Laporan Infusa [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PRAKTIKUM FITOFARMASI Kelompok 2A SEDIAAN INFUSA DAUN SIRIH (Piperis Betle Folium)



Diah Nurmala Sari



122210101016



Novialda Nitiyacassari



122210101089



Putri Khairunnisa



132210101034



Muhammad Ridlo



132210101038



Siti Marfu’ah



132210101052



Miftakhul Jannah



132210101054



Firda Ratna Safitri



132210101060



Nur Marlinah



132210101078



Sri Anita P. A. W.



132210101080



Kirana Rifrianasari



132210101091



Raras Puspa Wicitra



132210101094



Dini Syarifah



132210101096



Rizki Putri Aulia



132210101098



Dhea Chitarizka



132210101102



Tanjung Prabandari



132210101109



Mardiyatul Afifah



132210101114



BAGIAN BIOLOGI FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS JEMBER 2016



BAB I PENDAHULUAN Pada praktikum ini dilakukan pembuatan sediaan infusa terstandar dengan menggunakan daun sirih (Piperis Betle Folium). Berdasarkan penelitian, Piper betle mempunyai berbagai macam aktivitas biologi. Daun sirih sering digunakan untuk mengobati sariawan dan keputihan, bahkan sering digunakan untuk obat kumur atau antiseptik (Syukur dan Hernani, 2001). Lindawaty (1997), yang menyebutkan bahwa daun sirih segar mengandung senyawa fenolik, dimana diketahui senyawa fenolik memiliki sifat antimikroba. Ekstrak daun sirih dengan konsentrasi 20% dengan pelarut aquades sekalipun sudah dapat memberikan pengaruh terhadap pertambahan jumlah sel Candida albican dan mikroba. Kecendrungan daya fungistatik daun sirih adalah semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun sirih maka semakin kecil jumlah sel Candida albicans. Hal ini disebabkan semakin tingginya konsentrasi ekstrak daun sirih tersebut berarti semakin banyak kandungan zat atau senyawa aktif yang terkandung di dalamnya. Zat-zat atau senyawa aktif tersebut bersifat fungistatik. Salah satu dari senyawa-senyawa yang bersifat fungistatik yang terkandung dalam ekstrak daun sirih segar adalah fenil propane (senyawa fenolik) (Damayanti dan Mulyono, 2008). Selain itu ekstrak sirih dengan pelarut aquades juga memberikan efek antioksidan serta antiinflamasi (Pin, 2010). Ekstrak dalam air dari daun Piper betle terbukti secara in-vitro mempunyai aktivitas antioksidan yang diuji dengan aktivitas radikal bebas DPPH, superoksida, hydroxyl dan penghambatan peroksidasi lipid yang diinduksi dengan FeSO 4 dalam kuning telur. Aktivitas ini dikarenakan adanya asam galat dalam ekstrak tersebut (Dasgupta and De, 2004). Sementara itu, ekstraksi kloroform dari ekstrak air daun Piper betle dengan kandungan hidroxycavicol telah dibuktikan memiliki aktivitas antifungi (Ali et al., 2010). Ekstrak etanol daun Piper betle diketahui mempunyai efek antiinflamasi yang sebagian dimediasi dengan menekan produksi NO, sehingga mengakibatkan penghambatan pelepasan mediator inflamasi. Aktivitas antiinflamasi pada daun sirih karena kandungan fenoliknya yang tinggi (Ganguly et al., 2007). Ektrak etanol daun sirih juga memiliki aktivitas penghambatan terhadap bakteri atau antibakteri (Suliantari, 2008). Ektrak metanol sirih mengandung sterol, fenol dan flavonoid dengan konsentrasi tinggi, begitu juga dengan tannin. Ekstrak berair tersebut cenderung mengandung flavonoid dan tannin dalam konsentrasi sedang Sedangkan ektrak dengan menggunakan etil asetat ditemukan memiliki kandungan fenol, tannin dan sterol. Dari masing- masing ekstrak tersebut



