LAPORAN Kel. 5 F75 Dan F100 Gizi Buruk [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PROPOSAL PENGEMBANGAN RESEP/FORMULA “FASE REHABILITASI PADA PENDERITA GIZI BURUK” Dosen Pembimbing: Rijanti Abdurrachim, DCN., M.Kes



Disusun oleh : KELOMPOK 5 Akhmad Nurdin



P07131216092



Eka Hervina



P07131216101



Muna Izzati



P07131216118



Nurul Eka Wahyuni



P07131216125



Siti Alifa Risqi Dzulfikria



P07131216131



KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANJARMASIN PROGRAM DIPLOMA IV JURUSAN GIZI 2019



BAB I PENDAHULUAN 1.1.



Latar Belakang Pelayanan gizi di rumah sakit merupakan bagian dari sistem pelayanan rumah sakit yang mempunyai peranan penting dalam meningkatkan pencapaian tingkat kesehatan baik bersifat promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif. Kegiatan pelayanan gizi di rumah sakit bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pasien di rumah sakit baik rawat inap dan rawat jalan, untuk keperluan metabolisme tubuh, peningkatan kesehatan maupun mengoreksi kelainan metabolisme. Pelayanan gizi rumah sakit ini disesuaikan dengan keadaan individu dan berdasarkan status gizi, anamnesa dan status metabolisme tubuh. Keadaan gizi pasien sangat berpengaruh pada proses penyembuhan penyakit, sebaliknya proses perjalanan penyakit dapat berpengaruh terhadap keadaan gizi pasien (Depkes, 2003). Pemberian makanan yang memenuhi gizi seimbang serta habis termakan merupakan salah satu cara untuk mempercepat penyembuhan dan memperpendek hari rawat inap (Depkes, 2006). Masalah gizi buruk dan kekurangan gizi telah menjadi keprihatinan dunia sebab penderita gizi buruk umumnya adalah balita dan anak-anak yang



tidak



lain



adalah



generasi



generus bangsa. Kasus



gizi



buruk



merupakan aib bagi pemerintah dan masyarakat karena terjadi di tengah pesatnya kemajuan zaman (Republika, 2009). Gizi buruk atau kurang energi protein (KEP) terus menjadi salah satu masalah kesehatan utama di dunia sampai saat ini, terutama pada anakanak di bawah lima tahun (Hockenberry & Wilson, 2009). Kurang Energi Protein (KEP) didefinisikan suatu keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG) dalam jangka waktu yang lama yang ditandai dengan z-skor berat badan berada di bawah -2.0 SD baku normal (Kemenkes 2010). KEP pada anak balita, masih menjadi salah satu masalah gizi



2



di berbagai wilayah Indonesia termasuk di Provinsi Kalimantan Selatan. Secara nasional, prevalensi balita kurang gizi dan gizi buruk sebesar 21% dan di Kalimantan Selatan sebesar 24% pada tahun 2013 (RI, 2013). Depkes (2011) menyatakan bahwa terdapat tiga fase dalam proses pengobatan gizi buruk baik kwashiorkor, marasmus, maupun marasmikkwashiorkor yaitu fase stabilisasi, fase transisi, dan fase rehabilitasi. Modifikasi resep sebagai salah satu cara untuk meningkatkan citarasa makanan. Menu yang telah ada dimodifikasi, sehingga dapat mengurangi rasa bosan/jenuh pasien terhadap masakan yang sering disajikan.Demikian pula pengembangan resep untuk meningkatkan nilai gizi masakan, sekaligus meningkatkan daya terima pasien. Modifikasi resep dapat berupa modifikasi bahan pendukungnya, modifikasi bentuk, atau cara pengolahannya. Dengan demikian, modifikasi resep dimaksudkan untuk : (1) Meningkatkan keanekaragaman masakan bagi pasien ; (2) Meningkatkan nilai gizi pada masakan; dan (3) Meningkatkan daya terima pasien terhadap masakan (Aritonang, 2014). Berdasarkan tahapan fase makanan rujukan dari Depkes RI (2003) yang terdiri dari fase stabilisasi, fase transisi dan fase rehabilitasi yaitu makanannya berupa formula WHO ( F-75, F-100, F-135). F -75 diberikan pada saat fase stabilisasi (1-7 hari) artinya pemberian Formula F-75 ke pasien sesuai dengan tabel petunjuk pemberian F-75 yaitu pemberiannya sesuai dengan berat badan anak dan kondisi anak, F-100 diberikan pada fase transisi artinya pemberian F-100 ke pasien sesuai dengan tabel petunjuk pemberian F-100 yaitu pemberiannya sesuai dengan berata badan anak dan kondisi anak, serta F-135 yang dapat diberikan untuk anak gizi buruk fase rehabililitasi. Selain pemberian F-135 untuk masa rehabilitasi, juga diberikan makanan tambahan berupa makanan bayi/makanan lumat untuk berat badan < 7 kg atau makanan anak/makanan lunak untuk berat badan ≥ 7 kg . Pada praktikum ini, anak diberikan makanan anak/makanan lunak 3 kali sehari



