Laporan Kasus Endometriosis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN KASUS Endometriosis



Oleh: Adityas Ramadhani



210070200011091



Khalda Nabila



210070200011023



Elvara Rachmawati



210070200011143



Dokter Muda Blended Learning Obstetri-Ginekologi Periode 19 Desember 2022 - 12 Februari 2023 Pembimbing: Dr. dr. Tatit Nurseta, Sp.OG(K)



LABORATORIUM OBSTETRI-GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. SAIFUL ANWAR MALANG 2023



1



HALAMAN PENGESAHAN



LAPORAN KASUS Endometriosis



Disusun untuk memenuhi tugas Dokter Muda Di SMF Obstetrik dan Ginekologi RSSA Malang



Disusun Oleh: Adityas Ramadhani



210070200011091



Khalda Nabila



210070200011023



Elvara Rachmawati



210070200011143



Dokter Muda Blended Learning Obstetri - Ginekologi Periode 19 Desember 2022 - 12 Februari 2023



Mengesahkan, PPDS Pembimbing,



SPV Pembimbing,



dr. Obi Chandra Kapisa



Dr. dr. Tatit Nurseta, Sp. OG(K) NIP. 19670909199703100



2



DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN



2



DAFTAR ISI



3



DAFTAR GAMBAR



4



DAFTAR TABEL



5



BAB I



6



1.1 Latar Belakang



7



1.2 Rumusan Masalah



8



1.3 Tujuan



8



1.4 Manfaat



9



BAB II



9



2.1 Identitas Pasien



9



2.2 Subyektif



10



2.4 Assessment



12



2.5 Planning



12



BAB III



13



3.1 Definisi Endometriosis



13



3.2 Etiologi dan Patofisiologi Endometriosis



14



3.3 Epidemiologi Endometriosis



19



3.4 Faktor Risiko Endometriosis



19



3.5 Diagnosis Endometriosis



21



3.5.1 Anamnesis



21



3.5.2 Pemeriksaan Fisik



22



3.5.3 Pemeriksaan penunjang



23



3.6 Klasifikasi Endometriosis



27 3



3.7 Diagnosis Banding Endometriosis



29



3.8 Tatalaksana Endometriosis



30



3.9 Komplikasi Endometriosis



35



3.10 Prognosis Endometriosis



36



BAB IV



37



BAB V



40



DAFTAR PUSTAKA



41



4



DAFTAR GAMBAR Gambar 3.1 Teori Metaplasia ………………………………………………………… 16 Gambar 3.2 Lesi endometriosis di peritoneum uterus dan ovarium……………… 25 Gambar 3.3 Skoring Endometriosis berdasarkan AFS……………………………., 26 Gambar 3.4 Klasifikasi AAGL 2021………………………………………………….. 29 Gambar 3.5 Algoritma tatalaksana endometriosis………………………………….. 31



5



DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Faktor risiko dan protektif endometriosis………………………………… 21 Tabel 3.2 Gejala klinis endometriosis………………………………………………… 22 Tabel 3.3 Pemeriksaan Fisik Endometriosis………………………………………… 23 Tabel 3.4 Klasifikasi endometriosis berdasarkan lokasi…………………………… 28 Tabel 3.5 Terapi hormonal endometriosis……………………………………………. 32



6



BAB I PENDAHULUAN 1.1



Latar Belakang Endometriosis dijabarkan sebagai penyakit dimana endometrium tumbuh pada luar uterus, dengan dampaknya dapat menimbulkan inflamasi pada daerah sekitar tempat bertumbuhnya lesi endometriosis tersebut. Maka dari hal itu wajar apabila dampak yang dirasakan antara lain adalah nyeri, walaupun nyeri yang dirasakan relatif pada setiap wanita (Hendarto, H, 2015). Prevalensi terjadinya endometriosis sekitar 2-10% pada populasi wanita. Pada penelitian lain mengatakan bahwa endometriosis muncul sekitar 10-15% pada wanita usia reproduktif. Meskipun demikian angka tersebut belum dapat dipastikan dikarenakan endometriosis terkadang muncul secara asimtomatis, dan adanya beberapa kasus yang tidak terangkum dalam pencatatan (Parasar, P., Ozcan, P., dan Terry, K, L, 2017). Endometriosis sendiri sering dikaitkan dengan adanya faktor risiko, diantaranya berupa usia menarche yang dini, siklus menstruasi yang pendek, BMI rendah. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan siklus hormonal pada ketiga faktor tersebut dibandingkan dengan wanita yang tidak memiliki faktor risiko tersebut (Parasar, P., Ozcan, P., dan Terry, K, L, 2017). Tatalaksana penting dilakukan, dalam jangka pendeknya untuk mengobati dari keluhan pasien, dan dalam jangka panjangnya untuk memperbaiki kualitas hidup pasien. Terapi pada endometriosis yang ada yaitu obat-obatan, hormonal, bedah dan kombinasi obat dan bedah. Pilihan pengobatan tergantung pada keadaan individu pasien (Luqyana, S, D dan Rodiani, 2019). Selain terapi, pencegahan pada endometriosis sebenarnya juga penting dilakukan. Tetapi terdapat beberapa faktor risiko yang memang sulit untuk dicegah seperti menarche dini, dan juga adanya keluarga yang memiliki riwayat penyakit yang sama. Sehingga yang dapat dilakukan adalah salah satunya memperbaiki pola hidup seperti mencapai BMI yang ideal, memakanan makanan yang bergizi seimbang serta mengurangi makanan cepat saji (Luqyana, S, D dan Rodiani, 2019).



7



Endometriosis merupakan salah satu dari sekian penyakit ginekologi yang cukup sering ditemui pada masyarakat. Salah satu tanda yang umum dari penyakit ini merupakan nyeri dan infertilitas, dan apabila tidak mendapatkan penanganan lebih lanjut maka akan mengganggu kualitas hidup dari wanita yang mengalaminya. Maka dari itu penting untuk mengetahui terkait definisi hingga tatalaksana dari endometriosis agar dapat mendeteksi secara dini dari penyakit endometriosis. 1.2



Rumusan Masalah Rumusan masalah dari penelitian ini adalah: 1. Apakah pengertian dari endometriosis? 2. Bagaimana epidemiologi dari endometriosis? 3. Bagaimana patofisiologi dari endometriosis? 4. Apakah faktor risiko dari endometriosis? 5. Bagaimana penegakan diagnosis dari endometriosis? 6. Apa saja diagnosis banding dari endometriosis? 7. Bagaimana tatalaksana dari endometriosis? 8. Apa saja komplikasi dari endometriosis? 9. Bagaimanakah prognosis dari endometriosis?



1.3



Tujuan Rumusan masalah dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui pengertian dari endometriosis? 2. Mengetahui epidemiologi dari endometriosis? 3. Mengetahui patofisiologi dari endometriosis? 4. Mengetahui faktor risiko dari endometriosis? 5. Mengetahui penegakan diagnosis dari endometriosis? 6. Mengetahui diagnosis banding dari endometriosis? 7. Mengetahui tatalaksana dari endometriosis? 8. Mengetahui komplikasi dari endometriosis? 9. Mengetahui prognosis dari endometriosis?



8



1.4



Manfaat Manfaat dari pembuatan laporan kasus ini adalah untuk dapat meningkatkan pemahaman akan endometriosis, sehingga kedepannya akan berguna dalam mempercepat dari deteksi awal dari endometriosis.



