Lapkas Anestesi Hernia Inkarserata Pada Neonatus [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN KASUS



GENERAL ANESTESI PADA HERNIA REPAIR PASIEN DENGAN HERNIA INGUINALIS LATERALIS INKARSERATA DEXTRA Diajukan untuk memenuhi Tugas Akhir Kepaniteraan Klinik Madya Di bagian SMF Anestesi dan Reanimasi, Perawatan Intensif Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura



Pembimbing: dr. Albinus Cobis, Sp.An, M.Kes



Oleh: Arif Setiawan, S.Ked (20180811018021)



SMF ANESTESI DAN REANIMASI, PERAWATAN INTENSIF RUMAH SAKIT UMUM DAERAH JAYAPURA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS CENDERAWASIH JAYAPURA 2019



DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PENILAIAN DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 1.1 Latar belakang ............................................................................................... 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 3 2.1. Hernia ........................................................................................................... 3 A. Definisi dan Etiologi ................................................................................... 3 B. Epidemiologi Hernia ................................................................................... 4 C. Klasifikasi Hernia........................................................................................ 4 D. Hernia Inguinalis ......................................................................................... 7 2.2 Anestesi Umum ........................................................................................... 17 A. Definisi ...................................................................................................... 17 B. Anestesi pada anak .................................................................................... 17 C. Faktor-faktor yang harus diperhatikan pada pasien anestesi..................... 18 D. Persiapan prabedah pada anak .................................................................. 19 E. Klasifikasi status fisik ............................................................................... 20 F. Stadium – stadium Anestesi ...................................................................... 21 G Premedikasi pada Bayi dan Anak ............................................................. 31 H. Tatalaksana Jalan nafas pediatric .............................................................. 32 I. Cairan Perioperatif dan Tranfusi Darah pada Pediatri .............................. 35 J. Tatalaksanaan pasca anestesi ..................................................................... 39 BAB III LAPORAN KASUS................................................................................ 42 3.1 Identitas pasien ............................................................................................ 42 3. 2 Anamnesis (Alloanamnesis) ....................................................................... 42 3.3 Pemeriksaan Fisik........................................................................................ 43 3.4 Pemeriksaan Penunjang ............................................................................... 45 3.5 Diagnosa ...................................................................................................... 46 3.6 Penatalaksanaan ........................................................................................... 46 3.7 Konsultasi Terkait ....................................................................................... 47 3.8 Penentuan PS ASA / Status Anestesi .......................................................... 47



ii



3.9 Status Anestesi ........................................................................................... 47 3.10 Persiapan Anestesi ..................................................................................... 48 3.11 Laporan Durante Operasi .......................................................................... 50 3.12 Laporan Operasi ........................................................................................ 51 3.13 Diagram observasi ..................................................................................... 52 3.14 Intruksi post operasi .................................................................................. 52 3.15 Terapi Cairan ............................................................................................. 53 BAB IV PEMBAHASAN ..................................................................................... 58 BAB V PENUTUP ................................................................................................ 64 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 65



iii



BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar belakang Anastesiologi adalah ilmu kedokteran yang pada awalnya berprofesi menghilangkan nyeri dan rumatan pasien sebelum, selama, dan sesudah pembedahan. Anestesiologi berkembang terus sesuai dengan perkembangan ilmu kedokteran. Secara harfiah anestesi berarti ketiadaan rasa atau sensasi nyeri. Dalam arti yang lebih luas, anestesi berarti suatu keadaan hilangnya rasa terhadap suatu rangsangan. Pemberian anestesi dilakukan untuk mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri baik disertai atau tanpa disertai hilangnya kesadaran. Seringkali anestesi dibutuhkan pada tindakan yang berkaitan dengan pembedahan. Anestesi menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan.1 Anestesi (pembiusan) berasal dari bahasa Yunani. An- “tidak, tanpa” dan aesthesos, “persepsi, kemampuan untuk merasa”. Secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.1,2 Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri. Anestesi umum ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi terhadap semua sensasi akibat induksi obat. Dalam hal ini, selain hilangnya rasa nyeri, kesadaran juga hilang. Obat anestesi umum terdiri atas golongan senyawa kimia yang heterogen, yang mendepresi SSP secara reversibel dengan spektrum yang hampir sama dan dapat dikontrol. Obat anastesi umum dapat diberikan secara inhalasi dan secara intravena. Anestesi umum biasanya dimanfaatkan untuk tindakan operasi besar yang memerlukan ketenangan pasien dan waktu pengerjaan lebih panjang, misalnya pada kasus bedah jantung, pengangkatan batu empedu, bedah rekonstruksi tulang, dan lain-lain.2 Cara kerja anestesi umum selain menghilangkan rasa nyeri, menghilangkan kesadaran, dan membuat amnesia, juga merelaksasi seluruh otot. Maka, selama penggunaan anestesi juga diperlukan alat bantu nafas, selain deteksi jantung



1



untuk meminimalisasi kegagalan organ vital melakukan fungsinya selama operasi dilakukan.1 Hernia adalah penonjolan isi perut dari rongga yang normal melalui suatu defek pada fasia dan muskuloaponeuretik dinding perut, baik secara kongenital atau didapat, yang memberi jalan keluar pada setiap alat tubuh selain yang biasa melalui dinding tersebut. Lubang itu dapat timbul karena lubang embrional yang tidak menutup atau melebar, akibat tekanan rongga perut yang meninggi.3 Hernia Inguinalis merupakan kelainan congenital cukup sering ditemukan baik oleh dokter umum, dokter anak dan ahli bedah. Dan masih sering terdapat laporan terjadi keruskan testis, ovarium dan usus akibat inkarserasi dan strangulasi hernia inguinalis, sehigga dibutuhkan diagnosis dini dan pembedahan lebih awal untuk mencegahnya.4 Sekitar 75% hernia terjadi di sekitar lipat paha, berupa hernia inguinal direk, indirek serta hernia femoralis; hernia insisional 10%, hernia ventralis 10%, hernia umbilikus 3% dan hernia lainnya sekitar 3%. Pada hernia inguinalis lebih sering pada laki-laki daripada perempuan.5



2



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1. Hernia A. Definisi dan Etiologi Kata hernia berarti penonjolan suatu kantong peritoneum, suatu organ atau lemak praperitoneum melalui cacat kongenital atau akuisita (dapatan). Hernia terdiri atas cincin, kantong, dan isi hernia. Pada hernia abdomen, isi perut menonjol melalui defek atau bagian lemah dari lapisan muskuloaponeurotik dinding perut.5 Berdasarkan terjadinya, hernia dibagi atas hernia bawaan atau kongenital dan hernia dapatan atau akuisita. Hernia diberi nama menurut letaknya, hernia diafragma, inguinal, umbilikal dan femoral. Menurut sifatnya, hernia dapat disebut hernia reponibel bila isi hernia dapat keluar masuk dan bila isi kantong tidak dapat direposisi kembali ke dalam rongga perut disebut hernia ireponibel.6 Hernia inguinalis dapat terjadi karena anomali kongenital atau karena sebab yang di dapat. Hernia dapat dijumpai pada setiap usia. Lebih banyak pada laki-laki dari pada perempuan. Berbagai faktor penyebab berperan pada pembentukan pintu masuk hernia pada anulus internus yang cukup lebar sehingga dapat dilalui oleh kantong dan isi hernia. Selain itu diperlukan faktor yang mendorong isi hernia melewati pintu masuk hernia.7 Faktor yang dipandang berperan dalam hernia yaitu: a. Prosesus vaginalis yang terbuka, kurang dari 90% prosessus vaginalis tetap terbuka, sedangkan pada bayi umur 1 tahun sekitar 30% prosessus vaginalis belum tertutup. Tidak sampai 10% dari anak dengan prosessus vaginalis paten menderita hernia. Pada lebih dari separuh populasi anak dapat dijumpai prosessus vaginalis paten kontralateral, tetapi insiden hernia tidak melebihi 20%. Umumnya disimpulkan adanya prosessus vaginalis yang paten bukan merupakan penyebab tunggal terjadinya hernia, tetapi diperlukan faktor lain, seperti anulus inguinalis yang cukup lebar. b. Peninggian tekanan di rongga abdomen yang kronis, seperti batuk kronik, hipertropi prostat, konstipasi dan acites sering disertai inguinalis c. Kelemahan otot dinding perut karena faktor usia.



