Obstruksi Jaundice [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LEMBAR PENGESAHAN REFERAT OBSTRUKSI JAUNDICE



Referat dengan judul “Obstruksi Jaundice” telah diperiksa dan disetujui sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepanitraan Dokter Muda di bagian Bedah.



Surabaya, 3 Maret 2020



dr.Heru Seno W, Sp.B (K) BD



1



DAFTAR ISI



DAFTAR ISI........................................................................................................2 BAB I.................................................................................................................2 PENDAHULUAN.................................................................................................2 BAB II................................................................................................................3 TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................3 2.1 Definisi.................................................................................................................3 2.2 Epidemiologi........................................................................................................4 2.3 Gejala Obstruksi Jaundice....................................................................................4 2.4 Penyebab Obstruksi Jaundice...............................................................................5 2.5 DIagnosa Obstruksi Jaundice................................................................................6 2.5.1 Anamnesa..........................................................................................................6 2.5.2 Pemeriksaan Fisik..............................................................................................7 2.5.3 Pemeriksaan laboratorium................................................................................8 2.5.4 Pemeriksaan penunjang....................................................................................8 2.6 Anatomi Saluran Empedu...................................................................................11 2.7 Terapi dan tatalaksana.......................................................................................12 2.7.1 ERCP................................................................................................................12 2.7.2 PTBD............................................................................................................13 2.7.3 Bypass Biliodigestive..................................................................................16 2.7.4 Whipple Procedure Pancreaticoduodenoctomy.........................................16 2.8 Prognosis............................................................................................................18



BAB III.............................................................................................................19 PENUTUP.........................................................................................................19



2



BAB I



PENDAHULUAN Munculnya jaundice pada pasien selalu berhubungan dengan penyakit penting, meskipun hasil akhir jangka panjang bergantung pada penyebab yang mendasari jaundice. Jaundice adalah gambaran fisik sehubungan dengan gangguan metabolisme bilirubin. Kondisi ini biasanya disertai



dengan



gambaran



fisik



abnormal



lainnya



dan



biasanya



berhubungan dengan gejala-gejala spesifik. Jaundice merupakan manifestasi yang sering pada gangguan traktus biliaris. Serum bilirubin normal berkisar antara 0,5 – 1,3 mg/dL; ketika levelnya meluas menjadi 2,0 mg/dL, pewarnaan jaringan bilirubin menjadi terlihat secara klinis sebagai jaundice. Terdapat 3 jenis jaundice berdasarkan lokasi penyebabnya, yaitu jaundice prahepatik (hemolitik), jaundice



intrahepatik



(parenkimatosa),



dan



jaundice



ekstrahepatik



(obstruktif). Pada obstruktif jaundice, kemampuan produksi bilirubin adalah normal, namun bilirubin yang dibentuk tidak dapat dialirkan ke dalam usus melalui sirkulasi darah oleh karena adanya suatu sumbatan (obstruksi). Umumnya, non-obstruktif jaundice tidak membutuhkan intervensi bedah, sementara obstruktif jaundice biasanya membutuhkan intervensi bedah atau prosedur intervensi lainnya untuk pengobatan, sehingga sering disebut sebagai “surgical jaundice”, dimana morbiditas dan mortalitas sangat tergantung dari diagnosis dini dan tepat.



3



BAB II



TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Ikterus obstruktif adalah ikterus dengan bilirubin conjugated tinggi yang dapat bersifat akut atau kronik dengan dilatasi atau tanpa dilatasi saluran empedu yang disebabkan karena adanya hambatan dalam pengaliran empedu dari sel hati yang menuju duodenum, sehingga bilirubin menumpuk didalam aliran darah. 2.2 Epidemiologi Kasus obstruksi jaundice post-hepatik terbanyak mengenai usia 50 tahun-59 tahun sekitar 29,3%. A. Insidensi di Dunia Ikterus obstruktif dapat ditemukan pada semua kelompok umur. Insidens di Amerika Serikat diperikirakan mencapai 5 kasus per 1000



pasien.



