Lapkas RSD [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN KASUS SKROFULODERMA



Disusun oleh : dr. Dio Syaherma



Pembimbing 1 : dr. Eka Siloe, Sp. THT-KL Pembimbing 2 : dr. Derallah Ansusa Lindra, Sp. P, MM



Program Internship Dokter Indonesia Rumah Sakit Daerah Kolonel Abundjani Bangko Kabupaten Merangin 2018



KATA PENGANTAR



Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT karena berkat dan rahmatnya saya dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan judul ‘Skrofuloderma’ sebagai salah satu tugas dari program Internship Dokter Indonesia di RSD Kolonel Abundjani Bangko Kabupaten Merangin. Terima kasih kepada dokter pembimbing saya dr. Eka Siloe Sp. THT-KL dan dr. Derallah A. Sp. P, MM selaku pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam menyelesaikan laporan kasus ini. Saya menyadari bahawa laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik sangat diharapkan dari semua pihak.



Bangko, 05 Februari 2018



dr. Dio Syaherma



BAB I PENDAHULUAN



Tuberkulosis kutis (tb kutis) merupakan salah satu penyakit kulit yang sulit untuk ditegakkan diagnosisnya terutama bagi ahli kulit di negara-negara berkembang. Hal ini tidak hanya dikarenakan banyaknya diagnosis banding yang harus dipikirkan namun juga diakibatkan sulitnya untuk mendapatkan konfirmasi mikrobiologi untuk kasus ini.1 Secara garis besar terdapat empat kategori dari tb kutis yaitu inokulasi dari faktor eksogen (inokulasi tb primer dan tuberkulosis verukosa kutis), penyebaran secara endogen (skrofuloderma) atau yang dikenal sebagai autoinokulasi (tuberkulosis kutis orifisialis), penyebaran secara hematogen (lupus vulgaris, tuberkulosis miliaris akut dan tuberkulosis ulkus, guma atau abses) dan tuberkulid (eritema induratum [Bazin’s disease], tuberkulid papulonekrotik, dan liken skrofulosorum).2 Skrofuloderma merupakan bentuk tertua tb kutis yang disebutkan dalam literatur kedokteran dan dikenal sebagai the king’s evil. Skrofuloderma adalah bentuk tb kutis tersering di negara berkembang dan sebagian eropa. Penyakit ini menyerang semua usia mulai dari anakanak, dewasa muda hingga orang tua.1 Skrofuloderma merupakan hasil penjalaran secara perkontinuitatum dari organ di bawah kulit yang menjadi fokus tuberkulosis. Biasanya berupa kelenjar limfe, tulang atau sendi, kelenjar lakrimalis dan duktus yang terinfeksi tb sebelumnya. Pada sebuah laporan kasus yang melibatkan dua puluh tiga pasien dengan skrofuloderma, didapatkan hasil skrofuloderma yang terjadi berasal dari nodus limfe servikal, lalu diikuti oleh aksila, inguinal, epitroklear, retroaurikular, tibia dan fibula. Wajah, leher dan dinding dada adalah tempat predileksi utama lesi dari skrofuloderma.1,3 Penegakan diagnosis skrofuloderma dibangun berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Gambaran klinis skrofuloderma awalnya ditandai dengan limfadenitis tuberkulosis, lalu timbul nodul subkutan, likuifaksi hingga terbentuknya jaringan parut.5. Pengobatan dengan obat antituberkulosis (OAT) menjadi pilihan utama terapi skrofuloderma disamping terapi pembedahan.1 Walaupun skrofuloderma merupakan penyakit yang bisa sembuh sendiri, namun dikarenakan tingginya insidensi penyakit ini dan kemungkinan timbulnya jaringan parut yang dikenal sebagai typical cord-like scars, maka penulis tertarik untuk membahas srofuloderma pada sari pustaka ini.1



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1. Anatomi Kelenjar Getah Bening Leher Sebelum mengetahui mengenai perjalanan penyakit dan mekanisme terjadinya penyakit ini, terlebih dahulu akan di bahas mengenai kelenjar getah bening pada manusia. Pada kasus didapatkan adanya gambaran lesi pada leher, maka akan di bahas mengenai kelenjar limfe leher. Letak kelenjar limfa leher menurut Sloan Kattering Memorial Cancer Center Classification dibagi dalam lima daerah peyebaran kelompok kelenjar, yaitu daerah:5 



I : kelenjar yang terletak di segitiga submental dan submandibula







II: kelenjar yang terletak di 1/3 atas dan termasuk kelenjar limfa jugular superior, kelenjar digastrik dan kelenjar servikal posterior dan superior