3



B. Epidemiologi Hernia Sekitar 75% hernia terjadi di sekitar lipat paha, berupa hernia inguinal direk, indirek serta hernia femoralis; hernia insisional 10%, hernia ventralis 10%, hernia umbilikus 3% dan hernia lainnya sekitar 3%. Pada hernia inguinalis lebih sering pada laki-laki daripada perempuan.8 C. Klasifikasi Hernia Berdasarkan tempat terjadinya, hernia terbagi atas8: 1. Hernia Femoralis Pintu masuk hernia femoralis adalah anulus femoralis. Selanjutnya, isi hernia masuk ke dalam kanalis femoralis yang berbentuk corong sejajar dengan vena femoralis sepanjang kurang lebih 2 cm dan keluar pada fosa ovalis. 2. Hernia Umbilikalis Hernia umbilikalis merupakan hernia kongenital pada umbilikus yang hanya tertutup peritoneum dan kulit akibat penutupan yang inkomplet dan tidak adanya fasia umbilikalis. 3. Hernia Paraumbilikus Hernia paraumbilikus merupakan hernia melalui suatu celah di garis tengah di tepi kranial umbilikus, jarang terjadi di tepi kaudalnya. Penutupan secara spontan jarang terjadi sehingga umumnya diperlukan tindakan operasi untuk dikoreksi. 4. Hernia Epigastrika Hernia epigastrika atau hernia linea alba adalah hernia yang keluar melalui defek di linea alba antara umbilikus dan prosessus xifoideus. 5. Hernia Ventralis Hernia ventralis adalah nama umum untuk semua hernia di dinding perut bagian anterolateral; nama lainnya adalah hernia insisional dan hernia sikatriks. 6. Hernia Lumbalis Di daerah lumbal antara iga XII dan krista iliaka, ada dua trigonum masingmasing trigonum kostolumbalis superior (ruang Grijinfelt/lesshaft) berbentuk segitiga terbalik dan trigonum kostolumbalis inferior atau trigonum iliolumbalis berbentuk segitiga.



4



7. Hernia Littre Hernia yang sangat jarang dijumpai ini merupakan hernia berisi divertikulum Meckle. Sampai dikenalnya divertikulum Meckle, hernia littre dianggap sebagai hernia sebagian dinding usus. 8. Hernia Spiegheli Hernia spieghell ialah hernia vebtralis dapatan yang menonjol di linea semilunaris dengan atau tanpa isinya melalui fasia spieghel. 9. Hernia Obturatoria Hernia obturatoria ialah hernia melalui foramen obturatorium. 10. Hernia Perinealis Hernia perinealis merupakan tonjolan hernia pada perineum melalui otot dan fasia, lewat defek dasar panggul yang dapat terjadi secara primer pada perempuan multipara atau sekunder pascaoperasi pada perineum, seperti prostatektomi, reseksi rektum secara abdominoperineal, dan eksenterasi pelvis. Hernia keluar melalui dasar panggul yang terdiri atas otot levator anus dan otot sakrokoksigeus beserta fasianya dan dapat terjadi pada semua daerah dasar panggul. 11. Hernia Pantalon Hernia pantalon merupakan kombinasi hernia inguinalis lateralis dan medialis pada satu sisi. Menurut sifatnya hernia terbagi atas7: 1. Hernia reponibel Hernia reponibel apabila isi hernia dapat keluar-masuk. Usus keluar ketika berdiri atau mengejan, dan masuk lagi ketika berbaring atau bila didorong masuk ke dalam perut. Selama hernia masih reponibel, tidak ada keluhan nyeri atau obstruksi usus. 2. Hernia ireponibel Hernia ireponibel apabila isi hernia tidak dapat direposisi kembali ke dalam rongga perut. Biasanya disebabkan oleh pelekatan isi kantong kepada peritoneum kantong hernia. 3. Hernia Inkaserata atau Hernia strangulate



5



Hernia inkaserata apabila isi hernia terjepit oleh cincin hernia sehingga isi kantong terperangkap dan tidak dapat kembali ke dalam rongga perut. Akibatnya terjadi gangguan pasase atau vaskularisasi. Hernia inkaserata lebih dimaksudkan untuk hernia ireponibel yang di sertai gangguan pasase, sedangkan hernia strangulata digunakan untuk menyebut hernia ireponibel yang disertai gangguan vaskularisasi.9



Gambar 1. Klasifikasi Hernia Menurut Sifat Keterangan gambar 1.: (1) Kulit dan jaringan subkutan (2) Lapisan otot (3) Jaringan praperitoneal (4) Kantong hernia dengan usus. (A) Hernia reponibel tanpa inkaserasi dan strangulasi, (B) Hernia ireponibel, (C) Hernia inkaserata dengan ileus obstruksi usus, (D) Hernia strangulata. 4. Hernia Richter Hernia Richter apabila strangulasi hanya menjepit sebagian dinding usus. Komplikasi dari hernia richter adalah strangulasi sampai terjadi perforasi usus.



Keterangan: (A) Hernia Richter tanpa ileus obstruksi, (B) Hernia Richter dengan ileus obstruksi.



Gambar 2. Gambaran hernia Richter



6



5. Hernia Interparietalis Hernia yang kantongnya menjorok ke dalam celah antara lapisan dinding perut. 6. Hernia Eksterna Hernia eksterna apabila hernia menonjol keluar melalui dinding perut, pinggang atau perineum. 7. Hernia Interna Hernia interna apabila tonjolan usus tanpa kantong hernia melalui suatu lubang dalam rongga perut, seperti foramen winslow, resesus retrosekalis atau defek dapatan pada mesenterium setelah operasi anastomosis usus. 8. Hernia Insipiens Hernia yang membalut merupakan hernia indirect pada kanalis inguinalis yang ujungnya tidak keluar dari anulus eksternus. 9. Hernia Sliding Hernia yang isi kantongnya berasal dari organ yang letaknya ekstraperitoneal. 10. Hernia Bilateral Defek terjadi pada dua sisi. D. Hernia Inguinalis a. Definisi Hernia Inguinalis Hernia inguinalis adalah kondisi prostrusi (penonjolan) organ intestinal masuk ke rongga melalui defek atau bagian dinding yang tipis atau lemah dari cincin inguinalis. Materi yang masuk lebih sering adalah usus halus, tetapi bisa juga merupakan suatu jaringan lemak atau omentum.9 b. Anatomi Regio Inguinalis Kanalis inguinalis adalah saluran yang berjalan oblik (miring) dengan panjang 4cm dan terletak 2-4cm di atas ligamentum inguinale, Ligamentum Inguinale merupakan penebalan bagian bawah aponeurosis muskulus oblikus eksternua. Terletak mulai dari SIAS sampai ke ramus superior tulang pubis.10



7



Dinding yang membatasi kanalis inguinalis adalah10: 1. Anterior Dibatasi oleh aponeurosis muskulus oblikus eksternus dan 1/3 lateralnya muskulus oblikus internus. 2. Posterior Dibentuk oleh aponeurosis muskulus transversus abdominis yang bersatu dengan fasia transversalis dan membentuk dinding posterior di bagian lateral. Bagian medial dibentuk oleh fasia transversa dan konjoin tendon, dinding posterior berkembang dari aponeurosis muskulus transversus abdominis dan fasia transversal. 3. Superior Dibentuk oleh serabut tepi bawah muskulus oblikus internus dan muskulus transversus abdomnis dan aponeurosis. 4. Inferior Dibentuk oleh ligamentum inguinale dan lakunare bagian ujung atas dari kanalis inguinalis adalah internal inguinal ring. Ini merupakan defek normal dan fasia transversalis dan berbentuk huruf “U” dan “V” dan terletak di bagian lateral dan superior. Batas cincin interna adalah pada bagian atas muskulus transversus abdominis, iliopubik tract dan interfoveolar (Hasselbach) ligament dan pembuluh darah epigastrik inferior di bagian medial.



Gambar 3. Letak Anatomi Inguinalis



8



Kanalis inguinalis pria terdapat duktus deferens, tiga arteri yaitu: arteri spermatika interna, arteri diferential dan arteri spermatika eksterna, lalu plexus vena pampiniformis, juga terdapat tiga nervus yaitu: cabang genital dari nervus genitofemoral, nervus ilioinguinalis dan serabut simpatis dari plexus hipogastrik dan tiga lapisan fasia yaitu: fasia spermatika eksterna yang merupakan lanjutan dari fasia innominate, lapisan kremaster berlanjut dengan serabut-serabut muskulus oblikus internus, dan fasia otot lalu fasia spermatika interna yang merupakan perluasan dari fasia transversal.10 Lalu aponeurosis muskulus oblikus eksternus di bawah linea arkuata (douglas), bergabung dengan aponeurosis muskulus oblikus internus dan transversus abdominis yang membentuk lapisan anterior rektus. Aponeurosis ini membentuk tiga struktur anatomi di dalam kanalis inguinalis berupa ligamentum inguinale, lakunare dan refleksi ligamentum inguinale (Colles).10 Ligamentum lakunare terletak paling bawah dari ligamentum inguinale dan dibentuk dari serabut tendon oblikus eksternus yang berasal dari daerah sias. Ligamentum ini membentuk sudut 50 x/m



18



-



4 years



75-115



98



57



16-19 x/m



8 years



60-110



112



60



16-19 /m



Pengaruh suhu Suhu bayi sangat dipengaruhi oleh suhu udara disekitanya, selama anestesi tubuh menjadi poikilothermia (tidak adanya kemampuan tubuh mengatur suhu tubuh sendiri), menyesuaikan diri dengan suhu disekitarnya karena pusat pengaturan suhu di hypothalamus belum berkembang dengan baik, hal ini, dapat menimbulkan bahaya hipotermia pada lingkungan yang dingin dan hipertermia pada lingkungan yang panas.17



D. Persiapan prabedah pada anak Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor terjadinya kesulitan dalam anestesia. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah pasien dalam keadaan optimal.17 1. Penilaian pra bedah -



Anamnesis Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatalgatal atau sesak napas pasca bedah. Beberapa peneliti menganjurkan obat yang menimbulkan masalah dimasa lampau sebaiknya tidak digunakan ulang, misalnya halotan jangan digunakan ulang dalam waktu tiga bulan, suksinilkolin yang menimbulkan apnoe berkepanjangan juga tidak dianjurkan untuk diulang penggunaannya. Pada pasien pediatrik digunakan teknik anamnesis aloanamnesis (anamnesis pada keluarga pasien).18



-



Pemeriksaan fisik Pemeriksaan gigi-geligi, area dalam mulut, ukuran lidah yang relatif besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Pada pasien dengan ukuran leher yang pendek juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin secara sistemik



19



tentang keadaan umum tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.17 -



Pemeriksaan laboratorium Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan (Hb, leukosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis.2



-



Puasa Puasa, dengan aturan sebagai berikut : Cairan jernih tanpa



Usia



Susu formula/ASI



36 bulan



8 jam



partikel



1



jam



E. Klasifikasi status fisik Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang adalah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat perkiraan resiko anestesia, karena dampak samping



anestesia



tidak



dapat



dipisahkan



dari



dampak



samping



pembedahan.1 Kelas I



Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.