Kasus



mengenai



obstruksi



jaundice



jenis



post-hepatik



kelamin



dapat laki-laki



dan perempuan dimana jenis kelamin laki-laki sebanyak 65,9%. Hatfield



et



al



melaporkan bahwa kasus



obstruktif



jaundice



terbanyak adalah 70% karena karsinoma caput pankreas, 8% pada batu common bile duct dan 2% karsinoma kandung empedu. B. Insidensi di RSPAL dr. Ramelan sub Department bedah digestive. Selama satu tahun rata-rata dilakukan 120 kali pembedahan untuk kasus obstruksi jaundice dengan distribusi kasus. 1) Batu choledocus / CBD 40% 2) Karsinoma kaput pancreas 25% 3) Tumor Ampula Vateri 12% 4) Cholangio Carcinoma 8%



4



5) Batu di Hartman potch 7% 6) Karsinoma Gallbladder 4% 7) Striktura choledokus 4% 2.3 Gejala Obstruksi Jaundice Manifestasi klinis yang dikeluhkan oleh pasien dengan ikterus obstruktif, bergantung pada jenis penyakit yang menyebabkan obstruksi sehingga menyebabkan terjadinya ikterus. Berikut ini merupakan manifestasi klinis yang secara umum dikeluhkan oleh pasien yang mengalami ikerus, yaitu berupa: 1) Warna kuning pada sklera mata, sublingual, dan jaringan lainnya Hal ini diakibatkan karena adanya peningkatan kadar bilirubin dalam plasma yang terdeposit pada jaringan ikat longgar, salah satu diantaranya adalah sklera dan sublingual. 2) Warna urin gelap seperti teh Adanya peningkatan kadar bilirubin direk yang larut dalam air, menyebabkan tingginya kadar bilirubin dalam plasma, sehingga kadar bilirubin yang berlebih dalam plasma tersebut akan diekskresikan melalui urin dan menyebabkan warna urin menjadi lebih gelap seperti teh. 3) Warna feses seperti dempul Perubahan warna feses menjadi dempul disebabkan karena berkurangnya ekskresi bilirubin ke dalam saluran pencernaan. 2.4 Penyebab Obstruksi Jaundice Penyebab obstruktif jaundice secara garis besar terbagi menjadi 2 bagian, yaitu obstruksi jaundice intrahepatik dan obstruktif jaundice ekstrahepatik. Obstruktif jaundice intrahepatik pada umumnya terjadi pada tingkat hepatosit atau membran kanalikuli bilier sedangkan obstruktif jaundice ekstrahepatik terjadinya jaundice disebabkan oleh karena sumbatan pada saluran atau organ diluar hepar. Adapun penyakit yang menyebabkan terjadinya obstruktif jaundice adalah sebagai berikut:



5



1. Obstruktif jaundice intrahepatik: Penyebab tersering obstruktif jaundice intrahepatik adalah hepatitis, penyakit hati karena alkohol, serta sirosis hepatis.



Peradangan



intrahepatik



mengganggu



ekskresi bilirubin



terkonjugasi dan menyebabkan ikterus (jaundice). 2. Obstruktif jaundice ekstrahepatik a. Kolelithiasis dan koledokolitiasis. Batu saluran empedu mengakibatkan retensi pengaliran bilirubin terkonjugasi kedalam saluran pencernaan sehingga mengakibatkan aliran balik bilirubin ke dalam plasma menyebabkan tingginya kadar bilirubin direk dalam plasma. b. Tumor ganas saluran empedu Insidens tumor ganas primer saluran empedu pada penderita dengan kolelithiasis dan tanpa kolelithiasis, pada penderita laki-laki dan perempuan tidak berbeda. Umur kejadian rata-rata 60 tahun, tetapi tidak jarang didapatkan pada usia muda. Jenis tumor kebanyakan adenokarsinoma pada duktus hepatikus atau duktus koledokus. c. Atresia bilier Terjadi



karena



proses



inflamasi



berkepanjangan



yang



menyebabkan kerusakan progresif pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan hambatan aliran empedu, sehingga terjadi peningkatan



kadar



bilirubin



direk.



