAFF BYLAWS) BAB V NAMA DAN TUJUAN ORGANISASI Pasal 33 Nama



1. Nama organisasi kelompok Dokter dan Dokter Spesialis serta Dokter Gigi dan Dokter Gigi Spesialis yang berhak memberikan pelayanan medik di rumah sakit ini adalah Staf Medik Fungsional (SMF) Rumah Sakit ISLAM KARAWANG 2. Pengelompokan anggota SMF adalah berdasarkan keahlian dan/atau spesialisasi yang ada di RS ISLAM KARAWANG, dengan keanggotaan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang, apabila kurang dari 2 (dua) orang, maka bergabung di SMF spesialis lain. 3. Nama wadah profesional medis yang keanggotaannya berasal dari Ketua-ketua Staf Medis Fungsional dan/atau yang mewakili SMF secara tetap adalah Komite Medik Rumah Sakit ISLAM KARAWANG.



Pasal 34 Tujuan Tujuan dan pengorganisasian Staf Medis Fungsional (SMF) adalah agar Staf Medis di Rumah Sakit ISLAM KARAWANG dapat lebih menata diri dengan fokus terhadap pelayanan pasien, sehingga menghasilkan pelayanan medis yang berkualitas, efisien dan bertanggung jawab. Pasal 35 Tanggung Jawab Secara administratif manajerial, Staf Medis Fungsional (SMF) berada di bawah Direksi Rumah Sakit ISLAM KARAWANG, tetapi secara fungsional sebagai profesi, anggota Staf Medis Fungsional (SMF) berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Komite Medik melalui Ketua SMF. BAB VI PENGORGANISASIAN STAF MEDIS FUNGSIONAL Pasal 36 Struktur Organisasi



1. Anggota SMF dikelompokkan ke dalam masing-masing Staf Medik Fungsional (SMF) sesuai dengan profesi dan keahliannya, minimal dengan 2 (dua) orang anggota. 2. SMF yang ada di Rumah Sakit ISLAM KARAWANG, adalah: a. SMF Penyakit Dalam b. SMF Anak c. SMF Obstetri dan Ginekology d. SMF Bedah Umum e. SMF Syaraf f.



SMF THT



g. SMF Paru h. SMF Radiologi i.



SMF Anasthesi



j.



SMF Patologi Klinis



k. SMF Dokter Umum l.



SMF Dokter Gigi



3. Susunan Kepengurusan SMF bila mencukupi terdiri dari : a. Ketua SMF merangkap anggota; b. Sekretaris merangkap anggota; c. Koordinator Pelayanan merangkap anggota; d. Koordinator Pendidikan merangkap anggota; dan e. Koordinator Penelitian dan Pengembangan merangkap anggota. 4. Masa bakti kepengurusan SMF adalah minimal 3 (tiga) tahun. Pasal 37 Ketua Staf Medis Fungsional 1. Pemilihan calon Ketua SMF dilakukan dalam rapat pleno SMF dengan prosedur yang telah ditetapkan oleh Komite Medik. 2. Ketua SMF dipilih dan ditetapkan oleh Direktur Utama dari minimal 2 (dua) orang calon yang diajukan. 3. Dalam menentukan pilihan dan penetapan Ketua SMF, Direktur Utama dapat meminta pendapat dari Komite Medik. 4. Ketua SMF terpilih menjadi pengurus Komite Medik. 5. Tugas Ketua SMF adalah mengkoordinasikan semua kegiatan anggota SMF, menyusun uraian tugas, wewenang dan tata kerja anggota SMF dengan rincian sebagai berikut :



a. Menyusun Standar Prosedur Operasional pelayanan medis bidang administrasi/ manajerial, di bawah koordinasi Direktur Medik dan Keperawatan dan bidang keilmuan (Standar Pelayanan Medis) di bawah koordinasi Komite Medik; b. Mengevaluasi hasil indikator mutu klinis; c. Menyusun uraian tugas dan kewenangan untuk masing-masing anggotanya; 6. Ketua SMF mempunyai kewenangan mengatur anggota SMF. Pasal 38 Sekretaris Staf Medis Fungsional 1. Sekretaris dipilih oleh Ketua SMF dan anggota tetap SMF. 2. Sekretaris SMF bertugas membantu Ketua SMF dalam bidang administrasi dan manajerial.



BAB VII PENGANGKATAN DAN PENUGASAN STAF MEDIS FUNGSIONAL Pasal 39 Pengangkatan Staf Medis Direktur Rumah sakit dapat mengangkat staf medis atas saran Komite Medik RS ISLAM KARAWANG sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 40 Penugasan Staf Medis 1. Direksi menetapkan kriteria dan syarat-syarat penugasan setiap staf medis untuk suatu tugas atau jabatan klinis tertentu. 2. Kriteria dan syarat-syarat penugasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Direksi berdasarkan masukan dari Komite Medik. 3. Tenaga Medis yang telah mendapat penugasan di Rumah Sakit dapat bersatus sebagai dokter, dokter kontrak atau dokter tamu.



4. Jangka waktu penugasan tenaga medis kontrak adalah 1 (satu) tahun atau sekurang-kurangnya 14 (empat belas) hari yang ditetapkan oleh Direktur Utama, dan dapat diperpanjang. 5. Jangka waktu penugasan tenaga medis berlaku sampai dengan batas usia pensiun, atau akan dicabut penugasan tersebut apabila terjadi kondisi sebagai berikut : a. Bila ijin praktek di RS ISLAM KARAWANG yang bersangkutan sudah tidak berlaku sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada; atau b. Bila kondisi fisik/mental tenaga medis yang bersangkutan tidak mampu lagi melakukan tindakan medis secara menetap; atau c. Bila tenaga medis ditetapkan telah melakukan tindakan yang tidak profesional, kelalaian, atau perilaku menyimpang lainnya sebagaimana disarankan oleh Komite Medis.



BAB VIII KATEGORI STAF MEDIS FUNGSIONAL Pasal 41 Syarat Menjadi Staf Medik Untuk dapat bergabung dengan RS ISLAM KARAWANG, maka dokter (baik dokter umum, dokter spesialis, dokter gigi maupun dokter gigi spesialis) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1. Memiliki kompetensi sesuai dengan bidangnya yang dibuktikan dengan STR. 2. Memiliki Surat Izin Praktik yang diterbitkan oleh Dinas Kesehatan Jakarta 3. Sehat jasmani dan rohani serta memiliki perilaku dan moral yang baik. 4. Telah melalui proses kredensial dari Sub Komite Kredensial Komite Medik Rumah Sakit ISLAM KARAWANG Pasal 42



Staf Medik Rumah Sakit memiliki kewajiban, antara lain sebagai berikut : a. Wajib mentaati semua peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Wajib mentaati semua Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital Bylaws) c. Wajib mentaati etika rumah sakit, etika kedokteran, etika perawat, etika bidan dan sebagainya. d. Wajib melaksanakan klausula-klausula dalam perjanjian antara Rumah Sakit dengan Staf Medik atau antara Rumah Sakit dengan pihak lain. e. Wajib memberikan layanan medik dengan mutu tinggi kepada pasien yang menjadi tanggung jawabnya serta bersedia dihubungi atau dipanggil setiap saat apabila kondisi klinis yang bersangkutan berada dalam keadaan emergensi. f.



Wajib memberikan pertolongan emergensi (baik kepada pasiennya sendiri atau kepada pasien lain yang bukan menjadi tanggung jawabnya) apabila kondisi klinis pasien tersebut berada dalam keadaan emergensi.



g. Wajib menjaga etika rumah sakit serta berperilaku sopan terhadap pimpinan, manajer, staf medik lain, profesional lain, pasien, keluarga pasien serta pengunjung. h. Wajib menjalin kerja sama yang harmonis dengan profesional lain yang ada di rumah sakit dan menghormati kode etik profesi mereka. i.



Wajib menyelesaikan semua kewajiban administratif sesuai peraturan yang berlaku.



j.



Wajib hadir dalam rapat-rapat yang diadakan oleh Pimpinan Rumah Sakit atau Komite Medik.



k. Wajib hadir dalam dengar pendapat (hearing) yang diadakan oleh Pimpinan Rumah Sakit, Komite Medik atau tim yang dibentuk oleh rumah sakit berkaitan dengan penanganan pasien / kasus. l.



Wajib menunjukkan loyalitasnya kepada rumah sakit.



m. Wajib membantu rumah sakit dalam rangka meningkatkan mutu layanan. n. Wajib mentaati kewajiban-kewajiban lain yang ditetapkan di kemudian hari



Pasal 43 Dalam melaksanakan pelayanan, Staf Medik mempunyai kewajiban terhadap pasien yang ditangani untuk : a. Melakukan upaya kesehatan dengan sungguh - sungguh dan profesional sesuai standar mutu yang tinggi. b. Segera menjalankan kebijakan medik yang benar, layak dan dapat diterima sesuai standar mutu yang tinggi. c. Segera merujuk ke dokter atau fasilitas kesehatan lain manakala staf medik (baik karena keterbatasan kemampuan, peralatan, waktu atau karena alasan lain yang masuk akal) tidak mampu lagi untuk rnelakukan atau meneruskan upaya kesehatan tehadap pasien. d. Menjalin kerjasama dan komunikasi yang baik dengan pasien. e. Menjalin kerjasama yang harmonis dengan tenaga kesehatan lainnya. f.



Memenuhi apa yang menurut etika dan hukum menjadi hak pasien.



g. Menghormati kepentingan-kepentingan lain dari pasien. h. Menghormati kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat secara khusus dengan pasien. i.



Menerbitkan surat keterangan yang diperlukan bagi kepentingan pasien.



j.



Menghormati kerahasian (konfidensialitas) medik pasien.



k. Memberikan penjelasan yang sejelas-jelasnya dan sejujur-jujurnya kepada pasien dengan mempertimbangkan aspek psikologiknya. Pasal 44 Dalam hal terjadinya sesuatu yang menyebabkan Staf Medik tidak dapat melaksanakan kewajibannya menangani pasien untuk sementara waktu maka ia wajib memberitahu atau meminta ijin kepada Direksi Rumah Sakit serta wajib menunjuk dokter pengganti (dengan keahlian sebidang dengannya) yang disetujui oleh pasien. Pasal 45 Dalam hal Staf Medik bekerja sebagai Dokter kontrak maka ia sepenuhnya bertanggung jawab atas segala gugatan bentuk kerugian yang dialami pasien sebagai akibat dari kesalahan medik yang dilakukan, kecuali ada kesepakatan tersendiri yang menentukan lain.



BAB IX KOMITE MEDIK Bagian Pertama Nama dan Struktur Organisasi Pasal 46 Komite Medik 1. Komite Medik mempunyai otoritas tertinggi di dalam pengorganisasian Staf Medis Fungsional (SMF). 2. Komite Medik berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur RS ISLAM KARAWANG. 3. Komite Medik melaksanakan pengawasan dan review terhadap pelayanan pasien, mutu pelayanan medis, rekomendasi penetapan Staf Medis, audit medis dan pengawasan Etika dan disiplin profesi medis. 4. Pengawasan dan review sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan oleh Ketua Komite Medik. Pasal 47 Organisasi Komite Medik 1. Komite Medik Rumah Sakit ISLAM KARAWANG adalah wadah non struktural kelompok profesional medis yang keanggotaannya terdiri dan Ketua-ketua Staf Medis Fungsional atau yang mewakili SMF secara tetap. 2. Susunan kepengurusan Komite Medik terdiri dari : a. Ketua merangkap Anggota; b. Wakil Ketua merangkap Anggota; c. Sekretaris bukan Anggota; dan d. Anggota. 3. Masa bakti kepengurusan Komite Medik adalah minimal 3 (tiga) tahun. 4. Kepengurusan Komite Medik dipilih melalui rapat pleno untuk memilih Ketua, Wakil Ketua dan Sekretaris. Pasal 48 Sub Komite Medis 1. Komite Medis mempunyai beberapa Sub komite yang terdiri dari : a. Subkomite Kredensial



b. Subkomite Mutu Profesi c. Subkomite Etika dan Disiplin Profesi Pasal 49 Pemilihan Komite Medik 1. Pemilihan calon Ketua/Wakil Ketua Komite Medik dilakukan secara musyawarah mufakat/demokratis dalam rapat pleno dengan prosedur yang telah ditetapkan oleh Komite Medik. 2. Ketua dan Wakil Ketua Komite Medik ditetapkan oleh Direktur dan 3 (tiga) orang calon yang diajukan. 3. Dalam menentukan Ketua/Wakil Ketua, Direktur Utama dapat meminta pendapat dari Dewan pengawas. Bagian Kedua Tugas, Fungsi dan Wewenang Pasal 50 Tugas Komite Medik Tugas Komite Medik Rumah Sakit ISLAM KARAWANG adalah: 1. Membantu Direktur Rumah sakit menyusun standar pelayanan medis dan memantau pelaksanaannya 2. Membantu Direktur Rumah sakit menyusun Peraturan Internal Staf Medis dan memantau pelaksanaannya 3. Melakukan koordinasi dengan Direktur Bagian Medik dan Keperawatan dalam melaksanakan pemantauan dan pembinaan pelaksanaan tugas Kelompok SMF 4. Melaksanakan pembinaan etika dan disiplin profesi medis 5. Mengatur kewenangan profesi antar Kelompok SMF 6. Meningkatkan program pelayanan, pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan dalam bidang medis 7. Melakukan pemantauan dan evaluasi mutu pelayanan medis, antara lain melalui monitoring dan evaluasi farmasi dan terapi, ketepatan, kelengkapan, keakuratan rekam medis, pelaksanaan INA-DRG, pengendalian infeksi nosokomial, medical care review/peer-review/audit medis, melalui pembentukan Sub-sub Komite.



Pasal 51 Fungsi Komite Medik Fungsi Komite Medik RS ISLAM KARAWANG adalah : 1. Memberikan saran kepada Direktur Rumah sakit melalui Bagian Medik dan Keperawatan; 2. Mengkoordinasikan dan mengarahkan kegiatan pelayanan medis; 3. Menangani hal-hal yang berkaitan dengan etika dan disiplin profesi medis; 4. Menyusun



kebijakan



pelayanan



medis



sebagai



standar



yang



harus



dilaksanakan oleh semua SMF di Rumah Sakit; Pasal 52 Wewenang Komite Medik Wewenang Komite Medik Rumah Sakit ISLAM KARAWANG adalah : 1. Memberikan usul rencana kebutuhan dan peningkatan kualitas tenaga medis 2. Memberikan



pertimbangan



tentang



rencana



pengadaan,



penggunaan



dan



pemeliharaan peralatan pelayanan medis dan peralatan penunjang medis serta pengembangan pelayanan medis 3. Monitoring dan evaluasi yang terkait dengan mutu pelayanan medis, sesuai yang tercantum dalam tugas Komite Medik 4. Melaksanakan pembinaan Etika Profesi serta mengatur kewenangan profesi antar Kelompok Staf Medis Fungsional 5. Membentuk Tim Klinis yang mempunyai tugas menangani kasus-kasus pelayanan medis yang memerlukan koordinasi lintas profesi 6. Memberikan rekomendasi tentang kerjasama antara Rumah Sakit dan Fakultas Kedokteran/Kedokteran Gigi/Institusi pendidikan lain 7. Memantau dan mengevaluasi penggunaan obat di Rumah sakit 8. Memantau efisiensi dan efektivitas penggunaan alat kedokteran di Rumah Sakit 9. Menetapkan tugas dan kewajiban Sub Komite/Tim Klinis dalam lingkungan Komite Medik.



BAB X RAPAT KOMITE MEDIK Pasal 53 1. Rapat Komite Medis terdiri atas; Rapat Rutin, Rapat Khusus, Rapat Umum Tahunan atau Rapat Pleno. 2. Setiap rapat Komite Medis dinyatakan sah hanya bila undangan telah disampaikan secara tertulis Pasal 54 Rapat Rutin Komite Medis 1. Komite Medis menyelenggarakan rapat rutin minimal 3 (tiga) bulan sekali pada waktu dan tempat yang ditetapkan oleh Ketua Komite Medis. 2. Sekretaris Komite Medis menyampaikan pemberitahuan rapat rutin beserta agenda rapat kepada para anggota yang berhak hadir paling lambat 3 (tiga) hari kerja sebelum rapat tersebut dilaksanakan. 3. Rapat rutin dihadiri oleh Komite Medis. 4. Ketua dapat mengundang pihak lain bila dianggap perlu. 5. Setiap



undangan



rapat



yang



disampaikan



oleh



Sekretaris



Komite



Medis



sebagaimana diatur dalam ayat (2) harus melampirkan: a. Satu salinan agenda rapat. b. Satu salinan risalah rapat rutin yang lalu. c. Satu salinan risalah rapat khusus yang lalu. Pasal 55 Rapat Khusus Komite Medis 1. Rapat khusus Komite Medis diselenggarakan dalam hal : a. diperintahkan oleh ketua sesuai dengan permintaan Direktur Rumah Sakit b. permintaan yang diajukan secara tertulis oleh paling sedikit 3 (tiga) pengurus Komite Medis dalam waktu 48 (empat puluh delapan) jam sebelumnya. c. permintaan Ketua Komite Medis untuk hal-hal yang memerlukan penetapan kebijakan Komite Medis dengan segera. 2. Sekretaris Komite Medis menyelenggarakan rapat khusus dalam waktu 48 (empat puluh



delapan)



jam



setelah



diterimanya



permintaan



tertulis



rapat



yang



ditandatangani oleh seperempat dari jumlah anggota Komite Medis yang berhak untuk hadir dan memberikan suara dalam rapat tersebut. 3. Sekretaris Komite Medis menyampaikan pemberitahuan rapat khusus beserta agenda rapat kepada para pengurus yang berhak hadir paling lambat 24 (dua puluh empat) jam sebelum rapat tersebut dilaksanakan. 4. Pemberitahuan rapat khusus akan menyebutkan secara spesifik hal-hal yang akan dibicarakan dalam rapat tersebut, dan rapat hanya akan membicarakan hal-hal yang tercantum dalam pemberitahuan tersebut. Pasal 56 Rapat Pleno Komite Medis 1. Rapat pleno Komite Medis diselenggarakan 1 (satu) kali 1 (satu) tahun. 2. Rapat pleno dihadiri oleh seluruh Staf Medis Rumah Sakit. 3. Agenda rapat pleno paling tidak memuat laporan kegiatan tahun yang telah dilaksanakan Komite Medis, Dan membahas rencana kegiatan yang akan dilaksanakan tahun yang akan datang, serta agenda lainnya yang ditetapkan oleh Komite Medis. 4. Sekretaris Komite Medis menyampaikan pemberitahuan rapat tahunan secara tertulis beserta agenda rapat kepada para anggota yang berhak hadir paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum rapat tersebut dilaksanakan. Pasal 57 Kuorum 1. Kuorum tercapai bila rapat dihadiri oleh paling sedikit setengah dari jumlah Komite Medis ditambah satu yang berhak untuk hadir dan memberikan suara. 2. Keputusan hanya dapat ditetapkan bila kuorum telah tercapai. Pasal 58 Pengambilan Putusan Rapat Kecuali telah diatur dalam Peraturan Internal ini, maka: a. Pengambilan putusan rapat diupayakan melalui musyawarah dan mufakat. b. Dalam hal tidak tercapai mufakat, maka putusan diambil melalui pemungutan suara berdasarkan suara terbanyak dari anggota yang hadir.



c. Dalam hal jumlah suara yang diperoleh adalah sama maka ketua berwenang membuat keputusan hasil rapat. Pasal 59 Tata Tertib Rapat 1. Setiap rapat Komite Medis berhak dihadiri oleh seluruh Komite Medis atau yang diundang rapat. 2. Rapat dipimpin oleh ketua Komite Medis atau yang ditunjuk oleh Ketua Komite Medis. 3. Sebelum rapat dimulai agenda rapat dan notulen dibacakan atas perintah ketua. 4. Setiap peserta rapat wajib mengikuti rapat sampai selesai. 5. Setiap peserta rapat hanya dapat meninggalkan rapat dengan seijin pimpinan rapat. 6. Setiap peserta wajib menjaga ketertiban selama rapat berlangsung. 7. Hal-hal lain yang menyangkut teknis tata tertib rapat akan ditetapkan oleh Ketua sebelum rapat dimulai. Pasal 60 Notulen Rapat 1. Setiap rapat harus dibuat notulennya. 2. Semua notulen rapat Komite Medis dicatat oleh Sekretaris Komite Medis atau penggantinya yang ditunjuk. 3. Notulen akan diedarkan kepada semua peserta rapat yang berhak hadir sebelum rapat berikutnya. 4. Notulen rapat tidak boleh dirubah kecuali untuk hal-hal yang berkaitan dengan keakuratan notulen tersebut. 5. Notulen rapat ditandatangani oleh Ketua Komite Medis dan sekretaris Komite Medis pada rapat berikutnya, dan notulen tersebut diberlakukan sebagai dokumen yang sah. 6. Sekretaris memberikan salinan notulen kepada Direktur Rumah Sakit paling lambat 1 (satu) minggu setelah ditandatangani oleh ketua dan sekretaris Komite Medis .



BAB XI SUBKOMITE KREDENSIAL Pengaturan tentang peranan komite medik dalam melakukan mekanisme kredensial dan rekredensial bagi seluruh staf medis. Pasal 61 1. Untuk menjadi anggota Staf Medis diperlukan proses pengangkatan, yang terdiri dari 2 (dua) tahap yaitu proses rekrutmen dan proses kredensial. 2. Proses Rekrutmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di bawah tanggung jawab Direktur Rumah Sakit setelah mendapatkan rekomendasi dari Subkomite Kredensial. 3. Hasil proses rekrutmen disampaikan dalam bentuk memo kepada Ketua Komite Medik untuk selanjutnya dilaksanakan kredensial secara teknis pelayanan. 4. Pengangkatan Staf Medis RS ISLAM KARAWANG dilakukan, setelah memenuhi persyaratan, meliputi: a. Memenuhi segala persyaratan yang ditentukan dalam Peraturan ini. b. Lolos tes seleksi sesuai dengan aturan yang ditetapkan Rumah Sakit. c. Memiliki perilaku yang baik. d. Memperoleh rekomendasi dari Subkomite Kredensial dan Perhimpunan Profesi serta Instansi lainnya yang terkait dan berwenang. e. Bersedia mematuhi dan menandatangani Perjanjian Kerja sesuai yang ditetapkan. f.



Telah menandatangani Perjanjian Kerjasama Karya Medis bagi Staf Medis Non Karyawan.



5. Pengangkatan dan penolakan Staf Medis merupakan wewenang penuh dari Pemilik Rumah Sakit. BAB XII MEKANISME PENGANGKATAN KEMBALI STAF MEDIS Pasal 62 1. Staf Medis yang Perjanjian Kerjanya telah berakhir, tetapi dipandang perlu untuk diperpanjang masa berlakunya, maka dapat diusulkan untuk diangkat kembali oleh



Direktur Rumah Sakit setelah melalui tahap penilaian kembali dari Subkomite Kredensial . 2. Pengangkatan Kembali Staf Medis dilakukan dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: a. Pendidikan,



pelatihan,



pengalaman



kerja,



kemampuan



menimbang,



kompetensi medis, referensi dan status kesehatan individual yang dimiliki. b. Memenuhi persyaratan untuk menjalankan praktek kedokteran yang harus dipenuhi sesuai dengan aturan terkait yang berlaku. c. Tidak pernah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia. d. Tidak pernah melakukan perbuatan yang dilarang oleh peraturan perundangundangan yang berlaku. e. Tidak sedang atau memiliki riwayat menggunakan obat-obat terlarang untuk kepentingan sendiri atau kepentingan lainnya diluar kewenangannya. BAB XIII MEKANISME PENGHENTIAN STAF MEDIS Pasal 63 1. Berakhirnya Jangka Waktu Perjanjian Kerja antara Staf Medis dan Pemilik dapat terjadi karena: a. Staf Medis mengajukan untuk mengakhiri Perjanjian Kerja-nya sebelum jangka waktunya berakhir. b. Staf Medis melakukan pelanggaran Perjanjian Kerja. c. Staf Medis meninggal dunia atau memasuki masa pensionRumah Sakit dibubarkan. BAB XIV SUBKOMITE MUTU PROFESI Pengaturan tentang peranan komite medik untuk menjaga mutu profesi para staf medis. 1. Audit medis 2. Pendidikan 3. Pengembangan profesi berkelanjutan



Pasal 64 Audit Mutu Internal Audit Mutu Internal diselenggarakan untuk memastikan dipenuhinya asas kesesuaian, efektifitas dan efisiensi dalam pengelolaan fungsi-fungsi pelayanan di rumah sakit untuk mendukung tercapainya sasaran - sasaran fungsional dan tujuan setiap unit pelayanan. Pasal 65 Tugas Pokok Subkomite Mutu Profesi adalah : a. Melakukan



pemeriksaan



dan



penilaian



secara



sistematis,



obyektif



dan



terdokumentasi terhadap fungsi - fungsi unit pelayanan. b. Mengetahui tingkat ketaatan terhadap persyaratan - persyaratan, prosedur tetap dan ketentuan lain yang wajib dipenuhi dalam suatu unit pelayanan. c. Menilai tingkat efektifitas dan efisiensi dalam suatu unit pelayanan dengan parameter yang ditentukan. d. Memberikan kesimpulan pemeriksaan dan penilaian berupa informasi. Pasal 66 Wewenang Subkomite Mutu Profesi adalah memberikan rekomendasi kepada Direksi berdasarkan hasil audit mutu internal untuk meningkatkan mutu pelayanan. BAB XV SUBKOMITE ETIKA DAN DISIPLIN PROFESI Pengaturan tentang upaya pendisplinan staf medis, melalui peringatan tertulis sampai penangguhan kewenangan klinis staf medis yang dinilai melanggar disiplin profesi. 1. Tata cara pendisplinan staf medis 2. Bentuk hukuman Pasal 67 1. Setiap anggota Staf Medis harus memiliki integritas dan tanggung-jawab terhadap profesinya.



2. Apabila terjadi laporan mengenai pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi, Perjanjian Kerja atau Peraturan Perundang-undangan, maka Subkomite Etika dan Disiplin Profesi berhak mengumpulkan bukti-bukti yang lengkap. 3. Setiap bukti yang diperoleh harus dikonfirmasikan oleh Subkomite Etika dan Disiplin Profesi kepada Staf Medis yang bersangkutan dengan melakukan "Pertemuan BiPartit". 4. Apabila Staf Medis tidak melaksanakan kesepakatan yang dilakukan dalam "Pertemuan Bi-Partit" sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka Subkomite Etika dan DisiplinProfesi dapat mengambil tindakan lebih lanjut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan atau Perjanjian Kerja. BAB XVI PERATURAN TATA KELOLA KLINIS Pasal 68 Pengaturan mengenai aturan-aturan profesi bagi staf medis guna melaksanakan tata kelola klinis. Aturan profesi tersebut antara lain: 1. Pemberian pelayanan medis sesuai dengan: 2. Kewajiban melakukan konsultasi dan/atau merujuk pasien. 3. Kewajiban melakukan pemeriksaan patologi anatomi. BAB XVII KEWENANGAN KLINIS (CLINICAL PREVILEGES) Pasal 69 Pemberian Kewenangan Klinis 1. Anggota Staf Medis mempunyai hak untuk melakukan pelayanan medis kepada pasien, termasuk pemeriksaan, pengobatan dan tindakan medis lainnya yang dipandang perlu. 2. Anggota Staf Medis dalam melakukan pelayanan medis harus sesuai dengan kualifikasi dan kompetensi individu yang dimilikinya. 3. Anggota Staf Medis mendapatkan Kewenangan Klinis sesuai dengan kualifikasi dan kompetensi individu yang dimilikinya. 4. Kewenangan Klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) termuat dalam Surat Penugasan Klinis (SPK) yang diterbitkan oleh Direktur Rumah Sakit. 5. Kewenangan Klinis tersebut ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit atas rekomendasi dari Komite Medis.



