Laporan Kadar Abu Total [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PRAKTIKUM STANDARISASI BAHAN ALAM PERCOBAAN 5 PENETAPAN KADAR ABU TOTAL Disusun Oleh : Kelompok 6/E Ega Utami Panji Nurhadiansyah Syifa Moraliesky Dina Kurniawati Berliana Angelina



10060316155 10060316156 10060316157 10060316158 10060316159



Asisten



: Rica, S.Farm. Apt



Tanggal Praktikum Tanggal Pengumpulan



: 13 Maret 2018 : 20 Maret 2018



LABORATORIUM FARMASI TERPADU UNIT-B PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG 1439H/2018



PERCOBAAN 5 PENETAPAN KADAR ABU TOTAL



I.



Tujuan Percobaan Dapat memahami cara penetapan kadar abu total simplisia serta dapat mengetahui manfaat dari penetapan kadar abu total.



II.



Prinsip Percobaan Pemijaran simplisia menggunakan tanur sehingga hanya menyisakan senyawa anorganik.



III.



Alat dan Bahan Alat : 1. Timbangan analitis 2. Pemanas 3. Krus silikat 4. Tanur 5. Gelas kimia 50 mL 6. Corong 7. Kertas saring Bahan : 1. Simplisia Biji Jagung 2. Aquadest



IV.



Prosedur Percobaan Terlebih dahulu krus silikat dipijarkan, kemudian ditara dan dinyatakan sebagai bobot kosong (So). Simplisia dihaluskan menjadi serbuk kasar (ukuran ayakan no. 1250) lalu simplisia ditimbang sebanyak 1 gram. Kedalam krus silikat yang telah dipijarkan, dimasukkan simplisia lalu ditara (S1). Krus yang telah diisi simplisia dimasukkan kedalam tanur, kemudian dipijarkan pada suhu 500 – 600o C hingga arang habis (biasanya antara 2 – 6 jam). Jika sampai prosedur ini arang tidak dapat dihilangakn, maka dinginkan sampel hasil pemijaran, kemudian tambahkan 2 mL air panas kemudian saring dengan menggunakan kertas saring bebas abu. Keringkan residu di penangas air (Water Bath). Kertas saring beserta residu dimasukkan kedalam krus yang sama, kemudian dipijarkan kembali pada suhu 500 – 600o C. Krus didinginkan di dalam eksikator hingga suhu kamar kemudian ditimbang (S2). Krus dipijarkan kembali selama 30 menit, kemudian didinginkan lalu ditimbang. Lakukan pemijaran hingga diperoleh bobot konstan. Kadar abu total (%) dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara.



V.



Data Pengamatan Nama Simplisia



: Daun dan Buah Belimbing Wuluh



Nama Latin Simplisia



: Avverhia Bilimbi Fructus & Avverhia Bilimbi Folium



Nama Latin Tumbuhan



: Avverhia bilimbi



Pengamatan Kadar Abu Total Sampel



Krus



Berat Krus + Simplisia Setelah Pemijaran



Daun 1



34,89



35,06



Daun 2



37,04



37,21



Buah 1



36,76



36,94



Buah 2



34,95



35,13



Perhitungan Kadar Abu Total



Daun 1 : Daun 2 :



35,06βˆ’34,89 2 π‘”π‘Ÿπ‘Žπ‘š 37,21βˆ’37,04 2 π‘”π‘Ÿπ‘Žπ‘š



= =



0,17 2 0,17 2



Rata-rata abu total Daun :



Buah 1 : Buah 2 :



36,94 βˆ’36,76 2 π‘”π‘Ÿπ‘Žπ‘š 35,13βˆ’34,95 2 π‘”π‘Ÿπ‘Žπ‘š



= =



0,18 2 0,18 2



Rata-rata abu total Buah :



VI.



