Laporan Kasus Spondilosis Lumbalis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Laporan Kasus



SPONDILOSIS LUMBAR



Oleh: Abi Rafdi



04011281320013



Maria Lisa Wiajayanti



04011181320015



Pembimbing: dr. Haidar Nasution



DEPARTEMEN REHABILITASI MEDIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG 2017



2



HALAMAN PENGESAHAN



Laporan kasus berjudul:



SPONDILOSIS LUMBAR



Oleh: Devi Agustini Rahayu, S.Ked



04011181320013



Vita Arya Utami, S.Ked



04011181320014



telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikutiKepaniteraan Klinik di Bagian/ Departemen Rehabilitasi Medik Fakultas Kedokteran Univesitas Sriwijaya/ RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 6 Maret s.d. 22 Maret 2017.



Palembang, Maret 2017 Pembimbing,



dr. Haidar Nasution



3



KATA PENGANTAR Segala puji penyusun haturkan kepada Tuhan YME yang selalu memberikan rahmat kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan kasus berjudul “Bell’s Palsy” ini tepat sesuai dengan jadwal yang telah diberikan. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang membantu dalam penulisan referat ini, terutama kepada dr. Haidar Nasution sebagai pembimbing penulisan laporan kasus ini. Dengan penulisan laporan kasus ini, penulis berharap semua pihak yang membaca dapat lebih memahami paralisis nervus fascialis sehingga dapat bermanfaat bagi calon dokter umum khususnya serta bagi kesehatan masyarakat secara umum.



Palembang, Maret 2017



Penulis



4



DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................................................. 1 HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................... 2 KATA PENGANTAR ............................................................................................... 3 DAFTAR ISI ............................................................................................................. 4 BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 5 BAB II STATUS PASIEN ........................................................................................ 6 BAB III TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 17 BAB IV ANALISIS MASALAH .............................................................................. 31 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 33



5



BAB I PENDAHULUAN 1.1



Latar Belakang Masalah Spondilo berasal dari bahasa Yunani yang berarti tulang belakang. Spondilosis



lumbalis dapat diartikan perubahan pada sendi tulang belakang dengan ciri khas bertambahnya degenerasi discus intervertebralis yang diikuti perubahan pada tulang dan jaringan lunak, atau dapat berarti pertumbuhan berlebihan dari tulang (osteofit), yang terutama terletak di aspek anterior, lateral, dan kadang-kadang posterior dari tepi superior dan inferior vertebra centralis (corpus). 1,2 Spondilosis lumbalis muncul pada 27-37% dari populasi yang asimtomatis.Di Amerika Serikat, lebih dari 80% individu yang berusia lebih dari 40 tahun mengalami spondilosis lumbalis, meningkat dari 3% pada individu berusia 20-29 tahun. Di dunia, spondilosis lumbal dapat mulai berkembang pada usia 20 tahun. Hal ini meningkat, dan mungkin tidak dapat dihindari, bersamaan dengan usia. Kira-kira 84% pria dan 74% wanita mempunyai osteofit vertebralis, yang sering terjadi setinggi T9-10. Kira-kira 30% pria dan 28% wanita berusia 55-64 tahun mempunyai osteofit lumbalis. Kira-kira 20% pria dan 22% wanita berusia 45-64 tahun mengalami osteofit lumbalis.2



Rasio jenis kelamin pada keadaan ini bervariasi, namun hampir sama secara bermakna. Spondilosis lumbalis ini sendiri muncul sebagai fenomena penuaan yang tidak spesifik. Kebanyakan penelitian menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara spondilosis dengan gaya hidup, berat badan, tinggi badan, massa tubuh, aktivitas fisik, merokok dan konsumsi alkohol, atau riwayat reproduksi.2



6 Spondilosis lumbalis sering bersifat asimtomatis, sehingga kita sebagai dokter sangat perlu untuk mengetahui patogenesis, gejala klinis yang sering tampak serta pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang untuk dapat menegakkan diagnose dan memberikan penanganan yang tepat.



7



BAB II STATUS PASIEN IDENTIFIKASI



I.



a.



Nama



: Ny. Indrawati binti Mamiel



b.



Umur



: 65 tahun



c.



Jenis Kelamin



: Perempuan



d.



Pekerjaan



: Ibu Rumah Tangga



e.



Alamat



: Jl. Angkatan 45 lorong harapan, Palembang



f.



Agama



: Islam



g.



Kunjungan



: 10 Maret 2017



h.



No. MedRec



: 993134



ANAMNESIS a.



Keluhan Utama Nyeri pinggang belakang dan menjalar ke kedua paha belakang.



b.



Riwayat Penyakit Sekarang OS mengeluh nyeri pinggang setiap saat sejak 3 bulan yang lalu. Nyeri pinggang awalnya muncul setelah mengangkat beban berat. Nyeri menjalar ke kedua paha belakang. Nyeri terasa seperti ditusuk-tusuk dan ngilu. Nyeri bertambah hebat jika beraktivitas berat seperti mencuci baju sambil jongkok, mengangkat barang di rumah, berjalan cukup jauh, saat akan berdiri, dan saat duduk terlalu lama. Nyeri berkurang saat OS istirahat dan tidur terlentang. Tidak ada keluhan berkemih. Kemudian pasien berobat ke Poliklinik Rehabilitas Medik RSMH.



c.



Riwayat Penyakit/ Operasi Dahulu - Riwayat trauma



: disangkal



- Riwayat hipertensi



: disangkal



- Riwayat diabetes mellitus



: disangkal



- Riwayat penyakit jantung



: disangkal



- Riwayat kejang



: disangkal



- Riwayat asma



: disangkal



8 d.



Riwayat Penyakit pada Keluarga - Riwayat hipertensi



: disangkal



- Riwayat diabetes mellitus



: disangkal



- Riwayat penyakit jantung



: disangkal



- Riwayat alergi obat/ makanan : disangkal - Riwayat asma



e.



: disangkal



Riwayat Pekerjaan Pasien adalah ibu rumah tangga yang sehari-hari rutin mengerjakan aktivitas rumah tangga seorang diri.



f.



Riwayat Sosial Ekonomi Suami pasien sudah meninggal, pasien tinggal di rumah sendiri bersama anak dan menantunya yang sudah bekerja. Anak pasien bekerja sebagai pegawai administrasi rumah sakit dengan penghasilan > Rp. 1.200.000,00 /bulan. Pasien berobat dengan jaminan kesehatan BPJS. Kesan: ekonomi menengah.



II.



PEMERIKSAAN FISIK a.



Pemeriksaan Umum Keadaan umum



: baik



Kesadaran



: GCS 15 (E4 M6 V5)



Tinggi Badan/ Berat Badan



: 150 cm/ 60 kg



Cara berjalan/ Gait - Antalgik gait



: tidak ada



- Hemiparese gait



: tidak ada



- Steppage gait



: tidak ada



- Parkinson gait



: tidak ada



- Tredelenburg gait



: tidak ada



- Waddle gait



: tidak ada



- Lain-lain



: tidak ada



Bahasa/ bicara Komunikasi verbal



: baik



Komunikasi non verbal



: baik



BMI: 26,67



9



Tanda vital Tekanan Darah



: 130/80 mm/Hg



Nadi



: 84x/menit, isi cukup irama teratur



Pernafasan



: 20x/menit



Suhu



: 36,4oC



Kulit



: tidak ada kelainan



Status Psikis



b.



Sikap



: kooperatif



Orientasi



: baik



Ekspresi wajah



: normal



Perhatian



: baik



Saraf-saraf Otak Nervus



Kanan



Kiri



I.



N. Olfaktorius



Tidak dilakukan



Tidak dilakukan



II.



N. Opticus



Tidak dilakukan



Tidak dilakukan



III.



N. Occulomotorius



Tidak dilakukan



Tidak dilakukan



IV.



N. Trochlearis



Tidak dilakukan



Tidak dilakukan



V.



N. Trigeminus



Tidak dilakukan



Tidak dilakukan



VI.



N. Abducens



Tidak dilakukan



Tidak dilakukan



VII. N. Fasialis



Tidak dilakukan



Tidak dilakukan



VIII. N. Vestibulocochlearis



Tidak dilakukan



Tidak dilakukan



IX.



N. Glossopharyngeus



Tidak dilakukan



Tidak dilakukan



X.



N. Vagus



Tidak dilakukan



Tidak dilakukan



XI.