Atresia



bilier



merupakan



penyebab kolestatis ekstrahepatik neonatal yang terbanyak. Terdapat dua jenis atresia biliaris, yaitu ekstrahepatik dan intrahepatik. Bentuk intrahepatik lebih jarang dibandingkan dengan ekstrahepatik. d. Tumor kaput pankreas Tumor eksokrin pankreas pada umumnya berasal dari sel duktus dan sel asiner. Sekitar 90% merupakan tumor ganas jenis adenokarsinoma duktus pankreas, dan sebagian besar kasus (70%) lokasi kanker adalah pada kaput pankreas. Pada stadium



6



lanjut,



kanker



kaput



pankreas



sering



bermetastasis



ke



duodenum,lambung, peritoneum, hati, dan kandung empedu. 2.5 DIagnosa Obstruksi Jaundice 2.5.1 Anamnesa  Riwayat ikterus yang terlihat dalam inspeksi bila kadar bilirubin serum > 2,5 mg/dl.  Perubahan warna urine, urine jadi gelap seperti warna teh.  Perubahan warna feses, menjadi pucat seperti dempul dalam minimal 3x pemeriksaan berturut-turut.  Riwayat anemia, terkadang kolelitiasis dapat disertai dengan anemia hemolitik.  Nyeri perut terutama di regio perut kanan atas, lebih sering diakibatkan oleh obstruksi mekanis. Kolik bilier merupakan gejala yang umum terjadi berupa nyeri hilang timbul pada area epigastrium (subxyphoid) yang menjalar ke subcostal dextra, scapula dextra, dan leher. Waktu munculnya nyeri pada obstruksi bilier terutama dirasakan setelah makan makanan berlemak yang diikuti mual, muntah.  Gejala anoreksia dan kaheksia lebih sering terjadi pada keganasan (Ca caput pankreas atau Ca hepar) daripada obstruksi batu bilier.  Demam. Pada obstruksi mekanik muncul setelah nyeri timbul. Sedangkan pada inflamasi demam muncul bersamaan dengan nyeri  Usia. Pada usia muda kebanyakan hepatitis, sedangkan usia tua lebih sering keganasan  Riwayat tansfusi darah, penggunaan jarum suntik bergantian, tatoo, promiskuitas, pekerjaan beresiko tinggi terhadap hepatitis B, pembedahan sebelumnya.  Makanan dan obat. Contohnya Clofibrate akan merangsang pembentukan batu empedu; alkohol, CCl4, makanan tinggi kolesterol juga akan merangsang pembentukan batu empedu. Disamping itu alkohol juga akan menyebabkan fatty liver disease.  Gejala-gejala sepsis lebih sering menyertai ikterus akibat sumbatan batu empedu, jarang pada keganasan.



7



 Gatal-gatal. Karena penumpukan bilirubin direk pada kolestasis. (Brunicardi, 2015)



2.5.2 Pemeriksaan Fisik  Ikterus: sklera atau kulit  Dicari stigmata sirosis (rontoknya rambut aksila dan pubis, spider naevi, gynekomastia, asites, caput medussae, palmar eritem, liver nail, pitting edema), scratch effect.  Hepar teraba atau tidak. Hepar membesar pada hepatitis, Ca hepar, obstruksi bilier, bendungan hepar akibat kegagalan jantung. Hepar mengecil pada sirosis.  Kandung empedu membesar atau tidak (Courvoisier sign). Positif bila kantung empedu tampak membesar, biasanya pada keganasan karena dilatasi kandung empedu. Negatif bila kantung empedu tidak tampak membesar, biasanya pada obstruksi batu karena adanya proses inflamasi pada dinding kantung empedu.  Murphy’s sign. Positif pada kolangitis, kolesistitis, koledokolelitiasis terinfeksi.