III: kelenjar limfa jugularis di antara bifukarsio karotis dan persilangan m.omohioid



dengan



m.sternokleidomastoid



dan



batas



m.sternokleidomastoid 



IV: grup kelenjar di daerah jugularis inferior dan supraklavikular







V: kelenjar yang berada di segitiga posterior servikal.5



Gambar 1. Anatomi Kelenjar Getah Bening di Leher



posterior



2.2.Definisi Skrofuloderma atau yang dikenal sebagai Tuberculosis colliquativa cutis adalah tuberkulosis subkutan yang mengarah pada pembentukan abses dingin dan kehancuran sekunder dari kulit di atasnya. Hal ini terjadi akibat penjalaran langsung dari suatu organ bawah kulit yang mengandung kuman tb dan meluas melalui dermis, contohnya limfadenitis tb, tb tulang dan sendi, atau epididimitis tb.2,5



Gambar 2. Skrofuloderma: terdapat underlying limfadenopati tb servikal. Bentuk karakteristik skar yang berlipat/berkerut.1



2.3.Epidemiologi Bakteri Mycobacterium tuberculosis hanya sekitar 5-10% infeksi menunjukkan manifestasi klinis. Bakteri ini memiliki distribusi di seluruh dunia, lebih umum di daerah dengan iklim dingin dan lembab, tetapi juga dapat terjadi di daerah tropis.4 Kini skofuloderma paling sering terdapat pada anak-anak dan imigran dewasa dari negaranegara berkembang.



Konsumsi susu yang belum dipasteurisasi dan mengandung



Mycobacterium bovis adalah penyebab umum terjadinya skrofuloderma di negara berkembang.6 Prevalensinya lebih tinggi pada anak, remaja, dan orang tua.1,5



2.4.Etiologi Skrofuloderma diakibatkan kuman tb yang secara langsung menginvasi kulit (ekstensi dari suatu fokus tuberkulosis ke jaringan luar sehingga menimbulkan kerusakan jaringan kulit dan luka terbuka).5 Mycobacterium tuberkulosis merupakan penyebab utama dari skrofuloderma. Bakteri ini adalah bakteri aerobik, non motil, tahan terhadap asam dan alkohol yang dibungkus oleh senyawa lipid kompleks sehingga membuat bakteri ini resisten terhadap degradasi setelah fagositosit. Mycobacterium scrofulaceum, Mycobacterium bovis, Mycobacterium avium, juga merupakan etiologi lain dari skrofuloderma.5



2.5.Patogenesis Skrofuloderma timbul akibat penjalaran per kontinuitatum dari organ di bawah kulit yang telah diserang penyakit tuberkulosis, yang tersering berasal dari kelenjar getah bening, juga dapat berasal dari sendi dan tulang. Oleh karena itu tempat predileksinya pada tempat-tempat yang banyak didapati kelenjar getah bening superfisialis, yang tersering pada leher, kemudian disusul di ketiak dan yang terjarang di lipatan paha.6 Porte d’entree skrofuloderma di daerah leher ialah pada tonsil atau paru. Jika di ketiak maka kemungkinan porte d’entree pada apeks pleura, jika dilipat paha pada ekstremitas bawah. Kadang-kadang ketiga tempat predileksi tersebut diserang sekaligus, yakni pada leher, ketiak dan lipat paha. Pada kejadian tersebut kemungkinan besar terjadi penyebaran secara hematogen.6 Kelenjar limfe yang terinfeksi tuberkulosis akan mengalami adenitis, kemudian periadenitis. Akibatnya satu kelenjar dengan kelenjar lain yang bersamaan terinfeksi dapat bergabung menyebabkan perlengketan kelenjar tersebut dengan jaringan sekitarnya. Kelenjar-kelenjar tersebut akan melunak membentuk abses, lalu membentuk fistula dan ulkus ke permukaan kulit secara per kontinuitatum. Sifat khas ulkus berbentuk linier atau ireguler dengan terowongan dibawahnya, daerah sekitar berwarna merah kebiru-biruan, dasar jaringan yang bergranulasi, dan teraba lunak. Dapat pula terbentuk jaringan parut menghubungkan daerah yang mengalami ulserasi atau bahkan kulit normal. Kadang-kadang di atas sikatriks (jaringan parut) tersebut terdapat jembatan kulit (skin brigde).6