6. Anggota Staf Medis dalam menjalankan profesinya harus sesuai dengan kewenangan klinis yang diberikan. 7. Anggota Staf Medis dalam menjalankan profesinya harus bertanggung jawab penuh atas pelayanan medis yang dilakukannya. 8. Anggota Staf Medis akan dinilai secara berkala oleh Direktur Rumah Sakit berdasarkan masukan dari Komite Medis. 9. Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (8) akan menjadi pertimbangan dalam proses pengangkatan kembali Staf Medis di lingkungan Rumah Sakit. Pasal 70 Jenis Kewenangan Klinis 1. Kewenangan Klinis di Rumah Sakit terdiri atas: a. Kewenangan Klinis Sewaktu (Locum Tenens) b. Kewenangan Klinis Darurat; dan c. Kewenangan Klinis Diperluas. 2. Kewenangan Klinis Sewaktu (Locum Tenens) sebagaimana dimaksud pada ayat (9) merupakan Kewenangan Klinis yang diberikan dalam jangka waktu tertentu kepada Dokter Tamu untuk melakukan pelayanan medis terhadap pasien pribadinya di Rumah Sakit atau pasien yang dirujuk oleh Staf Medis lainnya. 3. Kewenangan Klinis Sewaktu diberikan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Permohonan Kewenangan Klinis Sewaktu diajukan oleh Dokter Tamu kepada Direktur Rumah Sakit dan/atau diajukan oleh Direktur Rumah Sakit kepada Dokter Tamu jika diperlukan sebagai Staf Medis pengganti; b. Dokter tersebut harus sudah terdaftar sebagai anggota Staf Medis di lingkungan Rumah Sakit; c. Dokter tersebut memiliki kualifikasi dan kompetensi individu yang sesuai pelayanan medis yang akan diberikan; d. Kewenangan Klinis Sewaktu diberikan selama pasien berada dalam perawatan dan pengobatan di lingkungan Rumah Sakit dan berakhir setelah pasien meninggalkan Rumah Sakit; e. Kewenangan Klinis Sewaktu hanya diberikan kepada Dokter Tamu untuk pelayanan medis pasien pribadinya dan/atau pasien yang dirujuk oleh Staf Medis lainnya. 4. Kewenangan Klinis Darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Kewenangan Klinis yang diberikan pada Dokter Tamu untuk melakukan pelayanan darurat medis pada saat terjadi keadaan darurat.



5. Kewenangan Klinis Darurat diberikan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Kewenangan Klinis Darurat diberikan oleh Direktur kepada dokter yang bersedia memberikan pelayanan darurat medis. b. Dokter tersebut bukan merupakan anggota Staf Medis Rumah Sakit. c. Dokter tersebut memiliki kualifikasi dan kompetensi untuk melakukan tindakan medis yang dibutuhkan. d. Jangka waktu Kewenangan Klinis Darurat hanya berlaku selama masa keadaan darurat. Jika keadaan darurat berakhir, maka pasien atas persetujuannya, diserahkan kepada anggota Staf Medis Rumah Sakit dengan kualifikasi yang sesuai. e. Pelayanan darurat yang dilakukan berada di bawah pengawasan dan penilaian Direktur dan Komite Medis. 6. Kewenangan Klinis Diperluas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Kewenangan Klinis yang diberikan kepada Staf Medis Rumah Sakit, yang disebabkan oleh adanya tambahan pengetahuan dan/atau kemampuan dan/atau ketrampilan yang



diperolehnya



dari institusi pendidikan



resmi serta telah



mendapatkan rekomendasi dari Komite Medis. Pasal 71 Berakhirnya Kewenangan Klinis 1. Kewenangan klinis seorang staf medis di rumah sakit berakhir bila hubungan hukum antara staf medis dengan rumah sakit telah berakhir atau penugasan klinis dokter yang bersangkutan dicabut oleh Direktur Rumah Sakit berdasarkan usulan Komite Medis. 2. Direktur Rumah Sakit mempunyai kewenangan penuh untuk mencabut Kewenangan Klinis dengan atau tanpa rekomendasi dari Komite Medis, apabila pelayanan medis yang dilakukan diperkirakan dapat membahayakan keselamatan jiwa pasien dan/atau berlawanan dan/atau bertentangan dan/atau berbeda dengan standar profesi medis. 3. Dalam hal hubungan hukum antara staf medis dengan rumah sakit berakhir maka Direktur Rumah Sakit memberikan surat pemberitahuan tentang hal itu kepada yang bersangkutan dengan tembusan kepada Komite Medis. 4. Dalam hal seorang Staf Medis dikenai sanksi disiplin maka setelah melalui rapat khusus Komite Medis, Ketua Komite Medis memberikan surat pemberitahuan tentang hal itu kepada Direktur Rumah Sakit dengan tembusan kepada yang bersangkutan.



5. Apabila Kewenangan Klinis dicabut, maka Staf Medis yang bersangkutan harus menyerahkan pasien kepada anggota Staf Medis lainnya yang mempunyai kualifikasi dan kompetensi yang sesuai.



Pasal 72 Pelimpahan Kewenangan Klinik 1. Pelimpahan kewenangan dari tenaga medis kepada tenaga medis yang lain dapat dilakukan dalam keadaan darurat/mendesak (emergensi) serta membutuhkan pertolongan demi penyelamatan jiwa. 2. Pelimpahan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur secara tegas dalam Standar Prosedur Operasional yang dibuat oleh Komite Medis. 3. Pelimpahan kewenangan tersebut harus dilakukan secara tertulis dan dicatat dalam Rekam Medis serta harus diusulkan oleh Komite Medis kepada Direktur Rumah Sakit. 4. Pelimpahan kewenangan klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit. BAB XIII AMANDEMEN/PERUBAHAN Pasal 73 1. Perubahan terhadap Peraturan Internal Rumah Sakit dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan. 2. Perubahan dapat dilakukan, apabila ada permohonan secara tertulis dan salah satu Pihak yang terkait dengan Peraturan Internal Rumah Sakit, yaitu Dewan Pengawas, Direksi dan Komite Medik. 3. Usulan untuk merubah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), hanya dapat ditaksanakan apabila ada pemberitahuan tertulis dari salah satu pihak kepada pihak Iainnya, yang disampaikan paling lambat 3 (tiga) minggu sebelumnya. 4. Perubahan dilakukan dengan melakukan addendum pada Peraturan Internal Rumah Sakit ini. 5. Addendum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), merupakan satu kesatuan yang tidakterpisahkan dari Peraturan Internal Rumah Sakit ini.



BAB PENUTUP Pasal 74 Ketentuan Penutup 1. Peraturan Internal Rumah Sakit dan Peraturan Internal Staf medis ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. 2. Semua peraturan rumah sakit yang dilaksanakan sebelum berlakunya Peraturan Internal Rumah Sakit dan Peraturan Internal staf medis ini dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan Internal rumah sakit/Peraturan Internal Staf medis.



15. Susun kebijakan, pedoman, dan SPO sesuai dengan HBL yang saudara susun PEDOMAN PENYUSUNAN PANDUAN PRAKTIK KLINIS DAN CLINICALPATHWAY DALAM ASUHAN TERINTEGRASISESUAI STANDAR AKREDITASI RUMAH SAKIT 2012 BAB I PENDAHULUAN Indonesia membuat suatu langkah besar dan mendasar dibidang kesehatan. Pada tanggal 1 januari 2014, Jaminan Sosial Nasional dibidang kesehatan atau yang kita kenal dengan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dimulai. Sangat logis apabila langkah besar ini tak mungkin dimulai langsung dengan suatu kesempurnaan, karena itu akan membutuhkan proses yang panjang dan rumit melibatkan semua stake holdersnya. Masyarakat yang menggunakan dan instansi ujung tombak kesehatan harus terus memberikan masukkan tentang kendala dilapangan, Kementerian Kesehatan harus sigap dalam merevisi berkesinambungan sistim didalam proses ini dan Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) memperbaiki terus pelayanannya. Semoga kita bisa berjuang mengatasi masalah masalah dalam pelaksanaan JKN agar profesi kesehatan bisa bermanfaat bagi semua rakyat Indonesia, sesuai petuah sebagai berikut: "Bukan kesulitan yang membuat kita takut, tapi ketakutan yang membuat kita sulit. Karena itu jangan pernah mencoba untuk menyerah & jangan pernah menyerah untuk mencoba. Maka jangan katakan pada Tuhan aku punya masalah, tetapi katakan pada masalah, aku punya Allah yang maha segalanya." (Ali bin Abi Thalib) Agar supaya JKN ini dapat membuahkan manfaat yang optimal bagi masyarakat indonesia, maka haruslah ditingkatkan selalu Kendali Biaya dan Kendali Mutu. Semua pelaksanaan kesehatan harus dibuat standar pelayanan yang baku. Kedua kendali ini haruslah ditingkatkan secara bersamaan, karena Kendali biaya yang baik atau ekonomis bila tidak disertai mutu pelayanan yang baik ataupun sebaliknya mutu pelayanan yang sangat baik tapi sangat mahal tentunya akan merugikan masyarakat dan negara. Beberapa piranti yang dapat digunakan untuk itu adalah PNPK, PPK dan Clinical Pathway untuk kendali mutu dan kendali biaya, untuk kendali biaya dapat digunakan Hospital BasedCosting. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Pasal 44



a. Dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran wajib mengikuti standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi. b. Standar pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibedakan menurut jenis dan strata sarana pelayanan kesehatan c. Standar pelayanan untuk dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 50 Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak : a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional; b. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional; c. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; dan d. Menerima imbalan jasa. Pasal 51 Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban : a. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien; b. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan; c. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia; d. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan e. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi. Standar



pelayanan



kesehatan



itu



dibuat



secara



berjenjang



dan



saling



mempengaruhi. Di Pusat Kementerian Kesehatan akan menentukan PNPK (Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran) yang merupakan hasil pemikiran dari organisasi profesi. PNPK ini diperlukan apabila 1. Jumlah kasusnya banyak (High Volume) 2. Mempunyai risiko yang tinggi (High Risk)



3. Mempunyai kecenderungan penggunaan biaya yang tinggi (High Cost) 4. Memiliki variabilitas luas pelaksanaannya oleh para ahli walau kasusnya sama (Sudigdo Sastroasmoro SpA. konsorsium upaya kesehatan, ditjen BUK, KemKes 2015) Keempat hal tersebut diatas akan menyebabkan variasi pendanaan yang luas dan mahal, oleh karena itu menjadi prioritas untuk dikendalikan. Karakteristik dari PNPK adalah : 1. Sahih (evidence based, berbasiskan bukti penelitian klinis yang sahih) 2. Reprodusable 3. Cost Effective 4. Representatif, dapat digunakan bahkan oleh multisenter 5. Dapat diterapkan dalam praktik 6. Fleksibel 7. Jelas 8. Direvisi secara berkala 9. Dapat digunakan untuk audit medis. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1438/MENKES/PER/ IX/2010 Tentang Standar Pelayanan Kedokteran Prinsip dasar Pasal 3 1. Standar pelayanan Kedokteran meliputi Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) dan SPO. 2. PNPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Standar Pelayanan Kedokteran yang bersifat nasional dan dibuat oleh organisasi profesi serta disahkan oleh Menteri. 3. SPO sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dan ditetapkan oleh pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan. Standar Prosedur Operasional (SPO) Pasal 10 1. Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan wajib memprakarsai penyusunan SPO sesuai dengan jenis dan strata fasilitas pelayanan kesehatan yang dipimpinnya. 2. PNPK harus dijadikan acuan pada penyusunan SPO di fasilitas pelayanan kesehatan. 3. SPO harus dijadikan panduan bagi seluruh tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan dalam melaksanakan pelayanan kesehatan.



4. SPO disusun dalam bentuk Panduan Praktik Klinis (Clinical Practice Guidelines) yang dapat dilengkapi dengan alur klinis (Clinical Pathway), algoritme, protokol, prosedur atau standing order. 5. Panduan Praktik Klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus memuat sekurang-kurangnya mengenai pengertian, anamnesis, pemeriksaan fisik, kriteria diagnosis, diagnosis banding, pemeriksaan penunjang, terapi, edukasi, prognosis dan kepustakaan. Pasal 11 SPO disusun oleh staf medis pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dikoordinasi oleh Komite Medis dan ditetapkan oleh Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan. Pasal 12 SPO harus selalu ditinjau kembali dan diperbaharui sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sekali, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran atau kedokteran gigi. Dari ketentuan diatas maka dapat kita pelajari penyusunan standar pelayanan kesehatan kita, yaitu Pusat menentukan PNPK, didaerah diadopsi menjadi SPO atau PPK dan untuk membantu pelaksanaannya didaerah PPK ini dapat dibantu oleh Clinical Pathway, Standing orders, Algoritma, protokol ataupun prosedur. (PMK 1438 tahun 2010 ). Saat ini untuk membantu Rumah Sakit mengembangkan sistim kendali pelayanan mereka, maka banyak pakar membuat pelatihan penyusunan Panduan Praktik Klinis (PPK) ataupun Clinical Pathway. Tidak adanya suatu ketentuan yang baku, menyebabkan pelatihan pelatihan tersebut berbeda-beda, sehingga semakin membingungkan bagi para penggunanya. Untuk itu dibuatlah tim dari PERSI untuk menyusun suatu panduan yang komprehensif dan baku, agar memudahkan penggunaannya oleh pihak Rumah Sakit sebagai pelaku pelayanan. Program ini dikerjakan oleh PERSI perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia dengan pendanaan dari Badan Kesehatan Dunia WHO, serta melibatkan banyak pakar masing masing profesi yang terlibat yaitu IKABI, PAPDI, IDAI, PERDOSSI dibantu PPNI, IAI, PERSAGI Yang sangat dipentingkan pada penyusunan ini adalah pengintegrasian para Pemberi Pelayanan Asuhan (PPA) karena sistim pemberian asuhan terpusat pada pasien (PatientCentered Care) adalah pelayanan terintegrasi berorientasi pada kepentingan pasien dan tidakdidominasi oleh satu profesi tertentu, seperti dulu dokter



merupakan pelaksana asuhan tunggal. Mengapa harus demikian, karena profesi saat ini telah berkembang sangat pesat sehingga tak mungkin lagi dikuasai secara penuh ilmunya oleh para dokter. Tentunya hal ini akan berdampak sangat positif terhadap mutu pelayanan kesehatan. Beberapa Clinical Pathway masih dibuat dengan pola lama, jadi hanya medis (dokter) yang membuat dan mengatur atau terkadang profesi perawat dilibatkan secara terbatas. Hasil kerja keras ini diserahkan kepada Kementrian Kesehatan sebagai regulator agar dapat disebar luaskan penggunaannya. Beberapa hal yang harus mendapat perhatian khusus: 1. Beberapa contoh panduan penyusunan Panduan Praktik Klinis (PPK) dan ClinicalPathway dibuat, untuk rumah sakit kelas B dan C, dengan pemikiran kemungkinan tenaga sumber dayanya terbatas dan sangat disibukkan oleh pelayanan. Contoh tersebut dapat diadopsi secara utuh apabila kondisinya sesuai. Harus dilakukan penyesuaian oleh tim Mutu Komite-komite di Rumah Sakit (Komite Medik, Komite Keperawatan dan Komite Profesi lainnya) agar dapat diterapkan pelaksanaannya di Rumah Sakit tersebut. 2. Harus selalu dibuatkan Disclaimer (wewanti/ketidak patuhan pada prosedur) apabila oleh karena suatu sebab/kondisi tertentu prosedur tidak dipatuhi. Disclaimer dibuat oleh DPJP dan ditulis pada Rekam Medis. Kewajiban



penulisan



disclaimer



ini



sangat



penting,



karena



akan



dapat



menghindarkan DPJP dari tuntutan hukum dikemudian hari dan dapat menjadi bahan evaluasi efektifitas Clinical Pathway yang telat dibuat (revisi) PMK 1438/2010 Kepatuhan Kepada Standar dan Penyangkalan Pasal 13 1. Dokter dan dokter gigi serta tenaga kesehatan lainnya di fasilitas pelayanan kesehatan harus mematuhi PNPK dan SPO sesuai dengan keputusan klinis yang diambilnya, 2. Kepatuhan kepada PNPK dan SPO menjamin pemberian pelayanan kesehatan dengan upaya terbaik di fasilitas pelayanan kesehatan, tetapi tidak menjamin keberhasilan upaya atau kesembuhan pasien; 3. Modifikasi terhadap PNPK dan SPO hanya dapat dilakukan atas dasar keadaan yang memaksa untuk kepentingan pasien, antara lain keadaan khusus pasien, kedaruratan, dan keterbatasan sumber daya.



4. Modifikasi PNPK dan SPO sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dicatat di dalam rekam medis. a. Formulir Clinical Pathway diisi oleh Case Manajer dan bukan oleh DPJP. Formulir Clinical Pathway bukan merupakan bagian dari Rekam Medis akan tetapi merupakanpiranti pengendalian mutu oleh tim mutu para Komite Medik, Keperawatan dan Profesi Kesehatan lainnya di Rumah Sakit. b. Case Manajer ini dapat dijabat oleh dokter umum atau perawat senior yang bertugas memantau proses kepatuhan pada setiap kasus diruangan dan akan berkonsultasi dengan semua PPA apabila ditemukan masalah dalam penanganan kasus. Case Manajer memantau dengan mengisi cek list dalam Clinical Pathway dari awal sampai pasien pulang. Formulir Clinical Pathway yang sudah diisi dan selesai dikumpulkan di Komite Medik untuk ditelaah secara berkala. c. Semua PPK dan Clinical Pathway yang telah dibuat dan disahkan Rumah Sakit harus ada di masing masing unit pelayanan Rumah Sakit (untuk menjadi acuan). d. Clinical Pathway bukanlah piranti untuk kendali biaya walaupun bisa digunakansecara terbatas untuk menghitung biaya (unit cost), untuk kendali biaya digunakan Hospital Based Costing yang akan dibuat panduan penyusunannya secara terpisah. e. Semua instruksi dokter yang pelaksanaannya tidak dilakukan oleh dokter akan tetapi oleh perawat, dapat bersifat delegatif ataupun mandat. Keduanya harus ada aturan tertulis tindakan apa saja yang bersifat mandat (tanggung jawab ada pada pelaksananya yaitu perawat), siapa yang memiliki kompetensi untuk melakukannya dan bagaimana prosedur pelaksanaannya. Contoh dari tindakan medis mandat yang dilakukan perawat adalah misalnya memberikan obat, memasang infus line dll. Apabila pelaksanaan tugas yang bersifat delegatif, dimana tanggung jawab tetap ada pada pemberi perintah (DPJP) maka harus dibuatkan standing orders. Hal ini sangat penting agar terhindar dari tuntutan apabila terjadi kasus yang tak diharapkan. UU No 38 tahun 2014 Tentang Keperawatan Pasal 28 Praktik Keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: 1. Praktik Keperawatan mandiri; dan 2. Praktik Keperawatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.



Pasal 32 1. Pelaksanaan tugas berdasarkan pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf e hanya dapat diberikan secara tertulis oleh tenaga medis kepada Perawat untuk melakukan sesuatu tindakan medis dan melakukan evaluasi pelaksanaannya. 2. Pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara delegatif atau mandat. 3. Pelimpahan wewenang secara delegatif untuk melakukan sesuatu tindakan medis diberikan oleh tenaga medis kepada Perawat dengan disertai pelimpahan tanggung jawab. 4. Pelimpahan wewenang secara delegatif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dapat diberikan kepada Perawat profesi atau Perawat vokasi terlatih yang memiliki kompetensi yang diperlukan. 5. Pelimpahan wewenang secara mandat diberikan oleh tenaga medis kepada Perawat untuk melakukan sesuatu tindakan medis di bawah pengawasan. 6. Tanggung jawab atas tindakan medis pada pelimpahan wewenang mandat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berada pada pemberi pelimpahan wewenang. 7. Dalam melaksanakan tugas berdasarkan pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perawat berwenang: a. Melakukan tindakan medis yang sesuai dengan kompetensinya atas pelimpahan wewenang delegatif tenaga medis; b. Melakukan tindakan medis di bawah pengawasan atas pelimpahan wewenang mandat; dan c. Memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan program Pemerintah. d. Sehubungan dengan pelimpahan kewenangan ini, syarat kompetensi harus ditentukan



didalam



Surat



Penugasan



Klinis



(SPK)



dengan



Rincian



Kewenangan Klinis (RKK) yang dibuat oleh Sub Komite Kredential komite keperawatan (PMK 49/2013) dan disahkan oleh direktur. Artinya tidak semua perawat dapat diberikan kewenangan delegatif dari dokter akan tetapi hanya perawat yang kompeten dan sudah disahkan dan tercantum kompetensinya didalam Rincian Kewenangan Klinis (RKK)



e. Kepatuhan adalah



dan



pelaksanaan



semua



prosedur



pelayanan



medis



ini



untukmenjamin keselamatan pasien dan untuk menghindarkan



tuntutan hukum bagi pelaksanaannya.



BAB II DASAR HUKUM 



Undang-Undang RI No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran







Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan







Undang-Undang RI No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit







Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan







Undang-Undang RI No. 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan







Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.







Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1438/MENKES/PER/IX/2010 Tentang Standar Pelayanan Kedokteran







Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 755/MENKES/PER/IV/2011 Tentang Penyelenggaraan Komite Medis







Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 012 Tahun 2012 Tentang Akreditasi







Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 17 Tahun 2013 Tentang Ijin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat







Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 26 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan dan Praktik Tenaga Gizi







Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 49 Tahun 2013 Tentang Komite Keperawatan



Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 78 Tahun 2013 Tentang Pedoman







Pelayanan Gizi Rumah Sakit Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 58 Tahun 2014 Tentang Standar







Pelayanan Farmasi Rumah Sakit



BAB III PANDUAN PRAKTIK KLINIS, PANDUAN ASUHAN KEPERAWATAN, PANDUAN ASUHAN GIZI DAN PANDUAN ASUHAN KEFARMASIAN 1.



Pengertian Umum Pada paradigma lama praktik klinik masih didominasi oleh praktik kedokteran, namun



dengan



adanya



patient



center



care



dan



juga



integrated



kolaborasi



interprofesional maka praktik klinis juga diintegrasikan dengan praktik/asuhan keperawatan, asuhan gizi dan asuhan farmasi. Menjadi Panduan Praktik Klinis, Panduan Asuhan Keperawatan (PAK), Panduan Asuhan Gizi (PAG) dan Panduan Asuhan Kefarmasian (PAKf). Panduan Praktik Klinis adalah istilah teknis sebagai pengganti Standar Prosedur Operasional (SPO) dalam Undang-undang Praktik Kedokteran 2004 dan UndangUndang Keperawatan yang merupakan istilah administratif. Penggantian ini perlu untuk menghindarkan kesalahpahaman yang mungkin terjadi, bahwa “standar” merupakan hal yang harus dilakukan pada semua keadaan. Jadi secara teknis Standar Prosedur Operasional (SPO) dibuat berupa Panduan Praktik Klinis (PPK) yang dapat berupa atau disertai dengan salah satu atau lebih: alur klinis (Clinical Pathway), protokol, prosedur, algoritme, standing order. Bila tersedia Panduan Nasional Praktik Kedokteran (PNPK), Panduan Praktik Klinis (PPK) dibuat dengan rujukan utama Panduan Nasional Praktik Kedokteran (PNPK), Karena Panduan Nasional Praktik Kedokteran (PNPK) hanya dibuat untuk sebagian kecil penyakit, maka sebagian besar Panduan Praktik Klinis (PPK) dibuat dengan rujukan lain Panduan Praktik Klinis (PPK) dapat sama/berbeda di RS yang beda: -



Panduan Praktik Klinis (PPK) untuk DBD tanpa syok, mungkin bersifat sama, di rumah sakit tipe, A, B, C, D.



-



Di RS tipe A, Panduan Praktik Klinis (PPK) untuk PJB dari Dx sampai bedah, di RS tipe A yang lain hanya Dx lalu rujuk



-



Di RS tipe B clinical pathway untuk stroke melibatkan bedah saraf, di RS B yang lain tidakJadi Panduan Praktik Klinis (PPK) bersifat hospital specific.



2.



Tujuan a. Meningatkan mutu pelayanan pada keadaan klinis dan lingkungan tertentu bekerja sama dengan tim multidisiplin b. Mengurangi jumlah intervensi yang tidak perlu atau berbahaya c. Memberikan



opsi



pengobatan



dan



perawatan



terbaik



dengan



keuntungan maksimal d. Menghindari terjadinya medication eror secara dini e. Memberikan opsi pengobatan dengan risiko terkecil f. 3.



Memberikan tata laksana asuhan dengan biaya yang memadai



Penyusunan Panduan Praktik Klinis, Panduan asuhan Keperawatan, Panduan Asuhan Gizi, Panduan Asuhan Kefarmasian seharusnya dibuat untuk semua jenis penyakit/kondisi klinis



yang



ditemukan



dalam



fasilitas



pelayanan



kesehatan.



Namun



dalam



pelaksanaannya dapat dibuat secara bertahap, dengan mengedepankan misalnya 10 penyakit tersering yang ada di tiap bagian. Bila tersedia Panduan Nasional Praktik Kedokteran (PNPK), maka Panduan Praktik Klinis (PPK), Panduan Asuhan Keperawatan (PAK), Panduan Asuhan Kefarmasian (PAKf), Panduan Asuhan Gizi (PAG) dibuat dengan rujukan utama Panduan Nasional Praktik Kedokteran (PNPK). Namun karena Panduan Nasional Praktik Kedokteran (PNPK) hanya dibuat untuk sebagian kecil penyakit/kondisi klinis, maka sebagian besar Panduan Praktik Klinis (PPK), Panduan Asuhan Keperawatan (PAK), Panduan Asuhan Gizi (PAG), dan Panduan Asuhan Kefarmasian (PAKf) dengan segala turunannya dibuat dengan memperhatikan fasilitas setempat dan merujuk pada: a. Pustaka mutakhir berupa artikel asli b. Systematic review atau meta-analisis c. PNPK dari negara lain d. Nursing Care Plan Guide e. International Dietetic & Nutrition Terminology f.



Penuntun Diet AnakPenuntun Diet Edisi Baru Dewasa



g. Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit h. Pedoman Proses Asuhan Gizi Terstandar (PAGT) i.



Pedoman Pelayanan Farmasi Klinik



j.



Buku ajar



k. Panduan dari organisasi profesi l.



Petunjuk pelaksanaan program dari Kemenkes



m. Kesepakatan para staf medis



Di rumah sakit umum Panduan Praktik Klinis (PPK), Panduan Asuhan Keperawatan (PAK), Panduan Asuhan Gizi (PAG), dan Panduan Asuhan Kefarmasian (PAKf) dibuat untuk penyakit-penyakit terbanyak untuk setiap departemen, sedangkan untuk rumah sakit tipe A dan tipe B yang memiliki pelayanan subdisiplin harus dibuat Panduan Praktik Klinis (PPK), Panduan Asuhan Keperawatan (PAK), Panduan Asuhan Gizi (PAG), dan Panduan Asuhan Kefarmasian (PAKf) untuk penyakit-penyakit terbanyak sesuai dengan divisi/subdisiplin masing-masing. Pembuatan Panduan Praktik klinis (PPK) dikoordinasi oleh Komite Medis, Pembuatan Panduan Asuhan Keperawatan (PAK) dikoordinasi oleh Komite Keperawatan dan pembuatan Panduan Asuhan Gizi (PAG) dan Panduan Asuhan Kefarmasian (PAKf) dikoordinasi oleh Komite Tenaga Kesehatan setempat dan berlaku setelah disahkan oleh Direksi. 4.



Isi I. Format Panduan Praktik Klinis (PPK): 



Pengertian







Anamnesis







Pemeriksaan Fisik







Prosedur Diagnostik







Diagnosis Kerja







Diagnosis Banding







Pemeriksaan Penunjang







Tata Laksana







Edukasi (Hospital Health Promotion)







Prognosis







Tingkat Evidens*







Tingkat Rekomendasi*







Penelaah Kritis*







Indikator







Kepustakaan



Catatan : Bila memungkinkan dan sesuai kemampuan rumah sakit dan diputuskan oleh Direktur RS atas rekomendasi Komite Medis dan atau Komisi HTA



Level of Evidence dan Peringkat Rekomendasi LEVEL



LITERATUR



I a.



Meta-analisis Randomized Clinical Controlled Trial



I b.



Minimal satu Randomized Clinical Controlled Trial



II a.



Minimal satu non Randomized Clinical Controlled Trial



II b.



Studi kohort dan atau kasus control



III a.



Studi Cross – Sectional



III b.



Seri Kasus dan laporan kasus



IV



Konsensus dan pendapat ahli



REKOMENDASI



A



B



C



Scottish Intercollegiate Guidelines Network; US Agency for Health Care Policy and Research II.



Format Panduan Asuhan Keperawatan (PAK) : o Pengertian



-



Asesmen Keperawatan



-



Diagnosis Keperawatan



-



Kriteria Evaluasi/Nursing Outcome



-



Intervensi



-



Informasi & Edukasi/Discharge Planning



-



Evaluasi



-



Evidence based nursing practice*



-



Penelaah Kritis



-



Kepustakaan



III. Format Panduan Asuhan Gizi (PAG) : a. Pengertian b. Asesmen -



Asesmen Antropometri



-



Asesmen Biokimia



-



Asesmen Klinis



-



Asesmen Riwayat Makan



-



Asesmen Riwayat Personal



c. Diagnosis d. Intervensi e. Perencanaan f.



Implementasi



g. Edukasi h. Konseling Gizi i.



Koordinasi dengan Tenaga Kesehatan lain



j.



Monitoring dan Evaluasi



k. Re Asesmen* l.