diatas diketahui adanya aktivitas antimikroba, antioksidatif, dan anti hemolitik pada sirih (Chakraborty, 2011). Selain itu, ekstrak methanol daun sirih juga terbukti memiliki aktivitas antimalaria (Al-Adhroey, 2011). Fraksi n-heksana minyak atsiri daun sirih diketahui memiliki aktivitas antiradikal yaitu melalui pengujian DPPH. Aktivitas yang paling besar dalam meredam radikal bebas DPPH yaitu 66,27 % dalam waktu 5 menit dan 89,13 % dalam waktu 60 menit. Berdasarkan intensitas puncaknya pada analisis GC, kandungan minyak atsiri daun sirih didominasi oleh 4 komponen senyawa yaitu 4-alil fenil asetat, 2 metoksi-4-(2 profenil) fenol/eugenol, 3-allyl-6metoksi fenil asetat, 4-(2-profenil)-fenol / kavikol (Parwata dkk., 2009). Uji aktivitas larvasida minyak atsiri daun sirih terhadap larva nyamuk aedes aegypti menunjukkan hasil positif (toksik) dengan LC50 = 309,03 ppm. Hal ini diduga karena kandungan senyawasenyawa fenol pada minyak atsiri daun sirih seperti eugenol dan kavicol (Parwata dkk., 2011). Diketahui pula bahwa ekstrak sirih dengan metode salivary extraction memiliki aktivitas antibakteri serta antikoagulan yang berasal dari kandungan hydroxychavicol (Jesonbabu, 2012). Dalam praktikum fitofarmasi kali ini, dibuat infusa dari daun sirih. Daun sirih dibuat dalam sediaan infusa karena bahan aktif dalam sirih sendiri mudah terekstraksi dalam pelarut polar seperti air. Dan hanya dengan pelarut polar sederhana seperti air senyawa aktif tersebut sudah dapat memberikan aktivitas yang cukup baik serta pelarut yang digunakan tidak toksik dan diterima oleh semua kalangan.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kandungan Kimia dan Bioaktivitas Tanaman sirih merupakan tanaman yang tumbuh memanjat dengan tinggi tanaman 5 sampai 15 cm. Helaian daun berbentuk bundar telur atau bundar telur lonjong. Pada bagian pangkal berbentuk jantung atau agak bundar, tulang daun bagian bawah atau berbulu sangat pendek, tebal berwarna putih, panjang 5-18 cm dan lebar 2,5-10,5 cm. Daun pelindung berbentuk lingkaran, bundar telur sungsang atau lonjong dengan panjang kira-kira 1 mm. Perbungaan berupa bulir. Bulir yang masak berbulu kelabu, rapat dengan tebal 1-1,5 cm. Biji berbentuk bulat (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991). Kedudukan taksonomi tanaman sirih dalam sistematika tumbuhan menurut Syamsuhidayat dan Hutapea (1991) adalah: Divisi



:



Spermatophyta



Subdivisi



:



Angiospermae



Kelas



:



Dicotyledoneae



Ordo



:



Piperales



Family



:



Piperaceae



Spesies



:



Piper betle L.



Kandungan kimia utama yang memberikan ciri khas daun sirih adalah minyak atsiri. Selain minyak atsiri, senyawa lain yang menentukan mutu daun sirih adalah vitamin, asam organik, asam amino, gula, tannin, lemak, pati dan karbohidrat. Komposisi minyak atsiri terdiri dari senyawa fenol, turunan fenol propenil (sampai 60%). Komponen utamanya eugenol (sampai 42,5%), karvakrol, chavikol, kavibetol, alilpirokatekol, kavibetol asetat, alilpirokatekol asetat, sinoel, estragol, eugenol, metileter, ρ-simen, karyofilen, kadinen dan senyawa seskuiterpen (Darwis, 1992). Daun sirih mempunyai khasiat sebagai obat batuk, bisul, obat sakit mata, obat sariawan dan obat hidung berdarah (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991). Khasiat daun sirih ini selain sebagai stypic (penahan darah) dan vulnerary (obat luka pada kulit) juga berdaya



