LAPORAN KASUS Neonatal Jaundice [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN KASUS



Neonatal Jaundice



Pembimbing dr. Bambang Andikayana dr. Putu Surya Utami



Disusun oleh dr. Kevin Paul Johanes



DALAM RANGKA MENGIKUTI PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA RSU GANESHA GIANYAR 2018



KATA PENGANTAR



Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmatNya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang mengambil topik “Asma serangan ringan terkontrol baik”. Neonatal jaundice merupakan suatu masalah yang cukup sering ditemukan di masyarakat terutama pada semiggu pertama setelah bayi lahir. Laporan ini disusun dalam rangka menjalani Program Internsip Dokter Indonesia (PIDI) periode 2018 s/d 2019 di RSU Ganesha. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan kasus ini, terutama kepada dr. Bambang Andikayana dan dr. Putu Surya Utami, selaku dokter pendamping yang telah memberikan bimbingan kepada kami dalam penyusunan dan penyempurnaan laporan kasus ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat dalam bidang kedokteran khususnya Bagian Ilmu Kesehatan Anak.



Gianyar, Agustus 2018



Penulis



BAB I PENDAHULUAN



1.1. Latar Belakang Neonatal hiperbilirubinemia di definisikan sebagai kadar serum bilirubin total diatas 5 mg/dl, adalah suatu keadaan yang banyak dijumpai pada praktek sehari-hari. Meskipun sekitar 60% dari bayi cukup bulan, dan 80% bayi prematur yang lahir mengalami kondisi ini tetapi sebagian besar tidak memiliki penyakit yang mendasari kondisi ini. Hiperbilirubinemia dapat memiliki keterkaitan dengan beberapa penyakit berat seperti penyakit hemolitik, gangguan metabolic, kelainan fungsi hati dan penyakit infeksi(1). Oleh karena itu, penting untuk mendiagnosis apakah suatu neonatal hiperbilirubinemia memiliki penyakit yang mendasari atau tidak. Insidensi dari hiperbilirubinemia bergantung pada berbagai macam faktor. Salah satur faktor ini adalah etnis, dimana bayi yang lahir dari kedua orang tua dari etnis asia memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk mengalami hiperbilirubinemia(2). Suatu studi yang dilakukan di amerika menunjukan bahwa insidensi hiperbilirubinemia lebih tinggi pada neonatal dengan etnis asia bila dibandingkan dengan etnis kaukasia maupun campuran asia-kaukasia(3). Risiko terjadinya hiperbilirubinemia pada etnis asia 3 kali lipat lebih besar dibanding etnis kaukasia(3). Tingginya insidensi neonatal hiperbilirubinemia pada etnis asia ini menujukan pentingnya bagi para petugas kesehatan khususnya yang bekerja di wilayah asia untuk dapat mengenali dan memberikan penanganan yang adekuat untuk pasien-pasien ini.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Neonatus hyperbilirubinemia merupakan kondisi dimana terjadi peningkatan kadar serum bilirubin total > 5 mg/dl, hal ini paling sering terjadi pada usia 1 minggu setelah lahir. Warna kuning yang timbul pada kulit merupakan akumulasi dari bilirubin tak terkonjugasi, yang merupakan hasil dari katabolisme protein heme, atau berasal dari bilirubin terkonjugasi, yang merupakan hasil akhir dari bilirubin yang mengalami konjugasi di hepar.(4) Orang dewasa akan terlihat kuning bila kadar bilirubin > 2 mg/dl, sedangkan pada neonatus baru akan terlihat bila kadar bilirubin > 7 mg/dl.(5)



2.2 Epidemiologi Sekitar 25-50% dari bayi cukup bulan, dan persentase yang lebih tinggi pada bayi prematur yang lahir mengalami kondisi ini tetapi sebagian besar tidak memiliki penyakit yang mendasari



kondisi



ini.



