Laporan Koasistensi Diagnosis Laboratorik Veteriner [PDF]

  • Author / Uploaded
  • dewa
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN KOASISTENSI DIAGNOSIS LABORATORIK VETERINER PHYSOCEPHALUS PADA BABI



Oleh : I Dewa Agung Made Wihanjana Putra 2009611065 GELOMBANG 17 KELOMPOK D



LABORATORIUM PARASIT VETERINER KOASISTENSI DIAGNOSIS LABORATORIK FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2021



PENDAHULUAN



Babi merupakan salah satu komoditas ternak penghasil daging yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan karena mempunyai sifat – sifat menguntungkan diantaranya: laju pertumbuhan yang cepat, jumlah anak sekelahiran (litter size) yang tinggi, efisien dalam mengubah pakan menjadi daging dan memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap makanan dan lingkungan. Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan usaha pengembangan ternak babi dari aspek manajemen adalah faktor kesehatan atau kontrol penyakit. Kesehatan ternak merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan produktifitas ternak babi. Salah satu penyakit yang sering mengancam kesehatan peternakan babi adalah parasit cacing yang dikenal dengan istilah Helminthiasis. Cacingan atau Helminthiasis pada ternak babi dapat menyebabkan pertumbuhan terhambat, berat badan rendah, produksi menurun dan infestasi yang berat dapat menyebabkan kematian (Zalizar, 2006). Beberapa cacing yang dapat menyerang babi adalah Ascaris suum (cacing gilig), Trichuis suis (cacing cambuk), Oesophagostomun dentatum (cacing gumpal), Strongyloides ransomi, Ascarops strongylina dan Physocephalus sexalatus (Roepstorf,1991; Gill et al.,1991; Barutzki et al.,1992; Beriajaya et al.,1997). Physocephalosis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing nematoda dari genus physocephalus sp, pada babi penyakit ini disebabkan physocephalus sexalatus. Babi dijangkiti dengan memakan kumbang dan inang paratenik. Telur yang dikeluarkan dari tinja babi ditelan oleh hospes intermediet (kumbang) maupun inang paratenik, telur infektif yang masuk ke dalam rongga badan kumbang, kemudian larva dalam masa 36 hari bekembang menjadi larva infektif dan menjangkiti babi apabila ia makan kumbang. Gejala umum yang ditimbulkan akibat infeksi cacing nematoda gastrointestinal antara lain; gastritis, muntah, dehidrasi, diare, kekurusan dan anemia yang akhirnya menyebabkan kematian (Tjay dan Rahardja, 2007). Kehadiran parasit cacing bisa diketahui melalui pemeriksaan feses, yaitu ditemukan telur cacing pada feses,atau secara langsung melalui pengelihatan, untuk memastikan adanya cacing pada ternak tersebut (Subronto dan Tjahajati, 2001). 1. ETIOLOGI PENYAKIT Physocephalosis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing phylum: nematoda, klass: secernenta, subkelas: spiruria, ordo: spirurida, subordo: spiruroidea, famili : thelazidiae, genus:



ascarops sp, physocephalus sp. Physocephalus sexalatus merupakan jenis cacing gelang yang menyerang babi. Menurut Foster (1912) cacing physocephalus sexalatus yang ditemukan pada lambung babi dimana cacing jantan physocephalus berukuran panjang 6–9 mm dan lebar maksimum sekitar 0,24 mm, sedangkan pada cacing betina berukuran panjang 13-19 mm dan lebar maksimun sekitar 0,33-0,045 mm. Panjang kedua spikula physocephalus sexalatus adalah 2,1–2,25 dan 0,3–0,35mm (Foster 1912 ; Molin 1960). Memiliki mulut dengan dua bibir semu, berdinding tebal, tidak memiliki gigi tengah. Memiliki Faring panjang terdiri dari cincin yang disusun berjajar melingkar menjadi spiral tunggal (single spiral), segmen anterior terdiri dari alel dan lapisan papila servis kiri dan kanan saling berhdapan. Telur cacing physocephalus memiliki ukuran kecil dengan panjang 31-45 µm - lebar 12- 26 µm, berbentuk elips memanjang dengan cangkang tebal dan berisi larva (Thienpont, 1986)



