Laporan Bacaan Artikel [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN BACAAN ARTIKEL A. Pendahuluan Berdasarkan hasil bacaan, penulis menyampaikan bahwa identitas buku yang dilaporkan adalah sebagai berikut. 1.



Judul Buku



: Semantik Leksikal



2.



Pengarang



: Prof. Dr. Mansoer Pateda



3.



Penerbit



: PT Rineka Cipta



4.



Kota



: Jakarta



5.



Tahun Terbit



: Februari 2001



6.



Cetakan/ Edisi



: Kedua



7.



ISBN



: 979-518-841-0



8.



Tebal Buku



: xii+300 halaman



9.



Garis Besar Isi Buku : kata pengantar + BAB I hingga BAB VIII+ daftar kepustakaan



Detailnya, sesuai daftar isi, sebagai berikut. Buku ini terdiri atas delapan bab. Pada bab pertama yaitu pendahuluan yang berisikan tentang: pengantar; istilah semantik; pengertian semantik; semantik dalam linguistik; semantik dan disiplin ilmu lain; deskripsi semantik; sedikit tentang studi semantik di Indonesia; semantik dan lingkupannya; semantik dalam kajian buku ini; dan tujuan mempelajari semantik



. Pada bab kedua yaitu kedudukan semantik dalam



semiotik yang berisikan mengenai: pengantar; pengertian; dan aneka semiotik. Kemudian, pada bab ketiga yaitu aspek-aspek semantik yang terdiri dari: pengantar; kata sebagai satuan semantik; konsep; tanda; lambang; perbedaan antara tanda dan lambang; acuan; hubungan antara konsep, lambang, dan acuan; penamaan; dan jenisjenis semantik. Pada bab keempat yaitu membahas tentang makna yang memuat: pengantar; istilah makna; batasan makna; pendekatan makna; aspek-aspek makna; dan



jenis makna. Selanjutnya, pada bab kelima memuat: makna dalam kata, isinya terdiri dari pengantar; batasan kata; bentuk kata; makna dalam leksem; makna paduan leksem; makna kata bebas; bentuk yang mengakibatkan makna; makna kata berimbuhan; makna kata berulang; makna kata majemuk; makna kata terikat konteks kalimat; makna akronim; makna singkatan; dan makna bentuk yang diplesetkan. Kemudian, bab keenam tentang perubahan makna, yang terdiri dari: pengantar; lingkupan; faktor yang memudahkan perubahan makna; perubahan makna dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia; perubahan makna akibat perubahan lingkungan; perubahan makna akibat pertukaran tanggapan indra; perubahan makna akibat gabungan leksem atau kata; perubahan makna akibat tanggapan pemakai bahasa; perubahan makna akibat asosiasi; perubahan makna akibat perubahan bentuk; perluasan makna; pembatasan makna; melemahkan makna; kekaburan makna; lambang tetap, acuan berubah; dan makna tetap, lambang berubah. Lalu, pada bab ketujuh tentang sekitar kita, yang dibagi lagi mengenai: pengantar; pengertian; jenis ambiguitas; antonimi; hiponimi; homonimi; polisemi; sinonimi; bentuk bermakna jelas dan yang bermakna kabur; makna dalam peribahasa dan ungkapan; makna dalam gaya bahasa; hubungan makna; makna dalam pemakaian; dan medan makna. Terakhir, pada bab kedelapan tentang komponen makna, memuat tentang: pengantar; pembeda makna; urutan hubungan antara komponen; komponen penjelas; langkah-langkah menganalisis komponen diagnostik; beberapa kesulitan menganalisis komponen makna; prosedur menganalisis komponen makna; indikator kemampuan memahami makna; dan catatan penutup. ● Bab/ Topik yang Dilaporkan



: BAB VI Perubahan Makna (Halaman 158-199)