2.6.Gejala Klinis Skrofuloderma paling sering timbul di regio parotid, submandibula, dan supraklavicula, serta di leher sebelah lateral. Hal ini diduga merupakan penjalaran dari kelenjar getah bening (KGB) servikal, sedangkan lokasi lain yang cukup sering adalah aksila dan inguinal.5 Skrofuloderma diawali dengan limfadenitis tuberkulosis, setelah berbulan-bulan, liquifaksi dan perforasi terjadi, membentuk ulkus dan sinus. Karakteristik ulkus yaitu bentuk memanjang, tidak panas maupun nyeri tekan, serpiginosa, tidak teratur, dengan dasar yang cekung, sekitarnya berwarna merah kebiru-biruan (livid), menggaung, lunak dengan dasar jaringan granulasi tertutup pus seropurulen. Terdapat saluran-saluran sinusoid di bawah kulit.5



Gambar 3. Skrofuloderma pada regio klavikula: abses, ulkus, dan ekstrusi purulen dan perkijuan.5



Gambar 4. Skrofuloderma pada regio aksila: plak dan nodul dengan ulkus sentral yang mengakibatkan skar dan retraksi.4



Saluran sinusoid yang terbentuk dapat berhubungan langsung dengan area infeksi organ dalam, atau membentuk saluran menuju fokus primer infeksi terutama di leher, dinding dada, dan pelvis. Kadang-kadang terbentuk cordlike scars atau jaringan parut. Jaringan parut ini menghubungkan area ulseratif atau bahkan menarik kulit normal dengan proses penyembuhannya memakan waktu yang lama.4



2.7.Diagnosis Skrofuloderma ditegakkan diagnosisnya berdasarkan beberapa hal berikut: 1.



Anamnesis  Riwayat tinggal di daerah endemis tuberkulosis.  Riwayat terpapar tuberkulosis dari orang sekitar penderita (rumah, sekolah, tempat kerja, dan lain-lain).  Riwayat mendapatkan pengobatan tuberkulosis sebelumnya.  Riwayat penyakit sistemik yang meningkatkan faktor resiko infeksi tuberkulosis.  Riwayat keluhan mengarah pada tanda tuberkulosis pada penderita, misalnya: batuk lama, berkeringat banyak di malam hari, nafsu makan menurun, kelainan miksi, dan lain-lain.7



2. Pemeriksaan fisik  Pembesaran kelenjar getah bening  Abses dan multipel sinus  Ulkus yang khas  Jaringan parut  Jembatan kulit (skin bridge)3,5 3.



Pemeriksaan penunjang 



Pemeriksaan radiologis Toraks pada posisi posterior-anterior. Pemeriksaan ini ditujukan untuk mencari fokal infeksi terutama yang berasal dari paru.8







Pemeriksaan bakteriologik. Pemeriksaan bakteriologik yang dimaksud adalah pemeriksaan basil tahan asam (BTA) dengan pengecatan Ziehl-Neelsen (ZN) terhadap bahan yang diambil dari dasar ulkus dan biakan pada media Lowenstein Jensen atau inokulasi pada



marmut. Pada penderita dengan skrofuloderma, hasil pemeriksaan BTA akan ditemukan adanya bakteri penyebab skrofuloderma, misal Mycobacterium tuberculosis.8



Gambar 5. Pewarnaan Ziehl-Neelsen: kelompok kecil basil tahan asam, merah, pada tengah lapangan pandang.8







Pemeriksaan laboratorium darah Hasil umumnya menunjukkan peningkatan laju endap darah (LED).







Pemeriksaan histopatologi Saluran sinusoid pada skrofuloderma menunjukkan adanya inflamasi akut dan kronik yang bersifat nonspesifik. Bagian tengah lesi didominasi oleh nekrosis masif dan pembentukan abses.4 Namun, bagian perifer dari abses atau batasbatas sinus mengandung granuloma tuberkuloid.5 Nekrosis perkijuan dengan bakteri dalam jumlah besar ditemukan pada struktur kulit yang lebih dalam. Basil tb dapat diisolasi dengan mudah melalui pus.3



Gambar 6. Skrofuloderma: tampak abses dikelilingi infiltrat predominan histiosit.8







Tes tuberkulin. Biasanya hasilnya positif.