3



karena berat badannya ≥ 7 kg, selain itu juga diberikan sari buah 1-2 kali sehari. Pada kasus ini pasien telah melewati fase stabilisasi dan fase transisi, yang kemudian akan dilanjutkan pada fase rehabilitasi. Pada fase rehabilitasi ini akan digunakan resep modifikasi. Modifikasi ini diharapkan akan meningkatkan rasa, aroma, tekstur dan kenampakan, serta zat gizi yang terkandung di dalamnya.



1.2. Tujuan 1.2.1 Tujuan Umum Melakukan pembuatan formula makanan bagi penderita gizi buruk dengan zat gizi yang tepat agar dapat meningkatkan tingkat protein dan karbohidrat agar dapat membantu dalam proses penyembuhan untuk gizi buruk fase rehabililitasi. 1.2.2 Tujuan Khusus a. Mengidentifikasi tingkat kesukaan konsumen terhadap warna dari F135 dan formula yang telah dimodifikasi. b. Mengidentifikasi tingkat kesukaan konsumen terhadap aroma dari F135 dan formula yang telah dimodifikasi. c. Mengidentifikasi tingkat kesukaan konsumen terhadap tekstur F135 dan formula yang telah dimodifikasi. d. Mengidentifikasi tingkat kesukaan konsumen terhadap rasa dari F135 dan formula yang telah dimodifikasi. e. Mengidentifikasi mutu fisik dari F135 dan formula yang telah dimodifikasi. f. Menganalisa biaya yang dibutuhkan dalam pembuatan formula F135 dan formula yang telah dimodifikasi.



4



BAB II TINAJUAN PUSTAKA



2.1.



Gizi Buruk 2.1.1



Definisi Gizi Buruk Gizi



buruk



merupakan



status



kondisi



seseorang



yang



kekurangan nutrisi, atau nutrisinya di bawah standar. Gizi buruk banyak dialami oleh bayi dibawah lima tahun (balita). Kasus gizi buruk merupakan aib bagi pemerintah dan masyarakat karena terjadi di tengah pesatnya kemajuan zaman (Republika, 2009). Gizi buruk merupakan



istilah teknis yang biasanya digunakan



oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk adalah kondisi



seseorang yang



nutrisinya di bawah rata-rata. Hal ini



merupakan suatu bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun. Depkes (2011) menyatakan bahwa gizi buruk menggambarkan keadaan gizi anak yang ditandai dengan satu atau lebih tanda berikut yaitu sangat kurus, edema (minimal pada kedua punggung kaki), BB/PB atau BB/TB < -3 SD, LLA < 11.5 cm untuk anak usia 6-59 bulan. Keadaan



balita



dengan



gizi



buruk



sering



digambarkan dengan adanya busung lapar. Gizi buruk atau kurang energi protein (KEP) terus menjadi salah satu masalah kesehatan utama di dunia sampai saat ini, terutama pada anak-anak di bawah lima tahun (Hockenberry & Wilson, 2009). Kelompok anak usia di bawah lima tahun merupakan kelompok yang rentan terhadap kesehatan dan gizi karena sistem kekebalan tubuh



yang



belum berkembang



sehingga



menyebabkan



lebih



mudah terkena masalah nutrisi. (Nurhalinah, 2006; Davis & Sherer, 1994 dalam Fitriyani, 2009). Hal ini dapat diperparah jika bayi lahir prematur dan berat badan lahir rendah sehingga