Indikator/Outcome



m. Kepustakaan Catatan :Tergantung hasil monitoring dan evaluasi IV. Panduan Asuhan Kefarmasian (PAKf) 1. Pengertian 2. Asesmen Kefarmasian : Problem medik dikaitkan dengan farmakoterapi 3. Identifikasi Drug Related Problem : a. Ada indikasi tidak ada terapi obat



b. Tidak ada indikasi ada terapi obat c. Pemilihan obat tidak tepat d. Dosis obat subterapeutik e. Overdosis f.



Kegagalan terapi obat



g. Interaksi obat h. Efek samping obat 4. Intervensi Farmasi: a. Rekomendasi pemilihan obat b. Rekomendasi cara pemberian obat c. Rekomendasi dosis obat d. Pemantauan terapi obat e. Monitoring efek samping obat f.



Rekomendasi alternatif terapi jika ada interaksi obat



5. Monitoring & Evaluasi: a. Efek terapi obat b. Adverse DrugRection ( ADR) 6. Edukasi & Informasi: a. Kepatuhan minum obat b. Efek samping obat c. Cara menggunakan obat yang benar d. Cara menyimpan obat yang benar 7. Penelaah Kritis : Apoteker Klinis a. Indikator b. Kepustakaan V.



Perangkat Dalam Panduan Praktik Klinis (PPK), Panduan Asuhan Keperawatan (PAK),



Panduan Asuhan Gizi (PAG), dan Panduan Asuhan Kefarmasian (PAKf) mungkin terdapat hal-hal yang memerlukan rincian langkah demi langkah. Untuk ini, sesuai dengan karakteristik permasalahan serta kebutuhan, dapat dibuat



Clinical Pathway(Alur



Klinis),algoritme, protokol, prosedur, maupun standing order. Contoh: a.



Dalam Panduan Praktik Klinis (PPK) disebutkan bahwa tata laksana stroke nonhemoragik harus dilakukan secara multidisiplin dan dengan pemeriksaan serta intervensi dari hari ke hari dengan urutan tertentu. Karakteristik penyakit stroke



non-hemoragik sesuai untuk dibuat alur klinis (Clinical Pathway); sehingga perlu dibuat Clinical Pathway untuk stroke non-hemoragik. b.



Dalam Panduan Praktik Klinis (PPK) disebutkan bahwa pada pasien gagal ginjal kronik perlu dilakukan hemodialisis. Uraian rinci tentang hemodialisis dimuat dalam protokol hemodialisis pada dokumen terpisah.



c.



Dalam Panduan Praktik Klinis (PPK) disebutkan bahwa pada anak dengan kejang demam kompleks perlu dilakukan punksi lumbal. Uraian pelaksanaan pungsi lumbal tidak dimuat dalam Panduan Praktik Klinis (PPK) melainkan dalam prosedur pungsi lumbal dalam dokumen terpisah.



d.



Dalam tata laksana kejang demam diperlukan pemberian diazepam rectal dengan dosis tertentu yang harus diberikan oleh perawat dalam bentuk kolaborasi dengan dokter, ini diatur dalam Undang-Undang Keperawatan dan “standing order”.



VI.



Penerapan Panduan Praktik Klinis (termasuk ”turunan-turunannya”: Clinical Pathway, algoritme, protokol, prosedur, standing orders) merupakan panduan yang harus diterapkan sesuai dengan keadaan pasien. Oleh karenanya dikatakan bahwa semua PanduanPraktik Klinis (PPK) bersifat rekomendasi atau advis. Apa yang tertulis dalamPanduan Praktik Klinis (PPK) tidak harus diterapkan pada semua pasien tanpa kecuali. Berikut alasan mengapa Panduan Praktik Klinis (PPK) harus diterapkan dengan memperhatikan kondisi pasien secara individual.



1. Panduan Praktik Klinis (PPK) dibuat untuk ’average patients’. Pasien dengan demam tifoid ada yang masih dapat bekerja seperti biasa, di sisi lain ada yang hampir meninggal. Panduan Praktik Klinis (PPK) dibuat bukan untuk kedua ekstrem tersebut, melainkan untuk pasien rata-rata demam tifoid: demam 5 hari atau lebih, lidah kotor, tidak mau makan minum, mengigau, dan seterusnya. 2. Panduan Praktik Klinis (PPK) dibuat untuk penyakit atau kondisi Kesehatan tunggal. Kembali pada pasien demam tifoid. Pada Panduan Praktik Klinis (PPK)demam tifoid seolah-olah pasien tersebut hanya menderita demam tifoid, dia tidak menderita hipertensi, tidak ada asma, tidak obes atau malnutrisi, tidak alergi kloramfenikol, dan seterusnya. Padahal dalam praktik seorang pasien datang dengan keluhan utama yang sesuai dengan demam tifoid, namun mungkin ia juga menderita diabetes, alergi kloramfenikol, hipertensi dan sebagainya. Contoh lain, seorang yang menderita kardiomiopati obstruktif menurut Panduan Praktik Klinis (PPK) harus diberikan propranolol; namun bila ternyata ia menderita asma berat, maka propranolol tidak boleh diberikan. Demikian pula pasien gonore yang harusnya



diberikan penisilin namun tidak boleh diberikan karena ia alergi penisilin. Atau seorang anak yang menderita diare berdarah; menurut Panduan Praktik Klinis (PPK) misalnya harus diberikan ko-trimoksazol sebagai obat awal; namun bila ia menderita penyakit jantung bawaan biru dan memperoleh warfarin maka ko-trimoksasol tidak dapat diberikan. 3. Respons



pasien terhadap



prosedur



diagnostik



dan terapeutik sangat



bervariasi.Ada pasien yang disuntik penisilin jutaan unit tidak apa -apa, namun ada pasien lain yang baru disuntik beberapa unit sudah kolaps atau manifestasi anafilaksis lain. Hal yang sama juga terjadi pada prosedur diagnostik, misal penggunaan zat kontras untuk pemeriksaan pencitraan. 4. Panduan Praktik Klinis (PPK) dianggap valid pada saat dicetak. Kemajuan teknologi kesehatan berlangsung amat cepat. Bila suatu obat yang semula dianggap efektif dan aman, namun setahun kemudian terbukti memiliki efek samping yangjarang namun fatal, misalnya disritmia berat, maka obat tersebut tidak boleh diberikan. Di lain sisi, bila ada obat lain yang lebih efektif, tersedia, dapat dijangkau, lebih aman, lebih sedikit efek sampingnya, maka obat tersebut harus diberikan sebagai pengganti obat yang ada dalam Panduan Praktik Klinis (PPK) 5. Panduan Praktik Klinis (PPK), Panduan Asuhan Keperawatan (PAK), Panduan Asuhan Gizi (PAG), dan Panduan Asuhan Kefarmasian (PAKf) modern mengharuskan kita mengakomodasi apa yang dikehendaki oleh keluarga dan pasien. Sesuai dengan paradigma evidence-based practice, yakni dalam tata laksanapasien diperlukan kompetensi dokter, perawat, nutrisionis/dietisien, Apoteker dan tenaga kesehatan lainnya, bukti ilmiah mutakhir, serta preferensi pasien (dan keluarga), maka clinical decision making process harus menyertakan persetujuan pasien. Bila menurut ilmu kedokteran ada obat atau prosedur yang sebaiknya diberikan, namun pasien atau keluarganya tidak setuju, maka dokter harus mematuhi kehendak pasien, tentunya setelah pasien diberikan penjelasan yang lengkap. Demikian juga jika ada asuhan keperawatan yang akan diberikan namun pasien dan keluarga tidak setuju maka hak pasien dan keluarga akan dikedepankan setelah perawat memberikan edukasi pada pasien dan keluarga.. Asuhan Gizi diberikan setelah diketahui pasien nilai skrining gizi nya menunjukan berisiko malnutrisi dan atau kondisi khusus (pasien dengan penyakit Diabetes, penyakit ginjal, kanker, penurunan imunitas, penyakit kronik lain nya, serta mempunyai masalah gizi dan memerlukan diet tertentu). Proses Asuhan Gizi harus dilaksanakan secara beruntun dari langkah asesmen, diagnosis, intervensi, dan monitoring evaluasi gizi, biasa disingkat menjadi ADIME. Langkah-langkah tersebut saling berkaitan satu dengan lain nya dan merupakan siklus yang berulang terus sampai tujuan tercapai. Apabila



tujuan sudah tercapai akan tetapi timbul masalah baru, maka proses berulang kembali mulai asesmen gizi sampaimonev kembali sampai tujuan tercapai. Orang yang paling berwenang menilai secara komprehensif keadaan pasien adalah Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP) yang bertugas merawat dengan berkolaborasi dengan perawat, nutrisionis/dietisien dan Apoteker. Tim dipimpin oleh leader yang akhirnya menentukan untuk memberikan atau tidak memberikan obat atauasuhan sesuai dengan yang tertulis dalam Panduan Praktik Klinis (PPK). Dalam haltertentu tidak melaksanakan apa yang ada dalam Panduan Praktik Klinis (PPK), Panduan Asuhan Keperawatan (PAK), Panduan Asuhan Gizi (PAG), Panduan Asuhan Kefarmasian (PAKf) maka dokter/perawat/nutrisionist dan Apoteker harus menuliskan alasannya dengan jelas dalam rekam medis, dan ia harus siap untuk mempertanggungjawabkannya.



Bila



ini



tidak



dilakukan



maka



dokter,



perawat,nutrisionis/dietisien dan Apoteker dianggap lalai melakukan kewajibannya kepada pasien. VII.



Revisi Panduan Praktik Klinis (PPK) merupakan panduan terkini untuk tata laksana pasien,



karenanya harus selalu mengikuti kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran, keperawatan, gizi, dan tenaga kesehatan lainnya. Untuk itu Panduan Praktik Klinis (PPK) secara periodik perlu dilakukan revisi, biasanya setiap 2 tahun. Idealnya meskipun tidak ada perbaikan, peninjauan tetap dilakukan setiap 2 tahun. Masukan untuk revisi diperoleh dari Panduan Nasional Praktik Kedokteran (PNPK), Panduan Asuhan Kefarmasian (PAKf) yang baru (bila ada), pustaka mutakhir, serta pemantauan rutin apakah Panduan Praktik Klinis (PPK) selama ini dapat dan sudah dikerjakan dengan baik. Proses formal audit klinis dapat merupakan sumber yang berharga untuk revisi Panduan Praktik Klinis (PPK), Panduan Asuhan Keperawatan (PAK), Panduan Asuhan Gizi (PAG), dan Panduan Asuhan Kefarmasian (PAKf) namun bila audit klinis belum dilaksanakan, pemantauan rutin merupakan sumber yang penting pula. Untuk menghemat anggaran, di rumah-rumah sakit yang sudah mempunyai ‘intranet’, Panduan Praktik Klinis (PPK), Panduan Asuhan Keperawatan (PAK), Panduan Asuhan Gizi (PAG), dan Panduan Asuhan Kefarmasian (PAKf) dan panduan lain dapat diupload yang dapat diakses setiap saat oleh para dokter dan profesional lainnya, dan bila perlu dicetak.



BAB IV PENUNJANG PANDUAN PRAKTIK KLINIS 1.



Alur klinis (Clinical Pathway) Clinical Pathway (alur klinis) memiliki banyak sinonim, di antaranya care pathway,



care map, integrated care pathways, multidisciplinary pathways of care, pathways of care, collaborative care pathways. Clinical Pathway dibuat untuk memberikan rincian apa yangharus dilakukan pada kondisi klinis tertentu. Clinical Pathway memberikan rencana tata laksana hari demi hari dengan standar pelayanan yang dianggap sesuai. Pelayanan dalam Clinical Pathway bersifat multidisiplin sehingga semua pihak yang terlibat dalam pelayanandokter/dokter gigi, perawat, fisioterapis, nutrisionis/dietisien, Apoteker, dll dapat menggunakan format yang sama. Kelebihan format ini adalah perkembangan pasien dapat dimonitor setiap hari, baik intervensi maupun outcome-nya. Oleh karena itu maka ClinicalPathway paling layak dibuat untuk penyakit atau kondisi klinis yang memerlukan pendekatanmultidisiplin, dan perjalanan klinisnya dapat diprediksi (pada setidaknya 70% kasus). Bila dalam perjalanan klinis ditemukan hal-hal yang menyimpang, ini harus dicatat sebagai varian yang harus dinilai lebih lanjut. Perjalanan klinis dan outcome penyakit yang dibuat dalam Clinical Pathway dapat tidak sesuai dengan harapan karena: 1. memang sifat penyakit pada individu tertentu, 2. terapi tidak diberikan sesuai dengan ketentuan, 3. pasien tidak mentoleransi obat, atau 4. terdapat ko-morbiditas. Apapun yang terjadi harus dilakukan evaluasi dan dokter memberikan intervensi sesuai dengan keadaan pasien. Pada umumnya di rumah sakit umum hanya 30% pasien dirawat dengan ClinicalPathway. Selebihnya pasien dirawat dengan prosedur biasa (usual care). Clinical Pathwayhanya efektif dan efisien apabila dilaksanakan untuk penyakit atau kondisi kesehatan yang perjalanannya predictable, khususnya bila memerlukan perawatan multidisiplin. Beberapa pertanyaan yang dapat muncul: -



Apakah Clinical Pathway perlu dibuat untuk semua penyakit?



Jawabnya telah dijelaskan di atas, tidak. Clinical Pathway hanya untuk penyakit yang perjalanan klinisnya predictable dan memerlukan penanganan multidisiplin. Apakah Clinical Pathway dibuat untuk perincian biaya perawatan?



-



Tidak. Panduan Praktik Klinis (PPK) dan semua perangkatnya, termasuk ClinicalPathway, harus patient oriented, bukan DGR (diagnosis-related group)-oriented, length of stay oriented, atau BPJSoriented.Bahwa setelah Clinical Pathway dibuat digunakanuntuk keperluan penghitungan pembiayaan tentu hal tersebut sah-sah saja. Dapatkah penyakit lain dibuat Clinical Pathway sesuai dengan kondisi



lokal?



Ide pembuatan Clinical Pathway adalah membuat standarisasi pemeriksaan dan tata laksana pasien yang memililiki pola tertentu. Bila perjalanan klinis suatu penyakit sangat bervariasi, misalnya diare atau sepsis, tentu sulit untuk membuat ‘standar’ pemeriksaan dan tindakan yang diperlukan hari demi hari. Clinical Pathway juga tidak efektif bila terdapat ko-morbiditas. Namun demikian tidak tertutup kemungkinan untuk membuat Clinical Pathway bagi penyakit apa pun, dengan catatan: a. ditetapkan kriteria inklusi dan eksklusi yang jelas, b. bila pasien sudah dirawat dengan Clinical Pathway namun ternyata mengalami komplikasi atau terdapat ko-morbiditas, maka pasien tersebut harus dikeluarkan dari Clinical Pathway dan dirawat dengan perawatan biasa. Keputusan untuk membuat Clinical Pathway pada kasus-kasus seperti ini dilakukan atas kesepakatan staf medis dengan mempertimbangkan efektivitas, sumber daya, dan waktu yang diperlukan. Format Clinical Pathway Clinical Pathway adalah dokumen tertulis. Terdapat pelbagai jenis format Clinical Pathway yang tergantung pada jenis penyakit atau masalah serta kesepakatan para profesional.Namun pada umumnya format Clinical Pathway berupa tabel yang kolomnya merupakan



waktu



(hari,



jam),



sedangkan



barisnya



merupakan



observasi/



pemeriksaan/tindakan/intervensi yang diperlukan. Format Clinical Pathway dapat amat rumit dan rinci (misalnya pemberian obat setiap 6 jam dengan dosis tertentu; bila ini melibatkan banyak obat maka menjadi amat rumit). Sebagian apa yang harus diisi dapat merupakan check-list, namun tetap harus diberikan ruang untuk menuliskan hal-hal yang perlu dicatat. Ruang yang tersedia untuk mencatat hal-hal yang diperlukan juga dapat amat terbatas, lebih-lebih format yang sama diisi oleh semua profesi yang terlibat dalam perawatan, karena



sifat multidisiplin Clinical Pathway. Profesi yang terlibat berkontribusi memberikan asuhan yaitu asuhan medik, asuhan keperawatan, asuhan gizi serta asuhan kefarmasian. Isi format Clinical Pathway, sebagai berikut: 1. Judul Clinical Pathway 2. Identitas Pasien a. Nama Pasien b. Jenis Kelamin c. Tanggal Lahir d. No. Rekam Medik e. Diagnosa Masuk, Tanggal Masuk & Jam Masuk Rumah Sakit f.



Penyakit Utama



g. Penyakit Penyerta h. Komplikasi i.



Tindakan



j.



Berat Badan



k. Tinggi Badan l.



Tanggal & Jam Keluar Rumah Sakit



m. Lama Rawat n. Rencana Rawat o. Ruang Rawat/Kelas p. Rujukan 3. Isi Clinical Pathway A. Baris 1. Asesmen awal i. Asesmen Awal Medis ii. Asesmen Awal Keperawatan 2. Laboratorium 3. Radiologi/imaging 4. Konsultasi 5. Asesmen Lanjutan i. Asesmen Medis ii. Asesmen Keperawatan iii. Asesmen Gizi iv. Asesmen Farmasi 6. Diagnosis i. Diagnosis Medis



ii. Diagnosis Keperawatan iii. Diagnosis Gizi 7. Discharge Planning 8. Edukasi Terintegrasi i. Edukasi/Informasi Medis ii. Edukasi Gizi iii. Edukasi Keperawatan iv. Edukasi Farmasi Pengisian Formulir Informasi dan Edukasi Terintegrasi 9. Terapi/Medikamentosa i. Injeksi ii. Cairan Infus iii. Obat Oral iv. Obat anestesi. 10. Tata Laksana/Intervensi a. Tata Laksana/Intervensi Medis b. Tata Laksana/Intervensi Keperawatan c. Tata Laksana/Intervensi Gizi d. Tata Laksana/Intervensi Farmasi 11. Monitoring dan Evaluasi a. Dokter DPJP b. Keperawatan c. Gizi d. Farmasi 12. Mobilisasi/Rehabilitasi a. Medis b. Keperawatan c. Fisioterapi 13. Outcome/Hasil a. Medis b. Keperawatan c. Gizi d. Farmasi 14. Kriteria Pulang 15. Rencana Pulang/Edukasi Pelayanan Lanjutan Variant. B. Kolom







Kegiatan







Uraian Kegiatan







Hari Penyakit dan Hari Rawat (Hari/Jam)







Keterangan



IV. Penanggung Jawab -



Dokter Penanggung Jawab Pelayanan



-



Perawat Penanggung Jawab



-



Pelaksana Verivikasi



V. Keterangan: -



Arsir kotak : Wajib dilaksanakan,



-



Arsir lurus : Boleh dilakukan/Boleh tidak dilakukan



-



(√) Checklist



1. Cara pengisian Clinical Pathway : 2. Rumah Sakit membuat Clinical Pathway sesuai dengan kebutuhan dan kondisi setempat 3. Clinical Pathway berlaku pada saat ditegakkan diagnosa 4. Catatan yang ada didalam Rekam Medis dimasukkan pada formulir Clinical Pathway dengan cara di checklist (√) 5. Catatan yang didalam Rekam Medis tetapi tidak terdapat didalam format formulir ClinicalPathway dicatat didalam varian 6. Yang mengisi Clinical Pathway adalah Pelaksana Verivikasi 7. Pelaksana Verivikasi adalah petugas yang diangkat bisa Case Manager atau Kepala Ruangan 8. Apabila pasien pulang Clinical Pathway diberikan kepada Komite Medis/Komite Mutu Rumah Sakit 9. Format dalam Clinical Pathway pada kolom kegiatan : a. Judul Clinical Pathway Sudah Baku b. Identitas Pasien Sudah Baku c. Isi Clinical Pathway i. Kegiatan Sudah Baku ii. Uraian Kegiatan: disesuaikan dengan PPK, PAK, PAG, PAKf serta tipe dan kondisi Rumah Sakit iii. Hari penyakit dan Hari rawat sesuai dengan PPK 10. Keterangan menguraikan Uraian kegiatan bila diperlukan. 11. Variant Untuk kegiatan yang ada dalam rekam medik tapi tidak terdapat dalam format Clinical Pathway 12. Clinical pathway ditandatangani oleh Dokter Penanggung Jawab Pelayanan, Perawat Penanggung Jawab dan Pelaksana Verivikasi.



2. Algoritme Algoritme merupakan format tertulis berupa flowchart dari pohon pengambilan keputusan. Dengan format ini dapat dilihat secara cepat apa yang harus dilakukan pada situasi tertentu. Algoritme merupakan panduan yang efektif dalam beberapa keadaan klinis tertentu misalnya di ruang gawat darurat atau Instalasi Gawat Darurat. Bila staf dihadapkan pada situasi yang darurat, dengan menggunakan algoritme ia dapat melakukan tindakan yang cepat untuk memberikan pertolongan. 3. Protokol Protokol merupakan panduan tata laksana untuk kondisi atau situasi tertentu yang cukup kompleks. Misalnya dalam Panduan Praktik Klinis (PPK) disebutkan bila pasien mengalami atau terancam mengalami gagal napas dengan kriteria tertentu perlu dilakukan pemasangan ventilasi mekanik. Untuk ini diperlukan panduan berupa protokol, bagaimana melakukan pemasangan ventilasi mekanik, dari pemasangan endotracheal tube, mengatur konsentrasi oksigen, kecepatan pernapasan, bagaimana pemantauannya, apa yang harus diperhatikan, pemeriksaan berkala apa yang harus dilakukan, dan seterusnya. Dalam protokol harus termasuk siapa yang dapat melaksanakan, komplikasi yang mungkin timbul dan cara pencegahan atau mengatasinya, kapan suatu intervensi harus dihentikan, dan seterusnya. 4. Prosedur Prosedur merupakan uraian langkah-demi-langkah untuk melaksanakan tugas teknis tertentu. Prosedur dapat dilakukan oleh perawat (misalnya cara memotong dan mengikat talipusat bayi baru lahir, merawat luka, suctioning, pemasangan pipa nasogastrik), atau oleh dokter (misalnya pungsi lumbal atau biopsi sumsum tulang). 5. Standing orders Standing orders adalah suatu kegiatan kolaborasi yang terdiri dari tindakan delegasiatau mandat dokter kepada perawat yang telah diatur dalam Undang-Undang Keperawatan. Standing orders dapat diberikan oleh dokter pada pasien tertentu, atau secara umum denganpersetujuan Komite Medis. Contoh: perawatan pasca bedah tertentu, pemberian antipiretik untuk demam, pemberian anti kejang per rektal untuk pasien kejang, defibrilasi untuk aritmia tertentu. Contoh lain yaitu order pemberian diet.



BAB V DISCLAIMER (PENYANGKALAN, WEWANTI) Disclaimer (Penyangkalan, Wewanti) Sejalan dengan uraian dalam bab terdahulu, dalam setiap dokumen tertulis Panduan Praktik Klinis (PPK) serta perangkat implementasinya mutlak harus dituliskan disclaimer (wewanti, penyangkalan). Hal ini amat diperlukan untuk: 1. Menghilangkan kesalahpahaman atau salah persepsi tentang arti kata “standar”, yang bagi sebagian orang dimaknai sebagai “sesuatu yang harus dilakukan tanpa kecuali” 2. Menjaga autonomi dokter bahwa keputusan klinis merupakan wewenangnya sebagai pihak yang dipercaya oleh pasien untuk memberikan pertolongan medis, asuhan keperawatan, asuhan gizi, dan asuhan kefarmasian. Dalam disclaimer (yang harus dicantumkan pada setiap dokumen PPK) harus tercakupbutirbutir yang telah dikemukakan di atas, sebagai berikut: 1. Panduan Praktik Klinis (PPK) dibuat untuk average patients 2. Panduan Praktik Klinis (PPK) dibuat untuk penyakit/kondisi patologis tunggal 3. Reaksi individual terhadap prosedur diagnosis dan terapi bervariasi 4. Panduan Praktik Klinis (PPK) dianggap valid pada saat dicetak\ 5. Praktik kedokteran modern, asuhan keperawatan, asuhan gizi, dan asuhan kefarmasian harus lebih mengakomodasi preferensi pasien dan keluarganya Disclaimer harus dicantumkan di bagian depan setiap buku Panduan Praktik Klinis (PPK). Di luar negeri seringkali disclaimer mencakup banyak hal lain yang rinci, misalnya pernyataan: 6. Panduan Praktik Klinis (PPK) berisi panduan praktis, tidak berisi uraian lengkap tentang penyakit/kondisi 7. Panduan Praktik Klinis (PPK) bukan merupakan hal terbaik untuk semua pasien 8. Panduan Praktik Klinis (PPK) bukan merupakan standard of medical care 9. Penyusun tidak menjamin akurasi informasi yang ada dalam Panduan Praktik Klinis (PPK) 10. Penyusun tidak bertanggung jawab terhadap hasil apa pun akibat penggunaan PanduanPraktik Klinis (PPK) 11. Bila dokter ragu disarankan melakukan konsultasi



PANDUAN PENYUSUNAN REMUNERASI DOKTER BAB I PENDAHULUAN Sejak awal 2014, kita sudah menjalankan sistem baru layanan kesehatan di Indonesia yaitu sistem kesehatan yang menuju universal coverage atau Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dengan program utamanya yaitu program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan operator pelaksana yang berfungsi sebagai pembayar yang dikenal dengan Badan Pelaksana Jaminan Kesehatan (BPJS). Perubahan ini ditujukan untuk pemerataan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia melalui terbukanya akses dan kualitas layanan kesehatan yang lebih baik, dimana BPJS bekerja sebagai operator sistem asuransi sosial. Adanya keterbukaan akses ini berdampak kepada bertambahnya jumlah kunjungan pasien ke rumah sakit untuk mendapatkan pelayanan kesehatan baik dari peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran), PPU (Peserta Penerima Upah) dan PBPU (Peserta Bukan Penerima Upah) yang hampir memenuhi seluruh rumah sakit di Indonesia, dimana salah satu indikasi yang nampak adalah angka BOR yang tiiggi di setiap rumah sakit yang bermitra dengan BPJS. Akan tetapi meningkatnya jumlah pasien rumah sakit yang berdampak pada meningkatnya beban kerja dokter, belum diikuti dengan meningkatnya pendapatan dokter dari jasa medis dokter, bahkan secara merata dirasakan oleh dokter bahwa pendapatan mereka malah menurun atau pada beberapa rumah sakit sangat menurun. Hal ini disebabkan belum adanya metode yang seragam di rumah sakit dalam membagikan paket biaya pelayanan yang dibayarkan oleh BPJS menjadi jasa medis dokter, sehingga seringkali dokter mendapat jasa medis yang merupakan sisa dari paket setelah dikurangi biaya bahan medis habis pakai, yang sudah barang tentu jumlahnya berubah-ubah dan tidak jarang sangat kecil. Begitu pula dengan dokter yang bekerja pada FKTP baik Klinik maupun Puskesmas, yang dibayar dengan model baru yaitu sistem Kapitasi, banyak dari mereka belum nyaman dengan imbalan yang mereka dapatkan setelah melayani pasien yang melonjak tajam. Hal ini disebabkan oleh karena belum adanya kesesuaian harga Kapitasi dengan tingkat keekonomian.



Disamping adanya birokrasi pada Puskesmas dimana uang Kapitasi tidak langsung diberikan pada dokter FKTP melainkan dilewatkan ke Dinas Kesehatan kabupaten/kota. Untuk mendukung terselenggaranya Pelayanan Kesehatan pada program JKN sangat dibutuhkan dukungan dari segenap dokter dan dokter spesialis untuk bekerja secara totalitas sesuai dengan kompetensi dan pengalamannya, oleh karenanya harus pula mendapat imbalan yang sesuai. Diperlukan suatu sistem yang dapat mengapresiasi kinerja para knowledge worker ini yang berbasis pada kelayakan dan rasa keadilan, dengan menerapkan sistem remunerasi yang reasonable. Untuk itulah buku panduan ini dibuat dengan harapan agar digunakan oleh stakeholder Program JKN, yaitu Sistem Remunerasi yang mengacu atau menggunakan metode 3 P. Usulan IDI ini diharapkan menjadi pedoman dasar untuk menghargai dokter, sehingga dokter dapat bekerja dengan tenang dan dapat menuju ke pelaksanaan konsep mono loyalitas dimana dampak yang diharapkan adalah dokter akan bekerja dengan kualitas yang baik, ramah, bermoral baik, menghasilkan daya kompetisi SDM dokter dan dokter spesialis yang kuat dan siap bersama-sama dengan rumah sakit menghadapi pasar Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Begitu pula hal ini diharapkan dapat mewujudkan upaya kesehatan preventif yang berkualitas. Dalam implementasinya panduan ini tentu saja dapat disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan rumah sakit serta tingkat tarif yang berlaku di rumah sakit bersangkutan, dengan catatan tetap dibicarakan dan diputuskan bersama antara manajemen RS dengan kelompok dokter dan tetap mengedepankan asas kepuasan serta kesejahteraan bersama. BAB II DEFINISI DAN PEMAHAMAN Kebijakan



Jaminan



Kesehatan



Nasional



merupakan



reformasi



pembiayaan



kesehatan dari metode sebelumnya berupa sistem fee-for-service yang menganut pola bayar post payment menjadi sistem managed care (paket), dengan pola bayar pre payment. Dengan adanya perubahan ini, banyak masalah timbul diantaranya masalah pembayaran jasa medis. Dinamika yang terjadi selanjutnya mendorong IDI untuk melakukan inisiatif menyusun sistem remunerasi bagi dokter dan dokter spesialis di era JKN. Remunerasi adalah istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan semua bentuk paket kompensasi untuk karyawan dalam organisasi. Remunerasi bisa berbentuk gaji, tapi juga termasuk insentif baik finansial maupun non finansial. Dokter adalah Tenaga Profesional bidang kesehatan yang bertugas untuk melayani kesehatan pasien sesuai dengan bidang dan kompetensinya.