Biakan dari bahan yang berasal dari lesi atau ulkus. Dilakukan pada media Lowenstein-Jensen, pengeraman pada suhu 37ºC. Jika positif, koloni tumbuh dalam waktu 8 minggu, artinya kuman tuberkulosis.8



2.8.Diagnosis Banding Skrofuloderma didiagnosis banding dengan limfadenitis Mycobacterium aviumintraselular,



infeksi



Mycobacterium



scrofuloderma,



guma



sifilis,



sporotrikosis,



aktinomikosis, bentuk-bentuk berat dari akne konglobata, dan hidradenitis supurativa.2,5 Limfadenitis M. Avium intracellulare dan infeksi M. Scrofuloderma dapat dibedakan melalui pemeriksaan biakan bakteri. Jika didaerah aksila, dibedakan dengan hidradenitis supurativa, yakni infeksi oleh piokokus pada daerah apokrin. Penyakit tersebut sering didahului oleh trauma/mikrotrauma, misalnya banyak keringat, pemakaian deodorant, atau rambut ketiak digunting. Hidradenitis supurativa bersifat akut disertai tanda-tanda radang akut yang jelas, terdapat gejala konstitusi, dan leukositosis.5 Skrofuloderma di daerah inguinal kadang-kadang mirip penyakit venerik yaitu limfogranuloma venereum. Perbedaan yang penting adalah pada limfogranuloma venereum terdapat tersangka senggama pada anamnesis, disertai gejala konstitusi (demam, malaise, artralgia), dan terdapat tanda radang akut. Lokalisasinya juga berbeda, pada limfogranuloma venereum yang diserang adalah kelenjar getah bening inguinal medial dan perineal, sedangkan pada skrofuloderma menyerang kelenjar getah bening inguinal lateral dan femoral. Pada stadium lanjut, pada limfogranuloma venereum terdapat gejala bubo bertingkat yang berarti pembesaran kelenjar di inguinal medial dan fossa iliaca.5 Skrofuloderma di daerah ektremitas harus dibedakan dengan sporotrikosis. Biasanya pada sporotrikosis timbulnya nodul subkutan disertai dengan tanda-tanda radang, terdapat indurasi, dan penyebarannya khas limfogen proksimal sesuai dengan perjalanan pembuluh getah bening. Pada pembiakkan akan ditemukan jamur penyebabnya. Uji tuberkulin biasanya negatif. 5



Limfoma dijadikan diagnosis banding karena penyakit ini menyerang kelenjar limfe. Merupakan penyakit keganasan yang menyerang sistem limfoid. Dibedakan menjadi 2 jenis yaitu tipe hodkin dan non hodkin. Dibedakan dengan scrofuloderma salah satunya adalah dengan melakukan biopsi ditemukannya sel reed stenberg Actinomycosis merupakan penyakit subakut-kronik yang diakibatkan akibat infeksi bakteri gram positif,anaerobik. Memberikan gambaran klinik berupa lesi yang supuratif dan infalmasi yang bergranul, disertai pembentukan multipel abses. Bila terdapat pada daerah sekitar wajah dan leher umumnya disertai dengan riwayat manipulasi pada gigi misalnya riwayat pencabutan gigi. 3,4



Gambar 7. Aktinomycosis



2.9.Penatalaksanaan Penatalaksanaan tb kutis terdiri dari pemberian regimen obat multipel dengan durasi yang panjang dan terapi bedah ditujukan tidak hanya untuk membunuh mikroorganisme yang menjadi etiologi tetapi juga untuk mencegah resistensi strain bakteri tertentu terhadap obat dan timbulnya rekurensi.7



Tata laksana tb kutis sama dengan tb sistemik. Hal ini dikarenakan jumlah bakteri penyebab tb kutis jauh lebih sedikit dibandingkan dengan tb sistemik. Tb kutis, termasuk skrofuloderma, tergolong tb ekstra paru ringan yang mendapat pengobatan tb kategori I. Centers for disease control and prevention (CDC) merekomendasikan pengobatan tb kutis menjadi 2 fase terdiri dari:7 



Fase inisial



Fase ini meliputi pemberian dosis harian regimen obat antituberkulosis (OAT); isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol selama 8 minggu. Terapi fase inisial dimaksudkan untuk memusnahkan bakteri penyebab tb kutis.7 



Fase lanjutan



Fase ini diberikan regimen obat isoniazid dan rifampisin dosis harian, selama 16 minggu. Terapi pada fase ini ditujukan untuk mengeliminasi sisa bakteri yang menjadi etiologi tb kutis.7  OAT kategori I OAT kategori I diindikasikan pada penderita baru BTA positif, penderita baru dengan BTA negatif dengan kelainan radiologis yang luas dan penderita tb ekstraparu berat misalnya tb ginjal, tb milier, meningitis tb, peritonitis tb, perikarditis tb, efusi pleura bilateral, osteomielitis dan spondilitis. Regimen pengobatan terdiri dari pemberian Isoniazid, rifamfisin, pirazinamid, dan etambutol (2HRZE/ 4H3R3).14 OAT kategori I disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap (KDT) dan bentuk kombipak, yaitu paket obat lepas yang terdiri dari isoniazid, rifamfisin, pirazinamid, dan etambutol dalam kemasan blister.14