Sekitar



60%



dari



kelahiran



aterm



akan



mengalami



hiperbilirubinemia pada minggu pertama kehidupan, sedangkan pada kelahiran preterm dapat mencapai 80%. Hiperbilirubinemia dapat memiliki hubungan dengan beberapa penyakit berat seperti penyakit hemolitik, gangguan metabolic, kelainan fungsi hati dan penyakit infeksi.(6)



2.3 Metabolisme bilirubin Bilirubin berasal dari hasil katabolisme heme. Heme berasal dari hemoglobin, zat pigmen yang terdapat pada eritrosit. Ketika terjadi pemecahan eritrosit maka hemoglobin akan dilepaskan. Usia eritrosit pada neonatus berbeda dengan orang dewasa. Pada orang dewasa usia eritrosit berkisar rata-rata 120 hari, sedangkan pada neonatus sekitar 70-90 hari. (5) Heme yang dilepaskan ketika terjadi kematian eritrosit, akan mengalami oksidasi pada sistem retikuloendotelial (RES) menjadi biliverdin. Biliverdin kemudian akan mengalami reduksi dengan bantuan enzim biliverdin reduktase sehingga menghasilkan bilirubin tak terkonjugasi (bilirubin indirek) / unconjugated bilirubin (UBC).



Bilirubin indirek bersifat nonpolar, dan tidak larut dalam air. Oleh karena itu bilirubin indirek di transport menuju liver dengan cara berikatan dengan albumin. Selain itu karena bilirubin indirek tidak masuk ke dalam sistem saraf pusat, maka dianggap bersifat nontoxic. Di dalam sel hepatosit, bilirubin akan mengalami konjugasi dengan bantuan enzim UDPGT menjadi bilirubin terkonjugasi / conjugated bilirubin (CB) atau disebut juga bilirubin direk. Bilirubin direk kemudian masuk kedalam sistem pencernaan (GIT) di usus halus. Di usus sebagian kecil dari bilirubin direk akan mengalami konversi kembali menjadi bilirubin indirek oleh enzim β-glucuronidase dan diresorpsi kembali ke hepar. Hal ini disebut sebagai sirkulasi enterohepatic. Sisa bilirubin direk lainnya yang tidak mengalami konversi akan dibuang melalui feses dan urin. Bilirubin direk akan mengalami oksidasi dengan bantuan bakteri yang terdapat di usus, dan menjadi urobilinogen. Sebagian urobilinogen akan dibawa oleh darah menuju ginjal dan mengalami konversi menjadi urobilin. Urobilin memberikan warna kuning yang khas pada urine. Sedangkan urobilinogen yang tersisa di usus akan mengalami oksidasi lebih lanjut oleh bakteri usus menjadi stercobilin yang memberikan warna coklat pada feses. (5)



2.4 Faktor risiko Faktor risiko neonatus hiperbilirubinemia dapat dibedakan menjadi faktor maternal dan faktor dari neonatus itu sendiri. Faktor maternal yang sering ditemui berupa: (6) 



Golongan darah: ABO atau RH incompatibility







Pemberian ASI







Penggunaan obat-obatan seperti diazepam dan oksitosin







Etnis  lebih sering ditemukan pada Asia dan Native American







Penyakit pada ibu  diabetes gestational



Sedangkan faktor risiko dari neonatus yang sering ditemui berupa: 



Trauma lahir: cephalhematoma, persalinan dengan instrument (forcep, vakum)