= 0,085 gram = 0,085 gram 0,17+0,17 2



= 0,085 gram x 100 % = 8,5 %



= 0,09 gram = 0,09 gram 0,18+0,18 2



= 0,09 gram x 100% = 9 %



Teori dan Pembahasan Pada percobaan kali ini dilakukan penetapan kadar abu total dari simplisia Daun dan Buah Belimbing wuluh. Tujuan dilakukannya percobaan ini adalah untuk mengetahui kadar abu total dari suatu simplisia (dauh dan buah belimbing wuluh) serta mengetahui manfaat yang didapatkan dari informasi kadar abu total. Abu merupakan residu anorganik dari proses pembakaran atau oksidasi komponen organik bahan pangan. Kadar abu dari suatu bahan menunjukkan kandungan mineral yang terdapat dalam bahan tersebut, kemurnian, serta kebersihan suatu bahan yang dihasilkan. Abu dalam bahan dibedakan menjadi abu total, abu terlarut dan tidak terlarut. Bentuk mineral dalam abu sangat berbeda dari bentuk asalnya dalam bahan pangan. Sebagai contoh kalisium oksalat dalam makanan berubah menjadi kalsium karbonat dan bila dipanaskan lebih lama lagi akan menjdai kalsium oksida (Nuri Andarwulan, dkk, 2011). Mineral yang terdapat dalam suatu bahan dapat merupakan dua macam garam yaitu garam organik dan garam anorganik. Yang termasuk dalam garam organik misalnya garam-garam asam mallat, oksalat, asetat, pektat. Sedangkan garam anorganik antara lain dalam bentuk garam fosfat,



karbonat, klorida, sulfat,nitrat. Selain kedua garam tersebut, kadangkadang mineral berbentuk sebagai senyawaan komplek yang bersifat organis. Apabila akan ditentukan jumlah mineralnya dalam bentuk aslinya sangatlah sulit, oleh karena itu biasanya dilakukan dengan menentukan sisa-sisa pembakaran garam mineral tersebut, yang dikenal dengan pengabuan (Sudarmadji, 2003). Penentuan kadar abu total dapat digunakan untuk berbagai tujuan sebagai berikut: 1. Untuk menentukan baik tidaknya suatu proses penggolahan. 2. Untuk mengetahui jenis bahan yang digunakan. 3. Untuk memperkirakann kandungan buah yang digunakan untuk membuat jelly. Kandungan abu juga dapat dipakai untuk menentukan atau membedakan fruit uinegar (asli) atau sintesis. 4. Sebagai parameter nilai bahan pada makanan. Adanya kandungan abu yang tidak larut dalam asam yang cukup tinggi menunjukkan adanya pasir atau kotoran lain.( Irawati.2008 ). Penentuan kadar abu adalah mengoksidasikan senyawa organik pada suhu yang tinggi, yaitu sekitar 500-600Β°C dan melakukan penimbangan zat yang tinggal setelah proses pembakaran tersebut. Lama pengabuan tiap bahan berbeda–beda dan berkisar antara 2-8 jam. Pengabuan dilakukan pada alat pengabuan yaitu tanur yang dapat diatur suhunya. Pengabuan dianggap selesai apabila diperoleh sisa pembakaran yang umumnya bewarna putih abu-abu dan beratnya konstan dengan selang waktu 30 menit. Penimbangan terhadap bahan dilakukan dalam keaadan dingin, untuk itu krus yang berisi abu diambil dari dalam tanur harus lebih dahulu dimasukan ke dalam oven bersuhu 105Β°C agar suhunya turun menyesuaikan degan suhu didalam oven, barulah dimasukkan kedalam desikator sampai dingin, barulah abunya dapat ditimbang hingga hasil timbangannya konstan.