B. Laporan Bacaan tentang Bagian Buku (BAB VI) Bab yang saya laporkan dalam laporan bacaan ini yaitu bab VI tentang perubahan makna. Dalam buku ini penulis memaparkan pada subbab-subbab. Pada subbab (a) di bagian pengantar, penulis menjelaskan bahwa bahasa berkembang terus sesuai dengan perkembangan pemikiran pemakai bahasa. Maka pemakaian kata dan kalimat



berkembang pula, misalnya kebutuhan kosakata dapat bertambah atau



berkurang. Kalau sudah bicara tentang kualitas kata, ini berarti sudah masuk ke kajian makna. Bahasa sebagai alat komunikasi manusia, maka makna akan mengalami perkembangan yang disebut perubahan makna. Di bagian lingkupan subbab (b), penulis memaparkan bahwa perubahan makna menyangkut banyak hal, meliputi: pelemahan, pembatasan, penggantian, penggeseran, perluasan, dan kekaburan makna. Selain itu, juga perubahan makna dari bahasa lain (dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia), perubahan makna akibat perubahan lingkungan, perubahan makna akibat pertukaran tanggapan indra, perubahan makna akibat gabungan leksem atau kata, perubahan makna akibat tanggapan pemakai bahasa, perubahan makna akibat asosiasi pemakai bahasa. Juga faktor-faktor yang memudahkan perubahan makna dan mengapa terjadi perubahan makna. Setelah itu, dalam kehidupan, makna dikaitkan dengan lambang dan acuan. Kadang terjadi lambangnya tetap tetapi acuannya berubah. Atau, sebaliknya, maknanya tetap tetapi lambangnya yang berubah. Berbeda



menurut



Ulmann



(1972:192-197),



bahwa



faktor-faktor



yang



memudahkan perubahan/ pergeseran makna yaitu: 1. Bahasa itu berkembang, atau bahasa itu diturunkan dari generasi ke generasi. Contoh: kata juara dulu bermakna orang yang memimpin penyambungan ayam, kini bermakna orang yang mendapat peringkat dalam perlombaan.



2. Makna itu sendiri kabur, samar-samar maknanya. Contoh: kata alot bermakna liat, tidak mudah putus, (dialek Jakarta berarti keras, kenyal), (bahasa Jawa berarti liat). Makna tidak sesuai (samar-samar) untuk kata tanah liat. Kini bermakna lambat, pelan (misalnya Pembahasan rancangan undang-undang itu alot). 3.



Kelihatan motivasi (loos of motivation). Contoh: kata ajang bermakna tempat untuk makan (misalnya piring), kini bermakna bukan untuk makan (misalnya ajang pertempuran).



4.



Adanya kata-kata yang bermakna ganda (polysemy) Contoh: kata lempung bermakna ringan/ lunak dan mudah patah (misalnya kayu); lemah sekali; tidak berguna sedikit pun.



5.



Dalam konteks yang membinggungkan (in ambiguous contexts). Contoh: Kucing makan tikus mati.



6. Struktur kosa kata. Maksudnya, Dalam perkembangan kosa kata, ada kata baru dan ada pula kata yang hanya berubah maknanya saja. Adapun faktor-faktor penyebab perubahan makna (Ullmann, 1972:198-210) sebagai berikut. 1.



Faktor kebahasaan (linguistic causes). Ini berkaitan dengan fonologi, morfologi, dan sintaksis. Contohnya: dahulu kata sahaya berati budak, tetapi kini berarti saya. Lalu, berbeda kalimat Ali memukul Adi dengan Ali dipukul Adi.



2. Faktor kesejarahan (historical causes) terdiri dari: (a) faktor objek misalnya asal kata wanita dari kata betina (untuk hewan: ayam betina) kemudian menjadi kata batina lalu watina (fonem /b/→fonem /w/) dan menjadi kata wanita padanannya perempuan. Jadi wanita tidak bisa disepadankan dengan hewan lagi tetapi dengan objek; (b) faktor institusi misalnya kata rukun dahulu bermakna kerukunan antara warga, antar tetangga-



tetangga/ antar warga-warga. Kini pengertiannya sudah meluas, untuk institusi resmi; (c) faktor ide misalnya kata simposium dahulu bermakna untuk bergembira (minum, makan, berdansa), kini bermakna pertemuan ilmiah; dan (d) faktor konsep ilmiah misalnya kata volt dahulu dikaitkan dengan sang penemunya, Allessandro Voltas. Kini lebih ditekankan maknanya pada satuan potensial listrik yang diperlukan untuk mengalirkan satu ampere arus listrik melalui satu ohm (misal dalam kalimat Voltase aliran listrik di rumahmu harus ditambah). 3.