9



BAB II LAPORAN KASUS 2.1



Identitas Pasien



2.2



Nama Usia Pekerjaan Alamat Status Subyektif



: Ny. I : 39 th : Ibu Rumah Tangga : Jl. Gatot Subrorto RT/RW 001/005 : Sudah Menikah 1x (14 tahun)



● Keluhan Utama Pasien mengeluhkan adanya nyeri ketika seminggu sebelum, sesudah dan ketika haid. Keluhan berlangsung sejak 1 bulan yang lalu (Desember 2022). ● Riwayat Penyakit Sekarang Pasien mengeluhkan nyeri ketika haid disertai perut yang semakin membesar sejak sebulan yang lalu. Pergi kemudian pergi RS Graha Medika dan dikatakan terdapat myoma+kista, kemudian pasien disarankan untuk rujuk ke RSSA. Pada 12 Desember 2022 pasien tiba di poli FER RSSA dan dilakukan pemeriksaan USG, dari hasil pemeriksaan pasien dikatakan terdapat kista dan myoma. Pasien direncanakan tindakan laparotomi kistektomi dan myomektomi serta kromotubasi durante operasi secara terjadwal. ● Riwayat Penyakit Dahulu -



Riwayat terdiagnosis myoma uteri pada tahun 2015



-



Riwayat hipertensi, DM, Penyakit jantung disangkal



-



Riwayat penurunan BB disangkal



● Riwayat Penyakit Keluarga



:



-



Riwayat tumor/keganasan di keluarga disangkal



-



Riwayat hipertensi pada orang tua pasien



● Riwayat Operasi -



Pasien riwayat myomektomi pada tahun 2015



● Riwayat Alergi -



:



Pasien tidak memiliki alergi



● Riwayat Pengobatan -



:



:



Pasien mengkonsumsi obat novapirol ketika nyeri sejak 2015 10



● Riwayat Menstruasi



:



-



Riwayat menarche usia 13 th



-



Siklus teratur 28-31 hari dengan lama 7-10 hari



-



Darah yang keluar ketika mens banyak (Ganti pembalut 5-6 x/hari)



-



Nyeri haid (+)



● Riwayat Sosial 2.3



:



Riwayat merokok (-), alkohol (-), suami pasien perokok aktif (+)



Objektif KU: Tampak Sakit Ringan GCS: 456 TB : 155 kg



BB : 78 kg



BMI



: 34,6 kg/m2 TD:140/90 mmHg RR: 20x/mnt HR: 89x/mnt T: 36,5ºC SpO2: 98% on room air Kepala



Anemis (+/+) ikterik (-)



Leher



Pembesaran KGB (-) pembesaran kelenjar tiroid (-)



Thorax



Simetris, retraksi (-) Cor: S1 tunggal S2 normal, M(-), G(-) Pulmo: Ves/Ves, Rh -/-, Wh -/-



Abdomen



Soefl (+), TFU setinggi setengah simfisis pubis, konsistensi padat kenyal, teraba massa kistik ukuran 10x10 cm, batas tegas permukaan rata, mobilitas terbatas, scar pfannenstiel.



Genitalia



Flux (-), fluor (-)



eksterna Ekstremitas



Akral hangat, CRT 10 gr/dL



-



Pre medikasi : -



Cefazoline 2 gram



-



Ranitidin 50 mg



-



Metoclopramide 10 mg



-



Persiapan Operasi :



-



Sedia darah, puasa, lavement



● Planning Edukasi - Edukasi mengenai kondisi pasien saat ini - Edukasi pasien untuk dilakukan operasi berupa pengangkatan kista dan myoma - Edukasi apabila terdapat keluhan pasca operasi



13



BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1



Definisi Endometriosis Pada awalnya endometriosis merupakan penyakit dimana terdapat jaringan endometrium baik stroma ataupun kelenjar yang tumbuh diluar uterus. Kemudian berlanjut pada tahun 1980, mulai dikenalkan istilah nonpigmented atau subtle endometriosis, yaitu lesi endometriosis kecil, superfisial, tanpa warna hitam hemosiderin, tidak dikelilingi sklerosis tetapi aktif, misal white vesicle, flame like lesion dan selanjutnya dikenal istilah endometriosis mikroskopis. Berlanjut pada tahun 1990 mulai dikenalkan dengan istilah Deep Infiltrating Endometriosis yaitu lesi endometriosis yang menginfiltrasi masuk ke dalam di bawah peritoneum. Pada akhirnya, definisi yang disepakati adalah definisi menurut European Society for Human Reproduction and Embriology (ESHRE), yaitu terdapat jaringan mirip endometrium berada di luar kavum uteri yang menginduksi reaksi inflamasi kronis (Hendarto, H, 2015). Jaringan endometrium atau yang dapat disebut sebagai lesi endometrium dapat tumbuh dalam peritoneum panggul, ovarium, dinding uterus, kavum douglasi, septum rektovagina, ureter, vesica urinaria, bahkan ditemukan lokasi jauh seperti



pada usus, apendik, perikardium, pleura, dan sebagainya.



Endometriosis ini bereaksi dengan adanya hormon estrogen, sehingga lesi endometriosis ini berespon terhadap fluktuasi hormon dari siklus menstruasi (Luqyana, S, D dan Rodiani, 2019). 3.2



Etiologi dan Patofisiologi Endometriosis Endometriosis dalam teori asumsi sampson yang menyatakan bahwa sel- sel yang hidup yang ada dalam cairan peritoneal dengan menstruasi retrograde dapat berimplantasi, tumbuh, dan masuk kedalam rongga peritoneal. Menstruasi retrograde menggambarkan refluks darah dari saluran telur ke peritoneum selama menstruasi ini sering terjadi pada wanita usia reproduksi. Endometriosis merupakan jaringan endometrium yang masuk kedalam limfatik dan pembuluh darah. Pasien dengan endometriosis mengalami peningkatan kadar serum dari



14



sejumlah



sitokin



pro



inflamasi



seperti



IL-1,IL-6,dan



IL-8



menghasilkan



kemotaksis, rekrutmen dan aktivasi makrofag peritoneal dan proliferasi monosit. Eksisi bedah dari lesi endometriotik menyebabkan penurunan kadar serum interleukin. Tumor necrosis factor-alpha (TNF-a) dalam cairan peritoneum diproduksi oleh makrofag peritoneal dan menguatkan respon inflamasi. Estrogen hormon utama. Peningkatan aksi aromatase pada endometriosis infiltrasi menyebabkan



peningkatan



aktivitas



estrogen



lokal.