5



pertumbuhan dan perkembangan terganggu sebagai akibat dari kekurangan nutrisi. Anak usia di bawah lima tahun yang sehat atau kurang gizi dapat diketahui dari pertambahan berat badannya. Bila pertambahan berat badan sesuai dengan pertambahan umur menurut suatu standar organisasi kesehatan dunia, anak tersebut dapat dikatakan bergizi baik. Bila sedikit di bawah standar dikatakan



bergizi



kurang



dan



bila



jauh di



bawah



standar



dikatakan gizi buruk. 2.1.2. Pengukuran Gizi Buruk Gizi buruk ditentukan berdasarkan beberapa pengukuran antara lain: 1) Pengukuran Klinis Metode ini penting untuk mengetahui status gizi balita tersebut gizi buruk atau tidak. Metode ini pada dasarnya didasari oleh perubahan-perubahan yang terjadi dan dihubungkan dengan kekurangan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel seperti kulit,rambut,atau mata. Misalnya pada balita marasmus kulit akan menjadi keriput sedangkan pada balita kwashiorkor kulit terbentuk bercak-bercak putih atau merah muda (crazy pavement dermatosis). 2) Pengukuran Antropometri Metode ini dilakukan beberapa macam pengukuran antara lain pengukuran tinggi badan,berat badan, dan lingkar lengan



atas.



Beberapa pengukuran tersebut, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas sesuai dengan usia yang paling sering dilakukan dalam survei gizi. Di dalam ilmu gizi, status gizi tidak hanya diketahui dengan mengukur BB atau TB sesuai dengan umur secara sendirisendiri, tetapi juga dalam bentuk indikator yang dapat merupakan kombinasi dari ketiganya. Berdasarkan Berat Badan menurut Umur diperoleh kategori :



6



a. Tergolong gizi buruk jika hasil ukur lebih kecil dari -3 SD. b. Tergolong gizi kurang jika hasil ukur -3 SD sampai dengan < -2 SD. c. Tergolong gizi baik jika hasil ukur -2 SD sampai dengan 2 SD. d. Tergolong gizi lebih jika hasil ukur > 2 SD. Berdasarkan pengukuran Tinggi Badan (24 bulan-60 bulan) atau Panjang badan (0 bulan-24 bulan) menurut Umur diperoleh kategori: a. Sangat pendek jika hasil ukur lebih kecil dari -3 SD. b. Pendek jika hasil ukur – 3 SD sampai dengan < -2 SD. c. Normal jika hasil ukur -2 SD sampai dengan 2 SD. d. Tinggi jika hasil ukur > 2 SD. Berdasarkan pengukuran Berat Badan menurut Tinggi badan atau Panjang Badan: a. Sangat kurus jika hasil ukur lebih kecil dari -3 SD. b. Kurus jika hasil ukur – 3 SD sampai dengan < -2 SD. c. Normal jika hasil ukur -2 SD sampai dengan 2 SD. d. Gemuk jika hasil ukur > 2 SD.



2.1.3



Penyebab Gizi Buruk



1) Penyebab langsung, yaitu : a. Keadaan gizi yang dipengaruhi oleh ketidakcukupan asupan makanan



dan



penyakit infeksi



yang



ditimbulkan



seperti



penyakit diare, campak dan infeksi saluran nafas yang kerap menimbulkan berkurangnya nafsu makan. Hal ini sesuai dengan pendapat Hidayati (2011) yang mengatakan bahwa beberapa faktor lain yang mempengaruhi nutrisi pada anak adalah penyakit infeksi, sosial ekonomi, dan tingkat pendidikan orang tua. Kondisi anak yang sakit menyebabkan nutrisi tidak dapat



7



dimanfaatkan tubuh secara optimal karena adanya gangguan akibat penyakit infeksi. b. Malnutrisi yang berawal dari nutrisi ibu yang kurang saat sebelum dan sesudah hamil, dan penyakit infeksi, maka pada gilirannya nanti akan mengakibatkan terlahirnya bayi dengan berat badan rendah yang kemudian akan mengakibatkan gizi buruk pada anak tersebut.