Tabel 1 Paduan OAT KDT kategori I10 Tahap Intensif



Tahap Lanjutan



tiap hari selama 56 hari



3 kali seminggu



RHZE



selama 16 minggu



(150mg/75mg/400mg/275mg)



RH (150mg/150mg)



30 – 37 kg



2 tablet 4KDT



2 tablet 2KDT



38 – 54 kg



3 tablet 4KDT



3 tablet 2KDT



55 – 70 kg



4 tablet 4KDT



4 tablet 2KDT



≥ 71 kg



5 tablet 4KDT



5 tablet 2KDT



Berat badan



 OAT kategori II OAT kategori II diindikasikan untuk kasus gagal, kambuh dan pengobatan setelah lalai. Regimen OAT kategori II juga tersedia dalam bentuk KDT dan kombipak, terdiri dari isoniazid, rifamfisin, pirazinamid, sterptomisin dan etambutol (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3).10 Tabel 2. Paduan OAT KDT kategori II10 Tahap Intensif tiap hari RHZE (150mg/75mg/400mg/275mg) + S(15mg/kgBB)



RHZE (150mg/75mg/400mg/27



Berat badan



5mg) Selama 56 hari



Tahap Lanjutan 3 kali seminggu RH



Selama 28 Hari



(150mg/150mg) + E(400mg)



30-37 kg



2 tab 4KDT + 500 mg Streptomisin inj.



2 tab 4KDT



2 tab 2KDT + 2 tab Etambutol



38-54 kg



3 tab 4KDT + 750 mg Streptomisin inj.



3 tab 4KDT



3 tab 2KDT + 3 tab Etambutol



55-70 kg



4 tab 4KDT



4 tab 4KDT



4 tab 2KDT



Penatalaksanaan



operatif



yakni



eksisi



skrofuloderma karena dapat mengurangi morbiditas.5



dapat



membantu



menangani



2.10.



Prognosis Penyembuhan spontan pada skrofuloderma dapat terjadi, namun ini terjadi secara



amat lambat dan dapat berlangsung selama bertahun-tahun sebelum lesi digantikan sepenuhnya oleh jaringan parut.



5



Keberadaan infeksi tb pada organ lain seperti tulang,



kelenjar, dan paru juga perlu penatalaksanaan lebih lanjut.3



BAB III LAPORAN KASUS 1 3.1 IDENTITAS PASIEN Nama



: Ny. I



Jenis Kelamin



: Perempuan



Umur



: 22 tahun



Alamat



: Desa Tanjung Gedang RT. 06 / RW 02



Pekerjaan



: Mahasiswa



Agama



: islam



Tanggal Masuk RS



: 10 Januari 2018



3.2 ANAMNESIS Keluhan Utama



: Benjolan di leher kanan bawah



Telaah



: Hal ini dialami pasien sejak 3 bulan yang lalu. Benjolan awalnya



kecil sebesar biji jagung dan tidak nyeri. Benjolan dirasakan semakin lama semakin membesar, sebesar bola pinpong. Benjolan tidak nyeri. Benjolan berjumlah satu, semakin membesar dan berwarna kemerahan. Pasien juga mengeluhkan demam yang naik-turun sejak 2 bulan ini, dan tidak menghilang dengan obat yang dibeli di warung. Pasien merasa berat badannya semakin turun dan nafsu makannya berkurang. Pasien tidak mengeluhkan adanya batuk. Pasien telah mencoba pengobatan, baik itu dengan obat kampung maupun dengan dokter untuk mengurangi keluhan, namun keluhan tidak membaik. Riwayat Penyakit Dahulu: Riwayat gula darah tinggi, gula darah tinggi asma, alergi obat disangkal. Riwayat Penyakit Keluarga: Tidak terdapat anggota keluarga yang mengalami batuk-batuk lama dan mengeluarkan darah ataupun mengalami demam yang lama serta tidak kunjung sembuh. Tidak terdapat riwayat keganasan (kanker) pada keluarga. Riwayat minum obat OAT disangkal.



3.3 STATUS GENERALIS Keadaan Umum



: Baik.



Kesadaran



: Compos mentis.



Keadaan Gizi



: kurus BB: 50 kg



Tanda Vital Tekanan darah : 100/70 mmHg. Nadi



: 80x/ menit, reguler, kuat angkat



Pernafasan



: 20x/menit.



Suhu



: 37.30C



Kepala



: Normocephali, distribusi rambut merata



Mata



: Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor ø ± 3mm.



Hidung



: Simetris, deviasi septum (-), sekret (-), darah (-).



Telinga



: Normotia, liang telinga lapang, sekret (-).