antioksidan, antiseptik, fungisida bahkan sebagai bakterisidal. Hal ini juga dikatakan oleh Widarto (1990) bahwa daun sirih mengandung minyak atsiri yang bersifat menghambat pertumbuhan mikroba. Minyak atsiri dan ekstrak daun sirih mempunyai aktivitas terhadap beberapa bakteri gram positif dan gram negatif (Darwis, 1992). Sebagai obat, seduhan daun sirih dapat dimanfaatkan untuk menghilangkan bau mulut, menghentikan pendarahan gusi, menciutkan pembuluh darah serta sebagai obat batuk. Daun sirih yang masih segar dapat dipergunakan untuk mencuci mata. Demikian pula dengan penyakit kulit, wasir, keringat bau, sakit gigi, asma dan produksi air susu ibu yang berlebihan dapat dicegah dan disembuhkan dengan daun sirih (Dharma, 1985). 2.2 Metode Ekstraksi Dalam beberapa referensi di jurnal yang ditemukan, metode ekstraksi pada daun sirih menggunakan maserasi misanya sebagai berikut: Daun sirih dicuci, dipotong-potong dan dikeringkan dalam oven suhu 40-45ºC selama 12 jam sambil sesekali dibolak-balik dan ditutup kain hitam agar kekeringan dan terjadi secara merata. Terhadap daun yang kering kemudian diblender untuk memperluas permukaan sehingga ekstraksi menjadi efisien. Ekstraksi dipilih secara dingin yaitu maserasi menggunakan etanol 96% selama rentang waktu (24-72 jam). Adapun kelemahan dan maserasi ini yaitu membutuhkan waktu yang lama hingga beberapa hari. Sedangkan pada metode ekstraksi yang kita gunakan untuk membuat sediaan infusa cair ini adalah infudasi. Dimana, infudasi merupakan proses penyarian yang pada umumnya untuk menyari kandungan zat aktif yang ada pada sediaan tanaman yang larut dalam air. Penyarian adalah peristiwa memindahkan massa zat aktif yang semula berada di dalam sel ditarik oleh cairan penyari sehingga zat aktif larut dalam cairan penyari (Anonim, 1986). Sistem pelarut yang digunakan dalam ekstraksi harus dipilih berdasarkan kemampuannya dalam melarutkan jumlah maksimal zat aktif dan seminimal mungkin zat yang tidak digunakan (Ansel, 1989). Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan cara menyari simplisia dengan air pada suhu 90ºC selama 15 menit. Penyarian dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh kuman dan kapang. Oleh sebab itu, sari yang diperoleh dengan cara ini tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam. Infusa dibuat dengan membasahi bahan bakunya, biasanya dengan air dua kali bobot bahannya. Penyaringannya dilakukan pada saat cairan



masih panas dengan kain flanel, kecuali bahan yang mudah menguap (Anonim, 1986). Beberapa kelebihan air dipertimbangkan sebagai penyari karena murah dan mudah diperoleh, stabil, tidak mudah terbakar, tidak beracun serta alamiah. 2.3 Metode Analisis Metode yang digunakan analisis senyawa marker dalam ekstrak atau sediaan tertentu yaitu secara kromatografi lapis tipis (KLT)-Densitometri. Kromatografi adalah proses pemisahan atas perbedaan distribusi komponen diantara fase gerak dan fase diam (Vogel, 1978). Pada KLT, cuplikan yang akan dipisahkan ditotolkan pada lapisan tipis yang nantinya akan diabsorbsi oleh zat penyerap dan selanjutnya dieluasi oleh fase gerak. Pemisahan ini didasarkan pada sifat polaritas senyawa. Senyawa yang punya polaritas hampir sama dengan fase geraknya akan tereluasi terlebih dahulu dibandingkan dengan senyawa yang sifat polaritasnya berbeda dengan fase geraknya. Eluen KLT dipilih dengan cara trial and error. Kepolaran eluen sangat berpengaruh terhadap Rf (faktor retensi) yang diperoleh. Faktor retensi (Rf) adalah jarak yang ditempuh oleh komponen dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh eluen. Nilai Retardation factor (Rf) tersebut, digunakan sebagai metode identifikasi sederhana yang didefinisikan dengan persamaan : Rf =