N. Accesorius



Tidak dilakukan



Tidak dilakukan



Tidak dilakukan



Tidak dilakukan



XII. N. Hypoglossus



c.



Kepala Bentuk



: normal, simetris



Ukuran



: normo cephali



Posisi - Mata



: normal, simetris



- Hidung



: normal, simetris



- Telinga



: normal, simetris



10



d.



- Mulut



: normal, simetris



- Wajah



: simetris



gerakan abnormal : tidak ada



Leher Inspeksi



: simetris, struma (-), trakea di tengah



Palpasi



: pembesaran kelenjar getah bening (-), kaku kuduk (-), tumor (-), JVP 5-2 cm H2O



Luas Gerak Sendi Ante /retrofleksi



(n 65/50) : 65/50



Laterofleksi (D/S) (n 40/40) : 40/40 Rotasi (D/S)



(n 45/45) : 45/45



Tes Provokasi



e.



Lhermitte test/ Spurling



: tidak dilakukan Test Valsava : tidak dilakukan



Distraksi test



: tidak dilakukan Test Nafziger: tidak dilakukan



Thorax Bentuk



: simetris



Pemeriksaan Ekspansi Thoraks



: Eks. maksimum cm Ins. Maksimum cm (tidak dilakukan)



Paru-paru - Inspeksi - Palpasi



: statis dinamis simetris kanan kiri, retraksi (-) : stem fremitus kanan = kiri, pelebaran sela iga (-), krepitasi (-), nyeri tekan (-)



- Perkusi



: sonor di kedua lapangan paru



- Auskultasi



: vesikuler (+), normal, ronkhi (-), wheezing (-)



Jantung - Inspeksi



: ictus cordis tidak terlihat



- Palpasi



: ictus cordis tidak teraba



- Perkusi



: batas jantung dalam batas normal



- Auskultasi



: bunyi jantung I dan II (+) normal, HR 87x/menit reguler, murmur (-), gallop (-)



f.



Abdomen - Inspeksi



: datar, tidak terlihat massa, venektasi (-), scar(-)



- Palpasi



: nyeri tekan (-), lemas, hepar dan lien tidak teraba



- Perkusi



: timpani, shifting dullnes (-)



11 - Auskultasi g.



: bising usus (+) normal



Trunkus Inspeksi - Simetris



: simetris



- Deformitas



: tidak ada



- Lordosis



: tidak ada



- Scoliosis



: tidak ada



- Gibbus



: tidak ada



- Hairy spot



: tidak ada



- Pelvic tilt



: tidak ada



Palpasi - Spasme otot-otot para vertebrae: ada (+) - Nyeri tekan (lokasi)



:ada (+) pada otot-otot para lumbal



Luas gerak sendi lumbosakral - Ante/retro fleksi (95/35)



: 95/35



- Laterofleksi (D/S) (40/40)



: 40/40



- Rotasi (D/S) (35/35)



: 35/35



Test provokasi



: tidak dilakukan



- Valsava test



:



Tes Laseque :



Test: Baragard dan Sicard



:



- Niffziger test



:



Test LSR



:



Test: O’Connell



:



- FNST



:



Test Patrick



:



Test Kontra Patrick



:



- Tes gaernslen



:



Test Thomas :



Test Ober’s



:



- Nachalasknee flexion test :



Mc.Bride sitting test



- Yeoman’s hyprextension :



Mc. Bridge toe to mouth sitting test :



- Test schober h.



:



:



Anggota Gerak Atas Inspeksi



kanan



kiri



- Deformitas



:



tidak ada



tidak ada



- Edema



:



tidak ada



tidak ada



- Tremor



:



tidak ada



tidak ada



- Nodus herbenden



:



tidak ada



tidak ada



Palpasi



12 Neurologi Motorik Gerakan Kekuatan Abduksi lengan Fleksi siku Ekstensi siku Ekstensi wrist Fleksi jari-jari tangan Abduksi jari tangan Tonus Tropi Refleks Fisiologis Refleks tendon biseps Refleks tendon triseps Refleks Patologis Hoffman Tromner Sensorik Protopatik Proprioseptik Vegetatif



Dextra Normal (luas)



Sinistra Normal (luas)



5 5 5 5 5 5 Eutoni Eutropi



5 5 5 5 5 5 Eutoni Eutropi



Normal Normal



Normal Normal



Tidak ada Tidak ada



Tidak ada Tidak ada



Normal Normal Tidak ada kelainan



Penilaian fungsi tangan Anatomical Grips Spread Palmar abduct Pinch Lumbrical



Kanan normal normal normal normal normal normal



Kiri normal normal normal normal normal normal



Abduksi Bahu Adduksi Bahu Fleksi bahu Extensi bahu Endorotasi bahu (f0) Eksorotasi bahu (f0) Endorotasi bahu (f90)



Aktif Dextra 0-180 0-60 0-180 0-60 0 0 90



Aktif Sinistra 0-180 0-60 0-180 0-60 0 0 90



Pasif Dextra 0-180 0-60 0-180 0-60 0 0 90



Pasif Sinistra 0-180 0-60 0-180 0-60 0 0 90



Eksorotasi bahu (f90) Fleksi siku Ekstensi siku Ekstensi pergelangan tangan Fleksi pergelangan tangan Supinasi Pronasi



90 0-150 0-5 0-70 0-80 0-90 0-90



90 0-150 0-5 0-70 0-80 0-90 0-90



90 0-150 0-5 0-70 0-80 0-90 0-90



90 0-150 0-5 0-70 0-80 0-90 0-90



Luas Gerak Sendi



Test Provokasi



kanan



kiri



13 i.



Yergason test Apley scratch test Moseley test Adson maneuver Tinel test Phalen test Prayer test Finkelstein Promet test



Anggota Gerak Bawah Inspeksi - Deformitas - Edema - Tremor Palpasi - Nyeri tekan (lokasi) - Diskrepansi



: : : : : : : : :



tidak dilakukan tidak dilakukan tidak dilakukan tidak dilakukan tidak dilakukan tidak dilakukan tidak dilakukan tidak dilakukan tidak dilakukan



tidak dilakukan tidak dilakukan tidak dilakukan tidak dilakukan tidak dilakukan tidak dilakukan tidak dilakukan tidak dilakukan tidak dilakukan



: : :



kanan tidak ada tidak ada tidak ada



kiri tidak ada tidak ada tidak ada



: hamstring dan gluteus (+) : tidak ada



Neurologi Motorik Gerakan Kekuatan Fleksi paha Ekstensi paha Ekstensi lutut Fleksi lutut Dorsofleksi pergelangan kaki Dorsofleksi ibu jari kaki Plantar fleksi pergelangan kaki Tonus Tropi Refleks Fisiologis Refleks tendo patella Refleks tendo Achilles Refleks Patologis Babinsky Chaddock Sensorik Protopatik Proprioseptik Vegetatif Luas Gerak Sendi Luas Gerak Sendi Fleksi paha Ekstensi paha Endorotasi paha Adduksi paha



Aktif Dextra 0-120 0-30 0-45 0-30



hamstring dan gluteus(+) tidak ada



kanan Luas



Kiri Luas



5 5 5 5 5 5 5 Eutoni Eutropi



5 5 5 5 5 5 5 Eutoni Eutropi



Normal Normal



Normal Normal



Tidak ada Tidak ada



Tidak ada Tidak ada



Normal Normal Tidak ada Kelainan



Aktif Sinistra 0-120 0-30 0-45 0-30



Pasif Dextra 0-120 0-30 0-45 0-30



Pasif Sinistra 0-120 0-30 0-45 0-30



14 Abduksi paha Fleksi lutut Ekstensi lutut Dorsofleksi pergelangan kaki Plantar fleksi pergelangan kaki Inversi kaki Eversi kaki



0-40 0-130 0-20 0-20 0-50 0-35 0-15



Tes Provokasi Sendi Lutut Stes test Drawer’s test Test tunel pada sendi lutut Test homan Test lain-lain



0-40 0-130 0-20 0-20 0-50 0-35 0-15



kanan tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada



0-40 0-130 0-20 0-20 0-50 0-35 0-15 kiri tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada



III. Pemeriksaan-pemeriksaan lainnya Pemeriksaan refleks-refleks primitive pada anak-anak dengan gangguan SSP Righting reaction



: Tidak dilakukan



Reaksi keseimbangan : Tidak dilakukan Pemeriksaan lainnya



: Tidak dilakukan



Bowel test/bladder test -



Sensorik peri anal



: Tidak dilakukan



-



Motorik sphincter ani eksternus



: Tidak dilakukan



-



BCR (Bulbocavernosis Refleks)



: Tidak dilakukan



Fungsi Luhur -



Afasia



: Tidak ada



-



Apraksia



: Tidak ada



-



Agrafia



: Tidak ada



-



Alexia



: Tidak ada



IV. Pemeriksaan Penunjang A.



Radiologis



:



- Kurva lordosis kolumna vertebralis berkurang -



Tak tampak fraktur dan listesis



-



Densitas tulang menurun dan trabekulasi tulang kasar



-



Tampak spur anterior dan lateral di seluruh vertebral lateralis



0-40 0-130 0-20 0-20 0-50 0-35 0-15



15 -



Tak tampak lesi litik/blastik. Pedikel intak



-



Diskus intervertebralis L4-L5 menyempit. Kesan: Spondilitis Lumbalis (Lumbal spasme ringan, spondiloarthrosis, dan osteoporosis lumbalis).