Kelas II



Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.



Kelas III



Pasien dengan penyakit sistemik berat,



sehingga



aktivitas



rutin



terbatas. Kelas IV



Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.



20



Kelas V



Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.



F. Stadium – stadium Anestesi Stadium anestesi dibuat berdasarkan efek ether. Ether merupakan zat anestetik volatile yang poten dan digunakan luas pada zamannya. Selama masa penggunaan ether yang cukup lama, dilakukan observasi dan pencatatan lengkap mengenai anestesi yang terjadi. Klasifikasi Guedel dibuat oleh Arthur Ernest Guedel pada tahun 1937, meliputi1,2: 1. Stadium 1: Stadium induksi. Ini adalah periode sejak masuknya obat induksi hingga hilangnya kesadaran, yang antara lain ditandai dengan hilangnya reflex bulu mata. 2. Stadium 2: Stadium eksitasi. Setelah kesadaran hilang, timbul eksitasi dan delirium. Pernafasan menjadi irregular, dapat terjadi pasien menahan nafas. Timbul gerak-gerakan involuntar, seringkali spastik. Pasien juga dapat muntah dan ini dapat membahayakan jalan nafas. Stadium 2 adalah stadium yang beresiko tinggi. 3. Stadium 3: Stadium pembedahan (surgical anestesi), dibagi atas empat plana, yaitu: -



Plana 1: ventilasi teratur, mata terfiksasi.



-



Plana 2: reflex cahaya menurun dsn reflex kornea hilang.



-



Plana 3: reflex cahaya hilang, tonus otot makin menurun.



-



Plana 4: ventilasi tidak teratur dan tidak adekuat.



Pada stadium ini otot-otot akan relaks, pernafasan menjadi teratur. Pembedahan dimulai. 4. Stadium 4: Stadium intoksikasi. Anestesi menjadi terlalu dalam. Terjadi depresi berat semua sistem tubuh, termasuk batang otak. Potensi bahaya yang demikian besar mendorong usaha-usaha untuk memperbaiki teknik anestesi. Anestesi modern telah berkembang menjadi prosedur yang mengutamakan keselamatan pasien.



21



E. Jenis – Jenis Obat Anestesi 1. Obat Anestesi Intra Vena Anestesi intravena selain untuk induksi juga dapat digunakan sebagai rumatan anestesi, tambahan pada analgesia regional atau untuk membantu prosedur diagnostik misalnya thiopental, ketamin dan propofol, untuk anestesi intravena total biasanya menggunakan propofol. Propofol belum direkomendasikan penggunaanya untuk anak dibawah usia 4 tahun, walaupun sudah banyak digunakan, bahkan pada neonatus, hampir semua obat induksi intravena menyebabkan hipotensi, kecuali ketamin. Proporsi curah jantung yang mencapai otak lebih besar pada neonatus dibandingkan pada anak yang lebih besar, sehingga dosis untuk induksi intravena pada neonatus menjadi lebih kecil. Fungsi ginjal dan hati yang belum sempurna menyebabkan ekskresi obat lebih lambat sehingga interval dosis yang diberikan harus lebih lambat untuk menghindari toksis.17 Dosis intra vena



Dosis inisial (mg/kg)



Laju infuse ug/kg/menit



Propofol



1-2 mg/kg



100-200 ug/kg/menit



Ketamin



1-2 mg/kg



25-100 ug/kg/menit



Midazolam



0,5-1 mg/kg PO atau PR 0,1-0,2 mg/kg IV atau IM 0,2 mg/kg intranasal



2.



Diazepam



0,2 mg/kg PO atau PR



Thiopental



3,5 mg/kg



Obat Anestesi Inhalasi Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2 > 4 liter/menit atau campuran N2O : O2 = 4 : 2. Aliran > 4 liter/menit, dimulai dengan halotan 0,5 vol %, dinaikkan secara bertahap 0,5 Vol % tiap 3-5 kali nafas sampai pasien tertidur. 2 



Enfluran merupakan derivat eter (Kombinasi ikatan eter stabil dengan halogen). Sifat enfluran yaitu berbau tajam, bentuknya cair dalam suhu ruangan, berwarna jernih dan tidak mudah terbakar. 22



Enfluran dapat tunggal atau kombinasi dengan N2O, opioid. Sekitar 3% enfluran mengalami metabolisme oksidatif membentuk fluoride inorganik dan senyawa fluoride organik. Efek pada Otak yaitu dapat meningkatkan produksi CSF dan resistensi penyerapan CSF sehingga ICP naik. Enfluran (>2 MAC) menimbulkan frekwensi cepat & voltasi tinggi pada EEG yang disertai kejang tonik klonik dari otot skelet wajah dan ekstremitas. Kontraindikasi pemberian Enfluran yaitu gangguan ginjal, peningkatan ICP, gangguan hemodinamik, hingga malignant hyperthermia.1 



Isofluran mempunyai sifat bau yang menyengat seperti eter. Tidak mudah terbakar dan stabil seperti enfluran. efek pada kardiovaskuler yaitu sedikit memiliki efek β-adrenergik. Kemudian efek pada respirasi yaitu mengiritasi refleks saluran napas atas. Isofluran juga merupakan bronkodilator yang baik. Efek pada otak yaitu ICP dapat naik, apabila MAC > 1. Terjadinya peningkatan ICP dapat dicegah dengan hiperventilasi (pemberiannya bersamaan). Kontraindikasi pemberian isofluran adalah dapat menyebabkan hipovolemia berat.17







Desfluran mempunyai struktur kimia yang mirip dengan isofluran. Sifatnya bertekanan uap tinggi, masa kerjanya sangat pendek. Kontraindikasi pemberian desfluran yaitu dapat menyebabkan hipovolemia berat, dan dapat meningkatkan tekanan intra kranial.18







Sevofluran mempunyai kelarutan dalam darah sedikit lebih besar dari desluran (0,69). sifat sevofluran yaitu tidak berbau, MAC rendah, sangat baik untuk induksi inhalasi dan recovery dari anestesi lebih cepat. Efek pada kardiovaskuler yaitu depresi kontraktilitas miokard minimal, kemudian Heart Rate sedikit meningkat, mulai pada konsentrasi 1,5 MAC, sementara cardiac output relatif tidak berubah. kemudian efek pada respirasi yaitu dapat menyebabkan depresi pernapasan. pada otak dapat memberikan efek ICP dan CBF yang sedikit meningkat, sementara aktifitas kejang tidak terjadi. pada neuromuskuler, relaksasi otot baik. kontraindikasi pada pemberian induksi sevofluran yaitu juga dapat menyebabkan



23



hipovolemia berat, riwayat atau dugaan malignant hyperthermia, dan juga peningakatan Tekanan intra kranial. Ideal untuk intubasi pada anak diinduksi menggunakan sevofluran sebab recovery pasca anestesi lebih cepat. Selain itu, sevofluran lebih disenangi karena pada penggunannya, pasien jarang batuk, walaupun diberikan langsung dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol %, seperti dengan halotan konsentrasi dipertahankan sesuai dengan yang dibutuhkan. Induksi dengan enfluran, isofluran, atau desfluran jarang dilakukan karena pasien sering batuk dan waktu induksi lebih lama. Obat anestesi inhalasi lebih cepat mencapai otak sehingga lebih mudah untuk melakukan induksi anestesi, begitu pula dengan waktu pulih yang lebih cepat. Nekrosis sel hati setelah anesthesia dengan halotan mungkin saja terjadi, tetapi mekanismenya belum jelas.1,2 3.