Gambar 1. Larva cacing physocephalus sexalatus (Sumber : Sriwanart, 2004)



Gambar 2. Telur cacing physocephalus sexalatus (Sumber: Thienpont et al. 1986)



2. SIKLUS HIDUP Siklus hidup physocephalus sexalatus dikutip dari Sucher RK. et al (2013). Babi dijangki dengan memakan kumbang coprophagic (Canthon laevis, Geotrupes douei, G. stercorarius, Gymnopleurus sturmi, G. sinnatus, Onthophagus bedeli, O. hecate, O. nebulosus, Phanaeus carnifex, P. vindex, Scarabaeus sacer, S. variolosus). Telur yang dikeluarkan dari tinja babi ditelan oleh hospes intermediet (kumbang ) dan mamalia kecil, reptil dan amfibi sebagai inang paratenik. Telur infektif yang masuk ke dalam rongga badan kumbang atau inang paratenik akan berkembang, menetas dan menjdi larva 1 (L1) kemudian berkembang menjadi larva 3 (L3) dalam waktu 36 hari menjadi infektif. Host terakhir yaitu babi menjadi terinfeksi dengan menelan host perantara atau paratenik yang terinfeksi kemudian larva tersebut akan bermukim di lambung babi (Alicata, 1935).



Gambar 3. Siklus Hidup Physocephalus Sexalatus (Sumber : Jose, 1998) 3. Patogenesis Cacing nematoda dapat menyebabkan penyakit secara langsung melalui hospes definitif maupun tidak langsung melalui hospes intermediet baik melalui telur atau larva infektif.



Patogenesis cacing physocephalus disebabkan dari migrasi larva melalui jaringan tubuh, masuk ke lambung dan berkembang yang mengakibatkan terjadinya kerusakan dan lesi pada mukosa lambung, yang akan menyebabkan peradangan sehingga penyerapan nutrisi menjadi terganggu sehingga manifestasi klinisnya yaitu terjadi penurunan berat badan atau kekurusan pada babi. Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare dan konstipasi (Sriwanart, 2004). 4. Gejala Klinis Penyakit Umumnya gejala klinis tergantung dari beberapa faktor seperti jumlah telur atau larva infektif yang menginfeksi, durasi/lamanya infeksi, kerusakan yang ditimbulkan dan respon imun dari host. Host yang telah terserang infestasi physocephalus sp yaitu babi akan mengalami gejala yaitu gastritis kronis atau akut, tidak nafsu makan, kurus, dehidrasi, diare, anemia, pertumbuhan menurun dan kematian. Pada kasus kematian (post mortem) akibat ascarops sp atau physocephalus sp saat di nekropsi akan menemukan ciri-ciri bagian lambung akan mengalami kemerahan kebengkakan, pendarahan disertai bagian pseudomembran lambung terdapat banyak lendir (Sriwanart, 2004 ; Dwinata et al. 2017). 5.



Diagnosis Penyakit Diagnosa ditegakan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan mikroskopis melalui



pemeriksaan feses untuk menemukan telur cacing ini dalam tinja penderita. Selain itu dilakukan bedah pasca mati dimana dilakukan pemeriksaan isi lambung untuk menemukan caccing dan adanya perubahan patologis pada organ-organ predeleksi (Dwinata et al. 2017). 6. Pengobatan Penanganan penyakit physocephalus pada babi harus memperhatikan beberapa faktor. Selain berfokus pada cacingnya, nutrisi dan manajemen pemeliharaan harus diperhatikan. Nutrisi dan manajemen pemeliharaan yang buruk akan menyebabkan hewan menjadi stress dan menurunkan imunitas hewan, sehingga menyebabkan hewan rentan terhadap penyakit lainnya (Huang et al., 1998; Susanto et al., 2020 ). Dikutip dari Sriwanart (2004) babi yang terkena physocephalus sexalatus pemeberian karbon disulfida 0,1 ml/kg dan