V.



B.



Laboratorium



: tidak ada



C.



Lain-lain CT-Scan/ MRI



: tidak ada



RESUME Seorang ibu rumah tangga berusia 65 tahun datang ke poli rehabilitasi medik RSMH dengan keluhan nyeri pada pinggang bawah menjalar ke kedua paha belakang. Pasien mengeluh nyeri pinggang setiap saat sejak 3 bulan yang lalu. Nyeri pinggang awalnya muncul setelah mengangkat beban berat. Nyeri menjalar ke kedua paha belakang. Nyeri terasa seperti ditusuk-tusuk dan ngilu. Nyeri bertambah hebat jika beraktivitas berat seperti mencuci baju sambil jongkok, mengangkat barang di rumah, berjalan cukup jauh, saat akan berdiri, dan saat duduk terlalu lama. Nyeri berkurang saat istirahat dan tidur terlentang. Tidak ada keluhan berkemih. Pada pemeriksaan fisik didapatkan: Sensorium



: compos mentis



Tekanan Darah



: 130/80 mm/Hg



Nadi



: 84x/menit, isi cukup irama teratur



Pernafasan



: 20x/menit



Suhu



: 36,4oC



BB



: 60 kg



TB



: 150 cm



BMI



: 26,67 kg/m2



Pada status lokalis trunkus didapatkan spasme otot vertebra dan nyeri tekan pada regio lumbal, kedua hamstring dan gluteal. Pada pemeriksaan provokasi didapatkan Laseque test (+), Baragard dan Sicard test (+), Patrick test (+/+), kontra patrick test (-/-). Pada pemeriksaan penunjang foto lumbosacral AP/lateral didapatkan kurva lordosis kolumna vertebralis berkurang, densitas tulang menurun dan trabekulasi tulang kasar, tampak spur anterior dan lateral di seluruh vertebral lateralis, diskus intervertebralis L4-L5 menyempit.



Dengan



kesan



spondilosis



spondiloarthrosis, dan osteoporosis lumbalis).



lumbalis



(Lumbal



spasme



ringan,



16



VI. EVALUASI No 1



Level ICF



Kondisi saat ini



Sasaran



Struktur dan OS mengalami LBP ec



Mengurangi nyeri pinggang



fungsi tubuh spondilosis lumbalis L4-L5



yang menjalar ke kedua paha



yang menyebabkan nyeri



belakang.



pinggang belakang menjalar ke kedua paha belakang. 2



Aktivitas



Terdapat gangguan atau



Meningkatkan kemampuan



keterbatasan dalam



pasien untuk dapat beraktivitas



beraktivitas seperti mencuci



secara normal sehari-hari.



baju sambil jongkok, mengangkat barang di rumah, berjalan cukup jauh, saat akan berdiri, dan saat duduk terlalu lama akibat nyeri pada pinggang. 3



Partisipasi



Gangguan nyeri pada pinggang Os dapat berpartisipasi dalam menyebabkan



kegiatan sosial dengan



ketidaknyamanan dalam



meningkatkan kepercayaan diri



kegiatan sosial, seperti tidak



pasien dan kemampuan



dapat pergi ke pasar jika



berinteraksi dengan sesama.



terlalu lama. Catatan: ICF International Clasification of Function (WHO 2002)



DIAGNOSIS KLINIS Diagnosis: LBP ec Spondilosis Lumbalis



VII. PROGRAM REHABILITASI MEDIK



17 Fisioterapi Terapi Panas



: SWD selama 10-15 menit 2x/minggu



Terapi Dingin



: tidak dilakukan



Stimulasi Listrik



: TENS selama 10 menit



Terapi Latihan



: William flexion exercise McKenzie exercise



Okupasi Terapi ROM Exercise



: Tidak ada



ADL Exercise



: Tidak ada



Ortotik Prostetik Ortotic



: Tidak diperlukan



Prostetik



: Tidak diperlukan



Alat bantu ambulansi



: Tidak diperlukan



Terapi Wicara Afasia



: Tidak Diperlukan



Disartria



: Tidak Diperlukan



Disfagia



: Tidak Diperlukan



Social Medik



: Memberikan edukasi keluarga untuk merawat dan membantu penderita untuk menjalankan terapinya.



Edukasi



:



- Membatasi aktivitas yang menyebabkan nyeri pada punggung dan paha -



Tidak mencuci baju sambil jongkok, jangan mengangkat barang di rumah, jangan berjalan jauh, tidak duduk terlalu lama.



-



Jangan duduk di kursi pendek, jangan duduk di lantai, tidur di kasur yang empuk.



-



Melakukan terapi latihan yang disarankan beberapa kali dalam sehari, terutama di pagi hari saat bangun tidur



-



Rutin melakukan fisioterapi di rumah sakit.



18 VIII. TERAPI MEDIKA MENTOSA



IX.



X.



-



Natrium diklofenak 50 mg setiap 12 jam diminum setelah makan



-



Omeprazole kapsul 20 mg setiap 24 jam



PROGNOSA -



Medik



: dubia ad bonam



-



Fungsional



: dubia ad bonam



FOLLOW UP (tidak dilakukan)



BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1



Anatomi Columna vertebralis merupakan poros tulang rangka tubuh yang memungkinkan



untuk bergerak. Terdapat 33 columna vertebralis, meliputi 7 columna vertebra cervical, 12 columna vertebra thoracal, 5 columna vertebra lumbal, 5 columna vertebra sacral dan 4 columna vertebra coccygeal. Vertebra sacral dan cocygeal menyatu menjadi sacrum-coccyx pada umur 20 sampai 25 tahun. Columna vertebrales juga membentuk saluran untuk spinal cord. Spinal cord merupakan struktur yang Sangat sensitif dan penting karena menghubungkan otak dan sistem saraf perifer.3 Canalis spinalis dibentuk di bagian anterior oleh discus intervertebralis atau corpus vertebra, di lateral oleh pediculus, di posterolateral oleh facet joint dan di posterior oleh lamina atau ligament kuning. Canalis spinalis mempunyai dua bagian yang terbuka di lateral di tiap segmen, yaitu foramina intervertebralis.2



19 Recessus lateralis adalah bagian lateral dari canalis spinalis. Dimulai di pinggir processus articularis superior dari vertebra inferior, yang merupakan bagian dari facet joint. Di bagian recessus inilah yang merupakan bagian tersempit. Setelah melengkung secara lateral mengelilingi pediculus, lalu berakhir di caudal di bagian terbuka yang lebih lebar dari canalis spinalis di lateral, yaitu foramen intervertebralis. Dinding anterior dari recessus lateralis dibatasi oleh discus intervertebralis di bagian superior, dan corpus verterbralis di bagian inferior. 2 Dinding lateral dibentuk oleh pediculus vertebralis. Dinding dorsal dibatasi oleh processus articularis superior dari vertebra bagian bawah, sampai ke bagian kecil dari lamina dan juga oleh ligamen kuning (lamina). Di bagian sempit recessus lateralis, dinding dorsalnya hanya dibentuk oleh hanya processus lateralis, dan perubahan degeneratif di daerah inilah mengakibatkan kebanyakan penekanan akar saraf pada stenosis spinalis lumbalis. 2 Akar saraf yang berhubungan dengan tiap segmen dipisahkan dari kantong dura setinggi ruang intervertebra lalu melintasi recessus lateralis dan keluar dari canalis spinalis satu tingkat dibawahnya melalui foramina intervertebralis. Di tiap-tiap titik ini dapat terjadi penekanan.