Obat Pelumpuh Otot Obat pelumpuh otot dibagi menjadi dua kelas yaitu pelumpuh otot depolarisasi (nonkompetitif, leptokurare) dan nondepolarisasi (kompetitif, takikurare). Obat pelumpuh otot depolarisasi sangat menyerupai asetilkolin, sehingga ia bisa berikatan dengan reseptor asetilkolin dan membangkitkan potensial aksi otot. Akan tetapi obat ini tidak dimetabolisme oleh asetilkolinesterase, sehingga konsentrasinya tidak menurun dengan cepat yang mengakibatkan perpanjangan depolarisasi di motor-end plate. Sedangkan obat pelumpuh otot nondepolarisasi tidak dimetabolisme baik oleh asetilkolinesterase maupun pseudokolinesterase. Efek obat pelumpuh otot nondepolarisasi tergantung pada redistribusinya, metabolisme, ekskresi oleh tubuh dan administrasi agen pembalik lainnya (kolinesteraseinhibitor).18 1. Pelumpuh Otot Depolarisasi Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah sinaps tidak dirusak dengan asetilkolinesterase sehingga bertahan cukup lama menyebabkan terjadinya depolarisasi yang ditandai dengan fasikulasi yang diikuti relaksasi otot lurik. Termasuk



24



golongan



ini



adalah



suksinilkolin



(diasetil-kolin)



dan



dekametonium.1,2 a. Suksinilkolin (diasetilkolin, suxamethonium) Suksinilkolin terdiri dari 2 molekul asetilkolin yang bergabung. obat ini memiliki onset yang cepat (30-60 detik) dan duration of action yang pendek (kurang dari 10 menit). Ketika suksinilkolin memasuki



sirkulasi,



sebagian besar



dimetabolisme oleh



pseudokolinesterase menjadi suksinilmonokolin. Proses ini sangat efisien, sehingga hanya fraksi kecil dari dosis yang dinjeksikan yang mencapai neuromuscular junction. Duration of action akan memanjang pada dosis besar atau dengan metabolisme abnormal, seperti hipotermia atau rendahnya level pseudokolinesterase. Rendahnya level pseudokolinesterase ini ditemukan pada kehamilan, penyakit hati, gagal ginjal dan beberapa terapi obat.1,2 1). a)



Interaksi obat Kolinesterase inhibitor Kolinesterase inhibitor memperpanjang fase I block pelumpuh otot depolarisasi dengan 2 mekanisme yaitu dengan menghambat kolinesterase, maka jumlah asetilkolin akan



semakin



banyak,



maka



depolarisasi



meningkatkan depolarisasi. Dan juga akan



akan



menghambat



pseudokolinesterase.1 b) Pelumpuh otot nondepolarisasi Secara



umum,



dosis



kecil



dari



pelumpuh



otot



nondepolarisasi merupakan antagonis dari fase I bock pelumpuh otot depolarisasi, karena menduduki reseptor asetilkolin sehingga depolarisasi oleh suksinilkolin sebagian dicegah.2 2).



Dosis Karena onsetnya yang cepat dan duration of action yang pendek, banyak dokter yang percaya bahwa suksinilkolin



25



masih merupakan pilihan yang baik untuk intubasi rutin pada dewasa. Dosis yang dapat diberikan adalah 1 mg/kg IV.1 3).



Efek samping dan pertimbangan klinis Karena risiko hiperkalemia, rabdomiolisis dan cardiac arrest pada anak dengan miopati tak terdiagnosis, suksinilkolin masih dikontraindikasikan pada penanganan rutin anak dan remaja. Efek samping dari suksinilkolin adalah: 



Nyeri otot pasca pemberian







Peningkatan tekanan intraocular







Peningkatan tekakanan intracranial







Peningkatan kadar kalium plasma







Aritmia jantung







Salivasi







Alergi dan anafilaksis



2. Obat pelumpuh otot nondepolarisasi a. Pavulon Pavulon merupakan steroid sintetis yang banyak digunakan. Memiliki efek akumulasi pada pemberian berulang sehingga dosis rumatan harus dikurangi dan selang waktu diperpanjang. Dosis awal untuk relaksasi otot 0,08 mg/kgBB intravena pada dewasa. Dosis rumatan setengah dosis awal. Dosis Intubasi trakea 0,15 mg/kgBB intravena. Kemasan ampul 2 ml berisi 4 mg pavulon.17 b. Atracurium 1) Struktur fisik Atracurium mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal



dari



tanaman



Leontice



Leontopeltalum.



Keunggulannya adalah metabolisme terjadi di dalam darah, tidak bergantung pada fungsi hati dan ginjal, tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang.1



26



2) Dosis 0,5 mg/kg iv, 30-60 menit untuk intubasi. Relaksasi intraoperative 0,25 mg/kg initial, laly 0,1 mg/kg setiap 1020 menit. Infuse 5-10 mcg/kg/menit efektif menggantikan bolus. Lebih cepat durasinya pada anak dibandingkan dewasa. Tersedia dengan sediaan cairan 10 mg/cc. disimpan dalam suhu 2-8OC, potensinya hilang 5-10 % tiap bulan bila disimpan pada suhu ruangan. Digunakan dalam 14 hari bila terpapar suhu ruangan.1,2 3). Samping dan pertimbangan klinis Histamine release pada dosis diatas 0,5 mg/kg c.



Vekuronium 1). Struktur fisik Vekuronium merupakan homolog pankuronium bromida yang berkekuatan lebih besar dan lama kerjanya singkat Zat anestetik ini tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang dan tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna.17 2). Metabolisme dan eksresi Tergantung dari eksresi empedu dan ginjal. Pemberian jangka panjang dapat memperpanjang blokade neuromuskuler. Karena akumulasi metabolit 3-hidroksi, perubahan klirens obat atau terjadi polineuropati. Faktor risiko wanita, gagal ginjal, terapi kortikosteroid yang lama dan sepsis.



Efek pelemas otot



memanjang pada pasien AIDS. Toleransi dengan pelemas otot memperpanjang penggunaan.1,2 3). Dosis Dosis intubasi 0,08 – 0,12 mg/kg. Dosis 0,04 mg/kg diikuti 0,01 mg/kg setiap 15 – 20 menit. Drip 1 – 2 mcg/kg/menit. Umur tidak mempengaruhi dosis. Dapat memanjang durasi pada pasien post partum. Karena gangguan pada hepatic blood flow. Sediaan 10 mg serbuk. Dicampur cairan sebelumnya.1,2



27



d. Rokuronium 1). Struktur Fisik Zat ini merupakan analog vekuronium dengan awal kerja lebih cepat. Keuntungannya adalah tidak mengganggu fungsi ginjal, sedangkan kerugiannya adalah terjadi gangguan fungsi hati dan efek kerja yang lebih lama.17 2). Metabolisme dan eksresi Eliminasi terutama oleh hati dan sedikit oleh ginjal. Durasi tidak terpengaruh oleh kelainan ginjal, tapi diperpanjang oleh kelainan hepar berat dan kehamilan, baik untuk infusan jangka panjang (di ICU). Pasien orang tua



menunjukan



prolong



durasi.17 3). Dosis Potensi lebih kecil dibandingkan relaksant steroid lainnya. 0,45 – 0,9 mg / kg iv untuk intubasi dan 0,15 mg/kg bolus untuk rumatan. Dosis kecil 0,4 mg/kg dapat pulih 25 menit setelah intubasi. Im ( 1 mg/kg untuk infant ; 2 mg/kg untuk anak kecil) adekuat pita suara dan paralisis diafragma untuk intubasi. Tapi tidak sampai 3 – 6 menit dapat kembali sampai 1 jam. Untuk drip 5 – 12 mcg/kg/menit. Dapat memanjang pada pasien orang tua.18 4). Efek samping dan manifestasi klinis Onset cepat hampir mendekati suksinilkolin tapi harganya mahal. Diberikan 20 detik sebelum propofol dan thiopental. Rocuronium (0,1 mg/kg) cepat 90 detik dan efektif untuk prekurasisasi sebelum suksinilkolin. Ada tendensi vagalitik.17 4.



Obat Analgetik Opioid pada Bayi dan Anak Neonatus lebih sensitive terhadap analgetik opiod karena pusat pernapasan yang belum matur, sehingga dapat meningkatkan resiko terjadinya sleep apnoe, bersihan morfin pada anak lebih panjang 4 kali lipat dibandingkan dewasa. Albumin dan 1 acid glycoprotein adalah dua



28



protein utama yang mengikat opioid. Kedua protein ini mengalami perubahan jumlah dan kematangan sesuai dengan penambahan usia.1,2 Sering terjadi bradikardia dan hipotensi pada pemberian opioid (dose dependent), dapat terjadi kekakuan dinding dada, terutama pada penggunaan fentanil, efek samping opioid, seperti depresi pernapasan dan sedasi sering terjadi pada bayi. Pemberian morfin melalui intratekal atau epidural harus diawasi dengan ketat.1 1. Fentanil a. Dosis Penderita yang belum pernah menerima analgesik opioid kuat; dosis awal; satu patch '25 mcg/jam' diganti setelah 72 jam; penderita yang pernah menerima analgesik opioid; dosis awal didasarkan kebutuhan opioid dalam 24 jam sebelumnya (morfin sulfat oral 90 mg per 24 jam- satu tapel '24 mcg/jam'; lihat lembaran informasi untuk perinciannya); pada anak tidak dianjurkan. Catatan: Bila baru mulai menggunakan Durogesic penilaian efek analgesiknya jangan dilakukan sebelum cara ini dipakai selama 24 jam (untuk menaikkan kadar plasma fentanil sedikit demi sedikit) pemberian analgesik



sebelumnya



sebaiknya dihentikan bertahap sejak aplikasi tapel yang pertama; penyesuaian dosis umumnya dilakukan setiap 72 jam dengan '25 mcg/jam'. Boleh dipakai lebih dari satu tapel sekaligus bila dosis lebih besar dari '100 mcg/jam' (tetapi tempelkan pada saat yang sama supaya tidak bingung) pertimbangkan pengobatan analgesik tambahan/ alternatif bila dosis yang dibutuhkan melebihi 300 mcg/jam (penting: mungkin diperlukan 17 jam/ lebih untuk berkurangnya kadar fentanil sebanyak 50%; karena itu pengobatan opioid pengganti sebaiknya dimulai dengan dosis rendah; dinaikkan sedikit demi sedikit).17



29



2. Morfin Dosis Pada Usia 1 bulan 150 mcg/kgBB, usia 1-12 bulan 200 mcg/kgBB, usia 1-5 tahun 2,5 - 5 mg/kgBB. Usia 6-12 tahun 5-10 mg/kgBB; dosis tunggal maksimal yaitu 15 mg. cara pemberian morfin bisa melalui injeksi Subkutan/intramuscular, maupun intravena yang disuntikkan secara perlahan-lahan. dosisnya seperempat hingga setengah dosis intramuskular. Catatan: selama pasca bedah, pasien sebaiknya dimonitor secara saksama pada penghilangan rasa nyerinya juga efek samping yang mungkin timbul, terutama penekanan pernapasan.1 5.