Ketidakmampuan



progesteron untuk memiliki tindakan antagonis dengan estrogen dalam jaringan endometrium dapat dijadikan faktor penentu untuk pembentukan endometriosis. Terdapat



beberapa



teori



dalam



penggambaran



patogenesis



dari



endometriosis, yakni: 1. Teori aliran balik darah mens (Retrograde Menstruation) Pada teori ini menerangkan terdapat aliran balik darah mens yang berisi jaringan endometrium melalui saluran tuba falopi kemudian jaringan endometrium tersebut melakukan implantasi di rongga peritoneum. Salah satu hal yang mendasari terjadinya aliran balik ini ialah adanya obstruksi pada kanalis servikalis sebagai akibat dari anomali duktus mullerii sehingga darah tidak dapat keluar secara normal di uterus. Walaupun demikian tidak semua wanita yang mengalami aliran darah balik ini akan mengalami endometriosis. Hal ini dikaitkan dengan penyimpangan respon imun yang tidak wajar pada lingkungan peritoneum. Selain hal tersebut menurut Hemmings et al, ditemukan bahwa pasien yang sedang menjalani operasi untuk endometriosis memiliki kecenderungan terjadinya fibroid lebih besar daripada mereka yang tidak memiliki endometriosis, hal ini diduga karena hormon dependent dan perubahan tekanan intrauterin selama menstruasi yang menyebabkan peningkatan aliran menstruasi retrograde. 2. Teori metaplasia Teori ini menyatakan bahwa endometriosis berasal dari ekstra uteri yang secara abnormal melakukan transdiferensiasi atau transformasi menjadi sel endometriosis. Teori metaplasia celomic menyatakan bahwa



15



endometriosis berasal dari metaplasia sel-sel yang sudah terspesialisasi di lapisan mesotel di peritoneum dan organ visera abdomen. Diduga hormon dan faktor imunologi yang berperan menstimuli sel-sel peritoneum tersebut menjadi sel mirip endometrium (Sourial S, 2014). Teori metaplasia coelomic ini dapat menerangkan kejadian endometriosis pada remaja putri prepubertas yang belum mendapat haid. Ternyata endometriosis juga dapat ditemui pada fetus perempuan, keadaan ini diduga merupakan hasil defek embriogenesis. Berdasarkan teori ini sel embrionik residu dari duktus Wolf dan Mulleri tetap persisten dan



karena



pengaruh



hormon



esterogen



berkembang



menjadi



endometriosis (Hendy H, 2015)



Gambar 3.1 Teori Metaplasia 3. Teori hormon Terkait dengan teori sebelumnya bahwa kejadian endometriosis sebagian besar didapatkan pada perempuan usia reproduktif dan tidak terjadi pada perempuan usia pasca menopause yang sudah tidak mempunyai hormon estrogen lagi. Tampak hormon seks steroid berperan sentral pada patogenesis endometriosis. Pada siklus haid normal, hormon estrogen berperan pada proliferasi endometrium, keadaan ini sama dengan



endometriosis



dimana



hormon



estrogen



menstimulasi



endometrium ektopik dan meningkatkan respon jaringan endometriosis



16



terhadap estrogen. Perubahan hormon tersebut berpengaruh pada proliferasi sel endometrium ektopik, penempelan pada mesotelium dan penghindaran dari clearance sistem imun tubuh. Keadaan diatas mendukung konsep bahwa endometriosis adalah esterogen dependent disease (Burney RO, 2012). Selain endometriosis yang tergantung oleh estrogen. Diketahui bahwa myoma juga tergantung pada estrogen. Berdasarkan beberapa penelitian dikatakan bahwa hipoestrogenik mempunyai peran dalam perkembangan myoma dan juga endometriosis. Hal ini dikarenakan selsel fibroid dalam myoma mengekspresikan aromatase yang menghasilkan peningkatan



konsentrasi



jaringan



estrogen



dalam



nodul



fibroid



dibandingkan dengan jaringan disekitarnya. Kejadian yang sama juga ditunjukkan dengan jaringan endometriotik yang juga mengekspresikan aromatase serta menghasilkan estrogen secara independen dari ovarium (Bulun SE et al, 2005). 4. Teori inflamasi dan stress oksidatif Beberapa studi membuktikan telah terjadi peningkatan penanda inflamasi di serum dan peritoneum perempuan penderita endometriosis. Selain itu, keluhan nyeri pada penderita endometriosis dapat berkurang dengan pemberian obat nonsteroid antiinflamasi. Bukti diatas mendukung inflamasi kronis terlibat dalam patogenesis endometriosis (augoulea A, 2012). Pada peritoneum perempuan dengan endometriosis ditemukan banyak makrofag aktif dan sejumlah sitokin. Suatu protein mirip haptoglobin ditemukan berikatan dengan makrofag di peritoneum sehingga membuat makrofag tersebut kehilangan kemampuan fagositosis dan justru akan mengeluarkan beberapa sitokin pro-inflamasi, yaitu IL-6, macrophage migration inhibitory factor (MIF), TNF-α, IL-1β, IL-8, regulated on activation normal T expressed and secreted (RANTES) dan monocyte chemotactic protein (MCP) -1. Di jaringan endometriosis TNF-α memicu sel endometriosis memproduksi prostaglanding (PG)F2α dan PGE2, sedangkan makrofag di peritoneum juga mensekresi enzim COX-2



17



yang



memproduksi



PGE2



dan



selanjutnya



akan



mengaktivasi



steroidogenic acute regulator protein dan aromatase. Aktivasi PGE2 akan menyebabkan



terjadi



peningkatan



estradiol



lokal



di



jaringan



endometriosis. Mekanisme diatas yang mendasari interaksi esterogendependent dengan proses inflamasi di endometriosis (Burney RO, 2012) 5. Teori defek sistem imun Kemampuan jaringan endometrium untuk mampu bertahan hidup di lokasi ektopik diduga berhubungan dengan respon imun penderita yang abnormal. Sampai saat ini belum diketahui imunitas abnormal ini sebagai sebab atau akibat kejadian endometriosis. Telah diketahui terjadi perubahan



imunitas



seluler



maupun



humoral



pada



penderita



endometriosis sehingga respon ini yang abnormal ini akan menghasilkan eliminasi yang tidak efektif terhadap debris-debris aliran balik darah haid. Kondisi



ini



menjadi



faktor



penyebab



perkembangan



penyakit



endometriosis (Berkkanoglu M, 2003) 6. Teori genetik Endometriosis adalah penyakit yang sangat tergantung dengan esterogen. Sangat mungkin bahwa variasi genetik yang menghasilkan peningkatan



pengaruh



esterogen



pada



lesi



endometriosis



akan



mempengarungi perkembangan endometriosis. Seperti mutasi pada kromosom gen CDC42 dan WNT4 yang diketahui memiliki peran dalam endometriosis dan juga myoma (Uimari, O et al, 2021). 7. Teori stem cell Stem cell adalah sel yang tidak/belum terspesialisasi yang mempunya dua sifat, yaitu mampu berdiferensiasi menjadi sel lain dan mampu memperbarui atau meregenerasi diri sendiri. Secara spesifik telah diketahui eksistensi stem cell pada regenerasi endometrium setiap bulan setelah haid dan pada reepitelisasi endometrium pasca persalinan dan kuret. Stem cell tersebut ditemukan berada pada lapisan basalis endometrium. Stem cell endometrium yang lepas melalui saluran tuba falopii saat menstruasi bertanggung jawab terhadap terjadinya implan



18



endometriosis dan juga stem cell yang bersirkulasi berasal dari bone marrow dapat mencapai rongga peritoneum ikut berperan pada patogenesis endometriosis. 3.3



Epidemiologi Endometriosis Angka kejadian endometriosis berkisar antara 2-10% pada populasi perempuan umum. Secara kasar diperkirakan terdapat 190 juta wanita pada usia reproduktif yang menderita endometriosis. Prevalensi endometriosis berkisar antara 2-11% pada wanita asimtomatik, 5-50% pada wanita dengan infertilitas, 521% pada pasien wanita yang menjalani rawat inap dengan indikasi nyeri pelvis. Untuk penderita endometriosis simtomatik, prevalensi berkisar antara 49-75% pada wanita dengan nyeri pelvis kronik (Halim, B, dan Adiwinata, T, 2021). Berdasarkan Hendarto, H (2015) disebutkan bahwa penentuan jumlah insidensi endometriosis sulit diketahui dikarenakan terdapat kasus endometriosis yang asimtomatis, serta tidak semua kasus dapat terlapor. Sedangkan angka kejadian endometriosis per tahun berdasarkan penggunaan tindakan pembedahan, yaitu 1,6 kasus per 1000 perempuan usia 15−49 tahun. Kejadian endometriosis pada perempuan dengan keluhan dismenore (nyeri haid) adalah 40−80%, sedangkan pada perempuan dengan infertilitas sekitar 20−50%.