Mulut



: Bibir simetris, sianosis (-), lesi di sekitar bibir (-).



Tenggorokan



: Faring hiperemis (-), tonsil T1-T1 tenang.



Leher



: terdapat pembesaran KGB pada regio supraclavicula dekstra , tidak nyeri



pada



palpasi,



teraba



kenyal,



ukuran



3x3cm,



Gambar 3.1. Pembesaran Kelenjar Getah Bening di Supraclavicula



eritem.



Thoraks Jantung



: Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)



Paru



: vesikuler pada kedua lapang paru.



Abdomen



: Supel, bising usus (+) normal, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba.



Ekstremitas



: Akral hangat, oedem (-).



3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Laboratorium : Hb : 12.2 gr/dl WBC : 12.700 mm3 HCT : 32 % PLT : 315.000 mm3 2. Foto Thorax : Corakan bronkovaskuler bertambah, kesan Bronkitis



Gambar 3.2 Foto Thorax dengan corakan bronkovaskuler



3.5 DIAGNOSA Diagnosis : Skrofuroderma Diagnosis Banding : -



Aktinomicosis



-



Limfoma



3.6 Penatalaksanaan: IVFD RL 20 gtt/menit



Cefotaxime vial 2 x 1 gr Metronidazol fls 3 x 500 mg Ketorolac amp 3 x 1 Dexametason amp 2 x 1 Ranitidin Amp 2 x 1 3.7 Follow Up Tanggal 09 Januari 2018 S : Benjolan di bahu depan kanan O : Sens : compos mentis TD : 100/70 mmHg HR : 80 x/i RR : 20 x/i T : 36.9 C A : Abses Kelenjar dd Skrofuloderma P : rencana : konsul spesialis paru dan spesialis anastesi, insisi dan drainase serta biopsi jaringan abses besok, pasien puasa 6 jam sebelum operasi Terapi : IVFD RL 20 gtt/menit Cefotaxime vial 2 x 1 gr Metronidazol fls 3 x 500 mg Ketorolac amp 3 x 1 Dexametason amp 2 x 1 Ranitidin Amp 2 x 1



Jawaban konsul Spesialis Paru : S : Benjolan lunak kemerahan di colli dekstra. Berat badan menurun dijumpai O : ukuran benjolan 3x3 cm A : Susp Limfadenitis TB P : Aspirasi dan dilakukan pemeriksaan BTA. Hasil BTA (-) negative



Tanggal 10 Januari 2018 : Dilakukan insisi, drainase serta biopsi jaringan abses



Gambar 3.3 Jaringan dan pus untuk biopsi Tanggal 10 Januari 2018 Pasca Operasi S : Nyeri luka operasi O : Sens : compos mentis TD : 110/80 mmHg HR : 89 x/i RR : 20 x/i T : 37.0 C A : Abses Kelenjar dd Skrofuloderma P : Pantau tanda tanda vital



Puasa sampai pasien sadar penuh Terapi : IVFD RL 20 gtt/menit Cefotaxime vial 2 x 1 gr Metronidazol fls 3 x 500 mg Ketorolac amp 3 x 1 Dexametason amp 2 x 1 Ranitidin Amp 2 x 1 Tanggal 11 Januari 2018 S : Nyeri pasca operasi P : Sens : compos mentis TD : 100/80 mmHg HR : 87 x/i RR : 20 x/i T : 37.2 C O : Abses kelenjar dd skrofuroderma P : ACC Pulang, Kontrol jika hasil PA telah ada, Konsul balik Spesialis Paru untuk rencana pengobatan. Ciprofloxacim 2 x 1 PCT 3 X 1 Dexametason tab 3 x 1 Tanggal 16 Januari 2018 Hasil Aspirasi dan Biosi Jaringan : Lymphadenitis Tuberkulosa Kaseosa