Mekanisme Kerja Obat Analgetik Obat analgetik pada dasarnya terbagi dua, yaitu yang bekerja diperifer dan yang bekerja di sentral. Golongan obat AINS (anti inflamasi non seroid) berkerja diperifer dengan cara menghambat pelepasan mediator sehingga aktivitas enzim siklooksigenase terhambat dan sintesa prostaglandin tidak terjadi. Pada golongan opioid, bekerja disentral dengan cara menempati reseptor di kornus dorsalis medula spinal sehingga terjadi penghambatan pelepasan transmitter dan perangsangan ke saraf spinal tidak terjadi.2



6.



Mekanisme Kerja Opioid Ada empat tempat yang telah diidentifikasi dimana opioid dapat bekerja untuk menghilangkan nyeri. Ketika morfin atau jenis opioid lain diberikan kepada pasien maka terjadi: 1.



Aktivitasi reseptor opioid di midbrain dan “turning on” sistem desending (melalui disinhibisi).



2. Aktivitas reseptor opioid pada trasmisi sel second-order untuk mencegah transmisi ascending dari sinyal nyeri. 3. Aktivitas reseptor opioid di sentral terminal C-fiber di medulla spinalis, mencegah pelepasan neurotranmiter nyeri. 4.



Aktivasi reseptor opioid di perifer untuk menghambat aktivitas dari nosiseptor yang dapat melepaskan mediator inflamasi.



30



Ketamin dinyatakan dalam stoelting tahun 2006 dapat beriteraksi dengan reseptor opioid yaitu Mu, delta, sigma dan kappa. Ketamin sebagai non kompetitif antagonis reseptor NMDA (N-Methyl D-Aspartat) berperan dalam menghambat sentisisasi sentral. Pada proses sensitisasi sentral, salah satu yang berperan sebagai neurotransmitter eksitatori. Melengketnya glutamate di membran post sinaps akan menyebabkan transmisi implus saraf dan menyebabkan saraf turun ambang nyerinya. Keadaan menyebabkan timbulnya allodinia dan hiperalgesia. Ketamin akan menduduki reseptor NMDA dan bukannya glutamate, sehingga mengurangi fase awal dari sensitisasi sentral.1,2 G. Premedikasi pada Bayi dan Anak Tujuan utama melakukan premedikasi pada anak adalah untuk memberikan kenyamanan kepada pasien, sehingga kecemasan pada saat induksi anesthesia berkurang, kecemasan sebelum induksi anesthesia dapat berakibat meningkatnya kadar hormon stress dan dapat menyulitkan proses induksi anestesi. Bayi berusia kurang dari 6 bulan dapat dipisahkan dengan mudah dari orang tunya, hanya dengan membuat lingkunganya senyaman mungkin, seperti diberi selimut atau boneka yang lembut, atau dibiarkan memakai ‘empeng’. Bayi diatas 6 bulan sampai usia toddler membutuhkan premedikasi untuk memudahkan pemisahan dengan orang tua, begitu juga dengan anak yang sudah berkali-kali masuk rumah sakit atau anak dengan gangguan komunikasi. Berbagi cara dapat dilakukan sebagai premedikasi, mulai dari kehadiran orang tua saat induksi, premedikasi tanpa obat, maupun dengan obat. Obat premedikasi yang dapat diberikan juga bermacam-macam. Yang paling sering digunakan adalah midazolam, ketamin dan klonidin, dengan cara pemberian yang juga berbeda-beda. Keputusan untuk menggunakan teknik premedikasi tertentu harus berdasarkan kebutuhan individual pasien, orang tua dan dokter anestesiologi. Premedikasi tidak diberikan pada kondisi sebagai berikut17: -



Kemungkinan kesulitan ventilasi dan intubasi.



-



Pasien sakit kritis.



-



Pasien dengan resiko besar terjadi aspirasi atau regurgitasi isi lambung.



31



H. Tatalaksana Jalan nafas pediatric17  Pengetahuan mengenal anatomi dan fisiologi jalan napas pediatric merupakan hal yang wajib diketahui sebelum melakukan tatalaksana jalan napas pada pasien anak.  Kebanyakan obstruksi jalan napas pada bayi dan neonatus terjadi karena kesalahan memosisikan leher dan kepala. Fisiologi pernafasan juga tidak sama dengan pasien ini.  Laju metabolisme yang tinggi, cadangan O2 yang rendah dibandingkan dengan berat badannya serta kesulitan dalam memberikan praoksigenasi yang optimal sering menyebabkan desaturasi pada saat induksi anastesia pada pasien anak, terutama bayi dan neonatus.  Evaluasi jalan nafas harus dilakukan sebelum melakukan tindakan anesthesia atau prosedur sedasi pada anak, yang mencakup anamnesis dan pemeriksaan fisik.  Jika diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan penunjang. Banyak gangguan kongenital pada anak yang berhubungan dengan kesulitan dalam tatalaksana jalan nafas. Riwayat infeksi, trauma, inflamasi dan neoplasma pada saluran jalan nafas harus ditanyakan pada saat melakukan anamnesis.  Adanya suara nafas tambahan pada saat tidur, perubahan posisi untuk bernafas, riwayat batuk dan sianosis serta riwayat kesulitan intubasi sebelumnya merupakan faktor yang dapat memprediksi terjadinya kesulitan. Hal penting dalam tatalaksana jalan nafas pada anak adalah memosisikan tubuh pasien : 



Saat melakukan induksi anesthesia, posisikan pasien pada posisi bernafas paling nyaman. Hal itu karena tubuh dan sistem pernapasan pasien sudah beradaptasi dengan kondisi pasien.







Posisi sniffing akan menjaga potensi dari struktur nasofaringeal menjadi lebih terbuka.







Posisikan kepala dan leher dengan menggunakan linen gulung dibawah bahu pasien. Ganjal bahu efektif membuka sudut laring (laryengeal angel



32



= LA), sudut faring (pharyngeal angel = PA), dan sudut bukaan mulut (oral angel = OA), sehingga memudahkan visualisasi laring. 



Mengangkat mandibula (Jaw Thrust) pada anakk terbukti sangat efektif dalam membuka jalan nafas. Dengan mengangkat mandibula, glotis akan lebih terbuka sehingga mulut laring dan faring akan lebih besar. Hal itu akan memperbaiki ventilasi dan tanda klinis.







Mengangkat mandibula (Jaw thrust) juga dapat menurunkan patensi jalan nafas jika terdapat masa jaringan lunak bilateral pada daerah sub dan retromandibular, sehingga dapat terjadi obstruksi jalan nafas supraglotis total atau parsil.



7. Pipa trakea (endotracheal tube) Pipa endotrakea (ETT) yang digunakan untuk anak yang berumur 38 minggu



3,5-4,0 mm



8. Laringoskopi dan intubasi Fungsi laring ialah mencegah benda asing masuk paru.Laringoskop merupakan alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita dapat memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Secara garis besar dikenal dua macam laringoskop2: 1. Bilah, daun (blade) lurus (Macintosh) untuk bayi-anak-dewasa. 2. Bilah lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar-dewasa.



33



Klasifikasi tampakan faring pada saat membuka mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallapati dibagi menjadi 4 gradasi.1



-



Gradasi



Pilar faring



Uvula



Palatum Molle



1



+



+



+



2



-



+



+



3



-



-



+



4



-



-



-



Indikasi intubasi trakea Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Indikasi sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai berikut1: 1.



Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun. Kelainan anatomi, bedah kasus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan napas, dan lain-lainnya.



2.



Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi Misalnya saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka panjang.



3.



Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi



34



-



Kesulitan intubasi 1. Leher pendek berotot 2. Mandibula menonjol 3. Maksila/gigi depan menonjol 4. Uvula tak terlihat 5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas 6. Gerak vertebra servikal terbatas



-



Komplikasi intubasi 2.



Selama intubasi a.



Trauma gigi geligi



b.



Laserasi bibir, gusi, laring



c.