Penggunaan obat-obatan: kloramfenikol







Infeksi TORCH







Kurang pemberian makan







Jenis kelamin laki-laki







Premature







Polychytemia







Riwayat hiperbilirubinemia pada kelahiran sebelumnya



2.5 Klasifikasi Berdasarkan onset terjadinya, neonatal hyperbilirubinemia dapat dibekan menjadi: (6) 



Jaundice fisiologis Jaundice fisiologis merupakan hyperbilirubinemia yang terjadi dalam waktu lebih dari 24 jam setelah kelahiran, dan kadar UCB > 2 mg/dl pada minggu pertama bayi baru lahir. Pada neonatus aterm kadar bilirubin akan mencapai 6-8 mg/dl pada usia 3-5 hari baru kemudian akan turun. Peningkatan hingga kadar bilirubin mencapai 12 mg/dl masih dianggap sebagai fisiologis. Pada bayi premature peningkatan bilirubin dapat mencapai 10-12 mg/dl pada usia 5 hari. Fisiologis jaundice pada umumnya disebabkan oleh usia eritrosit neonatus yang lebih pendek, proses konjugasi yang masih imatur, serta peningkatan sirkulasi enterohepatik.  Early onset breast feeding jaundice



Bayi yang menerima ASI secara langsung dari ibu memiliki risiko terjadi jaundice fisiologis. Hal ini disebabkan karena setelah melahirkan produksi ASI masih sedikit, sehingga neonatus mengalami kondisi dehidrasi dan kekurangan kalori ringan. Pada kondisi demikian, motilitas usus akan berkurang, dan terjadi perlambatan dalam pasase meconium, sehingga terjadi peningkatan sirkulasi enterohepatic. (6) Untuk mencegah hal ini dapat dilakukan peningkatan frekuensi menyusui hingga mencapai 10 kali dalam sehari. Bila pertambahan berat badan bayi masih kurang, dapat dibantu dengan pemberian susu formula, akan tetapi pemberian ASI harus tetap dilanutkan untuk meningkatkan produksi ASI. (6)



 Late onset breast milk jaundice Peningkatan kadar bilirubin terjadi pada hari ke 6-14 setelah lahir. Mekanisme yang mendasari breast milk jaundice tidak sepenuhnya dipahami, tetapi diduga beberapa kandungan pada ASI seperti βglucuronidse dapat menghambat metabolism bilirubin. Kadar bilirubin akan turun dengan sendirinya ketika bayi mencapai usia 2 minggu, namun kadar bilirubin dapat tetap meingkat sampai usia 1-3 bulan. Bila terjadi peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan, maka pemberian ASI dapat digantikan dengan susu formula. Namun pemberian ASI masih tetap dilanjutkan untuk mempertahankan produksinya. Penggantian dari ASI ke susu formula akan menyebabkan kadar bilirubin menurun dengan cepat dalam waktu 48 jam (laju penurunan sekitar 3 mg/dl per hari). Cara ini juga menegakan diagnosis breast milk jaundice. Setelah kadar bilirubin turun pemberian ASI dapat dilanjutkan. (6) 



Jaundice non-fisiologis ( Patologis jaundice) Semua etiologi diluar fisiologis jaundice, breast feeding jaundice, dan breast milk jaundice jatuh dalam kategori patologis jaundice. Karakteristik umum dari jaundice patologis adalah terjadi dalam 24 jam setelah kelahiran, kadar bilirubin meningkat



dengan cepat (> 5mg/dl per hari), dan kadar total serum bilirubin >17 mg/dl. Tandatanda lain yang dapat diasosiasikan dengan jaundice patologis adalah jaundice berkepanjangan, terdapat bukti adanya penyakit lain, serta peningkatan kadar CB > 2mg/dl atau >20% dari total serum bilirubin. Penyebab patologis yang paling sering ditemukan adalah sepsis, toxoplasmosis, rubella, pendarahan samar, eritroblastosis fetalis. (6)



Hyperbilirubinemia juga dapat dibedakan berdasarkan mekanisme akumulasi bilirubin: 



Peningkatan kadar bilirubin Mekanisme ini ditandai dengan terjadinya peningkatan UCB. Mekanisme ini dapat dibedakan lagi menjadi hemolitik dan non-hemolitik. Pada penyebab hemolitik ditemkan juga peningkatan retikulosit serta penurunan Hb. (6)







Penurunan konjugasi bilirubin Penurunan konjugasi dapat disebabkan oleh karena liver neonatus yang belum sempurna sehingga menimbulkan fisiologis jaundice. Mekanisme ini juga sering diasosiasikan dengan kelainan genentik seperti Gilbert syndrome dan Crigler Najjar syndrome. (6)