3.4



Faktor Risiko Endometriosis ●



Menarche dini – penelitian epidemiologis yang menganalisis siklus menstruasi pada wanita dengan endometriosis menunjukkan bahwa siklus pertama dini (sebelum usia 11 tahun) berhubungan dengan risiko endometriosis.







Siklus genital yang kurang dari 27 hari, defek genital, meliputi overgrowth dari hymen atau penyempitan dari kanal serviks. Risiko endometriosis meningkat pada wanita dengan siklus yang pendek (kurang dari 27 hari) namun tidak berhubungan dengan jumlah hari menstruasi dan volume menstruasi.



19







Pendidikan – pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk sikap peran serta dalam bidang kesehatan. Suatu penelitian mengungkapkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin tinggi pula konsep diri yang dimiliki oleh wanita tersebut. Sehingga, semakin tinggi tingkat pendidikan



maka



pengetahun



yang



semakin dimiliki



mudah



untuk menerima



sehingga



dapat



informasi



mencegah



dan



terjadinya



endometriosis dan mempunya pola hidup yang lebih sehat. ●



Paparan polutan – menurut sebuah penelitian, terdapat suatu faktor risiko tentang terjadinya endometriosis dimana adanya paparan dari zat-zat polutan



polycholrinated



biphenyls



dan



dioxin.



mengungkapkan bahwa paparan dari dioxin



Beberapa



studi



dapat menyebabkan



endometriosis. Bukti baru juga menunjukkan bahwa zat polutan lingkungan lainnya seperti phthalates, bisphenol A



atau polutan organochlorinated



berkontribusi terhadap kejadian endometriosis. Paparan polychlorinated biphenyls dan dioxin dapat memodulasi respon imunologi, mempengaruhi secara biologis terhadap efek potensial terhadap patogenesis terjadinya endometriosis. ●



Riwayat keluarga (ibu, saudara perempuan, atau anak perempuan) dengan endometriosis







Konsumsi alkohol dalam jumlah minimal 10g perhari







Perokok aktif







BMI rendah







Penggunaan kontrasepsi oral







Jumlah kelahiran yang sedikit







Usia 25-29







Ras kaukasian Tabel 3.1 Faktor risiko dan protektif endometriosis



Faktor Risiko



Faktor Protektif



20



Kelompok usia janin - anak: ● Paparan diethyllstilbestol (DES)



● Aktivitas fisik pada kelompok usia anak-anak dan dewasa



● Berat badan lahir rendah



● Faktor makanan



● Kehamilan lewat waktu



● Laktasi



● Menarche yang terlalu dini



● Konsumsi buah sitrus



Kelompok usia remaja - dewasa: ● Siklus menstruasi yang pendek ● Indeks massa tubuh yang



● Kehamilan ● Menstruasi yang dimulai pada akhir remaja



rendah ● Rasio pinggang-pinggul yang rendah ● Paritas yang rendah ● Racun lingkungan ● Kerja larut malam ● Merokok



3.5



Diagnosis Endometriosis 3.5.1 Anamnesis Sebagai dasar diagnosis endometriosis adalah gejala klinik yang jelas, pembesaran rahim asimetris, dan konsistensi rahim padat. Gejala klinis yang dijumpai pada endometriosis yakni menoragia (perdarahan banyak saat menstruasi), dismenorea sekunder (rasa sakit saat menstruasi), dan dispareunia (rasa sakit saat hubungan seksual). Gejala klinis endometriosis terjadi karena pengaruh hormonal estrogen dan progesteron sehingga terjadi siklus menstruasi. Rasa nyeri terjadi karena vaskularisasi yang meningkat dan deskuamasi struma dan sel jaringan endometrium. Gejala klinis endometriosis dalam bentuk:



21



● Dismenorea : nyeri abdomen sesuai dengan waktu menstruasi, terdapat rasa kemeng terutama saat menstruasi ● Dispareunia: nyeri saat hubungan seksual ● Nyeri saat defekasi: pada endometriosis dinding rektosigmoid ● Perubahan menstruasi dalam bentuk polimenorea atau hipermenorea (menoragi) ● Infertilitas : gangguan saluran tuba fallopii sehingga tidak berfungsi sebagai saluran ovum spermatozoa dan tempat konsepsi dan gangguan motilitas tuba saat melakukan pengangkapan ovum karena perlekatan Tabel 3.2 Gejala klinis endometriosis Gejala Klinis Utama Gejala lokal (panggul): ● Nyeri panggul ● Dismenorea ● Dispareunia



Rekomendasi ESHRE 2021 ● Dismenorea, dispareunia, disuria, diskezia ● Perdarahan rektal atau hematuria yang terasa nyeri



● Infertilitas



● Nyeri ujung bahu, fatigue



● Tumor kistik ovarium



● Pneumotoraks katamenial



Gejala penyerta: ● Fatigue ● Diskezia ● Perut kembung, mual, dan nyeri



● Nyeri dada, batuk, hemoptysis siklik ● Nyeri dan bengkak pada bekas luka secara siklik



perut saat menstruasi 3.5.2 Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan klinis pada perempuan dengan kecurigaan endometriosis meliputi pemeriksaan fisik panggul serta inspeksi abdomen. Pemeriksaan vagina dilakukan dengan perabaan pembesaran ovarium / endometrioma / kista di adneksa. Pemeriksaan rektal atau colok dubur mengeveluasi nodul di daerah kavum douglasi dan sakrouterina yang sering disertai rasa nyeri. Didapatkan 22



uterus fixed dan retrofleksi yang disebabkan kerana perlekatan organ dan deeply infiltating disease. Untuk memprediksi lokasi dan keberadaan lesi endometriosis, ESHRE Guideline Developmental Groups memberikan rekomendasi pemeriksaan klinis sebagai berikut: Tabel 3.3 Pemeriksaan Fisik Endometriosis No. 1.



Pemeriksaan Fisik Para klinisi atau dokter sebaliknya melakukan pemeriksana fisik pada semua perempuan dengan kecurigaan endometriosis. Apabila pemeriksaan vagina tidak memungkinkan dilakukan misal pada remaja yang belum menikah, pemeriksaan rektal sebaiknya dilakukan untuk diagnosis endometriosis



2.



Diagnosis deep endometriosis dipertimbangkan apabila pada pemeriksaan klinis didapatkan indurasi atau nodul pada dinding rektovagina atau pada forniks posterior vagina



3.