Merangsang saraf simpatis



d.



Aspirasi



3.



-



Setelah ekstubasi a.



Aspirasi



b.



Gangguan fonasi



c.



Edema glottis-subglotis



d.



Infeksi laring, faring, trakea



Ekstubasi 1.



Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika:



a.



Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan



b.



Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi



2.



Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari sekret dan cairan lainnya.



I. Cairan Perioperatif dan Tranfusi Darah pada Pediatri Terapi cairan perioperatif digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu: penggantian kekurangan cairan yang terjadi sebelum operasi, pemberian cairan rumatan dan penggantian kehilangan selama operasi.1 Tujuan pemberian cairan2: 1. Menggantikan kehilangan/defisit. 2. Kebutuhan rumatan.



35



3. Mencukupi volume cairan untuk mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat. Pemberian tranfusi darah pada neonatus atau bayi, harus didasari oleh indikasi yang jelas, mempergunakan nilai batas toleransi hematokrit yang optimal sesuai dengan umur pasien. Hendaknya nilai hematokrit diperiksa sebelum operasi dan selanjutnya periksa ulang secara periodik selama operasi berlangsung, sesuai dengan indikasi.1,2 1.



Kebutuhan cairan pengganti defisit sebelum operasi Rehidrasi dapat ditemui pada kondisi klinis yang umum, seperti muntah, diare atau demam. Derajat dehidrasi dapat diperhitungkan berdasarkan tanda klinis dan hanya memberikan prediksi kekurangan cairan. Pada dehidrasi ringan, tanda atau gejala klinis yang berguna adalah rewel, gelisah, rasa haus dan mukosa yang kering. Pada dehidrasi sedang tanda tambahan yang lain adalah takipnoe, kulit dingin, akral pucat, turgor kulit yang menurun, dan mata tampak cekung. Pada dehidrasi berat tanda atau gejala tambahan lain adalah kondisi umum lemah, letargis/tidak sadar, nafas cepat dan dalam, mata semakin cekung dan turgor kulit yang semakin menurun.18 a. Kehilangan darah yang massif Perdarahan yang banyak (syok hemoragic) akan menyebabkan gangguan pada fungsi kardiovaskuler. Syok hipovolemik karena perdarahan merupakan akibat lanjut. Pada keadaan demikian, memperbaiki keadaan umum dengan mengatasi syok yang terjadi dapat dilakukan dengan pemberian cairan elektrolit, plasma, atau darah. Untuk perbaikan sirkulasi, langkah utamanya adalah mengupayakan aliran vena yang memadai. Kelebihan cairan kristaloid yaitu dapat pindah



menembus



membran



semipermeabel



secara



bebas.



kandungannya adalah air dan berbagai elektrolit yang sifatnya isotonik dengan cairan ekstrasel. Sebelumnya, ambil darah ± 10 ml untuk pemeriksaan laboratorium rutin, golongan darah, dan bila perlu Cross test. Jika hemoglobin rendah maka cairan pengganti yang terbaik adalah tranfusi darah. Terapi awal pasien hipotensi adalah cairan resusitasi



36



dengan memakai larutan Ringer Laktat. Secara umum, larutan ringer memiliki efikasi yang sama dengan larutan salin, tetapi larutan ringer memilliki keuntungan berupa kandungan natrium dan klorida yang lebih sedikit serta adanya kalium, magnesium, dan kalsium.1  EBV (Estimated Blood Volume) Premature



: 100 - 120 cc/kgBB



Neonatus



: 80 - 90 cc/kgBB



Infant (umur 3 - 12 bulan) : 75 - 80 cc/kgBB



2.



Dewasa Pria



: 70 cc/kgBB



Dewasa Wanita



: 65 cc/kgBB



Kebutuhan cairan rumatan Kebutuhan cairan rumatan dihitung berdasarkan rekomendasi dari holliday dan segar (rumus 4:2:1) untuk anak dan bayi berusia lebih dari 4 minggu, menggunakan berat badannya. Neonatus aterm > 36 minggu usia kehamilan, kebutuhan cairan rumatan dikurangi pada hari-hari pertama pasca kelahiran bayi normal akan kehilangan cairan hingga 10-15% berat badannya pada masa ini. Kebutuhan cairan rumatan harus ditambah pada anak dengan demam, keringat yang banyak, status hipermetabolik, seperti luka bakar atau pada penggunaan penghangat dan fototerapi.2



Holliday dan segar 1957



100cc/kg/24jam



BB 20 kg



Rumus 4-2-1



10kg pertama



(kebutuhan perjam)



4cc/kg/jam 10-20 kg 2cc/kg/jam >20cc/kg/jam



Kebutuhan elektrolit



Na : 3mmol/kg



Dihitung dari jumlah



K : 2mmol/kg



elektrolit yang terkandung dalam setiap cc ASI



37



Anestesi umum akan menurunkan kebutuhan kalori hingga mendekati laju metabolisme basal. Selama operasi, hampir semua anak tidak membutuhkan cairan yang mengandung dekstrosa, kecuali pada keadaan1: 1.



Neonatus berusia sampai 48 jam.



2.



Bayi prematur dan matur yang sudah diberikan cairan yang mengandung dekstrose atau dalam terapi nutrisi parenteral sebelum operasi, harus dilanjutkan pemberian dektrose atau nutrisi parenteral selama operasi, atau diperiksa kadar gula darahnya secara berkala sepanjang operasi.



3.



Pada bayi dan anak yang lebih muda, dapat diberikan cairan yang mengandung dektrose 1% atau 2% dalam larutan ringer.



4.



Anak dengan berat badan yang lebih rendah atau menjalani operasi yang panjang harus menerima cairan rumatan yang mengandung dekstrose (1-2,5% dekstrose) atau diperiksa kadar gula darahnya secara berkala sepanjang operasi.



5.



Anak yang mendapatkan analgesia regional dengan respon stress yang berkurang harus menerima cairan rumatan yang mengandung dekstrosa (1-2,5% dekstrosa) atau diperiksa kadar gula darahnya secara berkala sepanjang operasi.



4.



Pengganti kehilangan cairan intraoperative Terapi cairan intraoperatif meliputi kebutuhan cairan dasar dan penggantian defisit cairan preoperatif seperti halnya kehilangan cairan intraoperatif (darah, redistribusi dari cairan, dan penguapan). Pemilihan jenis cairan intravena tergantung dari prosedur pembedahan dan perkiraan kehilangan darah. Pada kasus kehilangan darah minimal dan adanya pergeseran cairan, maka maintenance solution dapat digunakan. Untuk semua prosedur yang lain cairan Ringer Laktat biasa digunakan untuk pemeliharaan cairan. Pada kehilangan darah dapat diganti dengan transfusi sel darah merah. Transfusi dapat diberikan pada kadar Haemoglobin 7-8 g/dL, kadar hematokrit 21 - 24%. Produk darah pengganti yang dapat diberikan sebagai berikut17:



38



-



10 cc/kg PRC akan meningkatkan kadar hematokrit sampai dengan 3-4%.



-



10-20 cc/kg FFP diberikan jika terjadi perdarahan akut.



-



1 mL FFP mengandung 1 unit factor aktivasi pembekuan darah.



-



Pemberian faktor VIII sebanyak 1 unit/kg akan meningkatkan kadar dalam plasma sebanyak 2%.



-



Setiap unit trombosit mengandung sedikitnya 5,5 x10 trombosit dalam 50-70 mL cairan plasma, dan dapat diberikan sebanyak 1 unit/10 kg atau 20 mL/kg. Perhitungan jumlah darah yang akan ditranfusikan berdasarkan persamaan : 𝐛𝐞𝐫𝐚𝐭 𝐛𝐚𝐝𝐚𝐧 (𝐊𝐠) 𝐱 𝐩𝐞𝐧𝐢𝐧𝐠𝐤𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐇𝐛 ( 𝐠𝐫/𝐝𝐥)𝐱 𝟑



.



𝐤𝐚𝐝𝐚𝐫 𝐡𝐞𝐦𝐚𝐭𝐨𝐤𝐫𝐢𝐭



Persamaan ini memprediksi bahwa dengan standar hematokrit 10cc/kg darah akan meningkatkan kadar hemoglobin sebesar 2g/dL.