Faktor sosial (social causes). Ini dikaitkan dengan perkembangan makna kata dalam masyarakat. Contoh: kata gerombolan makna dahulu



orang yang berkumpul atau



kerumunan orang, kini berarti pemberontak atau pengacau. 4.



Faktor psikologis (psychological causes) terdiri dari: (a) faktor emotif (emotif factor) misalnya kata bangsat dahulu dikaitkan dengan binatang yang biasa menggigit jika kita duduk di kursi rotan karena binatang itu hidup di sela-sela anyaman rotan, kini maknanya manusia yang malas yang kelakuannya menyakitkan hati.; (b) kata-kata tabu dirinci lagi (1) tabu karena takut (taboo of fear) misalnya kata menaikkan harga (dapat menimbulkan gangguan keamanan) diganti kata menyesuaikan harga. Lalu, kata terlibat organisasi terlarang diganti tidak bersih diri (= berdaki) atau tidak bersih lingkungan (= lingkungan yang kotor). Dan, kata harimau (takut diucapkan di hutan) diganti kata nenek; (2) tabu karena menginginkan kehalusan kata (taboo of delicacy) misalnya kata makan diganti kata bersantap dan mencicipi, padahal berbeda maknanya; dan (3) tabu karena ingin dikatakan sopan (taboo of propriety) misalnya kata kencing diganti kata buang air kecil. Kata WC, toilet, kakus diganti kata kamar kecil atau kamar belakang. Kata “Makan!” diganti kata “Silakan makan!” atau “Silakan bersantap!”



5. Pengaruh bahasa asing. Ini terjadi disebabkan oleh interaksi antara sesama bangsa, tak dapat dihindari. Contoh kata dari bahasa Belanda: andil (aandeel), dokumentasi (documentatie), insiden (incident), dan lain-lain. 6. Karena kebutuhan kata yang baru. Ini akibat perkembangan konsep baru namun belum ada lambangnya tetapi perlu nama atau kata baru karena bahasa adalah alat komunikasi. Contoh karena bangsa Indonesia merasa kurang enak menggunakan kata saudara maka muncullah kata Anda. Kata saudara pada mulanya dihubungkan dengan orang yang sedarah dengan kita tapi kini kata saudara digunakan untuk menyebut siapa saja. Dari kata bui, penjara, tutupan muncul kata lembaga pemasyarakatan. Pada subbab (d) penulis menjelaskan perubahan makna dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia. Bahwa Indonesia terdapat tiga kelompok bahasa, yakni bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing. Contoh kata seni dalam bahasa Melayu berarti air kencing, berubah makna dalam bahasa Indonesia menjadi hasil karya yang bermutu tinggi. Selanjutnya, kata gembleng (bahasa Jawa) bermakna satu, dipersatukan. Dalam bahasa Indonesia menggembleng bermakna melatih dan mendidik supaya berpendirian kuat dan berhati teguh. Disubbab (e) dipaparkan perubahan makna akibat perubahan lingkungan. Jelaskan bahwa bahasa yang digunakan pada lingkungan masyarakat tertentu belum tentu sama maknanya dengan makna kata yang digunakan di lingkungan masyarakat yang lain. Misalnya, kata cetak. Bagi mereka yang bergerak dalam bidang persuratkabaran , kata cetak selalu dihubungkan dengan kata tinta, huruf, kertas. Tetai bagi tukang bata, kata cetak biasanya dikaitkan dengan kegiatan membuat batu bata, mencetak batu bata pada cetakannya. Sedangkan bagi petani, kata cetak biasanya dikaitkan dengan usaha membuka lahan baru untuk pertanian sehingga muncul kata



pencetakan sawah baru. Selanjutnya, bagi para dokter kata cetak biasanya dihubungkan dengan kegiatan menghasilkan uang, dan bagi para pemain sepak bola kata cetak biasanya dikaitkan dengan keberhasilan memasukkan bola ke gawang lawan sehingga muncul kalimat, “ Gonzales mencetak 5 gol dalam pertandingan itu.” Oleh penulis, dieksposisikan pada subbab (f) mengenai perubahan makna akibat pertukaran tanggapan indra. Alat indra sebenarnya sudah mempunyai tugas-tugas tertentu untuk menangkap gejala-gejala yang terjadi di dunia ini. Misalnya rasa pahit, manis harus ditangkap oleh perasa lidah. Dalam penggunaan bahasa terjadi kasus pertukaran tanggapan antara indra yang satu dengan indra lain. Rasa pedas, misalnya, yang seharusnya ditanggap dengan alat indra perasa pada lidah, tertukar menjadi ditanggap oleh alat indra pendengaran seperti tampak dalam ujaran kata-katanya cukup pedas. Pertukaran alat indra penanggap biasa disebut dengan istilah sinestesia. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani sun artinya ‘sama’ dan aisthetikas artinya ‘tampak’. Contoh: (1) suaranya sedap didengar : (2)