2.5.3 Pemeriksaan laboratorium  Pemeriksaan darah lengkap, amilase, albumin, faktor pembekuan, serum transaminase (SGOT/SGPT), AFP,



LDH,



Alkali Fosfatase, γ-Glutamil



Transpeptidase)  Urinalisis terutama bilirubin direk (terkonjugasi) dan total.  Marker serologis hepatitis untuk hepatitis. (Brunicardi, 2015)



2.5.4 Pemeriksaan penunjang 1.



Pemeriksaan USG Pemeriksaan



USG



perlu



dilakukan



untuk



menentukan



penyebab



obstruksi. Yang perlu diperhatikan adalah: a. Besar, bentuk dan ketebalan dinding kandung empedu. Bentuk kandung empedu yang normal adalah lonjong dengan ukuran 2–3x6cm, dengan ketebalan sekitar 3 mm. b. Saluran empedu yang normal mempunyai diameter 3 mm. Bila diameter saluran empedu lebih dari 5 mm berarti ada dilatasi. Bila ditemukan dilatasi 8



duktus koledokus dan saluran empedu intra hepatal disertai pembesaran kandung empedu menunjukan ikterus obstrusi ekstra hepatal bagian distal. Sedangkan bila hanya ditemukan pelebaran saluran empedu intra hepatal saja tanpa disertai pembesaran kandung empedu menunjukan ikterus obstruksi ekstra hepatal bagian proksimal artinya kelainan tersebut di bagian proksimal duktus sistikus. c. Ada tidaknya massa padat di dalam lumen yang mempunyai densitas tinggi disertai bayangan akustik (acustic shadow), dan ikut bergerak pada perubahan posisi, hal ini menunjukan adanya batu empedu. Pada tumor akan terlihat massa padat pada ujung saluran empedu dengan densitas rendah dan heterogen. d. Bila tidak ditemukan tanda-tanda dilatasi saluran empedu berarti menunjukan adanya ikterus obstruksi intra hepatal. e. Bertujuan untuk mencari dan menentukan ukuran lumen saluran bilier serta mencari ada atau tidaknya massa dalam kandung empedu. (Brunicardi, 2015)



2.



Pemeriksaan CT scan Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat adanya dilatasi duktus intra



hepatik yang disebabkan oleh oklusi ekstra hepatik dan duktus koledokus akibat kolelitiasis atau tumor pankreas. Selain itu juga ditujukan untuk mencari dan menentukan ukuran lumen saluran bilier serta mencari ada atau tidaknya massa dalam kandung empedu. (Brunicardi, 2015)



3.



Percutaneus Transhepatic Cholangiography (PTC) PTC dilakukan dengan melewatkan sebuah jarum melalui right lower rib



cage, parenkim hepar dan menuju lumen saluran empedu. Material kontras yang larut air diinjeksikan dan foto x-ray dilakukan.



Untuk melihat duktus biliaris serta untuk menentukan letak penyebab sumbatan. Dengan pemeriksaan ini dapat diperoleh gambaran saluran empedu di proksimal sumbatan. Bila kolestasis karena batu, akan memperlihatkan pelebaran pada duktus koledokus dengan didalamnya tampak batu radiolusen. Bila kolestasis karena tumor, akan tampak pelebaran saluran empedu utama (common bile duct) dan saluran



9



intrahepatik dan dibagian distal duktus koledokus terlihat ireguler oleh tumor. 4.



ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography)



 Merupakan tindakan langsung dan invasif untuk mempelajari traktus



biliaris



dan



system



duktus



pankreatikus.



Mendiagnosis dan mengobati kelainan atau gangguan yang terjadi pada pankreas, saluran empedu, dan kandung empedu. 



 ERCP merupakan kombinasi dari dua jenis pemeriksaan, yaitu endoskopi dan foto Rontgen 



Indikasi pemeriksaan ERCP, yaitu: Penderita ikterus yang tidak atau belum dapat ditentukan penyebabnya apakah sumbatan pada duktus biliaris intra atau ekstra hepatic, seperti: kelainan di kandung empedu, batu saluran empedu, striktur



saluran



empedu,



kista



duktus



koledokus.



