Laporan Margono Revisi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER FARMASI RUMAH SAKIT RSUD Prof. Dr. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO 1 AGUSTUS – 30 SEPTEMBER 2017



Disusun Oleh : Andhika Jaya Saputra 1608062191 Leliani Fitri Anggraini 1608062164 Endang Wulan Sari 1608062157 Nadia Utami Noor 1608062177 Gita Ayu Aprianti 1608062179 Nita Dwi Indriani 1608062208 Nurul Muthmainnah 1608062226 Wistari Manoppo 1608062282



PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN YOGYAKARTA 2017



i



HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER FARMASI RUMAH SAKIT di RSUD Prof. Dr. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO 1 Agustus – 30 September 2017



Disetujui Oleh: Pembimbing Akademik



Preceptor



Ginanjar Zukhruf Saputri, M.Sc., Apt



Widi Warindra R.S., S.Farm., Apt.



Mengetahui, Ketua Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan



Moch. Saiful Bachri, M. Si., Ph.D., Apt



ii



KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr. Wb. Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan rahmat, nikmat, dan berkah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto periode 1 Agutus – 30 September 2017 dengan baik dan tepat waktu. Penulis menyadari bahwa keberhasilan dalam melaksanakan praktek kerja profesi Apoteker dan penyusunan laporan ini tidak akan terselesaikan tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung. Atas bantuan yang diberikan tersebut penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: a. Dr. Dyah Aryani Perwitasari, Ph.D., M.Sc., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan. b. Moch.Saiful Bachri, M.Si., Ph.D., Apt. selaku Ketua Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. c. Ginanjar Zukhruf Saputri, M.Sc., Apt. selaku Dosen Pembimbing Akademik Praktek Kerja Profesi Apoteker. d. dr. Haryadi Ibnu Junaedi, Sp.B, direktur RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo yang telah mengizinkan kami melaksanakan praktek kerja profesi Apoteker ini. e. Widi Warindra R.S, S.Farm., Apt., Kepala Instalasi Farmasi RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo yang telah mengizinkan kami melaksanakan praktek kerja profesi Apoteker ini. f. Dra. Hj. Aris Widi Astuti, MM., Apt., Drs. Budi Raharjo, Apt., Sp.FRS., Drs. H. Deni Henandar, Apt., Dra. Farida Dyah Setiani, Apt., Vina Septiana B, M.Sc., Apt., Molina Galuh Januar, M.Sc., Apt. selaku Apoteker pembimbing PKPA di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan arahan, saran dan masukan yang membangun dalam pelaksanaan praktek kerja profesi Apoteker dan penyusunan laporan ini. g. Segenap Apoteker, tenaga teknis kefarmasian, dan karyawan Instalasi Farmasi RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo yang telah menerima dan membantu mahasiswa dalam pelaksanaan praktek kerja profesi Apoteker. h. Bapak dan ibu serta segenap keluarga dan rekan-rekan yang telah memberi dukungan moral dan material selama praktek kerja profesi Apoteker berlangsung. i. Rekan-rekan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) periode 1 Agustus – 30 September 2017 dari Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Universitas Setia Budi Surakarta, dan Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Sekolah Tinggi Farmasi Semarang, dan Universitas Jendral Soedirman yang telah memberikan dukungan dan kerja sama selama pelaksanaan PKPA. j. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang telah membantu sehingga praktek kerja profesi Apoteker dapat berjalan dengan lancar dan sukses hingga tersusunnya laporan ini.



iii



Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan ini jauh dari kesempurnaan dan tidak lepas dari kesalahan. Oleh karena hal tersebut, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan laporan ini. Harapan kami, semoga laporan ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang kefarmasian dan menjadi bekal untuk pengabdian profesi Apoteker. Terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Purwokerto,



September 2017 Penulis



iv



DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Leaflet Penggunaan Diskus Inhaler.................................................200 Lampiran 2. Leaflet Penggunaan Fleet Enema....................................................202 Lampiran 3. Form MESO....................................................................................204 Lampiran 4. Skor Naranjo....................................................................................205 Lampiran 5. Form Daftar Pasien yang Mengalami ESO.....................................206 Lampiran 6. Denah Gudang Farmasi Pusat.........................................................207 Lampiran 7. Tata Letak Gudang Logistik RSMS Ruang 6..................................208 Lampiran 8. Tata letak gudang logistik RSMS Ruang 5......................................209 Lampiran 9. Denah Depo Farmasi Rawat Inap RSMS........................................210 Lampiran 10. Denah Depo Farmasi ICU.............................................................212 Lampiran 11. Denah Depo Farmasi HCU............................................................213 Lampiran 12. Denah Depo Farmasi ICCU...........................................................214 Lampiran 13. Denah Depo Farmasi Kemoterapi.................................................215 Lampiran 14. Denah Depo Farmasi IBS Lantai 2................................................216 Lampiran 15. Denah Depo Farmasi IBS Lantai 3................................................217 Lampiran 16. Lembar Pengamatan Efek Samping Obat Kanker.........................218



DAFTAR SINGKATAN



B3 BPJS DFGD DOEN ED EPO FEFO FIFO FORNAS JCI KARS KET LASA MGDs NORUM ODD OK IFRS IP MSDS IT PBF PBI PO PIO ROTD RSUD RSMS SDM SIM SPO SP TFT UDD ULP VK



= Bahan Berbahaya Beracun = Badan Penyelenggara Jaminan Sosial = Depo Farmasi Gawat Darurat = Daftar Obat Esensial Nasional =ExpiredDate = Evalasi Penggunaan Obat =First Expired First Out = First In First Out = Formularium Nasional = Joint Commision International = Komite Akreditasi Rumah Sakit = sectio =Look Alike Sound Alike = Millennium Development Goals = Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip = One daily Dose Dispensing = Operatie Kamer = Instalasi Farmasi Rumah Sakit = Individual Prescribing = Material Safety Data Sheet = Informatika dan Teknologi = PedagangBesarFarmasi = Penerima Bantuan Iuran = Pelayanan order = Pelayanan Informasi Obat = Reaksi Obat yang Tidak Diinginkan = Rumah Sakit Umum Daerah = Rumah Sakit Margono Soekarjo = Sumber Daya Manusia = Sistem Informasi Manajemen = Standar Prosedur Operasional = Surat Pemesanan = Tim Farmasi dan Terapi = Unit Daily Dosage = UnitLayanan Pengadaan = Verlos Kamer



1



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit (preventif), peningkatan kesehatan (promotif), pengobatan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) oleh pemerintah dan/atau masyarakat. Pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat melalui fasilitas pelayanan kesehatan (Anonim, 2009a). Rumah Sakit adalah institusi kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat Sesuai dengan UU RI No. 44 Tahun 2009 Rumah Sakit (Anonim, 2009b). Rumah sakit merupakan salah satu dari sarana kesehatan yang menjadi rujukan pelayanan kesehatan dengan fungsi utama menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat penyembuhan dan pemulihan bagi pasien. Rumah sakit juga merupakan sarana yang menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan yang berfungsi sebagai tempat pendidikan bagi tenaga kesehatan dan kegiatan penelitian (Anonim, 2009b). Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit mengatakan bahwa pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan Rumah Sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang bermutu dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat termasuk pelayanan farmasi klinik (Depkes, 2016). Apoteker adalah tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan dalam bidang kefarmasian sehingga berperan penting dalam



1



pelayanan farmasi pada khususnya. Apoteker dalam melaksanakan kegiatan pelayanan kefarmasian tersebut juga harus mempertimbangkan faktor risiko yang terjadi yang disebut dengan manajemen risiko. Apoteker bertanggung jawab terhadap pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai di Rumah Sakit serta memastikan kualitas, manfaat, dan keamanannya. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai merupakan suatu siklus kegiatan, dimulai dari pemilihan, perencanaan



kebutuhan,



pengadaan,



penerimaan,



penyimpanan,



pendistribusian, pemusnahan dan penarikan, pengendalian, dan administrasi yang diperlukan bagi kegiatan pelayanan kefarmasian (Depkes,2016). Selain itu tugas Apoteker di rumah sakit yakni melakukan pengkajian dan pelayanan resep, penelusuran riwayat penggunaan obat, rekonsiliasi obat, Pelayanan Informasi Obat (PIO), konseling, visite, Pemantauan Terapi Obat (PTO), Monitoring Efek Samping Obat (MESO), Evaluasi Penggunaan Obat (EPO), dispensing sediaan steril dan Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD). Kegiatan tersebut harus didukung oleh sumber daya manusia, sarana, dan peralatan (Depkes,2016). Pelatihan bagi para calon Apoteker menjadi suatu hal yang mutlak sebelum berhadapan langsung dengan masyarakat, yaitu melaksanakan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA). Berkaitan dengan hal tersebut maka dalam kurikulum pendidikan program profesi Apoteker, PKPA menjadi salah satu mata kuliah yang sangat penting guna mempersiapkan mahasiswa calon Apoteker menjadi Apoteker yang siap menjalankan perannya sebagai farmasis, tidak hanya di bidang manajerial saja tetapi juga di bidang fungsional secara profesional. Calon Apoteker dalam pelaksanaan PKPA diharapkan dapat menerapkan teori yang pernah diperoleh selama pendidikan formal untuk diimplementasikan di dalam dunia kerja sehingga menjadi Apoteker yang kompeten.



2



B. Kompetensi Farmasi di Rumah Sakit Apoteker yang bekerja di instalasi farmasi rumah sakit harus memenuhi syarat kompetensi dasar Apoteker Indonesia secara umum, yang meliputi (IAI, 2011): 1. Mampu melakukan praktik kefarmasian secara professional dan etik 2. Mampu menyelesaikan masalah terkait dengan penggunaan sediaan farmasi 3. Mampu melakukan dispensing sediaan farmasi dan alat kesehatan 4. Mampu memformulasi dan memproduksi sediaan farmasi dan alat kesehatan sesuai standar yang berlaku 5. Mempunyai ketrampilan komunikasi dalam pemberian informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan 6. Mampu berkontribusi dalam upaya preventif dan promotif kesehatan masyarakat 7. Mampu mengelola sediaan farmasi dan alat kesehatan sesuai standar yang berlaku 8. Mempunyai ketrampilan organisasi dan mampu membangun hubungan interpersonal dalam melakukan praktik professional kefarmasian 9. Mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berhubungan dengan kefarmasian. C. Tujuan PKPA Setelah pelaksanaan PKPA, mahasiswa calon Apoteker diharapkan mampu: 1. Mengetahui peran, fungsi, dan tanggung jawab Apoteker dalam pelayanan kefarmasian di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto (RSMS). 2. Mengetahui pengelolaan perbekalan farmasi di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto (RSMS). 3. Mengetahui peran Apoteker dalam Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) khususnya dalam seleksi obat di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto (RSMS). 4. Mengetahui proses pelaksanaan farmasi klinik yang telah dilakukan di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto (RSMS).



4



5. Mengetahui sistem distribusi perbekalan farmasi di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto (RSMS). 6. Mengembangkan keterampilan berkomunikasi dengan pasien, keluarga pasien dan tenaga kesehatan lainnya. 7. Memahami konsep pharmaceutical care dan penerapannya dalam pelayanan kepada pasien. D. Pelaksanaan PKPA di Rumah Sakit PKPA dilaksanakan di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto yang diikuti oleh 68 mahasiswa Program Pendidikan Profesi Apoteker dari 8 Universitas yaitu 8 mahasiswa dari Universitas Ahmad Dahlan (UAD), 10 mahasiswa dari Universitas Islam Indonesia (UII), 10 mahasiswa dari Universitas Setia Budi (USB), dan 10 mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) ) 10 mahasiswa dari Universitas Jendaral Soedirman (UNSOED) 10 mahasiswa dari Sekolah Tinggi Farmasi Semarang (STIFAR) dan 10 mahasiswa dari Universitas Muhamadiyah Surakarta. Kegiatan PKPA di rumah sakit tersebut dilaksanakan mulai tanggal 1 Agustus 2017 sampai 30 September 2017.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



5



A. Rumah Sakit 1. Peraturan Perundangan Sebagai Dasar Rumah Sakit Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 44 Tahun 2009 Pasal 1 tentang Rumah Sakit dan PMK No. 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit Pasal 1 Rumah Sakit adalah institusi



pelayanan



kesehatan



perorangan



secara



paripurna



yang



menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Dalam rangka peningkatan mutu dan jangkauan pelayanan Rumah Sakit serta pengaturan hak dan kewajiban masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan, perlu mengatur Rumah Sakit dengan Undang-Undang (Anonim, 2009b). Adapun peraturan yang mengatur mengenai rumah sakit adalah : a. Permenkes RI No. 1045/Menkes/Per/XI/2006 tentang Struktur Organisasi Rumah Sakit. b. Peraturan Menteri Kesehatan No. 56 Tahun 2014 Tentang klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit. c. Peraturan Menteri Kesehatan No. 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. d. Undang-Undang RI No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. e. Permenkes RI No. 69 Tahun 2014 Tentang Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien. f. Perpres RI No. 77 Tahun 2015 Tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit. g. Permenkes RI No. 34 tahun 2017 Tentang Akreditasi Rumah Sakit. h. Permenkes RI No. 24 Tahun 2016 Tentang Persyaratan Teknis Bangunan dan Prasarana Rumah Sakit.



6



2. Definisi Rumah Sakit Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.72 tahun 2016 tentang standar pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit, Rumah sakit adalah institusi pelayanan



kesehatan



yang



menyelenggarakan



pelayanan



kesehatan



perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 44 Tahun 2009 rumah sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. Guna melaksanakan tugasnya, rumah sakit mempunyai berbagai fungsi, yaitu: a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit; b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis; c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan; dan d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangkapeningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan; umum dan keuangan. 3. Klasifikasi Rumah Sakit Menurut Permenkes RI No. 56 Tahun 2014, berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, Rumah sakit dapat dikategorikan dalam dua jenis yakni Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus. a. Rumah Sakit Umum 1) Rumah Sakit Umum Kelas A Pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit Umum kelas A paling sedikit meliputi : pelayanan medik, pelayanan kefarmasian, pelayanan keperawatan dan kebidanan, pelayanan penunjang klinik, pelayanan penunjang non klinik dan pelayanan rawat inap. 7



Pelayanan medik paling sedikit terdiri dari: pelayanan gawat darurat (harus diselenggarakan selama 24 jam sehari secara terus menerus); pelayanan medik spesialis dasar (meliputi pelayanan penyakit dalam, kesehatan anak, bedah, dan obstetri dan ginekologi); pelayanan



medik



spesialis



penunjang



(meliputi



pelayanan



anastesiologi, radiologi, patologi klinik, patologi anatomi, dan rehabilitasi medik); pelayanan medik spesialis lain (meliputi pelayanan mata, telinga hidung tenggorokan, syaraf, jantung dan pembuluh darah, kulit dan kelamin, kedokteran jiwa, paru, orthopedi, urologi, bedah syaraf, bedah plastik, dan kedokteran forensik); pelayanan medik subspesialis (meliputi pelayanan subspesialis di bidang spesialisasi bedah, penyakit dalam, kesehatan anak, obstretri dan ginekologi, mata, telinga hidung dan tenggorokan, syaraf, jantung dan pembuluh darah kulit dan kelamin, kedokteran jiwa, paru, orthopedi, urologi, bedah syaraf, bedah plastik dan gigi mulut); dan pelayanan medik spesialis



gigi



dan



mulut



(meliputi



pelayanan



bedah



mulut,



konservasi/endodonsi, periodonti, orthodonti, prosthodonti, pedodonsi, dan penyakit mulut). Pelayanan kefarmasian meliputi pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai, dan pelayanan farmasi klinik. Pelayanan rawat inap harus dilengkapi dengan fasilitas sebagai berikut: a) Jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit Milik Pemerintah; b) Jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 20% (dua puliuh persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit Milik Swasta; c) Jumlah tempat tidur perawatan intensif sebanyak 5% (lima persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit MIlik Pemerintah dan Rumah Sakit Milik Swasta. Sumber Daya Manusia (SDM) Rumah Sakit Umum kelas A untuk



8



tenaga kefarmasian terdiri atas sebagai berikut: paling sedikit terdiri atas: 1 (satu) Apoteker sebagai kepala instalasi farmasi Rumah Sakit, 5 (lima) Apoteker yang bertugas di rawat jalan yang dibantu oleh paling sedikit 10 (sepuluh) tenaga teknis kefarmasian, 5 (lima) Apoteker di rawat inap yang dibantu oleh paling sedikit 10 (sepuluh) tenaga teknis kefarmasian, 1 (satu) Apoteker di instalasi gawat darurat yang dibantu oleh minimal 2 (dua) tenaga teknis kefarmasian, 1 (satu) Apoteker di ruang ICU yang dibantu oleh paling sedikit 2 (dua) tenaga teknis kefarmasian, 1 (satu) Apoteker sebagai koordinator penerimaan dan distribusi yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian Rumah Sakit, dan 1 (satu) Apoteker sebagai koordinator produksi yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian Rumah Sakit. 2) Rumah Sakit Umum Kelas B Pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit Umum kelas B paling sedikit meliputi : pelayanan medik, pelayanan kefarmasian, pelayanan keperawatan dan kebidanan, pelayanan penunjang klinik, pelayanan penunjang nonklinik dan pelayanan rawat inap. Pelayanan medik paling sedikit terdiri dari: pelayanan gawat darurat (harus diselenggarakan selama 24 jam sehari secara terus menerus); pelayanan medik spesialis dasar (meliputi pelayanan penyakit dalam, kesehatan anak, bedah, dan obstetri dan ginekologi), pelayanan



medik



spesialis



penunjang



(meliputi



pelayanan



anastesiologi, radiologi, patologi klinik, patologi anatomi, dan rehabilitasi medik), pelayanan medik spesialis lain (paling sedikit berjumlah 8 dari 13 pelayanan yang meliputi: pelayanan mata, telinga hidung tenggorokan, syaraf, jantung dan pembuluh darah, kulit dan



9



kelamin, kedokteran jiwa, paru, orthopedi, urologi, bedah syaraf, bedah plastik, dan kedokteran forensik), pelayanan medik subspesialis (paling sedikit berjumlah 2 pelayanan subspesialis dari 4 pelayanan subspesialis



yang



meliputi



pelayanan



subspesialis



di



bidang



spesialisasi bedah, penyakit dalam, kesehatan anak, obstretr dan ginekologi, mata, telinga hidung dan tenggorokan, syaraf, jantung dan pembuluh darah kulit dan kelamin, kedokteran jiwa, paru, orthopedi, urologi, bedah syaraf, bedah plastik dan gigi mulut), dan pelayanan medik spesialis gigi dan mulut (paling sedikit berjumlah 3 pelayanan yang



meliputi



pelayanan



bedah



mulut,



konservasi/endodonsi,



periodonti, orthodonti, prosthodonti, pedodonsi, dan penyakit mulut). Pelayanan kefarmasian meliputi pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai, dan pelayanan farmasi klinik. Pelayanan rawat inap harus dilengkapi dengan fasilitas sebagai berikut: a) Jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit Milik Pemerintah. b) Jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 20% (dua puliuh persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit Milik Swasta. c) Jumlah tempat tidur perawatan intensif sebanyak 5% (lima persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit MIlik Pemerintah dan Rumah Sakit Milik Swasta. Sumber Daya Manusia (SDM) Rumah Sakit Umum kelas B untuk tenaga kefarmasian terdiri atas sebagai berikut:, paling sedikit terdiri atas: 1 (satu) Apoteker sebagai kepala instalasi farmasi Rumah Sakit, 4 (empat) Apoteker yang bertugas di rawat jalan yang dibantu oleh paling sedikit 8 (delapan) tenaga teknis kefarmasian, 4 (empat) Apoteker di rawat inap yang dibantu oleh paling sedikit 8 (delapan) tenaga teknis kefarmasian, 1 (satu) Apoteker di instalasi gawat darurat yang dibantu olehminimal 2 (dua) tenaga teknis kefarmasian, 1 (satu) 10



Apoteker di ruang ICU yang dibantu oleh paling sedikit 2 (dua) tenaga teknis kefarmasian; 1 (satu) Apoteker sebagai koordinator penerimaan dan distribusi yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian Rumah Sakit; dan 1 (satu) Apoteker sebagai koordinator produksi yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian Rumah Sakit. 3) Rumah Sakit Umum Kelas C Pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit Umum kelas C paling sedikit meliputi : pelayanan medik, pelayanan kefarmasian, pelayanan keperawatan dan kebidanan, pelayanan penunjang klinik, pelayanan penunjang nonklinik dan pelayanan rawat inap. Pelayanan medik paling sedikit terdiri dari: pelayanan gawat darurat (harus diselenggarakan selama 24 jam sehari secara terus menerus); pelayanan medik umum (meliputi pelayanan medik dasar, medik gigi mulut, kesehatan ibu dan anak dan keluarga berencana); pelayanan medik spesialis dasar (meliputi pelayanan penyakit dalam, kesehatan anak, bedah, dan obstetri dan ginekologi); pelayanan medik spesialis penunjang (meliputi pelayanan anastesiologi, radiologi, dan patologi klinik); pelayanan medik spesialis gigi dan mulut (paling sedikit berjumlah 1 pelayanan). Pelayanan kefarmasian meliputi pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai, dan pelayanan farmasi klinik. Pelayanan rawat inap harus dilengkapi dengan fasilitas sebagai berikut: a) Jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit Milik Pemerintah;



11



b) Jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 20% (dua puliuh persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit Milik Swasta; c) Jumlah tempat tidur perawatan intensif sebanyak 5% (lima persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit Milik Pemerintah dan Rumah Sakit Milik Swasta. Sumber Daya Manusia (SDM) Rumah Sakit Umum kelas C untuk tenaga kefarmasian terdiri atas sebagai berikut: paling sedikit terdiri atas : 1 (satu) Apoteker sebagai kepala instalasi farmasi Rumah Sakit; 2 (dua) Apoteker yang bertugas di rawat jalan yang dibantu oleh paling sedikit 4 (empat) tenaga teknis kefarmasian; 4 (empat) Apoteker di rawat inap yang dibantu oleh paling sedikit 8 (delapan) tenaga teknis kefarmasian; 1 (satu) Apoteker sebagai koordinator penerimaan, distribusi dan produksi yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian Rumah Sakit. 4) Rumah Sakit Umum Kelas D Rumah Sakit Umum Kelas D diklasifikasikan menjadi Rumah Sakit Umum Kelas D dan Rumah Sakit Umum Kelas D Pratama. Untuk pelayanan Rumah Sakit Umum Kelas D, pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit Umum kelas D paling sedikit meliputi: pelayanan medik, pelayanan kefarmasian, pelayanan keperawatan dan kebidanan,



pelayanan



penunjang



klinik,



pelayanan



penunjang



nonklinik dan pelayanan rawat inap. Pelayanan medik paling sedikit terdiri dari: pelayanan gawat darurat (harus diselenggarakan selama 24 jam sehari secara terus menerus), pelayanan medik umum (meliputi pelayanan medik dasar, medik gigi mulut, kesehatan ibu dan anak dan keluarga berencana), pelayanan medik spesialis dasar (paling sedikit dua yang meliputi pelayanan penyakit dalam, kesehatan anak, bedah, dan obstetri dan ginekologi), pelayanan medik spesialis penunjang (meliputi pelayanan 12



radiologi



dan



laboratorium).



Pelayanan



kefarmasian



meliputi



pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai, dan pelayanan farmasi klinik. Pelayanan rawat inap harus dilengkapi dengan fasilitas sebagai berikut: a) Jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit Milik Pemerintah; b) Jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 20% (dua puliuh persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit Milik Swasta; c) Jumlah tempat tidur perawatan intensif sebanyak 5% (lima persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit Milik Pemerintah dan Rumah Sakit Milik Swasta. Sumber Daya Manusia (SDM) Rumah Sakit Umum kelas D untuk tenaga kefarmasian terdiri atas sebagai berikut: paling sedikit terdiri atas : 1 (satu) Apoteker sebagai kepala instalasi farmasi Rumah Sakit; 1 (satu) Apoteker yang bertugas di rawat inap dan rawat jalan yang dibantu oleh paling sedikit 2 (dua) tenaga teknis kefarmasian; 1 (satu) Apoteker sebagai koordinator penerimaan, distribusi dan produksi yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian Rumah Sakit. . Rumah Sakit Umum Kelas D Pratama hanya dapat didirikan dan diselenggarakan di daerah tertinggal, perbatasan, atau kepulauan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Rumah Sakit Umum kelas D pratama dapat juga didirikan di kabupaten/kota, apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: a) Belum tersedia Rumah Sakit di kabupaten atau kota yang bersangkutan.



13



b) Rumah Sakit yang telah beroperasi di kabupaten/kota yang bersangkutan kapasitasnya belum mencukupi. c) Lokasi Rumah Sakit yang telah beroperasi sulit dijangkau secara geografis oleh sebagian penduduk di kabupaten atau kota yang bersangkutan. b. Klasifikasi Rumah Sakit Khusus Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 56 Tahun 2014, Rumah sakit khusus harus mempunyai fasilitas dan kemampuan, paling sedikit meliputi: 1) Pelayanan yang diselenggarakan meliputi: a) Pelayanan medik, paling sedikit terdiri dari: pelayanan gawat darurat, tersedia 24 (dua puluh empat) jam sehari terus menerus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; pelayanan medik umum; pelayanan medik spesialis dasar sesuai dengan kekhususan; pelayanan medik spesialis dan/atau subspesialis sesuai kekhususan; pelayanan medik spesialis penunjang b) c) d) e)



Pelayanan Kefarmasian Pelayanan keperawatan Pelayanan Penunjang Klinik Pelayanan penunjang nonklinik



2) Sumber daya manusia untuk tenaga kefarmasian, paling sedikit terdiri dari: kualifikasi Apoteker dan tenaga tekhnis kefarmasian dengan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan kefarmasian rumah sakit (Depkes, 2014). 4. Struktur Organisasi Rumah Sakit Unsur organisasi Rumah Sakit selain kepala Rumah Sakit atau direktur Rumah Sakit dapat berupa direktorat, departemen, divisi, instalasi, unit kerja, komite dan/atau satuan sesuai dengan kebutuhan dan beban kerja Rumah Sakit (Depkes, 2006). Setiap Rumah Sakit harus memiliki suatu organisasi yang efektif, efisien dan akuntabel dalam rangka mencapai visi dan misi Rumah Sakit sesuai tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) dan tata kelola klinis yang baik (Good Clinical Governance). Berdasarkan



14



Perpres RI No. 77 Tahun 2015 tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit, organisasi Rumah Sakit paling sedikit terdiri atas: a. b. c. d. e. f. g.



Kepala Rumah Sakit atau direktur Rumah Sakit Unsur pelayanan medis Unsur keperawatan Unsur penunjang medis Unsur administrasi umum dan keuangan Komite medis Satuan pemeriksaan internal



5. Akreditasi Rumah Sakit Berdasarkan Permenkes No. 34 Tahun 2017 tentang Akreditasi Rumah Sakit, Akreditasi Rumah Sakit merupakan sebuah pengakuan terhadap mutu pelayanan Rumah Sakit, setelah dilakukan penilaian bahwa Rumah Sakit telah memenuhi Standar Akreditasi yang di lakukan secara berkala paling sedikit setiap 3 (tiga) tahun sekali. Akreditasi di lakukan oleh Rumah Sakit paling lama setelah beroperasi 2 (dua) tahun sejak memperoleh izin untuk pertama kali. Berdasarkan penyelenggaraannya akreditasi dapat di laksanakan oleh lembaga independen yang berasal dari dalam atau luar negri yang telah terakreditasi oleh lembaga Internasional Society for Quality in Health Care (ISQua). Penyelenggaraan akreditasi meliputi kegiatan persiapan akreditasi, pelaksanaan akreditasi dan pasca akreditasi (Depkes, 2017). Lembaga independen yang berasal dari dalam atau luar negri yang telah terakreditasi oleh lembaga Internasional Society for Quality in Health Care (ISQua) adalah Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS). Keputusan akreditasi KARS berdasarkan capaian Rumah Sakit terhadap standar nasional akreditasi Rumah Sakit. Adapun status akreditasi Rumah Sakit dibedakan sebagai berikut: a. Rumah Sakit Non Pendidikan 1. Tidak lulus : jika 15 bab yang disurvei, semua mendapat nilai kurang dari 60%. Jika Rumah Sakit tidak lulus akreditasi, dapat mengajukan akreditasi ulang setelah rekomendasi dari surveior dilaksanakan. 15



2. Akreditasi tingkat dasar : jika dari 15 bab yang disurvei hanya 4 bab yang mendapat nilai minimal 80% dan 11 bab lainnya tidak ada yang mendapat nilai dibawah 20%. 3. Akreditasi tingkat madya : jika dari 15 bab yang disurvei ada 8 bab yang mendapat nilai minimal 80% dan 7 bab lainnya tidak ada yang mendapat nilai dibawah 20%. 4. Akreditasi tingkat utama : jika dari 15 bab yang disurvei ada 12 bab yang mendapat nilai minimal 80% dan 3 bab lainnya tidak ada yang mendapat nilai dibawah 20%. 5. Akreditasi tingkat paripurna : jika dari 15 bab yang disurvei semua bab mendapat nilai minimal 80%. b. Rumah Sakit Pendidikan 1. Tidak lulus : jika 16 bab yang disurvei, semua mendapat nilai kurang dari 60%. Jika Rumah Sakit tidak lulus akreditasi, dapat mengajukan akreditasi ulang setelah rekomendasi dari surveior dilaksanakan. 2. Akreditasi tingkat dasar : jika dari 16 bab yang disurvei hanya 4 bab, dimana salah satu babnya adalah institusi pendidikan pelayanan kesehatan mendapat nilai minimal 80% dan 12 bab lainnya tidak ada yang mendapat nilai dibawah 20%. 3. Akreditasi tingkat madya : jika dari 16 bab yang disurvei ada 8 bab, dimana salah satu babnya adalah institusi pendidikan pelayanan kesehatan mendapat nilai minimal 80% dan 8 bab lainnya tidak ada yang mendapat nilai dibawah 20%. 4. Akreditasi tingkat utama : jika dari 16 bab yang disurvei ada 12 bab, dimana salah satu babnya adalah institusi pendidikan pelayanan kesehatan mendapat nilai minimal 80% dan 4 bab lainnya tidak ada yang mendapat nilai dibawah 20%. 5. Akreditasi tingkat paripurna : jika dari 16 bab yang disurvei semua bab mendapat nilai minimal 80% (Anonim,2017).