warnanya enak dipandang. Sedap adalah



urusan indra perasa tetapi dalam contoh di atas menjadi tanggapan indra pendengaran, enak adalah juga urusan indra perasa tetapi dalam contoh di atas menjadi taggapan indra penglihatan yaitu, mata. Perubahan makna akibat gabungan leksem atau kata terdapat pada subbab (g) di sini penulis menjelaskan bahwa kata surat ternyata dapat dihubungkan/ gabungkan dengan kata yang lain: surat jalan, surat jual beli, surat kaleng, surat keterangan, surat perintah, surat permohonan, surat sakit, surat tamat belajar, dan lain-lain. Dari leksem daya, serah, dan unjuk



maka muncul paduan leksen daya juang (dorongan atau



kekuatan untuk berjuang), unjuk rasa, dan serah terima. Jadi, leksem atau kata digabungkan maka maknanya berubah.



Subbab (h) memuat perubahan makna akibat tanggapan pemakai bahasa. Setiap unsur leksikal atau kata sebenarnya secara sinkronis telah mempunyai makna leksikal yang tetap. Namun, karena panadangan hidup dan ukuran dalam norma kehidupan di dalam masyarakat maka banyak kata yang menjadi memiliki nilai rasa yang rendah (peyoratif), kurang menyenangkan, contoh kata gerombolan pengacau, gerombolan perampak, gerombolan pencuri, gerombolan penodong (menakutkan). Di samping itu ada juga yang menjadi memiliki nilai rasa yang tinggi (amelioratif), atau yang mengenakkan, contoh kata gerombolan dahulu bermakna orang yang berkelompok atau berkerumun. Bagian subbab (i) tentang perubahan makna akibat asosiasi. Dijelaskan bahwa kata-kata yang digunakan di luar bidangnya, seperti dibicarakan di atas masih ada hubungan atau pertautan maknanya dengan makna yang digunakan dalam bidang asalnya. Umpamanya kata mencatut yang berasal dari bidang atau lingkungan perbengkelan dan pertukangan mempunyai makna bekerja dengan menggunakan catut. Dengan menggunakan catut ini maka pekerjaan yang dilakukan, misalnya mencabut paku, menjadi dapat dilakukan dengan mudah. Oleh karena itu, kalau digunakan dalam frase seperti mencatut karcis akan memiliki makna ‘memperoleh keuntungan dengan mudah melalui jual beli karcis’. Agak berbeda dengan perubahan makna yang terjadi sebagai akibat penggunaan dalam bidang yang lain, di sini makna baru yang muncul adalah berkaitan dengan hal atau peristiwa lain yang berkenaan dengan kata tersebut. Umpamanya kata amplop yang berasal dari bidang administrasi atau surat- menyurat, makna asalnya adalah ‘sampul surat’. Ke dalam amplop itu selain biasa dimasukkan surat tetapi bisa pula dimasukkan benda lain, misalnya uang. Oleh karena itu, dalam kalimat beri saja amplop maka