Pemeriksaan pada penyakit pankreas atau diduga ada kelainan pancreas serta untuk menentukan kelainan, baik jinak ataupun ganas, seperti: keganasan pada sistem hepatobilier, pankreatitis kronis, tumor pancreas, metastase tumor ke sistem biliaris atau pancreas.  Adapun



kelainan



yang



tampak



dapat



berupa:



pada



koledokolitiasis, akan terlihat filling defect dengan batas tegas pada duktus koledokus disertai dilatasi saluran empedu.  Striktur atau stenosis dapat disebabkan oleh kelainan diluar saluran empedu yang menekan, misalnya kelainan jinak atau ganas. Striktur atau stenosis umumnya disebabkan oleh fibrosis akibat peradangan lama, infeksi kronis, iritasi oleh parasit, iritasi oleh batu, maupun trauma operasi.  Kelainan jinak ekstra duktal akan terlihat gambaran kompresi duktus koledokus yang berbentuk simetris. Tumor ganas 10



akan mengadakan kompresi pada duktus koledokus yang berbentuk ireguler  Tumor ganas intraduktal akan terlihat penyumbatan lengkap berupa empedu



ireguler



dan



bagian



menyebabkan



proksimal.



pelebaran



Pada



ERCP



saluran akan



tampak penyempitan saluran empedu bagian distal tumor.  Tumor kaput pankreas akan terlihat pelebaran saluran pankreas. Pada daerah obstruksi akan tampak dinding yang ireguler. 2.6 Anatomi Saluran Empedu



Kandung empedu (Gall bladder) adalah organ berbentuk pir yang melekat pada permukaan bawah hepar pada suatu sulkus yang memisahkan lobus kanan dan kiri hepar. Bagian fundus kandung empedu menonjol kira – kira 1 – 2 cm dibawah tepi hepar dan biasanya dapat dirasakan ketika duktus cysticus atau duktus choledocus mengalami obstruksi. Kandung empedu dapat menampung sebanyak 50 ml empedu ketika teregang secara maksimal. Bagian kolumna kandung empedu menyempit kemudian menjadi muara dari duktus cysticus dan menuju duktus choledocus. Lumen dari duktus cysticus mengandung septum mukosa tipis, spiral valve of Heister, yang berfungsi untuk resistensi aliran empedu. (Doherty GM, Way LW, 2006)



11



Pada ligamentum hepatoduodenal, arteri hepatika berada di kiri ductus choledocus dan vena porta berada posterior dan medial. Arteri hepatika dekstra biasanya berjalan dibelakang ductus hepatikus dan memberikan cabang arteri cysticus sebelum memasuki lobus dekstra hepar. (Doherty GM, Way LW, 2006) Bagian-bagian dari kandung empedu terdiri dari:  Fundus vesikafelea; bentuknya bulat, merupakan bagian kandung empedu yang paling akhir setelah korpus vesikafelea.  Korpus vesikafelea; merupakan bagian terbesar dari kandung empedu, didalamnya berisi getah empedu. Getah emepedu adalah suatu cairan yang disekresi setiap hari oleh sel hati yang dihasilkan setiap hari 500-1000 cc, sekresinya berjalan terus menerus, jumlah produksi meningkat sewaktu mencerna lemak.  Kolum; bagian yang sempit dari kandung empedu yang terletak antara korpus dan daerah duktus sistika.  Infundibulum; dikenal juga sebagai kantong Hartmann, merupakan bulbus divertikulum kecil yang terletak pada permukaan inferior dari kandung kemih  Duktus sistikus; yang menghubungkan kandung empedu ke duktus koledokus. Berjalan dari leher kandung empedu dan bersambung dengan duktus hepatikus membentuk saluran empedu ke duodenum.  Duktus hepatikus; saluran yang keluar dari leher.  Duktus koledokus; saluran yang membawa empedu ke duodenum (Sjamsuhidajat, 2010) Lapisan mukosa dari saluran empedu bervariasi dari epitel kubus hingga kolumnar. Sel kolumnar mukosa kandung empedu dilapisi oleh mikrovili pada permukaan luminalnya. Dinding kandung empedu memiliki sedikit otot polos yang seratnya tersusun secara longitudinal dan spiral. Pada akhir dari duktus choledocus tersusun atas otot spinchter. (Doherty GM, Way LW, 2006) Saluran empedu diinervasi oleh sistem parasimpatis dan simpatis. Serabut saraf afferen pada nervus simpatis yang memediasi rasa nyeri pada colic billier. (Doherty GM, Way LW, 2006)