Diagnosis



ovarian



endometriosis



dipertimbangkan



apabila



didapatkan massa pada adneksa 3.5.3 Pemeriksaan penunjang a. Pemeriksaan histopatologi b. Urinalis c. Pap smear d. Laparoskopi Metode definitif untuk diagnosis endometriosis termasuk penentuan stadium dan evaluasi kekambuhan pascaterapi adalah visualisasi langsung dengan pembedahan. Sebagian besar tindakan visualisasi tersebut menggunakan laparoskopi yaitu tindakan pembedahan di abdomen atau panggul menggunakan insisi kecil 0,5-1,5 cm dengan memasukkan kamera kedalamnya. Laparoskopi dapat dilakukan untuk



23



diagnostik sekaligus untuk tindakan operasi. Saat mengerjakan tindakan laparoskopi sebaiknya melakukan pemeriksaan secara sistematis, meliputi: ● Pemeriksaan uterus dan adneksa ● Peritoneum dan fossa ovarium ● Rektum dan sigmoid ● Apendiks dan caecum ● Diafragma Pemeriksaan laparoskopi dengan kualitas bagus seperti diatas dapat dilakukan hanya dengan memakai satu lubang sekunder untuk memasukan grasper guna menyingkirkan usus yang menghalangi visualisasi atau fluid suction guna memastikan seluruh kavum douglasi terevaluasi. Sampai saat ini tindakan laparoskopi dengan atau tanpa konfirmasi histologi telah banyak digunakan untuk diagnosis atau menyingkirkan keberadaan



endometriosis.



Sehingga



apabila



anamnesis



dan



pemeriksaan klinis telah mengarah ke dugaan endometriosis, sebaiknya dilakukan laparoskopi untuk inspeksi visualisasi lesi endometriosis yang sampai saat ini masih merupakan cara penentuan diagnosis



definitif.



Saat



laparoskopi,



ditentukan



stadium



endometriosis, digunakan cara klasifikasi Revised American Fertility Society. Terdapat tiga tipe lesi endometriosis yang telihat saat viualisasi dengan laparoskopi, yaitu: 1) Lesi superfisial – lesi berlokasi di peritoneum dan permukaan ovarium. Lesi dapat berbentuk blue-black powder burn, subtle lesion: petechial, vesicular, polypoid dan haemorrhagic lesion 2) Kista endometriosis atau endometrioma – lesi endometriosis berbentuk kista berisi cairan kecoklatan kental yang mengelompok pada permukaan peritoneum (fossa ovarium). Endometrioma terbentuk akibat invaginasi korteks ovarium setelah terjadi akumulasi debris darah haid



24



3) Deep infiltrating endometriosis – lesi endometriosis melakukan infiltrasi lebih dari 5 mm dibawah permukaan peritoneum, dapat juga penetrasi atau melekat pada struktur lain, misalnya kandung kemih, usus, ureter, dan vagina.



Gambar 3.2 Lesi endometriosis di peritoneum uterus dan ovarium. (1) Tampilan lesi merah dan hiperemi di peritoneum. (2) Tampilan blue-black lesion dan adhesi di uterus. (3) Perlekatan (adhesi) di uterus. (4) Kista endometriosis (endometrioma) di ovarium. Berdasarkan derajat keparahannya, menurut America Fertility Society (AFS), saat ini dikenal sebagai ASRM, endometriosis dibagi dalam 4 stadium berdasarkan skoring, yaitu: ● Stadium 1 (minimal) : skor 1-5 ● Stadium 2 (ringan) : skor 6-15 ● Stadium 3 (sedang) : skor 16-40 ● Stadium 4 (berat) : skor >40



25



Gambar 3.3 Skoring Endometriosis berdasarkan AFS e. Tes biokimia Penanda biokimia yang paling banyak dikembangkan untuk diagnosis endometriosis adalah cancer antigen-125 (CA-125), cancer antigen-199 (CA-199), interleukin-6 (IL-6), dan urocortin. CA-125 secara signifikan berkaitan dengan adhesi pelvis, dimana nilai CA-125 > 35 U/ml mempunyai risiko 5,4 kali lebih besar untuk mengalami adhesi berat, sedangkan CA-125 >65 U/ml dianggap berkorelasi dengan endometriosis stadium lanjut. Nilai CA-125 dapat digunakan untuk melakukan follow-up progresivitas endometriosis selama terapi. Terdapat banyak biomolekul yang dikembangkan sebagai penanda biokimia endometriosis, namun belum ada yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang teruji. Oleh karena itu, penanda biokimia saat ini 26



hanya menjadi pelengkap metode diagnosa selain pencitraan atau laparoskopi. Pendekatan diagnostik baru seperti micro-RNA (miRNA) yang berada dalam peredaran darah sistemik telah dianggap seabgai kandidat biomarker yang menjanjikan karena stabil dalam sirkulasi dan memiliki profil ekspresi yang sangat spesifik. Terdapat enam miRNA yang dapat digunakan untuk membedakan endometriosis dan patologi ginekologi lainnya, yaitu miR-125b-5p, miR-150-5p, miR-3423p, miR-451a, miR-3613-50, dan let-7b. (Halim,2021) f. Pemeriksaan USG Endometrioma dideteksi menggunakan USG transvagina dengan gambaran ground-glass, homogen, internal echo difus dengan latar belakang hipoechoic. Suatu review sistematik yang melibatkan 1257 kasus tumor adneksa dengan menggunakan USG transvagina didapatkan 13-38% adalah endometriosis. Berdasarkan data tersebut penggunaan mempunya Penggunaan



USG



transvagina



sensitivitas USG



untuk



64-89%



transvagina



dan untuk



deteksi



endometrioma



spesifisitas deteksi



89-100%.



endometrioma



mempunya keuntungan, yaitu tidak tergantung pada operator dan dapat digunakan secara lebih luas. g. Sistoskopi h. Kolonorektoskopi 3.6



Klasifikasi Endometriosis Konsensus World Endometriosis Society pada tahun 2014 memutuskan bahwa model klasifikasi penyakit endometriosis dapat menggunakan klasifikasi dari Revised American Society for Reproductive Medicine (r-ASRM), klasifikasi Enzian, dan Endometriosis Fertility Index (EFI). Hingga ditemukannya sistem klasifikasi yang lebih baik, ahli bedah sebaiknya menggunakan sistem klasifikasi endometriosis



r-ASRM



dan



Enzian



untuk



mengoptimalkan



informasi



pascaoperasi. Derajat endometriosis dalam klasifikasi r-ASRM mempunyai korelasi yang terbatas dengan tingkat beratnya gejala dan infertilitas terkait



27



endometriosis. Klasifikasi Enzian digunakan untuk menilai deeply infiltrative endometriosis (DIE). (Halim,2021) Tabel 3.4 Klasifikasi endometriosis berdasarkan lokasi No



Klasifikasi Endometriosis



1.



Endometriosis peritoneum superfisial



2.



Endometrioma



3.



Endometriosis susukan dalam



4.



Adenomioma



Klasifikasi r-ASRM tidak menilai keterampilan dan upaya yang dibutuhkan ahli bedah



dalam



pengangkatan



endometriosis,



oleh



karena



itu



klasifikasi



endometriosis yang baru telah dibentuk oleh American Association of Gynecologic



Laparoscopists



(AAGL)



tahun



2021,



yang



secara



akurat



memberikan informasi tingkat kesulitan pembedahan yang dibutuhkan dalam pengangkatan endometriosis di rongga panggul. Klasifikasi AAGL 2021 mempunyai korelasi baik antara tingkat klasifikasi dengan beratnya gejala, walaupun terdapat keterbatasan yaitu tidak dapat diterapkan pada endometriosis di luar rongga perut. (Halim,2021).