LAPORAN KASUS 2 3.1 IDENTITAS PASIEN Nama



: Tn. S



Jenis Kelamin



: Laki laki



Umur



: 21 tahun



Alamat



: Desa Pulau Layang



Pekerjaan



: Swasta



Agama



: islam



Tanggal Masuk RS



: 21 Januari 2018



3.2 ANAMNESIS Keluhan Utama



: Luka Bernanah di Leher Kiri



Telaah



: Hal ini dialami pasien sejak 7 hari yang lalu. Luka bernanah dan



tidak nyeri. Awalnya benjolan muncul 2 tahun yang lalu, ukuran kecil sebesar biji jagung dan tidak nyeri. Lalu oleh pasien di urut dan berobat kampung tapi malah benjolan dirasakan semakin lama semakin membesar, sebesar telur puyuh. Seminggu yang lalu, benjolan terasa semakin membesar dan pecah mengeluarkan nanah serta tidak nyeri. Pasien juga mengeluhkan demam yang naik-turun sejak 2 bulan ini, Pasien kadang keringat pada malam hari. Pasien merasa berat badannya semakin turun dan nafsu makannya berkurang. Os tidak mengeluhkan batuk saat ini, tapi os pernah mengeluhkan batuk sebelumnya 2 bulan yang lalu, dan keluhan telah hilang. Riwayat Penggunaan Obat : Os menyangkal pernah minum obat paket Riwayat Penyakit Dahulu: Riwayat gula darah tinggi, gula darah tinggi asma, alergi obat disangkal. Riwayat Penyakit Keluarga: Tidak terdapat anggota keluarga yang mengalami batuk-batuk lama dan mengeluarkan darah ataupun mengalami demam yang lama serta tidak kunjung sembuh. Tidak terdapat riwayat keganasan (kanker) pada keluarga.



3.3 STATUS GENERALIS Keadaan Umum : Baik. Kesadaran



: Compos mentis.



Keadaan Gizi



: kurus, BB : 52kg



Tanda Vital Tekanan darah : 110/70 mmHg. Nadi



: 80x/ menit, reguler, kuat angkat



Pernafasan



: 20x/menit.



Suhu



: 37.20C



Kepala



: Normocephali, distribusi rambut merata



Mata



: Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor ø ± 3mm.



Hidung



: Simetris, deviasi septum (-), sekret (-), darah (-).



Telinga



: Normotia, liang telinga lapang, sekret (-).



Mulut



: Bibir simetris, sianosis (-), lesi di sekitar bibir (-).



Tenggorokan



: Faring hiperemis (-), tonsil T1-T1 tenang.



Leher



: terdapat ulkus pada regio colli sinistra , tidak nyeri pada palpasi, ukuran 4x2cm, batas tegas, dan tampak ulkus dan jaringan nekrosis.



Gambar 3.1. Ulkus di Regio Colli



Thoraks Jantung



: Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)



Paru



: vesikuler pada kedua lapang paru.



Abdomen



: Supel, bising usus (+) normal, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba.



Ekstremitas



: Akral hangat, oedem (-).



3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Laboratorium : Hb : 14.4 gr/dl WBC : 13.300 mm3 HCT : 38 % PLT : 361.000 mm3 2. Foto Thorax : Corakan bronkovaskuler bertambah, kesan Bronkitis



Gambar 3.2 Foto Thorax dengan corakan bronkovaskuler 3.5 DIAGNOSA Diagnosis : Skrofuroderma Diagnosis Banding : -



Aktinomicosis



-



Limfoma



3.6 Penatalaksanaan: IVFD RL 20 gtt/menit



Inj Cefotaxim 2 x 1 gr Inj Ranitidin 2 x 1 Inj Metronidazol 3 x 1 fls PCT tab 3 x 1 3.7 Follow Up Tanggal 22 Januari 2018 S : Benjolan di leher kiri, O : TD : 100/70 mmHg HR : 80 x/i RR : 22 x/i Temp : 37.5 c A : Abses regio Colli DD Skrofuloderma P : IVFD RL 20 gtt/i Inj Cefotaxim 2 x 1 gr Inj Ranitidin 2 x 1 PCT tab 3 x 1 KONSUL PARU JAWABAN KONSUL PARU S : Pasien mengeluhkan benjolan pecah berair. Demam (+) O : Abses tidak nyeri dan berair Paru : vesikuler kedua lapangan paru A : Skrofuroderma P : cek SGOT dan SGPT cek BTA skrofuloderma  Hasil BTA Swab Luka / pus : Negatif



Gambar 3.2 Tidak tampak Mycobakterium tuberkulosis



Tanggal 23 Januari 2018 Spesialis Paru S : Luka di leher O : abses Paru : vesikuler +/+ A : Skrofuloderma P : OAT 1 x 3 tab B6 1 x 1 Hasil lab SGOT : 15.4 SGPT : 15.3 Spesialis THT S : Keluar nanah di leher kiri O : Ulkus di regio colli A : Skrofuloderma DD Abses Colli Sinistra P : GV abses IVFD RL 20 gtt / i Ranitidin 2 x 1 amp R : Pasien pulang besok



Tanggal 24 Januari 2018 Spesialis THT S : Keluar nanah di leher kiri O : Ulkus di regio colli A : Skrofuloderma DD Abses Colli Sinistra P : Acc Pasien pulang, terapi dari Spesialis Paru Spesialis Paru S : Luka di leher O : abses Paru : vesikuler +/+ A : Skrofuloderma P : OAT 1 x 3 tab B6 1 x 1 R : Pasien dirujuk ke puskesmas untuk pengobatan OAT