16



B. Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit Dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 72 Tahun 2014 menyatakan bahwa pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan Rumah Sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang bermutu dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat termasuk pelayanan farmasi klinik (Depkes, 2016). Apoteker sekarang dituntut untuk meningatkan kompetensi yang meliputi pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku langsung dengan pasien. Bentuk interaksi tersebut antara lain adalah melaksakan pemberian informasi obat, monitoring penggunaan obat, dan hasil akhir yang sesuai harapan, serta terdokumentasi dengan baik. Apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pekerjaan kefarmasian, sehingga dalam menjalankan praktik harus sesuai dengan standar yang ada. Apoteker juga harus mampu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya dalam penetapan terapi untuk mendukung penggunaan obat yanag rasional (Depkes, 2016). Dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dinyatakan bahwa Rumah Sakit harus memenuhi persyaratan lokasi, bangunan, prasarana, sumber daya manusia, kefarmasian, dan peralatan. Persyaratan kefarmasian harus menjamin ketersediaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang bermutu, bermanfaat, aman, dan terjangkau. Selain itu, pelayanan sediaan farmasi di Rumah Sakit harus mengikuti standar pelayanan kefarmasian yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Anonim, 2009b). Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan baha medis habis pakai harus dilaksanakan secara multidisiplin, terkoordinir dan menggunakan proses yang efektif untuk menjamin kendali mutu dan kendali biaya. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan baha medis habis pakai di Rumah Sakit harus dilakukan oleh Instalasi Farmasi satu pintu. Alat kesehatan yang dikelola oleh Instalasi Farmasi Satu Pintu berupa alat medis habis



17



pakai/peralatan non elektromedik, antara lain alat kontrsepsi (IUD), alat pacu jantung, implan, dan Stent (Depkes, 2016). Pelayanan farmasi dengan sistem satu pintu adalah satu kebijakan kefarmasian termasuk pembuatan formularium, pengadaan, dan pendistribusian sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang bertujuan untuk mengutamakan kepentingan pasien melalui Instalasi Farmasi Rumah Sakit. Dengan demikian semua sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang beredar di Rumah Sakit merupakan tanggung jawab Instalasi Farmasi Rumah Sakit, sehingga tidak ada pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai di Rumah Sakit yang dilaksanakan selain oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit (Depkes, 2016). Pengorganisasian Instalasi Farmasi harus mencakup penyelenggaraan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai, pelayanan farmasi klinik dan manajemen mutu, dan bersifat dinamis dapat direvisi sesuai kebutuhan dengan tetap menjaga mutu. Tugas Instalasi Farmasi, meliputi: 1. Menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan Pelayanan Kefarmasian yang optimal dan profesional serta sesuai prosedur dan etik profesi. 2. Melaksanakan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang efektif, aman, bermutu dan efisien. 3. Melaksanakan pengkajian dan pemantauan penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai guna memaksimalkan efek terapi dan keamanan serta meminimalkan risiko. 4. Melaksanakan Komunikasi, Edukasi dan Informasi (KIE) serta memberikan rekomendasi kepada dokter, perawat dan pasien. 5. Berperan aktif dalam Komite/Tim Farmasi dan Terapi. 6. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan serta pengembangan pelayanan kefarmasian. 7. Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan formularium Rumah Sakit (Depkes, 2016).



18



Dengan kebijakan pengelolaan sistem satu pintu pula, Instalasi Farmasi sebagai satu-satunya penyelenggara pelayanan kefarmasian, sehingga Rumah Sakit akan mendapatkan manfaat dalam hal : 1. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai. 2. Standarisasi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai. 3. Penjaminan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai. 4. Pengendalian harga sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai. 5. Pemantauan terapi Obat. 6. Penurunan risiko kesalahan terkait penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai (keselamatan pasien). 7. Kemudahan akses data sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang akurat. 8. Peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit dan citra Rumah Sakit. 9. Peningkatan pendapatan Rumah Sakit dan peningkatan kesejahteraan pegawai (Depkes, 2016). Rumah Sakit harus menyusun kebijakan terkait manajemen pengunaan obat yang efektif. Kebijakan tersebut harus ditinjau ulang sekurang-kurangnya sekali setahun. Peninjauan ulang sangat membantu Rumah Sakit memahami kebutuhan dan prioritas dari perbaikan sistem mutu dan keselamatan penggunaan obat yang berkelanjutan. Rumah Sakit perlu mengembangkan kebijakan pengelolaan obat untuk meningkatkan keamanan, khususnya obat yang perlu diwaspadai (high-alert medication) (Depkes, 2016). High-alert medication adalah obat yang harus diwaspadai karena sering menyebabkan terjadi kesalahan/kesalahan serius (sentinel event) dan obat yang berisiko tinggi menyebabkan Reaksi Obat yang Tidak Diinginkan (ROTD). Kelompok obat high-alert diantaranya: 1. Obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip/NORUM, atau Look Alike Sound Alike/LASA). 2. Elektrolit konsentrasi tinggi (misalnya kalium klorida 2meq/ml atau yang lebih pekat, kalium fosfat, natrium klorida lebih pekat dari 0,9%, dan magnesium sulfat = 50% atau lebih pekat). 19



3. Obat-obat sitostatika. Kegiatan pelayanan farmasi di Rumah Sakit, meliputi pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai (pengelolaan perbekalan farmasi) dan pelayanan farmasi klinik (Depkes, 2016). 1. Pengelolaan Perbekalan Farmasi a. Pemilihan/Seleksi Pemilihan adalah kegiatan untuk menetapkan jenis sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan. Pemilihan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai ini berdasarkan: 1) Formularium dan standar pengobatan/pedoman diagnosa dan terapi 2) Standar sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang telah ditetapkan 3) Pola penyakit 4) Efektifitas dan keamanan 5) Pengobatan berbasis bukti 6) Mutu 7) Harga 8) Ketersediaan di pasaran Formularium Rumah Sakit disusun mengacu kepada Formularium Nasional. Formularium Rumah Sakit merupakan daftar obat yang disepakati staf medis, disusun oleh Tim Farmasi dan Terapi (TFT) yang ditetapkan oleh Pimpinan Rumah Sakit. Formularium Rumah Sakit harus tersedia untuk semua penulis resep, pemberi obat, dan penyedia obat di Rumah Sakit. Evaluasi terhadap formularium Rumah Sakit harus secara rutin dan dilakukan revisi sesuai kebijakan dan kebutuhan Rumah Sakit. Penyusunan dan revisi formularium Rumah Sakit dikembangkan berdasarkan pertimbangan terapetik dan ekonomi dari penggunaan obat agar dihasilkan formularium Rumah Sakit yang selalu mutakhir dan dapat memenuhi kebutuhan pengobatan yang rasional (Depkes, 2016). Kriteria pemilihan obat untuk masuk formularium Rumah Sakit:



20



1) Mengutamakan penggunaan obat generik. 2) Memiliki rasio manfaat-risiko (benefit-risk ratio) yang paling menguntungkan penderita. 3) Mutu terjamin, termasuk stabilitas dan bioavailabilitas. 4) Praktis dalam penyimpanan dan pengangkutan. 5) Praktis dalam penggunaan dan penyerahan. 6) Menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan oleh pasien. 7) Memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) yang tertinggi berdasarkan biaya langsung dan tidak lansung. 8) Obat lain yang terbukti paling efektif secara ilmiah dan aman (evidence based medicines) yang paling dibutuhkan untuk pelayanan dengan harga yang terjangkau (Depkes, 2016). Pemilihan obat di rumah sakit merujuk pada Formularium Nasional (FORNAS) dan Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN). Sedangkan pemilihan alat kesehatan di rumah sakit dapat berdasarkan dari data pemakaian sebelumnya, standar ISO, daftar harga alat, daftar alat kesehatan yang dikeluarkan oleh Ditjen Binfar dan Alkes, serta spesifikasi yang ditetapkan oleh rumah sakit (Depkes, 2008a). b. Perencanaan Kebutuhan Perencanaan kebutuhan merupakan kegiatan untuk menentukan jumlah dan periode pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan hasil kegiatan pemilihan untuk menjamin terpenuhinya kriteria tepat jenis, tepat jumlah, tepat waktu dan efisien. Perencanaan dilakukan untuk menghindari kekosongan Obat dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan antara lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi dan disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Pedoman perencanaan harus mempertimbangkan: 1) Anggaran yang tersedia 2) Penetapan prioritas



21



3) Sisa persediaan 4) Data pemakaian periode yang lalu 5) Waktu tunggu pemesanan 6) Rencana pengembangan (Depkes, 2016). Tahapan perencanaan yaitu: 1) Tahap pemilihan obat, dilakukan untuk menentukan obat yang benarbenar diperlukan sesuai dengan pola penyakit. 2) Tahap kompilasi pemakaian obat adalah rekapitulasi data pemakaian obat di unit pelayanan kesehatan. 3) Tahap perhitungan kebutuhan obat, dapat dilakukan dengan metode konsumsi, epidemiologi maupun metode gabungan konsumsi dan epidemiologi. 4) Tahap proyeksi kebutuhan obat, adalah perhitungan kebutuhan obat secara komprehensif dengan mempertimbangkan data pemakaian obat dan jumlah sisa stok pada periode yang masih berjalan. 5) Tahap penyesuaian rencana pengadaan obat, dilakukan penyesuaian terhadap rencana pengadaan obat dengan anggaran dana yang tersedia (Depkes, 2008a). Perencanaan dapat dibuat berdasarkan beberapa metode, yaitu konsumsi, epidemiologi, serta kombinasi antara metode konsumsi dan epidemiologi. 1) Metode Konsumsi Metode konsumsi adalah metode yang didasarkan atas analisa data



konsumsi



obat



periode sebelumnya.



Perhitungan



kebutuhan obat dengan metode konsumsi perlu memperhatikan halhal berikut: a). Pengumpulan dan pengolahan data b). Analisa data untuk informasi dan evaluasi c). Perhitungan perkiraan kebutuhan obat d). Penyesuaian jumlah kebutuhan obat dengan alokasi dana (Depkes, 2008a).



22



Data yang perlu dipersiapkan untuk perhitungan dengan metodekonsumsi: a). Daftar obat b). Stok awal c). Penerimaan d). Pengeluaran e). Sisa stok f). Obat hilang/rusak, kadaluarsa g). Kekosongan obat h). Pemakaian rata-rata/pergerakan obat pertahun i). Waktu tunggu j). Stok pengaman/safety stock k). Perkembangan pola kunjungan Rumus yang digunakan: CT = (CA x T) + SS – Si Keterangan: CT = Kebutuhan per periode waktu CA = Kebutuhan rata-rata waktu (bulan) T = Lama kebutuhan (bulan/tahun) SS = Safety Stok Si = Sisa Stok Kelebihan dari metode konsumsi ini yaitu mudah digunakan, tidak memerlukan data penyakit maupun standar pengobatan, serta jika data konsumsi lengkap, pola penulisan resep tidak berubah dan kebutuhan relatif konstan data yang diperoleh dinilai akurat sehingga kemungkinan kelebihan maupun kekurangan obat sangat kecil. 2) Metode Epidemiologi Metode ini dapat juga disebut dengan metode morbiditas. Metode ini dalam perhitungannya menggunakan data pola penyakit. Metode epidemiologi didasarkan pada jumlah kunjungan, frekuensi penyakit, serta standar pengobatan. Langkah-langkah yang dilakukan



23



dalam metode ini yaitu menghitung jumlah pasien yang akan dilayani, menentukan jumlah kunjungan kasus berdasarkan frekuensi penyakit, serta menghitung kebutuhan obat berdasarkan standar pengobatan yang disesuaikan dengan jumlah pasien yang akan dilayani (Depkes, 2008a). Langkah-langkah dalam metode ini adalah: a). Menetapkan pola morbiditas penyakit berdasarkan kelompok umur dan penyakit. b). Menyiapkan data populasi penduduk. c). Menyediakan data masing-masing penyakit pertahun untuk seluruh populasi pada kelompok umur yang ada. d). Menghitung frekuensi kejadian masing-masing penyakit pertahun untuk seluruh populasi pada kelompok umur yang ada. e). Menghitung jenis, jumlah, dosis, frekuensi dan lama pembelian obat menggunakan pedoman pengobatan yang ada. f). Menghitung jumlah yang harus diadakan untuk tahun anggaran yang akan datang (Depkes, 2008a). Rumus yang digunakan: CT = (CE x T) + SS – Si Keterangan: CT = Kebutuhan per periode waktu CE = Perhitungan standar pengobatan T = Lama kebutuhan (bulan/tahun) SS = Safety Stok Si = Sisa Stok Kelebihan dari metode epidemiologi ini yaitu perkiraan kebutuhan obat mendekati kebenaran dan dapat mendukung usaha untuk



memperbaiki



pola



penggunaan



obat



karena



dalam



perhitungannya menggunakan standar pengobatan. Kekurangan dari metode ini yaitu membutuhan banyak waktu dan tenaga, sebab perhitungannya lebih sulit terutama jika data penyakit tidak mudah



24



didapatkan karena tidak dilakukannya pencatatan dan pelaporan yang baik (Depkes, 2008a). 3) Metode Kombinasi Konsumsi dan Epidemiologi Metode ini digunakan karena adanya keterbatasan pada kedua metode konsumsi dan epidemiologi, dengan metode kombinasi bisa meminimalkan kekurangan dari masing-masing metode konsumsi maupun epidemiologi (Quick et al, 2012). Proses perencanaan dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai hal, salah satunya yaitu alokasi dana sehingga dalam penyusunan perencanaan diperlukan skala prioritas untuk menentukan obat-obat yang akan masuk dalam daftar perencanaan. Adapun metode yang digunakan dalam menentukan skala prioritas, yaitu: a) Analisa ABC Analisis ABC digunakan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan dana dengan pengelompokan obat atau perbekalan farmasi berdasarkan jumlah anggaran yang digunakan (Suciati, 2006). Obat yang termasuk dalam kelompok A adalah obat yang jumlah nilai rencana pengadaannya menyerap dana sekitar 80% dan jumlah item obatnya 20%. Kelompok B adalah obat yang jumlah nilai rencana pengadaannya menyerap dana sekitar 15% dan jumlah item obatnya sekitar 30%, sedangkan kelompok C menyerap dana sekitar 5% dan jumlah item obatnya 50%. (Suciati, 2006). b) Analisa VEN Analisis VEN digunakan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan dana dengan pengelompokan obat atau perbekalan farmasi berdasarkan dampak tiap jenis obat pada kesehatan. Kelompok V (vital) adalah obat-obat life saving, vaksin, dan obatobat untuk penyakit penyebab kematian terbesar. Kelompok E (essensial) adalah kelompok obat yang bekerja kausal/obat-obat yang dapat menyembuhkan. Kelompok N (non essensial) yaitu



25



obat-obat penunjang atau untuk mengatasi keluhan ringan (Depkes, 2008a). c) Kombinasi ABC-VEN Metode ini digunakan untuk menetapkan prioritas untuk pengadaan obat dimana anggaran yang ada tidak sesuai dengan kebutuhan, yang dilakukan dengan mengkombinasikan metode ABC-VEN, kemudian mengurangi obat pada kelompok tertentu (Depkes, 2008a). Berikut adalah gambar metode ABC-VEN : A



B



C



V



VA



VB



VC



E



EA



EB



EC



N



NA



NB



NC



Gambar 1. Metode ABC-VEN c. Pengadaan Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk merealisasikan perencanaan kebutuhan. Pengadaan yang efektif harus menjamin ketersediaan, jumlah, dan waktu yang tepat dengan harga yang terjangkau dan sesuai standar mutu. Untuk memastikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan mutu dan spesifikasi yang dipersyaratkan maka jika proses pengadaan dilaksanakan oleh bagian lain diluar Instalasi Farmasi harus melibatkan tenaga kefarmasian. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai antara lain: 1) Bahan baku obat harus disertai sertifikat analisa. 2) Bahan berbahaya harus menyertakan Material Safety Data Sheet (MSDS). 3) Sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai harus mempunyai No. izin edar.



26



4) Expired date minimal 2 (dua) tahun kecuali untuk sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai tertentu (vaksin, reagensia, dan lain-lain). Rumah Sakit harus memiliki mekanisme yang mencegah kekosongan stok obat yang secara normal tersedia di Rumah Sakit dan mendapatkan obat saat Instalasi Farmasi tutup.



Pengadaan dapat dilakukan melalui: 1) Pembelian Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1197 Tahun 2004 pembelian yang di lakukan untuk merealisasikan kebutuhan yang telah direncanakan dan disetujui yaitu secara tender oleh Panitia Pembelian



Barang



Farmasi



dan



pembelian



langsung



dari



pabrik/distributor/pedagang besar farmasi/rekanan. Untuk Rumah Sakit pemerintah pembelian sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai harus sesuai dengan ketentuan pengadaan barang dan jasa yang berlaku. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembelian adalah: a). Kriteria sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai, yang meliputi kriteria umum dan kriteria mutu obat. b). Persyaratan pemasok. c). Penentuan waktu pengadaan dan kedatangan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai. d). Pemantauan rencana pengadaan sesuai jenis, jumlah dan waktu (Anonim,2004). 2) Produksi Sediaan Farmasi Produksi perbekalan farmasi di Rumah Sakit merupakan kegiatan membuat, merubah bentuk, dan pengemasan kembali sediaan farmasi steril atau non steril untuk memenuhi kebutuhan pelayanan



27



kesehatan di rumah sakit. Instalasi Farmasi Rumah Sakit dapat memproduksi sediaan tertentu apabila: a). Sediaan farmasi tidak ada di pasaran. Contoh: ekstrak allergen. b). Sediaan farmasi lebih murah jika diproduksi sendiri. Contoh: betadine gargle, tetes telinga peroksida. c). Sediaan farmasi dengan formula khusus. Contoh: salep zink. d). Sediaan farmasi dengan kemasan yang lebih kecil/repacking. Contoh: povidone iodine, alkohol 70%. e). Sediaan farmasi untuk penelitian. Contoh: Reagen. f). Sediaan farmasi yang tidak stabil dalam penyimpanan/harus dibuat baru (recenter paratus). Contohnya: alcuta (cairan untuk cuci tangan). Sediaan yang dibuat di Rumah Sakit harus memenuhi persyaratan mutu dan terbatas hanya untuk memenuhi kebutuhan pelayanan di Rumah Sakit tersebut. 3) Sumbangan/Dropping/Hibah Instalasi Farmasi harus melakukan pencatatan dan pelaporan terhadap penerimaan dan penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sumbangan/dropping/ hibah. Seluruh kegiatan penerimaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dengan cara sumbangan/dropping/hibah harus disertai dokumen administrasi yang lengkap dan jelas. agar penyediaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dapat membantu pelayanan kesehatan, maka jenis sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai harus sesuai dengan kebutuhan pasien di Rumah Sakit. Instalasi Farmasi dapat memberikan



rekomendasi



kepada



pimpinan



RS



untuk



mengembalikan/menolak sumbangan/dropping/hibah sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang tidak bermanfaat bagi kepentingan pasien Rumah Sakit (Depkes, 2016). d. Penerimaan



28



Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis, spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam kontrak atau surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima. Semua dokumen terkait penerimaan barang harus tersimpan dengan baik (Depkes, 2016). e. Penyimpanan Setelah barang diterima di Instalasi Farmasi perlu dilakukan penyimpanan sebelum dilakukan pendistribusian. Penyimpanan harus dapat menjamin kualitas dan keamanan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan persyaratan kefarmasian. Persyaratan kefarmasian yang dimaksud meliputi persyaratan stabilitas dan



keamanan,



sanitasi,



cahaya,



kelembaban,



ventilasi,



dan



penggolongan jenis sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai. Komponen yang harus diperhatikan antara lain: 1) Obat dan bahan kimia yang digunakan untuk mempersiapkan obat diberi label yang secara jelas terbaca memuat nama, tanggal pertama kemasan dibuka, tanggal kadaluwarsa dan peringatan khusus. 2) Elektrolit konsentrasi tinggi tidak disimpan di unit perawatan kecuali untuk kebutuhan klinis yang penting. 3) Elektrolit konsentrasi tinggi yang disimpan pada unit perawatan pasien dilengkapi dengan pengaman, harus diberi label yang jelas dan disimpan pada area yang dibatasi ketat (restricted) untuk mencegah penatalaksanaan yang kurang hati-hati. 4) Sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang dibawa oleh pasien harus disimpan secara khusus dan dapat diidentifikasi. Instalasi Farmasi harus dapat memastikan bahwa obat disimpan secara benar dan diinspeksi secara periodik. Sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang harus disimpan terpisah yaitu:



29



1) Bahan yang mudah terbakar, disimpan dalam ruang tahan api dan diberi tanda khusus bahan berbahaya 2) Gas medis disimpan dengan posisi berdiri, terikat, dan diberi penandaaan untuk menghindari kesalahan pengambilan jenis gas medis. Penyimpanan tabung gas medis kosong terpisah dari tabung gas medis yang ada isinya. Penyimpanan tabung gas medis di ruangan harus menggunakan tutup demi keselamatan. Sistem penyimpanan di gudang dapat berdasarkan suhu penyimpanan, meliputi : 1) Suhu dingin (2°-8°C): insulin, erithropoetin, ketoprofen sup. 2) Suhu sejuk (15°-25°C): injeksi ranitidin, ondansetron, furosemid, salep, tetes mata, sirup, sitostatika dan obat-obat oral. Penyimpanan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang penampilan dan penamaan yang mirip (LASA/Look Alike



Sound Alike) tidak ditempatkan berdekatan dan harus diberi



penandaan khusus untuk mencegah terjadinya kesalahan pengambilan obat. Sedangkan untuk penyimpanan sediaan farmasi yang perlu diwaspadai penggunaannya harus diberi diberi label “High Alert” dan disimpan ditempat terpisah dari sediaan farmasi lain. Untuk penyimpanan sediaan farmasi seperti infus diletakkan di atas pallet untuk menghidari dari kelembaban. Penggunaan pallet perlu mengatur jarak dan tingginya, tinggi alas pallet dari lantai minimal 10 cm, jarak antar pallet dan antar dinding tidak kurang dari 30 cm, serta tinggi tumpukan pallet maksimal 2,5 meter (Febriawati, 2013). Rumah Sakit harus dapat menyediakan lokasi penyimpanan obat emergensi untuk kondisi kegawatdaruratan. Tempat penyimpanan harus mudah diakses dan terhindar dari penyalahgunaan dan pencurian. Pengelolaan obat emergensi harus menjamin: 1) Jumlah dan jenis obat sesuai dengan daftar obat emergensi yang telah ditetapkan. 2) Tidak boleh bercampur dengan persediaan obat untuk kebutuhan lain.



30



3) Bila dipakai untuk keperluan emergensi harus segera diganti. 4) Dicek secara berkala apakah ada yang kadaluwarsa. 5) Dilarang untuk dipinjam untuk kebutuhan lain (Depkes, 2016). f. Pendistribusian Distribusi merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam rangka menyalurkan/menyerahkan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dari tempat penyimpanan sampai kepada unit pelayanan/pasien dengan tetap menjamin mutu, stabilitas, jenis, jumlah, dan ketepatan waktu. Rumah Sakit harus menentukan sistem distribusi yang dapat menjamin terlaksananya pengawasan dan pengendalian sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai di unit pelayanan (Depkes, 2016). Sistem distribusi obat secara umum terbagi menjadi dua, yaitu distribusi internal dan eksternal. Sistem internal dengan cara sentralisasi dan desentralisasi. Sentralisaasi adalah sistem distribusi obat dimana semua pelayanan yang berhubungan dengan obat ditangani langsung oleh IFRS pusat, mulai dari resep orisinil dikirim oleh perawat ke IFRS, kemudian resep tersebut diproses dan disiapkan untuk didistribusikan pada penderita. Sedangkan desentralisasi adalah suatu sistem distribusi yang dilokasikan di daerah perawatan/unit-unit pelayanan. Dengan sistem desentralisasi, pelayanan farmasi menjadi lebih dekat pada penderita dan staf professional (Quick et al, 2012). Ada



beberapa



metode



yang



dapat



digunakan



dalam



pendistribusian obat di rumah sakit, yaitu: 1) Individual Prescribing Sistem individual prescribing merupakan order/resep yang ditulis oleh dokter untuk setiap pasien dan obat disiapkan oleh IFRS sesuai dengan yang tertulis pada resep. Kelebihan dari sistem individual prescribing yaitu:



31



a). Semua resep/order dikaji langsung oleh Apoteker, yang juga dapat memberi keterangan atau informasi kepada perawat tentang obat penderita. b). Memberi kesempatan interaksi profesional antara Apoteker, dokter, perawat, dan penderita. c). Mempermudah penagihan biaya obat penderita Kekurangan dari sistem individual prescribing yaitu: : a). Kemungkinan keterlambatan sediaan obat sampai ke pasien. b). Jumlah kebutuhan personel di IFRS meningkat c). Perlu jumlah perawat dan waktu yang lebih banyak untuk penyiapan obat pada waktu konsumsi obat. d). Kemungkinan kesalahan obat karena kurang pemeriksaan pada waktu penyiapan (Siregar, 2004). 2) Floor Stock Sistem floor stock atau sistem distribusi dengan persediaan lengkap di ruangan adalah kegiatan distribusi obat untuk pasien sesuai dengan yang diresepkan oleh dokter dan disiapkan di ruangan oleh perawat untuk kemudian diberikan pada pasien. Kelebihan floor stock antara lain : a). Obat yang diperlukan segera tersedia bagi penderita . b). Peniadaan pengembalian obat yang tidak terpakai ke IFRS . c). Pengurangan penyalinan kembali order obat. Kekurangan floor stock terdiri dari : a). Kesalahan obat meningkat karena order obat tidak dikaji Apoteker. Penyiapan obat dan konsumsi dilakukan perawat sendiri, sehingga tidak ada pemeriksaan ganda. b). Persediaan obat di ruang meningkat, sementara ruang terbatas. Pemantauan persediaan, mutu dan waktu kadaluwarsa kurang diperhatikan perawat. c). Meningkatnya bahaya karena kerusakan obat. d). Meningkatkanya kerugian karena kerusakan obat.



32



e). Pencurian obat meningkat (Siregar, 2004). 3) Unit Dose Dispensing (UDD) Sistem distribusi Unit Dose Dispensing (UDD) adalah pendistribusian perbekalan farmasi yang diorder oleh dokter untuk pasien, terdiri atas satu atau beberapa jenis perbekalan farmasi yang masing-masing dalam kemasan dosis unit tunggal dalam jumlah persediaan yang cukup untuk suatu waktu tertentu. Adapun kelebihan dari sistem distribusi dosis unit, yaitu sebagai berikut: a). Pasien hanya membayar perbekalan farmasi yang dikonsumsinya saja. b). Semua dosis yang diperlukan pada unit perawatan telah disiapkan oleh IFRS. c). Mengurangi kesalahan pemberian perbekalan farmasi. d). Menghindari duplikasi order perbekalan farmasi yang berlebihan. e). Meningkatkan



pemberdayaan



petugas



profesional



dan



non



profesional yang lebih efisien. f). Mengurangi risiko kehilangan dan pemborosan perbekalan farmasi. g). Memperluas cakupan dan pengendalian IFRS di rumah sakit secara keseluruhan sejak dari dokter menulis resep/order sampai pasien menerima dosis unit. h). Sistem komunikasi pengorderan dan distribusi perbekalan farmasi bertambah baik. i). Apoteker dapat datang ke unit perawatan/ruang pasien, untuk melakukan konsultasi perbekalan farmasi, membantu memberikan masukan kepada tim, sebagai upaya yang diperlukan untuk perawatan psaien yang lebih baik. j). Peningkatan dan pengendalian dan pemantauan penggunaan perbekalan farmasi menyeluruh. k). Memberikan



peluang



yang



lebih



komputerisasi. Kekurangan metode ini yaitu :



33



besar



untuk



prosedur



a). Perlu tenaga farmasis yang lebih banyak. b). Administrasi akan lebih rumit dan lebih banyak. Solusi untuk mengatasi hal ini adalah dengan meningkatkan kinerja karyawan dan menyederhanakan birokrasi serta administrasi. 4) Sistem Distribusi Kombinasi Sistem pendistribusian sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai bagi pasien rawat inap dengan menggunakan kombinasi a+b atau b+c atau a+c. Sistem distribusi Unit Dose Dispensing (UDD) sangat dianjurkan untuk pasien rawat inap mengingat dengan sistem ini tingkat kesalahan pemberian Obat dapat diminimalkan sampai kurang dari 5% dibandingkan dengan sistem floor stock atau resep individu yang mencapai 18% (Depkes, 2016). Keuntungan sistem distribusi kombinasi yaitu: a) Semua resep/order perorangan dikaji langsung oleh Apoteker. b) Adanya kesempatan berinteraksi dengan profesional antara Apoteker, dokter, perawat dan pasien/keluarga pasien. c) Perbekalan farmasi yang diperlukan dapat segera tersedia bagi pasien. Kekurangan metode kombinasi yaitu : a) Tidak adanya kontrol langsung dari farmasis kepada pasien mengenai kepatuhan dalam mengkonsumsi obat sehingga tidak didapatkan hasil terapi yang diharapkan. b) Kemungkinan terjadi kesalahan dalam pendistribusian obat dari perawat ke pasien dikarenakan kurangnya pengetahuan perawat mengenai obat-obatan. c) Kurang fokusnya perawat dalam tugasnya, dikarenakan masih memikirkan pendistribusian obat kepada pasien. Adapun tujuan dilakukannya sistem distribusi ini adalah : a) Meningkatkan efisiensi pengobatan. b) Meminimalkan kesalahan dalam pemberian obat. c) Memaksimalkan pengobatan yakni tepat indikasi, pasien, obat dan dosis serta waspada efek samping. 34



g. Pemusnahan Pemusnahan dilakukan untuk sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai apabila: 1) Produk tidak memenuhi persyaratan mutu; 2) Telah kadaluwarsa; 3) Tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam pelayanan kesehatan atau kepentingan ilmu pengetahuan; dan 4) Dicabut izin edarnya. Tahapan pemusnahan Obat terdiri dari: 1) Membuat daftar sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang akan dimusnahkan; 2) Menyiapkan Berita Acara Pemusnahan (BAP); 3) Mengoordinasikan jadwal, metode dan tempat pemusnahan kepada pihak terkait; 4) Menyiapkan tempat pemusnahan; dan 5) Melakukan pemusnahan disesuaikan dengan jenis dan bentuk sediaan serta peraturan yang berlaku. Penarikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dilakukan terhadap produk yang izin edarnya dicabut oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Penarikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dilakukan oleh BPOM atau pabrik asal. Rumah Sakit harus mempunyai sistem pencatatan terhadap kegiatan penarikan (Depkes, 2016 h. Pengendalian Pengendalian dilakukan terhadap jenis dan jumlah persediaan dan penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai. Pengendalian penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dapat dilakukan oleh Instalasi Farmasi harus bersama dengan Tim Farmasi dan Terapi (TFT) di Rumah Sakit. Tujuan pengendalian persediaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai adalah untuk: 1) Penggunaan obat sesuai dengan Formularium Rumah Sakit; 2) Penggunaan obat sesuai dengan diagnosis dan terapi;



35



3) Memastikan persediaan efektif dan efisien atau tidak terjadi kelebihan dan kekurangan/kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa, dan kehilangan serta pengembalian pesanan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai. Cara untuk mengendalikan persediaan perbekalan farmasi adalah: 1) Melakukan evaluasi persediaan yang jarang digunakan (slow moving); 2) Melakukan evaluasi persediaan yang tidak digunakan dalam waktu tiga bulan berturut-turut (death stock); 3) Stok opname yang dilakukan secara periodik dan berkala (Depkes, 2016). 2. Pelayanan Farmasi Klinik Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan Apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin. Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan meliputi: a. Pengkajian dan Pelayanan Resep Pengkajian resep dilakukan untuk menganalisa adanya masalah terkait obat, bila ditemukan masalah terkait obat harus dikonsultasikan kepada dokter penulis resep. Apoteker harus melakukan pengkajian resep sesuai persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik, dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan (Depkes, 2016). Persyaratan administrasi meliputi: 1) 2) 3) 4)



Nama, umur, jenis kelamin, berat badan dan tinggi badan pasien; Nama, No. izin, alamat dan paraf dokter; Tanggal resep; dan Ruangan/unit asal resep. Persyaratan farmasetik meliputi:



1) 2) 3) 4)



Nama obat, bentuk dan kekuatan sediaan; Dosis dan jumlah obat; Stabilitas; dan Aturan dan cara penggunaan. Persyaratan klinis meliputi: 36



1) Ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan obat; 2) Duplikasi pengobatan; 3) Alergi dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD); 4) Kontraindikasi; dan 5) Interaksi obat (Depkes, 2016). b. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat Penelusuran riwayat penggunaan obat merupakan proses untuk mendapatkan informasi mengenai seluruh obat/sediaan farmasi lain yang pernah dan sedang digunakan, riwayat pengobatan dapat diperoleh dari wawancara atau data rekam medik/pencatatan penggunaan obat pasien. Tahapan penelusuran riwayat penggunaan obat: 1) Membandingkan riwayat penggunaan obat dengan data rekam medik/pencatatan penggunaan obat untuk mengetahui perbedaan informasi penggunaan obat; 2) Melakukan verifikasi riwayat penggunaan obat yang diberikan oleh tenaga kesehatan lain dan memberikan informasi tambahan jika diperlukan; 3) Mendokumentasikan adanya alergi dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD); 4) Mengidentifikasi potensi terjadinya interaksi obat; 5) Melakukan penilaian terhadap kepatuhan pasien dalam menggunakan obat; 6) Melakukan penilaian rasionalitas obat yang diresepkan; 7) Melakukan penilaian terhadap pemahaman pasien terhadap obat yang digunakan; 8) Melakukan penilaian adanya bukti penyalahgunaan obat; 9) Melakukan penilaian terhadap teknik penggunaan obat; 10) Memeriksa adanya kebutuhan pasien terhadap obat dan alat bantu kepatuhan minum obat (concordance aids); 11) Mendokumentasikan obat yang digunakan pasien sendiri tanpa sepengetahuan dokter; dan 12) Mengidentifikasi terapi lain, misalnya suplemen dan pengobatan alternatif yang mungkin digunakan oleh pasien (Depkes, 2016). c. Rekonsiliasi Obat Rekonsiliasi obat merupakan proses membandingkan instruksi pengobatan dengan obat yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan obat (medication error)



37



seperti obat tidak diberikan, duplikasi, kesalahan dosis atau interaksi obat. Kesalahan obat (medication error) rentan terjadi pada pemindahan pasien dari satu Rumah Sakit ke Rumah Sakit lain, antar ruang perawatan, serta pada pasien yang keluar dari Rumah Sakit ke layanan kesehatan primer dan sebaliknya. Tahap proses rekonsiliasi obat, yaitu: 1) Pengumpulan data, 2) Komparasi, 3) Melakukan konfirmasi kepada dokter jika menemukan ketidak sesuaian dokumentasi, 4) Komunikasi, d. Pelayanan Informasi Obat (PIO) Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan dan pemberian informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat, tidak bias, terkini dan komprehensif yang dilakukan oleh Apoteker kepada dokter, Apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya serta pasien dan pihak lain di luar Rumah Sakit. PIO bertujuan untuk: 1) Menyediakan informasi mengenai obat kepada pasien dan tenaga kesehatan di lingkungan Rumah Sakit dan pihak lain di luar Rumah Sakit; 2) Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang berhubungan dengan obat/sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai, terutama bagi tim farmasi dan terapi; 3) Menunjang penggunaan obat yang rasional.