28



Gambar 3.4 Klasifikasi American Association of Gynecologic Laparoscopists (AAGL) 2021 3.7



Diagnosis Banding Endometriosis Wanita dengan endometriosis sering kali datang dengan tampilan yang beragam dan tidak spesifik sehingga diagnosis lain yang memungkinkan harus selalu dipertimbangkan. Gejala akut akibat infeksi menular seksual (IMS), infeksi saluran kemih (ISK), dan pelvic inflammatory disease (PID) sering menyerupai endometriosis. Namun mengingat sifat kronis dari endometriosis, kemungkinan besar bahwa kondisi tersebut dapat dikesampingkan lebih awal. Beberapa kondisi jangka panjang memiliki gejala yang tumpang tindih atau timbul bersamaan dengan endometriosis dan dapat menyebabkannya lebih sulit untuk dikesampingkan. Diagnosis banding yang harus dipertimbangkan



29



pada wanita dengan nyeri pelvis meliputi divertikulitis, irritable bowel syndrome, uterine fibroids, batu saluran kemih, dan interstitial cystitis. Umumnya, gambaran klinis dan riwayat pasien dapat menggeser kemungkinan diagnosis lain, misalnya uterine fibroids lebih sering terjadi pada kelompok pasien usia tua. Namun, beberapa kondisi hampir tidak mungkin untuk mengesampingkan adenomyosis)



atau



kondisi



lain hingga



dilakukan



dilakukannya



percobaan



terapi.



laparoskopi



Selalu



(misal:



pertimbangkan



kemungkinan patologi lain yang timbul bersamaan seperti infeksi pelvis dan kondisi usus. Sebagai tambahan, pada sejumlah kecil wanita, kelainan uterin dan Mullerian, keduanya dapat menjadi faktor risiko dari endometriosis, hal tersebut dapat timbul dan mempersulit diagnosis dan pengobatan. 3.8



Tatalaksana Endometriosis Tatalaksana



endometriosis



dibagi



menjadi



dua



kelompok



besar



berdasarkan gejala utama, yaitu nyeri terkait endometriosis dan infertilitas. Tatalaksana medikamentosa dan pembedahan, keduanya memberi hasil yang efektif



dalam



penanganan



nyeri



terkait



endometriosis.



Tatalaksana



medikamentosa yang tersedia saat ini hanya sebatas memodulasi gejala dengan cara menekan fungsi ovulasi atau menginduksi kondisi hipoesterogenik, namun belum terdapat terapi yang mampu mengintervansi patofisiologi endometriosis secara langsung dengan profil keamanan yang baik dan kandungan efek kontrasepsi yang tidak diinginkan pada wanita yang merencanakan kehamilan.



30



Gambar 3.5 Algoritma tatalaksana endometriosis 3.8.1 Manajemen Nyeri Endometriosis a. Analgesik Analgesik yang diberikan adalah paracetamol dan obat nonsteroidal antiinflamatory drugs (NSAID). NSAID dapat digunakan sebagai lini pertama untuk



mengatasi



menghambat



gejala



produksi



nyeri



terkait



prostaglandin,



endometriosis, yang



karena



berkontribusi



dapat



terhadap



peradangan dan nyeri terkait endometriosis. b. Terapi Hormonal Pengobatan hormonal menjadi pilihan terapi lini pertama untuk pasien yang tidak memiliki keinginan untuk hamil segera. Saat ini, pengobatan hormonal adalah obat yang paling efektif untuk pengobatan endometriosis, dengan



cara



penghambatan



pseudodesidualisasi



yang



aksis



hipotalamus-pituitari-ovarium



menghambat



proses



implantasi



dan jaring



endometriotik ektopik. 31



Tabel 3.5 Terapi hormonal endometriosis ● Progestogen ● Antiprogestogen ● Pil kontrasepsi kombinasi (PKK) ● Agonis gonadotropin-releasing hormone (GnRH) ● Antagonis GnRH, levonorgestrel intrauterine system (LNG-IUS) ● Danazol ● Aromatase inhibitor



Meskipun bervariasi, terapi hormonal ini memiliki kemampuan yang tidak jauh berbeda dalam mengatasi gejala nyeri dan memberikan tingkat perbaikan klinis. Namun dalam praktik klinis, masing-masing terapi mempunyai implikasi yang berbeda, mengingat tidak ada terapi hormonal yang bebas dari efek samping, seperti adanya kandungan efek kontrasepsi yang tidak dianjurkan bagi wanita yang berencana untuk hamil. Pedoman ESHRE tahun 2021 merekomendasikan penggunaan progestogen, PKK, agonis GnRH, atau antagonis GnRH untuk mengatasi gejala nyeri terkait endometriosis. ● Pil Kontrasepsi Kombinasi Pil Kontrasepsi Kombinasi (PKK) digunakan untuk mengurangi gejala dispareunia, dismenorea, dan nyeri diluar haid. PKK yang digunakan



secara



kontinu



akan



menghambat



menstruasi



dan



menghasilkan pengurangan nyeri terkait endometriosis yang lebih besar dibandingkan dengan yang diminum secara siklik. PKK berpotensi membuat suasana tubuh seperti dalam keadaan hamil, hal ini disebut dengan keadaan pseudomenopause. ● Progesterone Medroxyprogesterone acetate (MPA), levonorgestrel intrauterine system



(LNG-IUS),



dan



dienogest



bekerja



melalui



mekanime



desidualisasi dan atrofi endometrium. LNG-IUS dan implan subdermal 32



eronogestrel merupakan pilihan terapi progesterone untuk mengatasi nyeri akibat endometriosis. ● Agonis GnRH Agonis GnRH seperti nafarelin, leuprolide, buserelin, goserelin, atau triptorelin digunakan sebagai salah satu pilihan dalam mengurangi nyeri terkait endometriosis, dan digunakan sebagai terapi lini kedua karena penekanan efek samping yang belum tentu efektif oleh PKK. Disamping



itu,



agonis



GnRH



sering



digunakan



sebagai



terapi



endometriosis derajat berat sebelum dilakukan stimulasi ovarium pada program bayi tabung. Agonis GnRH dapat dikombinasi dengan PKK untuk



mencegah



menurunnya menyebabkan



efek



densitas



samping tulang.



penekanan



kondisi



hipoestergenikk



Penggunaan



esterogen



yang



agonis



mirip



seperti



GnRH



dengan



ini



kondisi



menopause atau yang disebut dengan pseudomenopause. ● Antagonis GnRH Elagolix berpotensi menjadi terapi endometriosis dibandingkan relugolix dan degarelix, karena telah terbukti mengurangi nyeri jangka pendek



secara



signifikan



pada



dismenorea



dan



nyeri



panggul



nonmenstruasi. Potensi efek samping yang ada pada golongan ini antara lain kemerahan pada kulit, nyeri kepala, insomnia, dan kadar lipid serum yang tinggi. Antagonis GnRH dapat diberikan secara oral untuk mengurangi nyeri terkait endometriosis, meskipun bukti ilmiah mengenai dosis atau durasi pengobatan masih terbatas. ● Danazol Danazol bukan pilihan utama pada tatalaksana nyeri terkait endometriosis karena potensi efek sampingnya yang berat seperti akne, edema, vaginal spotting, penambahan berat badan, kram otot, dan penambahan rambut wajah. ● Aromatase Inhibitor Aromatase inhibitor direkomendasikan pada wanita dengan nyeri terkait endometriosis refractory terhadap pembedahan atau terapi medis