Penurunan ekskresi bilirubin Memiliki karakterisitk peningkatan UCB dan CB serta Coombs test negative. Penyebab yang sering ditemukan adalah obstruksi bilier, infeksi, gangguan metabolic, serta penggunaan obat-obatan tertentu seperti acetaminophendan kortikosteroid. (6)



2.6 Diagnosis 



Anamnesis Pada anamnesis penting untuk menentukan onset terjadinya jaundice. Apakah terjadi dalam 24 jam pertama setelah kelahiran atau setelah 24 jam. Selain itu penting juga untuk mengetahui riwayat kuning pada kelahiran sebelumnya, serta perlu didapatkan riwayat ibu selama kehamilan. Riwayat kuning pada kelahiran sebelumnya mungkin mengacu pada inkompatibilitas golongan darah atau breast milk jaundice. Riwayat penyakit selama kehamilan dapat meningkatkan risiko terjadinya hyperbilirubinemia pada neonatus, misalnya riwayat toxoplasmosis, atau riwayat diabetes mellitus pada ibu. Beberapa jenis obat yang dikonsumsi oleh ibu juga dapat mempengaruhi kejadian hyperbilirubinemia karena beberapa jenis obat akan menggangu ikatan bilirubin dengan albumin, atau dapat menimbulkan hemolysis pada penderita defisiensi G6PD. Obat-obatan yang dapat menimbulkan hal ini misalnya golongan sulfonamide, nitrofurantoin, dan antimalarial. (6)



Riwayat persalinan ibu dapat menunjukan adanya trauma yang diasosiasikan dengan pendarahan ekstravaskular dan hemolysis. Neonatus yang mengalami asfiksia juga dapat mengalami peningkatan kadar bilirubin karena hepar mengalami penurunan fungsi dalam memproses bilirubin. (6) 



Pemeriksaan fisik Hyperbilirubinemia dapat diteksi dengan memberikan tekanan pada kulit dengan menggunakan jari tangan. Ikterus pada kulit tidak dapat dideteksi bila kadar bilirubin < 4mg/dl. Bilirubin memiliki penyebaran cephalocaudal. Kadar bilirubin dapat dinilai dengan menggunakan Kramer’s Staging. Neonatus dengan jaundice perlu pemeriksaan fisik untuk menemukan beberapa hal:  Kecil masa kehamilan  diasosiaskan dengan infeksi in utero  Mikrosefali  diasosiasikan dengan infeksi in utero  Darah pada ekstravaskular  cephalhematoma, atau pendarahan lainnya  Pallor  diasosiasikan dengan anemia hemolitik atau pendarahan ekstravaskular  Petechiae  diasosiasikan dengan infeksi kongenital, sepsis, atau eritroblastosis







Evaluasi laboratorium Pemeriksaan laboratoriuyang dapat digunakan untuk evaluasi hyperbilirubinemia adalah pemeriksaan kadar bilirubin direk dan indirek. Peningkatan pada bilirubin direk sering diasosiasikan dengan proses infeksi, peningkatan pemecahan sel darah merah, serta gangguan pada sistem bilier. (6) Bila terjadi peningkatan pada bilirubin indirek, maka dibutuhkan pemeriksaan lebih lanjut berupa Coombs test. Hasil Coombs test positive menunjukan adanya inkompatibiltas ABO atau Rh, sedangkan bila Coombs test negative perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut berupa pemeriksaan hemoglobin. Penurunan kadar hemoglobin diikuti dengan pemeriksaan retikulosit. Penurunan kadar retikulosit menunjukan adanya kelainan morfologi dari sel darah merah. (6)



2.7 Tatalaksana Penanganan hyperbilirubinemia bergantung pada peningkatan kadar bilirubin, usia neonatus, serta riwayat kehamilan dan persalinan. Pilihan terapi yang dapat digunakan untuk menurunkan kadar bilirubin berupa: (6) 