Gambar 1. Columna Vertebralis



20



Gambar 2. Struktur Columna Vertebralis Lumbal



3.2



Definisi Spondilo berasal dari bahasa Yunani yang berarti tulang belakang. Spondilosis lumbalis



dapat diartikan perubahan pada sendi tulang belakang dengan ciri khas bertambahnya degenerasi discus intervertebralis yang diikuti perubahan pada tulang dan jaringan lunak, atau dapat berarti pertumbuhan berlebihan dari tulang (osteofit), yang terutama terletak di aspek anterior, lateral, dan kadang-kadang posterior dari tepi superior dan inferior vertebra centralis (corpus). Secara singkat, sponsylosis adalah kondisi dimana telah terjadi degenerasi pada sendi intervertebral yaitu antara diskus dan corpus vertebra dan ligamen (terutama ligamen flavum) (John J. Regan, 2010). Spondylosis adalah suatu kondisi degeneratif yang mempengaruhi tulang belakang pinggang, Tulang belakang di pengaruhi oleh penyempitan ruang (kanal spinal) yang berisi saraf (sumsum tulang belakang), menyebabkan berbagai masalah kesehatan mulai dari sakit punggung sampai masalah neurologis. Apabila semakin parah akan menyebabkan tekanan pada akar saraf dengan gangguan sensorik atau motorik seperti nyeri, parestesia atau kelemahan otot pada tungka.



3.3



Epidemiologi



21 BP menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralisis fasial akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden BP setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden BP rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Sedangkan di Indonesia, insiden BP secara pasti sulit ditentukan. Data yang dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bells palsi sebesar 19,55% dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21-30 tahun. BP mengenai lakilaki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya BP lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat. Tidak didapati juga perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin berlebihan.



3.4



Etiologi Spondylosis



lumbal



muncul



karena



proses



penuaan



atau



perubahan



degeneratif. Spondylosis lumbal banyak pada usia 30 – 45 tahun dan paling banyak pada usia 45 tahun. Kondisi ini lebih banyak menyerang pada wanita daripada laki-laki. Faktor-faktor resiko yang dapat menyebabkan spondylosis lumbal adalah (Bruce M. Rothschild, 2009). : a. Kebiasaan postur yang jelek b. Stress mekanikal akibat pekerjaan seperti aktivitas pekerjaan yang melibatkan gerakan mengangkat, twisting dan membawa/memindahkan barang. c. Tipe tubuh



3.5



Faktor Risiko



Ada beberapa faktor yang memudahkan terjadinya progresi degenerasi pada vertebra lumbal yaitu (Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009) : a. Faktor usia , beberapa penelitian pada osteoarthritis telah menjelaskan bahwa proses penuaan merupakan faktor resiko yang sangat kuat untuk degenerasi tulang



22 khususnya pada tulang vertebra. Suatu penelitian otopsi menunjukkan bahwa spondylitis deformans atau spondylosis meningkat secara linear sekitar 0% - 72% antara usia 39 – 70 tahun. Begitu pula, degenerasi diskus terjadi sekitar 16% pada usia 20 tahun dan sekitar 98% pada usia 70 tahun.



b. Stress akibat aktivitas dan pekerjaan, degenerasi diskus juga berkaitan dengan aktivitas-aktivitas tertentu. Penelitian retrospektif menunjukkan bahwa insiden trauma pada lumbar, indeks massa tubuh, beban pada lumbal setiap hari (twisting, mengangkat, membungkuk, postur jelek yang terus menerus), dan vibrasi seluruh tubuh (seperti berkendaraan), semuanya merupakan faktor yang dapat meningkatkan kemungkinan spondylosis dan keparahan spondylosis.



c.



Peran herediter, Faktor genetik mungkin mempengaruhi formasi osteofit dan degenerasi diskus. Penelitian Spector and MacGregor menjelaskan bahwa 50% variabilitas yang ditemukan pada osteoarthritis berkaitan dengan faktor herediter. Kedua penelitian tersebut telah mengevaluasi progresi dari perubahan degeneratif yang menunjukkan bahwa sekitar ½ (47 – 66%) spondylosis berkaitan dengan faktor genetik dan lingkungan, sedangkan hanya 2 – 10% berkaitan dengan beban fisik dan resistance training.



d. Adaptasi fungsional, Penelitian Humzah and Soames menjelaskan bahwa perubahan degeneratif pada diskus berkaitan dengan beban mekanikal dan kinematik vertebra. Osteofit mungkin terbentuk dalam proses degenerasi dan kerusakan cartilaginous mungkin terjadi tanpa pertumbuhan osteofit. Osteofit dapat terbentuk akibat adanya adaptasi fungsional terhadap instabilitas atau perubahan tuntutan pada vertebra lumbar. Spondylosis lumbal biasanya disebabkan oleh usia tua, seperti tulang belakang mengalami degeneratif, perubahan ini dapat menekan satu atau lebih akar saraf. Dalam kasus lanjut, Cauda Ekuina juga terlibat dan hal ini dapat mempengaruhi tidak hanya kaki tapi kandung kemih juga.



Faktor lain yang dapat membuat seseorang lebih mungkin untuk mengalami spondylosis adalah :



23 1. Kelebihan berat badan dan tidak berolahraga. 2. Memiliki pekerjaan yang memerlukan mengangkat berat atau banyak membungkuk dan memutar. 3. Riwayat cedera pinggang (beberapa tahun sebelumnya) 4. Riwayat operasi tulang belakang. 5. Rupture atau herniasi cakram pinggang artritis parah. 6. Retakan pada tulang belakang karena osteoporosis. 3.6



Patofisiologi Perubahan patologi yang terjadi pada diskus intervertebralis antara lain:



a.



Annulus fibrosus menjadi kasar, collagen fiber cenderung melonggar dan muncul retak



pada berbagai sisi. b. Nucleus pulposus kehilangan cairan c.



Tinggi diskus berkurang



d. Perubahan ini terjadi sebagai bagian dari proses degenerasi pada diskus dan dapat hadir tanpa menyebabkan adanya tanda-tanda dan gejala. Sedangkan adanya lipping yang



pada



corpus



disebabkan



vertebra, oleh



adanya



terjadi



perubahan



perubahan



patologis



mekanisme



diskus



berupa yang



menghasilkan penarikan dari periosteum dari annulus fibrosus. Dapat terjadi dekalsifikasi pada corpus yang dapat menjadi factor predisposisi terjadinya crush fracture. Pada ligamentum intervertebralis dapat menjadi memendek dan menebal terutama pada daerah yang sangat mengalami perubahan. Pada selaput meningeal, durameter dari spinal cord membentuk suatu selongsong mengelilingi akar saraf dan ini menimbulkan inflamasi karena jarak diskus membatasi canalis intervertebralis. Terjadi perubahan patologis pada sendi apophysial yang terkait dengan perubahan pada osteoarthritis. Osteofit terbentuk pada margin permukaan articular dan bersama-sama dengan penebalan kapsular, dapat menyebabkan penekanan pada akar saraf dan mengurangi lumen pada foramen intervertebralis. (Darlene Hertling and Randolph M. Kessler, 2006).