33



lainnya. Aromatase inhibitor diberikan dalam kombinasi dengan PKK, progestogen, agonis GnRH, atau antagonis GnRH. Pemeriksaan bone mass



density



(BMD)



secara



berkala



direkomendasikan



karena



aromatase inhibitor berpotensi menyebabkan gejala menopause dan mengurangi densitas tulang. c. Pembedahan Manajemen bedah merupakan salah satu pilihan untuk mereduksi nyeri terkait endometriosis, hal ini dipertimbangkan setelah perawatan konservatif tidak berhasil. Manajemen bedah untuk endometriosis dapat berupa eksisi dan/atau ablasi lesi endometriosis, kistektomi, hingga histerektomi dengan atau tanpa ooforektomi. 3.8.2 Tatalaksana Infertilitas Terkait Endometriosis a. Medikamentosa Terapi hormonal tidak direkomendasikan pada kasus endometriosis pada wanita yang merencanakan kehamilan, kecuali bagi yang memutuskan untuk tidak segera hamil. Adapun terapi hormonal seperti agonis GnRH dengan protokol ultralong bermanfaat untuk menjaga kualitas oosit dan dapat merekrut lebih banyak folikel sehingga dapat meningkatkan keberhasilan kehamilan bahkan pada wanita dengan endometriosis tingkat III-IV. Agonis GnRH dapat diberikan sebagai tambahan terapi pada tindakan fertilisasi in vitro (FIV, intracytoplasmic sperm injection (ICSI), dan cryopreservation untuk pelestarian kesuburan wanita. b. Pembedahan Manajemen bedah yang dapat meningkatkan kemungkinan kehamilan spontan antara lain eksisi atau ablasi lesi endometriosis, adhesiolisis untuk endometriosis yang tidak melibatkan usus, kandung kemih atau ureter, dan eksisi dinding kista endometrioma dengan memperhitungkan cadangan ovarium. Dalam tatalaksana infertilitas, sebaiknya tidak diberikan terapi penekan hormon pasca operasi dengan tujuan tunggal untuk meningkatkan peluang kehamilan di masa depan. Laparoskopi operatif dapat ditawarkan sebagai pilihan tatalaksana untuk infertilitas terkait endometriosis tingkat I/II,



34



begitu juga dengan deeply infiltrative endometriosis (DIE) meskipun belum ada bukti yang meyakinkan. c. Fertilisasi in vitro (FIV) dan Inseminasi Buatan Tindakan ini merupakan teknik yang tepat pada kasus infertilitas yang berhubungan dengan endometriosis, terutama jika terdapat gangguan fungsi tuba, faktor infertilitas pria, skor endometriosis fertility index (EFI) rendah, dan/atau



refractory



terhadap



pengobatan



lain.



Infertilitas



dengan



endometriosis tingkat I/II atau tingkat III/IV dengan tuba paten, dapat diatasi dengan



inseminasi



buatan



(intrauterine



insemination/IUI)



yang



dikombinasikan dengan terapi obat untuk stimulasi ovarium. Tingkat



kekambuhan



endometriosis



pasca-FIV



tidak



meningkat



dibandingkan dengan wanita yang tidak menjalani FIV. Setelah operasi, skor EFI harus dinilai dalam menentukan tingkat keberhasilan teknologi reproduksi berbantu (TRB). Inseminasi buatan dengan stimulasi ovarium merupakan penanganan infertilitas yang sering dilakukan dengan alternatif dari tindakan FIV yang lebih invasif, dan dapat digunakan sebagai tatalaksana lini pertama untuk infertilitas yang tidak dapat dijelaskan. Sampai saat ini belum ada rekomendasi yang dapat dibuat untuk intervensi non medikamentosa dalam menangani gejala nyeri dan infertilitas terkait endometriosis secara spesifik. Pengobatan tradisional Tiongkok, terapi nutrisi, elektroterapi, akupuntur, fisioterapi, olahraga, dan intervensi psikologis



telah



dipelajari



untuk



mengurangi



gejala



nyeri



terkait



endometriosis atau meningkatkan kualitas hidup pada wanita dengan endometriosis, namun hasilnya masih kontroversi. 3.9



Komplikasi Endometriosis ● Gangguan infertilitas, subfertilitas, nyeri panggul kronis ● Disminore,dispareunia,diskezia ● Penurunan kualitas hidup pasien ● Perlengketan disfungsi usus dan kandung kemih dikarenakan proses pembedahan ● Kanker ovarium dapat terjadi pada kasus endrometrioma ovarium



35



● Disfungsi usus seperti konstipasi dikarenakan peradangan iritasi pada sistem pencernaan 3.10



Prognosis Endometriosis Pasien dengan diagnosa endometriosis akan mengalami permasalahan dalam kehamilan seperti kehamilan ektopik dan risiko mengalami keguguran lebih tinggi. Pada wanita yang tidak melakukan pengobatan lesi endometriotik akan mengalami regresi secara spotan. Tingkat kekambuhan endometriosis setelah dilakukan operasi sekitar 67%. Pada sekitar 59% pasien yang telah melakukan perawatan akan tetap merasakan rasa sakit di akhir terapi. Penghentian pengobatan,kekambuhan nyeri sekitar 34%.



36



BAB IV PEMBAHASAN KASUS



TEORI



KASUS



GEJALA, FAKTOR RESIKO



GEJALA, FAKTOR RESIKO



Gejala yang dapat timbul pada endometriosis



diantaranya



sebagai



Gejala pada pasien yang menunjukkan endometriosis : 1. Nyeri ketika seminggu, sesudah



berikut: 1. Dismenorea



:



Nyeri



dan ketika haid



pada



2. Darah yang keluar ketika mens



abdomen ketika menstruasi 2. Dispareunia



:



Nyeri



saat



berhubungan seksual 3. Menoragia : Pendarahan yang banyak ketika menstruasi



untuk



faktor



risiko



terjadinya endometriosis sebagai berikut: 1. Menarche



dini



:



menstruasi



pertama kali terjadi pada usia sebelum 11 tahun 2. Siklus menstruasi yang pendek yang kurang dari 27 hari 3. Paparan



polutan



polycholrinated



Riwayat pernikahan : Sudah menikah selama 14 tahun tetapi memiliki anak (infertilitas primer) Riwayat kehamilan dan persalinan : -



4. Infertilitas Sedangkan



banyak



seperti



biphenyls



dan



Riwayat penyakit dahulu : Myoma uteri (2015) DM (-), HT (+), alergi(-), asma (-), keganasan (-), autoimun (-), riwayat penurunan BB (-) Riwayat Operasi : Myomektomi pada tahun 2015



di RS Delta Sidoarjo



karena keluhan myoma uteri Riwayat Penggunaan Kontrasepsi : -



dioxin dapat memodulasi respon



Riwayat Menstruasi : Menarche saat



imunologi sehingga menjadi salah



usia 13 tahun, dengan siklus teratur 28-



satu



31 hari, lama haid 7-10 hari, dengan



patogenesis



terjadinya



endometriosis



jumlah



ganti



pembalut



5-6 x/hari.