Dari uraian diatas, yang dimaksud dengan Remunerasi Dokter adalah bentuk kompensasi yang diterima oleh dokter setelah bekerja melakukan kegiatan pelayanan kesehatan kepada pasien, meskipun kompensasi yang diterima tidak lagi merupakan imbalan langsung dari setiap kegiatan pelayanan yang dilakukan. Remunerasi yang diterima oleh Dokter mempunyai peranan penting didalam tumbuh dan kembang organisasi, diantaranya: 1. Mendukung strategi pelayanan kepada pasien dalam mencapai Visi dan Misi mencapai pelayanan kesehatan yang komprehensif. 2. Memacu motivasi Dokter agar memiliki komitmen yang tinggi dalam bekerja dan melayani. 3. Membangun tim kerja yang solid dengan adanya kejelasan remunerasi yang diperoleh 4. Meningkatkan kinerja pelayanan yang pada akhirnya akan berdampak kepada kinerja keuangan FKTP dan rumah sakit. 5. Terpenuhinya kewajiban dari FKTP dan rumah sakit dalam memberikan imbalan atas komitmen dan kinerja yang ditunjukkan oleh Dokter REMUNERASI merupakan imbalan kerja dapat berupa: 1. Gaji 2. Tunjangan Tetap 3. Honorarium 4. Insentif 5. Bonus atas prestasi 6. Pesangon ataupun Pensiun REMUNERASI DOKTER: Yang dimaksud dengan remunerasi dokter dalam buku ini adalah imbalan yang didapat dokter dari kegiatan profesi secara keseluruhan (sering disebut sebagai Take home pay) dan bukan hanya gaji atau juga bukan penghasilan sebagai staf struktural atau manajerial di RS. REMUNERASI STANDAR: Agar dokter dapat bekerja dengan tenang dalam melaksanakan pelayanan kesehatan dimana saja di Indonesia, maka perlu ada standarisasi remunerasi sehingga dokter tidak hanya berkumpul dan ingin bekerja dikota besar. Ada dua pendekatan dalam menetapkan standarisasi remunerasi dokter yaitu pendekatan kebutuhan dan harapan



dokter serta pendekatan kemampuan organisasi pemberi kerja yang dalam hal ini adalah rumah sakit. PENDEKATAN KEBUTUHAN DAN HARAPAN DOKTER: Pendekatan ini menggunakan acuan kebutuhan dasar untuk memenuhi fungsi profesional seorang dokter secara wajar (seperti UMK atau UMR yang diterapkan pada buruh), atau menggunaan acuan Take home pay yang diharapkan dokter. Kalau menggunakan UMK sebagai acuan maka perlu dipertimbangkan bahwa kebutuhan dokter adalah lebih besar dari pada buruh secara umum, oleh karena pendidikan profesi yang dipersyaratkan jauh lebih tinggi, kompleksitas tugas dan dokter bekerja sering lebih dari 40 jam seminggu, serta kewajiban pengembangan profesi melalui kegiatan ilmiah berkala diperlukan kegiatan menambah ilmu dan keterampilan secara rutin. Sehingga diusulkan besaran untuk kebutuhan dasar untuk dokter (umum) adalah 3-5 kali besaran UMK, dan 6-10 kali UMK bagi dokter spesialis dan 9-12 kali UMK bagi dokter subspesialis. Kebutuhan dasar ini merupakan besaran remunerasi minimal yang harus diberikan kepada dokter sebagai gaji pokok yang dibayarkan secara tetap (biasa disebut P1, dan bukan take home pay) Kalau mengacu pada harapan dokter akan Take home pay (P1,P2,P3) maka dapat digunakan hasil survey penghasilan dan harapan dokter yang telah dilakukan IDI pada tahun 2007. Pada survey tersebut telah dapat dirumuskan bahwa untuk dokter umum take home pay yang diharapkan adalah 9-14 kali pendapatan perkapita RI, sedangkan untuk dokter spesialis adalah 30-44 kali pendapatan perkapita RI. PENDEKATAN KEMAMPUAN INSTITUSI (RS) Prinsip dasar Remunerasi yang dibayarkan oleh institusi (RS) adalah sebagai berikut: 1. KESETARAAN: Penilaian antar jabatan sesuai dengan beban dan tanggung jawab masing- masing dengan memperhatikan pelayanan yang sejenis. 2. PROPOSIONALITAS: Menyesuaikan dengan kemampuan pendapatan Institusi dengan proporsi pendapatan yang digunakan untuk remunerasi 3. KEPATUTAN: Menyesuaikan dengan kemampuan pendapatan Institusi dengan proporsi pendapatan yang digunakan untuk remunerasi 4. KINERJA OPERASIONAL DAN PROFESIONAL: Memperhatikan capaian indikator kinerja pelayanan, manfaat, mutu dan keuangan sesuai dengan kategori tingkat kesehatan keuangan institusi (RS). Maka dalam mengembangkan sistem remunerasi perlu dibuat kebijakan di setiap organisasi yang mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:



1. Metodologi; yang menggunakan pembobotan/perhitungan kontribusi karyawan dalam produksi layanan. 2. Proses analisis jabatan; pemeringkatan jabatan (job grading) yang mencerminkan kompleksitas pekerjaan dan standar kompetensi berdasarkan beberapa faktor penimbang, yang menghasilkan penetapan nilai jabatan (job value) dan harga jabatan (job price) yang dibuat dalam tabel. 3. Proses evaluasi jabatan; yang objektif berdasarkan hasil dan beban kerja dalam bentuk penilaian kinerja, untuk menghitung pay for performance menggunakan Indeks Kinerja Individu (IKI) dan Indeks Kinerja Unit (IKU). 4. Penetapan tingkat mutu kinerja profesional staf dengan menggunakan indikator kualitatif dan kuantitatif, sehingga dapat diukur tingkat mutu kinerja profesional setiap staf dalam satuan waktu yang ditentukan. Pada FKTP remunerasi dokter tergantung posisi dokter pada FKTP tersebut, apabila dokter sebagai karyawan (dokter purnawaktu) baik pada Puskesmas atau Klinik maka berlaku sistim yang sama dengan dokter yang bekerja di rumah sakit (penerapan metode 3 P). Sedangkan apabila dokter bekerja pada Klinik mandiri yang dimiliki sendiri oleh dokter maka sistim remunerasi adalah menggunakan metode Kapitasi, dimana sisa pembiayaan menjadi hak dokter ybs yang dapat digunakan untuk pengembangan kliniknya. Dari hasil FGD yang dilaksanakan oleh IDI, diusulkan sistem Remunerasi untuk Dokter dengan Metode 3P yang meliputi 3 komponen, yaitu : Pay for Position, Pay for Performance dan Pay for People untuk dokter yang bekerja di rumah sakit dan bekerja sebagai karyawan (dokter purnawaktu) pada FKTP, serta metode Kapitasi untuk dokter yang bekerja di Klinik mandiri milik sendiri. Dari FGD juga diusulkan agar dalam menyusun remunerasi dokter harus tetap menggunakan dua pendekatan baik pendekatan kebutuhan dan kelayakan bagi dokter serta pendekatan kemampuan institusi, sehingga apabila pada sebuah rumah sakit didapatkan kenyataan bahwa penghasilan RS dibawah standar normal maka pemilik RS harus tetap memenuhi remunerasi standar minimal bagi dokter. A. METODE 3 P di FKRTL 1. PAY for POSITION (P1) Definisi: Pembayaran terhadap profesi dokter berdasarkan kemampuan teknis yang dibentuk dari pendidikan dan pengalaman kerja. Alokasi anggaran untuk P1 adalah berkisar antara 25-30 % dari total alokasi anggaran remunerasi. Hal-hal yang menjadi penilaian: 1. Dokter (fungsional dan manajemen) 2. Dokter Spesialis (penghargaan terhadap kompetensi/ spesialistik yang dimiliki): a. Spesialis yang melakukan tindakan bedah (cutting specialist)



b. Spesialis non bedah (non cutting specialist) c. Spesialis bidang penunjang yang tidak langsung mengelola pasien 3. Pengalaman kerja (dihitung berdasarkan tahun kelulusan sertifikasi/ ijazah kompetensi tertinggi yang dinilai) 4. Masa Kerja, (dihitung berdasarkan lama seorang dokter mengabdi kepada rumah sakit ybs) 5. Risiko profesi sudah termasuk dalam perhitungan nilai jabatan (job value), sedangkan risiko tuntutan hukum atau ganti rugi akan ditransfer ke asuransi profesi yang dibayarkan oleh rumah sakit dari pos P3. Cara Penilaian: 1. Memberikan grading kepada masing-masing kelompok dokter yang bekerja di rumah sakit. 2. Diberikan Point yang berbeda-beda kepada masing-masing klasifikasi grading yang ditentukan 3. Menetapkan Full Time Equivalent (FTE) yaitu satuan produktifitas profesional yang harus dipenuhi dalam satuan waktu tertentu yang disepakati, yang merupakan kinerja yang harus dipenuhi oleh staf sesuai dengan kontrak. Misalnya jam kerja 40 jam seminggu yang dikombinasikan dengan volume layanan lainnya yang merupakan satuan produktifitas. 2. PAY For PERFORMANCE (P2) Definisi: Pembayaran terhadap seseorang dokter berdasarkan produktifitas yang dihasilkan dari layanan yang diberikan pada pasien sebagai penanggung jawab operasional asuhan. Kinerja (performance) yang dicapai dengan tetap memenuhi standar pelayanan medis misalnya kelengkapan rekam medis, waktu standar pemeriksaan pasien, kepatuhan pada Panduan Praktik Klinis (PPK), dll. Sehingga setiap profesi akan menetapkan indeks kinerja medis setiap jenis profesi (yang terkait dengan standar mutu profesi). Alokasi anggaran untuk P2 adalah berkisar antara 50-60 % dari total alokasi anggaran remunerasi. Hal-hal yang menjadi penilaian: 1. Jumlah Jam Praktik (dinilai berdasarkan jumlah jam praktik yang diberikan dalam satu bulan) 2. Jumlah Konsultasi (dinilai berdasarkan jumlah konsultasi yang dilayani) 3. Jumlah Visite (dinilai berdasarkan jumlah visite yang dilakukan. 4. Jumlah



Tindakan/Pemeriksaan



(dinilai



berdasarkan



pemeriksaan yang dilakukan dalam satu bulan)



jumlah



tindakan/



Cara Penilaian: 1. Membuat perhitungan atas aktifitas Dokter terhadap 4 hal yang dinilai di atas. 2. Diberikan Point yang berbeda-beda kepada masing-masing klasifikasi penilaian berdasarkan bobot kesulitan dan penilaian terhadap tarif jasa yang berlaku. 3. Poin penting pada P2 ini adalah adanya batas pembayaran maksimal untuk kinerja setiap dokter, karena tanpa pembatasan kinerja maksimal akan berdampak pada keselamatan pasien (patient safety). 3. PAY For PEOPLE (P3) Definisi: Pembayaran terhadap dedikasi, loyalitas dan kelangkaan seorang dokter pada rumah sakit. Dapat juga dikaitkan dengan kualitas layanan yang diberikan terhadap pasien danseberapa besar risiko pasien yang dihadapi (jadi P3 juga dapat dianggap sebagai pay for quality). Alokasi anggaran untuk P3 adalah berkisar antara 10-20 % dari total alokasi anggaran remunerasi. Hal-hal yang menjadi penilaian: 1. Tingkat Risiko (risiko pengelolaan pasien/ kesulitan ) 2. Tingkat Mortality / Morbidity 3. Kelengkapan Administrasi (penilaian terhadap kelengkapan administrasi klinis, resume medis, resep online) 4. Attitude (penilaian berdasarkan perilaku seseorang dokter terhadap lingkungan kerja dan pasien), kontribusi terhadap aktifitas manajemen yang menggambarkan dedikasi dan loyalitas dalam menjaga citra rumah sakit. Cara Penilaian: Membuat perhitungan atas aktifitas Dokter terhadap 4 hal yang dinilaidi atas 1. Diberikan poin yang berbeda-beda kepada masing-masing klasifikasi berdasarkan bobot kesulitan pekerjaan, makin tinggi tingkat kesulitan makin besar poin. 2. Tingkat morbiditas dan mortalitas pasien yang dikelola oleh dokter menentukan indeks poin. 3. Kelengkapan pengisian dan kualitas berkas rekam medis oleh setiap dokter dijadikan indeks untuk pembayaran P3. 4. Risiko tuntutan hukum atau ganti rugi ditransfer ke asuransi profesi yang dibayarkan rumah sakit dari alokasi pos P3 ini. B. METODE KAPITASI Metode kapitasi adalah metode pembayaran dimuka dengan nilai tetap per peserta per bulan. Dalam metode ini dokter dibayar berdasarkan jumlah peserta yang mendaftar kepadanya, tidak tergantung pada frekuensi kunjungan, intensitas dan kompleksitas pelayanan serta biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan peserta.



Besarnya nilai kapitasi dihitung berdasarkan jenis-jenis pelayanan yang disepakati yang harus disediakan untuk peserta dengan mempertimbangkan pola manfaat untuk peserta dan dikoreksi dengan faktor tertentu seperti umur dan jenis kelamin. Berdasarkan perjanjian, dokter sepakat untuk memberikan pelayanan kepada pasien selama satu periode, biasanya satu tahun dan menanggung seluruh biaya yang terkait dengan jenis pelayanan yang disepakati. Pada dasarnya metode Kapitasi adalah pembayaran berbasis populasi. Sifat alami metode Kapitasi adalah pemberi layanan dilibatkan untuk menanggung risiko finansial pembiayaan kesehatan peserta. Dalam hal ini dokter harus berupaya mengayomi populasi yang sehat sehingga akan mengurangi pelayanan peserta yang sakit, karena dokter dihadapkan kepada risiko yang merugi bila diantara pesertanya banyak memiliki risiko dan penyakit yang membutuhkan pelayanan kompleks, mahal dan beban kerja tinggi. Oleh karena itu agar tidak merugi karena biaya yang terpakai oleh peserta cukup banyak, maka perlu dilakukan upaya pencegahan menjadi sakit melalui kegiatan preventif promotif. Makin kecil jumlah peserta makin besar risiko yang dihadapi oleh dokter, oleh karenanya ideal jumlah peserta minimal 5000 orang. Penerapan metode Kapitasi bisa mudah dan bisa rumit, karena tergantung pada tujuan yang ingin dicapai, data yang tersedia dan kesiapan regulasi. Setidaknya harus ada kepastian pada dua hal, yaitu: 1. Data besaran nilai Kapitasi per peserta per bulan dan data komponen biaya yang membentuk nilai kapitasi tersebut, serta data demografi, morbiditas dan utilisasi populasi. 2. Formula yang disepakati untuk membayar dokter umum pada FKTP. BAB III TAHAPAN PENYUSUNAN REMUNERASI DOKTER BERBASIS METODE 3 P Dalam menyusun remunerasi dokter di rumah sakit ada 2 model yang bisa diterapkan: 1. Model Remunerasi total, dimana sistem remunerasi dibuat dan berlaku untuk semua staf rumah sakit, dan dokter menjadi bagian integral dari staf rumah sakit. Pada model ini dilakukan tahapan sebagai berikut: a. Menetapkan table Corporate Grade berdasarkan Profesional Grade b. Membuat tabel kenaikan nilai grade untuk setiap corporate grade berdasar masa kerja c. Menetapkan nilai jabatan (job value) setiap staf RS berdasarkan tabel corporate grade



d. Menentukan Poin Indeks Rupiah (PIR) berdasarkan alokasi anggaran remunerasi dibagi dengan total nilai jabatan (job value) seluruh staf RS. e. Penetapan indikator Kinerja Individu(IKI) dan Indikator Kinerja Unit (IKU) f.



Pembuatan daftar gaji normatif



g. Menetapkan nilai harmonisasi dan kelayakan (local wisdom) h. Melakukan evaluasi Rekap gaji dan Strata gaji i.



Simulasi dan sosialisasi pada seluruh staf



2. Model Remunerasi PROPORSIONAL, dimana sistim remunerasi dibuat untuk semua staf rumah sakit akan tetapi dengan menetapkan terlebih dahulu proporsi alokasi remunerasi untuk setiap kelompok profesi dan staf yang ada di rumah sakit. Pada model ini dilakukan tahapan sebagai berikut ; a. Penetapan proporsi alokasi remunerasi untuk setiap kelompok profesi, dengan menggunakan acuan data alokasi yang telah berjalan (historis) atau mengacu pada pengalaman empiris banyak rumah sakit dan diputuskan secara negosiatif antar pihak di rumah sakit. b. Pengalaman empiris yang bisa dipakai acuan adalah sebagai berikut : Alokasi untuk kelompok medis (dokter, dokter gigi, spesialis) : 15-18 % revenue. c. Alokasi untuk staf klinis (Perawat, Bidan, Farmasi, Gizi, Radiografer, Fisioterapis, Analis Laboratorium, dll) : 12-14 % revenue. d. Alokasi untuk staf non klinis (administrasi, IT, dll) ; 4-5 % revenue. e. Alokasi untuk manajemen (Direktur, Manajer, Kepala Unit dll) : 4-5 % revenue. f.



Total dana remunerasi adalah 30-40 % revenue



3. Tetapkan nilai poin setiap staf dalam kelompoknya, berdasarkan kaidah P1,P2 dan P3 yang telah ditetapkan terlebih dahulu oleh manajemen rumah sakit. 4. Jumlahkan nilai poin setiap staf, dan jumlahkan total semua nilai poin setiap kelompok 5. Khusus untuk staf medis ditetapkan poin setiap dokter berdasarkan skor subkelompok (dokter umum, spesialis pemegang pisau, spesialis non pisau, spesialis penunjang). 6. PIR kelompok ditetapkan dengan membagi alokasi dana remun kelompok (dengan total poin staf dalam kelompok nya). 7. Hak remunerasi setiap staf dalam kelompok didapatkan dengan mengalikan nilai poin setiap staf dengan PIR kelompok. 8. Remunerasi yang dibayarkan kepada staf adalah hak remunerasi dikalikan dengan indeks kinerja individu yang telah ditetapkan. 9. Kriteria untuk penetapan Indeks kinerja individu dibahas bersama bersama didalam kelompok dengan mempertimbangkan kekhususan pekerjaan, tingkat kesulitan, risiko, pengerahan waktu dlsb.



BAB IV PENUTUP Sejak awal 2014, kita sudah menjalankan Sistem baru layanan kesehatan di Indonesia yaitu sistem kesehatan yang menuju universal coverage atau SJSN melalui program JKN. Perubahan ini ditujukan untuk pemerataan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia melalui terbukanya akses dan kualitas layanan kesehatan Adanya keterbukaan akses ini berdampak kepada bertambahnya kunjungan jumlah pasien ke rumah sakit dan Puskesmas untuk mendapatkan pelayanan kesehatan baik dari peserta PBI dan NON PBI yang hampir memenuhi seluruh rumah sakit dan Puskesmas di Indonesia. Untuk mendukung terselenggaranya pelayanan kesehatan diatas salah satunya dibutuhkan support dari segenap Dokter dan Dokter Spesialis di rumah sakit dan Dokter di FKTP (Puskesmas dan klinik) untuk bekerja secara totalitas sesuai dengan kompetensi dan pengalamannya, disisi lain tentunya hal ini harus diikuti oleh adanya proses penghargaan berbasis keadilan. Untuk itu diperlukan suatu sistem yang dapat mengapresiasi kinerja para knowledge worker ini yang berbasis kepada rasa keadilan, dimana salah satunya melalui sistem remunerasi yang saat ini kami usulkan untuk digunakan Stakeholder program JKN, Dari hasil FGD metode yang tepat untuk sistem remunerasi Dokter di FKRTL & FKTP yaitu sistem remunerasi yang mengacu atau menggunakan metode 3 P, yaitu remunerasi yang berbasis pada Pay for Position, Pay for Performance dan Pay for People. Buku panduan penyusunan remunerasi dokter masih belum sempurna, bila ada kekurangan dan kekeliruan, akan dilakukan evaluasi dan revisi secara berkala berdasarkan masukan dari anggota IDI. MODUL SISTEM REMUNERASI BAB I PENDAHULUAN



Perkembangan industri rumah sakit semakin tampak dengan berbagai kebijakan Pemerintah dalam meningkatkan mutu pelayanan publik. Mutu pelayanan yang bisa diterima oleh masyarakat pengguna, merupakan isue penting dalam bidang kesehatan, khsususnya pelayanan di rumah sakit. Pada sisi lain rumah yang sakit terbanyak di Indonesia adalah rumah sakit milik pemerintah, yang pada dasarnya masih dikelola secara birokrasi, akibat kepemilikan pemerintah dan persepsi awal bahwa rumah sakit adalah mutlak merupakan institusi yang bersifat sosial. Namun akhir-akhir ini, kesadaran mulai timbul dari berbagai fihak, baik pemerintah maupun para pakar dan pemerhati rumah sakit di Indonesia. Bahwa tidak bisa lagi suatu institusi rumah sakit termasuk rumah sakit milik pemerintah, dikelola secara birokratis. Karena di rumah sakit rumah sakit terjadi transaksi-transaksi, yang mau tidak mau harus dikelola dengan menggunakan prinsip-prinsip bisnis. Kaitan dengan telah terbitnya Undang Undang No 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, yang ditindak lanjuti dengan PP No 23 tahun 2005 Tentang Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU) dan Peraturan Menteri Keuangan RI diantaranya yang berkaitan dengan tatacara administratif, dan sistem remunerasi di PPKBLU, menyadarkan kita semua bahwa rumah sakit haruslah dikelola dengan konsep bisnis sehat. Namun suatu hal yang menarik bahwa masa mendatang rumah sakit pemerintah yang sangat erat kaitannya dengan pelayanan publik yang paling mendasar, haruslah dikelola secara profesional dan efektif yang bisa memberikan pelayanan yang berkualitas standar. Sebagai pendorong maka terbit Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Sistem Remunerasi pada PPK-BLU, dengan sendirinya maka akan terjadi pemberdayaan institusi PPK-BLU untuk memungkinkan mengatur sistem remunerasinya secara rasional dan Permnedagri no 61 tahun 2007. Dan diterapkannya jaminan kesehatan nasional JKN (Universal coverage) pada tanggal 1 Januari 2014, dimana terjadi perubahan dari system Fee for service menjadi Insurance. Karenanya modul Sistem Remunerasi akan sangat berguna bagi para manager PPK-BLU maupun PPK-BLUD sebagai dasar untuk meningkatkan kompetensi, khususnya bagaimana menkreasi remunerasi bagi seluruh karyawan institusi PPK-BLU. BAB II PEMAHAMAN SISTEM REMUNERASI A. PENGERTIAN SISTEM REMUNERASI



Remunerasi merupakan salah-satu unsur yang cukup penting untuk diketahui oleh para manajer rumah sakit karena menyangkut biaya kehidupan dan penghidupan seluruh karyawan. Seringkali ketidak seimbangan upah, gaji atau insentive antara kelompok dokter, perawat dan yang setara dengan perawat, tenaga adminstratif serta tingkatan manajer rumah sakit menyebabkan terjadinya konflik yang berkepanjangan dan menyebabkan menurunnya komitmen karyawan terhadap organisasi. Karenanya perlu pemahaman bagaimana sistem remunerasi dapat dikembangkan dan disesuaikan berdasarkan kesepakatan melalui beberapa pendekatan yang lebih fleksibel. Sistem remunerasi adalah suatu sistem pengupahan atau imbal jasa yang mengatur gaji, insentif merit dan bonus pegawai pada suatu perusahaan. Sistem ini berbeda beda antara satu perusahaan dengan perusahaan lain, sangat bergantung kepada kemampuan perusahaan yang bersangkutan dalam memberikan upah terhadap para karyawannya. Berbagai perusahaan termasuk pada lingkungan pemerintah telah menggunakan sistem ini dengan cara pendekatan yang berbeda-beda. Pada umumnya pendekatannya berdasarkan skill, knowledge dan attitude atau kompetensi karyawan yang dihubungkan dengan waktu yang dibutuhkan dalam bekerja sesuai dengan profesinya masing masing. Dengan demikian, akan sangat berbeda gaji dasar karyawan dengan kompetensi yang tinggi yang ditentukan dengan indikator indikator tertentu misalnya pendidikan karyawan yang lebih tinggi akan berbeda dengan karyawan yang berpendidikan rendah. Artinya harga tiap satuan waktu antara yang berpendidikan tinggi dengan yang berpendidikan rendah akan sangat berbeda. Pada beberapa perusahaan menggunakan satuan waktu dan jenis pekerjaan apa yang dikerjakan oleh karyawan yang bersangkutan. Yang paling sulit ditentukan adalah besaran rupiah dari satuan waktu tersebut, apalagi di rumah sakit yang merupakan institusi padat karya, padat teknologi dan padat modal memperlihatkan variabilitas yang sangat tinggi. Terdapat sekitar 62 jenis ketenagaan di suatu institusi rumah sakit, dari mulai dokter spesialis konsulen, spesialis, dokter umum, dokter gigi spesialis dan umum, sarjana farmasi, sarjana keperawatan, akuntan, sarjana komunikasi, perawat analis dan tenaga administrasi lainnya. Keragaman ini menimbulkan kesulitan tersendiri, dalam menentukan besaran yang layak bagi para karyawan dengan perbedaan keahlian dan banyak jenisnya. Jika menggunakan pendekatan waktu maka harus dipikirkan harga per satuan waktu dari masing masing jenis profesi atau keahlian karyawan. Pendekatan ini agak sulit untuk diterapkan di rumah sakit. Karena harga persatuan waktu akan menjadi lahan perebutan antar profesi di rumah sakit. Rumah sakit pada intinya adalah suatu institusi yang memberikan pelayanan kesehatan individu. Karenanya didalam rumah sakit akan tampak dua jenis kelompok karyawan yaitu pertama adalah karyawan yang bekerja pada pelayanan langsung terhadap



pelanggan atau pasien yang mengakibatkan munculnya transaksi keuangan antara pasien dengan rumah sakit misalnya tenaga dokter, perawat, analis, asisten apoteker dan sejenisnya. Kelompok ini selanjutnya berada pada suatu tempat yang disebut sebagai Revenue center atau pusat pendapatan. Kelompok kedua adalah karyawan yang menunjang pekerjaan para pemberi pelayanan langsung yang berada pada suatu tempat yang dikenal dengan cost center atau pusat biaya, misalnya kepala bidang keuangan, kepala bidang administrasi, customer service, IPSRS, laundry dan sejenisnya. Berdasarkan hal tersebut diatas maka kelompok pada revenue center merupakan kelompok penghasil atau produksi. Dan para penghasil uang inilah yang memiliki nilai jasa pelayanan. Misalnya jasa pelayanan visite, jasa tindakan bedah, jasa ekspertisi rontgent, jasa keperawatan jasa farmasi dan sejenisnya. Sedangkan para karyawan penunjang (cost center) tidak mungkin memunculkan jasa pelayanan misalnya jasa pelayanan bagian keuangan, jasa pelayanan administrasi dan sejenisnya. Jika demikian maka komponen jasa pada tarif rumah sakit akan muncul khusus untuk para pemberi pelayanan terhadap pelanggan atau pasien, misalnya dokter, perawat, analis, asisten dan sejenisnya. Yang perlu dipikirkan adalah bahwa pelayanan rumah sakit adalah pelayanan dalam bentuk tim dan tim tersebut secara utuh terdiri dari para karyawan pada revenue center dan para karyawan pada cost center. tidak mungkin salah satunya ditiadakan.Namun pada satu sisi para karyawan pada revenue center muncul jasa pelayanan sedangkankaryawan pada cost center tidak muncul jasa pelayanan. Apakah ini berarti bahwa para tenaga administrasi, tenaga pendukung lainnya tidak mendapatkan jasa seperti halnya tenaga pada revenue center yang jelas muncul dalam komponen tarif rumah sakit. Tentu saja tidakdemikian, karena pelayanan rumah sakit adalah pelayanan tim, maka sudah selayaknya karyawan pada kelompok cost center juga mendapat tambahan insentif. Pengaturan insentif, gaji dan merit ataupun bonus inilah yang perlu diatur oleh sistem remunerasi yang berkekuatan hokum. Pada rumah sakit yang menerapkan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU) baik pusat maupun Daerah, sudah diamanatkan bahwa sistem remunerasi merupakan salahsatu perangkat PPK BLU seperti tertuang didalam PP No 23 Tahun 2005 Tentang Pola Penerapan keuangan Badan Layanan Umum dan Permendagri nomor 61 Tahun 2007. B. HUBUNGAN ANTARA MANAJEMEN KINERJA DAN PENGGAJIAN Dari hasil penelitian, 43% responden menyatakan ada hubungan yang erat antara menejemen kinerja atau sistem akuntabilitas dengan pengajian atau sistem remunerasi, ternyata upah masih merupakan elemen yang cukup penting dalam manajemen kinerja. Hal yang perlu dipahami disini adalah bahwa dengan pemberian upah yang memadai dengan



apa yang telah dikerjakan oleh seseorang maka akan meningkatkan motivasi orang yang bersangkutan untuk berkinerja lebih baik. Sisi lain dari pengertian ini adalah bahwa jika seseorang tidak mengerjakan pekerjaannya sesuai dengan target dan standar yang telah ditentukan maka karyawan yang bersangkutan tidak semestinya mendapatkan upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sebab upah sudah ditentukan berdasarkan kinerja waktu dan target/standar yang telah disepakati sebelumnya. Prinsip disini adalah No performance no pay. Hal ini disebabkan karena upah mendorong kinerja dan kemampuan karyawan atas dasar tiga alasan yaitu : 1. Bisa memotivasi SDM untuk menjadi lebih baik kinerjanya, mengembangkan keterampilan dan kemampuan mereka. Sebagai ilustrasi. tidak sedikit karyawan yang hanya mengandalkan senioritas semata, dia tidak berkinerja sesuai dengan yang diharapkan pimpinan organisasi, dia hanya memerintah dan dia merasa bahwa dialah yang berkuasa didalam organisasi karena lamanya dia bekerja ditempat tersebut. Aturan main ditabrak dan cenderung arogan. Keadaan ini akan menyulitkan prinsip kesetaraan dan kepatutan didalam penyusunan sistem remunerasi didalam organisasi yang bersangkutan 2. Menyampaikan pesan bahwa kinerja dan kemampuan adalah penting. Disini jelas bahwa kinerja harus didukung kemampuan atau kompetensi secara utuh yang terdiri dari skill,knowledge dan attitude. Jadi pesan kinerja akan tampak jelas jika karyawan memilikiindikator kinerja yang dapat diukur, target dan standar kinerja. Setelah karyawan melaksanakan pekerjaannya kemudian dianalisa kinerjanya melalui pencapaian target dan standarnya maka indikator akan terukur dengan sendirinya. 3. Merupakan keterbukaan dan keseimbangan penghargaan kepada SDM berdasarkan pada kinerja, kemampuan atau sumbangsih mereka terhadap organisasi. Upah dalam bentuk gaji sebenarnya adalah penghargaan atau pekerjaan dinilai dengan harga tertentu. Semestinya setiap jenis kinerja yang telah sesuai dengan standar/target maka harus dihargai sesuai dengan ketentuan yang sudah ditentukan sebelumnya didalam sistem remunerasi. Sifatnya harus terbuka atau transparan. Artinya berapa score dalam siustem indexing seseorang dalam perusahaan harus dibuka secara transparan terhadap seluruhkaryawan yang bekerja didalam perusahaan tersebut. Hakekat yang perlu diperhatikan dan disimak lebih dalam oleh para manajer dan seluruh karyawan adalah, bahwa keterbukaan bukanlah telanjang bulat. Para manajer harus tetap memiliki hak prerogatif dalam hal hal tertentu yang bersifat sensitif. Sebab jika telanjang bulat maka akan terjadi tarik menarik dan saling adu kekuatan diantara kelompok profesi yang ada didalam perusahaan.