BAB IV PEMBAHASAN



Pada kedua kasus Skrofuloderma yang telah dipaparkan, terdapat beberapa kesamaan pada kasus tersebut. Pasien sama sama berusia sekitar 21 - 22 tahun, yang mana berdasarkan teori epidemiologi dikatakan bahwa skrofuloderma sering terjadi pada anak anak, remaja dan orang tua. Gejala klinis sama, ada benjolan di bagian kelenjar getah bening di region leher, yang mana tidak nyeri dan tidak panas serta berisikan pus. Pasien juga mengeluhkan sering demam naik turun, pernah batuk lama, keringat pada malam hari, berat badan juga semakin menurun dan nafsu makan berkurang. Gejala seperti ini khas untuk penyakit TB kelenjar. Pemeriksaan tambahan, laboratorium, leukosit sama sama meningkat, menandakan bahwa telah terjadi infeksi atau peradangan. Pada pemeriksaan foto rongent, hanya tampak gambaran bronkovaskular, tidak ada tanda tanda infeksi bakteri Tuberculosis. Pada pemeriksaan swab BTA, hasilnya sama sama negatif, tidak ditemukan adanya kuman BTA pada kelenjar getah bening. Ini dikarenakan sensitivitas pada pemeriksaan BTA kecil kurang dari 50%. Jadi belum bisa dipastikan bahwa pasien itu bebas dari kuman TB, kembali lagi ke gejala klinis pasien yang mendukung ke arah gejala TB. Pemeriksaan yang terpenting adalah biopsy jaringan, pada pasien pertama dilakukan insisi, drainase serta biopsi jaringan. Pada pemeriksaan biopsi, hasilnya positif menunjukan adanya infeksi bakteri Tuberculosis. Inilah yang membuat kuatnya diagnosa ke arah skrofuloderma. Sedangkan pasien kedua tidak dilakukan pemeriksaan tersebut dikarenakan gejala klinis pasien sudah mendukung ke arah skrofuloderma. Pasien sama sama disarakan untuk mendapatkan terapi OAT.



BAB V KESIMPULAN



Pasien laki-laki dan perempuan usia 21-22 tahun, dengan keluhan adanya benjolan di leher, di diagnosa dengan Sklofuroderma dan dianjurkan untuk mendapatkan terapi OAT kategori 1.



Daftar Pustaka



1. Bravo FG, Gotuzzo E. Cutaneous tuberculosis. Clinics in Dermatology 2007; 25:173-80. 2. Odom RB, James WD, Berger TG. Mycobacterial diseases. In: Odom RB, James WD, Berger T, editors. Andrew’s Diseases of The Skin: Clinical Dermatology. 9th ed. Philadelphia: WB Saunders Company, 2000: 417-21. 3. Yates VM, Rook GAW. Mycobacterial infection. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffits C, editors. Rook’s textbook of dermatology. 7th ed. London: Blackwell Publishing, 2004:1228-32, 1309-47, 1482-7, 1498-1500. 4. Bolognia, Juan L. Cutaneous Tuberculosis. In: Callen, Jeffrey,editors. Bolognia Dermatology. 2nd ed. Vol 1. United States; Mosby Elsevier; 2008. 5. Tappeiner G. Tuberculosis and other mycobacterial infection. In: Wollf K, Goldsmith LA, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill, 2008: 1806-16. 6. Barbagallo J, Tager P, Ingleton R, J Hirsch R, M Weinberg J. Cutaneous tuberculosis, diagnosis and treatment. Am J of Clin Derm 2002; 3 (5): 319-28. 7. S Meltzer M, A Nasy, C. Cutaneus tuberculosis. Available from: URL http://www.emedicine.com/cutaneustuberculosis. Diakses tanggal: 10 Oktober 2010 pukul 20.15 wib. 8. McKee PH, Calonje E, Granter SR. Tuberculosis. In: McKee PH. Pathology of The Skin with Clinical Correlations. 3th ed. China: Elsevier Mosby, 2005. 9. Ramos-e-Silva, Ribeiro de Castro MC. Mycobacterial infections. In: Bolognia JL, Jonizzo JL, Rapini RP, editors. Dermatology. 2nd ed. Toronto: Mosby, 2003: 110726 10. Aditama YT, Kamso S, Basri C, Surya A. Pedoman nasional penanggulangan tuberculosis. Ed 2. Jakarta: Departemen kesehatan republik indonesia. 2007: 20-3.