Fototerapi Fototerapi menggunakan sinar pada spectrum warna biru (± 460nm). Pada spectrum tersebut, bilirubin dapat menyerap sinar dengan baik. Terdapat 3 mekanime dasar fototerapi dapat menurunkan kadar bilirubin:  Photoisomerization  UCB dikonversi menjadi bentuk isomernya dengan toksisitas yang lebih rendah yang kemudian berdifusi kedalam darah dan diekskresi melalui empedu tanpa perlu dikonjugasikan. Meskipun begitu bentuk isomer ini dapat berubah kembali menjadi UCB bila bayi tidak defekasi, dimana UCB tersebut akan direabsorbsi kembali.



 Structural isomerization  merupakan proses paling penting dalam fototerapi. Proses ini merubah bilirubin menjadi lumirubin, yang kemudian diekskrei melalui empedu dan urin tanpa konjugasi. Lumirubin juga bersifat irreversible sehingga tidak bisa direabsorbsi kembali.  Photo-oxidation  bilirubin dikonversi menjadi suatu bentuk polar yang kemudian diekskresi melalui urine. Indikasi dilakukan fototerapi adalah bila kadar bilirubin meningkat hingga berbahaya bagi neonatus, yang pada umumnya ditentukan dengan menggunakan kurva Bhutani. Fototerapi dapat dimulai bila kadar bilirubin total berada pada 3 kotak dibawah garis. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi efektivitas fototerapi, antara lain: intensitas cahaya, jarak dari sumber cahaya, serta luas permukaan tubuh yang terpapar. Secara ideal, lampu harus berjarak 15-20 cm dari neonatus, dan neonatus berada pada kondisi telanjang dan menggunakan pelindung mata. (6) Kontraindikasi dari fototerapi adalah bila yang meningkat berupa CB seperti pada kasus kolestasis atau penyakit hepatic, karena dapat menimbulkan perubahan warna pada kulit menjadi abu-abu kecoklatan (bronze baby syndrome). (6)







Transfusi tukar Metode transfusi tukar merupakan metode untuk menurunkan kadar bilirubin yang paling cepat, akan tetapi cara ini jarang diperlukan. Transfusi tukar lebih direkomendasikan pada kasus hemolitik, anemia berat, dan peningkatan kadar bilirubin yang tinggi (> 1 mg/dl/jam dalam waktu kurang dari 6 jam). Prinsip dasar dari transfuse tukar adalah mengeluarkan eritrosit yang dilapisi dengan antibody, serta eritrosist yang mengalami hemolysis dan menukarnya dengan eritrosit donor yang tidak mengandung antigen. Koplikasi yang dapat timbul adalah emboli udara serta terjadinya infeksi. (6)



2.8 Komplikasi Toksisitas bilirubin merupakan komplikasi yang paling berbahaya dari hyperbilirubinemia. Bilirubin dapat masuk ke otak dalam baik dalam bentuk berikatan ataupun tanpa berikatan dengan albumin, bila terdapat gangguan pada sawar darah otak. Beberapa faktor dapat mempengaruhi sawar darah otak adalah hyperosmolaritas, hypercarbia, serta pada neonatus preterm ada kemungkinan sawar darah lebih permeable. Penumpukan bilirubin dalam otak akan menimbulkan kondisi yang disebut sebagai bilirubin encephalopathy, yang dapat dibedakan lagi menjadi akut dan kronis. (5) 



Akut bilirubin encephalopathy Bilirubin encephalopathy disebut akut bila gejala timbul pada masa neonatus. Kondisi ini dapat dibedakan menjadi 3 fase:  Early phase  terdapat hypotonia, lethargy, high pitched cry, dan reflex hisap lemah  Intermediate phase  hypertonia dari otot extensor (disertai opistotonus dan rigiditas), iritabilitas, demam, kejang. Sebagian besar neonatus akan meninggal pada fase ini. Neonatus yang tidak meninggal akan mengalami kronik encephalopathy.  Advanced phase  opistotonus (hypertonia akan digantikan dengan hypotonia setelah usia 1 minggu), shrill cry, apnea, kejang, koma, dan kematian.