Kegiatan PIO meliputi: 1) Menjawab pertanyaan; 2) Menerbitkan buletin, leaflet, poster, newsletter; 3) Menyediakan informasi bagi tim farmasi dan terapi sehubungan dengan penyusunan formularium rumah sakit; 4) Bersama dengan tim penyuluhan kesehatan Rumah Sakit (pkrs) melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan rawat inap;



38



5) Melakukan pendidikan berkelanjutan bagi tenaga kefarmasian dan tenaga kesehatan lainnya; dan 6) Melakukan penelitian (Depkes,2016). e. Konseling Konseling obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran terkait terapi obat dari Apoteker (konselor) kepada pasien dan/atau keluarganya. Konseling untuk pasien rawat jalan maupun rawat inap di semua fasilitas kesehatan dapat dilakukan atas inisitatif Apoteker, rujukan dokter, keinginan pasien atau keluarganya. Pemberian konseling yang efektif memerlukan kepercayaan pasien dan/atau keluarga terhadap Apoteker. Kegiatan dalam konseling Obat meliputi: 1) Membuka komunikasi antara Apoteker dengan pasien; 2) Mengidentifikasi tingkat pemahaman pasien tentang penggunaan obat melalui Three Prime Questions; 3) Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan obat; 4) Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah pengunaan obat; 5) Melakukan verifikasi akhir dalam rangka mengecek pemahaman pasien; dan 6) Dokumentasi (Depkes,2016). f. Visite Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan Apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati kondisi klinis pasien secara langsung, dan mengkaji masalah terkait obat, memantau terapi obat dan reaksi obat yang tidak dikehendaki, meningkatkan terapi obat yang rasional, dan menyajikan informasi obat kepada dokter, pasien serta profesional kesehatan lainnya (Depkes,2016). g. Pemantauan Terapi Obat (PTO) Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan



39



rasional bagi pasien. Tujuan PTO adalah meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan risiko Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD). Kegiatan dalam PTO meliputi: 1. Pengkajian pemilihan obat, dosis, cara pemberian obat,



respons



terapi, Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD). 2. Pemberian rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat; dan 3. Pemantauan efektivitas dan efek samping terapi obat. Tahapan PTO: a. Pengumpulan data pasien; b. Identifikasi masalah terkait obat; c. Rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat; d. Pemantauan; dan e. Tindak lanjut PTO (Depkes, 2016). Faktor yang harus diperhatikan: 1) Kemampuan penelusuran informasi dan penilaian kritis terhadap bukti terkini dan terpercaya (Evidence Best Medicine); 2) Kerahasiaan informasi; dan 3) Kerjasama dengan tim kesehatan lain (dokter dan perawat) (Depkes,2016). h. Monitoring Efek Samping Obat (MESO) Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa dan terapi. Efek samping obat adalah reaksi obat yang tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja farmakologi. MESO bertujuan: 1) Menemukan Efek Samping Obat (ESO) sedini mungkin terutama yang berat, tidak dikenal, frekuensinya jarang; 2) Menentukan frekuensi dan insidensi ESO yang sudah dikenal dan yang baru saja ditemukan; 3) mengenal semua faktor



yang



mungkin



menimbulkan/mempengaruhi angka kejadian dan hebatnya ESO;



40



dapat



4) meminimalkan risiko kejadian reaksi Obat yang tidak dikehendaki; dan 5) mencegah terulangnya kejadian reaksi Obat yang tidak dikehendaki. Kegiatan pemantauan dan pelaporan ESO: 1) Mendeteksi adanya kejadian reaksi obat yang tidak dikehendaki (ESO); 2) Mengidentifikasi obat-obatan dan pasien yang mempunyai risiko tinggi mengalami ESO; 3) Mengevaluasi laporan ESO dengan algoritme Naranjo; 4) Mendiskusikan dan mendokumentasikan ESO di Tim/Sub Tim Farmasi dan Terapi; 5) Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional. Faktor yang perlu diperhatikan: 1) kerjasama dengan Tim Farmasi dan Terapi dan ruang rawat; dan 2) ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat (Depkes,2016).



i. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) merupakan program evaluasi penggunaan Obat yang terstruktur dan berkesinambungan secara kualitatif dan kuantitatif. Tujuan EPO yaitu: 1) 2) 3) 4)



Mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan obat; Membandingkan pola penggunaan obat pada periode waktu tertentu; Memberikan masukan untuk perbaikan penggunaan obat; dan Menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan obat.



Kegiatan praktek EPO: 1) Mengevaluasi pengggunaan obat secara kualitatif; dan 2) Mengevaluasi pengggunaan obat secara kuantitatif. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan: 1) Indikator peresepan; 2) Indikator pelayanan; dan 3) Indikator fasilitas. j. Dispensing Sediaan Steril Dispensing sediaan steril harus dilakukan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit dengan teknik aseptik untuk menjamin sterilitas dan 41



stabilitas produk dan melindungi petugas dari paparan zat berbahaya serta menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat. Dispensing sediaan steril bertujuan: 1) Menjamin agar pasien menerima obat sesuai dengan dosis yang dibutuhkan; 2) Menjamin sterilitas dan stabilitas produk; 3) Melindungi petugas dari paparan zat berbahaya; dan 4) Menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat. Kegiatan dispensing sediaan steril meliputi: 1) Pencampuran obat suntik 2) Penyiapan nutrisi parenteral 3) Penanganan sediaan sitostatik (Depkes,2016). k. Pemantauan Kadar Obat Dalam Darah (PKOD) Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan interpretasi hasil pemeriksaan kadar Obat tertentu atas permintaan dari dokter yang merawat karena indeks terapi yang sempit atau atas usulan dari Apoteker kepada dokter. PKOD bertujuan: 1) Mengetahui kadar obat dalam darah; dan 2) Memberikan rekomendasi kepada dokter yang merawat. Kegiatan PKOD meliputi: 1) Melakukan



penilaian



kebutuhan



pasien



yang



membutuhkan



Pemeriksaan Kadar Obat dalam Darah (PKOD); 2) Mendiskusikan kepada dokter untuk persetujuan



melakukan



Pemeriksaan Kadar Obat dalam Darah (PKOD); dan 3) Menganalisis hasil Pemeriksaan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) dan memberikan rekomendasi (Depkes, 2016). C. Instalasi Farmasi di Rumah Sakit 1. Peraturan Perundangan Sebagai Dasar Instalasi Farmasi Rumah Sakit Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) adalah unit pelaksana fungsional yang menyelenggarakan seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit (Depkes, 2016).



42



Sedangkan menurut Undang-Undang No 44 Tahun 2009 Tentang Rumah sakit, Instalasi Farmasi Rumah Sakit adalah bagian dari Rumah Sakit yang bertugas menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan pelayanan farmasi serta melaksanakan pembinaan teknis kefarmasian di Rumah Sakit (Anonim, 2009b). Instalasi Farmasi harus memiliki Apoteker dan tenaga teknis kefarmasian yang sesuai dengan beban kerja dan petugas penunjang lain agar tercapai sasaran dan tujuan Instalasi Farmasi Rumah Sakit. Ketersediaan jumlah tenaga Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian di Rumah Sakit dipenuhi sesuai dengan ketentuan klasifikasi dan perizinan Rumah Sakit yang ditetapkan oleh Menteri (Depkes, 2016). Instalasi Farmasi Rumah Sakit harus dikepalai oleh seorang Apoteker yang merupakan Apoteker penanggung jawab seluruh pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit. Kepala Instalasi Farmasi Rumah Sakit diutamakan telah memiliki pengalaman bekerja di Instalasi Farmasi Rumah Sakit minimal 3 (tiga) tahun (Depkes, 2016). 2. Tugas dan Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit Pengorganisasian Instalasi Farmasi Rumah Sakit harus mencakup penyelenggaraan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai, pelayanan farmasi klinik dan manajemen mutu, dan bersifat dinamis dapat direvisi sesuai kebutuhan dengan tetap menjaga mutu. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 72 Tahun 2016 tentang standar pelayanan kefarmasian Rumah Sakit, tugas Instalasi Farmasi Rumah Sakit meliputi: a. Menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian yang optimal dan profesional serta sesuai prosedur dan etik profesi; b. Melaksanakan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang efektif, aman, bermutu dan efisien; c. Melaksanakan pengkajian dan pemantauan penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai guna memaksimalkan efek terapi dan keamanan serta meminimalkan risiko; 43



d. Melaksanakan Komunikasi, Edukasi dan Informasi (KIE) serta memberikan rekomendasi kepada dokter, perawat dan pasien; e. Berperan aktif dalam Tim Farmasi dan Terapi; f. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan serta pengembangan pelayanan kefarmasian; g. Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan formularium Rumah Sakit (Depkes, 2016). Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit, meliputi: a. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai 1) Memilih sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai kebutuhan pelayanan Rumah Sakit; 2) Merencanakan kebutuhan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai secara efektif, efisien dan optimal; 3) Mengadakan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai berpedoman pada perencanaan yang telah dibuat sesuai ketentuan yang berlaku; 4) Memproduksi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit; 5) Menerima sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan yang berlaku; 6) Menyimpan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan kefarmasian; 7) Mendistribusikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai ke unit-unit pelayanan di Rumah Sakit; 8) Melaksanakan pelayanan farmasi satu pintu; 9) Melaksanakan pelayanan Obat “unit dose”/dosis sehari; 10) Melaksanakan komputerisasi pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai (apabila sudah memungkinkan); 11) Mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang terkait dengan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai;



44



12) Melakukan pemusnahan dan penarikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang sudah tidak dapat digunakan; 13) Mengendalikan persediaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai; 14) Melakukan administrasi



pengelolaan



sediaan



farmasi,



alat



kesehatan, dan bahan medis habis pakai. b. Pelayanan farmasi klinik 1) Mengkaji dan melaksanakan pelayanan resep atau permintaan obat; 2) Melaksanakan penelusuran riwayat penggunaan obat; 3) Melaksanakan rekonsiliasi obat; 4) memberikan informasi dan edukasi penggunaan obat baik berdasarkan resep maupun obat non resep kepada pasien/keluarga pasien; 5) Mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang terkait dengan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai; 6) Melaksanakan visite mandiri maupun bersama tenaga kesehatan lain; 7) Memberikan konseling pada pasien dan/atau keluarganya; 8) Melaksanakan Pemantauan Terapi Obat (PTO); a) Pemantauan efek terapi Obat b) Pemantauan efek samping Obat c) Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) 9) Melaksanakan Evaluasi Penggunaan Obat (EPO); 10) Melaksanakan dispensing sediaan steril; a) b) c) d)



Melakukan pencampuran obat suntik Menyiapkan nutrisi parenteral Melaksanakan penanganan sediaan sitotoksik Melaksanakan pengemasan ulang sediaan steril yang tidak stabil



45



11) Melaksanakan Pelayanan Informasi Obat (PIO) kepada tenaga kesehatan lain, pasien/keluarga, masyarakat dan institusi di luar Rumah Sakit; 12) Melaksanakan Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit (PKRS) (Depkes, 2016). 3. Struktur Organisasi Instalasi Farmasi Rumah Sakit Pengorganisasian instalasi farmasi rumah sakit (IFRS) harus mencakup penyelenggaraan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai, pelayanan farmasi klinik dan manajemen mutu, serta bersifat dinamis dapat direvisi sesuai kebutuhan dengan tetap menjaga mutu. Ketentuan terkait jabatan fungsional di IFRS diatur menurut kebutuhan organisasi dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal ini menjelaskan bahwa pengorganisasian IFRS minimal terdiri dari kepala IFRS, pengelolaan perbekalan farmasi, pelayanan farmasi klinik dan manajemen mutu (Depkes, 2016). D. Manajemen Pendukung 1. Administrasi Administrasi harus dilakukan secara tertib dan berkesinambungan untuk memudahkan penelusuran kegiatan yang sudah berlalu. Kegiatan administrasi terdiri dari: a. Pencatatan dan Pelaporan Pencatatan dan pelaporan terhadap kegiatan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis Pakai yang meliputi perencanaan



kebutuhan,



pengadaan,



penerimaan,



pendistribusian,



pengendalian persediaan, pengembalian, pemusnahan dan penarikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai. Pelaporan dibuat secara periodik yang dilakukan Instalasi Farmasi dalam periode waktu tertentu (bulanan, triwulanan, semester atau pertahun) (Depkes, 2016). Jenis-jenis pelaporan yang dibuat menyesuaikan dengan peraturan yang berlaku. Pencatatan dilakukan untuk:



46



1) 2) 3) 4)



persyaratan Kementerian Kesehatan/BPOM; dasar akreditasi Rumah Sakit; dasar audit Rumah Sakit; dan dokumentasi farmasi. Pelaporan dilakukan sebagai:



1) komunikasi antara level manajemen; 2) penyiapan laporan tahunan yang komprehensif mengenai kegiatan di Instalasi Farmasi; dan 3) laporan tahunan. b. Administrasi Keuangan Apabila Instalasi Farmasi Rumah Sakit harus mengelola keuangan maka perlu menyelenggarakan administrasi



keuangan.



Administrasi keuangan merupakan pengaturan anggaran, pengendalian dan analisa biaya, pengumpulan informasi keuangan, penyiapan laporan, penggunaan laporan yang berkaitan dengan semua kegiatan Pelayanan kefarmasian secara rutin atau tidak rutin dalam periode bulanan, triwulanan, semesteran atau tahunan (Depkes, 2016). c. Administrasi Penghapusan Administrasi penghapusan merupakan kegiatan penyelesaian terhadap sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang tidak terpakai karena kadaluwarsa, rusak, mutu tidak memenuhi standar dengan cara membuat usulan penghapusan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai kepada pihak terkait sesuai dengan prosedur yang berlaku (Depkes, 2016). 2. Organisasi Kemampuan Apoteker dalam mengatur dan mengawasi sesuatu untuk mencapai sasaran yang efektif dan efisien dituangkan dalam manajemen pendukung yang meliputi kemampuan organisasi, manajemen keuangan yang memadai, informasi terbaru dalam dunia kesehatan dan manusia yang bersumber daya. Pengorganisasian Rumah Sakit harus dapat menggambarkan pembagian tugas, koordinasi kewenangan, fungsi dan tanggung jawab Rumah Sakit (Depkes, 2016). Organisasi Rumah Sakit paling sedikit terdiri atas Kepala Rumah Sakit atau Direktur Rumah Sakit, unsur pelayanan



47



medis, unsur keperawatan, unsur penunjang medis, komite medis, satuan pemeriksaan internal, serta administrasi umum dan keuangan. Kepala Rumah Sakit harus seorang tenaga medis yang mempunyai kemampuan dan keahlian di bidang perumahsakitan (Anonim, 2009b). Pengorganisasian Instalasi Farmasi Rumah Sakit harus mencakup penyelenggaraan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai, pelayanan farmasi klinik dan manajemen mutu, dan bersifat dinamis dapat direvisi sesuai kebutuhan dengan tetap menjaga mutu. Dalam pengorganisasian Rumah Sakit juga dibentuk Tim Farmasi dan Terapi (TFT) yang merupakan unit kerja dalam memberikan rekomendasi



kepada



pimpinan



Rumah



Sakit



mengenai



kebijakan



penggunaan obat di Rumah Sakit yang anggotanya terdiri dari dokter yang mewakili semua spesialisasi yang ada di Rumah Sakit, Apoteker Instalasi Farmasi, serta tenaga kesehatan lainnya apabila diperlukan. TFT harus dapat membina hubungan kerja dengan komite lain di dalam Rumah Sakit yang berhubungan/berkaitan dengan penggunaan Obat (Anonim, 2009b). 3. Sistem Informasi Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS) adalah suatu sistem



yang



menyediakan



kepada



pengelola



organisasi



mengenai



pemrosesan data-data baik data-data umum rumah sakit maupun data-data medik pasien sehingga dapat mendukung proses pengambilan keputusan manajemen, sistem ini berbasiskan komputer untuk mengolah data-data medik pasien maupun data-data administrasi yang dimiliki rumah sakit (Wijaya, 2014). Penanganan informasi dalam sistem pengendalian obat (misalnya, pengumpulan, perekaman, penyimpanan, penemuan kembali, peringkasan, pengiriman, dan mempertunjukkan informasi penggunaan obat) dapat dilakukan lebih efisien oleh komputer daripada sistem manual. Akan tetapi, sebelum sistem pengendalian obat dapat dikomputerisasi, suatu studi yang teliti dan komprehensif dari sistem manual wajib dilakukan. Studi ini harus



48



mengidentifikasi aliran data didalam sistem dan menetapkan berbagai fungsi yang dilakukan dan hubungan timbal balik berbagai fungsi itu. Informasi ini kemudian digunakan sebagai dasar untuk mendesain atau mengevaluasi secara prospektif suatu sistem komputer. Fungsi penting lainnya dari sistem informasi manajemen obat yaitu meningkatkan akuntabilitas, banyak catatan dan laporan dalam sistem informasi manajemen obat diharapkan dapat membuat sebuah paper audit produk yang masuk maupun keluar dari sistem pengadaan obat (Kusrini, 2007). 4. Manajemen Sumber Daya Manusia Instalasi Farmasi harus memiliki Apoteker dan tenaga teknis kefarmasian yang sesuai dengan beban kerja dan petugas penunjang lain agar tercapai sasaran dan tujuan Instalasi Farmasi Rumah Sakit. Ketersediaan jumlah tenaga Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian di Rumah Sakit dipenuhi sesuai dengan ketentuan klasifikasi dan perizinan Rumah Sakit yang ditetapkan oleh Menteri. Uraian tugas tertulis dari masing-masing staf Instalasi Farmasi harus ada dan sebaiknya dilakukan peninjauan kembali paling sedikit setiap tiga tahun sesuai kebijakan dan prosedur di Instalasi Farmasi Rumah Sakit. a. Kualifikasi Sumber Daya Manusia (SDM) Berdasarkan pekerjaan yang dilakukan, kualifikasi SDM Instalasi Farmasi diklasifikasikan sebagai berikut: 1) Untuk pekerjaan kefarmasian terdiri dari: a). Apoteker b). Tenaga Teknis Kefarmasian 2) Untuk pekerjaan penunjang terdiri dari: a). Operator Komputer/Teknisi yang memahami kefarmasian b). Tenaga Administrasi c). Pekarya/Pembantu pelaksana Untuk menghasilkan mutu pelayanan yang baik dan aman, maka dalam



penentuan



kebutuhan



tenaga



harus



mempertimbangkan



kompetensi yang disesuaikan dengan jenis pelayanan, tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawabnya. b. Persyaratan SDM



49



Pelayanan kefarmasian harus dilakukan oleh Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian. Tenaga Teknis Kefarmasian yang melakukan pelayanan kefarmasian harus di bawah supervisi Apoteker. Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian harus memenuhi persyaratan administrasi seperti yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan terkait jabatan fungsional di Instalasi Farmasi Rumah Sakit diatur menurut kebutuhan organisasi dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Instalasi Farmasi Rumah Sakit harus dikepalai oleh seorang Apoteker yang merupakan Apoteker penanggung jawab seluruh pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit. Kepala Instalasi Farmasi Rumah Sakit diutamakan telah memiliki pengalaman bekerja di Instalasi Farmasi Rumah Sakit minimal 3 (tiga) tahun. c. Beban Kerja dan Kebutuhan 1) Beban Kerja Dalam perhitungan beban kerja perlu diperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh pada kegiatan yang dilakukan, yaitu: a). Kapasitas tempat tidur dan Bed Occupancy Rate (BOR); b). Jumlah dan jenis kegiatan farmasi yang dilakukan (manajemen, klinik dan produksi); c). Jumlah resep atau formulir permintaan obat (floor stock) per hari; dan d). Volume sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai. 2) Penghitungan Beban Kerja Penghitungan kebutuhan Apoteker berdasarkan beban kerja pada pelayanan kefarmasian di rawat inap yang meliputi pelayanan farmasi manajerial dan pelayanan farmasi klinik dengan aktivitas pengkajian resep, penelusuran riwayat penggunaan obat, rekonsiliasi obat, pemantauan terapi obat, pemberian informasi obat, konseling, edukasi dan visite, idealnya dibutuhkan tenaga Apoteker dengan rasio Apoteker untuk 30 pasien. 50



Penghitungan kebutuhan Apoteker berdasarkan beban kerja pada pelayanan kefarmasian di rawat jalan yang meliputi pelayanan farmasi menajerial dan pelayanan farmasi klinik dengan aktivitas pengkajian Resep, penyerahan Obat, Pencatatan Penggunaan Obat (PPP) dan konseling, idealnya dibutuhkan tenaga Apoteker dengan rasio 1 Apoteker untuk 50 pasien. Selain kebutuhan Apoteker untuk pelayanan kefarmasian rawat inap dan rawat jalan, maka kebutuhan tenaga Apoteker juga diperlukan untuk pelayanan farmasi yang lain seperti di unit logistik medik/distribusi,



unit



produksi



steril/aseptic



dispensing,



unit



pelayanan informasi obat dan lain-lain tergantung pada jenis aktivitas dan tingkat cakupan pelayanan yang dilakukan oleh Instalasi Farmasi. Selain kebutuhan Apoteker untuk pelayanan kefarmasian di rawat inap dan rawat jalan, diperlukan juga masing-masing 1 (satu) orang Apoteker untuk kegiatan pelayanan kefarmasian di ruang tertentu, yaitu: a). Unit Gawat Darurat; b). Intensive Care Unit (ICU), Intensive Cardiac Care Unit (ICCU), Neonatus Intensive Care Unit (NICU), Pediatric Intensive Care Unit (PICU); Mengingat kekhususan pelayanan kefarmasian pada unit rawat intensif dan unit gawat darurat, maka diperlukan pedoman teknis mengenai pelayanan kefarmasian pada unit rawat intensif dan unit rawat darurat yang akan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal. d. Pengembangan Staf dan Program Pendidikan Setiap staf di Rumah Sakit harus diberi kesempatan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya. Peran Kepala Instalasi Farmasi dalam pengembangan staf dan program pendidikan meliputi: 1) Menyusun program orientasi staf baru, pendidikan dan pelatihan berdasarkan kebutuhan pengembangan kompetensi SDM.



51



2) Menentukan dan mengirim staf sesuai dengan spesifikasi pekerjaan (tugas dan tanggung jawabnya) untuk meningkatkan kompetensi yang diperlukan. 3) Menentukan staf sebagai narasumber/pelatih/fasilitator sesuai dengan kompetensinya. e. Penelitian dan Pengembangan Apoteker harus didorong untuk melakukan penelitian mandiri atau berkontribusi dalam tim penelitian mengembangkan praktik pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit. Apoteker yang terlibat dalam penelitian harus mentaati prinsip dan prosedur yang ditetapkan dan sesuai dengan kaidah-kaidah penelitian yang berlaku. Instalasi Farmasi harus melakukan pengembangan pelayanan kefarmasian sesuai dengan situasi perkembangan kefarmasian terkini. Apoteker juga dapat berperan dalam uji klinik obat yang dilakukan di Rumah Sakit dengan mengelola obat-obat yang diteliti sampai dipergunakan oleh subyek penelitian dan mencatat Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD) yang terjadi selama penelitian (Depkes, 2016). 5. Manajemen Keuangan Manajemen



keuangan



adalah



bagaimana



merencanakan



dan



memperoleh biaya atau dana, kemudian mempergunakannya dengan efisien, dengan tujuan untuk mencegah meningkatnya pembiayaan yang tidak berguna. Secara operasional manajemen keuangan di Rumah Sakit harus dapat menghasilkan data, informasi dan petunjuk untuk membantu pimpinan Rumah Sakit dalam merencanakan, mengendalikan dan mengawasi seluruh kegiatan agar mutu pelayanan dapat dipertahankan/ditingkatkan pada tingkat pembiayaan yang wajar. Fungsi utama dari manajemen keuangan di Rumah sakit adalah sebagai sumber informasi yang diperlukan untuk pengambilan keputusan dalam



pemecahan



masalah



dan



perencanaan



untuk



keberhasilan



pengembangan Rumah Sakit. Dengan demikian untuk pengambilan 52



keputusan yang tepat serta keberhasilan perencanaan diperlukan sistem dan pelaksanaan manajemen keuangan Rumah Sakit secara optimal (Djuhaeni, 2009). Manajemen pendukung lainnya yang harus dimiliki oleh seorang Apoteker adalah manajemen keuangan. Apoteker harus dapat mengatur mengenai pengurangan beban manajemen dan administrasi, mengurangi pemborosan,



menurunkan



biaya



pengelolaan



dan



investasi



obat,



menghindari kekurangan obat dan menambah pendapatan rumah sakit (Djuhaeni, 2009).



53



BAB III TINJAUAN UMUM RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO



A. Falsafah, Visi, Misi, dan Tujuan RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto 1. Falsafah RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto Pelayanan Farmasi Rumah Sakit merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang utuh dan berorientasi kepada pelayanan pasien penyediaan obat yang bermutu dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. 2. Visi RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto "Prima Dalam Pelayanan Sub Spesialistik & Pendidikan Profesi" Penjelasan: Prima: Berorientasi pada standar mutu dan kepuasan pelanggan. 3. Misi RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto a. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan rujukan sub spesialistik b. Menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat di bidang kesehatan c. Mengembangkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) melalui peningkatan profesionalisme dan kesejahteraan d. Mengembangkan sarana dan prasarana yang unggul, tepat dan aman e. Mengembangkan sistem manajemen yang handal, transparan, akuntabel, efektif dan efisien. 4. Motto RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo “Melayani Dengan Sepenuh Hati”. 5. Tujuan RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto Tujuan RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo adalah meningkatkan kualitas pelayanan



kesehatan



kepada



masyarakat



untuk



mewujudkan



penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah daerah provinsi Jawa Tengah dalam mewujudkan kesejahteraan umum melalui peningkatan derajat kesehatan masyarakat B. Struktur Organisasi RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto



54



Struktur organisasi yang terdapat pada RSMS Purwokerto serta tata kerjanya dilaksanakan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah melalui Peraturan Daerah Tingkat I Jawa Tengah No. 4 tahun 1997, dimana direktur memegang pimpinan tertinggi dan dibantu oleh tiga orang wakil, yaitu wakil direktur pelayanan, wakil direktur penunjang dan pendidikan, dan wakil direktur keuangan (Pemda Jawa Tengah, 1997). Struktur organisasi RSMS dapat dilihat pada Gambar 2.