Jarak tempu h komponen jarak tempu h eluen



Berdasarkan beberapa penelitian yang menguji aktivitas antimikroba dari ekstrak daun sirih, menggunakan metode analisis berikut :  KLT (1) Ekstrak kasar air daun sirih diuji dengan kondisi analisis sebagai berikut. Fase diam : Silica Gel G (20x10 cm) Fase gerak : Kloroform : methanol (90:10) Deteksi : UV 254 nm dan 366 nm Penampak noda : Reagen 25% Folin-Ciocalteu phenol, menunjukkan adanya fenol Asam tannin, referensi adanya fenol 0.82 dan 0.91



Pembanding : Rf : (Nalina, 2007) (2) Dapat juga dengan kondisi analisis berikut. Fase diam



:



Silica Gel



Fase gerak



:



Kloroform : methanol : asam asetat glasial (90:10:1)



Deteksi



:



Reagen Folin-Ciocalteu phenol, menunjukkan adanya fenol



Rf



:



0.5 dan 0.6



(Chakraborty, 2011) Ekstrak etanol, fraksi n-heksan dan etil asetat dianalisis dengan KLT dengan Fase diam



:



Silica Gel F254



Fase gerak



:



n-heksan : etil asetat ( 8:2 ; 7:3 ; 6:4 ; 5:5 )



Deteksi



:



Liebermen-Burchard



Fase gerak



:



Kloroform : metanol (7:3), toluen : etil asetat (6:4)



Penampak noda :



FeCl3



Ekstrak etanol, fraksi n-heksan, fraksi etilasetat masing-masing sebanyak 10 μl ditotolkan dengan jarak 2 cm diantara pentotolan pada plat KLT, dimasukkan dalam bejana kromatografi yang telah jenuh dengan larutan pengembang, kemudian dielusi sampai batas pengembangan. Plat dikeluarkan lalu dikeringkan dan amati di bawah sinar UV, disemprot dengan penampak noda, selanjutnya dipanaskan di oven pada suhu 110ºC selama 10 menit, warna yang timbul diamati dan dihitung harga Rf-nya. Fase gerak n-heksan-etilasetat (8:2) diperoleh Rf 0,41 dan 0,29 (ungu merah), dengan perbandingan (6:4) diperoleh Rf 0,84 dan 0,76 (ungu merah) yang menunjukkan adanya senyawa triterpen/streroid. Sedang dengan fase gerak kloroform-metanol (7;3) diperoleh harga Rf 0,96 dan Rf 0,87 (hijau biru), Rf 0,77 dan 0,63 (biru hitam) menunjukkan adanya senyawa fenol (tanin dan flavonoid) (Reveny, Julia., 2011). Menurut Markham, 1988 harga Rf dan warna noda hasil KLT eluen terbaik metanol : kloroform (1:39) di bawah sinar UV 254 nm dan 366 nm adalah :



2.4 Bentuk Sediaan dan Formula Adapun bentuk sediaan yang akan dibuat adalah sediaan infusa daun sirih. Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan cara mengekstraksi bahan nabati dengan pelarut air pada suhu 90°C selama 15 menit. Serkai selagi panas melalui kain flannel, tambahkan air panas secukupnya melalui ampas sehingga diperoleh volume yang dikehendaki. Untuk infusa daun sena dan simplisia yang mengandung minyak atsiri harus diserkai setelah dingin. Karena daun sena mengandung antrakuinon yang larut dalam air panas dan dapat menyebabkan rasa mulas jika tedapat dalam jumlah besar. Sedangkan infusa yang mengandung minyak atsiri dapat menguap jika langsung diserkai dalam keadaan panas. Selain itu simplisia yang berlendir tidak boleh diperas, karena lender dapat menutupi lubang-lubang pada saringan (Farmakope Indonesia, 1995). Keuntungan Infusa adalah: -



Menggunakan peralatan yang lebih sederhana. Menggunakan pelarut air yang mudah didapat. Waktu yang dibutuhkan untuk ekstraksi lebih singkat (15 menit) dibandingkan dekok



-



(30 menit). Harga relatif murah.