Sebagian besar bahan makanan, yaitu sekitar 96% terdiri dari bahan organik dan air. Sisanya terdiri dari unsur-unsur mineral. (Winarno, 1992) Suatu simplisia harus memenuhi syarat-syarat mutu



diantaranya



adalah kadar abu total, kadar abu tidak larut air, kadar abu tidak larut asam. Abu terbagi menjadi abu fisiologis dan abu non fisiologis. Abu fisiologis adalah abu yang berasal dari tanaman itu sendiri contohnya yaitu kalsium oksalat, natrium oksidan dan sebagainya. Sedanga kan abu non fisiologis adalah abu yang berasal dari selain tumbuhan itu sendiri, contohnya silikat dan pasir. (Winarno, 2004). Dalam penetapan kadar abu total terdapat dua metode yaitu kadar abu total metode pengabuan basah dan metode pengabuan kering. Metode pengabuan basah adalah penggunaan asam nitrat untuk mendestruksi zat organik pada suhu rendah dengan maksud menghindari kehilangan mineral akibat penguapan. Pengabuan cara basah mendestruksi komponenkomponen organik (C, H, dan O) bahan dengan oksidator seperti asam kuat. Pengabuan cara ini dilakukan untuk menentukan elemen-elemen mineral. (Apriyantono, 1989). Dalam percobaan penetapan kadar abu total ini digunakan metode dengan pengabuan kering. Metode pengabuan kering adalah metode pengabuan dengan menggunakan tanur dengan shuhu 5000-6000C selama kurang lebih 3 jam. Pada metode pengabuan kering, air dan bahan volatile lain diuapkan kemudian zat- zat organik dibakar hingga menghasilkan CO2, H2O dan N2. Analisis gravimetrik merupakan bagian analisis kuantitatif untuk menentukan jumlah zat berdasarkan pada penimbangan dari hasil reaksi setelah bahan/analit yang dihasilkan diperlakukan terhadap pereaksi tertentu. (Widodo, 2010). Kadar abu suatu bahan ditetapkan pula secara gravimetri. Penentuan kadar abu merupakan cara pendugaan kandungan mineral bahan pangan



secara kasar. Bobot abu yang diperoleh sebagai perbedaan bobot cawan berisi abu dan cawan kosong. Apabila suatu sampel di dalam cawan abu porselen dipanaskan pada suhu tinggi sekitar 650Β°C akan menjadi abu berwarna putih. Ternyata di dalam abu tersebut dijumpai garam-garam atau oksida-oksida dari K, P, Na, Mg, Ca, Fe, Mn, dan Cu, disamping itu terdapat dalam kadar yang sangat kecil seperti Al, Ba, Sr, Pb, Li, Ag, Ti, As, dan lain-lain. Besarnya kadar abu dalam daging ikan umumnya berkisar antara 1 hingga 1,5 %. (Yunizal, et.al, 1998). Pada praktikum kali ini, proses pengabuan dilakukan dengan menggunakan tanur yang memijarkan sampel pada suhu mencapai 550Β°C penggunaan tanur karena suhunya dapat diatur sesuai dengan suhu yang telah ditentukan untuk proses pengabuan. Kadar abu dari bahan pangan menunjukan : kadar mineral, kemurnian, dan kebersihan suatu bahan yang dihasilkan. Abu



berkaitan dengan mineral yang berfungsi sebagai



komponen bahan pangan, dibutuhkan dalam jumlah kecil, serta berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Pengujian kadar abu dilakukan untuk mengetahui kualitas gizi (indikator mutu pangan), tingkat kemurnian tepung atau gula, mengetahui pemalsuan selai buah dan sari buah, kontaminasi mineral yang bersifat toksik, dan tingkat kebersihan pengolahan suatu bahan. Metode yang digunakan adalah metode langsung yaitu pengabuan kering (suhu tinggi dan O2 ). Prinsip dari pengabuan kering yaitu Destruksi komponen organik sampel dengan suhu tinggi dalam tanur pengabuan (furnace) tanpa terjadi nyala api sampai terbentuk abu berwarna putih keabuan dan berat konstan tercapai. Kelebihan dari pengabuan kering yaitu paling banyak dipakai, mudah, murah, sederhana, abu larut air, tidak larut air dan asam. Untuk kekurangannya yaitu wakru relatif lama, interaksi mineral, kehilangan mineral. Pada percobaan penetapan kadar abu total langkah pertama yang dilakukan sebelum cawan porselen digunakan untuk menimbang cuplikan simplisia, cawan porselen harus ditentukan beratnya secara konstan. Yaitu