12



2.7 Terapi dan tatalaksana 2.7.1 ERCP ERCP merupakan suatu perpaduan antara pemeriksaan endoskopi dan radiologi untuk mendapatkan anatomi dari sistim traktus biliaris (kolangiogram) dan sekaligus duktus pankreas (pankreatogram). Metode ini memerlukan alat radiologi dengan kemampuan tinggi, monitor televisi serta ketrampilan khusus dari ahli endoskopi. Prinsip teknik ERCP adalah mula-mula memasukkan endoskop "optik samping" sampai duodenum dan mencari papila Vateri yang merupakan muara bersama dari duktus koledokus dan dari duktus pankreatikus. Kemudian di- lakukan kanulasi dari muara papila dengan kateter yang dimasukkan melalui kanal skop. Selanjutnya media kontras disuntikkan melalui kateter tersebut sehingga didapatkan kolangiogram atau pankreatogram yang akan terlihat pada monitor televisi. Untuk penilaian dan dokumentasi lalu dibuat beberapa foto dalam beberapa posisi. Prinsip dari ERCP terapeutik adalah memotong sfingter papila Vateri dengan kawat yang dialiri arus listrik sehingga muara papila menjadi besar (spingterotomi endoskopik). Pada penderita dengan batu saluran empedu dengan kendala operasi dapat dikerjakan spingterotomi endoskopik dan pengeluaran batu dengan basket atau balon. Di luar negeri pembersihan saluran empedu sesudah pengeluaran batu dapat mencapai 80--90% dengan komplikasi dini 7--10% dan angka kematian 1--2% 2.7.2 PTBD Percutaneous drainase bilier transheptic (PTBD) adalah metode yang efektif untuk terapi primer maupun paliatif pada saluran empedu yang mengalami penyumbatan atau kerusakan dan menghambat drainase empedu normal. PTBD merupakan metode dekompresi sistem bilier yang diterapkan sebagai pengobatan paliatif pada pasien obstruksi sistema bilier ganas,



13



tetapi juga berpotensi sebagai pengobatan kuratif pada pasien obstruksi sistema bilier jinak. a. indikasi PTBD Adapun indikasi dilakukan PTBD yaitu obstruksi dari ductus biliaris sehingga dapat diketahui tingkat berat dan penyebab obstruksi, sebagai bentuk persiapan preoperatif yang dapat membantu operator mengetahui permasalahan duktus biliaris, trauma pada duktus biliaris dan sebagai jalan untuk pemasangan internal stent pada penderita dengan infeksi duktus biliaris (Cholangitis). a. Tehnik dan Prosedur Setelah melakukan pemeriksaan rutin darah, profilaksis antibiotik, premedikasi analgesik atau sedative, precautions steril, dan informed consent, kemudian dilakukan cholangiografi transhepatik menggunakan jarum halus diagnostik konvensional 21G. Jarum halus tersebut dilengkapi dengan panduan ultrasonografi menuju duktus biliaris kiri atau kanan yang mengalami dilatasi lewat parenkim liver. Pada semua prosedur, pasien diletakkan dalam posisi supine. Rute intercostal midaxillary dipilih untuk dekompresi dengan penyisipan jarum halus pada daerah kanan dan epigastrium ke dalam duktus biliaris. Setelah dilakukan pungsi pada duktus, radicle dari biliaris perifer diperjelas dengan injeksi 5mL kontras yang non-ionik, osmolaritas rendah, yang diencerkan. Setelah opasifikasi dari duktus biliaris, guidewire dengan panjang 60 cm, 0,018 inch dimasukkan lewat lumen dari jarum halus untuk akses menuju duktus biliaris yang telah dilakukan pungsi. Guidewire kemudian dimasukkan ke dalam hilum liver dan ke common bile duct. Jarum kemudian dilepas dan kateter triaxial set dimasukkan di atas guidewire. Setelah inner stylet dilepaskan, jarum berukuran 0,018 inch digantikan dengan guidewire hidrofilik dengan ujung J ukuran 0,035. Pada awalnya dilakukan rekanalisasi obstruksi duktus biliaris dengan guidewire yang dikombinasikan dengan berbagai macam kateter. Ketika rekanalisasi berhasil, kateter bilier yang didesain khusus