3.7



Gambaran Klinis Spondilosis lumbalis biasanya tidak menimbulkan gejala. Ketika terdapat keluhan



nyeri punggung atau nyeri skiatika, spondilosis lumbalis biasanya merupakan temuan yang tidak ada hubungannya. Biasanya tidak terdapat temuan apa-apa kecuali munculnya suatu penyulit.1



24 Pasien dengan stenosis spinalis lumbalis sebagian besar mengalami keluhan saat berdiri atau berjalan. Gejala atau tanda yang mncul saat berjalan berkembang menjadi claudicatio neurogenik. Dalam beberapa waktu, jarak saat berjalan akan bertambah pendek, kadang-kadang secara mendadak pasien mengurangi langkahnya. Gejala yang muncul biasanya akan sedikit sekali bahkan pada pasien yang dengan kasus lanjut.2 Gejala dan tanda yang menetap yang tidak berhubungan dengan postur tubuh disebabkan oleh penekanan permanen pada akar saraf. Nyeri tungkai bawah, defisit sensorik motorik, disfungsi sistem kemih atau impotensi seringkali dapat ditemukan. 2 Gejala dan tanda yang intermiten muncul ketika pasien berdiri, termasuk nyeri pinggang bawah, nyeri alih, atau kelemahan pada punggung. Gejala-gejala ini berhubungan dengan penyempitan recessus lateralis saat punggung meregang. Oleh karena itu, gejalagejala akan dipicu atau diperburuk oleh postur tubuh yang diperburuk oleh lordosis lumbal, termasuk berdiri, berjalan terutama menuruni tangga atau jalan menurun, dan termasuk juga memakai sepatu hak tinggi. 2 Nyeri pinggang bawah adalah keluhan yang paling umum muncul dalam waktu yang lama sebelum munculnya penekanan radikuler. Kelemahan punggung merupakan keluhan spesifik dari pasien dimana seolah-olah punggung akan copot, kemungkinan akibat sensasi proprioseptif dari otot dan sendi tulang belakang. Kedua keluhan, termasuk juga nyeri alih (nyeri pseudoradikuler) disebabkan oleh instabilitas segmental tulang belakang dan akan berkurang dengan perubahan postur yang mengurangi posisi lordosis lumbalis : condong ke depan saat berjalan, berdiri, duduk atau dengan berbaring. Saat berjalan, gejala permanen dapat meluas ke daerah dermatom yang sebelumnya tidak terkena atau ke tungkai yang lain, menandakan terlibatnya akar saraf yang lain. Nyeri tungkai bawah dapat berkurang, yang merupakan fenomena yang tidak dapat dibedakan. Karena pelebaran foramina secara postural, beberapa pasien dapat mengendarai sepeda tanpa keluhan, pada saat yang sama mengalami gejala intermiten hanya setelah berjalan dengan jarak pendek. 2 Claudicatio intermiten neurogenik dialami oleh 80% pasien, tergantung kepada beratnya penyempitan canalis spinalis. Tanda dan gejala yang mengarahkan kepada hal tersebut adalah defisit motorik, defisit sensorik, nyeri tungkai bawah, dan kadang-kadang terdapat inkontinensia urin. Beristirahat dengan posisi vertebra lumbalis yang terfleksikan dapat mengurangi gejala, tapi tidak dalam posisi berdiri, berlawanan dengan claudicatio



25 intermiten vaskuler. Claudicatio intermiten neurogenik disebabkan oleh insufisiensi suplai vaskuler pada satu atau lebih akar saraf dari cauda equina yang terjadi selama aktivitas motorik dan peningkatan kebutuhan oksigen yang berhubungan dengan hal tersebut. Daerah fokal yang mengalami gangguan sirkulasi tersebt muncul pada titik tempat terjadinya penekanan mekanik, dengan hipereksitabilitas neuronal yang berkembang menjadi nyeri atau paresthesia Demielinasi atau hilangnya serat saraf dalam jumlah besar akan berkembang menjadi kelemahan atau rasa kebal. Efek lain dari penekanan mekanik adalah perlekatan arachnoid yang akan memfiksasi akar saraf dan menganggu sirkulasi CSF di sekitarnya dengan akibat negatif pada metabolismenya. 2 3.8



Diagnosa Banding Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagimenurut lokasi lesi sentral dan perifer. Lesi Sentral 



Stroke Kelaninan sentral yang disertai dengan kelemahan anggota gerak sisi yang sama dan ditemukan proses patologis di hemisfer serebri kontra lateral.







Tumor Dapat disertai perubahan mental sstatus atau riwayat kanker dibagian tubuh lainnya







Sklerosis multiple Disertai kelainan neurologisseperti hemiparesis atau neuritis optika







Trauma fraktur os temporalis pars petrosus



Lesi Perifer 



Otitis media supuratif dan mastoiditis Terdapat reaksi radang dalam kavum timpani dan foto mastoid menunjukkan suatu gambaran infeksi







Herpes Zoster Otikus Ditemukan adanya tuli perseptif, terdapat vesikel yang terasa amat nyeri di pinna dan/atau pemeriksaan darah menunjukkan kenaikan titer antibody virus varicellazoster







Guillain-Barre Syndrome Ditemukan adanya paresis bilateral dan akut







Kelainan myasthenia gravis Terdapat tanda patognominik berupa gangguan gerak mata kompleks dan kelemahan M. Orbikularis okuli bilateral



26 



Tumor serebello-pontin Disertai kelainan nervus kranialis V dan VIII







Tumor kelenjar parotis Ditemukan massa di wajah (angulus mandibular)







Sarcoidosis Ditemukan tanda-tanda febris, pembesaran kelenjar limfe hilus, uveitis, parotitis, eritema nodosa dan hiperkalsemia



3.9



Diagnosis



3.9.1 Anamnesis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis serta beberapa pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lainnya. Hal-hal yang didapatkan dari anamnesis: 



Rasa nyeri







Gangguan atau kehilangan pengecapan.







Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari di ruangan terbuka atau di luar ruangan.







Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi saluran pernafasan, otitis, herpes, dan lain-lain.



3.9.2 Pemeriksaan Fisik Fungsi motorik Dalam memeriksa fungsi motorik, perhatikan muka penderita, apakah simetris atau tidak. Perhatikan kerutan pada dahi, pejaman mata, plika nasolabialis dan sudut mulut. Bila asimetri muka jelas, maka hal ini disebabkan oleh kelumpuhan jenis perifer. Dalam ini kerutan dahi menghilang, mata kurang dipejamkan, plika nasolabialis mendatar dan sudut mulut menjadi lebih rendah. Pada kelumpuhan jenis sentral, muka dapat simetris waktu istirahat, kelumpuhan baru nyata bila penderita disuruh melakukan gerakan, misalnya menyeringai. a.



Mengangkat alis dan mengerutkan dahi Minta pasien untuk mengangkat kedua alis kemudian nilai apakah simetris atau tidak. Kemudian



minta



pasien



untuk



mengerutkan



dahi,



nilai



apakah



musculus



oksipitofrontalis, musculus corrgurator supercilli, musculus procerus simetris atau tidak. Pada kelumpuhan jenis supranuklear sesisi, penderita dapat mengangkat alis dan mengerutkan dahinya, sebab musculus oksipitofrontalis, musculus corrgurator



27 supercilli, musculus procerus mendapat persarafan bilateral. Pada kelumpuhan jenis perifer terlihat adanya asimetri. b.



Memejamkan mata Minta pasien untuk memejamkan mata, bila lumpuhnya berat paasien tidak dapat memejamkan mata; bila lumpuhnya ringan, maka tenaga pejaman mata kurang kuat. Hal ini dapat dinilai dengan jalan mengangkat kelopak mata dengan tangan pemeriksa, sedangkan pasien disuruh tetap memejamkan mata. Suruh pula pasien memejamkan matanya satu per satu. Hal ini merupakan pemeriksaan yang baik bagi parese ringan. Bila terdapat parese, pasien tidak dapat memejamkan matanya pada sisi yang lumpuh. Disini dinilai apakah musculus orbicularis okuli dapat berkontraksi dengan baik atau tidak, simetris atau tidak.



c.



Menyeringai (menunjukan gigi geligi) Minta pasien untuk menyeringai, menunjukkan gigi geligi. Perhatikan apakah hal ini dapat dilakukan dan apakah simetris, perhatikan sudut mulutnya. Jika pasien tidak dapat melakukannya maka terdapat gannguan persarafan pada musculus zigomatikus mayor. Pada penderita yang tidak kooperatif atau yang menurun kesadarannya, dan tidak dapat disuruh menyeringai, dapat dibuat menyeringai bila diberikan ransangan nyeri, yaitu dengan menekan pada sudut rahangnya (musculus masseter).



d.



Mencucurkan bibir Minta pasien untuk mencucurkan bibir. Perhatikan apakah dapat dilakukan dan apakah simetris. Jika pasien tidak dapat melakukan dengan baik dan asimetris maka dicurigai ada gangguan pada persarafan musculus orbicularis oris.



e.



Menggembungkan pipi Minta pasien untuk menggembungkan pipi. Perhatikan apakah hal ini dapat dilakukan dan apakah simetris. Apabila pasien tidak dapat melakukan dengan baik maka dapat dikatakan terjadi gangguan pada persarafan musculus bucinator.



f.



Mengembang kempiskan cuping hidung Minta pasien untuk mengembang kempiskan cuping hidung, nilai apakah simetris atau tidak. Jika tidak, maka terdapat gangguan persarafan pada musculus nasalis.