(Sulistyawati, Dewi 2009) Pada pembuatan ekstrak dengan metode lainnya, kandungan dari bahan tumbuhan dan pelarut yang paling tepat untuk masing-masing kandungan harus diketahui terlebih dahulu. Dengan zat pelarut yang tepat, zat aktif yang diinginkan akan terpisah dari bahan aslinya dan bercampur dengan pelarut yang digunakan. Selanjutnya pemisahan zat aktif dari pelarutnya dengan lebih mudah dilakukan untuk memperoleh zat aktif yang benar-benar murni. Dari sini jelas terlihat bahwa metode pembuatan ekstrak dengan metode lainnya lebih rumit dan mahal dibandingkan dengan metode pembuatan infusa. Walaupun begitu, penyarian dengan cara infusa menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh kuman dan kapang. Oleh sebab itu, sari yang diperoleh dengan metode ini tidak dapat disimpan lebih dari 24 jam. Pembuatan infusa daun sirih dilakukan dengan menghaluskan daun sirih yang sudah kering sampai dengan 5/10 bagian (Farmakope Indonesia III, 1979). Derajat halus perlu diketahui untuk menentukan alat penyaring yang akan digunakan, apakah kain flannel atau kapas. Selanjutnya ditimbang sebanyak 10 gram, ditambah air secukupnya, dan dipanaskan dalam pemanas air selama 15 menit, dihitung mulai suhu dalam panci mencapai 90°C sambil



sesekali diaduk. Setelah dingin, diserkai dengan kain flannel, kekurangan air ditambah dengan air mendidih. Infusa daun sirih dibuat dengan kadar 10% sebanyak 100 ml, maka jumlah daun sirih yang dibutuhkan adalah: 10% x 100ml = 10 gram dan volume air yang digunakan untuk menyerkai sama dengan volume infusa, yaitu 100 ml. 2.5 Evaluasi Sediaan Untuk pembuatan sediaan infusa, hal-hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut. 1.



Jumlah Simplisia Kecuali dinyatakan lain, infus yang mengandung bukan bahan berkhasiat keras dibuat



dengan menggunakan 10% simplisia. 2.



Derajat Halus Simplisia Yang digunakan untuk infus harus mempunyai derajat halus sebagai berikut:



Serbuk (5/8) Serbuk (8/10) Serbuk (10/22) Serbuk (22/60) Serbuk (85/120)



3.



Akar manis, daun kumis kucing, daun sirih, daun sena Dringo, kelembak Laos, akar valerian, temulawak, jahe Kulit kunir, akar ipeka, sekale kornutum Daun digitalis



Banyaknya Ekstra Air Umumnya untuk membuat sediaan infusa diperlukan penambahan air sebanayak 2 kali



berat simplisia. Air ekstra ini perlu karena simplisia yang kita gunakan pada umumnya dalam keadaan kering. 4.



Cara Menyerkai Pada umumya infusa diserkai selagi panas, kecuali infusa simplisia yang mengandung



minyak aktsiri, diserkai setelah dingin. 5.



Penambahan Bahan-Bahan Lain



Pada pembuatan infus kulit kina ditambahkan asam sitrat 10% dari bobot bahan berkhasiat dan pada pembuatan infus simplisia yang mengandung glikosida antrakinon, ditambahkan natrium karbonat 10% dari bobot simplisia.



BAB III METODE 3.1 Metode Ekstraksi 3.1.1 Pembuatan Infusa Infusa daun Sirih dibuat dengan kadar 10%.



Mengambil beberapa lembar daun sirih, memotong kecil-kecil dengan gunting dan menimbang 10 gram yang selanjutnya dimasukan kedalam panci infus.



Mengukur 100 ml air dan memasukan kedalam panci infus yang berisi potongan daun sirih.



Memanaskan panci infus diatas penangas air (water bath) hingga suhu cairan 90oC dan memanaskan selama 15 menit.