Pemberian



harus



hati-hati



jangan



sampai



terjadi



hipervolumia.1,2 -



Monitoring perianestesi Pemantauan tanda – tanda vital merupakan proses pengamatan yang dilakukan untuk mengetahui adanya penyimpangan dan fungsi yang normal sedini mungkin agar dapat diambil tindakan yang cepat dan tepat. Selama anestesi, anestesi yang terlalu dalam, gangguan pernapasan, gangguan sirkulasi dan fungsi alat anestesi yang tidak sempurna dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat. Tiga hal yang harus diamati selama anestesi dan pasca tindakan bedah yaitu pernapasan, sirkulasi darah dan kesadaran.17



J. Tatalaksanaan pasca anestesi Pasien sebelum dapat sadar kembali pasca anestesi, secara rutin dikelola di kamar recovery room (RR) atau unit perawatan pasca anestesi. Ideal ketika bangun dari anestesi terjadi secara bertahap, tanpa keluhan dan mulus, tetapi sering dijumpai beberapa hal yang tidak menyenangkan akibat stress pasca bedah atau pasca anesthesia yang berupa gangguan napas,



39



gangguan kardiovaskuler, gelisah, nyeri, mual-muntah, menggigil dan kadang-kadang perdarahan.18 1. Pengelolaan di ruang resusitasi1 Steward Score (anak) Gerak bertujuan



2



Gerak tak bertujuan



1



Tidak bergerak



0



Batuk, menangis



2



Pertahankan jalan nafas



1



Perlu bantuan



0



Menangis



2



Bereaksi terhadap



1



Pergerakan



Pernafasan



Kesadaraan



rangsangan Tidak bereaksi



0



Jika jumlah skor > 5, maka pasien bisa dipindahkan ke ruangan.  Prosedur Tindakan pada pediatric pasca anestesi17 1) Observasi tanda vital di kamar pemulihan (Recovery Room/RR) 2) Selama masih dalam kondisi terintubasi, penderita diawasi ketat oleh perawat atau dokter anestesi 3) Alat suction dapat disiapkan untuk mengantisipasi aspirasi 4) Dapat diberikan terapi oksigen 5) Berikan analgesia 6) Pendertita diposisikan miring (stable side position) agar sekret atau sisa darah mengalir keluar 7) Pertahankan suhu tubuh 8) Selama diruang pemulihan (Recovery Room/RR) penderita dapat didampingi oleh orang tuanya



40



Tabel 1. NIPS (Neonatal Infant Pain Scale)17



Interpretasi: Skor 0 Skor 1-3 Skor 4- 5 Skor 6-7



: tidak perlu intervensi : intervensi non-farmakologis : terapi analgetik non-opioid : terapi opioid



41



BAB III LAPORAN KASUS



3.1 Identitas pasien Nama



: By. Ny. E. M. D.



Umur



: 2 hari



Jenis kelamin



: Laki-laki



Agama



: Kristen Katolik



Suku



: Papua



Pendidikan



:-



Pekerjaan



:-



Berat badan



: 2180 gram



Panjang Badan



: 45 cm



Lingkar Kepala



: 31 cm



Golongan Darah



: A (Rh +)



Alamat



: Perumnas I



Masuk rumah sakit



: 9 Juni 2019



Keluar rumah sakit



:-



3. 2 Anamnesis (Alloanamnesis) 1. Keluhan Utama : Edema Scrotum kanan dan kiri serta cairan lambung warna hijau. 2. Riwayat Penyakit Sekarang : Bayi lahir spontan tanggal 09 Juni 2019 pukul 03.27 di RSUD DOK II Jayapura, umur kehamilan 32 minggu (HPHT: 28-10-2018; TP: 4-8-2019). Ditolong bidan, BBL 2500 gr, PB 45 cm. Apgar score menit pertama 5 dan menit kelima 6. Pasien dirawat di Ruang NICU Perinatologi dengan indikasi prematur dan mekoneal. Sesak (+), Retraksi (+), demam (-), kuning (-). 3. Riwayat Penyakit Dahulu - Riwayat diabetes melitus



: disangkal



- Riwayat Penyakit kardiovaskular



: disangkal



- Riwayat Penyakit Pernapasan



: disangkal



42



(Asma, TBC) - Riwayat operasi sebelumnya



: disangkal



- Riwayat Obat yang diminum



: disangkal



- Riwayat Anestesi



: disangkal



4. Riwayat Penyakit Keluarga - Tidak ada anggota keluarga pasien yang menderita sakit seperti pasien - Riwayat diabetes mellitus



: disangkal



- Riwayat asma



: disangkal



- Riwayat jantung



: disangkal



- Riwayat hipertensi



: disangkal



5. Riwayat Alergi - Riwayat alergi makanan



: disangkal



- Riwayat alergi minuman



: disangkal



- Riwayat alergi obat



: disangkal



3.3 Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum



: Tampak tenang



Kesadaran



: Composmentis



Panjang Badan



: 45 cm



Berat Badan



: 2180 gram



Tanda-tanda Vital  Nadi



: 147 x/menit



 Respirasi rate



: 50 x/menit



 Suhu badan



: 37,4 0C



 Saturasi Oksigen



: 99%



Kepala



: Normocephal, jejas (-), oedema (-)



Mata



: Sekret (-/-), Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-).



Hidung



: Pernafasan cuping hidung (+), Deformitas (-), sekret (-), perdarahan (-),



43



Telinga



: Sekret (-), darah (-)



Leher



: Pembesaran KGB (-), deviasi trakea (-), Mallampati tidak dinilai



Thorax  Paru-paru Inspeksi



: Simetris, ikut gerak nafas, retraksi dinding dada (+), jejas (-)



Palpasi



: tidak bisa dinilai



Perkusi



: Sonor pada paru kanan dan kiri



Auskultasi



: Suara nafas dasar : bronkovesikuler, Suara tambahan : wheezing (-/-), ronkhi(-/-)



 Jantung Inspeksi



: Iktus kordis tidak tampak



Palpasi



: Iktus kordis teraba di sela iga ke V, 1 cm ke medial linea mid clavicularis sinistra, tidak kuat angkat, tidak melebar.



Perkusi



: Batas atas



: ICS II linea parasternalis kiri



Pinggang



: ICS III linea parasternalis kiri



Batas kiri



: ICS V 2 cm ke lateral linea midclavicularis kiri



Batas kanan : ICS V linea parasternalis kanan Auskultasi



: Bunyi jantung I dan II reguler, gallop (-), murmur (-)



Abdomen Inspeksi



: Tampak cembung



Auskultasi



: Peristaltic (+) normal 4x / menit



Palpasi



: Supel, nyeri tekan (-) , turgor kulit normal, massa (-) Hepar : tidak dapat dievaluasi Lien



Perkusi



: tidak dapat dievaluasi



: Timpani.



44



Ekstremitas Superior



: Akral teraba hangat, kering, merah, sianosis (-/-), oedem (-/-), ikterik (+), CRT < 3”



Inferior



: Akral hangat (+), sianosis (-/-), oedem (-/-), ikterik (+), CRT < 3”



Genitalia Eksterna : Skrotum oedem (+) Dektra et Sinistra 3.4 Pemeriksaan Penunjang Tanggal 09 Juni 2019 Parameter



Hasil



Nilai Rujukan



Hb



17,8 g/dL



11.0 – 16.5



Hct



51,1 %



41.3 – 52.1



RBC



4.48 x 106/uL



3.69 – 5.46



WBC



7.64 x 103/uL



3.37 – 8.38



PLT



186 x 103/uL



140 – 400



Sel Basofil



0.0 %



0.3 – 1.4



Sel Eosinofil



5.1 %



0.6 – 5.4



Sel Neutrofil



34.2 %



39.8 – 70.5



Sel Limfosit



53.1 %



23.1 – 49.9



Sel Monosit



7.6 %



4.3 – 10.0



3.5 g/dl



3.5 – 5.2



Natrium Darah



139.90 mEq/L



135 – 148



Kalium Darah



5.08 mEq/L



3.50 – 5.30



115.40 mEq/L



98 – 106



1.03 mEq/L



1.15 – 1.35



Bilirubin Total



12.10 mg/dL



0.20 – 1.000



Bilirubin Indirek



11.27 mg/dL



0.00 – 0.70



Bilirubin Direk



0.83 mg/dL



≤ 0.2



Hematologi rutin



Hitung Jenis Leukosit



Kimia Darah (10-06-2019) Albumin



CL Darah Calcium Ion



Kimia Darah (11-06-2019)



45



Foto Thorakoabdominal



3.5 Diagnosa -



NKB/SMK/Spontan, letak kepala + mekoneal



-



RD e.c susp. MAS



-



Asfiksia ringan-sedang



-



Edema scrotum e.c susp hernia inkarserata



3.6 Penatalaksanaan - Hangatkan - Perawatan rutin - Perawatan tali pusat 46



- O2 CPAP PEEP 7, Flow 7, FiO2 100% - Kebutuhan cairan = 100 x 2.18 = 218 cc/24 jam - Infus Aminofluid 88 cc. 3.6 cc/jam - Infus Cadex 202 cc. 8.4 cc/jam - Inj. Ampisilin 125/12 jam (H2) - Inj. Gentamisin 12.5 mg/36 jam - Puasa - Konsul bedah - Foto thoraks - Periksa bilirubin total-direk, gol. darah 3.7 Konsultasi Terkait Konsultasi Bagian Bedah 



Operasi Cito



Konsultasi Bagian Anestesi 11 Juni 2019, advice:  Inform consent  SIO  Puasa 4 jam pre operasi  Pasang IVFD D5 ½ NS per 8jam 3.8 Penentuan PS ASA / Status Anestesi PS. ASA : PS ASA II - E {pasien dengan penyakit sistemik ringan – sedang yang tidak mengganggu aktivitas fungsional. Tanda E (emergency/darurat)}. 3.9 Status Anestesi Pesiapan Anestesi: -



Informed consent



-



SIO



-



Puasa 4 jam



-



Pasang IV line dan pastikan IV line mengalir dengan lancar, ganti baju, transportasi, pasang monitor dan dilaporkan ke Supervisor.