Kronik bilirubin encephalopathy Disebut juga sebagai kernicterus, kondisi ini ditandai dengan adanya athetosis (kontraksi otot abnormal yang menimbulkan gerakan menggeliat secara involunter), tuli sensorineural total atau parisal, dental dysplasia, dan deficit intelektual. Kernicterus merupakan pathologic diagnosis, yang ditandai dengan adanya yellow staining dan terdapat bukti adanya neuronal injury. Bagian otak yang paling sering mengalami staining adalah basal ganglia, nukleus saraf kranial, nucleus batang otang, hippocampus, dan bagian anterior horn dari diskus tulang belakang.



BAB III KASUS I.



IDENTITAS



Nama



: By SNP



Usia



: 10 hari



Jenis kelamin



: Laki-laki



Alamat



: Sukawati



Suku



: Bali



Agama



: Hindu



No. RM



: 11.35.95



MRS



: 25-05-2018



II.



SUBYEKTIF



Keluhan Utama : Bayi dikeluhkan kuning sejak 3 hari lalu. Riwayat Penyakit Sekarang : 



Bayi dikeluhkan kuning sejak 3 hari lalu.







Orangtua pasien mengeluhkan kuning pertama kali terlihat di mata kemudian menyebar ke bagian tubuh lain keesokan harinya







Sejak lahir bayi hanya minum ASI, tidak ada konsumsi makanan lain. ASI diberikan kurang lebih 8-9 kali dalam sehari, durasi menyusui 30 menit







Bayi lahir dari ibu P2 A0, secara spontan pervaginam. Faktor risiko sepsis: keputihan (-), demam intrapartum (-), nyeri tekan suprapubik (-), riwayat ISK (-), diabetes (-), hipertensi (-), KPD (-), riwayat trauma selama hamil (-) riwayat penggunaan obat tertentu (-). Ibu memiliki golongan darah A







Bayi lahir di RS ditolong oleh dokter, usia gestasi 39-40 minggu. BB lahir 2800 gr, PB lahir 49 cm.



Riwayat Penyakit Dahulu: 



Riwayat demam disangkal







Riwayat penyakit sebelumnya disangkal



Riwayat Penyakit Keluarga : 



Keluhan serupa pada anak pertama kurang lebih pada usia 1 minggu.



Riwayat Pengobatan : 



Pasien belum mendapatkan pengobatan untuk sakitnya saat ini.



Riwayat Alergi: 



III.



Riwayat alergi makanan maupun alergi obat disangkal.



OBJEKTIF



Status Generalis: 



Keadaan Umum : Baik







Kesadaran



:Compos Mentis







GCS



:E4V5M6







Status Gizi







Berat Badan



: 2800 kg



Panjang Badan



: 49 cm



Status gizi



:



Vital Sign Nadi



: 120 x/menit, regular, kuat



Frekuensi Nafas : 30 x/menit, regular Suhu aksiler



: 36.5ºC



Kepala dan Wajah: 



Bentuk dan ukuran : normocephali, cephalhematoma (-), caput sucadenum (-)







Rambut : normal



Mata: 



Pupil : isokor, bulat, Reflex Cahaya Langsung (+/+), Tidak Langsung (+/+)







Konjungtiva: anemis (-/-) Sclera icterus (+/+)



Telinga: 



Lubang telinga : normal, sekret (-/-)



Hidung: 



Simetris, deviasi septum (-/-), sekret (-/-)



Mulut: 



Mukosa oral basah, palatum intak (+)



Leher: 



Pembesaran kelenjar (-)



Paru: 1. Inspeksi: Gerakan napas tampak simetris, retraksi (-/-)







2. Palpasi: 



Gerakan napas teraba simetris







Suara napas vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)