natrium fluorida 1%



dicampur dalam makanan sangat ampuh dan cepat (83-100% efektif). Selain itu pemberian obat



anthelmintik sangat disarankan seperti: Piperazine dengan dosis 120 mg/kg BB secara Per oral, Phenotiazine dengan dosis: 400 mg/kg BB per oral, Thiabendazole dengan dosis: 0,1-0,4 % jumlah makan dan Avermectin dengan dosis: 1 ml/50kg BB secara injeksi di intramuskular atau subkutan (Dwinata et al. 2017). 6. Pencegahan Penyakit Pencegahan yang dapat dilakukan meliputi : Babi yang sakit hendaknya dipisahkan selama masa pengobatan. Selain itu kandang, alat-alat, dan feses harus dibersihkan setiap hari dengan desinfektan sehingga telur tidak berkembang dan mencegah penularan. Disisi lain hindari penyimpanan pupuk kandang dan makanan ditempat yang lembab mencegah menjadi habitat kumbang. Dan diperlukan kesadaran pemilik hewan untuk selalu melakukan pencegahan dengan pemberian obat anthelmintik saat memelihara babi dan perbaikin manajemen peternakan (Dwinata et al. 2017).



DAFTAR PUSTAKA Barutzki, D., A. Randelzhofer and R. Gother. 1992. The incidence of helminth infections in sows and piglets in southern Germany. Tierarztliche Umschau 47: 179–190. Beriajaya, G. Adiwinata dan P.H. Siagian. 1997. Pengaruh pemberian antelmintik terhadap jumlah telur cacing parasit pada ternak babi. Majalah Parasitol. Indonesia 10(8): 8–17. Diesing, K.M. 1851. Systema Helminthum. 588 pp. Vindabonae, Apud Wihelmum Braumuller Dwinata, IM, Apsari, I.A.P, Suratma, N.A. Oka, I.B.M. 2017. Modul Identifikasi Parasit Cacing. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Udayana. Foster W.D. 1912. The roundworms of domestic swine, with special reference to two species parasitic in the stomach. US Departemrnt of Agriculture, Bureau of Animal industry Buletin No. 158, 47 pp. Gill, J.S., Kwarta and J. Singh. 1991. Prevalence of gastrointestinal nematodes of pigs in Punjab state. Livestock Adviser 16: 37–41. Jose San Jesus. 1998. Aparato Digestivo. Gastro Enteritis Verminosa En Porcinos. Slideplayers. Spains. Molin, R. 1860. Una monographia del genre Spiroptera. Sitzungsberichte der Kaiserlichen Akademie der Wissenchaften, Mathematisch-Naturwissenchaftlichr Classe 38, 91110005. Roepstorf, A. 1991. Transmission of intestinal helminths in Danish sow herds. Vet. Parasitol.39: 149–160. Sriwanart. Pirom. 2004. Nematodes Ascarops sp and Physocephalus Sp.Viterinary Roundworm Universitas Kasetsart. Huang HP, Liang SL, Yang HL, and Chen KY. 1998. Nematoda pad hewan. http: //www. Innovet.com /journalis /felprac/ abstr98/ 260202.htm [14 Juni 2021]. Susanto H, Mayangsari K, Retno Sri, Sunaryo Hadi, M. Gandul, Atik Y. 2020. Nematoda pada Anjing dan Kucing Di Klinik Intimedipet Surabaya. Jurnal Biosains Pascasarjana Vol. 22 (2020) Thienpont, D. F. Rochette, O.F.J. Vanpajs. 1986. Diagnosing Helmintiasis by coporagical. Examination Second Edition. Jassen Research Foundation. Beerse, Belgium. Tjay, T. H., dan Rahardja, K. (2007). Obat- obat Penting Kasiat, Penggunaan dan Efek-efek Sampingnya. Elex Media Rahardja, Jakarta. Zalizar, L. 2006. Evaluasi pemakaian antelmintika sintetik di peternakan ayam petelur skala kecil. Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Peternakan dan perikanan 13(2): 139-145.