2) Penyebab secara tidak langsung, yaitu : a. Ketersediaan pangan tingkat rumah tangga yang rendah b. Ketersediaan pelayanan kesehatan yang tidak memadai c. Kemiskinan merupakan akibat dari krisis ekonomi dan politik yang mengakibatkan



sulitnya



mendapatkan



pekerjaan



yang



kemudian berakibat pada minimnya pendapatan seseorang dan ketersediaan panganpun berkurang. d. Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi pekerjaan, pendapatan, pengetahuan, dan perilaku orang tua dalam memenuhi kebutuhan nutrisi anak (Depkes, 2008 dalam Sulistiyawati 2011). e. Lingkungan yang tidak sehat dan tempat tinggal yang berjejalan menyebabkan infeksi akan sering terjadi. Dan kemudian penykit infeksi itu akan berpotensi sebagai penyokong atau pembangkit gizi buruk (Gizi Dalam daur Kehidupan. Arisman, MB., 2002).



2.1.4



Kriteria Anak Gizi Buruk 1) Gizi Buruk Tanpa Komplikasi a. BB/TB: < -3 SD dan atau; b. Terlihat sangat kurus dan atau; c. Adanya Edema dan atau; d. LILA < 11,5 cm untuk anak 6-59 bulan



8



2) Gizi Buruk dengan Komplikasi Gizi buruk dengan tanda-tanda tersebut di atas disertai salah satu atau lebih dari tanda komplikasi medis berikut: a. Anoreksia b. Pneumonia berat c. Anemia berat d. Dehidrasi berat b. Demam sangat tinggi c. Penurunan kesadaran



2.1.5



Klasifikasi Gizi Buruk Gizi buruk berdasarkan gejala klinisnya dapat dibagi menjadi tiga : a. Marasmus Marasmus merupakan salah satu bentuk gizi buruk yang paling sering ditemukan pada balita. Hal ini merupakan hasil akhir dari tingkat keparahan gizi buruk.



Gejala



marasmus antara lain anak tampak kurus, rambut tipis dan jarang,kulit keriput yang disebabkan karena lemak di bawah kulit berkurang, muka seperti orang tua (berkerut), balita cengeng dan rewel meskipun setelah makan, bokong baggy pant, dan iga gambang. Pada patologi marasmus awalnya pertumbuhan yang kurang dan atrofi otot serta menghilangnya lemak di bawah kulit



merupakan



proses



fisiologis. Tubuh membutuhkan



energi yang dapat dipenuhi oleh asupan makanan untuk kelangsungan hidup jaringan. Untuk memenuhi kebutuhan energi



cadangan protein juga digunakan. Penghancuran



9



jaringan pada defisiensi kalori tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan energi tetapi juga untuk sistesis glukosa. b. Kwashiorkor Kwashiorkor adalah suatu bentuk malnutrisi protein yang berat disebabkan oleh asupan karbohidrat yang normal atau tinggi dan asupan protein yang inadekuat. Hal ini seperti marasmus,kwashiorkor



juga merupakan hasil



akhir dari



tingkat keparahan gizi buruk. Tanda



khas



kwashiorkor



antara



lain pertumbuhan



terganggu, perubahan mental,pada sebagian besar penderita ditemukan oedema baik



ringan maupun



berat,



gejala



gastrointestinal, rambut kepala mudah dicabut, kulit penderita biasanya kering dengan menunjukkan garis-garis kulit yang lebih mendalam dan lebar,sering ditemukan hiperpigmentasi dan persikan kulit, pembesaran hati,anemia ringan, pada biopsi hati ditemukan perlemakan. Gangguan



metabolik



dan



perubahan



sel



dapat



menyebabkan perlemakan hati dan oedema. Pada penderita defisiensi protein tidak terjadi proses katabolisme jaringan yang sangat berlebihan karena persediaan energi dapat dipenuhi dengan jumlah kalori yang cukup dalam asupan makanan. Kekurangan protein dalam diet akan menimbulkan kekurangan asam amino esensial yang dibutuhkan untuk sintesis. Asupan makanan yang terdapat cukup karbohidrat menyebabkan produksi



insulin



meningkat



dan sebagian



asam amino dari dalam serum yang jumlahnya sudah kurang akan disalurkan ke otot. Kurangnya pembentukan albumin oleh hepar disebabkan oleh berkurangnya asam amino dalam serum yang kemudian menimbulkan oedema. 10



c. Marasmiks-Kwashiorkor Marasmiks-kwashiorkor gejala klinisnya merupakan campuran dari beberapa gejala klinis antara kwashiorkor dan marasmus



dengan Berat Badan (BB) menurut umur (U)