urusan pasti beres, kata amplop di situ bermakna ‘uang’ sebab amplop yang dimaksud bukan berisi surat atau tidak berisi apa- apa melainkan berisi uang sebagai sogokan. Asosiasi antara amplop dengan uang ini adalah berkenaan dengan wadah. Jadi, menyebut wadahnya yaitu amplop tetapi yang dimaksud adalah isinya, yaitu uang. Yang terdapat pada bagian (j) tentang perubahan makna akibat perubahan bentuk. Di mana didalamnya dibahas mengenai terjadi aneka bentuk perubahan akan terjadi pula perubahan makna. Contoh dari leksem lompat dapa diturunkan kata: berlompatan, berlompat-lompat, dilompati, dilompatkan, melompat-lompat, pelompat, terlompa. Perluasan makna adalah terdapat pada subbab (k) yang menjelaskan mengenai perubahan makna meluas yaitu gejala yang terjadi pada sebuah kata atau leksem yang pada mulanya hanya memiliki sebuah makna, tetapi kemudian karena berbagai faktor menjadi memiliki makna-makna lain. Contohnya: kata saudara yang sudah disinggung di depan, pada mulanya hanya bermakna ‘seperut’ atau ‘sekandungan’. Kemudian, maknanya bisa berkembang menjadi ‘siapa saja yang sepertalian darah’ akibatnya, anak paman pun disebut saudara. Dijelaskan pembatasan makna di bagian subbab (l). Pembatasan atau penyempitan yang dimaksud di sini adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata yang pada mulanya mempunyai makna yang cukup luas, kemudian berubah menjadi terbatas hanya pada sebuah makna saja. Contohnya: pada kata sarjana yang pada mulanya berarti ‘orang pandai’ atau ‘cendikiawan’, kemudian hanya berarti’ orang yang lulus dari perguruan tinggi’, seperti tampak pada sarjana sastra, sarjana ekonomi, dan sarjana hukum. Betapapun pandainya seseorang mungkin sebagai hasil belajar sendiri, kalau bukan tamatan suatu perguruan tinggi, tidak bisa disebut sarjana. Sebaliknya,



betapa pun rendahnya indeks prestasi seseorang kalau dia sudah lulus dari perguruan tinggi, dia kan disebut sarjana. Pada bagian subbab (m) memuat tentang melemahkan makna. Pembicaraan mengenai melemahkan makna ini kita berhadapan dengan gejala yang ditampilkannya, kata-kata, atau bentuk-bentuk yang dianggap memiliki makna yang lebih lemah, atau lebih sopan dari pada yang akan digantikan. Kecenderungan untuk melemahkan makna kata tampaknya merupakan gejala umum dalam masyarakat bahasa Indonesia. misalnya: kata penjara atau bui diganti dengan kata/ ungkapan yang maknanya dianggap lebih lemah yaitu lembaga pemasyarakatan; di penjara atau dibui diganti menjadi dimasukkan



ke



lembaga



pemasyarakatan.



Kata



korupsi



diganti



dengan



menyalahgunakan jabatan. Kata pemecatan (dari pekerjaan) diganti dengan pemutusan hubungan kerja (PHK). Di subbab (n) ini membicarakan tentang kekaburan makna. Di bagian ini dijelaskan bahwa jika kita meemukan kata atau kalimat dalam media cetak susah menerka apa yang dimaksud. Berbeda ketika kita mendengar sebuah kata atau kalimat diujarkan, kadang kita ragu maknanya tetapi kita masih bisa menanyakan kepada lawan bicara. Sebab-sebab terjadinya kekaburan makna: (1) sifat kata atau kalimat yang bersifat umum (generic) misalnya kata buku (senenarnya buku apa yang dimaksud) atau pada kalimat “Ali anak Amat sakit” (tak jelas siapa yang sakit). (2) kata atau kalimat tidak pernah homogen 100%, maksudnya kata akan jelas maknanya jika berada di dalam kalimat dan kalimat akan jelas maknanya jika berada di dalam konteks. Misal kata air berbeda dalam kalimat dan konteks. (3) batas makna yang dihubungkan dengan bahasa dan yang berada di luar bahasa, tidak jelas. Misalnya sampai dimanakah batas makna kata pandai. (4) kurang akrabnya kata yang digunakan dengan acuannya,