55



Direktur



Wadir Pelayanan dan Kerjasama



Kelompok jabatan fungsional



Bid Pelayanan



Bid Keperawat an



Seksi Pelayanan Rawat jalan



Seksi Keperawatan Rawat Jalan Seksi Perawatan Rawat Inap



Seksi Pelayanan Rawat Inap



Wadir Penunjang dan Pendidikan



Wadir Umum dan Keuangan



Bid Diklit



Bid. Penunjang Medis



Bid. Penunjang Sarpras RS



77Bagian Perencanaan



Bagian Keuangan



Bagian Umum



Seksi Penjaminan Mutu Pelayanan



Seksi Diklit



Instalasi Farmasi



Seksi Penunjang Sarpras Medis



77SubBa



SubBag Anggaran



Distribus i obatSubB



Seksi Kerjasama



Seksi Pelatihan



Bid Penjaminan Mutu dan Kerjasama



Seksi Penunjang Diagnosa



Seksi Penunjang Sarpras Non Medis



Seksi Penunjang Terapi



Gambar 2. Struktur Organisasi RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo



g Program



00SubBag Monitoring & Evaluasi



SubBag RM



SubBag Akuntasi



SubBag bendaharaan &verifikasi



ag TU, Apotek Hukum kemotera dan Humas piSubBag Organisasi & Jika ada Kepegawaia DRP anSub



Bag Rumah Tangga



C. Akreditasi RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto Akreditasi merupakan suatu pengakuan yang diberikan oleh pemerintah kepada rumah sakit yang telah memenuhi standar yang ditetapkan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 34 tahun 2017 disebutkan bahwa akreditasi rumah sakit merupakan pengakuan terhadap mutu pelayanan Rumah Sakit setelah dilakukan penilaian bahwa Rumah Sakit telah memenuhi standar akreditasi. Tujuan dari akreditasi ini sendiri adalah untuk meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit, melindungi keselamatan pasien Rumah Sakit, meningkatkan perlindungan bagi masyarakat dan sumber daya manusia di Rumah Sakit, mendukung program pemerintah di bidang kesehatan, dan meningkatkan profesionalisme Rumah Sakit Indonesia dimata Internasional (Depkes, 2017). Akreditasi RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto pada tahun 1997, dengan predikat terakreditasi penuh untuk lima bidang pelayanan dan sebagai rumah sakit sayang ibu. Tahun 2000 RSMS terakreditasi penuh untuk dua belas bidang pelayanan oleh KARS. RSMS terakreditas sebagai rumah sakit pendidikan oleh Dirjen.Yanmed dan ditetapkan sebagai rumah sakit tipe B pendidikan tahun 2001 dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 232/KepMenKes/III/1999. Pada tahun 2004 RSMS memperoleh prestasi kembali dengan terakreditasi penuh untuk enam belas bidang pelayanan oleh KARS Depkes RI berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.IM.01.10/III/5039/10 yang berlaku sampai 17 September 2013. Tahun 2016 RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dinyatakan lulus tingkat Paripurna oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS 2012). Saat ini RSMS sedang memenuhi syarat untuk menuju rumah sakit dengan tipe A. D. Komite Medik RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto Komite Medik adalah perangkat rumah sakit untuk menerapkan tata kelola klinis (clinical governance) agar staf medis di rumah sakit terjaga profesionalismenya melalui mekanisme kredensial, penjagaan mutu profesi medis, dan pemeliharaan etika dan disiplin profesi medis. Staf medis adalah dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis di rumah sakit.



Komite medik dibentuk dengan tujuan untuk menyelenggarakan tata kelola klinis (clinical governance) yang baik agar mutu pelayanan medis dan keselamatan pasien lebih terjamin dan terlindungi (Anonim, 2011). Komite medik mempunyai tugas meningkatkan profesionalisme staf medis yang bekerja di rumah sakit dengan cara: a. Melakukan kredensial bagi seluruh staf medis yang akan melakukan pelayanan medis di rumah sakit. b. Memelihara mutu profesi staf medis c. Menjaga disiplin, etika, dan perilaku profesi staf medis. Dalam melaksanakan tugas kredensil komite medik memiliki fungsi sebagai berikut : a. penyusunan dan pengkompilasian daftar kewenangan klinis sesuai dengan masukan dari kelompok staf medis berdasarkan norma keprofesian yang berlaku; b. penyelenggaraan pemeriksaan dan pengkajian yang meliputi kompetensi, kesehatan fisik dan mental, perilaku, dan etika profesi. c. evaluasi data pendidikan profesional kedokteran



kedokteran



gigi



berkelanjutan. d. wawancara terhadap pemohon kewenangan klinis. e. penilaian dan pemutusan kewenangan klinis yang adekuat. f. pelaporan hasil penilaian kredensial dan menyampaikan rekomendasi kewenangan klinis kepada komite medik. g. melakukan proses rekredensial pada saat berakhirnya masa berlaku surat penugasan klinis dan adanya permintaan dari komite medik. h. rekomendasi kewenangan klinis dan penerbitan surat penugasan klinis. Dalam melaksanakan tugas memelihara mutu profesi staf medis komite medik memiliki fungsi sebagai berikut : a. pelaksanaan audit medis. b. rekomendasi pertemuan ilmiah internal



dalam



rangka



pendidikan



berkelanjutan bagi staf medis. c. rekomendasi kegiatan eksternal dalam rangka pendidikan berkelanjutan bagi staf medis rumah sakit tersebut. d. rekomendasi proses pendampingan (proctoring) bagi staf medis yang membutuhkan. Dalam melaksanakan tugas menjaga disiplin, etika, dan perilaku profesi staf medis komite medik memiliki fungsi sebagai berikut : a. pembinaan etika dan disiplin profesi kedokteran b. pemeriksaan staf medis yang diduga melakukan pelanggaran disiplin c. rekomendasi pendisiplinan pelaku profesional di rumah sakit.



d. pemberian nasehat/pertimbangan dalam pengambilan keputusan etis pada asuhan medis pasien. Komite Medik di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto merupakan organisasi yang mewadahi dokter-dokter di RSMS yang di kepalai oleh Dr. Wahid Heru Wahidin Sp. M, tugas dari bagian komite medik sendiri hanya membantu direktur. Komite medik di RSMS tidak lagi membawahi Komite Farmasi dan Terapi (KFT), komite medik merupakan organisasi non struktural yang dibentuk oleh kepala atau direktur. Susunan organisasi komite medik di RSMS terdiri dari ketua, sekretaris dan subkomite. E. Tim Farmasi dan Terapi (TFT) 1. Tugas Tim Farmasi dan Terapi (TFT) Tim Farmasi dan Terapi di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo mempunyai tugas: a) Mengusulkan kebijakan tentang penggunaan obat di rumah sakit b) Melakukan seleksi dan evaluasi obat yang akan masuk dalam formularium rumah sakit c) Mengembangkan standar terapi d) Mengidentifikasi permasalahan dalam penggunaan obat e) Melakukan intervensi dalam meningkatkan penggunaan obat yang rasional f) Mengkoordinir penatalaksanaan reaksi obat yang tidak dikehendaki g) Mengkoordinir penatalaksanaan medication error h) Menyebarluaskan informasi terkait kebijakan penggunaan obat di rumah sakit. 2. Susunan Kepanitiaan Tim Farmasi dan Terapi (TFT) Susunan kepanitian TFT serta kegiatan yang dilakukan bagi tiap rumah sakit dapat bervariasi sesuai dengan kondisi rumah sakit setempat : a) Panitia Farmasi dan Terapi harus sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) dokter, Apoteker, dan perawat untuk rumah sakit yang besar tenaga dokter bisa lebih dari 3 (tiga) orang yang mewakili semua staf medis fungsional yang ada.



b) Ketua TFT dipilih dari dokter yang ada di dalam kepanitiaan dan jika rumah sakit tersebut mempunyai ahli farmakologi klinik, maka sebagai ketua adalah Farmakologi, sekretarisnya adalah Apoteker dari instalasi farmasi atau Apoteker yang ditunjuk. c) TFT harus mengadakan rapat secara teratur, sedikitnya 2 (dua) bulan sekali dan untuk rumah sakit besar rapatnya diadakan sebulan sekali. Rapat TFT dapat mengundang pakar-pakar dari dalam maupun dari luar rumah sakit yang dapat memberikan masukan bagi pengelolaan TFT. d) Segala sesuatu yang berhubungan dengan rapat TFT diatur oleh sekretaris, termasuk persiapan dari hasil-hasil rapat. e) Membina hubungan kerja dengan panitia di dalam rumah sakit yang sasarannya berhubungan dengan penggunaan obat (RSMS, 2015). Berikut adalah struktur organisasi dari TFT di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto dapat dilihat pada gambar 3.



KETUA Dr. Taufan Hidayat, SpB



SEKRETARIS Widi Warindra S, S.Farm., Apt



Anggota Dr. Tendi Novara, SpAn Dr. Ariadne Tiara H, SpA,MSi.Med Dr. Hernawan, SpS Molina Galuh Januar, Apt., M.Sc Dewanto, Apt., M.Sc



Anggota Dr. Yunanto Dwi Nugroho, SpPD Dr. Anton Budi Dharmawan, SpTHT Dr. Teguh Anamani, Sp.M Drg. Wahyu Molariawan



Gambar 3. Struktur Organisasi TFT F. Instalasi Farmasi RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto 1. Falsafah, Visi, Misi Dan Tujuan RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto a. Falsafah IFRS RSMS Pelayanan farmasi rumah sakit merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang utuh dan berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. b. Visi IFRS RSMS “Menjadi unit pelayanan kefarmasian paripurna dan terpercaya yang memuaskan semua pihak dan menjadi tempat pendidikan kefarmasian yang terpilih” c. Misi IFRS RSMS 1) Menunjang pelayanan kesehatan rujukan spesialistik yang profesional. 2) Menyelenggarakan pelayanan kefarmasian paripurna yang terjangkau masyarakat. 3) Memberikan pelayanan kefarmasian secara tepat, cepat selama 15 menit, ramah, luwes dan informatif yang memuaskan semua pihak. 4) Melaksanakan pendidikan, pelatihan, penelitian dan pengabdian masyarakat secara profesional di bidang kesehatan. d. Tujuan IFRS RSMS 1) Tujuan Umum Menyelenggarakan pelayanan kefarmasian yang profesional sehingga tercapai peningkatan kualitas hidup pasien. 2) Tujuan Khusus a) Terselenggaranya pengelolaan perbekalan farmasi yang efisien, efektif dan aman dengan biaya terjangkau. b) Terselenggaranya asuhan kefarmasian dalam penggunaan obat dan alat kesehatan. c) Terselenggaranya pendidikan tenaga kesehatan yang berkualitas. d) Terselenggaranya pencatatan dan pelaporan dari kegiatan farmasi rumah sakit. 2. Struktur Organisasi



Dalam struktur organisasi Instalasi Farmasi RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo. IFRS dipimpin oleh seorang Kepala Instalasi yang dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh Penanggung Jawab (PJ) Pelayanan, yaitu : a.



PJ Pelayanan Farmasi Rawat Jalan PJ pelayanan famasi



rawat jalan membawahi 5 koordinator depo



farmasi, yakni depo farmasi Rawat Jalan RSMS, depo farmasi rawat jalan Abiyasa, depo farmasi Bedah Sentral RSMS, depo farmasi Bedah Sentral Abiyasa, dan depo farmasi Gawat Darurat. b.



PJ Farmasi Klinis PJ Famasi kliinis membawahi Famasi Klinis. PJ pelayanan Farmasi klinik bertanggung jawab dalam keberhasilan terapi pasien yang ditempuh dengan cara: 1) Berpartisipasi



dalam



penyusunan



standar



terapi



melalui



keikutsertaan Farmasi dalam Tim Farmasi dan Terapi (TFT). 2) Sebagai sumber informasi penggunaan obat kepada pasien dan



c.



keluarganya, rekan sejawat dan tenaga kesehatan yang lain. 3) Monitoring Efek Samping Obat (MESO). 4) Pengkajian penggunaan obat. PJ Pelayanan Farmasi Rawat Inap PJ pelayanan farmasi rawat Inap membawahi 8 koordinator depo farmasi, yakni depo farmasi Rawat Inap RSMS, depo farmasi Rawat Inap Abiyasa, depo farmasi Intensive Care Unit (ICU), depo farmasi Intensive Care Coronary Unit (ICCU), depo farmasi High Care Unit (HCU), depo farmasi Intensive Abiyasa, depo farmasi Maternal Perinatal, dan depo farmasi Kemoterapi.



d.



PJ Logistik PJ Logistik membawahi 3 koordinator, yaitu bagian Gudang pusat, Buffer Abiyasa dan Managemen Mutu IFRS. PJ Logistik mempunyai tugas pokok mengatur kegiatan pengelolaan perbekalan farmasi. Kegiatan



yang



dilakukan



antara



lain



meliputi



perencanaan,



pemeriksaan, penyimpanan, pendistribusian dan produksi. Struktur



organisasi IFRS RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dapat dilihat pada Gambar 4.



Gambar 4. Struktur Organisasi IFRS RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo



3. Ruang Lingkup Pelayanan Ruang lingkup pelayanan kefarmasian di RSMS Purwokerto mencakup pelayanan perbekalan farmasi dan pelayanan farmasi klinik. Instalasi Farmasi RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo bertugas untuk menjamin mutu pelayanan dengan mengedepankan rasionalitas untuk meningkatkan kualitas hidup. Menurut Peraturan Daerah Tingkat I Jawa Tengah No. 4 Tahun 1997 tentang Organisasi dan Tata Kerja Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. Margono Soekarjjo Purwokerto pasal 28, Instalasi Farmasi memiliki tugas menyelenggarakan kegiatan penyediaan, peracikan, dan penyaluran obat, alat kedokteran, alat kesehatan, gas medik dan bahan kimia bagi pasien rawat jalan, gawat darurat dan rawat inap serta tempat pendidikan, pelatihan dan penelitian, melaksanakan rujukan baik intern maupun dengan instalasi lainnya dan institusi pelayanan farmasi di luar Rumah Sakit Umum Daerah (Pemda Jawa Tengah, 1997). Sistem pelayanan kefarmasian yang diterapkan di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo adalah sistem pelayanan satu pintu, yaitu semua obat yang beredar di rumah sakit berada di bawah tanggungjawab Instalasi Farmasi. Alasan diterapkannya sistem pelayanan satu pintu adalah agar Instalasi Farmasi Rumah Sakit dapat melaksanakan pengawasan dan pengendalian



pelayanan



obat-obatan.



Penggunaan



sistem



ini



juga



dimaksudkan agar Instalasi Farmasi dapat mengontrol penggunaan obat pasien, sehingga proses terapi pasien dapat terjamin. Instalasi Farmasi Rumah Sakit adalah satu-satunya unit atau bagian yang bertanggungjawab dalam pengelolaan secara menyeluruh mulai dari perencanaan, pengadaan, pengendalian mutu, penyimpanan, penyiapan dan peracikan, pelayanan resep, distribusi sampai dengan pengendalian semua perbekalan kesehatan yang beredar dan digunakan di Rumah Sakit termasuk pelayanan yang berkaitan dengan obat kepada pasien rawat jalan. Dengan diberlakukannya sistem satu pintu diharapakan Instalasi Farmasi Rumah Sakit dapat melaksanakan pengawasan dan pengendalian obat-obat yang beredar,



65



sehingga pasien dapat memperoleh terapi yang tepat dan segera sembuh dari penyakitnya. 4. Manajemen Pendukung a. SIM (Sistem Informasi Manajemen) SIM menjadi perantara di setiap depo farmasi dan unit-unit lainnya untuk mengirimkan permintaan barang dan pelayanan order (PO) yaitu pengiriman barang yang dilakukan oleh gudang berdasarkan surat pesanan yang telah dikirimkan ke gudang. Barang yang tersedia dikirimkan sesuai dengan pesanan dari masing-masing instalasi. Daftar pesanan tersebut memuat No., nama perbekalan farmasi, satuan, jumlah sisa, jumlah yang diminta, jumlah yang diberi, sisa stok serta memuat tandatangan petugas instalasi yang meminta dan tandatangan petugas gudang yang menerima pesanan. Pesanan barang yang bersifat CITO/segera (harus sesuai dengan inventory yang ada di SIM), biasanya permintaan lewat telepon dan petugas gudang langsung mengantarkan ke depo farmasi atau menggunakan sistem pengantaran menggunakan alat pengiriman yaitu aerocom ke ruangan yang membutuhkan. Semua permintaan yang tidak sesuai dengan inventory yang ada di SIM tidak akan dilayani. b. Logistik Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 610/MenKes/SK/XI/1981 tentang organisasi dan tata gudang perbekalan farmasi, tugas gudang farmasi adalah melaksanakan pengelolaan perbekalan farmasi, meliputi perencanaan, penerimaan, penyimpanan dan pendistribusian perbekalan farmasi. Instalasi gudang merupakan bagian dari pelayanan kefarmasian yang bertugas dalam pengelolaan perbekalan farmasi yang meliputi obat-obatan dan alat medis (Depkes, 1981). Tujuan pembentukan gudang farmasi adalah terpeliharanya mutu obat dan alat kesehatan yang menunjang pelaksanaan upaya kesehatan yang menyeluruh, terarah dan terpadu. Adapun fungsi gudang farmasi dalam mendukung terciptanya pelayanan kefarmasian adalah sebagai berikut :



66



1) Menerima, menyimpan, memelihara, dan mendistribusikan obat, alat kesehatan, dan perbekalan farmasi lainnya. 2) Menjaga mutu dan khasiat obat pada setiap barang persediaan ataupun yang akan didistribusikan. 3) Menyiapkan penyusunan



rencana,



pencatatan,



dan



pelaporan



mengenai persediaan dan penggunaan obat, alat kesehatan, dan perbekalan farmasi lainnya.



67



BAB IV KEGIATAN PKPA DAN PEMBAHASAN A. Administrasi Instalasi Farmasi RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Administrasi adalah kegiatan yang berkenaan dengan kebijaksanaan untuk mencapai tujuan. Salah satu tanggung jawab administrasi farmasi adalah menjaga kelancaran, ketepatan administrasi di Instalasi Farmasi. Salah satu administrasi pelaporan rutin kegiatan farmasi di Instalasi Farmasi RSMS setiap bulannya



meliputi



administrasi



umum (terkait



kepegawaian),



jumlah



korespondensi (jumlah surat masuk dan keluar), evaluasi waktu tunggu pelayanan, laporan perbekalan farmasi Near ED, laporan perbekalan farmasi macet, laporan cakupan resep dan cakupan copy resep, laporan evaluasi kepuasaan pelanggan, laporan evaluasi medication error, kesesuaian obat dengan FORNAS, presentase penggunaan obat generik. Seluruh laporan ini dikerjakan oleh salah satu staf di kesekretariatan Instalasi Farmasi RSMS yang selanjutnya dievaluasi kembali oleh kepala Instalsi Farmasi RSMS untuk disesuaikan terkait data yang diperoleh dari masing-masing depo farmasi RSMS. B. Unit Produksi Perbekalan Farmasi RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Produksi perbekalan farmasi di Rumah Sakit merupakan kegiatan membuat, merubah bentuk, dan pengemasan kembali sediaan farmasi steril atau non steril untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan dirumah sakit. Sediaan yang dibuat di Rumah Sakit harus memenuhi persyaratan mutu dan terbatas hanya untuk memenuhi kebutuhan pelayanan di Rumah Sakit tersebut. RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto memiliki gudang farmasi yang melakukan produksi perbekalan farmasi dengan cara pengenceran dan repacking (pengemasan kembali) pada sediaan produksi non steril saja. Produksi sediaan steril tidak dapat dilakukan dikarenakan RSMS tidak memiliki fasilitas untuk produksi steril sesuai dengan CPOB.



68



Kegiatan pengenceran pada prinsipnya menambahkan pelarut tanpa mengubah jumlah mol zat terlarut. Pengenceran hanya dapat dilakukan jika terdapat surat permintaan (SP) dari unit kerja lain diluar Instalasi Farmasi Rumah Sakit kepada gudang pusat RSMS. Kegiatan ini dilakukan sesuai dengan jumlah dan sediaan yang diinginkan berdasarkan SP yang diterima. Sediaan farmasi yang paling sering diminta untuk dilakukan pengenceran, yaitu sediaan B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya) seperti formalin 10% (dari konsentrasi 40%) dan H2O2 3% (HydrogenPeroxide) (dari konsentrasi 50%). Permintaan tersebut datang dari IBS (Instalasi Bedah Sentral) dan IGD OK (Instalasi Gawat Darurat Operatie Kamer). Alat pengenceran yang diperlukan antara lain beaker glass, gelas ukur, jerigen, dan lain-lain. Petugas yang melakukan pengenceran, yaitu tenaga teknis kefarmasian. Kegiatan produksi yang dilakukan di gudang pusat RSMS selain pengenceran, yaitu repacking (pengemasan kembali). Repacking merupakan kegiatan mengemas kembali dari kemasan primer yang berisi obat dengan jumlah banyak menjadi kemasan yang lebih kecil dengan jumlah obat yang lebih sedikit pula. Repacking ini dilakukan pada sediaan yang kemasan primernya berupa botol dan berisi sediaan yang jumlahnya banyak, misalnya 1000



kapsul.



Kegiatan



ini



dimaksudkan



untuk



mempermudah



dan



mempercepat pelayanan di depo farmasi. Sediaan obat-obatan yang direpacking, antara lain: Fenitoin kapsul @ 100 kapsul, @ 60 kapsul, dan @ 30 kapsul; Diazepam tablet @ 10 tablet, @ 15 tablet, dan @ 30 tablet; Kalk tablet @ 10 tablet dan @ 15 tablet; serta Vitamin B complex @ 15 tablet. Alat repacking yang diperlukan, yaitu sarung tangan, sendok obat, wadah/mangkuk untuk obat, plastik klip dan lain-lain. Petugas yang melakukan repacking adalah tenaga teknis kefarmasian. Sebelum dilakukan repacking, petugas perlu menyiapkan etiket berwarna putih yang memuat informasi sebagai berikut: (a) Tanggal sediaan dibuka, (b) Nama dan kekuatan sediaan, serta (c) Tanggal kadaluwarsa. Setelah obat yang direpacking sudah dalam kemasan kecil, maka dilakukan pemberian etiket. Salah satu tujuan pemberian etiket tersebut adalah



69



untuk mengetahui tanggal kadaluwarsa obat meskipun obat sudah tidak terdapat di kemasan primernya. Hal ini juga untuk memudahkan gudang dalam pendistribusian ke depo, sehingga gudang akan mendistribusikan obat yang tanggal kadaluwarsanya lebih cepat atau berdasarkan FEFO (First Expired First Out). Setelah itu, gudang mendistribusikan obat ke unit yang selanjutnya akan dilakukan dispensing sehingga obat sampai ke pasien. Dari pemaparan diatas, dapat dimuat alur repacking sebagai berikut: (a) Surat Permintaan/SP, (b) Entry+check ketersediaan barang, (c) Pembuatan etiket, (d) Penyiapan alat dan bahan, (e) Pengenceran. C. Perbekalan Logistik Gudang Sediaan Farmasi RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo 1. Struktur Organisasi Untuk mewujudkan tujuan dan melaksanakan tugas, disusun suatu stuktur organisasi sub instalasi farmasi sebagai berikut:



Ka. Instalasi Farmasi



Penanggung Jawab Logistik



Koordinator Gudang Farmasi Pusat RSMS



PJ ALKES



Koordinator Gudang Buffer Abiyasa



PJ OBAT



PENUNJANG



ADMINISTRASI



Gambar 5. Struktur Organisasi Gudang Farmasi Sumber daya manusia di gudang farmasi berjumlah 13 orang, sumber daya tersebut terbagi pada dua tempat yaitu sumber daya manusia di



70



gudang farmasi RSMS sebanyak 11 orang dan di gudang farmasi abiyasa 2 orang. Sumber daya manusia di gudang farmasi RSMS yang terdiri dari 3 orang Apoteker, 4 orang tenaga teknis kefarmasian, 4 orang tenaga administrasi, sedangkan sumber daya manusia di gudang farmasi abiyasa terdiri dari 2 orang tenaga teknisi kefarmasian. 2. Letak Gudang Farmasi Gudang sediaan farmasi adalah tempat penyimpanan obat di farmasi yang merupakan salah satu unit pelayanan instalasi farmasi rumah sakit berperan penting dalam mendukung seluruh kegiatan operasional rumah sakit, yang mengelola sediaan farmasi khususnya dalam hal perencanaan sediaan farmasi, pengadaan, penerimaan, penyimpanan dan pendistirbusian, pengendalian, pemantauan dalam evaluasi dan administrasinya. Pengelolaan sediaan farmasi meliputi obat-obatan, alat kesehatan, alat perawatan, bahan kimia, bahan radiologi, dan alat kedokteran. Lokasi gudang instalasi farmasi RS Margono maupun paviliun abiyasa dekat dengan jalanan umum dan ruang pelayanan dirumah sakit sehingga mudah dijangkau oleh kendaraan angkut barang dan memudahkan dalam proses pengiriman sediaan farmasi baik dari distributor obat maupun pengiriman ke depo farmasi lainnya. Lokasi gudang dibangun dengan mempertimbangkan beberapa faktor seperti keamanan dan kemudahan lokasi untuk dijangkau baik untuk pengiriman barang ke setiap depo-depo farmasi maupun untuk menerima barang datang dari distributor atau sejenisnya. Kegiatan operasional gudang farmasi atau biasa disebut dengan Gudang Pusat RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dilakukan pada sebuah gedung tersendiri dan terpisah, namun masih berada di lingkungan rumah sakit. Ruang penyimpanan gudang instalasi farmasi RS Margono terdiri dari ruang injeksi dan obat luar; ruang sitotoksik; ruang infus; ruang obat oral meliputi tablet, kapsul, sirup dan lemari narkotik psikotropik; ruang alkes; ruang B3; dan refrigerator untuk menyimpan obat-obat yang



71



disimpan pada suhu dingin. Adapun ruangan-ruangan yang terdapat dalam gudang farmasi dapat dilihat pada Lampiran 6,7,8. Gudang farmasi terdapat juga di Paviliun Abiyasa RSUD Prof Dr. Margono Soekarjo atau yang biasa disebut dengan gudang Buffer Abiyasa mempunyai tugas dalam pengelolaan (penerimaan, penyimpanan dan pendistribusian) sediaan farmasi dan peralatan kesehatan. Tujuan pembentukan Gudang Buffer Abiyasa adalah menjamin ketersediaan obat yang diperlukan dalam pelayanan setiap depo yang ada di Paviliun Abiyasa RSUD Prof Dr. Margono Soekarjo serta terpeliharanya mutu obat dan alat kesehatan yang menunjang pelaksanaan upaya kesehatan yang menyeluruh, terarah dan terpadu. Fungsi Gudang Buffer Abiyasa meliputi: a). Penerimaan, penyimpanan, pemeliharaan dan pendistribusian obat, alat kesehatan dan sediaan farmasi yang didapat dari Gudang Farmasi Pusat RSMS untuk pelayanan kesehatan di Paviliun Abiyasa RSUD Prof Dr. Margono Soekarjo b). penyusunan perencanaan obat dan alkes,



pencatatan



dan



pelaporan



mengenai penggunaan obat, alat kesehatan dan sediaan farmasi di Paviliun Abiyasa RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo c). Dokumentasi; d). Pengamatan dan penjagaan terhadap mutu dan keamanan obat; e). Melakukan urusan tatausaha dan kepegawaian Adapun cara permintaan yang diajukan oleh Gudang Buffer Abiyasa untuk menjamin ketersediaan sediaan farmasi dan mencegah kekosongan sediaan farmasi di Paviliun Abiyasa RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo adalah mengirim surat permintaan kepada Gudang Pusat RSMS dibawah tanggung jawab Apoteker sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan yaitu hari senin dan kamis. Setelah itu Gudang Pusat RSMS akan menyiapkan sediaan farmasi sesuai dengan surat permintaan dari Gudang Buffer Abiyasa, setelah semua sudah sesuai dan ditandatangani oleh kepala gudang pusat RSMS maka sediaan farmasi akan segera dikirim menggunakan kendaraan dengan



72



memperhatikan penyimpanan dengan tujuan tidak ada barang rusak ketika sampai di Gudang Buffer Abiyasa. 3. Kegiatan Sub Instalasi Logistik Farmasi a. Perencanaan Metode perencanaan yang dilakukan oleh gudang pusat Farmasi di



RSMS



sebagian besar menggunakan metoda konsumsi serta



menggunakan metode epidemiologi untuk kasus-kasus tertentu misalnya penyakit autoimun dan kemoterapi. Data yang diperlukan untuk perencanaan dan pengadaan sediaan farmasi dengan metode konsumsi yaitu kebutuhan rata-rata setiap bulan, lama kebutuhan, safety stok, dan sisa stok akhir. Untuk metode epidemiologi membutuhkan data perhitungan kebutuhan obat berdasarkan standar pengobatan, lama kebutuhan, safety stok, dan sisa stok. Pengadaan obat di RSMS biasanya dilakukan pada tanggal 25 tiap bulannya. Kendala perencanaan yang sering terjadi yaitu perubahan konsumsi dan perubahan epidemiologi seperti saat-saat terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB), untuk mengatasi hal tersebut maka perencanaan yang dibuat minimal 6-12 bulan terakhir sehingga perencanaan yang dibuat memiliki data perencanaan yang valid. b. Pengadaan Pengadaan



merupakan



kegiatan



yang



dimaksudkan



untuk



merealisasikan perencanaan kebutuhan. Pengadaan yang efektif harus menjamin ketersediaan, jumlah dan waktu yang tepat dengan harga yang terjangkau dan sesuai standar mutu. Pengadaan di Rumah Sakit Prof. Dr. Margono Soekarjo tidak dilakukan langsung oleh gudang farmasi melainkan dilakukan oleh pejabat pengadaan barang dan jasa RSMS berdasarkan perencanaan yang telah dibuat sebelumnya. Sumber anggaran yang digunakan dalam pengadaan kebutuhan sediaan farmasi di RSMS berasal dari APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) dan BLUD (Badan Layanan Umum Daerah). Penggunan



73



anggaran lebih diprioritaskan untuk menggunakan dana APBD, jika dana tersebut tidak bisa memenuhi kebutuhan, maka digunakan BLUD. Pejabat pengadaan akan menyerahkan surat pesanan ke distributor/ PBF yang telah ditetapkan dan meminta distributor tersebut mengirimkan perbekalan farmasi sesuai dengan pesanan. Selain itu tugas dari pejabat pengadaan yaitu menghubungi distributor lain apabila distributor sebelumnya terjadi kekosongan barang dan membuat pelaporan pengadaan setiap bulannya. Pengadaan yang dilakukan di RSMS melalui pembelian, hibah, produksi dan konsinyasi. Pengadaan melalui pembelian ada 2 metode yakni



e-Catalogue dan non e-Catalogue.