BAB III PENDEKATAN PENGATURAN PENGGAJIAN PENDEKATAN Ada dua dasar pendekatan pengaturan upah dengan kinerja yaitu pertama untuk perorangan atau tim dan hubungan antara kemampuan dan upah dan pendekatan kedua adalah campuran keduanya yang disebut sebagai kontribusi yang berhubungan dengan pengupahan (Remuneration). Penyesuaian



manajemen



kinerja



dan



gaji



Menggunakan prosedur hukum dari Leventhal 1980 1. Konsistensi hukum Hal ini dimaksudkan agar dalam menyusun sistem remunerasi diperlukan dasar hukum yang jelas. Khusus untuk PPK-BLU maka jelas dasar hukumnya adalah UU Nomor 1 tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara dan PP Nomor 25 Tahun 2005 Tentang Badan Layanan Umum. Selanjutnya dasar hukum untuk institusi pelayanan publik di daerah daerah maka seharusnya PPK-BLUD menyusun sistem remunerasi yang kemudian dikukuhkan atau ditetapkan oleh ketetapan Kepala daerah. Setelah ditetapkan maka secara hukum adalah sah dan hal ini sesuai dengan amanat yang tercantum dalam PP Nomor 23 tahun 2005. 2. Proses alokasi harus konsisten antara SDM dengan jumlah waktu yang digunakan Pada pendekatan ini yang digunakan adalah waktu seorang karyawan dalam melaksanakan proses pekerjaannya. Jadi pendekatannya adalah waktu. 3. Aturan pencegahan penyimpangan Perlunya pengaturtan atau aturan main untuk pencegahan adanya penyimpangan proses



pekerjaan



yang



dikerjakan



oleh



karyawan



yang



bersangkutan.



Pencegahannya berupa ketentuan yang dikenal dengan sistem akuntabilitas. Dimana setiap karyawan memiliki indikator kinerja, sasaran target atau standar pekerjaan yang seharusnya dikerjakan 4. Aturan yang cermat



Aturan yang cermat adalah menyangkut hal hal kecil, artinya setiap apapun yang merupakan konsensus harus tertuang dalam sistem remunerasi secara tertulis, jangan hanya berdasarkan kesepakatan lisan saja. 5. Aturan yang benar Aturan yang benar adalah aturan yang berdasarkan kepatutan, kesetaraan dan proporsionalitas yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak dalam organisasi. 6. Aturan yang representatif Aturan didalam sistem remunerasi haruslah bisa mengakomodasi semua pihak yang terlibat didalamnya. Perlu dihindarkan kelompok satu ingin melebihi kelompok lain atau individu satiu ingin lebih dari individu lain hanya karena senioritas dan sejenisnya. 7. Aturan yang etis Aturan yang etis adalah aturan yang bisa dirasakan transparan dan adanya penghargaan bagi masing masing individu yang bekerja dalam organisasi. Prinsip kebersamaan yang tidak mengutamakan kepentingan pribadi inilah sebagai dasar etika dari sistem penggajian. Hubungan kerja upah Hubungan kerja dengan upah individu berkaitan erat dengan peningkatan upah sebagai dasar pembayaran atau bonus untuk menghargai kinerja yang terukur dari individu bersangkutan yang terdiri dari: Metoda operasi Yang diukur disini adalah apa metoda kerja yang diterapkan oleh seorang pekerja perusahaan. Apakah dengan metoda fisik berdasarkan skill saja, atau berdasarkan knowledge



yang



memunculkan



inovasi



inovasi



perusahaan



ataukah



gabungan



keduanya.Ataukah hanya pekerja kasar biasa. Kejelasan ini diperlukan dan biasanya pada perusahaan perusahaan yang sudah mapan dilakukan pada saat rekruitmen pertama. Mereka sudah menentukan standar pegawai secara jelas untuk pekerjaan yang sesuai yang dibutuhkan oleh perusahaan. Disini diterapkan the right man on the right place. Yang celakanya pada institusi pemerintah khusus hal ini sangatlah jarang ditemukan bahkan rekruitmen pegawai tidak jelas dasarnya. Walaupun sebenarnya ketentuan pemerintah tentang itu sudah ada. Akibat sistem rekruitmen atau penerimaan pegawai yang tidak sesuai dengan ketentuan maka akan timbul kesulitan didalam menyusun sistem kinerja upah, karena ketidak jelasan kompetensi karyawan. Khusus di rumah sakit maka sebenarnya banyak tenaga atau pegawai yang tidak sesuai kompetensinya dengan jenis pekerjaan yang



seharusnya mereka kerjakan. Terjadi distorsi antara kinerja dengan kompetensi yang tersedia. Struktur penggajian Struktur gaji pada perusahaan parusahaan swasta sangat bervariasi. Mereka menggunakan index index tertentu dan kebanyakan menggunakan pendekatan waktu yang dikaitkan dengan metode pekerjaan, beberapa perusahaan menambah bonus, tantiem, tunjangan tunjangan sesuai dengan bonafiditas perusahaan yang bersangkutan. Hampir setiap perusahaan memiliki sistem remunerasi yang berbeda beda satu sama lain dan sangat bergantung dari kebijakan hukum yang diterapkan pada perusahaan tersebut. Pada institusi pemerintah struktur penggajian berdasarkan ketentuan perundang undangan yang berlaku yang selama ini telah dilaksanakan bagi seluruh pegawai negeri sipil maupun militer. Karenanya sistem penggajian didalam sistem remunerasi pada RSD tidak diberikan secara detail karena penggajian sudah diatur tersendiri Peningkatan gaji dan kinerja Secara logika saja setiap kinerja akan dihargai dengan nilai tertentu. Maka jika kinerjanya meningkat sudah selayaknya nilaipun menjadi meningkat, artinya akan terjadi peningkatan insentif jika kinerja karyawan yang bersangkutan meningkat. Pada pegawai negeri sipil kenaikan gaji berkala justru ditentukan berdasarkan waktu, setiap tahun adal kanaikan gaji berkala dan perubahan status pensisikan, bukan ditentukan oleh kinerja PNS yang bersangkutan. Maka banyak kinerja PNS terkesan merosot dan buruk karena yang mereka kejar adalah pendidikan. Ada kecenderungan yang cukup mengkhawatirkan pada jajaran RSUD, dimana dengan banyaknya lembaga pendidikan S1 maupun S2 yang tersebar di daerah daerah, banyak karyawan mengambil pendidikan tersebut tanpa disesuaikan dengan kebutuhan pekerjaan mereka. Akibatnya banyak sarjana dan pascasarjana yang sulit ditempatkan pada tempat yang seharusnya. Mereka hanya mengejar status pendidikan sarjana atau pascasarjana dengan harapan penyesuaian gaji mereka akan meningkat secara bermakna. Pada sisi lain penyusunan sistem remunerasi khususnya sistem insentif akan menghadapi kepelikan yang cukup rumit, sebab para sarjana yang secara harfiah tidak dibutuhkan oleh rumah sakit akan tetapi kenyataannya ada di rumah sakit dan mereka menuntut upah kesarjanaannya. Untuk hal tersebut diatas maka konsep sistem remunerasi khususnya dalam sistem insentif akan diberikan indexpendidikan yang sesuai dengan jenis pekerjaan yang sesuai pula. Misal sarjana pendidikan tetapi bekerja sebagai kepala administrasi kepegawaian tentunya sarjana pendidikan tersebut tidak berlaku. Mengurangi kecepatan kemajuan



Yang dimaksud disini adalah, komponen kinerja akan merupakan ukuran untuk peningkatan upah karyawan. Jadi jika kinerja karyawan tersebut tidak sesuai dengan standar atau target yang telah dicantumkan didalam sistem akuntabilitas karyawan, maka secara otomatis upah akan dibayarkan sesuai dengan pencapaian target karyawan yang bersangkutan. Seringkali pengukuran kinerja malah menjadi menurunkan motivasi mereka yang tidak terbiasa dengan sistem remunerasi yang benar. akibatnya terjadi penurunan kinerja mereka sendiri dan akan berakibat terhadap upah yang akan mereka dapatkan



Peningkatan hubungan kerja upah Kinerja upah jika menggunakan no performance no pay maka akan jelas hubungannya antara kinerja dengan upah karyawan. Barang siapa berkinerja tinggi maka akan mendapat take home pay yang lebih tinggi dibanding karyawan dengan kinerja buruk. Sistem ini lumrah dan umum diberlakukan dalam sistem remunerasi diberbagai perusahaan diberbagai belahan dunia. Karenanya dengan amanat PPK BLU maka diperlukan sistem remunerasi yang memadai dengan konsep ini agar kinerja perusahaan pemerintah dapat diukur dengan baik. Artinya akan terwujud performance baseemployee. Namun budaya perusahaan milik pemerintah saat ini termasuk rumah sakit, masih menganut budaya kebebasan, siapa kuat akan menjadi pemenang. Karenanya sering terjadi kecemburuan sosial diantara kelompok profesi di rumah sakit. Terkesan ada kelompok eksklusif atau kelompok elite di rumah sakit yang memiliki penghasilan yang cukup besar dan didalam rumah sakit itu sendiri terdapat kelompok mediocore yang memiliki penghasilan biasa biasa saja. Hal inilah yang dapat memicu perseteruan yang tidak berujung pangkal dan bahkan telah berlangsung bertahun tahun lamanya. Dan inilah pula yang menyebabkan terjadinya demotivasi kelompok mediocore dalam berkinerja. Rasionalisasi hubungan kerja upah Tiga preposisi yang sering kali mendahului muncul untuk pembenaran : 1. Hubungan kerja upah merupakan motivator efektif karena melayani biaya insentif dan penghargaan SDM sesuai dengan tindakan dan kinerja yang dicapainya 2. Hubungan kerja upah memperjelas pesan kepada karyawan bahwa organisasi membutuhkan karyawan dengan kinerja tinggi 3. Hubungan kerja upah merupakan aset, dan gaji menjadi berhubungan dengan kontribusi masing-masing individu Kriteria kinerja gaji



1.



Individu dan tim harus memiliki sasaran yang jelas dan standar dari kinerja yang diinginkan Disini diamanatkan bahwa setiap karyawan harus menjalankan sistem akuntabilitas atau sistem pengukuran kinerja secara jelas. Dan barang siapa berkinerja tinggi maka secara otomatis akan mendapat insentif yang semakin meningkat.



2.



Harus mampu berada pada jalur kinerja untuk mencapai target dan standar dan mampu mengukur kinerja mereka Kinerja memang harus diukur dengan tepat sebab harga insentif akan sangat ditentukan oleh kinerja karyawan yang bersangkutan. Karenanya sistem akuntabilitas tidak bisa dipisahkan dengan sistem remunerasi.



3.



Mereka harus ada pada posisi mempengaruhi kinerja melalui perubahan, perilaku dan keputusan-keputusan mereka. Seperti telah diulas sebelumnya bahwa kinerja sangat ditentukan oleh kompetensi karyawan. Kompetensi adalah gabungan antara keterampilan atau skill, ilmu pengetahuan atau knowledge dan sikap perilaku karyawan atau attitude. Perilaku sangat menunjang erat kinerja. Sebab keputusan mengenai kinerja baik atau buruk sangat bergantung keputusan individu yang bersangkutan yang akan sangat kuat dipengaruhi oleh attitude mereka.



4.



Mereka harus mengerti penghargaan apa yang mereka dapatkan untuk pencapaian tujuan Perlu keterbukaan dan transparansi, berapa harga dari kinerja yang mereka lakukan. Sehingga mereka akan tahu persisi bahwa jika mereka bekerja dengan baik mereka akan mendapatkan nilai tertentu sesuai dengan hitungan hitungan didalam sistem remunerasi. Disamping mengetahui tatacara dan aturan main yang tertuang didalam sistem remunerasi merekapun harus diberi pengertian bahwa sistem remunerasi akan sangat erat kaitannya dengan kinerja mereka. Dan apa saja kinerja yang mereka harus hasilkan akan tertuang didalam sistem akuntabilitas kinerja karyawan



5.



Penghargaan mengikuti sedekat mungkin dengan layanan yang mereka berikan Disinilah inti sistem remunerasi, artinya penghargaan atau harga yang akan muncul per kinerja seharusnya sesuai dengan pekerjaan yang mereka kerjakan dan sesuai pula dengan pendidikan atau tepatnya kompetensi yang mereka miliki. Khusus untuk RSD PPK-BLUD Sebaiknya harus memulai penempatan tenaga yang tepat sesuai dengan kompetensinya dan mereka harus dihargai sesuai dengan bobot kinerjanya. Tentunya tidak ada lagi tenaga yang tidak sesuai dengan jenis pekerjaan yang akan mereka kerjakan pada masa mendatang.



6.



Penghargaan haruslah menyeluruh



Pemberian insentif maupun bonus haruslah menyebar dan menyeluruh kepada setiap karyawan. Jadi tidak bisa sistem ini hanya berlaku pada kelompok tertentu saja, akan tetapi harus berlaku kepada seluruh individu karyawan pada perusahaan tersebut. Dan seluruh karyawan mengetahui dan dilibatkan didalam penyusunan sistem remunerasi melalui perwakilan perwakilan mereka. 7.



Penghargan haruslah mengena, walaupun tidak mudah untuk dilaksanakan, yang dimaksud disini adalah bagaimana penghargaan bisa enak dan layak diterima oleh penerima penghargaan Hal ini merupakan hal yang paling sulit dilaksanakan oleh para manajer perusahaan. Sebab setiap karyawan akan selalu merasa bahwa, merekalah yang paling baik dan berguna, yang paling berjasa terhadap perusahaan, yang paling penting didalam perusahaan, yang paling berpendidikan tinggi didalam perusahaan, yang paling berpengalaman didalam perusahaan tersebut dan yang paling senior didalam perusahaan.



8. Akibat dari ini mereka menuntut lebih tinggi dari karyawan lain dan lucunya semua karyawan berpendapat dan perpikiran sama akibatnya terjadi tarik menarik yang tidak logis dan tidak masuk akal. Banyak karyawan yang hanya memikirkan dan membayangkan penghasilan seperti boss mereka didalam perusahaan tanpa memikirkan bagaimana meningkatkan kompetensi diri agar kinerjanya bisa meningkat. Akibatnya muncul kecemburuan yang tidak berujung pangkal dan tidak tahu alasan apa yang menyebabkan kecemburuan tersebut terjadi bahkan diri mereka sendiri, yang ada hanyalah rasionalisasi. 9. Penghargaan dasar haruslah dikomunikasikan dan mudah dimengerti Disini tersirat bahwa dalam menyusun sistem insentif haruslah simple dan mudah untuk dimengerti. Jangan berjelimet dengan berbagai teori yang ada yang hanya akan menimbulkan kesalahan persepsi dari seluruh karyawan. BAB IV DAMPAK DARI SISTEM INSENTIF HUBUNGAN KERJA UPAH Berdasarkan survey 74% responden percaya bahwa hubungan kerja upah bisa meningkatkan kinerja. 67% mempercayai bahwa pesan organisasi mengenai kinerja menjadi jelas. 57% percaya bahwa penghargaan yang diberikan cukup adil. Hanya 14 % mengatakan tidak adil. Keuntungan hubungan kerja upah 1. Mampu memotivasi 2. Memberi pesan yang benar



3. Adil dalam penghargaan 4. Memberikan kejelasan pengertian akan penghargaan dan mengenali hasil pencapaian Kerugian hubungan kerja upah 1. Tidak menjamin motivator 2. Harus berdasar pada penilaian dan sulit mengukur kinerja 3. Hubungan kerja upah akan meneyebabkan kenaikan gaji secara cepat 4. Skema hubungan kerja upah sulit dikelola secara baik 5. Hubungan kerja upah akan menjadi kebiasaan untuk menghitung pendapatan 6. hubungan kerja upah dapat menyebabkan penurunan kualitas karena yang dikejar hanya target kuantitatif 7. Hubungan kerja upah lebih bersifat jangka pendek Kriteria untuk menginstalasi dan monitoring 1. Akankah ada skema acuan, atau skema yang ada mampu memotivasi SDM ?. 2. Apakah mungkin menjaga keterbukaan dan metoda pengukuran kinerja yang konsisten? 3. Adakah manajemen berkinerja efektif yang berdasar pada pengukuran dan penilaian kinerja sesuai dengan sasaran? 4. Dapatkah para manajer dilatih secara konsisten dan adil? 5. Apakah penghargaan akan adil dan dikaitkan dengan kinerja yang konsisten? 6. Apakah pendanaannya cukup untuk memberikan penghargaan? 7. Akankah ada skema saat ini atau skema yang akan diajukan yang bisa memuaskan semua kriteria untuk efektifitas kinerja, gaji, sistems, nama, target dan standar ? 8. Apakah skema tersebut memiliki biaya efektif ? Hubungan kemampuan dengan upah 1. Bagaimana dia bekerja Pada bagian ini yang diperlukan adalah analisa yang tepat bagaimana seseorang bekerja apakah dengan menggunakan alat biasa, alat canggih, alat yang berbahaya. Kemudian apakah dikerjakan sendiri, dikerjakan dengan teamwork. Apakah pekerjaan yang memerlukan pemikiran tersendiri, atau pekerjaan yang memerlukan konsentrasi penuh, atau pekerjaan yang hanya fisik saja tidak memerlukan pemikiran yang penuh. Apakah pekerjaan yang memerlukan keputusan berisiko atau tidak. 2. Profil kemampuan / kerangka kerja digunakan sebagai dasar untuk penilaian Penilaian kompetensi karyawan secara detail. Apakah tingkat pendidikannya, bagaimana kemampuan pemikirannya, bagaimana keterampilannya dan apakah keduanya sesuai dengan bentuk dan jenis pekerjaan yang ia tekuni. 3. Mengukur kemampuan



Yang dimaksud disini adalah kemampuan pengendalian diri dan kemampuan mengendalikan emosi. Hal ini untuk mengetahui kecocokannya dengan jenis pekerjaannya misalnya ada karyawan yang senang bekerja berhadapan dengan banyak orang dan ada pula yang tidak. 4. Perbedaan antara kinerja dan kemampuan yang ada kaitannya dengan upah Adakah kemungkinan perbedaan kinerja dengan jenis pekerjaannya. Kalau ada maka perlu penilaian tersendiri agar sistem insentif bisa diterapkan secara adil dan transparan 5. Upah dikaitkan dengan kemampuan Kemampuan dinilai tersendiri berdasarkan pendidikan dan pelatihan khusus yang bersertifikat. Makin tinggi pendidikan maka nilai index akan semakin tinggi. Jadi khusus untuk rumah sakit maka perawat mahir akan lebih tinggi nilai indexnya dibanding perawat biasa, demikian pula karyawan yang memiliki sertifikat pelatihan akan lebih tinggi nilai indexnya dibanding karyawan yang tidak memiliki sertifikat pelatihan yang bersertifikat. 6. Kondisi penting pengenalan gaji yang dihubungkan dengan kemampuan Kondisi yang perlu diciptakan adalah bahwa sistem remunerasi harus jelas mencantumkan kompetensi yang bersangkutan yang akan dinilai berdasarkan indexing. Dan ukuran untuk dilakukan indexing adalah berdasarkan : a. Basic index b. Position index c.Competency index d. Emergency index e. Risk Index f. Performance index 7. Tim berdasarkan penggajian Didalam organisasi rumah sakit maka akan ada tiga kelompok besar yaitu dokter dan non dokter dan direksi. Khusus dokter sistem distribusi insentif ditujukan kepada individu karena dokter adalah individu yang menghasilkan jasa pelayanan di rumah sakit, sedangkan yang sumber dana bisa diatur dalam sistem remunerasi khsusnya sistem insentif adalah yang bersumber dari jasa pelayanan. Sedangkan kelompok non dokter yang menghasilkan jasa lebih bersifat kelompok karena itu sistem distribusi bagi para tenaga non dokter adalah berdasarkan sistem kelompok Sedangkan direksi tidak dilakukan indexing akan tetapi berdasarkan persentase dari sumber insentif.



Keuntungan tim 1. Mendorong efektifitas tim kerja dan perilaku yang kooperatif 2. Memperjelas tujuan dan prioritas tim 3. Menciptakan kerja yang fleksibel 4. Mendorong keterampilan multi 5. Insentif tim kolektif meningkatkan kinerja 6. Mendorong kekuarng efektifan tim untuk meningkatkan pertemuan tim standar Kerugian tim 1. Hanya bisa bekerja pada tim yang matang 2. Secara individual tidak akan mendapat insentif khusus 3. Tekanan group terhadap individu menyebabkan ketidak nyamanan



CONTRIBUTION PAY MATRIX Competence a



Results



B



c



d



A



-



-



2%



3%



B



-



3%



4%



5%



C



2%



4%



6%



8%



D



4%



6%



8%



10%



Matriks kontribusi memperlihatkan beberapa karyawan yang memiliki kompetensi yang berbeda kemudian dimasukkan kedalam tabel masing-masing kompetensi memiliki nilai tertentu yang dapat dikalikan terhadap besaran upah yang akan diterimanya. CARA MENENTUKAN UPAH Perlu difahami bahwa di rumah sakit terdiri dari dua kelompok yang berkaitan dengan pendapatan dan pembiayaan, yaitu kelompok pertama sebagai kelompok Pusat pendapatan atau revenue center, terdiri dari Instalasi Gawat Darurat, rawat jalan, rawat inap, bedah sentral,radiologi, laboratorium dan sejenisnya. Kelompok kedua adalah kelompok pusat biaya atau cost center yaitu direksi, rekam medik, IPSRS, dan penunjang administratif lainnya. Sedangkan dilihat dari sisi profesi SDM, rumah sakit terdiri dari tiga kelompok yaitu kelompok dokter, kelompok paramedik dan kelompok staf atau tenaga struktural. Dua kelompok pertama adalah merupakan kelompok SDM yang menghasilkan uang, sedangkan kelompok terakhir adalah kelompok yang membelanjakan uang. Tujuan pengupahan 1. Membangun image yang baik dari organisasi (Building good image) 2. Menjamin kesejahteraan karyawan (Wellfare) 3. Memberikan motivasi terhadap kinerja karyawan (Motivations) 4. Mempertahankan keberadaan karyawan dalam organisasi (Retaining personel) Sistem Distribusi Insentif Tarif Paket (JKN) Pada 1 Januari tahun 2014 akan diterapkan Jaminan Kesehatan Nasional dengan konsep Universal



coverage



di



Indonesia



sesuai



amanat



UU



SJSN



dan



terbitnya



UU



BadanPenyelenggara Jaminan Sosial BPJS dan dibentuknya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional (BJSN), berdampak terhadap system remunerasi yang tadinya berbasis fee for service menjadi system asuransi.



Untuk menghadapi perubahan mendasar tersebut, maka secara otomatis system remunerasi akan berubah sesuai dengan perubahan kebijakan tersebut. Karenanya diperlukan suatu system yang dapat menjawab bagaimana distribusi insentif di RS. Dalam distribusi insentif JKN, maka dilakukan konversi dari fee for service terhadap jasa paket layanan yang tarifnya berupa paket layanan. Sebagai contoh pemeriksaan di rawat jalan tariff INA CBG’s sebesar Rp 150.000,-. Biaya tersebut adalah biaya untuk keseluruhan pelayanan di Rawat jalan, yaitu untuk biaya operasional RS (Unit cost, Biaya Bahan habis Pakai, Biaya Obat obatan dan Zat kimia, termasuk biaya jasa pelayanan). Jika dikatagorikan menurut konsep pentarifan, maka akan terlihat 2 jenis biaya yaitu : 1. Biaya Sarana prasarana (biaya akomodasi) yang merupakan biaya operasional. 2. Biaya Jasa Pelayanan JKN hanya memberikan satu paket harga atau tariff (INA CBG’s) berupa tariff paket yang berbasis kepada case mixed. Karena itu akan sulit diketahui berapa besaran jasa pelayanan dalam satu kali pelayanan terhadap pasien di Rawat Jalan. Sebagai islustrasi, bahwa Kemenkes telah mencabut ketentuan yang tercantum didalam Jamkesmas dan Askes, bahwa maksimal 44% dari tariff paket dapat diberikan sebagai jasa pelayanan. Dan saat ini tidak ada kejelasan seberapa besar jasa pelayanan yang bisa diberkan kepada para pelaksana pelayanan di RS. Ada beberapa alternative : Alternatif pertama, Direktur mengambil kebijakan internal berupa penetapan besaran jasa pelayanan dalam bentuk persen (%) misalnya ditetapkan 32% dari total klaim yang diterima. adanya kejelasan besaran yang akan dibagikan dalam Strength



bentuk insentif melalui system remunerasi



Weakness







Tidak ada dasar hukum yang melandasi ketetapan tersebut







Manajemen tidak mengetahui apakah biaya operasional sudah terbiayai atau tidak, sehingga ada kemungkinan RS Merugi



Alternatif kedua



Direktur menetapkan besaran jasa pelayanan paket JKN dengan cara total klaim dikurangi dulu dengan biaya operasional, sisanya adalah besaran jasa pelayanan yang dapat dibagi kepada seluruh karyawan, sebagai jasa pelayanan. Strength



 Biaya operasional RS terkontrol dan aman dari kerugian Para karyawan akan merasa tidak puas jika jasa



Weakness



 pelayanan ternyata kecil karena besarnya biaya operasional.