Mengangkat panci infus dan mendiamkan hingga suhu cairan mendekati suhu kamar.



Menyerkai infus kedalam botol yang telah dikalibrasi dengan bantuan kain flanel dan corong gelas.



Menambahkan air masak kedalam serkaian hingga volume infusa 100 ml. 3.2 Metode Analisis 3.2.1 Identifikasi Golongan Senyawa Aktif dengan KLT Densitometri Penotolan



:



Menotolkan 10µl



Fase Gerak



:



Kloroform : Metanol (90:10)



Fase Diam



:



Silika Gel F254



Deteksi



:



Mengamati pada UV 254 nm



Warna Noda



:



Gelap (meredam sinar UV). Pada profil terdapat 4 noda dengan Rf ± 0,20 ; 0,52 ; 0,82.



3.2.2 KLT Lempeng KLT disiapkan bersih dan kering.



Sampel ditotolkan 10µl infusa.



Disiapkan eluen.



Kloroform : Metanol (90:10) dimasukkan dalam chamber dan langsung menutupnya.



Dipastikan chamber jenuh.



Lempeng KLT dimasukkan dalam chamber dengan pinset.



Ditunggu eluasi lempeng sampai garis batas.



Lempeng diambil dan dikeringkan dengan drier dalam lemari asam.



Lempeng diamati dibawah sinar UV 254 nm. Dihitung nilai Rfnya.



3.2.3 Pembuatan Eluen



Dituang ke dalam chamber yang bersisi kertas saring.



Dipipet Kloroform sebanyak 9 ml dan Metanol 1 ml dilarutkan dalam Erlenmeyer.



Ditunggu hingga jenuh. 3.3 Evaluasi Sediaan 3.3.1 Uji Organoleptis a. b. c. d.



Bentuk Warna Bau Rasa



: : : :



Larutan Kuning kecoklatan, bening (seperti teh) Aromatik Agak pahit, getir



3.3.2 Uji pH pH = 5 3.3.3 Pembuatan Larutan Uji Diameter Zona Hambat dan HKM Larutan infus terlebih dahulu dipekatkan dengan cara diuapkan diatas penangas air dengan suhu tidak lebih dari 50ºC, hingga diperoleh larutan infus dengan konsentrasi 1250 mg/ml dihitung dari berat simplisia awal, kemudian disterilkan pada 121ºC selama 15 menit. Diameter zona hambatan infus daun sirih 250 mg/ml adalah 10,43 mm, 500 mg/ml adalah 12,33 mm, dan 100 mg/ml adalah 16,80 mm terhadap jamur Candida albicans. 3.3.4 Penentuan Kadar Hambat Minimal (KHM) Pertama-tama dilakukan pengenceran kelipatan dua dari masing-masing larutan infus mulai dari konsentrasi 250 mg/ml;125 mg/ml masing-masing dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 4 ml agar Sabouroud Dextrose yang masih cair dihomogenkan, dan dibiarkan sampai membeku. Selanjutnya diinokulasi dengan inokulum jamur sebanyak 1 sengkelit dan diinkubasi selama 3 hari pada suhu kamar. Dibuat 3 macam kontrol, kontrol A adalah kontrol media agar Sabouroud dextrose, kontrol B adalah kontrol larutan infus yaitu 3 ml agar Sabouroud dextrose ditambah 1 ml infus tanpa inokulum jamur, kontrol C terdiri dari 4 ml Sabouroud dextrose agar diinokulasi dengan inokulum jamur, tanpa larutan infus. Dari percobaan yang pernah dilakukan (Soemiati,



Atiek) didapatkan Kadar Hambat Minimal (KHM) infus daun sirih sebesar 62,5 mg/ml terhadap jamur Candida albicans.



BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengamatan 4.1.1 Evaluasi Sediaan  Uji Organoleptis Bentuk : Warna : Bau : Rasa :  Uji pH PH :



Larutan Kuning kecoklatan, bening (seperti teh) Aromatik Agak pahit, getir 5



4.1.2 Hasil KLT-Densitometri Waktu penjenuhan chamber



:



10 menit



Waktu eluasi lempeng



:



13 menit 6 detik



Kondisi analisis



:







 



Fase diam : Fase gerak : Deteksi :



Silica gel F254 Kloroform : Methanol (90:10) Diamati pada UV 254 nm



Masing-masing kelompok melakukan 3x replikasi penotolan. Jarak eluen = 8 cm Rf =



6,7 cm 8 cm



= 0,83



Rf teoritis = 0,52 ; 0,2 ; 0,82 ; 0,91



Rf sampel mendekati 0,82 dan 0,91 (0,83).



4.2 Pembahasan Pada praktikum kali ini dilakukan pembuatan ekstrak dari daun sirih. Metode yang digunakan untuk mendapatkan ekstrak daun sirih yaitu dengan metode infusa (yaitu menggunakan pelarut berupa air kemudian dipanaskan pada suhu 90ºC selama 15 menit). Sediaan cair infusa daun sirih (Piperis Betle Folium) dibuat dengan kadar 10% yang berarti 10 gram dalam 100 ml. Pertama untuk membuat sediaan cairan infus daun sirih 10% dibutuhkan sebanyak 10 gram daun sirih, dengan cara mengambil beberapa lembar daun sirih, kemudian dilakukan pemotongan menjadi bagian yang lebih kecil dengan alat gunting. Tujuan pemotongan ini yaitu agar daun sirih dapat menjadi bagian yang lebih kecil sehingga luas permukaan daun yang kontak dengan pelarut menjadi lebih besar sehingga ekstrak yang dihasilkan menjadi lebih baik. Tetapi pemotongan daun sirih ini tidak terlalu kecil atau tipis karena minyak atsiri yang ada di dalam daun sirih akan rusak apabila pemotongan terlalu tipis. Selanjutnya dilakukan penimbangan sebanyak 10 gram dan dimasukkan ke dalam panci infus. Kemudian diukur air sebanyak 100 ml dan dimasukkan ke dalam panci infus di atas penangas air (water bath) hingga suhu cairan mencapai 90ºC. Setelah suhu mencapai 90ºC dilakukan pemanasan selama 15 menit. Pada waktu ini diharapkan semua kandungan minyak atsiri dalam daun sirih akan larut ke dalam cairan. Selanjutnya panci infus didiamkan. Kemudian dilakukan kalibrasi botol 100 ml. Disisi lain cairan infus disekai dengan bantuan kain dan corong dan dimasukkan ke dalam botol yang telah dikalibrasi. Setelah itu ditambahkan dengan aquadest sampai dengan volumenya mencapai 100 ml. Setelah infusa selesai dibuat, kemudian dilakukan berbagai evaluasi sediaan salah satunya dengan menguji dengan metode KLT. Sampel berupa infusa sirih ditotolkan sebanyak 4µl pada lempeng KLT. Adapun kondisi analisis yang digunakan dalam analisis ini adalah: Fase Diam



: Silica Gel F254



Fase Gerak



: Kloroform : Metanol (90 :10)



Deteksi



: UV 254 nm



Setelah dilakukan penotolan, maka dilakukan eluasi terhadap lempeng KLT. Setelah lempeng jenuh kemudian lempeng dikeringkan dan kemudian dilakukan deteksi dengan menggunakan UV panjang gelombang 254 nm. Dilakukan perhitungan Rf dari noda yang