Pembelian non e-cataloge dibagi lagi menjadi 2 yaitu pembelian langsung dan sistem tender. Pembelian melalui sistem tender di gudang pusat RSMS dilakukan sebanyak 2 kali tiap tahun. Pemilihan metode pengadaan di RSMS berdasarkan pada situasi dan kondisi tertentu. Semua obat yang masuk dalam e-Catalogue maka cara pembeliannya wajib menggunakan metode e-purchasing. Pengadaan sediaan farmasi, alkes, obat dan BMHP tidak dilakukan oleh Instalasi Farmasi namun dilakukan oleh unit pengadaan tersendiri atau Unit Layanan Pengadaan (ULP). Hal ini sesuai dengan Peraturan Presiden No. 70 tahun 2012 tentang perubahan kedua atas peraturan presiden no. 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah. Pengadaan dimulai dari perencanaan Rumah Sakit di gudang setiap bulan pada tanggal 25, dengan meminta persetujuan kepada kepala instalasi farmasi, bidang penunjang medis, bagian keuangan, wakil direktur serta direktur dari Rumah Sakit. Setelah mendapat persetujuan dari masing masing pihak, PPKom (Pejabat Pembuat Komitmen) akan membuat perjanjian dengan pihak lain, PPTK (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan) akan mengeluarkan surat perintah beli (SPB) kemudian bagian Unit Layanan Pengadaan (ULP) yang akan mengkoordinasikan semua pengadaan barang tidak hanya sediaan farmasi setelahitu dilimpahkan



74



kepada Pejabat Pengadaan (PP) yang akan melaksaankan kegiatan pengadaan sampai barang tersedia. Selanjutnya Pejabat Pengadaan (PP) akan mengirimkan surat pesanan 1 (satu) kepada pabrik sesuai dengan perjanjian sebelumnya selambat-lambatnya 21 hari, kemudian pabrik akan mengirimkan notif (pemberitahuan) kepada Pejabat Pengadaan. Notif yang dikirim oleh pabrik dapat berupa bentuk approve atau penerimaan, approve dengan pemberitahuan tertentu dan reject atau penolakan. Proses pengiriman notif ini bisanya berlangsung selama 1-2 bulan. Setelah notif diterima, Pejabat Pengadaan akan membuat surat pesanan 2 rangkap yang akan Perencanaan Rumah Sakit setiap bulan pada tanggal 25



dikirim kepada PBF pengirim perbekalan farmasi dan pabrik akan menghubungi PBF tersebut pengiriman perbekalan Persetujuan olehuntuk Kepalamelakukan Instalasi Farmasi farmasi ke Rumah Sakit. Persetujuan oleh Bidang Penunjang Medis



Skema alur pengadaan barang dapat dilihat pada Gambar 6 Persetujuan oleh Keuangan Persetujuan oleh Wakil Direktur Umum



4.1.1. Persetujuan oleh Direktur Rumah Sakit 4.1.2. 4.1.3. PPKom (Pejabat Pembuat Komitmen) akan membuat perjanjian dengan pihak 4.1.4. lain 4.1.5. 4.1.6. PPTK (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan) akan mengeluarkan surat perintah 4.1.7. beli (SPB) 4.1.8. 4.1.9. PP (Pejabat Pengadaan) akan melaksaankan kegiatan pengadaan sampai barang 4.1.10. tersedia 4.1.11. 4.1.12. 4.1.13. PP akan mengirimkan surat pesanan 1 kepada pabrik sesuai dengan perjanjian sebelumnya 4.1.14. 4.1.15. 4.1.16. pabrik akan mengirimkan notif (pemberitahuan) kepada Pejabat Pengadaan. Notif yang 4.1.17. dikirim oleh pabrik dapat berupa bentuk approve atau penerimaan, approve dengan pemberitahuan tertentu dan reject atau penolakan 4.1.18. 4.1.19. 4.1.20. notif diterima Pejabat Pengadaan akan membuat surat pesanan 2 yang akan dikirim kepada PBF pengirim 75 farmasi perbekalan pabrik akan menghubungi PBF tersebut untuk melakukan pengiriman perbekalan farmasi ke Rumah Sakit



4.1.21.



Gambar 6. Alur Pengadaan Barang di RSMS c. Penerimaan Kegiatan untuk menerima sediaan farmasi yang telah diadakan sesuai



dengan



aturan



kefarmasian.



Adapun



tahap-tahap



dalam



penerimaan barang/ jasa adalah sebagai berikut : 1.



Barang yang telah dipesan kepada PBF dikirimkan ke gudang



2.



sentral. Barang diperiksa terlebih dahulu sebelum barang diterima oleh panitia penerimaan. Pemeriksaannya meliputi kesesuaian nama barang, jenis sediaan, kekuatan sediaan dan jumlah barang dengan



3.



surat pesanan. Setelah semua sesuai dengan pesanan maka dilakukan pemeriksaan keadaan barang, No. batch, jumlah fisik, kemasan barang, tanggal



4.



expired date (ED) serta MSDS. Jika semua sudah sesuai maka dengan langkahmencantumkan selanjutnya nama adalah Menandatangani faktur barang petugas penerima, No. SIPA, serta penandatanganan faktur tanggal oleh penerimaan, panitia pemeriksaan dengan membubuhkan menuliskan nama, No. SIPA dan tanggalstampel. tanda tangan faktur tersebut serta distempel. Untuk obat narkotik, psikotropik, prekursor dan OOT ditambah dengan tanda tangan dari Apoteker penanggung Menyimpan salinan faktur sebagai arsip jawab dari gudang tersebut. Berikut ini adalah alur penerimaan sediaan farmasi yang dikirim oleh PBF ke gudang pada gambar 7 Memasukkan data ke dalam komputer meliputi nama, distributor, pabrik, No. faktur, tanggal barang datang, jenis dan jumlah barang, satuan kemasan, harga satuan, No. batch, tanggal kadaluarsa, MSDS untuk B3, certificate of origin untuk alat kesehatan



Membubuhkan cap, tanggal datang pada kemasan luar, menandai obat High Alert dan LASA



76



Menyimpan perbekalan farmasi di tempat yang sesuai dengan kondisi persyaratan penyimpanan



Gambar 7. Alur Penerimaan dan Pemeriksaan Sediaan Farmasi Hal-hal yang harus diperhatikan saat penerimaan barang adalah: 1) Barang sediaan farmasi sangat diupayakan bersumber dari penyedia barang/jasa atau PBF yang telah dipilih oleh rumah sakit. 2) Obat dan alat kesehatan harus memiliki sertifikat analisis. 3) Sediaan farmasi khususnya yang bersifat toksik dan berbahaya harus menyertakan Material Safety Data Sheet (MSDS) minimal pada pengiriman pertama kali. 4) Pemeriksaan kesesuaian jumlah barang dengan dokumen pengiriman. 5) Pemeriksaan kesesuaian jenis dan spesifikasi barang dengan surat pesanan. 6) Pemeriksaan barang saat diterima harus dalam keadaan baik. 7) Khusus untuk alat kesehatan atau kedokteran harus mempunyai certificate of origin. 8) Tanggal kadaluarsa (expired date) minimal 2 tahun kecuali sediaan farmasi tertentu yang memang tanggal kadaluarsanya pendek. d. Penyimpanan Sediaan farmasi yang telah diterima dan diperiksa selanjutnya di simpan dalam gudang. Fungsi dari penyimpanan adalah untuk memelihara mutu dan kualitas sediaan farmasi sehingga dapat memudahkan dalam pengelolaan dan pengawasan. Tata letak penyimpanan obat di gudang pusat RSMS dibedakan berdasarkan: 1) Suhu penyimpanan:



77



a) Ruang 1



: Suhu sejuk (15-25 oC), penyimapan sediaan injeksi, suppositoria, infus kemasan kecil, salep, tetes mata dan obat luar.



b) Ruang 2



: Suhu sejuk (15– 25 oC) dan suhu 2o – 8oC (kulkas), penyimapan



sediaan



obat-obat



sitostatika



dan



preparat gigi. c) Ruang 3



: Suhu ruang (>25 oC), penyimapan sediaan infus cairan



dasar,



cairan



lain,



dan



alkes



khusus



hemodialisa. d) Ruang 4



: Suhu sejuk (15-25 oC), penyimapan sediaan obatobat oral, infus kemasan besar yang disimpan pada suhu sejuk dan lemari obat psikotropika dan narkotika.



e) Ruang 5



: Suhu ruang (>25 oC) penyimapan sediaan obat-obat oral.



f) Ruang 6



: Suhu ruang (>25 oC) penyimapan sediaan alat-alat kesehatan, peralatan rumah tangga dan bahan baku.



2) Menyusun di dalam rak/ almari berdasarkan bentuk sediaan dan disusun secara alfabetis, serta untuk masing-masing jenis sediaan dominan menggunakan metode FEFO (First Expired First Out). 3) Mencatat pada kartu stok, meliputi: tanggal barang datang, nama barang, jumlah, distributor, no. batch, tanggal kadaluarsa, dan menyertakan MSDS untuk Bahan Beracun dan Berbahaya. Penyimpanan untuk obat sitostatika sudah memenuhi persyaratan penyimpanan obat sitostatik, antara lain: 1)



Obat sitostatika disimpan secara terpisah dari obat-obat lain.



2)



Terdapat lembar pengaman di dekat tempat penyimpanan.



3)



Letak penyimpanan obat sitostatika diusahakan minimal sejajar dengan mata atau lebih rendah agar mudah terlihat tanda berbahaya oleh petugas.



4)



Tanda obat berbahaya pada kotak kemasan luar berada di sisi



78



sebelah luar sehingga mudah terlihat. 5)



Obat yang disimpan di lemari pendingin (2-80C), diletakkan di lemari pendingin yang terpisah.



6)



Bila tidak tersedia lemari pendingin yang terpisah, maka obat sitostatika dimasukkan dalam wadah tertutup dari bahan anti bocor dan disimpan bersama obat lainnya di lemari pendingin yang sama. Penyimpanan B3 dengan ketentuan sebagai berikut :



1)



Menyimpan B3 di ruang terpisah dari sediaan farmasi lain.



2)



Meletakkan



B3



di



tempat



penyimpanan dengan posisi sejajar dengan mata atau lebih rendah agar mudah terlihat oleh petugas. 3)



Memberi



logo



tanda



bahan



berbahaya pada tempat penyimpanan B3 sesuai dengan logo yang berlaku untuk klasifikasi B3 yang dimaksud. 4)



Menjaga ventilasi atau sirkulasi udara di ruang penyimpanan.



5)



Menjaga



suhu



di



ruang



penyimpanan agar jangan terlalu tinggi untuk menghindari kemungkinan terjadinya kebakaran dan dilarang menempatkan barang serta melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan suhu ruangan. 6)



Memasang



tanda



“Dilarang



Merokok” di sekitar tempat penyimpanan B3. 7)



Menyediakan peralatan pemadam kebakaran dalam jumlah yang cukup dan siap pakai serta meletakkan lembar data MSDS di tiap tempat penyimpanan B3.



8)



Menyediakan tempat pembuangan sementara B3 yang sudah rusak atau kadaluarsa dan melakukan pembuangan/pemusnahan B3 dengan bekerja sama dengan instalasi pembuangan limbah dan disaksikan oleh petugas yang berwenang.



79



e. Distribusi 1) Alur Distribusi Sediaan Gudang RSMS Proses pendistribusian sediaan dari gudang pusat ke depo farmasi melalui beberapa langkah yaitu masing-masing depo farmasi memberikan surat permintaan ke gudang. Petugas gudang akan memeriksa surat permintaan tersebut dimana akan diperiksa lagi sesuai dengan SIM. Setelah itu petugas akan mengambil barangbarang seperti yang tertera di surat permintaan. Sebelum dikirim ke masing-masing depo, petugas lain melakukan pemeriksaan kembali antara surat permintaan dengan barang, dan jika sudah sesuai surat permintaan akan ditandatangani dan barang siap dikirim ke depo farmasi. Alur distribusi sediaan farmasi dari gudang dapat dilihat pada Gambar 8.



Penerimaan Surat Permintaan Pemeriksaan Surat Permintaan dan disesuaikan dengan SIM Penyiapan obat Memeriksa kembali sebelum dikirim ke depo farmasi Membuat surat pengeluaran



TTD penanggungjawab & petugas sediaan farmasi



Pengiriman barang ke depo farmasi



80



Gambar 8. Alur Distribusi Sediaan Farmasi dari Gudang f. Pemusnahan Pemusnahan sediaan farmasi yang kadaluarsa/rusak harus dilaksanakan oleh petugas yang berwenang dan disaksikan oleh pejabat yang berwenang. Adapun prosedurnya yaitu: a). Mengumpulkan



dan



mengeluarkan



sediaan



farmasi



yang



kadaluarsa/ rusak ke dalam suatu wadah khusus dan diberi label kadaluarsa/ rusak. b). Membuat daftar obat yang telah kadaluarsa/ rusak ke Direktur untuk dilakukan pemusnahan. c). Melaporkan daftar obat yang telah kadaluarsa/rusak ke DPPAD (Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Aset Daerah) Provinsi. d). Melaksanakan pemusnahan setelah mendapat surat pemusnahan dari DPPAD. e). Membuat berita acara pemusnahan. f). Menandatangani berita acara pemusnahan bagi petugas dan saksi yang ditunjuk. g). Melaporkan kepada direktur hasil pemusnahan sediaan farmasi. h). Melaporkan kepada Dinas Kesehatan Provinsi. Untuk saat ini dalam melakukan pemusnahan dilakukan oleh pihak ketiga yakni PT. Tenang Jaya. g. Pengendalian Pengendalian penggunaan sediaan farmasi dapat dilakukan oleh Instalasi Farmasi beserta pihak manajemen, sedangkan pengendalian anggaran dilakukan oleh direktur dan bidang penunjang. Cara untuk mengendalikan sediaan farmasi adalah: 1) 2) 3) 4)



Memperkirakan / menghitung pemakaian rata-rata periode tertentu Menentukan stok aman di gudang Menentukan waktu pemesanan sampai obat diterima Melakukan evaluasi perbekalan yang jarang digunakan (slow



moving) 5) Melakukan evaluasi perbekalan yang tidak digunakan dalam waktu tiga bulan berturut-turut (death stock) 6) Stok opname yang dilakukan secara periodik dan berkala.



81



Alat yang digunakan untuk pengendalian sediaan farmasi adalah: 1) Formularium Rumah Sakit mengacu pada Formularium Nasional, perencanaan mengacu pada Formularium Rumah Sakit. Pembelian obat mengacu pada formularium rumah sakit dan peresepan obat untuk formularium. 2) Sistem Informasi Manajemen (SIM) Rumah Sakit 3) Semuat transaksi barang datang dan barang keluar ke pasien 4) 5) 6) 7) 8) a.



melalui transaksi SIM Pencatatan manual Pencatatan manual dilakukan dikartu stok barang Stock opname pertiga bulan Mencocokkan antara data SIM dan fisik obat Pemberian logo untuk obat-obat near ED. Penanganan obat ED Kebijakan yang ditetapkan Gudang pusat dan Gudang buffer



Abiyasa RSUD Margono Soekarjo Purwokerto tentang near ED ditetapkan dengan Standar Prosedur Operasional No Dokumen SPO.FAR.50 yang diterbitkan pada tanggal 7 Maret 2014. SPO tersebut berisi mengenai prosedur penanganaan obat mendekati ED, meliputi: a).



Sediaan farmasi yang hampir kadaluarsa adalah sediaan farmasi yang tanggal kadaluarsanya tiga bulan yang akan datang



b).



atau kurang Pemantauan tanggal kadaluarsa dilakukan secara periodik setiap satu bulan sekali, dengan melihat catatan tanggal ED pada



c).



kartu stok. Apabila sediaan farmasi telah masuk ke dalam kriteria hampir kadaluarsa, maka diberi penandaan khusus, menggunakan kertas warna merah menyala (asturo) dengan tulisan NEAR ED berwarna



d).



hitam. Sediaan farmasi yang hampir kadaluarsa diletakkan dalam rak yang paling depan sehingga mudah terlihat dan diambil pertama kali.



82



e).



Melaporkan keberadaan sediaan farmasi yang hapir kadaluarsa



f).



kepada Kepala Instalasi Farmasi. Kepala Instalasi Farmasi memberikan informasi kepada dokter penulis resep untuk segera meresepkan sediaan farmasi yang



g).



hampir kadaluarsa tersebut. Apabila telah mencapai atau melewati tanggal kadaluarsa, sediaan farmasi tersebut dikumpulkan di gudang sentral untuk



dilakukan pemusnahan sesuai dengan prosedur pemusnahan. b. Alur Evaluasi Obat Macet Dalam mengatasi adanya obat macet di gudang, kebijakan yang diterapkan oleh Rumah Sakit Prof. Margono Soekarjo adalah sebagai berikut: a). Mencatat obat macet dari kartu stok atau komputer. b). Melaporkan hasil data obat macet ke atasan (Kepala Sub Instalasi Sediaan Farmasi) c). Kepala Sub Instalasi Sediaan Farmasi melaporkan kepada Kepala Instalasi Farmasi mengenai adanya obat macet d). Pengambilan tindakan oleh Kepala Instalasi Farmasi atas permasalahan obat macet, yaitu melakukan tindakan : (1) Memberikan informasi obat macet kepada SMF (Staf Medis Fungsional) baik secara individu maupun melalui TFT (Tim Farmasi dan Terapi) (2) Memberikan informasi kepada principle atau distributor lewat Kepala Sub Instalasi Sediaan Farmasi (3) Jika kedua hal di atas tidak berhasil maka Kepala IFRS dapat melaporkan perihal tersebut langsung kepada Direktur untuk ditindaklanjuti. D. Depo Farmasi Rawat Jalan RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Depo Farmasi Rawat Jalan (DFRJ) merupakan salah satu sub unit pelayanan farmasi rumah sakit yang melaksanakan pelayanan kefarmasian untuk pasien Poli Klinik Rawat Jalan Rumah Sakit Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Pelayanan kefarmasian di Depo Farmasi Rawat Jalan dilakukan dari hari senin hingga sabtu yang dimulai pukul 08.00 WIB hingga selesai. 1. Sruktur Organisasi



83



Depo Farmasi Rawat Jalan dikoordinir oleh seorang tenaga teknis kefarmasian yang dibawahi oleh Apoteker Penanggung Jawab Pelayanan Farmasi Rawat Jalan RSMS yang membawahi Depo Farmasi Rawat Jalan RSMS, Depo Farmasi Rawat Jalan Abyasa, Depo Farmasi Bedah Sentral RSMS, Depo Farmasi Bedah Sentral Abyasa dan Instalasi Gawat Darurat yang bertanggung jawab langsung kepada Kepala Instalasi Farmasi Rumah Sakit Prof. Dr. Margono Soekarjo (RSMS). Berikut adalah susunan struktur organisasi Depo Farmasi Rawat Jalan RSMS dapat dilihat pada gambar 9. Penanggung Jawab Pelayanan Farmasi Rawat Jalan RSMS



Koordinator Farmasi Rawat Jalan RSMS



Pelayanan



Pembekalan



Administrasi



Gambar 9. Struktur Organisasi Depo Farmasi Rawat Jalan RSMS 2. Sumber Daya Manusia Depo Farmasi Rawat Jalan RSMS dikelola oleh 12 tenaga kefarmasian, yang terdiri dari 4 Apoteker dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian (D3 Farmasi = 8 orang, Administrasi =



5 orang) dalam



kegiatan manajemen perbekalan farmasi dan pelayanan kefarmasian. Keempat Apoteker tersebut masing-masing bertanggung jawab dalam screening



kelengkapan



administrasi,



farmasetis,



dan



klinis



resep,



pemeriksaan hasil dispensing obat (checking), penyerahan dan penyampaian informasi obat, serta berperan fungsional yaitu memecahkan masalah yang terjadi. Tugas koordinator di Depo Farmasi Rawat Jalan adalah mengordinir pelayanan obat Rawat Jalan. Kegiatannya meliputi merencanakan,



84



menyimpan, dan mendistribusikan persediaan obat dan perbekalan farmasi. Apoteker pelaksana memiliki tugas yaitu memberikan pelayanan asuhan kefarmasian. Tenaga Teknis Kefarmasian yang bertugas untuk penerimaan resep dari pasien, dan peracikan obat. 3. Pelayanan Resep di Depo Farmasi Rawat Jalan Depo Farmasi Rawat Jalan dalam melayani



resep



pasien



menggunakan sistem pelayanan resep manual dan komputerisasi. Sistem peresepan secara manual merupakan sistem peresepan konvensional dimana permintaan obat pasien ditulis secara tertulis dalam resep oleh dokter dan resep tersebut harus diserahkan di depo farmasi rawat jalan. Sedangkan sistem peresepan komputerisasi merupakan sistem peresepan yang permintaan obat pasien tertulis dalam komputer dan permintaan obat tersebut sudah dapat diakses langsung dalam komputer di depo farmasi rawat jalan yang telah terintergrasi oleh suatu sistem informasi. Peresepan secara komputerisasi bertujuan untuk mempercepat waktu pelayanan sehingga waktu tunggu pasien dalam pengambilan obat menjadi lebih singkat. Selain itu dengan adanya sistem peresepan secara komputerisasi juga dapat mempermudah dalam pembacaan resep sehingga dapat meminimalkan terjadinya medication error.



Gambar



10. Kelompok Resep Rawat Jalan



Pelayanan di Depo Farmasi Rawat Jalan melayani resep Umum dan resep BPJS baik kategori PBI maupun non PBI. Resep umum Rawat Jalan berwarna kuning, sedangkan resep BPJS PBI (Penerima Bantuan Iuran) dan resep BPJS non PBI (Penerima Bantuan Iuran) berwarna putih. Selain itu pada kegiatan pelayanan resep di rawat jalan juga dikelompokan menjadi



85



resep B, C dan D. Kelompok resep B merupakan kelompok resep khusus untuk pasien BPJS, kelompok resep C untuk pasien yang menerima obat racikan, dan kelompok resep D adalah kelompok pasien umum. Secara umum yang membedakan resep umum dan resep BPJS adalah pada sistem pembayaran dimana pasien umum membayar sejumlah obat yang diterima, sedangkan pada pasien BPJS pembayarannya telah ditanggung asuransi kesehatan. Pelayanan resep oleh Depo Farmasi Rawat Jalan terdapat suatu alur pelayanan yang dimulai dari pasien datang dengan membawa resep hingga pasien pulang dengan membawa obat. Secara garis besar, alur pelayanan resep tersebut dibedakan menjadi 2 yaitu pelayanan resep untuk pasien umum dan pelayanan resep untuk pasien BPJS. Berikut merupakan penjelasan masing-masing alur pelayanan : 1) Alur Pelayanan Resep Pasien Umum Pelayanan resep untuk pasien umum dimulai dari pasien yang telah mendapat resep dari poliklinik datang ke depo farmasi rawat jalan hingga pasien pulang dengan membawa obat. Secara umum alur pelayanan resep umum adalah sebagai berikut dapat dilihat pada gambar 11.



Pasien datang membaa resep



Kegiatan Loket 3: Pemberian No. antrian Pemberian No. resep Pengkajian resep Penetapan dan Konfirmasi biaya



Penyerahan resep ke loket 3







Pembayaran di loket 2



Kegiatan Bagian Administrasi: Entry Resep Pembuatan Etiket Pembuatan Copy Resep



Resep - diterima bagian Administrasi



4.1.22. 4.1.23. 4.1.24.



Dispensing



4.1.25. Pemeriksaan akhir



Penyerahan obat diloket 1 86



Gambar 11. Alur Pelayanan Rawat Jalan Pasien Umum RSMS Berdasarkan alur pelayanan resep pasien umum tersebut pasien yang akan menebus resep maka harus menyerahkan resepnya atau kartu pendaftaran kepada petugas penerima resep dari depo farmasi rawat jalan yang terdapat pada loket 3. Selanjutnya petugas bagian penerimaan resep tersebut akan mengidentifikasi resep yang dibawa pasien tersebut, memberikan No. resep, dan memberikan No. urut pasien. Dalam hal ini petugas bagian penerimaan resep juga dapat mengidentifikasi jenis-jenis pasien yang perlu pelayanan cepat karena suatu kondisi khusus. Petugas bagian penerimaan resep selanjutnya melakukan pengkajian terhadap resep pasien dan menghitung harga keseluruhan obat pasien. Penentuan harga obat ini sudah terdapat ketetapan oleh pihak rumah sakit. Pada umumnya apabila harga keseluruhan obat yang diterima pasien melebihi Rp. 100.000,- maka harus dilakukan persetujuan



terkait



dengan



harga



obat



kepada



pasien



yang



bersangkutan. Apabila dalam pengajuan harga obat ini pasien setuju maka dapat langsung dilanjutkan pembayaran obat dan penyiapan obat. Namun apabila pasien merasa keberatan terkait dengan harga obat yang akan diterima pasien, maka petugas penerimaan resep dapat memberikan pilihan yaitu menebus sebagian obat atau ditawarkan penggantian obat yang memiliki khasiat yang sama namun dengan harga yang lebih terjangkau. Proses pembayaran terhadap obat-obatan yang diterima pasien dilakukan pada loket 2 yaitu bagian kasir. Setelah dilakukan pembayaran maka resep pasien akan masuk bagian penyiapan obat. Sebelum obat disiapkan, maka resep akan diterima bagian administrasi untuk dilakukan entry resep serta pembuatan etiket. Etiket yang digunakan di depo farmasi rawat jalan terdiri dari 3 jenis yaitu etiket berwarna putih, etiket berwarna biru, dan etiket sticker. Etiket berwarna putih digunakan untuk obat-obat



87



yang digunakan secara oral dan melewati saluran gastrointestinal. Etiket



berwarna



biru



digunakan



untuk



obat-obatan



yang



administrasinya tidak melewati saluran gastrointestinal. Sedangkan etiket dalam bentuk sticker merupakan etiket yang digunakan untuk obat-obatan yang melewati saluran gastrointestinal. Namun resep ini pembuatannya sudah secara otomatis dan telah memuat informasi tentang pasien dan obat yang diterima pasien. Pembuatan etiket dalam bentuk sticker ini bertujuan untuk mempermudah dalam penyiapan obat sehingga dapat menurunkan waktu tunggu pasien. Selain kegiatan-kegiatan ini, bagian skrining juga berperan dalam pembuatan copy resep apabila terdapat resep yang hanya ditebus sebagian atau tidak adanya salah satu jenis obat yang diminta dalam resep. Output dari bagian administrasi berupa berkas-berkas yang terdiri dari resep, slip pendaftaran, etiket, dan slip lain yang terkait dengan kondisi pasien. Setelah resep dilakukan entry dan dibuatkan etiket, maka selanjutnya dilakukan penyiapan obat. Pada kegiatan penyiapan obat terdapat banyak petugas yang memiliki bagian masing-masing. Petugas bagian penyiapan obat ini terdiri dari petugas yang bertugas dalam pengambilan obat-obatan, petugas pengemasan obat, petugas peracikan sediaan padat (puyer dan kapsul), dan petugas peracikan sediaan topikal. Selanjutnya sebelum obat diserahkan ke bagian penyerahan obat, maka dilakukan pemeriksaan kelengkapan obat secara keseluruhan oleh petugas mulai dari nama pasien, nama obat, dosis bentuk sediaan, dan etiket. Apabila obat-obatan dinilai telah sesuai, maka obat-obatan dapat langsung diserahkan ke bagian penyerahan obat yaitu pada loket 1. Proses penyerahan obat kepada pasien dimulai dengan memanggil No. urut pasien. Selanjutnya petugas bagian penyerahan obat harus memastikan ketepatan pasien dengan cara mengecek kesesuaian No. urut pasien, nama pasien, dan alamat pasien dengan



88



yang tertulis dalam resep pasien. Saat petugas menyerahkan obat kepada pasien harus disertai dengan pemberian informasi obat yang meliputi nama obat, kegunaan obat, efek samping dan aturan pakai. Apabila terdapat pasien kriteria tertentu yang membutuhkan konseling, maka dapat dilakukan konseling kepada pasien oleh Apoteker. Kriteria pasien yang perlu dilakukan konseling dalam hal ini adalah pasien yang mendapatkan obat dengan cara kerja khusus dan merupakan pasien yang pertama kali mendapatkan sediaan tersebut. Selain itu kegiatan konseling juga dapat dilakukan kepada pasien yang dinilai perlu untuk dilakukan konseling. Pada proses penerimaan resep, pemeriksaan akhir dan penyerahan dan pemberian informasi obat dilakukan oleh Apoteker. 2) Alur Pelayanan Resep Pasien BPJS Depo Farmasi Rawat Jalan selain melayani pasien umum juga melayani pasien BPJS. Alur pelayanan pasien BPJS secara umum sama seperti alur pelayanan pada pasien umum. Namun terdapat hal yang membedakan antara keduanya, yaitu terkait dengan pembayaran. Pasien BPJS tidak dikenakan biaya obat karena pembayarannya telah ditanggung asuransi kesehatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Alur pelayanan pasien BPJS dari pasien datang menyerahkan resep ke bagian penerimaan resep depo farmasi rawat jalan hingga pasien menerima obat adalah sebagai berikut pada gambar 12.



Pasien datang mebawa resep



Kegiatan Loket 4: Pemberian No. antrian Pemberian No. resep Pengkajian resep



Penyerahan resep ke loket 4







Resep diterima bagian Administrasi Kegiatan Bagian Administrasi: Entry Resep Pembuatan Etiket Pembuatan Copy Resep



Dispensing



Pemeriksaan akhir Penyerahan obat diloket 1



89



Gambar 12. Alur Pelayanan Rawat Jalan Pasien BPJS RSMS Proses pelayanan pasien BPJS dimulai



ketika pasien



menyerahkan resep atau kartu pendaftaran ke bagian penerimaan resep di depo farmasi rawat jalan loket 4. Ketika resep datang, maka petugas bagian penerimaan resep akan memberikan No. urut kepada pasien, memberikan No. resep, serta juga dapat mengidentifikasi tentang kondisi pasien apakah perlu diberikan pelayanan lebih cepat atau tidak. Selanjutnya petugas bagian penerimaan resep akan melakukan pengkajian



terhadap



resep yang diterima.