Pengupahan (Remuneration systems) di rumah sakit pada umumnya terdiri dari tiga jenis yaitu: 1. Basic Salary Yaitu dalam bentuk gaji bulanan yang sifatnya biaya tetap atau fixed cost, yang tidak tergantung kepada produk yang dihasilkan, besar atau kecil produk tidak berpengaruh kepada besarnya biaya yang dikeluarkan. Dasar yang digunakan untuk menentukan basic salary adalah : pangkat, golongan, tingkat pendidikan, lama kerja, jabatan dan sebagainya. tujuan dari basic salary adalah untuk keamanan (Safety) artinya sebatas memenuhi kebutuhan dasar seseorang karyawan saja. 2. Incentive Adalah tambahan pendapatan bagi karyawan yang sangat bergantung kepada produk yang dihasilkan, semakin besar produk semakin besar insentif. Dasar yang digunakan bermacam-macam misalnya berdasarkan kinerja karyawan, atau berdasarkan posisi karyawan. Pada umumnya di rumah sakit, dokter spesialis berdasarkan berapa besar tarif jasa pelayanan medik yang melekat kedalam tarif pelayanan medik. Sedangkan paramedik dan tenaga struktural berdasarkan indexing atau scoring. Tujuannya adalah untuk merangsang kinerja dan motivasi karyawan (Motivation). 3. Merit Adalah penghargaan dari organisasi bagi karyawan yang berprestasi, biasanya diberikan pada akhir tahun, atau penghargaan kepada seluruh karyawan dalam bentuk THR. Dasarnya adalah profit margin. Tujuannya adalah untuk memberikan penghargaan kepada karyawan yang berprestasi atau kesejahteraan karyawan (Reward). Menurut Griffin,1997, sebelum menentukan besaran upah diperlukan kontrol yang berorientasi kepada framework keuangan. Pembiayaan diperlukan untuk mendukung visi



dan strategi, perencanaan dan alokasi modal, reorientasi dan review serta penganggaran terhadap insentif karyawan. Pada prinsipnya sebelum menentukan upah diwajibkan untuk mengetahui terlebih dahulu berapa kebutuhan biaya total (Total Financing Requirement) dari mulai biayaoperasional, biaya investasi dan sebagainya, dan didalamnya sudah dianggarkan biaya untuk gaji, insentif dan reward untuk karyawan selama satu tahun. Ada tiga issue penting dalam pengupahan atau insentif terhadap karyawan di rumah sakit yang perlu difahami yaitu : 1. Kewenangan direksi dalam menentukan besaran upah bagi seluruh karyawannya. 2. Menentukan total insentif yang layak bagi karyawan 3. Cara mendistribusikan insentif bagi karyawan Dari ketiga issue diatas, yang paling rawan adalah cara menentukan sistem distribusi pengupahan atau cara distribusi insentif. Karena masing-masing kelompok, baik itu kelompok dokter, perawat maupun tenaga administratif, merasa yang paling berhak dan paling berjasa terhadap pendapatan rumah sakit, akibatnya sering terjadi ketidak seimbangan dalam menentukan besaran insentif bagi masing-masing kelompok yang dapat memicu ketidak puasan disalah-satu fihak. Hubungan Tarif dengan Insentif Seringkali manajemen kurang bisa menentukan Total Financing Requirement rumah sakit, apalagi yang berkaitan dengan insentif. Terutama pada rumah sakit pemerintah, karena masalah tarif yang lebih rendah dibanding biaya satuan. Prinsip penentuan volume insentif haruslah berdasar kepada Total Revenue = Total Cost atau Total Revenue > Total Cost. Sedangkan Total Revenue sangat ditentukan oleh strategi pentarifan (Pricing strategy) dan utilisasi (Quantity) Total Revenue = Activity Driver Quantity X Price, sedangkan Price = unit cost + tingkat inflasbunga bank + profit margin + Uncertainty cost + Jasa Pelayanan dengan pertimbangan WTP dan ATP atau CLS. Masalahnya pada rumah sakit pemerintah tarif lebih kecil dari Unit Cost, akibatnya Total Revenue lebih kecil dibanding Total Cost. Konsekuensinya TFR tidak bisa dipenuhi oleh pendapatan rumah sakit. Akibatnya besaran insentif pada rumah sakit pemerintah akan menjadi masalah yang sulit dipecahkan karena TFR mau tidak mau harus disubsidi. Berdasarkan sistem insentif semakin tinggi produksi semakin tinggi volume insentif akan tetapi pada rumah sakit pemerintah semakin tinggi produk semakin besar kerugian. Berbeda dengan rumah sakit swasta yang dapat menentukan tarif diatas unit cost sehingga penentuan volume insentif relatif lebih mudah. Teknik Distribusi Insentif



Bagi rumah sakit pemerintah gaji sudah ditentukan oleh peraturan pemerintah artianya basic salary telah ditentukan bahkan didalamnya sudah tercantum tunjangantunjangan. Sedangkan hampir disemua rumah sakit pemerintah volume insentif dialokasikan dari jasa medik atau jasa pelayanan. Karena komponen tarif rumah sakit pemerintah terdiri dari dua komponen yaitu komponen akomodasi dan komponen jasa pelayanan, jasa pelayanan inilah yang merupakan sumber dana insentif dan diatur pendistribusiannya. Setiap rumah sakit pemerintah yang satu dengan yang lainnya tentunya sangat beragam bergantung dari kebijakan distribusi yang dianut, dan pada beberapa rumah sakit swasta ada yang sama atau mirip dengan sistem distribusi insentif di rumah sakit pemerintah. Konsep distribusi sebaiknya berdasarkan kinerja sesuai dengan teori dari sistem pengupahan yang dikaitkan dengan kinerja karyawan (Fee for performance) dan sebaiknya tidak menganut fee for service . jadi dasarnya adalah kinerja karyawan. Khusus bagi rumah sakit pemerintah insentif dokter spesialis atau siapapun di rumah sakit yang langsung bisa menghasilkan uang ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama yaitu dalam bentuk persentase dari yang dihasilkannya. Misal tarif operasi appendiks Rp 2000.000,- yang terdiri dari Rp 600.000,- jasa pelayanan operator, 200.000 jasa anaestesi dan sisanya Rp 1.200.000,- adalah biaya kamar operasi dan obat-obatan. Maka perlu disepakati berapa persen jasa bagi dokter spesialis bedahnya atau operator, misalnya didapatkan komitmen bahwa setiap yang menghasilkan uang berdasarkan ketentuan jasa pelayanan menerima 50% dari jasa pelayanan atau jasa medik. Sisanya 10 % untuk direksi 5% untuk pejabat structural dan fungsional yang tidak menghasilkan uang 5% untuk seluruh karyawan yang tidak memiliki jabatan dan 30% untuk didistribusikan keseluruh karyawan maupun berdasarkan scoring index. Jadi dokter dan direksi sebaiknya tidak berdasarkan scoring akan tetapi sesuai dengan kinerja atau besarnya jasa pelayanan atau jasa medik yang dihasilkan. Makin besar produk operasi yang dilakukan oleh dokter yang bersangkutan maka semakin besar pendapatannya atau jasa pelayanannya, dengan prinsip ini maka setiap yang menghasilkan uang akan berkontribusi kepada jasa pelayanan untuk berbagi kepada seluruh karyawan. Konsep distribusi bagi tenaga non dokter dan staff direksi Berdasarkan indexing yang akan menghasilkan score tertentu dan dasarnya adalah kinerja. Cara perhitungannya adalah berdasar kepada : 1. Besarnya gaji pokokPosisi atau jabatan 2. Pendidikan yang ada kaitannya dengan pelayanan 3. Emergensi 4. Resiko 5. Kinerja



Selanjutnya ditentukan indeks bagi masing masing dasar perhitungan tersebut, kemudian tentukan bobotnya dan pada akhirnya kalikan index dengan bobot maka akan didapat nilai atau score karyawan. Score seorang karyawan dibagi total score dikalikan dengan total volume insentif sama dengan jumlah insentif karyawan yang bersangkutan. Alat Bantu Indexing Perorangan



Nama Jabata



:



n



:



Gaji Pokok



:



No



1.



Object



Index Rating Score (Indeks X Bobot)



GAJI



1



Setiap Rp 500.000 nilai indeks = 1 2.



COMPETENCY 1 a. SD 2 b. SMP 3 c. SMU 4 d. D1 5



3



e. D3 6 f. D4/S1 7 g. Dokter/Apoteker/Nurse 8 h. S2 9 i. Dokter Spesialis 10 j. S3 3.



RISK a. Grade I b. Grade II



1 2



c. Grade III d. Grade IV



4 6



3



4.



EMERGENCY a. Grade I b. Grade II



1 2



c. Grade III d. Grade IV POSITION a. Fungsional, tidak memiliki



4 6



jabatan



1



3 5.



Ruangan,



Kepala



b. Kepala Seksi,



sub bagian, sub bidang, 2 3



bendahara c. Kepala Bidang, Bagian, Instalasi, SMF Keperawata SPI d. Ketua Komite Medik, Komite n



,



4 Wakil 6



Direktur 8 e. Direktur PERFORMANCE



6.



Adalah 2 kali nilai basic index



4



SKORE TOTAL INDIVIDU Alat Bantu Indexing Total Rumah Sakit No



NAMA



UNIT



INDIVIDUAL INDEXING



SCORE



KERJA BI



1 2 3 4



PI



CI



EI



RI



Per.I



5 6 7 8



9



TOTAL HOSPITAL INDEXING



16.800



Contoh : Mr Molotova dengan total score 120, dimana score performance adalah 40 Jika volume insentif dalam bulan tersebut Rp 200.000.000,- sedangkan SKORE TOTAL RS = 16.800 poin, maka insentif Drs Boma Molotova pada bulan tersebut adalah Score Total Individu – (performance X Score performance) Insentif =



-----------------------------------------------------------------



X



Dana



Pos



Remunerasi Score Total Seluruh karyawan Basic Index Basic index khusus bagi RSD PPK-BLUD dapat ditetapkan sesuai dengan gaji pokok PNS sedangkan bagi tenaga honorer disetarakan perhitungannya dengan PNS. Setiap nilai Rp 500.000 maka sama dengan 1 (satu) nilai index. Jadi nilai index seorang pegawai dengan gaji pokok Rp 2000.000,- akan mendapat nilai index sebesar 4 (empat).



Pegawai honorer lulusan SMA dan telah bekerja selama 4 (empat) tahun dapat disesuaikan dengan gaji pokok PNS lulusan SMA dengan masa kerja 4 (empat) Tahun. Persamaan ini hanya untuk menentukan nilai basic index karyawan honorer. Jika ada pegawai PNS pindahan dan baru bekerja di RS, maka tetap gaji pokoknya dihitung sesuai dengan gaji pokok PNS yang bersangkutan. Position Index Merupakan penilaian



harga terhadap jabatan atau posisi pegawai



tidak



membedakan antara PNS dan Non PNS. Untuk memudahkan maka dibuat suatu nilai awal atau nilai harga jenis jabatan seluruh pejabat baik struktural maupun fungsional di RS. Jabatan



Nilai



Direktur/Direktur Utama



8



Wakil Direktur, Ketua Komite Medik, Komite Keperawatan, SPI,



6



Kepala Bidang, Kepala Bagian, Kepala Instalasi,



4



Kepala Sub-bidang, Kepala Sub-bagian, Kepala Ruangan, Panitia Panitia



2



Fungsional (tidak memiliki jabatan)



1



Competensi Index Adalah penilaian harga kompetensi karyawan yang diukur melalui tingkatan pendidikan yang sesuai dengan jenis pekerjaan. Hal ini penting karena banyak yang berpendidikan tinggi akan tetapi tidak pada jenis pekerjasan yang sesuai. Seorang kepala ruangan adalah sarjana S1 Pendidikan, sedangkan pendidikan dasarnya adalah seorang D3 Keperawatan, maka yang akan dihitung kompetensi tenaga yang bersangkutan adalah D3 Keperawatan, demikian pula dengan tenaga tenaga lain. Kompetensi berdasarkan pendidikan harus ditentukan nilai harga awalnya untuk memastikan bahwa nilai tersebut adalah nilai harga awal bagi tenaga dengan kompetensi tertentu, namun nilai harga awal ini akan menjadi tidak berarti manakala mereka menduduki jabatan yang tidak sesuai dengan pendidikannya. Setiap seorang memiliki keahlian tertentu yang didapat dari pendidikan pelatihan yang bersertifikat. Misalnya pelatihan PPGD dihitung berdasarkan lamanya pelatihan Nilai Kompetensi sebagai nilai harga awal Hari Pelatihan SD dan sederajat



Nilai 1



SMP dan sederajat



2



SMU dan sederajat



3



D1 dan sederajat



4



D3 dan sederajat



5



S1/D4



6



Dokter, apoteker. Nurse



7



S2



8



Spesialis



9



S3



10



Nilai harga pelatihan sebagai nilai harga tambahan Hari Pelatihan



Nilai



2 s/d 7 hari



0,2



8 s/d 14 Hari



0,4



15 s/d 30 hari



0,6



31 s/d 120 hari



0,8



121 s/d 180 hari



1



Emergency Index Adalah nilai harga untuk tenaga tenaga atau karyawan yang bekerja pada daerah emergensi yang setiap saat harus siap melaksanakan tugas tanpa mengenal batas waktu. Tingkatan emergensi sangat bergantung kepada jenis pekerjaan yang dilaksanakan oleh pegawai bersangkutan. Tingkatan Emergensi Tingkat Emergensi Grade I -Administrasi perkantoran Tingkat Emergency Grade II -Administrasi maupun keuangan yang



Nilai 1



bekerja di unit pelayanan -Gizi, laundry



2



-Farmasi -Rawat Jalan -CSSD -Laboratorium non shift Tingkat Emergensi Grade III -Rawat Inap -Radiologi



3



-Laboratorium Tingkat Emergensi Grade IV -Bedah Central -ICU,ICCU,NICU



4



-IGD



Risk Index Adalah penilaian harga resiko yang harus ditanggung oleh tenaga tenaga atau pegawai yang bekerja di suatu unit tertentu Yang dimaksud resiko disini adalah resiko yang berkaitan dengan penyakit yang setiap saat akan mengenai diri karyawan yang bersangkutan. Sudah berbuat sesuai dengan standar proteksipun mereka akan tetap terkena resiko tersebut. Resiko lainnya adalah resiko fisik, resiko lain lainnya. Akan tetapi resiko kehilangan uang atau barang tidak masuk kedalam katagori resiko disini. Penilaian harga resiko Tingkatan Resiko Tingkat Resiko Grade I



Nilai 1



-Administrasi perkantoran Tingkat Resiko Grade II -Administrasi maupun keuangan yang Bekerja di unit pelayanan -Gizi -Farmasi -Gigi & Mulut



2



Tingkat Resiko Grade III -Rawat Inap -Laboratorium Klinik



3



-Laboratorium Patologi Anatomi -CSSD Tingkat Resiko Grade IV -Bedah Central -ICU,ICCU,NICU



4



-IGD -Radiology -Laundry - IPAL



Performance Index Adalah penilaian harga tingkat kinerja berdasarkan sistem akuntabilitas yang telah ditentukan berdasarkan hasil kinerja karyawan yang bersangkutan. Nilai kinerja ini memiliki nilai 2 (dua) kali lipat dari basic index. Dengan demikian sistem remunerasi akan berbasis kinerja dimana perbandingan antara Kinerja dan yang bukan kinerja 50 berbanding 50. Khusus penilaian kinerja akan dibahas dalam pokok bahasan kinerja. Dimana setiap orang atau setiap karyawan harus memiliki indikator keberhasoilan kinerja dan target atau standar kinerja yang telah ditetapkan didalam sistem akuntabilitas (accountability system). Kemudian hasil kinerja akan diukur secara periodik setiap bulan.



BAB V PENGERTIAN MANAJEMEN KINERJA Manajemen kinerja adalah proses alami dari manajemen, bukan sebuah sistem atau teknik. Manajemen kinerja juga berkaitan dengan pengelolaan konteks bisnis (lingkungan



internal dan eksternal organisasi). Hal ini lebih lanjut akan mempengaruhi bagaimana mengembangkan, bagaimana menata, apa yang akan dilakukan dan bagaimana operasionalisasi organisasi. Manajemen kinerja merupakan langkah lebih lanjut dari rencana strategik dalam strategic management system. Manajemen kinerja itu sendiri meliputi penetapan akuntabilitas dan penerapan perencanaan (establish accountability), evaluasi, pelaksanaan pemantauan serta umpan balik (monitor implementations and provide feed back). Manajemen kinerja adalah suatu pendekatan strategis dan terpadu untuk mendukung keberhasilan organisasi melalui perbaikan kinerja dari semua orang yang bekerja, dengan cara pengembangan kompetensi tim serta kontribusi individu. Manajemen kinerja berkaitan dengan setiap orang yang ada dalam organisasi, bukan saja manajer, tetapi merupakan tanggung jawab seluruhnya, baik manajer maupun anggota organisasi yang lain. Secara singkat, praktek terbaik dari proses manajemen kinerja adalah bagian dari suatu keseluruhan (part of a holistic). Manajemen kinerja menurut Michael Armstrong dan Angela Baron (1998) adalah suatu Strategi dan pendekatan terpadu yang mendukung kesuksesan suatu organisasi melalui suatu peningkatan kinerja dalam organisasi dengan mengembangkan kemampuan tim serta kontribusi dari individu. Menurut Flacky (1987) manajemen kinerja adalah komunikasi seorang manajer dengan pekerja sampai terjadi pemahaman bersama tentang pekerjaan apa yang diselesaikan, bagaimana pekerjaan itu diselesaikan dan bagaimana kemajuan pekerjaan terhadap hasil yang diinginkan. Selanjutnya Flacky berpendapat bahwa manajemen kinerja adalah seperti payung yang di dalamnya termasuk perencanaan kinerja, telaahan (review) kinerja dan penilaian kinerja. Sebagaimana diuraikan di atas pembentukan akuntabilitas dalam manajemen strategik merupakan hal yang penting, terutama bagi instansi pemerintah yang harus mempertanggung-jawabkannya kepada publik, seperti yang telah ditetapkan dalam INPRES Nomor 7 Tahun 1999 tentang akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. Akuntabilitas kinerja adalah perwujudan kewajiban suatu instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan/kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui alat pertanggung jawaban secara periodik. Akuntabilitas kinerja pada hakekatnya merupakan sinergi dari akuntabilitas manajerial, akuntabilitas kegiatan dan program yang saling mendukung dan saling terkait satu sama lain. Akuntabilitas manajerial menitikberatkan pada efisiensi dan kehematan dalam penggunaan harta kekayaan, sumber daya manusia dan sumber-sumber daya lainnya. Akuntabilitas ini mempersyaratkan agar pegawai dan pejabat tidak hanya menjawab yang berkaitan dengan peraturan yang ada, akan tetapi juga untuk menetapkan suatu



proses



yang



berkelanjutan



seperti



perencanaan



dan



penganggaran,



sehingga



memungkinkan penyelenggaraan pelayanan terbaik. Proses akuntabilitas menitik beratkan pada apakah kebijakan dan kegiatan mendukung pencapaian misi organisasi. Sedangkan akuntabilitas program pada dasarnya memberikan perhatian yang besar pada pencapaian hasil kegiatan organisasi/pemerintah. Dalam hal ini, seluruh aparat dipandang berkemampuan untuk menjawab pencapaian hasil yang berawal dari misi organisasi, bukan hanya sekedar kepatuhan terhadap kebutuhan hierarkhi dan prosedur. Tujuan sistem akuntabilitas kinerja organisasi adalah  Untuk mendorong terciptanya akuntabilitas kinerja organisasi sebagai salah satu prasyarat untuk terciptanya organisasi yang baik dan terpercaya. sasaran sistem akuntabilitas kinerja organisasi adalah terwujudnya transparansi organisasi;  terwujudnya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan nasional;  terpeliharanya kepercayaaan masyarakat kepada organisasi. Terukurnya kinerja karya.Pelaksanaan strategi organisasi yang sudah dirumuskan harus terencana jelas dan spesifik, bisa dalam bentuk rencana strategis, business plan atau Strategic action plan, siapa yang harus melaksanakan dan diminta pertanggung jawabannya, sehingga terlihat keterpaduan harmonis antara responsibiltas dan akuntabilitas.



Manajemen Strategis dan Akuntabilitas Hal yang sangat penting dalam penerapan sistem akuntabilitas adalah perlu kelengkapan perencanaan strategis karena sistem akuntabilitas merupakan salahsatu perangkat dalam manajemen strategis. Dokumen yang harus dimiliki oleh organisasi adalah rencana strategis (Strategic planning) atau rencana bisnis (Corporate business plan) sedangkan setiap pejabat baik struktural maupun fungsional harus memiliki rencana aksi strategis (Strategicaction plan) dan rencana bisnis (Business plan unit kerja). Rencana bisnis organisasi akan dijabarkan oleh masing-masing pejabat didalam organisasi tersebut, dan rencana bisnis tersebut memiliki thema-thema atau target-target yang harus dicapai oleh organisasi, sebaiknya menggunakan pendekatan Balanced scorecard, yang terdiri dari empat perspektif yaitu, pembelajaran dan pengembangan SDM, proses usaha, kepuasan pelanggan dan perspektif keuangan. Target-target strategis dengan perspektif-perspektif inilah yang harus dijabarkan dan dicapai oleh pejabat struktural maupun pejabat fungsional kedalam strategi masing masing unit. Rencana Aksi Strategis Karena itu setiap pejabat struktural yang tidak menghasilkan uang atau cost center harus memiliki strategi unit kerjanya masing-masing dalam bentuk rencana aksi strategis atau strategic action plan. Didalamnya terdiri dari visi, misi dan value unit kerja, tujuan, sasaran,target dan strategi unit kerja. Sasaran satrategi dijabarkan kedalam bentuk program dan selanjutnya program dijabarkan kedalam bentuk kegiatan. Kegiatan inilah yang akan diukur keberhasilannya melalui sistem monitoring dan evaluasi yang merupakan akuntabilitas pejabat yang bersangkutan terhadap jabatannya. Jadi jika pejabat yang bersangkutan tidak memiliki strategic action plan maka akan sangat sulit mengukur kinerja atau kegiatan pejabat yang bersangkutan karena yang diukur bisa saja hanya kegiatan rutin mereka. Rencana Bisnis Agak berbeda dengan rencana aksi strategis, rencana bisnis unit kerja atau businessplan unit kerja harus dimiliki oleh para pejabat yang berkerja pada unit kerja yangmenghasilkan uang. Para pejabat tersebut perlu menganalisa produk dan pasar dalam menyusun strategi bisnisnya. Dokumen rencana bisnis ini berisi, visi, misi dan value unit kerja, analisa produk dan pasar, prediksi permintaan pasar dan prediksi pembiayaan dan pendapatan, tujuan, sasaran, dan strategi unit kerja. Sasaran strategi dijabarkan kedalam program dan program dijabarkan kedalam bentuk kegiatan-kegiatan. Kegiatan inilah yang akan diukur keberhasilannya dan dari hasil pengukuran kegiatan akan bisa diukur keberhasilan program dan pada akhirnya dapat diukur keberhasilan unit kerja tersebut dalam melaksanakan misi unit kerjanya.



Dari gambaran diatas bisa dilihat bahwa strategi organisasi bisa dicapai jika setiap unit kerja memiliki strategi untuk mencapai sasaran atau thema-thema organisasi. Dan jika ini diterapkan maka konsep strategi berdasarkan balanced scorecard bisa diaplikasikan dengan lebih mudah. Pengukuran Kinerja Pengukuran kinerja merupakan suatu alat manajemen untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas. Hal ini membutuhkan artikulasi yang jelas mengenai suatu misi organisasi dan mengenai tujuan dan sasaran yang dapat diukur, dan berhubungan dengan hasil program, berdasarkan hasil pengukuran kegiatan-kegiatan. Untuk mencapai pengukuran kinerja yang obyektif, akurat dan terpercaya ada enam hal yang perlu dilakukan yaitu penetapan indikator kinerja, penetapan kriteria, penetapan standar kinerja atau target, pengumpulan data kinerja, pengukuran kinerja dan evaluasi pengukuran kinerja. Indikator Kinerja Indikator kinerja adalah sesuatu yang akan dihitung dan diukur. Dalam menetapkan alat ukur kinerja (indikator kinerja), harus dapat diidentifikasikan suatu bentuk pengukuran yang akan menilai output dan outcome yang diperoleh dari kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan. Indikator kinerja ini digunakan untuk meyakinkan bahwa kinerja hari demi hari personil organisasi membuat kemajuan menuju tujuan dan sasaran dalam perencanaan strategis. Indikator merupakan variabel ukuran atau tolok ukur yang dapat menunjukkan indikasiindikasi terjadinya perubahan tertentu. Indikator yang baik haruslah sensitif dan juga spesifik. Di rumah sakit sesungguhnya sudah ada indikator-indikator pelayanan dan kegiatan, misalnya rekam medik yang sebenarnya merupakan indikator untuk melihat apakah pelayanan medis dokter dan asuhan keperawatan dilaksanakan, format laporan rumah sakit juga merupakan indikator kinerja rumah sakit, misalnya BOR, LOS, TOI, NDR, GDR dll, namun hanya merupakan indikator output yang tujuannya mengetahui sejauhmana pemanfaatan tempat tidur, sejauhmana lama perawatan rata-rata di rumah sakit, berapa lama tempat tidur kosong, berapa besar kematian pasien diatas 48 jam dan berapa besar kematian pasien dibawah 48 jam. Indikator-indikator ini berguna untuk melihat kinerja rumah sakit secara umum. Namun hal ini tidak cukup, karena masih banyak kegiatan lain yang perlu dipantau secara berkesinambungan. Sayangnya indikator indikator ini jarang digunakan sebagaimana mestinya termasuk bagaimana mekanisme pemanfaatan indikator-indikator ini sebagai alat untuk melakukan antisipasi dalam bentuk perubahan, perbaikan, pengamanan dan perencanaan kedepan.



Yang terjadi saat ini, para manajer rumah sakit hanya mengetahui adanya perubahan atau penyimpangan dari standar setelah terjadi (Output) namun belum memanfaatkan indikator input, proses, outcome, benefit dan impact untuk mengetahui lebih dini bahaya-bahaya manajemen apa yang sedang dihadapi dan dampak apa yang akan terjadi akibat pelayanan di rumah sakit. Karenanya sering terjadi tuntutan hukum akibat ketidak puasan pelanggan terhadap pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit. hal ini disebabkan oleh keterlambatan pengambilan keputusan karena hanya melihat indikator output saja. Apalagi jika indikator yang ada tidak pernah menjadi bahan dasar (Evidance based) untuk pengambilan keputusan masa mendatang. Ada hal yang sangat penting tetapi belum merupakan kebutuhan, yaitu belum membudayanya mekanisme akuntabilitas seseorang dalam melaksanakan tugasnya. Padahal akuntabilitas ini sangat penting artinya untuk mengetahui kinerja sebenarnya dari pemberi pelayanan (Provider) apakah ia berprofesi dokter, perawat, manager atau tenaga administrasi lainnya. Akuntabilitas sangat erat kaitannya dengan indikator dan standar. Lemahnya budaya akuntabilitas dapat menjebak profesi kearah rutinitas yang menyebabkan hilangnya inovasi-inovasi Peter Drucker. Akibatnya kesalahan-kesalahan dan kekeliruan pelayanan yang telah dan sedang terjadi malah menjadi hal yang rutin dan biasa, sehingga rasa bersalah akan semakin hilang (Lost of guilty feeling), dan hal ini sudah berlangsung bertahun-tahun lamanya, sehingga mendarah daging dalam diri para provider. Indikator terdiri dari : 1. Input Yang dapat mengukur perubahan pada bahan, alat, sistem, prosedur atau orang yang memberikan pelayanan, misalnya jumlah dokter yang memberikan pelayanan, kelengkapan peralatan yang sesuai standar, adanya prosedur tetap dll. 2. Proses Yang dapat mengukur perubahan pada saat pelayanan, misalnya pelayanan yang sesuai dengan prosedur tetap, pelayanan dengan senyum, kecepatan pelayanan dll. 3. Output Yang dapat menjadi tolok ukur perubahan pada hasil yang dicapai, misalnya jumlah pasien yang dioperasi, jumlah pasien poli yang terlayani, kebersihan ruangan dll. 4. Outcome Yang dapat menjadi tolok ukur perubahan pada perilaku pelanggan akibat hasil pelayanan misalnya kejadian infeksi nosokomial, keluhan pelanggan, kepuasan pelanggan dll. 5. Benefit



Yang dapat menjadi tolok ukur indikasi perubahan pada keuntungan baik dari fihak pemberi pelayanan maupun penerima pelayanan, biaya pelayanan yang lebih murah, meningkatnya pendapatan dll 6. Impact Yang dapat menjadi tolok ukur adanya indikasi perubahan pada jangka panjang dan berpengaruh kepada organisasi atau masyarakat luas. Misalnya menurunnya angka kematian



ibu,



meningkatnya



derajat



kesehatan



masyarakat,



meningkatnya



kesejahteraan karyawan dll. Dalam menetapkan indikator kinerja terdapat 3 hal pokok yaitu: 1. Penetapan awal indikator kinerja dan data awal. a. Bagi organisasi atau pemerintah yang baru pertama kali membuat pengukuran kinerja dapat mengikuti langkah-langkah umum sebagai berikut: b. Teliti tugas pokok dan fungsi organisasi c. Teliti tujuan kebijakan dan program-program yang ada d. Teliti sasaran program, sasaran pelaksanaan tugas dan target-target yang ditetapkan instansi yang lebih tinggi e. Buat daftar indikator input, proses, output, outcome, benefit dan impact. f.