47



3.10 Persiapan Anestesi : Selasa, 11 Juni 2018



Hari/Tanggal Persiapan Operasi Makan/Minum Terakhir



: Inform consent (+), SIO (+), puasa (+) : 4 jam sebelum operasi : 2180 gram / 45 cm



BB/PB



Nadi: 130 x/m, reguler, kuat angkat, terisi penuh; TTV di Ruang : respirasi: 50x / menit; suhu badan:36,6 oC Operasi : 99% SpO2 Diagnosa Bedah



Pra : Hernia inguinalis lateralis dextra inkarserata Airway:



Look



Feel B1



:



Listen



: Terdengar hembusan napas pasien,



Breathing: Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi



Perfusi B2



Jalan napas bebas, terpasang O2 nasal 2-3 lpm dengan T-Piece : resusitator, PEEP 7 mmHg, Mallampati Score: tidak dapat dinilai Terasa hembusan nafas pasien di : pipi pemeriksa.



: Jantung: Inspeksi Palpasi



Gerak dinding dada simetris, : retraksi sela iga (+), frekuensi napas: 50 kali/menit Vocal fremitus dextra/sinistra tidak : dapat dinilai : Sonor (+/+) Suara nafas vesikuler (+/+), suara : rhonki (-/-), suara wheezing (-/-). Akral: teraba hangat, kering, warna: merah muda, Capillary Refill Time< : 3” Nadi: 130x/m, reguler, kuat angkat, terisi penuh : Ictus cordis tidak tampak : Ictus cordis tidak teraba



48



Perkusi



Auskultasi



B3



: Kesadaran



B4



:



Tidak terpasang kateter, produksi urin (+), warna jernih Inspeksi



B5



:



Palpasi Perkusi



B6



Batas atas : ICS II linea parasternalis sinistra Pinggang : ICS III linea parasternalis sinistra : Batas kiri : ICS V 2 cm ke medial linea midclavicularis sinistra Batas kanan : ICS V linea parasternalis dextra Bunyi jantung I-II, regular, : murmur(-), gallop (-) Compos Mentis Riwayat kejang (-), riwayat pingsan : (-) Pupil: bulat, isokor, ϴ ODS 3 mm, refleks cahaya (+/+)



: Tampak Cembung Supel (+), nyeri tekan epigastrium (), nyeri tekan hipokondrium kanan : (-), hepar dan lien tidak teraba membesar. : Tymphani.



Auskultasi : Bising usus (+), 2-4 kali/menit Akral teraba hangat, kering dan merah, Capillary : Refill Time < 3”, Edema pada skrotum (+).



49



3.11 Laporan Durante Operasi a) Laporan Anestesi Ahli Anestesiologi



: dr. A. C, Sp.An, M.Kes



Ahli Bedah



: dr. E.A, Sp.B



Jenis Pembedahan



: Hernia Repair



Lama Operasi



: 12.25-13.20 WIT



Jenis Anestesi



: General Anestesi Cuff



Anestesi dengan



: Sevoflurance + O2    



Premedikasi Preoksigenasi ±5menit Induksi Medikasi



Teknik Anestesi



:



Pernafasan



: Spontan dengan O2 masker



Posisi



: Supine



Infus



: D5 10%



Penyulit Pembedahan



: (-)



Obat yang digunakan Midazolam 0.15 mg



Premedikasi



:



Induksi dan Maintenance



:



Medikasi Durante Operasi



: Paracetamol 20 mg



Sulfat Atropin 0.125 mg Ketamin 2 mg Sevofluran 1.5%



Perfusi: dingin, basah, merah CRT< 3” Tanda-tanda vital pada akhir : Nadi : 140x/m pembedahan RR : 35x/m SpO2 : 100% dengan kanul O2 masker



50



3.12 Laporan Operasi Nama Pasien



: By. Ny. E.M.D



Umur



: 2 hari



Nomor DM



: 46 01 32



Nama Ahli Bedah



: dr. E.A, Sp.B



Nama Asisten



: dr. T. I



Nama Perawat



: Br. V.



Nama Ahli Anestesi



: dr. A.C,Sp.An, M.Kes



Jenis Anastesi



: Anestesi umum



Diagnosis Pre Operatif



: Hernia inguinalis lateralis dextra inkarserata



Diagnosis Post Operatif



: Hernia inguinalis lateralis dextra inkarserata



Tanggal Operasi



: 11 Juni 2019



Jam mulai operasi



: 12.20 WIT



Jam selesai operasi



: 13.20 WIT



Lama operasi



: 60 menit



berlangsung Laporan Operasi: 1. Penderita dalam posisi supine dalam stadium anestesi umum. 2. Dilakukan prosedur asepsis – antisepsis. 3. Dilakukan insisi inguinal, diperdalam lapis demi lapis sampai dengan kantong hernia, buka kantong hernia, didapatkan ileum ±20 cm. Vaskularisasi baik. 4. Reduksi isi hernia, dilakukan ligasi tinggi. 5. Kontrol perdarahan, tutup luka operasi lapis demi lapis. Operasi selesai.



51



3.13 Diagram observasi



Observasi Durante Operasi 142



Observasi /5 menit



140 138 136 134



Nadi



132 130 128 126 12:20



12:35



12:50



13:05



13:20



3.14 Intruksi post operasi 1.



Observasi keadaan umum, nadi, pernafasan, suhu, saturasi O2 dan perdarahan.



2.



Cek Hb Post operasi < 8 g/dl transfuse PRC s/d Hb > 10 g/dl



3.



IVFD D 10% 9 cc/jam



4.



Antibiotik sesuai TS Anak



5.



Program cairan sesuai TS Anak



6.



Inj. Parasetamol 3 x 20 mg



7.



Bila sadar penuh, residu NGT minimal > Diet ASI



52



3.15 Terapi Cairan



Cairan Yang Dibutuhkan



Aktual



PRE OPERASI 1.



2.



Maintenance = BB x Kebutuhan cairan/24 jam = 2.18 kg x 100 cc/24jam



Output : urin ± 80 cc



= 218 cc/24jam (Holiday segar)



IWL = 26 cc/kgBB/hari



Kebutuhan per jam = 218 cc/24 Jam



= 26 cc x 2.18 kg/ = 56.68



= 9 cc/jam 3.



Input : D 10% 150 cc



cc/hari



Perdarahan = -



4. Kebutuhan cairan untuk pengganti puasa 12 jam: 9 cc x 12 jam = 108 cc



DURANTE OPERASI Kebutuhan Operasi Selama 60 Menit



Input :



1. Maintenance = BB x Kebutuhan cairan/jam



D 10% 12 cc



= 2.18 kg x 100 cc/24jam = 218 cc/24jam



Output :



2. Kebutuhan perjam = 218 cc/24 Jam = 9 cc/jam Urine = Kebutuhan cairan durante operasi selama 60 menit



Suction : -



= 9 cc/jam



Kasa kecil (1) = 10 cc



Stress Operasi



Total Perdarahan = 10 cc



Jenis Operasi



Kebutuhan



Cairan



selama Operasi Ringan



4 cc/kgBB/jam



Sedang



6 cc/kgBB/jam



Berat



8 cc/kgBB/jam



Operasi Ringan = 4 cc x 2.18 kg/jam = 8.72 cc/jam 3. Replacement Perdarahan : ± 10 cc (1 kasa kecil)



53



EBV = 85 cc x BB (neonatus) = 85 cc x 2.18 kg = 185.3 cc Catatan 10% EBV = 18,53 cc Balance Cairan: Input - Ouput Selama Pre Operasi hingga Durante Operasi:  



Input: Pre Operasi (D 10% : 150 cc) + Durante Operasi (D 10% : 12 cc) Output: Pre Operasi (123.6 cc) + Durante Operasi (10 cc) = 162 cc – 133.6 cc = + 28.4 cc



Input : Post Operasi 11 Juni 2019 jam 13.20 s/d besok pagi 08.00 (19 Volume cairan: jam 20 menit) Minum 5 cc/3 jam = 40 cc/hari Aminofluid 88 cc/hari = 3.6 Kebutuhan cairan harian :



cc/jam = 68.4 cc Infus Cadex 183 cc/hari = 7.6



100 cc/kgBB pada 10 kg pertama 100 x 2.18= 218 cc/24 jam = 9 cc/jam 1. Maintenance = Kebutuhan cairan/ jam x 19 jam 20 menit = 9 cc/jam x 19 jam 20 menit = ± 171 cc



cc/jam = 144.4 cc



Output: Urine : ± 185 cc Muntah = -



54



FOLLOW UP PASIEN By. Ny. E.M.D (2 hari) Hari/



Follow Up



Planning



Tanggal 12/6/2019



(Terapi Medikamentosa) S : Keluhan Utama: Demam (-), kuning (-),



 Hangatkan



sesak (+), retraksi (+), cairan lambung warna



 Perawatan rutin



coklat, BAK (+), BAB (-), edema skrotum (-)



 Perawatan tali pusat



O:



 O2 CPAP, PEEP 5, Flow 7,



B1 : Airway bebas, napas terpasang O2 CPAP, PEEP 5. Flow 7, FiO2 100%, RR: 32-34 x/m B2 : Perfusi hangat, kering, merah, anemis (-),



FIO2 100%  Kebutuhan cairan 120 x 2.26 kg = 2,7 cc



CRT