Setelah



dilakukan



pengkajian maka selanjutnya resep akan masuk bagian penyiapan obat dan akan diterima oleh bagian administrasi. Bagian administrasi dalam hal ini bertugas dalam melakukan entry resep, membuat etiket baik manual maupun secara komputerisasi, serta membuat copy resep apabila terdapat suatu jenis obat yang tidak tersedia. Berkas-berkas dari bagian administrasi yang telah siap untuk dilakukan penyiapan obat selanjutnya dapat langsung dilakukan penyiapan obat. Dalam hal ini resep dapat dibagi menjadi 2 yang terdiri dari resep racikan dan non racikan. Resep racikan sendiri juga dapat dibedakan menjadi 2 yaitu resep racikan untuk sediaan topikal dan sediaan puyer/kapsul. Untuk



resep



racikan



maka



obat-obatan



yang



perlu



diracik



dikumpulkan dalam 1 plastik dan dibawa ke petugas bagian peracikan. Sedangkan untuk resep non racikan maka obat-obatan cukup disiapkan, dikemas, dan diberikan etiket yang telah disiapkan oleh bagian administrasi sebelumnya. Obat yang telah disiapkan sebelum diserahkan bagian penyerahan obat, maka harus dilakukan pemeriksaan kembali oleh



90



petugas bagian pengecekan akhir. Dalam hal ini pengecekan kembali berfungsi untuk meminimalkan terjadinya kesalahan dalam penyiapan obat serta meminimalkan terjadinya medication error. Setelah obatobatan diteliti kembali dan dinyatakan sesuai, maka selanjutnya obatobatan beserta dengan berkas-berkas terkait diserahkan ke bagian penyerahan obat pada loket 1 untuk dilakukan penyerahan obat dan pemberian informasi terkait dengan pengobatan pasien. Bagian penyerahan obat di loket 1 terdapat petugas yang bertugas dalam menyerahkan obat-obatan sesuai dengan resep pasien. Sebelum dilakukan penyerahan obat kepada pasien, maka pasien dipanggil berdasarkan No. urut antrian. Ketika pasien datang maka juga harus dilakukan pemeriksaan terkait dengan kesesuaian No. urut antrian, nama pasien, dan alamat pasien. Bagian ini selain menyerahkan obat juga memberikan informasi terkait dengan instruksi pengobatan pasien serta informasi lain yang diperlukan. Sama halnya dengan pelayanan pasien umum, apabila terdapat obat-obatan dengan cara kerja khusus seperti seretide discuss, spiriva, inhaler dan lainlainnya maka perlu dilakukan konseling oleh Apoteker. Kegiatan konseling ini dilakukan pada ruangan khusus dan bertujuan untuk meningkatkan pemahaman pasien terkait dengan instruksi dan cara pakai obat yang diterima pasien. Setelah kegiatan konseling berakhir, maka kegiatan konseling harus dilakukan dokumentasi yang disertai dengan tanda tangan pasien. 4. Pengelolaan Obat Di Depo Rawat Jalan RSMS Pengelolaan obat dan alkes di rawat jalan RSMS meliputi perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pelaporan, evaluasi dan pengendalian obat dan alkes. Perencanaan depo farmasi rawat jalan menggunakan metode konsumsi yang dilihat berdasarkan pada pengeluaran harian dan jumlah kebutuhan obat berdasarkan pola peresepan di pelayanan poliklinik.



91



Pengadaan obat di depo farmasi rawat jalan dilakukan sebanyak dua kali dalam seminggu. Depo farmasi rawat jalan melakukan pemesanan secara langsung ke bagian gudang pusat RSMS menggunakan surat pesanan. Barang yang dipesan diterima dan disimpan di gudang buffer di bagian depo farmasi rawat jalan. Penataan obat di gudang buffer yaitu berdasarkan bentuk sediaan, alfabetis, dan dipisahkan antara obat generik dan obat merek dagang. 5. Penyimpanan Obat Penyimpanan obat untuk pelayanan di rawat jalan disimpan di rak-rak berdasarkan bentuk sediaan (tablet, kapsul, suppositoria, cair, tetes mata, salep mata, salep kulit), alfabetis, dipisahkan antara obat generik dengan obat merek dagang, obat yang harus disimpan pada suhu dingin disimpan di kulkas, dan untuk penyimpanan narkotik dan psikotropika menggunakan lemari yang mempunyai kunci ganda. Penyimpanan juga berdasarkan obat fast moving dan slow moving. Hal ini dilakukan agar dapat mempermudah pengambilan obat saat dispensing. Obat-obat high alert dan obat-obat yang penggunaannya berisiko tinggi disimpan di lemari khusus high alert. Penyimpanan obat di pelayanan farmasi rawat jalan secara keseluruhan sudah baik. Namun ada beberapa hal yang masih kurang yaitu penyimpanan obat LASA belum semua diberi stiker LASA dan di beri jarak antar obat. Hal ini terjadi karena kurangnya rak penyimpanan obat. Selain itu saat dispensing penyusunan obat menjadi tidak teratur dan terjadi perubahan susunan obat. Penyusunan sesuai urutan alfabetis yang sudah dilakukan menjadi teracak dikarenakan pelayanan obat di rawat jalan yang sangat cepat. Untuk mengatasi hal ini dibutuhkan kebiasaan untuk menata kembali obat-obatan sesuai dengan aturan setelah pelayanan di depo farmasi rawat jalan selesai dilakukan. 6.



Pembahasan



92



Depo farmasi rawat jalan melakukan pelayanan pengelolaan obat dan alat kesehatan dan pelayanan farmasi klinis. Pengelolaan obat dan alkes di rawat jalan RSMS meliputi perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pelaporan, evaluasi dan pengendalian obat dan alkes. Perencanaan depo farmasi rawat jalan menggunakan metode konsumsi yang dilihat berdasarkan pada pengeluaran harian dan jumlah kebutuhan obat berdasarkan pola peresepan di pelayanan poliklinik. Pengadaan obat di depo farmasi rawat jalan dilakukan setiap hari pada pagi hari sebelum pelayanan berlangsung. Depo farmasi rawat jalan melakukan pemesanan secara langsung ke bagian gudang pusat RSMS menggunakan surat pesanan. Barang yang dipesan diterima dan disimpan di gudang buffer di bagian depo farmasi rawat jalan. Penataan obat di gudang buffer yaitu berdasarkan bentuk sediaan, alfabetis, dan dipisahkan antara obat generik dan obat merek dagang. Penyimpanan obat untuk pelayanan di rawat jalan disimpan di rak-rak berdasarkan bentuk sediaan (tablet, kapsul, suppositoria, cair, tetes mata, salep mata, salep kulit), alfabetis, dipisahkan antara obat generik dengan obat merek dagang, obat yang harus disimpan pada suhu dingin disimpan di kulkas, dan untuk penyimpanan narkotik dan psikotropika menggunakan lemari yang mempunyai kunci ganda. Penyimpanan juga berdasarkan obat fast moving dan slow moving. Hal ini dilakukan agar dapat mempermudah pengambilan obat saat dispensing. Obat-obat high alert dan obat-obat yang penggunaannya berisiko tinggi disimpan di lemari khusus high alert. Penyimpanan obat di pelayanan farmasi rawat jalan secara keseluruhan sudah baik. Namun ada beberapa hal yang masih kurang yaitu penyimpanan obat LASA belum semua diberi stiker LASA dan di beri jarak antar obat. Hal ini terjadi karena kurangnya rak penyimpanan obat. Selain itu saat dispensing



93



penyusunan obat menjadi tidak teratur dan terjadi perubahan susunan obat. Penyusunan sesuai urutan alfabetis yang sudah dilakukan menjadi teracak dikarenakan pelayanan obat di rawat jalan yang sangat cepat. Untuk mengatasi hal ini dibutuhkan kebiasaan untuk menata kembali obat-obatan sesuai dengan aturan setelah pelayanan di depo farmasi rawat jalan selesai dilakukan. Depo farmasi rawat jalan setiap harinya melayani resep kurang lebih 700 resep, dengan SDM berjumlah 12 orang masih kurang melihat banyaknya resep yang dilayani sehingga diperlukan SDM yang lebih banyak agar kinerja lebih optimal. Pendistribusian di depo farmasi rawat jalan dilakukan dengan sistem individual prescribing yaitu menyiapkan obat untuk setiap pasien sesuai dengan yang tertulis pada resep. Pelaporan yang dilakukan oleh depo farmasi rawat jalan yaitu pelaporan narkotik dan psikotropik yang dilaporkan kepada Penanggung Jawab Instalasi Farmasi RSMS yang nantinya digunakan untuk pelaporan sesuai perundang-undangan. Pelaporan lain yang dilakukan adalah melaporkan sisa stok ke gudang pusat. Pelaporan ini dilakukan setiap bulan. Selain pelaporan dilakukan juga evaluasi yang meliputi evaluasi stok dengan menyesuaikan jumlah stok fisik dengan jumlah stok yang ada di kartu stok dan yang ada di SIM, evaluasi obat fast moving, slow moving, dan obat-obat ED. Kegiatan pelayanan farmasi klinik yang dilakukan di pelayanan rawat jalan antara lain pelayanan resep, dispensing, pemberian informasi obat dan konseling. Tahap kegiatan utama dalam proses pelayanan resep di DFRJ RSMS, antara lain: 1) Penerimaan resep Pasien menyerahkan resep kemudian diberi No. urut pengambilan obat, yang dibedakan antara resep racikan dan non racikan.



94



2) Skrining Resep Skrining resep dilakukan untuk mendeteksi dan mencegah terjadinya Medication error



dan Drug Related Problem (DRP)



terhadap pasien yang menerima obat. Skrining resep yang dilakukan meliputi skrining administrasi, farmasetis dan klinis. Skrining administrasi meliputi nama pasien, alamat pasien, usia pasien, ruang perawatan, kelengkapan resep (nama dokter, SIK dokter, paraf dokter, tanggal penulisan resep). Skrining farmasetis meliputi nama obat, bentuk sediaan, dosis, kekuatan obat, frekuensi obat, inkompatibilitas. Skrining klinis meliputi interaksi obat, DRP (Drug Related Problem), toksisitas. Setelah dilakukan skrining resep jika tidak ada masalah maka obat yang diberikan rasional, dilanjutkan dengan penulisan etiket yang meliputi tanggal, nama pasien, aturan pakai, waktu pemberian obat, dan paraf. Jika terdapat permasalahan dalam resep, masalah tersebut dapat diselesaikan oleh Apoteker, bila perlu didiskusikan juga dengan dokter penulis resep. Berikut ini skrining resep yang dilakukan Apoteker dapat dilihat pada gambar 13.



Gambar 13. Skrining Resep atau Telaah Resep



95



Skrining resep yang dilakukan di Depo Farmasi Rawat Jalan meliputi kejelasan tulisan, tepat indikasi, tepat rute pemberian, tepat dosis, tepat aturan pakai, duplikasi obat, kontraindikasi, alergi obat, interaksi obat, kesesuaian dengan formularium, sesuai jumlah obat. 3) Penyiapan obat (Dispensing) Tahap ini merupakan bagian utama dari proses dispensing. Dalam penyiapan obat, staf dibagi menjadi dua bagian penyiapan obat, yaitu obat non-racikan, racikan. Obat racikan terdiri dari bentuk sediaan puyer, kapsul dan salep atau krim. Dispensing untuk obat racikan dibagi menjadi dua yaitu peracikan dan repackaging. Peracikan dilakukan jika obat jadi akan dijadikan puyer, kapsul atau krim/salep. Repackaging dilakukan jika volume obat yang besar dibuat menjadi volume yang lebih kecil. Dispensing obat dilakukan sesuai dengan jenis sediaan dan jumlah obat yang diminta dan memasukkannya ke dalam wadah obat/plastik, untuk obat non racikan. Jika obat yang diminta racikan (puyer, kapsul, sirup, salep campuran dan lain-lain) bahan di ambil sesuai dengan jumlah yang di minta dalam resep. Reseptir akan melakukan pencampuran obat, sehingga obat racikan siap dikemas menggunakan wadah obat atau plastik. Sedangkan untuk obat – obat yang sering di gunakan, depo farmasi sudah mempersiapkan sebelumnya untuk mempercepat proses pelayanan. Setelah dispensing selesai,



dilakukan



pemeriksaan



kesesuaian



obat



didispensing dengan permintaan dalam resep berupa: a). Identitas pasien dan asal resep (poliklinik) b). Nama Obat, Jenis Sediaan dan jumlahnya c). Aturan pakai obat dalam etiket. 4) Pemeriksaan obat (final checking) Sebelum obat diserahkan kepada pasien,



yang



telah



dilakukan



pemeriksaan kelengkapan obat secara keseluruhan, dimulai dari nama pasien, nama obat, dosis, jumlah dan bentuk sediaan, dan etiket. 5) Penyerahan obat



96



Apoteker menyerahkan obat kepada pasien disertai dengan pemberian informasi obat yang meliputi nama obat, kegunaan obat, efek samping dan aturan pakai. Jika diperlukan lakukan konseling untuk obat-obat tertentu misalnya sediaan inhaler, tetes mata, tetes telinga, salep mata, suppositoria dan lain lain. Informasi tertentu diberikan untuk pasien yang baru pertama kali menggunakan sediaan tersebut. Kegiatan farmasi klinis lain yang dilakukan yaitu kegiatan konseling. Kegiatan konseling merupakan suatu aktivitas dalam memberikan nasehat atau saran oleh Apoteker terkait dengan terapi obat kepada pasien dan/atau keluarganya. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit disebutkan bahwa kegiatan konseling baik di rawat jalan atau di rawat inap dilakukan atas dasar inisiatif Apoteker, rujukan dokter, maupun keinginan pasien atau keluarganya. Konseling bertujuan untuk meningkatkan pemahaman pasien terkait dengan instruksi pengobatan yang diberikan



sehingga dapat



meningkatkan komitmen pasien dalam pengobatannya. Selain itu juga dapat bermanfaat untuk mencegah terjadinya pengobatan yang tidak rasional oleh pasien. Implementasi kegiatan konseling di depo farmasi rawat jalan RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dilaksanakan dengan baik. Pelaksanaan kegiatan konseling di depo farmasi rawat jalan dilakukan oleh Apoteker yang kompeten. Ditinjau dari segi sarana dan prasarana, depo farmasi rawat jalan menyediakan ruangan konseling yang nyaman bagi pasien dimana ruangan tersebut merupakan ruangan yang tertutup, nyaman, serta cukup luas. Selain itu di ruang konseling juga terdapat beberapa alat peraga yang dapat digunakan Apoteker untuk memberikan instruksi atau contoh dalam menggunakan suatu obat yang memiliki cara penggunaan khusus. Dengan hal-hal tersebut



97



diharapkan dapat membantu pasien dalam mendapatkan terapi yang optimal serta meningkatkan keamanan penggunaan obat bagi pasien. Berdasarkan Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit disebutkan bahwa terdapat suatu kriteria pasien yang perlu dilakukan konseling. Kriteria pasien tersebut terdiri dari pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan ginjal, hamil dan menyusui), pasien dengan terapi jangka panjang, pasien yang mendapatkan obat dengan cara kerja khusus, pasien yang mendapatkan obat dengan indeks terapi yang sempit, pasien dengan polifarmasi, dan pasien yang memiliki tingkat kepatuhan yang rendah. Dalam hal ini depo farmasi rawat jalan RSMS pelaksanaan kegiatan konseling tidak dilakukan terhadap keseluruhan kriteria pasien tersebut. Hal ini disebabkan karena tingginya tingkat kegiatan di depo farmasi rawat jalan serta kurangnya waktu



dalam



melaksanakan



konseling.



Pelaksanaan



kegiatan



konseling di depo farmasi rawat jalan hanya dilakukan kepada pasien yang pertama kali mendapatkan obat dengan instruksi penggunaan khusus dan atas permintaaan pasien sendiri, contohnya adalah pasien yang pertama kali mendapatkan obat seretide discuss, spiriva, maupun inhaler. Kegiatan konseling dimulai dengan cara membuka komunikasi antara Apoteker dan pasien. Selanjutnya dilakukan identifikasi pemahaman pasien terkait dengan obat yang diterimanya yaitu dengan teknik three prime questions serta menggali informasi pasien lebih lanjut apabila diperlukan. Setelah pengetahuan pasien terkait dengan pengobatan tersebut diketahui, kemudian dilakukan pemberian penjelasan kepada pasien terkait dengan instruksi pengobatan. Pada akhir kegiatan konseling dilakukan dokumentasi kegiatan dengan cara mengisi buku kegiatan konseling yang berisi tanggal dilakukan konseling, nama pasien, tanda tangan Apoteker yang memberikan konseling, dan tanda tangan pasien.



98



E. Depo Farmasi Rawat Inap RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Depo Farmasi Rawat Inap RSMS merupakan salah satu sub unit pelayanan farmasi rumah sakit yang melaksanakan pelayanan kefarmasian untuk pasien rawat inap di Rumah Sakit Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. a. Sumber Daya Manusia dan Waktu Pelayanan Sumber Daya Manusia yang ada di Depo Farmasi Apotek Rawat Inap berjumlah 25 orang yg terdiri dari 4 Apoteker Fungsional, 12 Tenaga Teknis Kefarmasian, 8 karyawan sebagai Transporter dan 1 karyawan sebagai Juru Racik. Jam operasional pelayanan pasien dimulai pukul 07.00 WIB – 21.00 WIB yang dibagi menjadi tiga shift dimana dimulai dengan shift satu (pukul 07.00), shift dua (pukul 10.00), dan shift tiga (pukul 14.00). Lingkup kerja Depo Farmasi Apotek Rawat Inap meliputi ruang Kenanga, Teratai, Aster, Mawar, Dahlia, Bougenvile, Edelweis, Cempaka dan Seruni. b. Pelayanan Kefarmasian Rumah Sakit Prof. Dr. Margono Soekarjo (RSMS) telah menerapkan Standar Prosedur Operasional (SPO) dalam hal pelayanan resep rawat inap yaitu dari penerimaan resep hingga penyerahan obat dan konseling pasien. Alur pelayanan resep di Depo Farmasi Rawat Inap RSMS dapat dilihat pada gambar 14, di bawah ini :



99



Gambar 14. Alur Pelayanan Resep di Instalasi Farmasi Rawat Inap RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Selain itu untuk resep obat retur, alur pelayanan resepnya dapat dilihat pada gambar 15, sebagai berikut :



100



Gambar 15. Alur Pelayanan Resep Obat Return di Instalasi Farmasi Rawat Inap RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Pelayanan resep untuk pasien rawat inap yaitu memberikan pelayanan obat dan atau alat kesehatan sesuai resep yang tertulis dalam kartu obat yang diberikan oleh dokter ke Depo Farmasi Rawat Inap dan melayani pengembalian obat dan atau alat kesehatan yang tidak digunakan kembali (return). Depo Farmasi Rawat Inap memberikan pelayanan resep yang berbentuk kartu obat untuk pasien rawat inap umum, BPJS PBI dan BPJS NON PBI. Kartu obat untuk masing-masing pelayanan dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu: 1) Kartu obat warna kuning, untuk pasien Umum. 2) Kartu obat warna putih, untuk pasien BPJS non PBI. 3) Kartu obat warna hijau, untuk pasien BPJS PBI. Alur pelayanan resep pasien rawat inap dan pasien pulang di apotek rawat inap RSMS adalah sebagai berikut : 1) Penyerahan kartu obat Kartu obat diserahkan ke bagian penerimaan resep. Bagian penerimaan resep akan menanyakan apakah resep ditunngu atau tidak. Pasien dengan kartu obat yang memiliki keterangan ditunggu atau “CITO”, maka resep tersebut diutamakan untuk dilayani. Tanda “CITO” yang berwarna merah muda menandakan bahwa obat dan alkes untuk pasien rawat inap sedangkan tanda “CITO” yang berwarna



101



kuning menandakan obat dan alkes untuk pasien pulang. Kartu obat yang tidak ditandai dengan CITO maka petugas akan mencatat nama pasien, tanggal, dan waktu datang resep di buku ekspedisi, kemudian kartu obat diproses. 2) Skrining Resep Skrining resep yang dilakukan meliputi skrining administrasi, skrining farmasetis, dan skrining klinis. Skrining administrasi meliputi nama pasien, alamat pasien, usia pasien, ruang perawatan, kelengkapan resep (nama dokter, SIK dokter, paraf dokter, tanggal penulisan resep). Skrining farmasetis meliputi nama obat, bentuk sediaan, dosis, kekuatan obat, frekuensi obat, inkompatibilitas. Skrining klinis meliputi interaksi obat, DRP (Drug Related Problem), toksisitas. Setelah dilakukan skrining resep jika tidak ada masalah maka obat yang diberikan rasional, dilanjutkan dengan penulisan etiket yang meliputi tanggal, nama pasien, aturan pakai, waktu pemberian obat, dan paraf. 3) Pembuatan Etiket Etiket yang ada di Depo Farmasi Rawat Inap menggunakan sistem etiket elektronik. Etiket elektronik digunakan untuk peresepan OUDD (One-daily Unit Dose Dispensing). 4) Entry Data Entry data dilakukan oleh petugas administrasi yang meliputi nama pasien, alamat pasien, ruang perawatan, jaminan pembayaran, nama obat, jumlah obat dan harga obat. Setelah data di entry resep akan diberi cap validasi farmasi. 5) Dispensing Data yang telah dientry dan dicap validasi pada kartu obat kemudian diserahkan ke bagian dispensing untuk dilakukan penyiapan obat dan alkes yang tertulis dalam resep, untuk obat racikan diserahkan ke bagian peracikan untuk dilakukan pencampuran obat. Proses dispensing dibawah pengawasan Apoteker penanggung jawab. Semua obat yang sudah disediakan kemudian dilakukan checking akhir oleh petugas farmasi. 6) Checking



102



Obat dan alkes yang telah lengkap diserahkan ke bagian checking untuk dilakukan pengecekan ulang. Tujuannya untuk meminimalkan kesalahan pemberian obat dan alkes. Obat dan alkes yang telah dipastikan benar sesuai dengan yang tertera pada kartu obat, kemudian dilanjutkan dengan pengemasan. Jika obat kosong atau sedang dalam proses pencarian maka resep ditunda terlebih dahulu. 7) Penyerahan Obat dan alkes a) Penyerahan langsung kepada pasien atau keluarga pasien Obat dan alkes yang disiapkan berdasarkan kartu obat dengan tanda “CITO” diserahkan langsung kepada keluarga pasien dengan memanggil nama pasien, menanyakan No. antrian, ruangan pasien dan alamat pasien, yang disesuaikan pada kartu obat. Penyerahan obat langsung diserahkan kepada keluarga pasien diikuti dengan pemberian PIO dan konseling. b) Penyerahan obat dan alkes ke bangsal Obat dan alkes yang disiapkan berdasarkan kartu obat yang berasal dari ruang perawatan, didistribusikan ke masing-masing ruang perawatan oleh petugas (transporter). Sistem pelayanan kefarmasian di Depo Farmasi Rawat Inap RSMS menggunakan OUDD (One-daily Unit Dose Dispensing) untuk pasien rawat inap dan individual prescribing (IP) untuk pasien pulang dimana obat yang sudah disiapkan tersebut diberi etiket berupa sticker, serta sistem floor stok berupa emergency kit untuk obat-obat tertentu yang berada di ruang bangsal perawatan yang sudah disiapkan, tersimpan di dalam lemari khusus yang terkunci. c. Pengelolaan Obat dan Alkes Di Depo Farmasi Rawat Inap RSMS Pengelolaan obat dan alkes di depo farmasi rawat inap RSMS meliputi



perencanaan,



pengadaan,



penerimaan,



penyimpanan,



pendistribusian, pelaporan, evaluasi dan pengendalian obat dan alkes. Perencanaan depo farmasi rawat inap menggunakan metode konsumsi yang dilihat berdasarkan pada pengeluaran harian dan jumlah kebutuhan



103



obat berdasarkan pola peresepan. Pengadaan obat di depo farmasi rawat inap dilakukan dengan cara pemesanan secara langsung ke bagian gudang pusat RSMS menggunakan surat pesanan. Barang yang dipesan diterima dan disimpan di gudang buffer di bagian depo farmasi inap. Permintaan sediaan farmasi ke gudang pusat RSMS dilakukan oleh gudang buffer sebanyak 2 kali dalam satu minggu yaitu pada hari senin dan jumat yang akan dikirim pada hari yang sama. Permintaan dilakukan secara sistem komputer maupun manual yang ditulis dalam Surat Permintaan (SP) oleh Petugas berdasarkan stok Gudang Buffer. Penataan obat di gudang buffer yaitu berdasarkan bentuk sediaan, alfabetis, dan dipisahkan antara obat generik dan obat merek dagang. d. Penyimpanan Obat dan Alkes Di Depo Farmasi Rawat Inap RSMS Penyimpanan obat untuk pelayanan di depo farmasi rawat inap di tempatkan pada rak-rak berdasarkan bentuk sediaan (tablet, kapsul, suppositoria, cair, tetes mata, salep mata, salep kulit), alfabetis, diurutkan berdasarkan tanggal kadaluarsa obat tersebut (First Expired First Out) dan dipisah antara obat generik dengan obat merek dagang, obat yang harus disimpan pada suhu dingin disimpan di kulkas, dan untuk penyimpanan narkotik dan psikotropika menggunakan lemari yang mempunyai kunci ganda. Penyimpanan juga berdasarkan obat fast moving dan slow moving. Hal ini dilakukan agar dapat mempermudah pengambilan obat saat dispensing. Untuk obat yang mendekati tanggal kadaluwarsanya (6 bulan sebelum tanggal kadaluwarsa) dipisahkan dan diberi tanda dengan stiker bertuliskan “NEAR ED 1”. Obat-obat high alert dan obat-obat yang penggunaannya berisiko tinggi disimpan di lemari khusus yang diberi tanda “high alert” dengan background merah dengan tulisan berwarna putih, penandaan high alert di tempelkan pada lemari, dus obat, kemasan skunder dan kemasan primer obat. Untuk obat-obat dengan tampilan dan ucapan yang hampir sama diberi tanda “LASA”, Penandaan obat-obat golongan LASA



104



diberikan pada lokasi penyimpanan suatu obat. Selain itu penandaan juga diberikan pada kemasan sekunder suatu obat. Penataan obat-obat LASA di depo farmasi rawat inap RSMS dilakukan dengan memisahkan atau memberikan jarak/ jeda yang cukup kepada 2 jenis obat dengan kategori LASA. Untuk obat Stok emergency merupakan persediaan yang digunakan dalam keadaan darurat yang ditempatkan di setiap ruang perawatan rawat inap dalam emergency trolley. Emergency Trolley berisi obat-obat dan alat kesehatan yang di cek setiap bulannya untuk memastikan stok dan tanggal kadaluarsanya. Pengecekan tanggal kadaluarsa adalah salah satu cara untuk mengendalikan persediaan obat yang ada. Penjagaan stok emergency digunakan pengunci berbahan plastik berwarna merah dengan No. kode untuk pencatatan dan hanya dapat dibuka dengan cara digunting. F. Depo Farmasi Instalasi Maternal Perinatal (IMP) RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Depo farmasi Instalasi Maternal Perinatal (IMP) RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo memberikan pelayanan obat dan alat kesehatan yang dibutuhkan oleh pasien khususnya pasien yang akan melakukan proses persalinan di Ruang VK (Kamar Bersalin). Selain itu juga melayani kebutuhan obat untuk pasien di Ruang Flamboyan (pasien Maternal dan Perinatal) dan Ruang Melati (pasien Perinatal). a. Sumber Daya Manusia Depo Farmasi Instalasi Maternal Perinatal (IMP) di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dikelola oleh tiga orang Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK) dibawah pengawasan Apoteker penanggung jawab. Jam operasional pelayanan pasien dimulai pukul 07.00 WIB – 21.00 WIB yang dibagi ke dalam 3 shift, yaitu dimulai dengan shift satu (pukul 07.00 – 14.00), shift dua (pukul 10.00 – 16.00), dan shift tiga (pukul 14.00 – 21.00). b. Pengelolaan Logistik



105



Sediaan farmasi yang tersedia di Depo Farmasi IMP meliputi obatobatan, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang dikhususkan untuk pasien maternal dan perinatal serta dikelola oleh petugas fungsional yang terdapat di Depo Farmasi IMP. Sistem pengadaan pada Depo Farmasi IMP dilakukan melalui sistem belanja langsung ke Gudang Farmasi yang dilakukan dua kali dalam satu minggu, yaitu pada hari Senin dan Kamis. Koordinator penanggungjawab Depo Farmasi IMP langsung membuat SP (surat permintaan) secara elektronik dan manual ke instalasi gudang farmasi. Kemudian pada hari yang sama transporter gudang langsung mengirimkan barang ke depo farmasi IMP. Sistem distribusi obat dan alkes yang diterapkan di Depo Farmasi IMP yaitu : 1) Sistem OUDD (One-Daily Unit Dose Dispensing) Sistem One-Daily Unit Dose Dispensing (OUDD) yaitu obat dan alkes disiapkan untuk digunakan sesuai kebutuhan pasien untuk 1 kali penggunaan selama 24 jam. Obat lalu didistribusikan ke masing-masing ruang perawatan yaitu ruang bersalin, ruang Flamboyan dan ruang Melati. Penyerahan obat dilakukan oleh oleh perawat ruangan yang bertugas. 2) Sistem Paket Pada sistem ini obat dan alat kesehatan sudah disiapkan sesuai dengan jenis kebutuhan meliputi persalinan normal dan Sectio Caesarea (SC). 3) Stok Emergency Stok emergency merupakan persediaan Floor Stok yang digunakan dalam keadaan darurat yang ditempatkan di ruang bersalin dan ruang perawatan IMP (Flamboyan dan Melati) dalam emergency trolley. Emergency Trolley berisi obat-obat dan alat kesehatan yang di cek setiap bulan untuk memastikan stok dan tanggal kadaluarsanya. Jika stok obat berkurang maka dicari penyebabnya di buku pencatatan penggunaan



106



emergency trolley setelah itu dilengkapi lagi. Pengecekan tanggal kadaluarsa adalah salah satu cara untuk mengendalikan persediaan obat yang ada. Pengecekan dilakukan sekali dalam sebulan. Penjagaan stok emergency digunakan pengunci berbahan plastik berwarna merah dengan No. kode untuk pencatatan dan hanya dapat dibuka dengan cara digunting. Untuk penyusunan obat baik di Depo Farmasi Rawat Inap maupun Depo Farmasi Instalasi Maternal dan Perinatal tidak berbeda jauh. Pertama obat dipisahkan menurut suhu, setelah itu dipisahkan menurut rute pemberiannya lalu jenis obat (generik atau paten) dan terakhir disusun berdasarkan alfabetis dan diurutkan berdasarkan tanggal kadaluarsa obat tersebut (First Expired First Out). Untuk obat yang mendekati tanggal kadaluwarsanya (6 bulan sebelum tanggal kadaluwarsa) dipisahkan dan diberi tanda dengan stiker bertuliskan “NEAR ED 1”. Obat- obat High Alert disimpan ditempat yang terpisah dengan obat reguler yaitu di lemari berbeda atau di lemari yang sama tapi di sekitar tempat penyimpanan obat High Alert ditempelkan stiker “High Alert” pada kemasan terkecil obat tersebut agar tidak keliru dalam mengambil obat dan perawat yang memberikan obat dapat hati-hati ketika memberikan obat tersebut. Obat LASA (look alike sounds like) diberi stiker “LASA” pada tempat menyimpan obat tersebut dan penempatan obat-obat LASA diselingi dengan obat lain agar tidak berdampingan dan untuk menghindari kesalahan ketika pengambilan obat oleh Apoteker maupun TTK. Untuk obat psikotropika disimpan di lemari khusus yang memiliki kunci dan kunci



tersebut



disimpan



oleh



Apoteker



atau



petugas



yang



bertanggungjawab. c. Pelayanan Resep Pelayanan resep di Instalasi Maternal dan Perinatal Rumah Sakit Margono Soekarjo dibedakan menjadi dua jenis yaitu untuk pasien di ruang bersalin dan untuk pasien yang sedang dirawat. Berikut pada gambar 16 adalah skema alur pelayanan resep di ruang bersalin.