4. Riwayat keluarga yang memiliki



37



penyakit endometriosis 5. Konsumsi alkohol 6. BMI yang rendah 7. Penggunaan kontrasepsi oral 8. Merokok 9. Jumlah paritas rendah 10. Usia produktif PEMERIKSAAN



PEMERIKSAAN



Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan meliputi pemeriksaan



Pemeriksaan Fisik KU: Tampak Sakit Ringan



fisik panggul serta inspeksi abdomen.



GCS: 456



Pemeriksaan ini bertujuan untuk meraba



TB : 155 kg



pembesaran ovarium / endometrioma /



BB : 78 kg



kista di adneksa.



BMI : 34,6 kg/m2



Pemeriksaan Penunjang 1. Laparoskopi Pemeriksaan penunjang definitif sekaligus



dapat



treatment



pada



digunakan pasien



untuk dengan



endometriosis. Saat laparoskopi akan dilakukan pemeriksaan uterus dan adneksa,



peritoneum



ovarium,



rektum



apendiks



dan



dan



dan



fossa



sigmoid,



caecum,



serta



diafragma. 2. USG Endometrioma dapat dideteksi menggunakan dengan



USG



gambaran



transvagina ground-glass,



homogen, internal echo difus dengan latar belakang hipoechoic.



TD:140/90 mmHg RR: 20x/mnt HR: 89x/mnt T: 36,5ºC SpO2: 98% on room air Abdomen : Soefl (+), TFU setinggi setengah simfisis pubis, konsistensi padat kenyal, teraba massa kistik ukuran 10x10 cm, batas tegas permukaan rata, mobilitas terbatas, scar pfannenstiel. Pemeriksaan Penunjang -



USG (19/12/2022) ● Tampak VU terisi cukup ● Tampak uterus anteflexi, membesar, dengan gambaran



38



3. Pemeriksaan Biokimia



pusaran air didalamnya ukuran



Penanda biokimia yang paling banyak diagnosis



dikembangkan



untuk



endometriosis



adalah



8,05 x 7,78 cm ● Tampak massa kistik pada adnexa ukuran 5,44 x 7,69 cm



cancer antigen-125 (CA-125), cancer



-



antigen-199 (CA-199), interleukin-6



Kesan : Cystoma ovari, myoma uteri.



(IL-6), dan urocortin. ASSESMENT



ASSESMENT



Endometriosis yaitu terdapat jaringan Myoma uteri mirip endometrium di luar kavum uteri



+



Cystoma ovarii susp. Kista cokelat



yang menginduksi reaksi inflamasi kronis.



+



Riwayat myomektomi (tahun 2015)



    Salah satu tempat yang dapat terjadi



+



HT Stage II



+



Anemia



+



Obesitas



endometrisosis



yakni



di



ovarium,



sehingga dapat bermanifestasi menjadi kista dan dinamakan cystoma ovarii dan masuk



ke



dalam



klasifikasi



endomterioma. TATALAKSANA



TATALAKSANA Planning Treatment



Planning Treatment Pembedahan merupakan terapi yang dapat



disarankan



setelah



-



myomektomi elektif (09/01/23)



terapi



konservatif tidak berhasil dan untuk



-



Pemberian obat-obatan hormonal tidak disarankan untuk wanita yang merencanakan dilakukan operasi.



kehamilan



setelah



Pro transfusi PRC 2 lb/hr s/d Hb > 10 gr/dL



mereduksi nyeri serta meningkatkan kemungkinan kehamilan spontan.



Pro laparotomi kistektomi dan



-



Pre medikasi : -



Cefazoline 2 gram



-



Ranitidin 50 mg



-



Metoclopramide 10 mg



Persiapan Operasi :



39



-



Sedia darah, puasa, lavement



Planning Education -



Edukasi mengenai kondisi pasien saat ini



-



Edukasi pasien untuk dilakukan operasi berupa pengangkatan kista dan myoma



-



Edukasi apabila terdapat keluhan pasca operasi



40



BAB V KESIMPULAN



Endometriosis merupakan penyakit dimana endometrium tumbuh pada luar uterus sehingga menimbulkan inflamasi pada daerah sekitar tempat bertumbuhnya lesi tersebut.



Terdapat



beberapa



teori



dalam



penggambaran



patogenesis



dari



endometriosis salah satunya teori aliran balik darah mens (Retrograde Menstruation). Sebagai dasar diagnosis endometriosis adalah gejala klinik yang jelas, pembesaran rahim asimetris, dan konsistensi rahim padat. Pemeriksaan klinis pada perempuan dengan kecurigaan endometriosis meliputi pemeriksaan fisik panggul serta inspeksi abdomen. Pemeriksaan vagina dilakukan dengan perabaan pembesaran ovarium, endometrioma,kista di adneksa. Apabila pemeriksaan vagina tidak memungkinkan dilakukan pada remaja yang belum menikah, pemeriksaan rektal sebaiknya dilakukan untuk diagnosis endometriosis. Tatalaksana endometriosis dibagi menjadi dua kelompok besar berdasarkan gejala utama, yaitu nyeri terkait endometriosis dan infertilitas. Tatalaksana medikamentosa yang tersedia saat ini hanya sebatas memodulasi



gejala,



sedangkan



tatalaksana



yang



direkomendasikan



dengan



endometriosis yang nyeri adalah dengan pembedahan.



41



DAFTAR PUSTAKA Bulun SE, Lin Z, Imir G, Amin S, Demura M, Yilmaz B, et al. 2005. Regulation of aromatase expression in estrogen-responsive breast and uterine disease: From bench to treatment. Pharmacol Rev, 57:359-83. ESHRE. 2022. Guideline Endometriosis. Guideline of European Society Human Reproduction and Embryology. Halim, B., dan Adiwinata, T. 2021. Tatalaksana terkini endometriosis. Jurnal Medicinus, 34(3):3-13. Hemmings R, Rivard M, Olive DL, Poliquin-Fleury J, Gagné D, Hugo P, et al. 2004. Evaluation of risk factors associated with endometriosis. Fertil Steril, 81:1513-21. Hendarto, H. (2015). Endometriosis “dari aspek teori sampai penanganan klinis”. Surabaya: Airlangga University Press (AUP). Luqyana, S, D, dan Rodiyani. 2019. Diagnosis dan tatalaksana terbaru endometriosis. Jurnal mahasiswa kedokteran Indonesia, 7(2): 67-75. Uimari, O., Nazri, H., Tapmeier, T. 2021. Endometriosis and uterine fibroids (Leiomyomaya): cocmorbid, risks and complications. Journal Frontiers in Reproductive Health, 3:1 -8. Parasar, P., Ozcan, P., dan Terry, L, K. 2017. Endometriosis: Epidemiology, Diagnosis and Clinical Management. Journal Current Obstetric Gynecology Reproduction, 6:34-41. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI). 2017. Konsensus Tatalaksana Nyeri Endometriosis. HIFERI. Scioscia, M., et al. 2020. Differential Diagnosis of Endometriosis by Ultrasound: A Rising Challenge. Diagnostic Vol.10 No.848. www.mdpi.com/journal/diagnostic. Suparman, E., Suparman., E. 2012. Penatalaksanaan Endometriosis. Jurnal Biomedik, Vol. 4, No.2.



42