Pilih indikator-indikator yang paling mengena.



2. Pengembangan indikator kinerja Suatu indikator kinerja bagi suatu organisasi harus dikembangkan terus menerus. Ada kemungkinan indikator yang ditetapkan pertama kali ternyata banyak kelemahannya. Untuk itu perlu penyempurnaan-penyempurnaan. Suatu indikator kinerja



yang



sudah



ditetapkan



dan



dipakai



harus



dievaluasi



dampak



penggunaannya. Hal ini penting untuk dilakukan, karena pengukuran kinerja dalam perjalanannya dapat menimbulkan ekses-ekses negatif, jika penetapannya tidak tetap. 3. Penggunaan manajemen berorientasi hasil Penetapan indikator kinerja akan sangat penting dalam kaitannya dengan cara-cara manajemen melaksanakan tugas-tugas organisasi yang berorientasikan kepada hasil. Yang paling utama adalah penetapan indikator outcome, pengukuran, dan analisis atau evaluasi hasil pengukurannya. Ini bukan berarti, pengukuran kinerja dengan menggunakan indikator input dan proses tidak berguna, akan tetapi bagaimanapun yang harus diutamakan adalah pengukuran kinerja berdasarkan ukuran-ukuran yang menggambarkan pencapaian hasil. Nilai atau karakteristik tertentu yang digunakan untuk mengukur/menghitung indikator kinerja dapat dinyatakan dalam: unit sumber daya, unit produk saja, hasil,



outcome, nilai yang dikumpulkan, mutu, ketepatan, keakuratan, cakupan, pilihan, biaya, aset, produktivitas, frekuensi, dan lain-lain. Sekali pemilihan indikator-indikator telah ditetapkan, maka sudah harus ditekankan bahwa semua unsur dalam organisasi harus komit terhadap pemakaian indikatorindikator ini untuk pengukuran pencapaian hasil. Pemilihan suatu indikator mungkin saja melibatkan faktor politis, akan tetapi sejauh mungkin harus dilakukan secara logis, sesuai dengan permasalahan yang ada dan sumber daya yang tersedia Kriteria Merupakan spesifikasi dari indikator, misalnya keberhasilan peningkatan mutu pelayanan, yang menunjukkan mutu sangat baik, baik, sedang, kurang dan buruk. Atau keberhasilan pendapatan, tinggi sedang, rendah. Atau spesifik terhadap kepuasan pelanggan. Jadi kriteria merupakan ciri khas tentang apa yang dinginkan untuk diukur atau diketahui adanya perubahan/penyimpangan dari standar yang telah ditentukan. Penetapan Standar Kinerja Standar kinerja adalah pernyataan dari suatu kondisi yang ada ketika pekerjaan dilakukan secara efektif. Standar kinerja dapat merupakan ukuran tingkat yang diharapkan yang dinyatakan dalam suatu pernyataan kuantitatif. Standar kinerja dapat bersumber dari peraturan perundang-undangan, keputusan manajemen, pendapat para ahli, atau atas dasar pengalaman tahun-tahun sebelumnya, dan harus diperhatikan : 1.



Identifikasi pelanggan yang jelas.



2.



Melakukan survei jenis dan mutu pelayanan yang diinginkan secara periodik.



3.



Penyediaan kotak pengaduan/saran serta menerima keluhan pelanggan.



4.



Menyediakan informasi pelayanan yang mudah diakses pelanggan.



5.



Penetapan jangka waktu pelayanan maksimum (keadaan normal)



6.



Usaha-usaha perbaikan garis depan (front line)



Pemahaman standar adalah tingkat performans (Performance level) atau keadaan yang dapat diterima oleh seorang yang berwenang dalam situasi tersebut, atau oleh mereka yang bertanggung jawab untuk mempertahankan tingkat performans atau kondisi tersebut. 1.



Suatu norma atau persetujuan/kesepakatan mengenai keadaan atau prestasi yang sangat baik;



2.



Suatu ukuran atau patokan untuk mengukur kuantitas, berat, nilai atau mutu;



3.



Standar dapat ditentukan berdasarkan, ketentuan yang ada misalnya dari standar pelayanan rumah sakit, standar profesi kedokteran, standar akreditasi, atau standar lain baik nasional maupun internasional, atau jika tidak ditemukan



standar yang dinginkan, maka dapat dibuat standar lokal yang disepakati bersama. Pengumpulan Data Kinerja Pengumpulan Data Kinerja adalah proses pengumpulan dan pengolahan data atas indikator-indikator kinerja yang telah ditetapkan. Pengumpulan data dapat dilakukan secara periodik melalui formulir kendali mutu, laporan bulanan, hasil survei/sensus, konsultasi dan koordinasi dengan instansi terkait. Pengukuran Kinerja Tujuan dan sasaran jangka panjang yang sedang dicoba untuk dicapai, dinilai dengan menelaah (review) kemajuan indikator kinerja. Sekali rencana strategis organisasi menetapkan tujuan dan sasaran jangka panjang, organisasi harus menyiapkan rencana kinerja tahunan yang akan memperlihatkan kemajuan yang akan dibuat. Dengan perkataan lain,



pengukuran



kinerja



merupakan



alat



manajemen



untuk



meningkatkan



mutu



pengambilan keputusan dan akuntabilitas. Pengukuran kinerja digunakan pula untuk menilai pertanggungjawaban pencapaian tujuan dan sasaran program. Unsur-unsur kunci sistem pengukuran kinerja organisasi meliputi: a. perencanaan dan penetapan tujuan; b. pengembangan pengukuran yang relevan c. pelaporan hasil-hasil secara formal d. penggunaan informasi Cara pengukuran kinerja menurut INPRES Nomor 7 tahun 1999 dan James Whithaker (1993) pada dasarnya dapat dilakukan sebagai berikut. Perbandingan antara kinerja nyata dengan kinerja yang direncanakan. 1.



Perbandingan antara kinerja nyata dengan hasil (sasaran) yang diharapkan.



2.



Perbandingan antara kinerja nyata tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya.



3.



Perbandingan kinerja nyata dengan kinerja instansi-instansi lain yang unggul di bidang-nya atau dengan sektor swasta.



4.



Kecenderungan (trend) data kinerja untuk tahun-tahun dalam rencana lima tahunan yang berjalan.



Suatu angka atau pernyataan mengenai kinerja hanya mempunyai arti jika digunakan untuk mengidentifikasikan kesenjangan antara tingkat kinerja nyata dari organisasi dengan tingkat kinerja yang diidentifikasikan sebagai tujuannya.



Evaluasi, Pemantauan dan Umpan Balik (Feed Back) Di dalam evaluasi hasil pengukuran kinerja dikemukakan penilaian dan penjelasan pencapaian tujuan kinerja. Di samping itu perlu dikemukakan analisis dan sebab-sebab tercapai/tidak tercapainya tujuan/sasaran. Dalam bagian ini perlu juga dikemukakan hambatan-hambatan yang ditemukan dalam pelaksanaan kegiatan. Evaluasi Pengukuran Kinerja Evaluasi pengukuran kinerja perlu dilakukan untuk kepentingan para pengambil keputusan dan pembuat kebijakan. Perhitungan-perhitungan dan pengukuran yang banyak dan rumit tidak akan berguna kalau tidak dievaluasi secara memadai. Evaluasi hendaknya ditekankan pada analisis hasil pengukuran kinerja, sehingga dari hasil analisis tersebut dapat disajikan informasi yang berguna bagi pengambil keputusan. Teknik analisis Analisis dapat dilakukan secara berjenjang sesuai dengan tanggung jawab dan wewenang suatu satuan kerja instansi pemerintah/organisasi. Analisis ini akan memberikan jawaban tentang tindakan-tindakan apa yang diperlukan untuk memperbaiki kinerja. Pembobotan setiap indikator yang disajikan Setelah dilakukan pembandingan antara kinerja nyata dengan kinerja yang diinginkan, akan diperoleh kesenjangan (gap) baik positif maupun negatif. Untuk dapat menilai apakah suatu satuan kerja/organisasi telah mencapai tingkat keberhasilan tertentu, perlu dilakukan pembobotan atas setiap indikator. Keberhasilan pencapaian hasil akan diperoleh dari perkalian capaian setiap sasaran dengan bobot setiap indikator. Umpan Balik Hasil evaluasi dan pemantauan digunakan sebagai umpan balik untuk tindakan koreksi atau penyempurnaan misi, tujuan dan sasaran serta strategi organisasi. Umpan balik merupakan sebagian dari proses evaluasi, oleh karena itu umpan balik merupakan penyampaian masukan (Feedback) berdasarkan informasi atau laporan pelaksanaan suatu rencana serta proses penyesuaian pelaksanaan rencana untuk masa yang akan datang berdasarkan pelaksanaan di masa yang lalu yang tidak sesuai denga standar yang telah ditentukan. Proses umpan balik merupakan salah satu mata rantai dari berbagai faktor penentu kebijakan. Memberikan umpan balik berdasarkan fakta adalah bagian penting dalam diskusi kinerja dan pengembangan. Tujuan umpan balik adalah meningkatkan pemahaman agar dapat mengambil tindakan yang tepat. Tindakan dapat bersifat korektif mewujudkan adanya



sesuatu yang tidak beres atau bersifat korektif dalam memanfaatkan peluang yang berdasar umpan balik tersebut. Dalam hal ini umpan balik merupakan penguatan dan dapat memberikan intuisi yang kuat. Menurut Michael Armstrong dan Angela Baron (1998) umpan balik 360 derajat yang banyak diterapkan, yakni pengumpulan data kinerja secara sistematik yang diberikan oleh pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) kepada perorangan atau kelompok. Penggunaan umpan balik 360 derajat antara lain adalah: 1. untuk mendukung pembelajaran dan pengembangan manajemen; 2. untuk mendukung proses human resources seperti penilaian dan resourcing andsuccession planning; 3. untuk mendukung keputusan pembayaran. Metodologi umpan balik 360 derajat dilakukan melalui kuesioner, rating, memperoleh data, saran tanggapan dan tindakan. Umpan balik 360 derajat dilakukan karena keprakstisannya, sesuai dengan organisasi dan hierarkhi, membantu manajer yang terbatas pengetahuannya dan merefleksikan nilai-nilai untuk masukan dalam manajemen kinerja. Peran Komite Medik Komite medik sebagai penanggung jawab mutu pelayanan medik berperan sebagai pengendali mutu pelayanan medik di RS. Hal ini sesuai dengan tugas dan fungsi Komite Medik yaitu : Tugas ktur untuk menyusun standar pelayanan dan memantau pelaksanaan pelayaan.  M e m b a nt u D ir e



 Memantau pelaksanaan tugas tenaga medis dan pelatihan di pengembangan di bidang medis  Meningkatkan program pelaya



BAB VI DOKUMEN SISTEM REMUNERASI RUMAH SAKIT Bentuk Umum Sistem Remunerasi Sistem adalah merupakan nyawa dari struktur organisasi. Struktur organisasi tanpa sistem maka ibarat benda mati yang tidak bisa bergerak. Karenanya sistem remunerasi adalah salah satu nyawa untuk menggerakkan berjalannya pengaturan pengupahan didalam perusahaan termasuk di rumah sakit. Pengupahan itu sendiri tersdiri dari Gaji, insentif, merit/bonus. Yang menjadi masalah rumit di rumah sakit dewasa ini adalah pengupahan sudah berjalan dengan baik akan tetapi dasar penguapahan masih kabur dan terkadang ada beberapa rumah sakit yang tidak memiliki sistem secara tertulis. Bentuk umum dari sistem remunerasi hampir sama dengan bentuk peraturan pemerintah, SK dan atau Undang Undang yang harus disahkan berdasarkan penetapan kepala daerah. Kerangka Detail Sistem Remunerasi Kerangka detail sistem remunerasi adalah sebagai berikut: 1. Pendahuluan 2. Ketentuan Umum 3. Sumber pembiayaan / Dana Remunerasi 4. Hak dan kewajiban karyawan dalam sistem remunerasi 5. Penanggung jawab remunerasi 6. Pelaksana teknis remunerasi 7. Pelaksanaan penilaian kinerja 8. Siatem gaji karyawan tetap dan karyawan honorer 9. Distribusi insentif 10. Ketentuan lain lain 11. Penutup Agar dalam menyusun dokumen sistem remunerasi lebih mudah maka akan dijelaskan dibawah ini masing masing detail dari bentuk remunerasi.  Pendahluan Berisi penjelasan mengenai sistem remunerasi. Alasan mengapa sistem ini dibuat dan apa dampak yang diharapkan dari sistem remunerasi tersebut.  Ketentuan umum



Adalah penjelasan mengenai pa yang dimaksud dengan kata atau kalimat yang berada didalam sistem remunerasi, agar kalimat tidak berulang ulang. Bahasa yang digunakan adalah bahasa hukum, namun bisa bahasa biasa yang penting mudah dimengerti dan mudah dicerna oleh pihak stakeholder. Contoh : o



Yang dimaksud dengan Direktur adalah direktur RSUD DABEDA



o



Yang dimaksud dengan sistem Remunerasi adalah tatacara pengupahan yang berkekuatan hukum



o



dll sejenisnya



 Sumber Pembiayaan Remunerasi Pada BAB ini menerangkan tentang darimana sumber dana remunerasi. Khusus bagi RS pemerintah yang menjadi masalah rumit adalah bukan sistem penggajian akan tetapi sistem insentif yang merupakan bagian dari sistem remunerasi. Sistem gaji karyawan sudah ditentukan oleh pemerintah jadi tidak menjadi masalah samapai saat ini, walaupun dirasakan gaji PNS masih berada dibawah kelayakan jika dibanding dengan gaji pegawai negeri di negara lain Sumber insentif yang merupakan masalah yang sangat sensitif biasanya bersumber dari jasa pelayanan, bisa berasal dari jasa pelayanan dokter, keperawatan dan administrasi. Namun pada umumnya RSD m,enetapkan sumber insentif dari jasa pelayanan. Jasa pelayanan bukan jasa dokter bukan pula insentif dokter akan tetapi merupakan jasa pelayanan tim yang diselenggarakan oleh rumah sakit. Ketentuan pembagiannya diterapkan berdasarkan sistem remunerasi. Contoh Sumber dana insentif berasal dari jasa pelayanan yang muncul didalam tarif pelayanan rumah sakit. Sumber lain dana insentif karyawan adalah bersumber dari 50% keuntungan apotik dan dapat ditamabah dengan 10% dari keuntungan Jasa sarana dan prasarana RS Hak dan kewajiban karyawan dalam sistem remunerasi Pada bab ini menjelaskan tentang siapa saja yang berhak mendapat remunerasi. Yang benar adal;ah setiap karyawan baik karyawan tetap atau karyawan honorer berhak mendapat remunerasi. Hanya karyawan KSO (kerjasama operasi) tidak bisa dimasukkan kedalam karyawan yang bisa menerima remunerasi karena karyawan pada KSO adalah karyawan pihak ketiga bukan karyawan perusahaan kita.



Remunerasi dalam bentuk insentif bukanlah hak yang setiap saat harus diterima akan tetapi penghargaan terhadap kinerja yang diberikan oleh karyawan terhadap perusahaan. Semakin hebat kinerjanya maka insentif akan semakin besar. Karenanya sistem insentif akan sangat bergantung kepada hasil kinerja karyawan yang bersangkutan dan akan sangat berkaitan dengan volume pelayanan jasa perusahaan misalnya rumah sakit. Semakin tinggi volume pelayanan di rumah sakit maka secara ortomatis insentif akan semakin besar. Contoh - Seluruh karyawan PNS akan mendapat gaji sesuai dengan ketentuan pemerintah yang berlaku. - Seluruh karyawan honorer akan mendapat gaji berdasarkan ketentuan penggajian didalam sistem remunerasi ini. - Yang berhak menerima insntif adalah seluruh karyawan tetap dan honorer di rumah sakit. Penanggung Jawab Sistem Remunerasi Yang bertanggung jaeab terhadap penyelenggaraan sistem remunerasi adalah direktur keuangan atau wakil direktur keuangan. Sistem remunerasi akan sangat baik jika menggunakan sistem informasi digital atau menggunakan sistem yang tercantum didalam sistem komputerisasi rumah sakit yang bisa di LAN ke sistem akuntansi dan billing system. Contoh o Penanggung jawab sistem remunerasi adalah direktur keuangan o keputusan untuk menetapkan pengurangan akibat kinerja yang tidak sesuai dengan standar sehingga menimbulkan nilai index yang berkurang sepenuhnya berada pada direktur keuangan. 3.



Pelaksana teknis Sistem Remunerasi Pelaksana teknis adalah pelaksana yang akan membayarkan insentif karyawan. Seperti lazimnya suatu perusahaan maka yang bertugas melaksanakan kegiatan ini adalah staf keuangan.



4.



Pelaksana penilaian kinerja Penilaian kinerja adalah pekerjaan yang tersulit dari sistem remunerasi karena pada umumnya RSD atau rumah sakit pemerintah tidak terbiasa dengan budaya penilaian kinerja. Akibatnya banyak mengalami hambatan yang cukup serius jika tidak ditangani dengan benar dan teliti. Banyak karyawan merasa haknya dipotong padahal kinerjanya menurun, sekali lagi perlu ditegaskan bahwa sistem remunerasi berbasis kepada kinerja, jadi jika kinerjanya



merosot maka secara otomatis insentifnya juga merosot. Akibat adanya resistensi seperti ini maka pelaksana penilaian akan mengalami hambatan yang tidak kecil. Pelaksana penilaian kinerja secara umum dilaksanakan oleh kepala Bidang SDM atau Direktur administrasi, bertugas mengumpulkan dan menilai kinerja masing masing karyawan. 5.



Sistem gaji karyawan Pada bab ini ditegaskan gaji dan tatacara penggajian karyawan baik yang pegawai negeri maupun tenaga honorer. Gaji PNS hanya dicantumkan bahwa sistem penggajian PNS mengacu kepada sistem penggajian yang ditetapkan berdasarkan peraturan poemerintah yang berlaku. Sedangkan gaji non PNS harus ditegaskan secara rinci dan bagaimana dengan kenaikan gaji berkalanya serta bagaimana persiapan pembayaran pensiunnya.



6.



Distribusi Insentif Dalam bab ini dijelaskan secara rindi mengenai distribusi insentif. Konsepnya barang siapa yang menghasilkan jasa pelayanan yang tercantum didalam tarif rumah sakit maka yang bersangkutan diwajibkan untuk memberikan kontribusi bagi seluruh karyawan rumah sakit. Persentasenya berdasarkan kesepakatan antara penyusun sistem insentif. Misalnya dokter spesialis bedah mengoperasi appendix dalam tarif tercantum jasa pelayanan operasi sedang Rp 2000.000,- (delapan ratus ribu rupiah), maka dalam sistem ini dokter tersebut hanya menerima insentif langsung yang akan diberikan kepadanya pada awal bulan berikutnya sebesar Rp 400.000,- (empat ratus ribu rupiah), atau sekitar 50% dari jasa yang tercantum didalam tarif layanan rumah sakit. Sisanya masuk kedalam Pos Remunerasi. Demikian pula kelompok perawat yang ada di rawat inap mendapatjasa total perawatan sebesar Rp 25 juta (duapuiluh lima juta rupiah) dalam sebulan. Makakelompok perawat rawat inap hanya akan mendapat insentif langsung kelompok sebesar Rp 12.500.000,- (duabelas juta lima ratus ribu rupaih) atau sekitar 50%. Sisanya didistribusikan kedalam Pos Remunerasi. Demikian selanjutnya dan berlaku bagi siapa saja yang menghasikan jasa pelayanan dan tercantum didalam tarif rumah sakit. Pada distribusi insentif ada dua bagian distribusi : 1. Insentif langsung yang hanya berlaku kepada setiap karyawan penghasil jasa pelayanan 2. Insentif tidak langsung, adalah insentif yang bersumber dari Pos Remunerasi. Ini berlaku bagi seluruh karyawan rumah sakit dan distribusinya menggunakan sistem score berdasarkan indexing.



Falsafah dasarnya adalah bahwa setiap penghasil jasa berkewajiban memberikan kontribusi pendapatannya kepada para karyawan lainnya di rumah sakit. Dengan demikan maka akan terjadi koherensia dan kebersamaan diantara karyawan rumah sakit. Contoh Seorang dokter spesialis bedah orthopedi dengan kinerjanya menghasilkan jasa Rp 38.000.000,- (tigapuluh delapan juta rupiah) berdasarkan sistem insentif, maka yang ia dapatkan insentif langsung adalah 50% X Rp 38.000.000,- = Rp 19.000.000,(sembilanbelas juta rupiah), artinya dokter yang bersangkutan memberikan kontribusi kedalam Pos Remunerasi sebesar Rp 19.000.000,- (sembilanbelas juta rupiah). Arti lainnya adalah dokter yang bersangkutan telah berkonstribusi kepada seluruh karyawan sebesar Rp 19.000.000,- (sembilanbelas juta rupiah). Kemudian dokter tersebut memiliki score individu, setelah perhitungan kinerja selesai Dikerjakan maka akan tampak total dana yang ada didalam Pos Remunerasi. Dan jika telah diketahui total score seluruh karyawan rumah sakit. Maka dokter tersebut akan mendapat lagi insentif tidak langsung berdasarkan score yang dia miliki. Jelas bahwa penghasil uang akan mendapat insentif langsung dan insentif tidak langsung. Khusus bagi karyawan yang berada pada cost center hanya akan mendapat insentif tidak langsung saja berdasar kepada score yang bersangkutan. Inilah transparansi sistem insentif, akan terjadi dokter merasakan uang yang berasal dari keperawatan, dari farmasi dan dari sumber lain demikian juga seluruh karyawan. Akan terjadi saling mendukung dalam menuinjang pendapatan individu karyawan di rumah sakit.



DAFTAR PUSTAKA Anthony.Robert N, Govindarajan.Vijay, MANAGEMENT CONTROL SYSTEMS, 9Th Edition, McGraw-Hills Companies, USA, 1998. Brinzius.



Jack



A.



&



Campbell.



Michael



D,



Getting



Result–a



Guide



for



GovernmentAccountability, 1990. Cortada. James W, Total Quality Management for Information Systems Management, Mc Grou-Hill. Inc., 1995. Kaplan. Robert S, Norton. David P, THE STRATEGY FOCUSED ORGANIZATION, HowBalanced



Scorecard



Companies



Thrive



the



New



Business



Enviroment,



HarvardBusiness School Press, Boston, 2001. Griffith, John R. THE WELL MANAGED COMMUNITY HOSPITAL, Health Administration Press, Ann Arbor, Michigan, 1987. Levin. Richard I, Rubin. David S, Stinson. John P, QUANTITATIVE APPROACHS TOMANAGEMENT,



6thEdition,



Exclusive



rights



by



Mc



Graw-Hill



Book



Co,



SingaporeManufacture and Export, 2nd Printing,1996. Craig, James. C. Grant.Robert M., Strategic Management, 1993. Day.George S, Reibstein.David J, DYNAMIC COMPETITIVE STRATEGY, The Wharton School, with Robert Gunther, John Willey & Sons, Inc, USA, 1997. Griffin.Ricky W, MANAGEMENT, 5ThEdition, Houghton Mifflin Company, Boston,Toronto, Geneva, Illionis, Palo Alto, Princenton, New Jersey, 1999. Hendry.John, Johnson.Gerry, Newton.Julia, STRATEGIC THINKING, Leadership and Management of Change, John Willey & Son, Chicester-New York- Toronto–Singapore, West Sussex England, 1993.



Mintzberg, Henry, Ahlstraud. Bruce and Lampel. Joseph, Strategy Safary a Guided TourThrough The Wilds of Strategic Management, 1998. Osborne. David and Ted Gaebler, REINVENTING GOVERNMENT–How TheEnterpreneurial Spirits is Transforming the Public Sector, 1996. Sheehy.Barry, Bracey.Hyler, Frazier.Rick, WINNING the RACE for VALUE, Strategies toCreate



Competitive



Adventage



in



Emerging



“Age



of



Abundance”,



Amacom,



AmericanManagement Association, USA, 1996. Schulz, Rockwell, Ph.D - Johnson, Alton C, Ph.D, MANAGEMENT OF HOSPITALS ANDHEALTH SERVICES, Strategic Issues and Performance, Third Edtion, The C.V.Mosby Company, St, Louis, Baltimore Philadelphia, Toronto, 1990. Sonnenberg.



Frank



K,



MANAGING



WITH



A



CONSCIENCE,



How



to



improve



performancethrough integrity, trust and commitment, McGraw-Hill, 1994. Picken. Joseph C, Dess. Gregory G, MISSION CRITICAL, The 7 Strategic Traps that deraileven the Smartest Companies, IRWIN, Professional Publishing, U.S.A, 1997. Ringland.Gill, SCENARIO PLANNING, Managing for the Future, John Willey & Sons Ltd, Baffins Lane, Chichester, West Sussex PO19 1UD, England, 1998. Werther Jr.William B, Davis. Keith, HUMAN RESOURCES AND PERSONNELMANAGEMENT, 5ThEdition, McGraw-Hill, USA, 1996. Whittaker. James, The Government Performance and Result Act a Mandate for StrategicPlanning and Performance Measuremet, 1993.



PANDUAN KREDENSIALING STAFF MEDIS BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rumah sakit (RS) diakui merupakan institusi yang sangat kompleks dan berisiko tinggi, terlebih dalam kondisi lingkungan regional dan global yang sangat dinamis perubahannya. Keberadaan staf medis dalam rumah sakit merupakan suatu keniscayaan karena kualitas pelayanan rumah sakit sangat ditentukan oleh kinerja para staf medis rumah sakit tersebut. Yang lebih penting lagi kinerja staf medis akan sangat mempengaruhi keselamatan pasien di rumah sakit. Untuk itu rumah sakit perlu menyelenggarakan tata kelola klinis (clinical governance) yang baik untuk melindungi pasien. Hal ini sejalan dengan amanat peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kesehatan dan perumahsakitan. Undang-undang tentang Rumah Sakit yang baru ditetapkan menuntut rumah sakit untuk melindungi keselamatan pasien, antara lain dengan melaksanakan clinical governance tersebut bagi para klinisnya. Setiap dokter di rumah sakit harus bekerja dalam koridor kewenangan klinis (clinical privileges) yang ditetapkan oleh kepala rumah sakit. Salah satu faktor krusial dalam keselamatan pasien adalah kewenangan dokter untuk melakukan tindakan medis yang saat ini tidak dikendalikan dengan adekuat oleh komite medis rumah sakit. Dalam hal seorang kurang kompeten dalam melakukan tindakan medis tertentu karena sebab apapun, belum ada mekanisme yang mencegah dokter untuk melakukan tindakan medis tersebut di rumah sakit. Pada gilirannya kondisi ini dapat menimbulkan keselakaan pada pasien. Demi menjaga keselamatan pasien dari tindakan medis yang dilakukan oleh dokter yang kurang kompeten, rumah sakit perlu mengambil langkah-langkah pengamanan dengan cara pemberian kewenangan klinis melalui mekanisme kredensial yang dilaksanakan oleh komite medis. Beberapa pihak yang terkait dengan upaya ini adalah Kolegium Kedokteran Indonesia (KKI) dan komite medis rumah sakit. KKI dapat menjadi acuan untuk menentukan lingkup dan jenis-jenis kewenangan klinis bagi setiap cabang ilmu kedokteran. Komite medis akan menentukan jenis-jenis kewenangan klinis



bagi setiap dokter yang bekerja di rumah sakit berdasarkan kompetensinya melalui mekanisme kredensial. Untuk menjaga kualitas mutu staf medik, Rumah Sakit Umum ISLAM KARAWANG membentuk Komite Medis yang terdiri dari beberapa sub komite, salah satunya yaitu Sub Komite Kredensial yang tugasnya yaitu mendapatkan dan memastikan staf medis yang profesional dan akuntabel bagi pelayanan di Rumah Sakit Umum ISLAM KARAWANG. Dengan terkendalinya tindakan medis di Rumah Sakit Umum ISLAM KARAWANG maka pasien lebih terlindungi dari tindakan medis yang dilakukan oleh dokter yang tidak kompeten. B. Tujuan Tujuan Umum Pedoman ini diterbitkan dengan tujuan utama untuk melindungi keselamatan pasien melalui mekanisme kredensial dan rekredensial staf medis di Rumah Sakit Umum ISLAM KARAWANG. Tujuan Khusus Membantu divisi SDM dalam proses mendapatkan dan memastikan staf medis yang kompeten dan profesional di Rumah Sakit Umum ISLAM KARAWANG. Memberikan panduan mekanisme kredensial dan rekredensial bagi para dokter di Rumah Sakit Umum ISLAM KARAWANG. Merekomendasikan kewenangan klinis bagi setiap staf medis di Rumah Sakit Umum ISLAM KARAWANG. Merekomendasikan untuk diterbitkan kewenangan klinis bagi setiap dokter untuk melakukan tindakan medis di Rumah Sakit Umum ISLAM KARAWANG. C. Ruang Lingkup Ruang lingkup kredensial dan rekredensial staf medis, yaitu : b. Staf medis yaitu dokter umum, dokter gigi, dokter spesialis dan dokter gigi spesialis yang akan bergabung di Rumah Sakit Umum ISLAM KARAWANG. c. Staf medis yang sudah bekerja di Rumah Sakit Umum ISLAM KARAWANGyang masa kewenangan klinisnya berakhir sesuai kebijakan divisi medis yaitu setiap 3 (tiga) tahun sekali.