107



Bidan mengambil obat/alkes yang diperlukan untuk pasien partus



Dicatat oleh TTK



Pasien post partus Bidan menyerahkan kartu obat dan melengkapi obat/alkes yang dipakai



Checking kembali kartu obat oleh TTK



Entry data yang terdapat pada kartu obat



108



Menyerahkan kartu obat bidan sebelum dipindah ke ruang peraatan



Gambar 16. Alur Pelayanan Resep di Ruang Bersalin Sementara pasien yang sedang dirawat di bangsal, alur pelayanan resepnya adalah sebagai berikut pada gambar 17.



Gambar 17. Alur distribusi obat/ alat kesehatan untuk pasien yang dirawat maternal dan neonatal G. Depo Farmasi Instalasi Gawat Darurat RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Depo Farmasi Instalasi Gawat Darurat (DF IGD) RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo melayani obat dan alat kesehatan yang dibutuhkan di DF



109



IGD. Selain itu juga melayani kebutuhan obat dan alat kesehatan untuk Unit Hemodialisa, pasien rawat Jalan sore (diatas jam 17.00) pada saat depo farmasi rawat jalan tutup, dan pasien rawat Inap di luar jam buka masing-masing tempat tersebut. 1. Struktur Organisasi



Penanggung Jawab Pelayanan Farmasi Rawat Jalan Koordinator Depo Farmasi Gawat Darurat RSMS Apoteker



Tenaga Teknis Kefarmasian



Gambar 18. Struktur Organisasi Depo Farmasi Gawat Darurat 2. Sumber Daya Manusia (SDM) Depo Farmasi Gawat Darurat dikelola oleh 2 Apoteker dan 6 Tenaga Teknik Kefarmasian (TTK), yang masing-masing bertanggung jawab untuk pelaksanaan kegiatan manajemen perbekalan farmasi dan pelayanan farmasi. Penanggung jawab Depo Farmasi IGD di RS Margono adalah seorang Apoteker, dan dikoordinir oleh tenaga teknis kefarmasian. Pelayanan farmasi setiap hari dilakukan dalam 3 shift selama 24 jam sehingga dapat selalu mengantisipasi kebutuhan pasien IGD yang kondisinya dapat berubah-ubah setiap saat. 3. Kegiatan Pelayanan Kefarmasian di Depo Farmasi IGD Tujuan pelayanan resep untuk pasien IGD adalah memberikan obat dan alat kesehatan untuk pasien umum dan BPJS secara tepat pasien, tepat



110



jumlah dan dosis obat, tepat waktu sesuai standar dan memahami aturan pemakaian obat. Sistem distribusi perbekalan farmasi yang diterapkan di depo farmasi IGD antara lain adalah sistem UDD (Unit Dose Dispensing) untuk pasien gawat darurat, IP (Individual Prescribing) untuk pasien pulang, sistem paket yakni paket hemodialisa, craniotomi, laparotomi, sectio caesarea. Penulisan resep untuk pasien di IGD menggunakan kartu obat yang telah disediakan oleh RSMS. Penulisan resep dibedakan melalui kertas warna resep yang dibagi menjadi 3 jenis yaitu untuk pasien rawat inap BPJS PBI menggunakan kertas resep berwarna hijau, sementara pasien rawat inap BPJS Non PBI menggunakan kertas resep berwarna putih, dan untuk pasien rawat inap Non BPJS menggunakan kertas resep warna kuning. Pemberian obat dilakukan selama diobservasi di IGD atau maksimal untuk 1 hari. Kegiatan pelayanan kefarmasian di IGD yaitu pengelolaan obat dan pelayanan farmasi klinis. Perencanaan pengadaan perbekalan farmasi di depo farmasi IGD didasarkan pada pola dan jumlah pemakaiannya di IGD. Untuk obat-obatan dan alkes yang bersifat fast moving maka permintaan untuk barang tersebut juga besar. Barang yang habis atau hampir habis dicatat ke dalam buku defekta. Kemudian petugas melakukan permintaan stok barang tersebut ke gudang pusat RSMS dengan melampirkan surat pemesanan (SP). Permintaan stok barang ke gudang pusat RSMS dilakukan setiap hari rabu dan sabtu, namun jika ada permintaan cito, pengadaan langsung dilakukan pada hari itu juga. Ketika barang datang, maka petugas depo farmasi IGD bersama petugas gudang pusat melakukan pengecekan untuk menyesuaikan antara nama perbekalan farmasi, jenis, bentuk sediaan dan jumlah barang yang diterima dari gudang pusat dengan jumlah yang dipesan oleh depo farmasi IGD. Apabila telah sesuai, penambahan stok barang di depo IGD akan diproses melalui SIM. Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan Apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena obat, untuk



111



tujuan keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin. Beberapa jenis pelayanan farmasi klinik yang dilakukan antara lain: 1) Pengkajian dan pelayanan resep Pengkajian dan pelayanan resep yang dilakukan di Instalasi Gawat Darurat hanya mencakup penerimaan, pemeriksaan ketersediaan, penyiapan dan penyerahan sediaan farmasi yaitu obat, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai tanpa disertai dengan pemberian informasi obat. Hal ini karena kegawat daruratan pasien yang harus terlebih dahulu segera ditangani. Untuk membantu memudahkan pelayanan, resep yang ada di RSMS dibuat dalam format kartu obat yang berisi daftar obat dan alat kesehatan yang digunakan. 2) Rekonsiliasi obat dan alat kesehatan Rekonsiliasi obat merupakan proses membandingkan instruksi pengobatan dengan obat yang telah didapat pasien. Pada umumnya, rekonsiliasi obat bertujuan untuk memastikan informasi yang akurat tentang obat yang digunakan pasien, mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terdokumentasinya instruksi dokter dan mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terbacanya instruksi dokter. Di IGD, rekonsiliasi obat dilakukan dengan membandingkan dan mengecek obat yang telah digunakan oleh pasien sebelum masuk ke IGD. 3) Pelayanan informasi obat Dilakukan pada saat penyerahan obat kepada pasien yang akan pulang. Pemberian informasi obat diutamakan untuk pasien dengan penggunaan obat khusus dan berkelanjutan. Adapun untuk kegiatan monitoring obat yakni menyesuaikan antara obat yang diresepkan oleh dokter dengan rencana pengobatan dalam status pasien belum dapat diterapkan secara maksimal. 4. Alur Pelayanan Kefarmasian



112



Pasien yang datang ke IGD dibedakan menjadi 3, yaitu pasien yang sedang diobservasi, pasien yang dioperasi di OK atau VK IGD, dan pasien yang diperbolehkan pulang dari IGD. Alur pelayanan untuk pasien yang sedang diobservasi yaitu: perawat IGD datang ke DF IGD untuk mengambil obat dan alat kesehatan yang diperlukan untuk penanganan segera pasien dengan menuliskan nama, dosis, dan jumlahnya ke dalam kartu obat pasien. Petugas farmasi DF IGD kemudian mengecek obat atau alat kesehatan apa saja yang akan diambil dan mencatat dalam buku catatan DF IGD. Setelah kondisi kedaruratan teratasi, perawat IGD menyerahkan kartu obat yang telah berisi catatan obat dan alat kesehatan yang diambil sebelumnya beserta instruksi yang ditulis dokter IGD paska kedaruratan teratasi kepada petugas farmasi Depo Farmasi IGD. Pengambilan alat kesehatan oleh perawat dilakukan secara langsung ke Depo Farmasi IGD dan jarang mengambil perbekalan kesehatan berupa obat atau perbekalan lain yang ada di emergency kit. Hal ini dilakukan karena perbekalan kesehatan yang ada di emergency kit tidak rutin dilakukan pengecekan terhadap stok obat yang kosong dan waktu ED. Apabila obat yang terdapat di emergency kit mempunyai ED tahun ini maka diganti dengan obat yang ED nya minimal tahun depan. Hal ini dilakukan untuk mencegah penggunaan obat ED pada pasien gawat darurat. Petugas farmasi Depo Farmasi IGD menerima dan memeriksa kelengkapan kartu obat (nama pasien, alamat pasien, no. registrasi/rekam medik, nama dan paraf dokter penulis resep), serta mencocokkan nama, dosis dan jumlah obat atau alat kesehatan yang digunakan sebagai terapi kedaruratan dengan catatan Depo Farmasi IGD. Kemudian petugas farmasi Depo Farmasi IGD mengambil dan menyerahkan obat atau alat kesehatan sesuai dengan resep yang ditulis dokter IGD paska kedaruratan. Selanjutnya untuk pasien yang akan dipindahkan ke ruang rawat inap, maka petugas farmasi memasukkan data ke SIM. Setelah itu petugas farmasi menyerahkan kartu obat pasien kepada petugas transporter.



113



Berikut ini skema pada Gambar 19 alur pelayanan untuk pasien yang sedang diobservasi di Depo farmasi IGD.



Perawat IGD datang ke DF IGD untuk melakukan permintaan obat dan alkes yang diperlukan



Petugas farmasi DF IGD mencatat permintaan obat dan alkes di kartu obat



Petugas DF IGD mengambilkan perbekalan yang dibutuhkan dan menyerahkannya kepada perawat IGD



Kondisi darurat teratasi



Kartu obat diserahkan kepada petugas DF IGD



Petugas DF IGD memasukkan data di SIM Gambar 19. Alur Pelayanan Pasien Sedang diobservasi Dengan Kondisi Gawat Darurat



Untuk pasien yang akan dioperasi di Operatie Kamer (OK) atau Verlos Kamer (VK) IGD, pelayanan perbekalan farmasi menggunakan sistem paket yaitu craneotomi, laparotomi/hernia dan section caesarea. Perawat IGD mengajukan permintaan paket sesuai dengan jenis operasi.



114



Pengecekkan akhir



Setelah operasi selesai, perawat IGD mengembalikan paket perbekalan farmasi untuk kemudian dilakukan pemeriksaan jumlah perbekalan farmasi yang telah digunakan dan sisanya. Perbekalan yang telah digunakan dimasukkan datanya di SIM. Alur pelayanan untuk pasien yang dioperasi di OK IGD atau VK IGD dapat dilihat pada gambar 20.



Pelayanan perbekalan farmasi di OK dan VK IGD untuk pasien yang akan dioperasi menggunakan system paket (craneotomi, laparotomi, dan sectio)



Perawat IGD mengajukan permintaan paket perbekalan farmasi sesuai dengan jenis operasi



Setelah selesai operasi, petugas IGD mengembalikan paket perbekalan farmasi ke Apotek IGD



Petugas/ Apoteker DF IGD memeriksa jumlah perbekalan farmasi yang telah digunakan dengan mencocokkan sisa dengan daftar yang ada di kotak dan mencatatnya di kartu obat pasien



Perbekalan farmasi yang telah digunakan dimasukkan dalam SIM



Petugas/Apoteker DF IGD melengkapi craneotomi, laparotomi, dan sectio untuk digunakan kembali Gambar 20. Alur pelayanan untuk pasien yang dioperasi di OK IGD RSMS



115



Depo Farmasi IGD juga melayani resep untuk pasien-pasien di unit hemodialisa. Setiap hari, depo farmasi IGD menyalurkan paket hemodialisa yang terdiri atas alat kesehatan (dializer, infus NaCl, spuit, transfusion set, nipro set dan lain-lain. Berikut ini pada gambar 21 merupakan alur pelayanan untuk pasien yang diperbolehkan pulang dari IGD, yaitu :



Pasien datang



Melakukan konfirmasi harga obat



Resep dibawa masuk oleh petugas IGD/pasien



Entry Resep



Petugas/pasien menyerahkan resep ke Apotek IGD



Petugas farmasi IGD melakukan skrining resep



Pasien melakukan pembayaran



Dispensing



Pengecekan akhir



Penyerahan Obat dan PIO kepada pasien



Gambar 21. Alur Pelayanan untuk Pasien yang diperbolehkan Pulang dari IGD 5.



Pengelolaan Perbekalan Farmasi di IGD Perencanaan pengadaan perbekalan farmasi di depo farmasi IGD didasarkan pada pola dan jumlah pemakaiannya di IGD. Untuk obat-obatan dan alkes yang bersifat fast moving maka permintaan untuk barang tersebut juga besar. Barang yang habis atau hampir habis dicatat ke dalam buku defekta. Kemudian petugas melakukan permintaan stok barang tersebut ke gudang pusat RSMS dengan melampirkan surat pemesanan (SP). Permintaan stok barang ke gudang pusat RSMS dilakukan setiap hari rabu



116



dan sabtu, namun jika ada permintaan CITO, pengadaan langsung dilakukan. Ketika barang datang, maka petugas depo farmasi IGD bersama petugas gudang pusat melakukan pengecekan untuk menyesuaikan antara nama perbekalan farmasi, jenis, bentuk sediaan dan jumlah barang yang diterima dari gudang pusat dengan jumlah yang dipesan oleh depo farmasi IGD. Apabila telah sesuai, penambahan stok barang di depo IGD akan diproses melalui sistem komputerisasi yang ada. Penyimpanan perbekalan farmasi di Depo Farmasi IGD telah diatur sesuai dengan persyaratan dan standar kefarmasian. Susunan penyimpanan dibuat berdasarkan pembagian berikut: 1) Bentuk dan jenis perbekalan farmasi a) Obat Penyusunan obat dibedakan lagi berdasarkan bentuk sediaannya, yaitu sediaan tablet, sediaan cair, sediaan topikal, injeksi dan cairan infus. b) Alat kesehatan. Penyusunan alat kesehatan dikelompokkan berdasarkan kegunaannya. 2) Suhu penyimpanan dan stabilitas Obat-obat termolabil yang memerlukan penyimpanan di suhu dingin (280C) disimpan dalam lemari pendingin. 3) Susunan alfabetis Obat disusun sesuai urutan alfabetis nama generik atau nama dagangnya. 4) Sistem FIFO dan FEFO Perbekalan farmasi disusun dengan menempatkan barang yang pertama kali masuk atau barang dengan tanggal kadaluwarsa paling dekat terletak di bagian depan sehingga dapat dengan mudah dikeluarkan lebih dulu. Penyimpanan di depo farmasi IGD juga menerapkan pengaturan khusus untuk obat-obat yang termasuk dalam kelompok obat high alert dan obat LASA sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Sediaan narkotika dan psikotropika disimpan di dalam lemari khusus yang terletak di bagian belakang depo, terpisah dari lemari penyimpanan obar lain, lemari tersebut selalu terkunci.



117



H. Depo Farmasi Rawat Intensif RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto 1. Depo Farmasi ICU, HCU dan ICCU Depo Farmasi Intensive Care merupakan bagian dari sub instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) Rumah Sakit Margono Soekarjo (RSMS) yang bertugas memberikan pelayanan kefarmasian kepada pasien rawat inap yang membutuhkan pelayanan yang intensif. Depo farmasi Intensive Care RSMS memiliki 3 Depo Farmasi yang terdiri terdiri dari Depo Farmasi Intensive Care Unit (ICU), Depo Farmasi High Care Unit (HCU), Depo Farmasi Intensive Coronary Care Unit (ICCU). Depo farmasi Intensive Care Unit (ICU) bertugas menangani pasien gawat karena penyakit, trauma atau komplikasi penyakit lain dan pasien dengan kondisi tidak stabil paska operasi. ICU berfokus pada pasien yang membutuhkan perawatan intensif yang memerlukan support terhadap instabilitas hemodinamik, airway atau respiratory compromise dan atau gagal ginjal, kadang ketiga-tiganya. Perawatan intensif biasanya hanya disediakan untuk pasien-pasien dengan kondisi yang potensial reversible atau mereka yang memiliki peluang baik untuk bertahan hidup. Depo farmasi High Care Unit (HCU) yang memberikan pelayanan di rumah sakit bagi pasien dengan kondisi respirasi, hemodinamik dan kesadaran yang stabil yang masih memerlukan pengobatan, perawatan, dan observasi secara ketat dengan tingkat pelayanan yang berada di antara ICU dan ruang rawat inap. Sedangkan Depo farmasi Intensive Coronary Care Unit (ICCU) memberikan pelayanan atau menangani pasien dengan penyakit jantung dan pembuluh darah. Depo farmasi ICU, HCU, ICCU dan Kemoterapi merupakan bagian dari Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto (RSMS) yang bertugas memberikan pelayanan kefarmasian kepada pasien rawat inap yang membutuhkan pelayanan ketat atau intensif.



Struktur di pelayanan intensif terdiri dari 1 Apoteker



penanggung jawab untuk 3 Depo farmasi serta depo kemoterapi dan masing-masing depo farmasi memiliki 1 orang Apoteker koordinator. Pada



118



depo HCU terdapat 1 TTK, sedangkan untuk Depo kemoterapi terdapat 3 TTK. Jumlah tempat tidur pasien yang tersedia di ICU 11 tempat tidur, HCU 18 tempat tidur, dan ICCU 5 tempat tidur. Waktu pelayanan farmasi di Intensive Care dan Kemoterapi dimulai pagi pukul 07.00-14.00 wib dengan 6 hari kerja (senin-sabtu). Berikut pada gambar 22 dapat dilihat struktur organisasi dan sumber daya di depo Farmasi Intensive Care dan Kemoterapi. a. Sumber Daya Manusia Kepala Instalasi



PJ Farmasi Intensive Care & Kemoterapi (1 Apoteker) Depo Farmasi Depo Depo Depo ICCU Farmasi Farmasi Farmasi ICU (1 Apoteker) Gambar 22. Struktur Organisasi dan Sumber DayaHCU Manusia di Depo Kemoterapi (1 Apoteker) Farmasi Intensive Care dan Kemoterapi (1 Apoteker) (1 Apoteker dan 4 TTK) b. Alur Pelayanan Resep Adapun alur pelayanan resep di depo ICU/ICCU/HCU meliputi : 1) Dokter menuliskan instruksi terapi ke Catatan Medik (CM) pasien. 2) Apoteker melakukan skrining kartu obat dengan cara melihat kesesuaian, identitas pasien, kesesuaian obat, pelarut dan jumlah obat yang diberikan, profil klinik serta jaminan pelayanan medik, 3) Skrining kesesuaian status pasien dengan obat yang akan diberikan, jika obat tidak masuk dalam jaminan kesehatan dikonsultasikan dengan dokter, keluarga pasien, dan tim pengendali farmasi. 4) Skrining DRP, jika terdapat DRP, maka Apoteker mengkonsultasikan dengan dokter yang merawat.



119



5) Menyelesaikan problem yang ada di kartu obat dengan merujuk ke literatur atau pedoman tata laksana serta dapat mengkonsultasikan dengan Apoteker senior dan dokter yang merawat. 6) Menentukan jumlah obat atau alat kesehatan yang akan diberikan ke pasien. 7) Menyalin rencana terapi dari status pasien atau lembar pemantauan pasien ke kartu obat pasien. 8) Menyalin bon obat dan alkes ke kartu obat. Bon dapat disiapkan perawat ketika ada terapi baru ataupun terapi tambahan pada pasien lama diluar shift jaga Apoteker yang dicatat dalam buku bon. 9) Menyiapkan obat sesuai dengan kartu obat pasien. 10) Mengisi obat sesuai dengan jenis sediaan ke dalam loker obat pasien, yang pengemasannya secara OUDD (One-Daily Unit Dose Dispensing) dimana penyiapan obat untuk 1 hari kemudian dikemas untuk 1 kali pemakain yang terbagi menjadi 3 dengan warna etiket yang berbeda yaitu pagi (etiket kuning), sore (etiket pink) dan malam (etiket hijau) serta untuk infus diberi etiket warna biru. 11) Mengecekan kembali obat yang diberikan sesuai dengan lembar terapi atau status pasien. 12) Entry data berdasarkan kartu obat pasien serta melakukan validasi yang meliputi : a). Menulis jumlah obat setiap resep yang muncul dalam display pada kartu obat b). Pemberian stempel pada tiap resep 13) Apabila terdapat obat yang tidak sesuai dengan terapi obat pasien pada saat itu, maka obat akan segera direturn oleh Apoteker. 14) Mencatat kejadian Medication Error, jika Apoteker menemukan adanya DRP aktual maka dapat mengkonsultasikan ke Apoteker senior atau dokter penanggungjawab. 15) Memberikan informasi yang tepat dan secukupnya kepada perawat atau dokter. 16) Membuat laporan harian tentang terapi pasien



120



Pelayanan narkotika dan psikotropika meliputi : 1) Pada shift jaga Apoteker, obat narkotik disiapkan oleh Apoteker dengan menyertakan resep narkotik yang akan ditandatangani oleh dokter yang memberikan terapi, melakukan dispensing atau penyiapan obat, kemudian diserahkan ke perawat atau disimpan di loker obat pasien. 2) Diluar shift jaga Apoteker, yang bertanggungjawab untuk menyiapkan obat narkotika adalah perawat yang diberi wewenang dan harus menyertakan resep narkotika yang akan ditandatangani oleh dokter yang memberikan terapi. Obat tersebut ditulis dalam buku bon. 3) Melakukan dispensing atau penyiapan obat. 4) Diserahkan ke perawat atau disimpan di loker obat pasien. 5) Melakukan entery resep ke komputer. Pada umumnya pasien ICU berasal dari IGD (Instasi Gawat Darurat), IBS (Instasi Bedah Sentral) dan bangsal rawat inap dengan kasus-kasus antara lain post operasi sectio caesarea, laparotomi (operasi bagian abdomen), operasi batu ginjal, dan operasi craniotomi dan lainlain yang masih membutuhkan monitoring hemodinamik dan airways. Pasien yang dirawat di bagian ICCU berasal dari IGD, bangsal rawat jalan dan rawat inap. Pasien tersebut memerlukan penanganan khusus jantung dan pembuluh darah, baik pasien rawat inap maupun bagi pasien yang hanya memerlukan observasi jantung dan dikembalikan ke bangsal. Pasien yang mendapatkan pelayanan HCU dapat berasal dari ICU, ICCU, IGD, kamar operasi, bangsal (ruang rawat inap). Pemindahan pasien ini berdasarkan instruksi dokter. Pasien yang masuk ke ICU, HCU dan ICCU dimulai pada pagi hari (07.00-14.00 WIB), setelah mendapatkan instruksi dokter pada resep yang tertera pada form rekam medik, Apoteker melakukan skrining atau telaah resep, menyalin instruksi ke kartu obat, setelah itu proses dispensing obat, pendistribusian ke rak obat pasien, memasukkan data dan harga obat pada SIM RSMS dan selanjutnya melakukan monitoring. Sedangkan apabila pasien baru yang masuk siang hari atau pasien lama



121



yang mendapat terapi tambahan di luar jam kerja Apoteker/TTK, pemberian obat dilakukan oleh perawat dengan menggunakan sistem floor stock dimana dilakukan dengan mencatat pada buku bon yang disertai tanda tangan perawat yang bersangkutan dan esok hari Apoteker menyalin ke kartu obat pasien. Alur pelayanan obat dan alkes di depo farmasi ICU RSMS sudah sesuai standar pelayanan kefarmasian berdasarkan PMK No 72 tahun 2016, dimana kegiatan farmasi klinik dimulai dari dokter visite memberikan rekomendasi untuk pengobatan, kemudian Apoteker sekaligus melakukan skrining resep, apabila ditemukan masalah terkait obat langsung dikonsultasikan kepada dokter penulis resep atau dokter penanggung jawab pasien (DPJP). Selain itu Apoteker dapat memberikan rekomendasi terapi jika ada. Kemudian Apoteker menyiapkan obat dan mendistribusikan obat dengan system OUDD (One-Daily Unit Dose Dispensing) dan floor stock. Floor Stock dilakukan ketika Apoteker telah selesai melakukan pelayanan kefarmasian di Apotek dan pada obat emergency kit. Kekurangan dalam pelayanan di depo farmasi ICU adalah Apoteker tidak berada 24 jam di ICU, dan apabila ada pasien datang di luar jam kerja maupun pada hari libur, Apoteker tidak dapat langsung melakukan skrining farmasetis dan klinis terhadap instruksi (resep). Sehingga jika terdapat masalah terkait resep maupun DRP tidak dapat segera ditangani. Ketidaksesuaian lain juga terdapat pada proses dispensing obat yang dilakukan oleh perawat pada saat Apoteker tidak pada jam kerja, dimana perawat tidak langsung menuliskan pengeluaran obat di buku BON, namun direkap di akhir shift perawat sehingga rawan lupa yang dapat menyebabkan ketidaksesuaian stock obat. Pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai (BMHP) dilakukan 2 kali dalam seminggu yaitu setiap hari kamis dan sabtu dengan mengajukan surat (2 rangkap) berisi kebutuhan sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP diserahkan ke gudang farmasi. Apoteker pada depo berperan dalam



122



pelayanan farmasi klinik



diantaranya yaitu ketika dokter visite maka dilakukan skrining resep, pembuatan etiket, dispensing, distribusi kemudian pencatatan di komputer, selain itu melakukan rekonsiliasi obat, pemantauan terapi obat (SOAP) dan konseling. Apoteker juga melakukan manajemen farmasi di Depo Farmasi ICCU. Alur pelayanan obat dan alat kesehatan yang ada di depo Farmasi High Care Unit sudah sesuai standar pelayanan kefarmasian PMK No 72 tahun 2016, dimana kegiatan farmasi klinik dimulai dengan melakukan pengkajian dan memberikan pelayanan obat dan alat kesehatan sesuai instruksi terapi yang ditulis oleh dokter hingga dilakukannya penelusuran riwayat penggunaan obat harian, rekonsiliasi obat dan visite bersama dokter. Sistem distribusi depo farmasi HCU yaitu OUDD (One-Daily Unit Dose Dispensing) dan floor stock, dimulai dari skrining resep, pemberian etiket, dispensing, distibusi ke pasien kemudian entry data ke komputer. Sistem Floor Stock di Unit HCU dilakukan ketika Apoteker telah selesai melakukan pelayanan kefarmasian di Apotek dan untuk obat emergency kit. Penyimpanan obat di HCU berdasarkan FEFO-FIFO dan Alfabetis. Kekurangan dalam pelayanan di depo HCU RSMS yaitu Apoteker tidak berada 24 jam di HCU, sehingga ketika ada pasien baru datang di luar jam kerja maupun pada hari libur, Apoteker tidak dapat melakukan skrining administratif, farmasetis dan klinis terhadap instruksi (resep) dari dokter secara langsung. Hal tersebut dapat menimbulkan permasalahan dari resep (DRP). Masalah lain terdapat pada proses pengambilan obat dari rak yang dilakukan oleh perawat, tidak langsung dituliskan pengeluaran obat pada kartu stok tetapi dituliskan di buku BON oleh tenaga kesehatan lain sehingga dapat menyebabkan ketidaksesuaian stok obat di computer dengan di rak obat. Penyimpanan obat-obat golongan narkotika dan psikotropika disimpan dalam lemari biasa dan laci meja yang terkunci, tidak disimpan dalam lemari yang terdiri dari dua pintu dan kunci ganda serta lemari penyimpanan tidak



123



menempel langsung pada dinding sehingga penyimpanan obat golongan psikotropika dan narkotika tidak sesuai dengan dengan peraturan yang berlaku. Penyimpanan obat narkotika harus disimpan dalam lemari khusus narkotika dengan pintu terkunci ganda. Selain itu, penyimpanan obat-obatan lainnya juga belum sepenuhnya memenuhi persyaratan, karena masih terdapat obat yang disimpan dalam rak yang tertumpuk. Hal tersebut terjadi karena adanya keterbatasan tempat dalam penyimpanan, fasilitas, alat dan tenaga farmasi pada masing-masing depo farmasi yang melakukan pencampuran sediaan parenteral. Adapun alur pelayanan sub instalasi farmasi High Care Unit (HCU), Intensive Care Unit (ICU), Intensive Coronary Care Unit (ICCU) dapat dilihat pada gambar 23, serta alur pelayanan untuk obat narkotika di Depo ICU, ICCU dan HCU pada gambar 24.



124



Gambar 23. Alur Pelayanan Resep di Depo Farmasi ICU/HCU/ICCU



125



Instruksi dokter dilembar terapi dan pemantauan pasien



Diluar Shift Apoteker



Ka. Satgas PERAWAT



APOTEKER



Dicatat dalam buku bon



Farmasi menyalin ke lembar resep



Di tandatangani oleh dokter



Dispensing/penyiapan obat



Diserahkan ke perawat atau disimpan di loker



Entry resep ke komputer Gambar 24. Alur Pelayanan Obat Narkotika di Depo Farmasi ICU/HCU/ICCU c. Sistem Pengadaan di Depo Farmasi Ruang Rawat Intensive Care Sistem pengadaan di depo farmasi ICU/ICCU/HCU dilakukan melalui sistem permintaan langsung ke gudang farmasi yang dilakukan 2 kali dalam satu minggu, yaitu pada hari kamis dan sabtu untuk ICU, HCU, dan ICCU. Apoteker/TTK masing-masing depo dapat langsung membuat SP (surat permintaan) ke gudang farmasi sehingga obat langsung dikirim dari gudang farmasi ke depo farmasi. Berikut dapat dilihat alur pengadaan di depo farmasi Intensive Care pada gambar 25.