cawan yang sudah bersih dan bebas jelaga dipijarkan dalam tanur pada suhu Β±500α΅’C selama 15 menit didalam tanur, kemudian di dinginkan didalam desikator selama 20-30 menit. Cawan porselen lalu ditimbang hingga didapat berat konstan. Cawan porselen dipijarkan padan suhu Β±500α΅’C selama 15 menit karena apabila dilakukan dibawah suhu tersebut, kemungkinan masih terdapat jelaga-jelaga yang masih menempel pada cawan sehingga dapat menambah berat yang akan mempengaruhi pengamatan. Setelah cawan porselen dipijarkan maka perlakuan selanjutnya adalah didinginkan didalam desikator. Hal tersebut berfungsi untuk mendinginkan cawan agar tidak kontak dengan udara luar yang akan mengakibatkan bertambahnya berat cawan dengan menempelnnya uap air dari luar apabila tidak tersimpan didalam desikator. Desikator berfungsi untuk menyerap uap air yang masih terdapat pada cawan porselen. Sebaiknya desikator yang digunakan pun harus terbuat dari bahan kaca bukan plastik., karena apabila terbuat dari bahan plastik dikhawatirkan desikator tersebut tidak bisa menahan panas dari cawan yang bersuhu sangat tinggi. Desikator yang baik adalah desikator yang masih dapat berfungsi menyerap uap air. Desikator yang masih menyerap uap air ditandai dengan silika gel yang masih berwarna biru terang yang terdapat dibagian bawah desikator yang dihalangi oleh sarangan. Apabila silika gel sudah berwarna pudar, itu berarti penyerapan uap air sudah kurang optimal. Maka sebaliknya sebelum silika gel digunakan terlebih dahulu dipanaskan dalam oven agar silika berwarna biru kembali. Cara membuka desikator pun tidak sembarangan, yaitu dengan cara menggeser tutup kesamping dengan hati-hati, bukan dengan membuka tutup desikator keatas. Karena akan mengakibatkan tutup desikator tidak akan melekat dengan baik pada desikator. Maka penggunaan vaselin sangat dianjurkan.



Pertama pada percobaan ini dilakukan penimbangan krus kosong yang dinyatakan sebagai bobot kosong atau S0 pada perhitungan. Penimbangan krus kosong ini dilakukan agar pada saat perhitungan dapat diketahui berat abu yang sebenarnya setelah melalui masa pemanasan. Kemudian setelah itu dilakukan penimbangan simplisia daun belimbing wuluh sebanyak 2 gram yang selanjutnya dimasukkan kedalam krus kosong. Krus berisi simplisia tersebut ditimbang agar mendapatkan nilai S1 untuk krus pertama. Nilai ini dibutuhkan pada saat perhitungan akhir. Selanjutnya proses pengabuan dilakukan dengan menggunakan tanur yang