3. Auskultasi: - Vesikuler: ( + / +) - Rhonki basah: ( - / -) - Wheezing: ( - / - )



Jantung 1. Inspeksi: 



Ictus cordis terlihat pada ICS IV, linea midclavicularis sinistra



2. Palpasi: Ictus cordis teraba pada ICS IV, linea midclavicularis sinistra







3. Auskultasi: 



S1, S2 reguler, gallop (-), murmur (-)



Abdomen: 1. Inspeksi: 



Perut tampak datar, distensi (-)



2. Auskultasi: 



Bising usus (+) normal, frekuensi 3-4 x/menit



Ekstremitas: o Capillary Refill Time < 2 detik, akral hangat (+/+/+/+) o Sianosis (-/-/-/-) o Edema (-/-/-/-) Kulit 



Turgor baik, Jaundice (+) hingga abdomen



Genitourinaria: dalam batas normal



IV.



RESUME Pasien bayi laki-laki usia 10 hari, datang ke IGD RSU Ganesha dengan keluhan badan terlihat kuning sejak 3 hari lalu. Kuning pertama kali terlihat oleh orangtua pasien pada mata, dan kemudian menyebar ke batang tubuh. Keluhan lain disangkal oleh orangtua pasien. Pasien lahir dari ibu P2 A0, usia gestasi 39-40 minggu, lahir secara secara spontan pervaginam. Selama kehamilan tidak terdapat faktor risiko sepsis. Sejak lahir pasien hanya konsumsi ASI. Keluhan serupa pada anak pertama saat usia 1 minggu.



Pemeriksaan fisik yang didapatkan: Kesadaran Compos Mentis, Nadi 120 x/menit, suhu aksila 36.5 ºC, frekuensi pernapasan 26 x/menit. Pada pemeriksaan fisik mata didapatkan sclera ikterik (+/+), kulit jaundice (+) hingga abdomen.



V.



PEMERIKSAAN PENUNJANG Darah Lengkap • Pemeriksaan darah, dilakukan 24/6/2018



VI.



Parameter



Hasil



Nilai rujukan



Satuan



Bilirubin direk



0.44



< 0.2



Mg/dl



Bilirubin indirek



12.16



5 mg/dl per hari). Kadar bilirubin pada jaundice fisiologis pada umumnya dapat kembali normal dengan sendirinya tanpa pengobatan sekalipun. Meskipun demikian, tetap diperlukan pemantauan secara berkala karena komplikasi dari kondisi ini cukup berbahaya. Jaundice non-fisiologis pada umumnya membutuhkan pengobatan berupa fototerapi. Dalam mendiagnosis neonatal jaundice, penting untuk mengetahui penyebab dari jaundice tersebut. Oleh karena itu, selain riwayat penyakit bayi, perlu juga digali mengenai riwayat persalinan dan kehamilan dari ibu, serta riwayat penyakit pada keluarga.



Daftar Pustaka 1. Porter ML, Dennis BL. Hyperbilirubinemia In Term Newborn. Am Fam Physician. 2002 Feb 15;65(4):599–606. 2. Gleason CA, Devaskar SU, Avery ME. Avery’s diseases of the newborn. 9th edition. Philadelphia, PA: Elsevier/Saunders; 2012. 3. Sabeena Setia, Andrés Villaveces, Preet Dhillon, Beth A. Mueller. JAMA Network | JAMA Pediatrics | Neonatal Jaundice in Asian, White, and Mixed-Race Infants [Internet]. 2002 [cited 2015 Mar 22]. Available from: http://archpedi.jamanetwork.com/article.aspx?articleid = 191624 4.



Robert M. Kliegman. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th Edition. Philadelphia, PA:Elservier/Saunders;2011



5.



John P Cloherty, Eric C, Ann R. Manual of neonatal care. 6th edition. Lippincott Williams & Wilkins; 2008



6. Porter ML, Dennis BL. Hyperbilirubinemia in the term newborn. American family physician. 2002.