126



Depo Farmasi ICU/HCU/ICCU



Apoteker membuat perencanaan dua kali dalam seminggu (Kamis dan Sabtu) dengan metode konsumsi periode sebelumnya



SP (Surat Permintaan) dikirim ke Gudang Farmasi



Gudang Farmasi melakukan pengiriman obat dan Alkes < 24 jam



Barang datang ke Depo Farmasi ICU/HCU/ICCU ICU/HCU/ICCU Dilakukan pengecekan kesesuaian jenis dan jumlah serta tanggal kadaluwarsa barang yang datang disaksikan petugas gudang



Penyerahan barang, Apoteker menandatangani dokumen



Gambar 25. Alur Pengadaan serah Barang di Depo terima barang Farmasi Intensive Care d. Penyimpanan di Depo Farmasi ICU/HCU/ICCU Dilakukan penyimpanan obat dan alkes sesuai bentuk sediaan, alfabetis dan suhu penyimpanan, High Alert penyimpanan dan B3 disimpan dalam dan diberi penanda Secara obatumum, obatlemariditerpisah depo farmasi khusus



ICU/HCU/ICCU dibedakan berdasarkan obat/alkes, bentuk sediaan, suhu penyimpanan dan tempat khusus. Obat- obat yang High Alert disimpan ditempat yang terpisah dengan obat yang biasa yang diberi stiker atau label High Alert (HA). Begitu juga dengan obat LASA diberi stiker “LASA” dan diberi jarak 1 item obat untuk obat LASA. Penyimpanan obat yang ada di ICU/ICCU/HCU ini adalah dengan menggunakan sistem FEFO (First Expired First Out) dan FIFO (Fist In First Out). Jika obat yang akan hampir ED diberi tanda atau label “Near ED”. Obat-obat yang tidak tersedia di Depo Farmasi ICU/ICCU/HCU, maka petugas akan meminta obat tersebut di Depo Farmasi yang lain seperti Depo



127



Farmasi IGD. Di Depo Farmasi ICU/ICCU/HCU terdapat obat narkotika psikotropika. Penyimpanan terpisah dengan obat yang lain yaitu di dalam laci meja dan terkunci rapat, namun tidak disimpan pada lemari khusus. Apabila di luar shift Apoteker, maka kunci dipegang oleh perawat yang diberi kepercayaan sesuai dengan surat keputusan (SK) direktur. Didalam ruangan juga terdapat termometer untuk mengontrol suhu di ruangan. Apoteker mencatat suhu ruangan maupun suhu kulkas sebanyak 2 kali yaitu pada saat pagi hari dan siang hari. 2. Depo Farmasi Kemoterapi Depo Farmasi Kemoterapi merupakan salah bagian dari unit pelayanan di rumah sakit yang bertanggung jawab memberikan pelayanan terhadap obat-obatan sitostatika dari mulai melakukan pengecekan kesesuaian protokol dan dosis obat, bentuk sediaan dan cara pemberian, pencampuran/pengoplosan hingga distribusi ke pasien (Anonim, 2014). a. Alur Pelayanan Resep Depo farmasi kemoterapi merupakan salah satu bagian dari unit pelayanan di Rumah sakit yang bertanggungjawab memberikan pelayanan



obat-obatan



sitostatika



untuk pasien yang menjalani



kemoterapi. Lokasi depo farmasi kemoterapi berada di area barat RSMS di dekat Bangsal Bougenville. Tenaga kefarmasian di depo farmasi kemoterapi sebanyak 6 orang yaitu terdiri dari 4 orang Tenaga Teknis Kefarmasian dengan 1 orang sebagai Koordinator dan 1 orang Apoteker penaggungjawab pelayanan farmasi rawat inap. b. Kegiatan Pelayanan Kefarmasian di Depo Farmasi Kemoterapi Kegiatan yang dilakukan di depo farmasi kemoterapi meliputi dispensing dan penanganan obat kanker secara aseptis yang terdiri dari: 1) Melarutkan sediaan obat kanker dengan pelarut yang sesuai 2) Mencampur sediaan obat kanker sesuai dengan protokol pengobatan 3) Membuang limbah sesuai prosedur yang berlaku Lingkungan kerja yang digunakan untuk mencampur obat sitostatika harus memenuhi persyaratan ruang yang telah ditentukan agar



128



menjaga orang-orang yang berada disekitar tempat pencampuran. Area kerja juga menjadi hal yang penting dalam proses pencampuran karena akan melindungi baik obat kanker yang sedang dan telah direkonstitusi juga melindungi pekerja yang kontak langsung. Area pencampuran obat sitostatika di RSMS dilakukan di dalam Biological Safety Cabinet (BSC) dengan aliran udara vertikal, sehingga melindungi pekerja dari paparan sitostatika dan melindungi obat sitostatika dari kontaminasi. BSC ini dibersihkan menggunakan alkohol, setelah itu area kerja di dalam BSC diberikan alas dengan underpad agar memudahkan dalam pembersihan. APD yang sesuai standar wajib dikenakan saat melakukan pencampuran obat sitostatika adalah: 1) Baju Pelindung Baju Pelindung ini sebaiknya terbuat dari bahan yang impermeable (tidak tembus cairan), tidak melepaskan serat kain, dengan lengan panjang, bermanset dan tertutup di bagian depan. 2) Sarung tangan Sarung tangan yang dipilih harus memiliki permeabilitas yang minimal sehingga dapat memaksimalkan perlindungan bagi petugas dan cukup panjang untuk menutup pergelangan tangan. Sarung tangan terbuat dari latex dan tidak mengandung bedak (powder free). Khusus untuk penanganan sediaan sitostatika harus menggunakan dua lapis. 3) Kacamata pelindung 4) Masker disposable 5) Sarung tangan steril dua lapis Sarung tangan yang dipilih harus memiliki permeabilitas yang minimal sehingga dapat memaksimalkan perlindungan bagi petugas dan cukup panjang untuk menutup pergelangan tangan. Sarung tangan terbuat dari latex dan tidak mengandung bedak (powder free). Khusus untuk penanganan sediaan sitostatika harus menggunakan dua lapis. 6) Kacamata pelindung Digunakan pada saat penanganan sediaan sitostatika, tujuannya untuk melindungi mata dari paparan. 7) Shoe Cover



129



Pelindung sepatu digunakan agar meminimilisasi kontaminan. Berikut dapat dilihat alat pelindung diri dalam merekonstitusi obat sitostatika pada gambar 26.



Gambar 26. Alat Pelindung Diri Dalam Rekonstitusi Obat Sitostatika c. Alur Pelayanan Alur pelayanan obat di depo kemoterapi dimulai dari petugas menerima kartu obat pasien disertai dengan protokol kemoterapi dari dokter dan data laboratorium patologi anatomi. Sistem distribusi depo kemoterapi yaitu OUDD dan IP dimulai dari skrining resep, pemberian etiket, dispensing, distibusi ke pasien kemudian entry data ke komputer. Penyimpanan obat pada depo Kemoterapi berdasarkan FEFO-FIFO dan Alfabetis. Kekurangan dalam pelayanan di depo Kemoterapi RSMS yaitu ruangan yang sempit baik itu bagian penyimpanan obat serta ruang rekonstitusi dan Apoteker tidak berada 24 jam di depo farmasi kemoterapi, sehingga ketika saat ada pasien baru datang maupun memiliki jadwal siklus kemoterapi di luar jam kerja maupun pada hari libur, Apoteker tidak dapat melayani obat sitostatika pada pasien, dan



130



pasien harus mengganti jadwal untuk siklus kemoterapinya. Karena kurangnya sumber daya manusia (SDM) maka pelayanan resep dan rekonstitusi obat harus optimal agar tidak terjadi permasalahan (DRP) maupun pelayanan resep yang tidak optimal kepada pasien. Adapun alur pelayanan untuk pasien di kemoterapi dapat dilihat pada gambar 27, serta Alur Pelayanan Resep Rawat Inap Depo Farmasi Kemoterapi pada gambar 28. Secara lengkap alur pelayanan di apotek kemoterapi ialah sebagai berikut: 1) Dokter menulis protokol terapi pasien. 2) Obat yang ada di protokol terapi disalin oleh perawat di kartu obat pasien dan diserahkan ke bagian apotek kemoterapi 3) Apoteker melakukan skrining yaitu identitas pasien, kesesuaian dosis, pelarut, bentuk sediaan dan stabilitas. 4) Jika tidak jelas, Apoteker atau Tenaga Teknis kefarmasian (TTK) melakukan konfirmasi ke dokter. 5) Apoteker menulis etiket yang terdiri dari nama pasien, obat dan dosis 6) Kemudian resep di entry ke SIM. 7) Apoteker/TTK menyiapkan obat-obatan dibutuhkan serta mencatat di buku dokumentasi harian. 8) Apoteker/TTK memberikan stiker sitotoksik, high alert dan etiket di flabot infus. 9) Apoteker/TTK melakukan rekonstitusi obat sesuai protokol terapi di Biological Safety Cabinet (BSC). 10) Setelah selesai rekonstitusi dilakukan double check. 11) Obat didistribusikan ke ruang tindakan kemoterapi (Bangsal Bougenville) sesuai dengan stabilitas yaitu obat-obat yang stabil pada suhu dingin (2-8ºC) akan dimasukkan kedalam cold box, kemudian diletakkan ke dalam kotak obat yang terdapat di bed pasien.



131



12) Dilakukan serah terima antara antara Apoteker/TTK dengan perawat di bangsal Bougenvile.



Dokter menulis resep



Pasien datang membawa resep ke depo kemoterapi



Poli onkologi dan poli penyakit dalam



Apoteker melakukan skrining resep yang meliputi kelengkapan administrattif, farmasetis, klinis dan rekonsiliasi administratif, farmasetis dan klinis Jika tidak ada DRP Konsultasikan ke Dokter DPJP



Apoteker mengentri data resep dan harga ke SIM RS Apoteker dan TTK menyiapkan obat dan melakukan penyiapan etiket



Rekonstitusi obat-obat kemoterapi di ruang steril Doubel check atau pengecekam akhir Obat didistribusikan ke loker tiap pasien



132



Perawat mengambil obat di loker pasien dan memberikan obat sesuai dengan waktu pemberian ke pasien Pemantauan terapi obat dan konseling



Pasien datang



Dari IGD



Dari Rawat Inap



Perawat meyerahkan kartu obat



Apoteker skrining / telaah resep (Identitas pasien, kesesuaian dosis, pelarut, bentuk sediaan, stabilitas)



Gambar 17. Alur Pelayanan Resep Rawat Jalan Depo Farmasi Kemoterapi Penulisan etiket (identitas pasien, obat dan dosis) Entry resep ke SIM



Apoteker atau TTK menyiapkan obat yang dibutuhkan



Dokumentasi (pencatatan nama pasien, obat dan dosis dibuku) Menempel stiker sitostatika, High Alert dan etiket pada flabot infus



Rekonstitusi obat sesuai dengan protokol terapi di BSC



Double check



Bangsal Bougenville 133 Form serah terima obat antara Apoteker/TTK dengan perawat



Depo Farmasi Kemoterapi



Apoteker membuat perencanaan dua kali dalam seminggu (selasa dan jumat), dengan metode konsumsi periode sebelumnya



SP (Surat Permintaan) dikirim ke Gambar 28. Alur Pelayanan Resep Rawat Inap Depo Farmasi Gudang Farmasi Kemoterapi



d. Pengadaan di Depo Farmasi Kemoterapi Gudang Farmasi melakukan pengiriman



Sistem pengadaan di depo farmasi dilakukan langsung obat dan Alkes < 24Kemoterapi jam ke gudang farmasi 2 kali dalam seminggu, yaitu pada hari selasa dan jumat. Koordinator membuat surat permintaan Barang datang ke Depo (SP) ke instalasi gudang Farmasi dikirim Kemoterapi farmasi sehingga obat langsung dari gudang farmasi ke depo



farmasi kemoterapi. Berikut kami sajikan gambar 29, merupakan skema alur pengadaanDilakukan di depo pengecekan kemoterapikesesuaian RSMS. jenis dan jumlah serta tanggal kadaluwarsa barang yang datang disaksikan petugas gudang



Penyerahan barang, Apoteker menandatangani dokumen serah terima barang 134 Dilakukan penyimpanan obat dan alkes sesuai bentuk sediaan, alfabetis dan suhu penyimpanan (stabilitas obat).



Gambar 29. Alur Pengadaan di Depo Farmasi Kemoterapi



e. Penyimpanan di Depo Farmasi Kemoterapi Sistem penyimpanan obat yang digunakan berdasarkan alfabetis, First In First Out (FIFO), First Expaired First Out (FEFO) dan stabilitas sediaan. Obat kemoterapi diletakkan terpisah dari obat-obat tablet dan multivitamin lain. f. Distribusi di Depo Farmasi Kemoterapi Sistem distribusi yang dilakukan di depo farmasi kemoterapi adalah OUDD yaitu Apoteker menyiapkan obat sitostatika dalam 1 hari pemakaian yang dimasukkan ke dalam box yang tersedia di masing-



135



masing bed pasien dan sistem IP dimana Apoteker menyerahkan obat premedikasi beserta PIO kepada pasien. g. Pembahasan Alur pelayanan untuk pasien rawat inap Bougenvile yaitu dokter menulis protokol terapi pasien, disalin oleh perawat ke kartu obat pasien, kemudian perawat mengantar kartu obat pasien dan protokol terapi ke apotek kemoterapi. Apoteker melakukan skrining yaitu identitas pasien, legalitas resep, kesesuaian dosis, pelarut, bentuk sediaan dan stabilitas obat. Pengecekan identitas pasien bertujuan untuk melihat kesesuaian protokol terapi dengan nama pasien yang mendapat protokol terapi tersebut. Legalitas resep dapat dilihat dari cap dokter yang terdapat pada resep. Apoteker juga melakukan pengecekan dosis, jika dosis yang dituliskan di protokol terapi tidak sesuai dengan kondisi pasien, maka dilakukan perhitungan kembali oleh Apoteker. Selanjutnya penulisan etiket (yang terdiri dari identitas pasien, obat dan dosis), entry resep ke SIM, Apoteker atau TTK menyiapkan obat yang dibutuhkan. Kemudian pencatatan nama pasien, obat dan dosis di buku dokumentasi, dilakukan penempelan stiker sitostatika, High Alert dan etiket di flabot infus, melakukan rekonstitusi obat sesuai dengan protokol terapi di BSC, selanjutnya dilakukan double check, distribusi obat ke bangsal Bougenvile dan dilakukan serah terima antara Apoteker/TTK kemoterapi dengan perawat di bangsal Bougenvile. Pemilihan pelarut bertujuan untuk ketercampuran obat dengan pelarut yang sesuai dan stabilitas obat setelah dilakukan pencampuran. Namun dilapangan tidak dilakukan pencatatan stabilitas obat setelah dilakukan pencampuran dan lama stabilitas pada suhu tertentu. Hal ini untuk menjamin efek obat yang diberikan kepada pasien. Ruangan untuk pencampuran obat-obat sitostatika harus sesuai dengan syarat yang telah ditentukan dengan tujuan untuk menjamin sterilitas obat, melindungi petugas dan lingkungan sekitar dari paparan obat sitostatika Persyaratan ruangan untuk pencampuran obat sitostatika



136



adalah ruangan terdiri dari ruang persiapan, ruang cuci tangan dan ganti pakaian, ruang antara dan ruang steril. Persyaratan



ruang



pencampuran



obat



sitostatika



yaitu



menggunakan LAF vertikal Biological Safety Cabinet (BSC) kelas II dengan syarat tekanan udara di dalam BSC harus lebih negatif dari pada tekanan udara di ruangan, lantai tidak bersudut dan dinding dilapisi epoksi. Persyaratan ruang steril yaitu ruangan tidak ada sudut atau siku, dinding dilapisi epoksi, suhu 18-220C, kelembaban 35-50%, dilengkapi High Efficiency Particulate Air (HEPA) filter, jumlah partikel berukuran 0,5 micron tidak lebih dari 350.000 partikel, jumlah jasad renik tidak lebih dari 100 per meter kubik udara, tekanan udara di dalam ruang lebih positif dari pada tekanan udara di luar ruangan dan adanya Pass box yaitu tempat masuk dan keluarnya alat kesehatan dan bahan obat sebelum dan sesudah dilakukan pencampuran. Pass box ini terletak di persiapan dan ruang steril. Ruangan sitostatika di RSMS terdiri dari ruang persiapan yang didalamnya terdapat tempat cuci tangan, ruang steril dan pass box. Ruangan sitostatika di RSMS belum memenuhi syarat yang telah ditentukan, seperti tidak adanya ruang antara dan ruang ganti pakaian. Ruang pencampuran/ ruang steril, dinding masih terdapat sudut dan belum dilapisi epoksi dan masih banyak debu. Selain persyaratan ruang aseptik, juga perlu diperhatikan keselamatan petugas yang melakukan rekonstitusi yaitu dengan menggunakan Alat Pelindung Diri (APD). APD yang digunakan oleh petugas pencampuran obat sitostatika ada beberapa yang belum sesuai standar, seperti masker yang digunakan hanya masker biasa yang dirangkap dua atau tiga. Untuk pelindung rambut, petugas tidak selalu menggunakannya. Pemakaian APD di ruangan yang tidak lengkap dikarenakan ketersediaan sarana yang tidak sesuai dengan standar dan juga kepatuhan petugas kesehatan dalam penggunaan APD.



137



Kesimpulan dari depo farmasi kemoterapi yaitu alur pelayanan di Depo Farmasi Kemoterapi sudah sesuai prosedur kerja, ruangan sitostatika belum memenuhi syarat yang ditetapkan serta petugas belum menggunakan Alat Pelindung Diri sesuai dengan prosedur kerja. Oleh karena itu perlu dilakukan perbaikan kondisi ruangan kemoterapi yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, petugas yang melakukan rekonstitusi obat sitostatika harus menggunakan Alat Pelindung Diri sesuai prosedur kerja. I. Depo Farmasi Bedah Sentral RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo 1. Sumber Daya Manusia Depo Farmasi Instalasi Bedah Sentral dikelola oleh 1 orang Apoteker dan dua orang Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK) di bawah pengawasan Apoteker penanggung jawab pelayanan farmasi rawat jalan. 2. Logistik Obat di Depo Farmasi IBS disediakan oleh Gudang pusat Farmasi RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Gudang mengirim obat ke Depo Farmasi IBS lantai 3 sesuai dengan permintaan, lalu obat didistribusikan ke sub Depo Farmasi IBS lantai 2, setelah itu baru dapat digunakan oleh pasien untuk kegiatan operasi di IBS sesuai dengan paket operasi dan kebutuhan pasien. Distribusi obat dari gudang sentral farmasi ke Depo Farmasi IBS dilakukan dua kali dalam seminggu yaitu pada hari rabu dan hari sabtu. Perencanaan pengadaan perbekalan farmasi di Depo Farmasi IBS didasarkan pada pola dan jumlah pemakaiannya di IBS. Untuk obat-obatan dan alkes yang bersifat fast moving maka permintaan untuk barang tersebut juga besar. Barang yang habis atau hampir habis dicatat ke dalam buku defekta, kemudian petugas melakukan permintaan stok barang tersebut ke gudang pusat RSMS dengan surat pemesanan (SP) elektronik. Permintaan stok barang ke gudang pusat RSMS dilakukan setiap hari rabu



138



dan sabtu, namun jika ada permintaan cito, pengadaan langsung dilakukan. Ketika barang datang, maka petugas intalasi bedah sentral bersama petugas gudang pusat melakukan pengecekan untuk menyesuaikan antara nama perbekalan farmasi, jenis, bentuk sediaan dan jumlah barang yang diterima dari gudang pusat dengan jumlah yang dipesan olehinstalasi bedah sentral. Apabila telah sesuai, penambahan stok barang di intalasi bedah sentral akan diproses melalui sistem komputerisasi yang ada. 3. Alur Pelayanan Resep Depo Farmasi Instalasi Bedah Sentral (IBS) di RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo merupakan bagian dari Sub Depo Farmasi Rawat Inap yang dikelola oleh satu orang Apoteker penanggung jawab dan dua orang Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK). Gedung IBS terdiri dari 2 lantai, dimana lantai 2 dilakukan operasi bedah yang terdiri dari Onkologi, Ortopedi, Umum, Obsgyn dan Mata, sedangkan lantai 3 digunakan untuk operasi Syaraf, THT, Bedah Plastik dan Urologi. Depo IBS merupakan depo yang melakukan pelayanan operasi yang bersifat selektif dan terjadwal, dimana jadwal operasi minimal sudah ada 1 hari sebelum dilakukan operasi sedangkan untuk operasi yang bersifat mendadak dilakukan di Depo IGD, Sebagai tempat pembedahan maka IBS harus steril dan ruangannya didesain khusus untuk menjamin sterilitasnya. IBS mempunyai aturanaturan yang harus dipatuhi semua karyawan untuk menjaga kebersihan dan meminimalkan terjadinya infeksi, misalnya penggunaan pakaian, topi dan masker khusus bagi semua orang yang berada di IBS serta larangan keluar masuk ruangan IBS secara sembarangan. Sterilisasi peralatan operasi dilakukan oleh bagian Central sterile Supplay Departement (CSSD). Obat yang tersedia di IBS sebagian besar adalah obat anestesi dan obat life saving. Obat-obat dan alat kesehatan yang dikelola oleh DF IBS meliputi obat-obat injeksi dan alat kesehatan habis pakai, sedangkan untuk operasi berupa alat-alat yang dapat disterilkan. Sistem distribusi obat dan



139



alkes yang diterapkan di DF IBS adalah UDD (Unit Dose Dispensing) dan sistem paket. Pelayanan resep untuk pasien bedah sentral adalah memberikan pelayanan obat dan alat kesehatan sesuai dengan kebutuhan di masing-masing ruang operasi per pasien di IBS. Depo ini menyediakan obat-obat khusus yaitu injeksi beserta alkes untuk keperluan pembedahan. Tujuan dari pelayanan resep bedah sentral adalah agar perbekalan farmasi yang diberikan kepada pasien yang dioperasi dikamar bedah tepat pasien, tepat jumlah dan dosis obat, tepat waktu, serta sesuai dengan standar. Prosedur pelayanan resep bedah sentral, berdasarkan kebijakan keputusan Direktur No.800/00208A/I2014 tentang Kebijakan Pelayanan Farmasi di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto butir 1, adalah sebagai berikut: 1) Memeriksa identitas pasien beserta ruang operasinya 2) Memeriksa ketersediaan obat, apabila tidak tersedia, diskusikan dengan dokter bedah dan atau dokter anestesi untuk alternatif obat pengganti. 3) Menyiapkan perbekalan farmasi sesuai dengan kebutuhan. 4) Mengecek perbekalan farmasi yang telah disediakan termasuk jumlah obat, dosis, dan rute pemberian. 5) Menyerahkan perbekalan yang telah disiapkan kepada petugas yang bertugas dikamar operasi. 6) Melakukan entry seluruh perbekalan farmasi yang digunakan pasien yang dioperasi. Alur Pelayanan Resep yang dilakukan di Depo Farmasi IBS dapat dilihat pada gambar 30 skema berikut:



Digunakan



140



Skrining Resep dan konfirmasi



Gambar 30. Alur Pelayanan Resep di Depo Farmasi IBS Keterangan: 1) Jadwal Kamar Operasi Jadwal operasi keluar minimal 1 hari sebelumnya sehingga petugas dapat mulai menyiapkan obat dan alkes satu hari sebelum operasi. 2) Dispensing (anastesi dan bedah) Obat dan alkes disiapkan bedasarkan kebutuhan operasi pada masingmasing OK yaitu biasanya paket berdasarkan jenis tindakan berupa tindakan untuk anastesi dan untuk pembedahan sesuai kasus. Dispensing anastesi biasanya didasarkan pada diagnosa pasien, jenis kelamin dan jenis tindakan sedangkan untuk dispensing pembedahan yaitu disesuaikan dengan jenis tindakan yang diambil. 3) Use Penggunaan obat dan alkes untuk OK biasanya diambil oleh petugas pembedahan, bisa dokter anestesi, perawat anastesi atau perawat bedah. Bila terdapat tambahan obat dan alkes selama operasi berlangsung, maka petugas dapat mengambil di Depo Farmasi IBS. Obat yang digunakan selama operasi ditulis dikartu obat yang berwarna hijau setelah operasi selesai. 4) Skrining dan konfirmasi Skrining biasanya lebih ditekankan kepada penggunaan dosis anastesi untuk anak-anak. Konfirmasi dilakukan misalnya untuk paket operasi tertentu yang seharusnya membutuhkan obat atau alkes tertentu, namun



141



dokter tidak menggunakannya jadi dibutuhkan konfirmasi untuk mengetahui alasan obat atau alkes tersebut tidak digunakan. 5) Entry data Setelah operasi selesai, obat dan alkes serta kartu obat di kembalikan di Depo Farmasi IBS, maka petugas di Depo melakukan entry ke SIM Rumah Sakit mengenai penggunaan obat. 6) Checking dan returning Tahap ini dilakukan untuk mengecek kesesuaian di kartu obat dan bentuk fisik dari obat yang tersedia dan untuk melakukan checking setelah proses entry apakah ada barang yang di return atau tidak. Jika ada return obat dan alkes, maka obat dan alkes tersebut kemudian dikembalikan ketempat semula di Depo. J. Farmasi Klinik Peraturan Menteri Kesehatan No. 72 Tahun 2016 tentang standar pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit meliputi pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai; dan pelayanan farmasi klinik. Adapun pelayanan farmasi klinik meliputi pengkajian dan pelayanan resep, penelusuran riwayat penggunaan obat, rekonsiliasi obat, pelayanan informasi obat (PIO), konseling, visite, pemantauan terapi obat (PTO), monitoring efek samping obat (MESO), evaluasi penggunaan obat (EPO), dispensing sediaan steril dan pemantauan kadar obat dalam darah (PKOD). Di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto pelayanan farmasi klinik cukup berjalan dengan baik, dapat dilihat dari struktur organisasi dimana terdapat Apoteker penanggung jawab farmasi klinis. Adapun kegiatan farmasi klinik yang dilakukan di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto antara lain pengkajian dan pelayanan resep, penelusuran riwayat penggunaan obat, rekonsiliasi obat, pelayanan informasi obat (PIO), konseling, visite, pemantauan terapi obat (PTO), monitoring efek samping obat (MESO), evaluasi penggunaan obat (EPO) dan dispensing sediaan steril yang hanya berupa handling sitostatik sedangkan untuk iv admixture sendiri belum dilakukan



dikarenakan



keterbatasan



sarana



dan



prasarana



dimana



membutuhkan ruang produksi sediaan steril yang disesuaikan dengan standar



142



CPOB. RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto juga belum melakukan pelayanan farmasi klinik berupa pemantauan kadar obat dalam darah (PKOD) hal ini juga terkait dengan keterbatasan sarana dan prasarana. Adapun kegiatan farmasi klinis yang dilakukan selama PKPA di Rumah Sakit Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto antara lain melakukan rekonsiliasi, pemantauan terapi obat, evaluasi penggunaan obat, pemberian informasi obat dan visite. 1.



Rekonsiliasi dan Pemantauan Terapi Obat (PTO) Rekonsiliasi



merupakan



proses



membandingkan



instruksi



pengobatan dengan obat yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan obat (medication error). Kesalahan obat rentan terjadi pada saat pemindahan pasien dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain. Antar ruang perawatan serta pada pasien yang keluar dari rumah sakit ke layanan kesehatan primer dan sebaliknya. Tujuan dilakukan rekonsiliasi adalah untuk memastikan informasi yang akurat tentang obat yang digunakan pasien, mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terdokumentasinya instruksi dokter dan mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terbacanya instruksi dokter. Pemantauan terapi obat adalah suatu proses yang mencakup kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. Tujuan PTO yakni meningkatkan efektifitas terapi dan meminimalkan risiko reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD). Kegiatan tersebut meliputi pengkajian pemilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respons terapi, reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD), pemberian



rekomendasi



perubahan atau alternatif terapi, dan pemantauan efektifitas dan efek samping



obat.



Pemantauan



terapi



obat



harus



dilakukan



secara



berkesinambungan dan evaluasi secara teratur pada periode tertentu agar keberhasilan ataupun kegagalan terapi dapat diketahui. Kegiatan pemantauan terapi obat merupakan salah satu tugas khusus dari RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto kepada mahasiswa PKPA yang bertujuan untuk memperdalam ilmu farmasi klinik. Kegiatan



143



dilakukan terhadap pasien yang telah ditentukan kemudian dilakukan rekonsiliasi obat untuk pasien baru dan pemantauan terapi obat. Data yang digunakan untuk pemantauan terapi obat yaitu dari data rekam medis ataupun langsung mewawancarai pasien atau keluarga pasien. Adapun kasus yang dipilih yaitu kasus CRF dengan anemia. a. Definisi Ginjal merupakan pengatur utama keseimbangan air dan garam serta sebagai homeostasis asam-basa. Ginjal juga memproduksi hormon yang dibutuhkan untuk sintesis sel darah merah dan homeostasis kalsium. Kerusakan fungsi ginjal sering mengarah pada gagal ginjal kronik (GGK). GGK atau sering disebut insufisiensi renal kronik terjadi lebih dari beberapa bulan sampai beberapa tahun dan dikarakterisasi oleh penggantian arsitektur ginjal normal menjadi fibrosis intersisial. Organisasi K/DOQI (National Kidney Foundation’s (NKF) Kidney Dialysis Outcomes and Quality Initiative) sedang mengembangkan sistem klasifikasi GGK berdasarkan pada kerusakan struktur ginjal dan atau adanya perubahan fungsi pada GFR selama periode 3 bulan atau lebih. GGK dikategorikan berdasarkan tingkat fungsi ginjal atau fungsi GFR menjadi stage 1 sampai stage 5. Dimana setiap peningkatan angka mengindikasikan tingkat penyakit yang lebih baik. Tabel tingkat keparahan penyakit GGK bisa dilihat sebagai berikut berikut :



Tabel 1. Tingkat Keparahan Penyakit Gagal Ginjal Kronik (Dipiro, 2009) Stage 1 2 3 4 5



GFR (mL/menit/1.73 m2 BSA) >90 60-89 30-59 15-29 90 mL/menit masih menunjukkan fungsi ginjal yang normal tetapi pasien dapat didiagnosa GGK jika ditemukan tanda lain dari penyakit ginjal seperti proteinuria, hematuria, pada pemeriksaan biopsi menunjukkan kerusakan ginjal atau abnormalitas anatomi. GGK stage 5 merupakan stage akhir dari penyakit renal atau ESRD (End Stage Renal Disease) (Dipiro, 2009). Pilihan pengobatan primer pada pasien ESRD adalah hemodialisa, dialisa peritoneal dan transplantasi ginjal. Prosedur hemodialisa melibatkan perfusi darah dan cairan dialisat pada membran semipermeable. Substansi dalam darah dibuang dari darah dengan proses difusi. Kelebihan cairan plasma dibuang melalui ultrafiltrasi. Selama proses dialisis, pasien biasanya mengalami hipotensi. Komplikasi serius lainnya termasuk infeksi dan thrombosis pada akses vaskular (Dipiro, 2009). Indikasi hemodialisa dibedakan menjadi hemodialisa segera dan hemodialisa kronik. Hemodialis segera adalah hemodialisa yang harus segera dilakukan antara lain (Daurgirdas et al., 2007). A. Indikasi hemodialisis segera 1. Kegawatan ginjal a. Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi b. Oligouria (produksi urine