D. Landasan Hukum Landasan hukum proses kredensial dan rekredensial di Rumah Sakit Umum ISLAM KARAWANG adalah : b. Peraturan



Menteri



Kesehatan



Republik



Indonesia



nomor



755/MENKES/PER/IV/2011 tentang Penyelenggaraan Komite Medik di Rumah Sakit. c. Pedoman Kredensial dan Kewenangan Klinis (Clinical Privilege) di Rumah Sakit dari Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia tahun 2009. d. Undang-undang Rumah Sakit pasal 29 ayat (1) butir r. telah ditetapkan bahwa setiap rumah sakit wajib menyusun dan melaksanakan hospital bylaws, yang dalam penjelasan undang-undang tersebut ditetapkan bahwa setiap rumah sakit wajib melaksanakan tata kelola klinis yang baik (good clinical governance). Hal ini harus dirumuskan oleh setiap rumah sakit dalam peraturan staf medis Rumah Sakit (medical staff bylaws) antara lain diatur kewenangan klinis (clinical privilege). e. Kebijakan Pelayanan Rumah sakit. f.



Medical Staff By Laws Rumah Sakit Umum ISLAM KARAWANG BAB II DEFINISI



A. Proses Kredensial (Credentialing) Proses kredensial (credentialing) adalah proses evaluasi oleh suatu rumah sakit terhadap seseorang untuk menentukan apakah yang bersangkutan layak diberi kewenangan klinis (clinical privilege) menjalankan tindakan medis tertentu dalam lingkungan rumah sakit tersebut untuk suatu periode tertentu. B. Proses Re-Kredensial (Re-Credentialing) Proses rekredensial (re-credentialing) adalah proses re-evaluasi oleh suatu rumah sakit terhadap dokter yang telah bekerja dan memiliki kewenangan klinis di rumah sakit tersebut untuk menentukan apakah yang bersangkutan masih layak diberi kewenangan klinis tersebut untuk suatu periode tertentu.



C. Kewenangan Klinis (Clinical Privilege) Kewenangan klinis (clinical privelege) adalah kewenangan klinis untuk melakukan tindakan medis tertentu dalam lingkungan sebuah rumah sakit tertentu berdasarkan penugasan yang diberikan kepala rumah sakit. D. Surat Penugasan (Clinical Appointment) Surat penugasan (clinical appoinment) adalah surat yang diterbitkan oleh kepala rumah sakit kepada seorang dokter atau dokter gigi untuk melakukan tindakan medis di rumah sakit tersebut berdasarkan daftar kewenangan klinis yang ditetapkan baginya. E. Staf Medis Staf medis adalah dokter dan dokter gigi termasuk dokter spesialis dan dokter gigi spesialis. F. Mitra Bestari (Peer-Group) Mitra bestari (Peer Group) adalah sekelompok orang dengan reputasi tinggi yang memiliki kesamaan profesi, spesialisai dengan seorang dokter yang sedang menjalani proses kredensial dan atau dianggap dapat menilai kompetensi untuk melakukan tindakan medis tertentu. BAB III TATA LAKSANA A. Proses Kredensial Direktur Rumah Sakit Umum ISLAM KARAWANG menetapkan berbagai kebijakan dan prosedur bagi staf medis untuk memperoleh kewenangan klinis dengan berpedoman pada peraturan internal staf medis (medical staff by laws). Selain itu, direktur rumah sakit bertanggung jawab atas tersedianya berbagai sumber daya yang dibutuhkan agar kegiatan ini dapat terselenggara. Untuk melaksanakan kredensial dibutuhkan beberapa instrumen, antara lain daftar rincian kewenangan klinis untuk setiap spesialisasi medis, daftar mitra bestari yang mempresentasikan tiap spesialisasi medis dan buku putih (white paper) untuk setiap pelayanan medis. Setiap rumah sakit mengembangkan instrumen tersebut sesuai dengan kebutuhannya.



Secara garis besar proses kredensial di Rumah Sakit Umum ISLAM KARAWANG, yaitu sebagai berikut: 1. Staf medis yang telah dinyatakan baik secara interview oleh Direktur Medis dan Keperawatan diajukan untuk dilakukan kredensial. 2. Direktur membuat surat kepada Komite Medik dan diteruskan ke Sub Komite Kredensial perihal permohonan untuk mengkredensial staf medis. 3. Berkas permohonan staf medis yang telah lengkap disampaikan oleh direktur rumah sakit kepada komite medik melalui sekretariat komite medik. 4. Sekretariat komite medik melakukan pengecekan berkas verifikasi berkas staf medis yang terdiri dari : a. Ijasah pendidikan dokter umum dan atau dokter spesialis. b. Surat Tanda Registrasi (STR) staf medis. c. Sertifikat ACLS dan atau ATLS dan atau Resusitasi Neonatus dan atau Hiperkes (untuk dokter umum, minimal 1 dari sertifikat diatas) d. Sertifikat kompetensi kolegium atau sertifikat pendukung lainnya. 5. Sebelum kredensial dimulai, staf medis mengajukan permohonan kewenangan klinis kepada direktur dengan mengisi form daftar kewenangan klinis yang telah disediakan Rumah Sakit Umum ISLAM KARAWANG. 6. Pada saat kredensial, sub komite kredensial membentuk panel atau panitia ad-hoc dengan melibatkan mitra bestari dari berbagai disiplin yang sesuai dengan kewenangan klinis yang diminta. 7. Permohonan kewenangan klinis yang diajukan oleh staf medis tersebut dikaji oleh sub komite kredensial dan mitra bestari tersebut yang meliputi cakupan derajat kompetensi dan praktik. 8. Sub komite kredensial mengajukan rekomendasi kewenangan klinis staf medis kepada komite medis. 9. Komite medis merekomendasikan kewenangan klinis staf medis kepada direktur. 10. Direktur menerbitkan surat penugasan klinis (clinical appointment) kepada staf medis tersebut jika staf medis tersebut sudah bergabung dengan Rumah Sakit Umum ISLAM KARAWANG. Berkas Kredensial dan Rekredensial dokter umum dan spesialis akan diserahkan kepada staf SDM untuk dimasukan ke dalam file karyawan.



B. Proses Rekredensial Rekredensial adalah proses re-evaluasi terhadap staf medis (dokter umum, dokter gigi umum, dokter spesialis dan dokter gigi spesialis) yang telah memiliki kewenangan klinis (clinical privilege) dan surat penugasan klinis (clinicalappointment) untuk menentukan kelayakan kembali pemberian kewenangan klinistersebut. Walaupun



seorang



dokter



telah



mendapatkan



surat



penugasan



(clinicalappointment) dari direktur namun surat penugasan tersebut mempunyai masa berlaku.Masa berlaku surat penugasan dari Direktur Rumah Sakit Umum ISLAM KARAWANGyaitu selama 3 tahun, hal tesebut sesuai dengan kebijakan divisi pelayanan medis. Selain itu, surat penugasan dapat berakhir setiap saat bila tenaga medis tersebut dinyatakan tidak kompeten untuk melakukan tindakan medis tertentu. Pada akhir masa berlakunya surat penugasan tersebut, rumah sakit harus melakukan rekredensial terhadap tenaga medis. Proses rekredensial ini lebih sederhana dibandingkan dengan proses kredensial awal sebagaimana diuraikan diatas karena rumah sakit telah memiliki informasi setiap dokter yang melakukan tindakan medis dirumah sakit tersebut. Proses Rekredensial mempertimbangkan 1. Perawatan pasien-praktis menyediakan perawatan pasien dengan belas kasih, tepat, dan efektif untuk promosi kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan penyakit, dan perawatan pasien terminal. 2. Pengetahuan medis/klinis akan bidang biomedis, klinis dan ilmu sosial yang ada dan berkembang serta aplikasi pengetahuan tersebut pada perawatan pasien dan menyalurkan ilmu kepada orang lain. 3. Pembelajaran dan perbaikan berbasis praktik dengan menggunakan bukti dan metode ilmiah untuk menyelidiki, mengevaluasi dan memperbaiki praktik-praktik perawatan pasien. 4. Keterampilan interpersonal dan komunikasi yang memungkinkan mereka untuk membangun dan mempertahankan hubungan profesional dengan pasien, dan anggotaanggota tim perawatan kesehatan lainnya. 5. Profesionalisme



tercermin



dari



komitmen



untuk



pengembangan



profesional



berkelanjutan, praktik etis, pemahaman dan kepekaan terhadap keragaman, sikap bertanggung jawab terhadap pasien, profesi mereka, dan masyarakat.



6. Praktik berbasis sistem melalui pemahaman konteks dan sistem dimana pelayanan kesehatan disediakan. i. Proses rekredensial didokumentasikan dalam formulir penilaian kinerja dokter spesialis (On Going Professional Review). ii. Berdasarkan hasil kesepakatan dari Komite Medis dan Sub Komite Kredensial, secara garis besar proses rekredensial di Rumah Sakit Umum ISLAM KARAWANGyaitu sebagai berikut : 7. Direktur rumah sakit mengajukan permohonan kepada Komite Medik dan dilanjutkan kepada Sub Komite Kredensial untuk melakukan rekredensial kepada staf medis. 8. Sub Komite Kredensial dan sekretariat komite medik mengumpulkan berkas para kandidat rekredensial yaitu : a. STR yang masih berlaku b. Surat sehat atau hasil Medical Check Up c. Surat rekomendasi dari Sub Komite Etik d. Sertifikat terbaru sesuai kompetensi 3 (tiga) tahun terakhir e. Kandidat rekredensial mengajukan permohonan kewenangan klinis kembali kepada direktur dengan mengisi formulir daftar kewenangan klinis yang telah disediakan Rumah Sakit Umum ISLAM KARAWANG. 9. Berkas di evaluasi oleh Sub Komite Kredensial dan panitia mitra bestari (tim rekredensial). 10. Tim



rekredensial



mengajukan



rekomendasi



penambahan



atau



pengurangan



kewenangan klinis staf medis tersebut kepada Ketua Komite Medik. 11. Ketua Komite Medik meneruskan dan merekomendasikan kewenangan klinis tersebut kepada Direktur Rumah Sakit Umum ISLAM KARAWANGuntuk dijadikan penugasan klinis. 12. Direktur Rumah Sakit Umum ISLAM KARAWANG menetapkan dan menerbitkan kembali surat penugasan klinis (clinical appointment) kepada para staf medis tersebut.



BAB IV PENUTUP Rumah sakit memiliki proses efektif untuk mengumpulkan, memverifikasi dan mengevaluasi kredensial (lisensi, pendidikan, pelatihan, kompetensi dan pengalaman) staf medis yang diizinkan untuk memberikan perawatan pasien tanpa pengawasan. Untuk itu rumah sakit perlu menyelenggarakan tata kelola klinis yang baik untuk melindungi pasien. Demi menjaga keselamatan pasien dari tindakan medis yang dilakukan oleh dokter yang kurang kompeten, rumah sakit perlu mengambil langkah-langkah pengamanan dengan cara pemberian kewenangan klinis melalui mekanisme kredensial yang dilaksanakan oleh komite medis. Untuk menjaga kualitas mutu pelayanan yang diberikan oleh staf medis, maka Rumah Sakit Umum ISLAM KARAWANGmelakukan kredensial dan rekredensial untuk para staf medis-nya. Kredensial dilakukan untuk staf medis. Tujuannya membantu Direktur Rumah Sakit Umum ISLAM KARAWANGuntuk menentukan kewenangan klinis hingga diterbitkan surat penugasan klinis yang sesuai dengan kompetensinya. Selain itu dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun atau sesuai dengan masa diberlakukannya surat penugasan klinis sebelumnya, staf medis tersebut di evaluasi kembali melalui proses rekredensial. Sehingga diharapkan dapat tercapai dan terjaganya mutu pelayanan medis yang baik untuk diberikan kepada pasien



PANDUAN PENILAIAN KINERJA STAFF MEDIS BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rumah sakit adalah lembaga yang memberikan pelayanan klinik dengan badan dan jiwa manusia sebagai sasaran kegiatannya, maka mutu pelayanan medik menjadi indikator penting untuk menilai baik buruknya pelayanan rumah sakit. Oleh karena itu, untuk mewujudkan suatu pelayanan medis yang bermutu sangat diperlukan adanya tata pengaturan yang baik terhadap kegiatan pelayanan medis yang dilaksanakan oleh para dokter, perawat dan tenaga klinik lainnya. Sebagaimana sistem governance di bidang manajemen, pada saat ini telah dikembangkan sistem governance di bidang klinik dengan menggunakan istilah clinical governance, yaitu suatu kerangka kerja yang bertujuan untuk menjamin agar pelayanan kesehatan dapat terselenggara dengan baik berdasarkan standar pelayanan yang tinggi serta dilakukanpada lingkungan kerja yang memiliki tingkat profesionalisme tinggi. Dalam konsep ini setiap petugas yang terlibat dalam pelayanan klinik harus memahami dan menerapkan prosedur-prosedur yang dapat mencegah terjadinya resiko akibat penatalaksanaan medik. Kepuasan pasien merupakan hal yang sangat penting dalam menilai mutu pelayanan kesehatan. Ada dua faktor utama yang mempengaruhi mutu pelayanan kesehatan, yaitu pelayanan



yang



diharapkan



(expected



services),



dan



pelayanan



yang



dirasakan



(perceivedservices). Jika harapannya terlampaui maka pelayanan tersebut dirasakan sebagai mutupelayanan yang ideal dan sangat memuaskan. Jika harapan sesuai dengan pelayanan yang diterima maka mutu pelayanannya memuaskan, dan jika harapannya tidak terpenuhi pada pelayanan yang diterima maka mutu pelayanan tersebut dianggap kurang memuaskan. Penilaian mutu pelayanan kesehatan dapat ditinjau dari beberapa sisi, yaitu sisi pemakai jasa pelayanan kesehatan dan penyelenggara pelayanan kesehatan. Dari sisi pemakai, pelayanan kesehatan yang bermutu adalah suatu pelayanan kesehatan yang dapat memenuhi kebutuhan, diselenggarakan dengan cara yang sopan dan santun, tepat waktu, tanggap dan mampu menyembuhkan keluhannya serta mencegah berkembang atau meluasnya penyakit Sumber daya manusia yang mempunyai peran paling utama dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan adalah tenaga Profesi Medis. Oleh karena itu pihak manajemen rumah



sakit tentunya mengharapkan tenaga medis yang bekerja dilingkungan harus mempunyai mutu pelayanan kesehatan yang baik, bertanggung jawab dan berdisiplin tinggi. Sebagai upaya untuk mencapai tujuan dimaksud, maka Komite Medik dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan tenaga medis serta melakukan pemantauan dan pembinaan. Berdasarkan UURS pasal 29 tentang Kewajiban Rumah Sakit bahwa setiap Rumah sakit Wajib memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit, dan membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu pelayanan kesehatan di Rumah Sakit sebagai acuan dalam melayani pasien. Berdasarkan UU RS Pasal 46 Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit. Untuk dapat melaksanakan nya maka Rumah Sakit ISLAM KARAWANG melakukan evaluasi secara terus menerus terhadap semua setiap staf medis yang bekerja di Rumah Sakit ISLAM KARAWANG sebagai acuan untuk meningkatkan mutu pelayanan dan mengurangi dampak tuntutan dari pasien. 1.2. Tujuan -



Sebagai pedoman Direktur & Manager Medis dalam melaksanakan penilaian kepada staf medis



-



Untuk mengontrol praktek staf medis agar mutu pelayanan staf medis dan keselamatan pasien terjaga dengan baik. Untuk digunakan sebagai salah satu perangkat pembinaan staf medis.



-



Memberikan penjabaran yang jelas dan seragam mengenai proses yang dipakai untuk melakukan evaluasi berkelanjutan pada setiap dokter



-



Menentukan kriteria atau indikator sebagai data yang harus dikumpulkan untuk evaluasi pada OPPE Untuk memastikan bahwa informasi yang dihasilkan dari OPPE digunakan untuk menentukan kelanjutan dari kewenangan klinis yang telah diberikan (dilanjutkan, dibatasi atau dicabut).



-



Untuk menentukan proses pengumpulan, investigasi dan menentukan masalah pada praktik klinis, termasuk menentukan proses untuk identifikasi trend yang mempengaruhi kualitas pelayan dan keselamatan pasien.



-



Memastikan bahwa laporan terhadap evaluasi dari dokter professional yang sudah diberikan kewenangan klinis dilakukan dengan cara yang seragam dan ditentukan oleh kebijakan Rumah sakit.



-



Untuk menentukan tingkat kepedulian dari masing-masing staff medis terhadap peningkatan pelayanan, terkait dengan performa dari dokter dan memastikan bahwa temuan yang ada relevan dengan performa masing-masing individu staff medis dan sesuai dengan standard yang ditentukan.



1.3. Landasan Hukum -



UURS pasal 29 KEWAJIBAN RS: o



memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit;



o



membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu pelayanan kesehatan di Rumah Sakit sebagai acuan dalam melayani pasien;



-



UU RS pasal 46: Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit.



-



UU RS pasal 13: (3)Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit harus bekerja sesuai dnegan Standar profesi, Standar pelayann rumah sakit, Standar prosedur operasional yang berlaku, Etika profesi,m Menghormati hak pasien dan mengutamakan keselamatan pasien.



-



UU PK pasal 44: Dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran wajib mengikuti standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi.



1.4. Ruang Lingkup Kebijakan ini ditujukan untuk semua dokter dan dokter gigi yang telah diberikan kewenangan klinis. BAB II DEFINISI 2.1. Definisi Merupakan suatu proses pengumpulan data, menganalisis informasi terhadap setiap kinerja staf medis yang dilaksanakan berdasarkan data yang komprehensif untuk menilai



pencapaian program dan mendeteksi serta menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dalam melaksanakan evaluasi kinerja staf medis di perlukan suatu metode dan proses penilaian dan pelaksanan tugas seseorang atau kelompok orang atau unit-unit kerja yang sesuai dengan standar kinerja dan tujuan rumah sakit. Proses evaluasi yang terus menerus terhadap praktisi professional dilakukan secara objektif dan berbasis bukti. Hasil proses review bisa tidak ada perubahan dalam tanggung jawab staf medis fungsional, perluasan tanggung jawab, pemabatasan tanggung jawab, masa konseling dan pengawasan atau kegiatan yang lainnya. Setiap waktu sepanjang tahun, bila bukti yang dapat dipertanyakan kurangnya peningkatan kinerja, ada review dan kegiatan sesuai laiinya yang diambil. Hasil review, tindakan yang diambil dan setiap dampak atas kewenganan di dokumentasikan dalam file kredensial staf medis fungsional atau file lainnya Ada evaluasi terus menerus terhadap kualitas dan keamanan asuhan klinis yang diberikan oleh setiap staf medis fungsional diperlukan untuk meningkatkan mutu pelayan masing-masing staf medis dan untuk mengurangi kesalahan dalam pelayanan medis yang akan dilaksanakan. Ongoing Professional Practice Evaluation (OPPE) merupakan suatu proses untuk melakukan penilaian kompetensi dan perilaku professional dari praktisi (staff medis) dan melakukan pembinaan bila diperlukan. Focused Professional Practice Evaluations (Focused Review) merupakan evaluasi khusus dan dalam waktu yang terbatas mengenai kompetensi seorang praktisi dalam menjalankan kewenangan klinis tertentu. 2.2. Pelaksanan Evaluasi Tenaga Medis di RS ISLAM KARAWANG A. Elemen Penilaian Monitoring dan Evaluasi SMF : 



Ada evaluasi praktek profesional terus-menerus dari kualitas dan keamanan pelayanan pasien yang diberikan oleh setiap anggota staf medis fungional yang direview dan dikomunikasikan kepada setiap anggota staf medis fungsional setidaknya setiap tahun.







Evaluasi praktek profesional terus-menerus dan review tahunan dari setiap anggota staf medis fungsional dilaksanakan dengan proses yang seragam yang ditentukan oleh kebijakan rumah sakit.







Evaluasi mempertimbangkan dan menggunakan data komparatif secara proaktif, seperti membandingkan dengan literatur kedokteran.







Evaluasi mempertimbangkan dan menggunakan kesimpulan dari analisa mendalam terhadap komplikasi yang dikenal dan berlaku.







Informasi



dari



proses



evaluasi



praktik



profesional



tersebut



didokumentasikan dalam file krendensial anggota staf medis fungsional dan file lainnya yang relevan. B. Kinerja staf klinis yang dievaluasi adalah : 



Perawatan Pasien (Patient Care)







Pengetahuan Medis/ Klinik (Medical/ Clinical Knowledge)







Pembelajaran dan Perbaikan Berbasis Praktik (Practice base learning improvement)







Ketrampilan Interpersonal dan Komunikasi (Interpersonal and Skill Communication)







Praktek Berbasis Sistem (System Base Practice)







Profesionalisme



C. Informasi didapat dari : o



Pengkajian data secara periodic (Periodic chart review)



o



Observasi langsung (Direct observation)



o



Pemantauan terhadap teknik diagnosis dan pengobatan (monitoring for diagnosistechnique)



o



Pengawasan mutu klinis (Monitoring of clinical quality)



o



Umpan balik dari individu lain yang terkait di dalam pelayanan pasien, termasuk dokter Iain, asisten bedah, perawat dan staf administrasi secara tertulis (Feed back from othercolleague related to patient care, including other doctor, surgical assistant, nurse and administration staff in written document).



o



Hasil medical record review (Medical record review result)



o



CFBF/Customer Feed Back Form



o



Surveilans PPI ( Pencegahan& Pengendalian Infeksi) /Infection Control Surveillans



o



Notulen meeting dokter (morning report, clinical meeting, meeting kasus sulit/kematian)



o



Incident report



D. Prosedur 1. Skrining a. Bidang Pelayanan dibantu dengan adanya data dari Kepegawaian, Komite Medis & Audit, Rekam Medis, dan Meeting akan melakukan chart review secara bersamaan dan retrospektif dengan menggunakan kriteria yang telah ditentukan b. Setiap individu (termasuk pasien atau keluarga pasien, staf medis, tenaga kesehatan atau staf RS Iainnya) dapat melaporkan setiap perhatian khusus terkait profesionalisme dari performa masing-masing dokter secara tertulis. 2.Kriteria/ indikator a. Kriteria / indicator mempunyai trigger dan mencakup dari enam area kompetensi umum dokter, yaitu: i. Perawatan pasien ii. Pengetahuan medis/ klinis iii. Practice based learning and improvement iv. Kemampuan komunikasi dan interpersonal v. Profesionalisme vi. System-based practice b. Kriteria / indicator mencakup pengkajian pada . i. Rawat inap, rawat jalan, Emergency dept dan kasus rawat jalan akan diskrining untuk melihat adanya kriteri / indikator yang sudah ditentukan. ii. kejadian yang terkait dengan dokter yang melakukan prosedur atau tindakan yang melebihi kewenangan klinisnya. c. Kriteria / indicator yang dipilih untuk OPPE dan kebutuhan rumah sakit untuk meningkatkan kualitas dan keamanan pelayanan professionat. d. Kriteria / indikator ditentukan oleh Bidang Pelayanan dengan mempertimbangkan usulan dari komite medis. e. Kriteria / indikator mungkin dapat ditambahkan atau dikurangi berdasarkan rekomendasi dari Sub Komite Etik bekerjasama dengan Subkomite Mutu dan Kredensial. f.



Daftar kriteria atau indikator akan djtinjau kembaJi secara terus menerus dan sejalan dengan kebijakan ini



2. Penilaian a. Diterima — tidak ada masalah dengan proses /dokumentasi/ atau data atau kualitas pelayanan yang diberikan b. Perlu Perbaikan — terdapat masalah yang ringan — sedang terkait dengan proses/ dokumentasi / atau data atau kualitas pelayanan yang diberikan c. Tidak Diterima — terdapat masalah yang berat terkait dengan criteria yang elah ditentukan sehingga merugikan pasien, rumah sakit dan/ atau dokter yang bersangkutan, d. Tidak dimonitor 2.3. Dokumentasi -



Dokumentasi penilaian OPPE dilakukan pada form OPPE



-



Dokumen penilaian OPPE disimpan di dalam file masing-masing staf medis



-



Formulir Penilaian Kinerja Staf Medis (Terlampir) BAB III PENUTUP Proses evaluasi staf medis adalah Merupakan suatu proses pengumpulan data,



menganalisis informasi terhadap setiap kinerja staf medis yang dilaksanakan berdasarkan data yang komprehensif untuk menilai pencapaian program dan mendeteksi serta menyelesaikan masalah yang dihadapi. Adanya proses evaluasi secara terus menerus diharapkan tercapainya pelayanan medis yang bermutu dan berdaya saing. Demikianlah Panduan proses evaluasi staf klinis di Rumah Sakit ISLAM KARAWANG . Dengan segala daya dan upaya yang optimal, semoga proses evaluasi dapat dilaksanakan sebaik mungkin.



Lampiran Formulir Penilaian Kinerja Staf Medis PENILAIAN KERJA DOKTER RS ISLAM KARAWANG DOKTER UMUM BULAN : ………………………….S/D…………………….. (Penilaian tiap 1 tahun) Nama Dokter : …………………………………………………. No. 1.



Indikator



Triger



Hasil



Perawatan Pasien (Patient Care) 1. Pengkajian awal dilaksanakan dalam waktu 24 jam sejak pasien MRS



< 90%



2. Triase > 5 menit



2 (dua) kali



Pengetahuan Medis / Klinik (Medical / Clinical 2.



Knowledge) 1. Dokter mengikuti diklat minimal 20 jam per tahun Pembelajaran



3.



dan



Perbaikan



Berbasis



Praktik



Ketrampilan



5.



(Practice



Base



Learning



Improvement) Penggunaan singkatan yang tepat pada penulisan 1. diagnosis dan terapi



4.



< 20 jam



2 (dua) kali



Interpersonal



dan



Komunikasi



(Interpersonal



Communication) 1. Menerima komplin dari pasien atau keluarga pasien



3 (tiga) kali



2. Menerima komplin dari teman sejawat/ perawat/ staf



3 (tiga) kali



PraktekBerbasisSistem(System Base Practice) Resume medic terbaca, lengkap dan tepat waktu 1. (nama, tanda tangan, tanggal dan jam jelas)



2 (dua) kali



and



Skill



6.



2. Menandatangani Read Back dalam waktu 24 jam



< 90%



Profesionalisme 1. Menghadiri rapat tim medis



2 (dua) kali



2 . Visite DPJP setiap hari kerja selambat lambatnya jam < 90% 11.00



PENILAIAN KINERJA DOKTER RS ISLAM KARAWANG BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM BULAN: ………………..S/D ……………….. (Penilaian tiap 1 tahun) Nama DPJP: …………………………………. No



Indikator



Trigger



Hasil



1



Perawatan Pasien (Patient Care) Pengkajian awal (initial assessment) dilakukan dalam waktu 1. 24 jam sejak pasien MRS Tidak memberikan program nutrisi