Fungsi Pengecapan Kerusakan N. VII, sebelum percabangan khorda timpani dapat menyebabkan ageusi (hilangnya pengecapan) pada 2/3 lidah bagian depan. Untuk memeriksanya pasien disuruh menjulurkan lidah, kemudian kita berikan pada lidahnya bubuk gula, kina, asam sitrat atau



28 garam (hal ini dilakukan secara bergiliran dan diselingi istirahat). Bila bubuk ditaruh, pasien tidak boleh menarik lidahnya ke dalam mulut, sebab bila lidah ditarik ke dalam mulut bubuk akan tersebar melalui ludah ke bagian lainnya, yaitu sisi lidah lainnya atau ke bagian belakang lidah yang persarafannya diurus oleh saraf lain. Pasien diminta untuk menyatakan pengecapan yang dirasakannya degan isyarat, misalnya 1 untuk rasa manis, 2 untuk rasa pahit, 3 untuk rasa asin, dan 4 untuk rasa asam. Kerusakan pada atau diatas nervus petrosus mayor dapat menyebabkan kurangnya produksi air mata, dan lesi khorda timpani dapat menyebabkan kurangnya produksi saliva. 3.9.3 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan untuk melihat gambaran yang mungkin dapat terlihat, seperti:7 1. Penyempitan ruang discus intervertebralis 2. Perubahan kelengkuangan vertebrae dan penekanan saraf 3. Osteofit/Spur formation di anterior ataupun posterior vertebrae 4. Pemadatan Corpus vertebrae 5. Porotik (Lubang) pada tulang 6. Vertebrae tampak seperti bambu (Bamboo Spine) 7. Sendi sacroiliaca tidak tampak atau kabur 8. Celah sendi menghilang Adapun pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan antara lain:7 1. Foto polos lumbosakral dengan arah anteroposterior, lateral dan oblique sangat membantu untuk melihat keabnormalan pada tulang. 2. Mielografi merupakan tindakan invasif dengan memasukan cairan berwarna medium ke kanalis spinalis sehingga struktur bagian dalamnya dapat terlihat. Myelografi digunakan untuk penyakit yang berhubungan dengan diskus intervertebralis, tumor atau abses. 3. CT scan adalah metode terbaik untuk mengevaluasi adanya penekanan tulang dan terlihat juga struktur yang lainnya, antara lain ukuran dan bentuk canalis spinalis, recessus lateralis, facet joint, lamina, dan juga morfologi discuss intervertebralis, lemak epidural dan ligamentum clavum juga. 4. MRI memberikan gambaran yang lebih jelas CT scan. 5. Electro miography (ENG)/Nerve conduction study (NCS) digunakan untuk pemeriksaan saraf pada lengan dan kaki. EMG dapat memberikan informasi tentang:



29 a. Adanya kerusakan pada saraf b. Lama terjadinya kerusakan saraf (akut/kronik) c. Lokasi terjadinya kerusakan saraf d. Tingkat keparahan dari kerusakan saraf e. Memantau proses penyembuhan dari kerusakan saraf.



3.10 Tatalaksana Pengobatan harus disesuaikan dengan pasien, usia dan tujuan. Pada kebanyakan pasien dapa dicapai perbaikan yang nyata atau berkurangnya gejala-gejala. Gejala-gejala radikuler dan claudicatio intermitten neurogenik lebih mudah berkurang dengan pengobatan daripada nyeri punggung, yang menetap sampai pada 1/3 pasien.2 Pengobatan konservatif Pengobatan ini terdiri dari analgesik dan memakai korset lumbal yang mana dengan mengurangi lordosis lumbalis dapat memperbaiki gejala dan meningkatkan jarak saat berjalan. Pada beberapa kelompok pasien, perbaikan yang mereka rasakan cukup memuaskan dan jarak saat berjalan cukup untuk kegiatan sehari-hari. 2 Percobaan dalam 3 bulan direkomendasikan sebagai bentuk pengobatan awal kecuali terdapat defisit motorik atau defisit neurologis yang progresif. Terapi konservatif untuk stenosis spinalis lumbalis dengan gejala-gejala permanen jarang sekali berhasil untuk waktu yang lama, berbeda dengan terapi konservatif untuk herniasi diskus. 2 Terapi medis dipergunakan untuk mencari penyebab sebenarnya dari gejala nyeri punggung dan nyeri skiatika.1 -



Jangan menyimpulkan bahwa gejala pada pasien berhubungan dengan osteofitosis. Carilah penyebab sebenarnya dari gejala pada pasien.



-



Jika muncul gejala terkenanya akar saraf, maka diindikasikan untuk bed rest total selama dua hari. Jika hal tersebut tidak mengatasi keluhan, maka diindikasikan untuk bedah eksisi.



-



Pengobatan tidak diindikasikan pada keadaan tanpa komplikasi.



Tindakan fisioterapi Tujuan tindakan fisioterapi antara lain:9 1. Jangka panjang: mengembalikan kapasitas fisik dan kemampuan fungsional berjalan pasien.



30 2. Jangka pendek: a. Mengurangi nyeri b. Mengurangi spasme m.piriformis dan gastrok c. Mengurangi kontraktur m.hamstring d. Melepaskan jepitan pada nervus spinalis Tindakan fisioterapi yang dapat dilakukan antara lain Short Wave Diathermy (SWD) dan William flexion exercise. 1. Short Wave Diathermy (SWD) Diathermy merupakan aplikasi energi elektromagnetik dengan frekuensi tinggi yang terutama digunakan untuk membangkitkan panas dalam jaringan tubuh. Diathermy juga dapat digunakan untuk menghasilkan efek-efek nontermal. Diathermy yang digunakan sebagai modalitas terapi terdiri atas Short Wave Diathermy (SWD) dan Microwave Diathermy.9 SWD adalah modalitas terapi yang menghasilkan energi elektromagnetik dengan arus bolak-balik frekuensi tinggi. Federal Communications Commision (FCC) telah menetapkan 3 frekuensi yang digunakan pada SWD, yaitu:9 a. Frekuensi 27,12 MHz dengan panjang gelombang 11 meter, frekuensi ini paling sering digunakan pada SWD untuk tujuan pengobatan. b. Frekuensi 13,56 MHz dengan panjang gelombang 22 meter c. Frekuensi 40,68 MHz dengan panjang gelombang 7,5 meter, frekuensi ini jarang digunakan. Efek terapi yang ditimbulkan antara lain:4 a. Perubahan panas/ temperatur 1) Meningkatkan metabolisme sel-sel sekitar 13% setiap kenaikan 1o C. 2) Meningkatkan vasomotion sphinter sehingga timbul homeostatik lokal dan akhirnya terjadi vasodilatasi lokal. b. Reaksi general Mengaktifkan sistem termoregulator di hipotalamus yang mengakibatkan kenaikan temperatur darah untuk mempertahankan temperatur tubuh secara general. c. Jaringan ikat Meningkatkan elastisitas jaringan ikat secara lebih baik seperti jaringan kolagen kulit, tendon, ligamen dan kapsul sendi akibat menurunnya viskositas matriks jaringan.



31 d. Otot 1) Meningkatkan elastisitas jaringan otot 2) Menurunkan tonus otot melalui normalisasi nosisensorik, kecuali hiertoni akibat emosional dan kerusakan sistem saraf pusat. e. Saraf 1) Meningkatkan elastisitas pembungkus jaringan saraf 2) Meningkatkan konduktivitas saraf dan meningkatkan ambang rangsang (theshold). 2. William flexion exercise William flexion exercise dikenalkan oleh dr Paul Williams pada tahun 1937 yang ditujukan untuk pasien kronik Low Back Pain (LBP) dengan kondisi degenerasi korpus vertebra sampai pad adegenerasi diskus. Program ini telah berkembang dan banyak ditujukan pada laki-laki di bawah usia 50-an dan wanita di bawah usia 40-an yang mengalami lordosis lumbal berlebihan, penurunan segmen diskus antara segmen lumbal dan gejala-gejala kronik LBP.9,10 William flexion exercise adalah program latihan yang terdiri dari 7 macam gerakan yang menonjolkan pada penurunan lordosis lumbal (terjadi fleksi lumbal). William flexion exercise telah menjadi dasar dalam mananjemen nyeri pinggang bawah selama beberapa tahun untuk mengobati beberapa problem nyeri pinggang bawah berdasarkan temuan diagnosis. Program ini digunakan ketika penyebab gangguan berasal dari facet joint (kapsul ligament), otot serta degenerasi korpus dan diskus.8 Metode latihan ini bertujuan untuk mengurangi nyeri dan memberikan stabilisasi lower trunk melalui perkembangan secara aktif pada otot abdominal, gluteus maksimus, dan hamstring sehingga terjadi peningkatan fleksibilitas/elastisitas pada group otot fleksor hip dan lower back (sacrospinal). Selain itu, latihan ini berguna untuk mengembalikan/menyempurnakan keseimbangan kerja antara group otot postural fleksor dan ekstensor.9,10 Adapun prosedur pelatihannya adalah: a. Latihan I Posisi pasien tidur terlentang dengan kedua lutut fleksi dan kaki datar diatas bed/lantai. Datarkan punggung bawah melawan bed tanpa kedua tungkai mendorong ke bawah. kemudian pertahankan 5-10 detik. Gerakan ini bertujuan