14



dengan ujung cincin dan banyak lubang, dimasukkan di atas guidewire untuk mencapai drainase bilier internal -external. Jika usaha pertama untuk melakukan rekanalisasi segmen yang mengalami obstruksi tidak berhasil,



digunakan



kateter



untuk



drainase



eksternal.



Setelah



mengeluarkan kurang lebih 20 mL cairan empedu, dilakukan pencitraan cholangiography dengan menyuntikkan 10 mL medium kontras non-ionik untuk memvisualisasikan bagian yang mengalami obstruksi serta memastikan posisi dari kateter. Drainase eksternal kemudian diubah menjadi drainase internalexternal dalam jangka waktu 5 hari setelah dekompresi duktus biliaris dan pengurangan edema. Kateter yang digunakan untuk drainase berukuran 8,5F. Kurang lebih 10 hari setelah PTBD, semua struktur ganas yang tidak dapat dilakukan operasi dilebarkan dengan menggunakan stent metal yang dapat dikembangkan dengan menggunakan balon kateter dengan ukuran yang sesuai (6 – 10 mm). Setelah drainase internal adekuat, seluruh katater dilepas sekitar 2 sampai 6 bulan setelah PTBD apabila terdapat perbaikan striktur setelah dilakukan cholangiogram. Dalam hal meningkatkan visualisasi



kateter drainase dan



mengevaluasi tingkat dan derajat obstruktif empedu selama PTBD, intrabiliary contrast enhanced ultrasound (IB-CEUs) dapat diandalkan dan mungkin menjadi pengganti potensial fluoroscopy cholangiografi (FC) pada prosedur PTBD. Ultrasound konvensional tidak bisa sepenuhnya menampilkan kateter drainase dan mengevaluasi saluran empedu karena terbatasnya



resolusi



kontras.



Oleh



karena



itu,



cholangiography



fluoroscopic (FC) biasanya dilakukan setelah prosedur PTBD yang dipandu ultrasound untuk menentukan posisi kateter drainase dan mengevaluasi tingkat dan derajat obstruksi bilier. b. Komplikasi Tingkat keberhasilan PTBD telah dilaporkan pada 90 % atau lebih, dan rata-rata terjadinya komplikasi yang telah dilaporkan sebesar 3% atau kurang. Namun, ketika diterapkan pada pasien dengan kondisi khusus (misalnya, saluran empedu yang tidak dilatasi, pasien setelah reseksi



15



hepar lobus kiri, pasien pasca transplantasi hepar ), PTBD memiliki potensi kesulitan teknis. Berbagai teknik telah dikembangkan sebagai terapi drainase bilier seperti



drainase



bilier



secara



endoskopi



retrograde



(endoscopic



retrograde biliary drainage/ERBD) dan drainase bilier perkutaneus transhepatik (percutaneous transhepatic biliary drainage/PTBD).5 Angka mortalitas terkait dengan prosedur sekitar 2 % dan mortalitas 30 hari setelah tindakan sekitar 13 %. Secara keseluruhan frekuensi kejadian infeksi pada ERBD dibandingkan PTBD adalah 48% vs 9%. Komplikasi terbanyak adalah kolangitis yang lebih sering terjadi secara signifikan pada kelompok ERBD. Komplikasi lain yang ditemukan adalah kolesistitis akut (ERBD), pankreatitis akut (ERBD), perforasi bilier dan duodenum (ERBD), serta hemobilia pada kelompok PTBD. Tingginya angka komplikasi infeksi pada kelompok ERBD menyebabkan pemanjangan lama perawatan pada mereka dalam kelompok tersebut. 2.7.3 Bypass Biliodigestive yaitu bila tumor tidak dapat direseksi atau pada batu dengan duktus koledokus yang fibrotic, pasase ke distal tidak lancer, batu intrahepatik, batu berupa lumpur. Yang sering dilakukan adalah Roux-en-Y koledoko jejunostomi.