misalnya menjelaskan makna kata demokrasi, politik (?). Sebab-sebab tersebut dapat dihindari: (1) penambahan unsur segmental yang dimaksud, misalnya kata jagung ditambah menjadi jagung muda, biji jagung. (2) menambah unsur supra segmental (jeda, nada, atau tekanan), misalnya Ali, anak, Amat sakit (3 orang yang sakit) dan Ali! Anak Amat, sakit (1 orang yang sakit). (3) pembicara harus mengujarkan kata atau kalimat secara jelas dan alat bicara harus normal.(4) konteks yang melatarbelakangi, kita tidak kuasai. Misal Ih hanya di sini, kakak sudah lama berangkat. (5) jika kosa kata kita kurang, apalagi kalau kata yang digunakan tidak kita ketahui maknanya. Diakhir bab VI buku ini dibahas tentang lambang tetap, acuan berubah (subbab o) dan ,sebaliknya, di subbab (p) dibahas mengenai makna tetap, lambang berubah. Dalam kehidupan sehari-hari dan dalam perkembangan bahasa kadang-kadang terdapat lambang yang tetap, acuannya berubah. Misalnya kata pujangga, dahulu bermakna ular, kemudian bermakna sarjana. Kini, kata tersebut masih tetap digunakan, tetapi lebih banyak dihubungkan dengan keahlian menciptakan roman, novel, atau puisi. Memang, dewasa ini terdapat kata sastrawan, novelis, penyair, tetapi kata pujangga belum hilang dalam pemakaian. Dengan kata lain, lambangnya masih ada, tetapi acuannya sudah berubah. Sebab terjadinya hal ini karena keterbatasan manusia, sedang di sisi lain manusia diburu oleh waktu untuk harus berkomunikasi. Kemudian, sebaliknya ada maknanya tetap



namun lambang berubah. Misalnya kata menyeleweng atau kata



menyalahgunakan wewenang, membuat penyimpangan, adalah kata atau urutan kata untuk



mengganti



kata



korupsi. Makna korupsi



sama dengan



makna kata



menyalahgunakan wewenang. Jadi, terlihat makna tetap dipertahankan, hnya lambang yang diubah atau diganti.



C. Penutup Makna sebagai unsur bahasa merupakan salah satu unsur yang memiliki potensi untuk berubah karena makna berkaitan dengan konsep-konsep dan pikiran manusia yang tidak pernah berhenti. Perubahan makna terjadi dipengaruhi oleh beberapa sebab serta



terdapat



berbagai



jenis



perubahan



makna



menyempit,perubahan total,membaik, memburuk.



diantaranya



yaitu,meluas



Adapun pandangan saya tentang



perubahan makna pada laporan bacaan ini adalah sebagai berikut. 1.



Bahwasanya hakikat perubahan makna adalah sebagai hasil asosisi antara kata-kata yang diisolasikan (berdiri sendiri).



2.



Sebab-sebab perubahan makna yaitu perkembangan dalam ilmu teknologi, sosial dan budaya, perbedaan bidang pemakaian, adanya asosiasi, pertukaran tanggapan indera, perbedaan tanggapan, adanya penyingkatan, proses gramatikal, dan pengembangan istilah.



3.



Jenis perubahan makna yaitu perubahan meluas, perubahan menyempit, perubahan total, penghalusan, dan pengasaran.



4.



Faktor yang memudahkan perubahan makna yaitu faktor kebahasaan, kesejarahan, sosial, psikologi, pengaruh bahasa asing dan kebutuhan kata yang baru. Semantik merupakan cabang linguistik yang penting dipelajari. Dengan



mempelajari semantik, kita akan tahu tentang makna-makna bahasa, karena semantik adalah ilmu yang mempelajari tentang makna. Saya menyarankan kepada masyarakat Indonesia pada umumnya dan mahasiswa pada jurusan kebahasaan terutama bahasa Indonesia, hendaknya di zaman yang serba berubah ini kita lebih tanggap terhadap perubahan-perubahan yang terjadi



khususnya dalam bidang bahasa Indonesia. Kita harus melestarikan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Perubahan yang terjadi perlu kita cermati dengan baik agar keaslian bahasa Indonesia tetap terjaga. Kelemahan buku ini seperti pengakuan penulis pada kata pengantar yang menyatakan buku ini masih ada kekurangan dan masih jauh dari harapan dan kesempurnaan, kalau ditinjau dari pernyataan penulis memang benar tak ada gading yang tak retak, kelemahan buku ini terletak pada tidak dilengkapi dengan biodata penulis sehingga pembaca tidak mendapatkan informasi tentang penulis dan karya yang lainnya, walaupun begitu dari segi mutu dan cetakannya sudah baik.



DAFTAR PUSTAKA



Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta : Rineka Cipta. Manaf, Ngusma Abdul. . Semantik (Teori dan Terapannya dalam Bahasa Indonesia). Jakarta: Sukabina Offset