32 untuk penguluran otot-otot ekstensor trunk, mobilisasi sendi panggul dan penguatan otot perut.9,10



Gambar 3. Teknik William flexion exercise I b. Latihan II Posisi awal sama dengan nomor 1. Pasien diminta untuk mengkontraksikan otot perut dan memfleksikan kepala sehingga dagu menyentuh dada dan bahu terangkat dari matras. Kemudian tahan 5-10 detik. Ulangi sebanyak 10 kali. Gerakan ini bertujuan untuk penguluran otot-otot ekstensor trunk, penguatan otototot perut, dan otot sternocleidomastoideus.9,10



Gambar 4. Teknik William flexion exercise II c. Latihan III Posisi awal sama dengan nomer I. Pasien diminta untuk memfleksikan salah satu lutut ke arah dada sejauh mungkin kemudian kedua tangan mencapai paha belakang dan menariknya ke dada. Pada waktu bersamaan fleksikan kepala hingga menyentuh dagu menyentuh dada dan bahu lepas dari matras. Tahan selama 5 detik. Latihan diulangi pada tungkai yang lain kemudian gerakan diulang sebanyak 10 kali. Gerakan ini bertujuan untuk merapatkan lengkungan pada lumbal, penguluran otot-otot ekstensor trunk, sendi panggul, sendi sakroiliaka dan otot-otot hamstring.9,10



33



Gambar 5. Teknik William flexion exercise III d. Latihan IV Posisi awal sama dengan latihan I. Pasien diminta untuk melakukan yang sama dengan nomer 3, tetai kedua lutut dalam posisi menekuk, dinaikan ke atas dan ditarik dengan kedua tangan ke arah dada. Fleksikan kepala dan naikan bahu dari matras, tahan 5-10 detik dan ulangi 10 kali. Gerakan ini bertujuan untuk merapatkan lengkungan pada lumbal, penguluran otot-otot ekstensor trunk, sendi panggul, sendi sakroiliaka dan otot-otot hamstring.9,10



Gambar 6. Teknik William flexion exercise IV e. Latihan V Gerakan berupa latihan dimulai dengan posisi awal seperi seorang pelari cepat pada titik startnya yaitu satu tungkai dalam fleksi maksimal pada sendi lutut dan paha, sedang tungkai yang lain dalam keadaan lurus di belakang. Kemudian pada posisi tersebut tekan badan ke depan dan ke bawah, tahan 5 hitungan dan rileks. Ulangi hingga 10 kali. Gerakan ini bertujuan mengulur / streching otot-otot fleksor hip dan fascia latae.9,10



Gambar 7. Teknik William flexion exercise V f. Latihan VI



34 Posisi awal berdiri menempel dan membelakangi dinding dengan tumit 10-15 cm di depan dinding, lumbal rata dengan dinding. Kemudian satu tungkai melangkah ke depan tanpa merubah posisi lumbal pada dinding, tahan 10 hitungan dan rileks. Ulangi hingga 10 kali. Bila latihan terlalu berat, lamanya penahanan dapat dikurangi. Gerakan ini bertujuan untuk penguatan otot quadriceps, otot perut dan ekstensor trunk.9,10



Gambar 8. Teknik William flexion exercise VI .



Terapi Pembedahan Terapi pembedahan diindikasikan jika terapi konservatif gagal dan adanya gejala-gejala permanen khususnya defisit mototrik.2 Pembedahan tidak dianjurkan pada keadaan tanpa komplikasi.1 Bedah eksisi dilakukan pada skiatika dengan bukti adanya persinggungan dengan nervus skiatika yang tidak membaik dengan bed rest total selama 2 hari.1 -



Penekanan saraf dari bagian posterior osteofit adalah penyulit yang mungkin terjadi hanya jika sebuah neuroforamen ukurannya berkurang 30% dari normal.



-



Reduksi tinggi discus posterior samapi kurang dari 4 mm atau tinggi foramen sampai kurang dari 15 mm sesuai dengan diagnosis kompresi saraf yang diinduksi osteofit.



-



Jika spondilosis lumbalis mucul di canalis spinalis, maka stenosis spinalis adalah komplikasi yang mungkin terjadi.



-



Jika osteofit menghilang, carilah adanya aneurisma aorta. Aneurisma aorta dapat menyebabkan erosi tekanan dengan vertebra yang berdekatan. Jika osteofit muncul kembali, tanda yang pertama muncul seringkali adalah erosi dari osteofit-osteofit tersebut, sehingga tidak nampak lagi.



-



Terdapat kasus adanya massa tulang setinggi L4 yang menekan duodenum.



35



Terapi pembedahan tergantung pada tanda dan gejala klinis, dan sebagian karena pendekatan yang berbeda terhadap stenosis spinalis lumbalis, tiga kelompok prosedur operasi yang dapat dilakukan anatara lain:2  Operasi dekompresi  Kombinasi dekompresi dan stabilisasi dari segmen gerak yang tidak stabil  Operasi stabilisasi segmen gerak yang tidak stabil Prosedur dekompresi adalah: dekompresi kanalis spinalis, dekompresi kanalis spinalis dengan dekompresi recessus lateralis dan foramen intervertebralis, dekompresi selektif dari akar saraf. Dekompresi kanalis spinalis2 Laminektomi adalah metode standar untuk dekompresi kanalis spinalis bagian tengah. Keuntungannya adalah biasanya mudah dikerjakan dan mempunyai angka kesuksesan yang tinggi. Angka kegagalan dengan gejala yang rekuren adalah ¼ pasien setelah 5 tahun. Terdapat angka komplikasi post operatif non spesifik dan jaringan parut epidural yang relatif rendah. Secara tradisional, laminektomi sendiri diduga tidak menganggu stabilitas spina lumbalis, selama struktur spina yang lain tetap intak khususnya pada pasien manula. Pada spina yang degeneratif, bagian penting yang lain seperti diskus intervertebaralis dan facet joint seringkali terganggu. Hal ini dapat menjelaskan adanya spodilolistesis post operatif setelah laminektomi yang akan memberikan hasil yang buruk. Laminektomi dikerjakan pada keadaan adanya spondilolistesis degeneratif atau jika terdapat kerusakan operatif dari diskus atau facet joint. Terdapat insiden yang tinggi dari instabilitas post operatif. Dengan menjaga diskus bahkan yang sudah mengalami degenerasi, nampaknya membantu stabilitas segmental (Goel, 1986). Untuk alasan inilah maka discectomy tidak dianjurkan untuk stenosis spinalis lumbalis dimana gejalanya ditimbulkan oleh protrusio atau herniasi, kecuali diskus yang terherniasi menekan akar saraf bahkan setelah dekompresi recessus lateralis. Jaringan parut epidural muncul setelah laminektomi dan kadang-kadang berlokasi di segmen yang bersebelahan dengan segmen yang dioperasi. Jika jaringan parut sangat nyata,