didapat sehingga diketahui senyawa apa saja yang terdapat dalam sediaan cair infusa daun sirih dari nilai Rf yang didapatkan. Untuk penjenuhan chamber dilakukan selama 10 menit. Sedangkan untuk eluasi dilakukan selama 13 menit 6 detik. Warna noda yang dihasilkan dari kelompok kami adalah gelap (hitam). Nilai Rf yang diharapkan adalah 0,2 ; 0, 52 dan 0,82. Dari hasil KLT diperoleh Rf 0,83. Hasil tersebut sesuai dengan yang diharapkan dari salah satu Rf yaitu 0,82. Pada praktikum kali ini, pada infusa yang dibuat juga dilakukan pemekatan sedian dikarenakan infusa tersebut tidak naik pada mikropipet kapiler dan tidak nampak noda. Pemekatan dilakukan dengan cara menuang infus pada cawan yang kemudian di panaskan dengan uap yang berasal dari beaker yang berisi air pada hotplate. Setelah pemekatan selesai, kemudian ditotolkan kempali pada lempeng KLT sebanyak 4µl dengan kondisi seperti pada penentuan pola/profil kromatogram kemudian dilihat nodanya dibawah sinar UV, jika noda terlihat kemudian dilakukan eluasi. Dari hasil KLT, diamati warna noda dan dihitung Rf secara manual. Analisis kualitatif ini dilakukan dengan membandingkan antara Rf sampel dan Rf pada teoritis. Tidak menggunakan standar karena sediaan infusa tidak dihidrolisis, kami hanya memastikan sesuai dengan teoritis atau tidak. Masing-masing kelompok melakukan 3x replikasi penotolan. Jarak eluen = 8 cm 6,7 cm Rf= 8 cm = 0,83 Karena Rf standar hanya ada pada teoritis (Nalina, 2007) yang menyatakan adanya senyawa fenol yaitu 0,52; 0,2 ; 0,82 dan 0,91 maka sampel diatas kemungkinan mengandung senyawa fenol karena mendekati teoritis yaitu 0,83. Dari hasil kromatografi lapis tipis yang telah dilakukan, terlihat bahwa pada infusa daun sirih terdapat senyawa fenol. Dari hasil pustaka banyak menyebutkan bahwa infusa daun sirih mengandung fenol. Dalam Materia Medika disebutkan bahwa zat yang memiliki khasiat dalam daun sirih adalah minyak Atsiri yang mengandung fenol dan turunannya. Senyawa seperti hidroksi kavikol, kavibetol, estragol, eugenol, metileugenol, karvakrol, terpinen, sesquiterpen, fenilpropen dan tannin juga ada pada sirih (Anonim,1978). Aktivitas dari fenol sendiri adalah antisariawan, antiseptik, adstringen, dan anti batuk. Daun sirih banyak digunakan untuk antiseptik.



BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 



Metode ekstraksi yang dilakukan untuk membuat sediaan infusa daun sirih adalah dengan metode infusa, yaitu menggunakan pelarut berupa air kemudian dipanaskan







pada suhu 90ºC selama 15 menit. Hasil analisis senyawa aktif dengan metode KLT-Densitometri didapatkan nilai RF sebesar 0,83. Nilai Rf ini sudah mendekati nilai Rf teoritis yaitu 0,82 yang







menandakan adanya senyawa fenol dalam sediaan tersebut. Sediaan infusa daun sirih yang mengandung fenol ini biasa digunakan sebagai antiseptik.



5.2 Saran 



Pemotongan daun sirih sebaiknya tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil agar







didapatkan kandungan fenol sesuai dengan yang diharapkan. Lebih berhati-hati dalam melakukan percobaan karena berhubungan dengan pemanasan.



DAFTAR PUSTAKA Arifin, Moch. Futuchul. 2009. Formulasi Edible Film Ekstrak Daun Sirih (Piper betle L.) sebagai Antihalitosis. Jakarta: Fakultas Farmasi Universitas Pancasila. Anonim. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Depkes RI. Chakraborty, D., Shah, B., 2011. Antimicrobial, Antioxidative And Antihemolytic Activity Of Piper Betel Leaf Extracts. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences 3, 192– 199. Markham, K.R. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Terjemahan Kosasih Padmawinata. Bandung: Penerbit ITB. Nalina, T. 2007. The Crude Aqueous Extract of Piper betle L. and its Antibacterial Effect Towards Streptococcus mutans. American journal of biochemistry and biotechnology. Sulistyawati, D. & Mulyati, S. 2009. Uji Aktivitas Antijamur Infusa Daun Jambu Mete (Anacardium ocodentak L.) terhadap Candida Aibicans. Biomedika.



LAMPIRAN