memijarkan



sampel



pada



suhu



mencapai



550Β°C



dengan



menggunakan tanur karena suhunya dapat diatur sesuai dengan suhu yang telah ditentukan untuk proses pengabuan. Abu berkaitan dengan mineral yang berfungsi sebagai komponen bahan pangan, dibutuhkan dalam jumlah kecil, serta berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Pengujian kadar abu dilakukan untuk mengetahui kualitas gizi (indikator mutu pangan), tingkat kemurnian tepung atau gula, kontaminasi mineral yang bersifat toksik, dan tingkat kebersihan pengolahan suatu bahan. Selanjutnya setelah tercapai pengabuan yang ditandai dengan adanya perubahan warna menjadi putih ke abu-abuan pada simplisia, krus dikeluarkan darri mesin tanur. Krus pertama dan krus kedua sebagai duplo dikeluarkan dari mesin tanur untuk selanjutnya disimpan pada desikator. Penyimpanan pada desikator bertujuan untuk pendinginan dan karena hasil pengabuan bersifat higroskopis maka dibutuhkan desikator pada saat proses pendingninannya. Keduanya kemudian ditimbang dan didapatkan hasil penimbangan rata-rata yaitu 85 mg pada daun dan rata-rata 90 mg pada buah. Kemudian data yang didapatkan digunakan sebagai bahan perhitungan. Dari perhitungan kadar abu total dari rata-rata kedua krus didapatkan sebesar 8,5% pada daun belimbing wuluh dan 9% pada buah belimbing wuluh. Sedangkan kadar abu total yang terdapat pada daun belimbing wuluh seharusnya sebesar 7,68 % dan kadar abu total yang



terdapat pada buah belimbing wuluh seharusnya sebear 12% hal tersebut tidak sesuai dengan literatur artinya simplisia belimbing wuluh yang diuji ini tidak memenuhi syarat. Suatu pengujian kadar abu total ini merupakan suatu parameter non spesifik (secara umum) maka kadar abu atau suatu cemaran dari suatu simplisia kadarnya harus seminimal mungkin agar simplisia tersebut memiliki kualitas yang baik.



VII.



Kesimpulan Pada percobaan kali ini dilakukan penetapan kadar abu total dari simplisia Daun dan Buah Belimbing wuluh. Tujuan dilakukannya percobaan ini adalah untuk mengetahui kadar abu total dari suatu simplisia (dauh dan buah belimbing wuluh) serta mengetahui manfaat yang didapatkan dari informasi kadar abu total yaitu pengujian kadar abu dilakukan untuk mengetahui kualitas gizi (indikator mutu pangan), tingkat kemurnian tepung atau gula, mengetahui pemalsuan selai buah dan sari buah, kontaminasi mineral yang bersifat toksik, dan tingkat kebersihan pengolahan suatu bahan. Berdasarkan praktikum yang sudah dilakukan didapatkan hasil persentasi kadar abu total dari rata-rata kedua krus didapatkan sebesar 8,5% pada daun belimbing wuluh dan 9% pada buah belimbing wuluh. Sedangkan kadar abu total yang terdapat pada daun belimbing wuluh seharusnya sebesar 7,68 % dan kadar abu total yang terdapat pada buah belimbing wuluh seharusnya sebear 12% hal tersebut tidak sesuai dengan literatur artinya simplisia belimbing wuluh yang diuji ini tidak memenuhi syarat. Hal ini disebabkan oleh faktor lingkungan, temperatur pemijaran dan senyawa atau mineral yang terkandung dalam daun dan buah belimbing wuluh.



VIII.



Daftar Pustaka Andarwulan, Nuri, Kusnandar Feri. (2011). Analisis pangan. Jakarta: PT. Dian Rakyat. Apriantono A, Fardian D. (1989). Analisa Pangan. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Pendidikan Tinggi PAU Pangan dan Gizi IPB. Sudarmadji, Slamet I. B. (2003). Analisa Bahan Makanan dan Pertanian (Edisi ke 2 ed., Vol. III). Yogyakarta. Widodo, Didik S. dan Retno A. L. (2010). Kimia Analisis Kuantitatif Dasar Penguasaan Aspek Eksperimental. Yogyakarta: Graha Ilmu. Winarno, F.G. (1992). Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Winarno, F. G. (2004). Kimia Pangan Dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Yunizal, Murtini,J.T., Dolaria,N., Purdiwoto,B., Abdulrokhim dan Carkipan. (1998). Prosedur Analisa Kimiawi Ikan dan Produk Olahan Hasil-Hasil Perikanan. Jakarta: Instalasi Penelitian dan Pengembangan Perikanan.