36 hal ini disebut dengan “membran post laminektomi”. Autotransplantasi lemak dilakukan pada epidural oleh beberapa ahli bedah untuk mengurangi fibrosis. Walaupun beberapa telah berhasil, pembengkakan lemak post operatif dapat mengakibatkan penekanan akar saraf. Dekompresi harus dilakukan pada pasien dengan osteoporosis. Sebaiknya dilakukan dengan hati-hati karena instabilitas post operatif sangat sulit diobati. Laminektomi dengan facetectomy parsial adalah prosedur standar stenosis laminektomi tunggal cukup untuk stenosis kanalis spinalis, sehingga biasanya digabungkan dengan beberapa bentuk facetectomy parsial. ”Unroofing” foramen vertebralis dapat dikerjakan hanya dari arah lateral sebagaimana pada herniasi diskus foramina. Kemungkinan cara yang lain dikerjakan adalah prosedur laminoplasti dengan memindahkan dan memasukkan kembali lengkung laminar dan processus spinosus. Dekompresi selektif akar saraf 2 Kecuali terdapat penyempitan diameter sagital kanalis spinalis, dekompresi selektif akar saraf sudah cukup, khususnya jika pasien mempunyai gejala unilateral. Facetectomy medial melalui laminotomi dapat dikerjakan. Biasanya bagian medial facet joint yang membungkus akar saraf diangkat. Komplikasi spesifik prosedur ini antara lain insufisiensi dekompresi, instabilitas yang disebabkan oleh pengangkatan 30-40% dari facet joint, atau fraktur fatique dari pars artikularis yang menipis. Dekompesi dan stabilisasi2 Laminektomi dapat digabungkan dengan berbagai metode stabilisasi. Sistem terbaru menggunakan skrup pedikuler, sebagaimana pada sistem yang lebih lama seperti knodt rods, harrington rods dan Luque frame dengan kawat sublaminer. Laminektomi spondilolistesis degeneratif dan penyatuan prosesus intertranvesus dengan atau tanpa fiksasi internal adalah prosedur standar. Untuk alternatifnya dapat dilakukan penyatuan interkorpus lumbalis posterior atau penyatuan interkorpus anterior. Beberapa ahli mengatakan, laminektomi dengan penyatuan spinal lebih baik daripada laminektomi tunggal karena laminektomi tunggal berhubungan dengan insiden yang tinggi dari spondilolistesis progresif. Komplikasi prosedur stabilisasi termasuk di dalamnya kerusakan materi osteosintetik, trauma neurovaskuler, fraktur prosesus spinosus, lamina atau pedikel, pseudoarthrosis, ileus paralitik, dan nyeri tempat donor graft iliakus. Degenerasi dan stenosis post fusi dapat



37 muncul pada segmen yang bersebelahan dengan yang mengalami fusi yang disebabkan oleh hipermotilitas. Walaupun hasil percobaan mendukung teori ini, efek klinis dari komplikasi ini masih belum dapat diketahui. Berbeda dari spondilolistesis degeneratif dimana dekompresi dan stablisasi adalah prosedur yang dianjurkan, tidak terdapat konsensus bahwa hal ini merupakan pengobatan yang paling efektif. Stenosis spinalis lumbalis diterapi dengan pembedahan dalam rangkaian operasi yang banyak dengan hasil jangka pendek yang baik. Namun demikian, setelah lebih dari 40 tahun, penelitian dna pengalaman dalam terapi, etiologinya masih belum dapat dimengerti secara jelas dan juga, definisi dan klasifikasi masih belum jelas karena derajat stenosis tdak selalu berhubungan dengan gejala-gejalanya. Protokol pembedahan yang dianjurkan antara lain: 



Pada pasien dengan gejala-gejala permanen yang bertambah saat berdiri atau menyebabkan claudicatio intermitten neurogenik dekompresi dan stabilisasi







Pada pasien tanpa gejala-gejala yang permanen tapi dengan gejala intermitten yang jelas berhubungan dengan postur dilakukan prosedur stabilisasi, terutama jika keluhan membaik dengan korset lumbal



Penurunan berat badan dan latihan untuk memperbaiki postur tubuh dan menguatkan otototot abdominal dan spinal harus dikerjakan bersama dengan pengobatan baik konservatif maupun pembedahan.



3.11 Prognosis Kebanyakan pasien dengan spondylosis lumbal akan memiliki beberapa gejala jangka panjang. Gejala ini sering akan semakin parah dan operasi adalah wajib. Namun gejala yang membaik dengan obat tidak perlu di operasi. Banyak orang dengan masalah ini mampu mempertahankan kehidupan aktif, namun beberapa akan mengalami rasa sakit kronis.



38



BAB IV ANALISIS KASUS Pasien wanita muda datang dengan keluhan bibir mencong ke sebelah kiri sejak 2 hari SMRS, tanpa penurunan kesadaran dan dengan gejala yang menetap dapat mengerucutkan ke beberapa sebab yaitu Bell’s Palsy dan tumor yang menekan ke tulang temporal (Kolesteatom, dermoid). Pada pemeriksaan fisik didapatkan lagophtalmus dan hiperlakrimasi, parese dan hipestesi wajah bagian kiri memberikan gambaran gangguan pada N.VII perifer. Dengan demikian diagnosis bisa lebih mengerucut ke arah Bell‘s Palsy. Diagnosis yang didapatkan adalah : Diagnosis klinis



:Paralisis N.VII perifer dextra.



Diagnosis etiologi



:idiopatik



Diagnosis topis



: N.VII perifer dibawah foramen stylomastoideus



Diagnosa patologis



: proses inflamasi



Dengan dasar penegakan diagnosis sbb : -



Paralisis N.VII perifer



-



Hipestesia wajah kiri



-



Hiperlakrimasi pada mata kiri



-



Tidak ditemukan adanya gangguan mendengar



-



Tidak ditemukan adanya kelumpuhan dibagian lain



-



Gejala timbul mendadak Gejala – gejala tersebut timbul dikarenakan gangguan pada N.VII yang mempersarafi



wajah untuk fungsi motorik dan sensorik. Gangguannya bersifat unilateral dan ipsilateral dimana N.VII mempersarafi otot oblikularis okuli, oblikularisorim temporal, servikal, bukal dan zygomatik yang berfungsi sebagai penggerak wajah. Pada pasien tampak lagophtalmus dan mulut mencong pada sisi yang terkena. Hipestesia terjadi dikarenakan N.VII dan N.V mempunyai nucleus somatosensory yang sama namun pada kasus ini rasa baal terjadi karena gangguan dari motorik sehingga memberikan efek kepada rasa baal.



Hiperlakrimasi



dikarenakan N.VII memegang peran otonom pada glandula lakrimalis sehingga apabila terganggu dapat menyebabkan hal ini terjadi, selain itu pada penderita Bell‘s Palsy terdapat



39 lagophtamus maka agar tidak terjadi dry eye dikompensasi dengan meningkatnya produksi air mata. Bell‘s Palsy sendiri merupakan sebuah



kelainan yang digambarkan dengan



kelumpuhan N.VII perifer (unilateral). Sifatnya idiopatik, akut dan tidak disertai gangguan neurologis lain. Berdasarkan penyebab Bell‘s palsy masih belum diketahui dengan pasti namun ada beberapa hipotesis yang berkembang seperti infeksi pada Herpes Simpleks Virus yang menyebabkan inflamasi pada ganglion genikulatum, penyakit autoimun, penyakit mikrovaskuler dan juga dikaitkan dengan paparan udara dingin. Pada pasien ini disimpulkan penyebab terjadinya Bell‘s Palsy dikarenakan paparan udara dingin. Paparan udara dingin menyebabkan Bell‘s Palsy dikarenakan dingin dapat mengiritasi N.VII,dimana secara anatomis N.VII adalah nervus kranialis yang melewati kanal-kanal dalam tengkorak, sehingga disaat teriritasi oleh dingin, terjadi oedem dan akhirnya tertekan oleh kanal-kanal sempit pada tulang tengkorak. Etiologi dari Bell‘s palsy sampai saat ini masih dalam perdebatan, edema pada N.VII diyakini mempunyai peran atas terjadinya kelumpuhan pada Bell‘sPalsy. Keterlibatan herpes zooster atas terjadinya inflamasi sekarang sedang berkembang, keadaan autoimmune juga dipercaya mempunyai peran dalam beberapa kasus Bell‘s Palsy. Lesi yang terjadi pada Bell‘s palsy bersifat perifer dikarenakan bentuk anatomi dari tulang tengkorak yang dilewati N.VII mudah mengganggu terutama apabila terjadi inflamasi dan menyebabkan edema setempat. 80-90% penderita Bell‘s palsy dapat sembuh dengan sendirinya tanpa defisit neurologis (Sembuh sempurna). Pemberian kortikosteroid ditemukan dapat mempercepat penyembuhan, dan perlu tappering off untuk penggunaan steroid. Obat antiviral dapat diberikan apabila memang ada arah kecurigaan terjadinya infeksi virus, beberapa studi mengatakan bahwa untuk pasien penderita Bell‘s palsy yang mendapatkan terapi antivirus disertai dengan steroid pada masa akut (