16



2.7.4 Whipple Procedure Pancreaticoduodenoctomy. Dimana kantung empedu, CBD, sebagian duodenum dan kepala pancreas diangkat. Ada beberapa variasi Whipple procedure: 



Standard Whipple with lymph node dissection







Radical Whipple with lymph node dissection







Pylorus Preserving – preservasi dari pylorus







Klasik – 40% bagian dari gaster diangkat



17



18



2.8 Prognosis Obstruksi



jaundice



yang



tidak



dapat



dikoreksi



baik



secara



medis kuratif maupun tindakan pembedahan mempunyai prognosis yang jelek diantaranya akan timbul sirosis biliaris. Bila penyebabnya adalah tumor ganas mempunyai prognosis jelek. Penyebab morbiditas dan mortalitas adalah : a. Sepsis khususnya kolangitis yang menghancurkan parenkim hati. b. “Hepatic failure” akibat obstruksi kronis saluran empedu. c. “Renal failure”. d. Perdarahan gastro intestinal



19



BAB III



PENUTUP



Obstruksi jaundice terjadi krn adanya sumbatan sistem saluran empedu disebabkan oleh batu saluran empedu,Batu kantung empedu yg besar



,peradangan



saluran



empedu/Cholangitis,karsinoma



saluran



empedu/Cholangio Ca,karsinoma gall blader ,karsinoma kaput pankreas dan juga str iktura saluran empedu. Gejala obstruksi jaundice diawali mata kuning,diikuti kuning diseluruh tubuh dan gatal gatal pada kulit.kuning bisa hilang timbul atau menetap dan progresip,serning diikuti perubahan warna BAK seperti teh pekat,dan perubahan warna BAB pucat seperti dempul,kalo ada infeksi diikuti dengan nyeri perut kanan atas tembus ke punggung,nyeri krn infeksi empedu biasanya durasinya sangat lama,juga disrtai demam tinggi dan mebggigil,pada kasus keganasan biasanya disamping kuning diikuti penurunan napsu makan,mual muntah,penurunan berat badan,dan perasaan lesu.riwayat penyakit kuning aebelumnya juga harus ditanyakan. Penanganan obstruksi jaundice yabg terbaik adalah dengan mengatasi dulu obstruksi saluran empedu dengan prosedure ERCP dan pemadabgan stent saluran empedu,setelah itu dilanjutkan operasi definitip berupa whiple prosedure,bypass bilio digestive,ataupun drainage bilier dengan PTBD,selain itu juga obat obatan yg memperbaiki fungsi hati



20



DAFTAR PUSTAKA



Eroschenko, Victor P. Dygestive system: liver, gall bladder, and pancreas. In: Difiore’s atlas of histology with functional correlations. 11 th Ed. USA: Lippincott Williams &Wilkins; 2012.5 Https://www.



Paniro



togana



junisar.academia.edu/



36639969/REFERAT_IKTERUS_OBSTRUKTIF Pedoman interpretasi data klinik. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia;2016.p15-26, 56-62 Silbernagl S, Lang F. Teks & atlas berwarna patofisiologi. Jakarta: Penerbitan buku kedokteran EGC; 2013.p.140,166.10 Sjamsuhidajat, R. Buku ajar ilmu bedah. 3 th Ed. Jakarta: Penerbitan buku kedokteran EGC; 2015.p254-7,663-7,672-82,717-82.9 Snell,



Richard



S.



Anatomi



klinik.



6th



Ed. Jakarta: Penerbitan buku kedokteran EGC;2013.p.240-7, 288-91.4 Sulaiman, Ali. Pendekatan klinis pada pasien ikterus. In: Aru W Sudoyo, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam Jilid 1. 5 th Ed. Jakarta: Penerbitan FKUI; 2012.p.420-3.2



21