13 0 520 KB
Asuhan Keperawatan pada Ny. A. dengan Fraktur Kompresi
Oleh : Ni Kadek Winda Oktaviani 201030200092
PROGRAM PROFESI NERS SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIDYA DHARMA HUSADA TANGERANG SELATAN TAHUN 2020/2021
LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR KOMPRESI
A. Pengertian Fraktur kompresi (wedge fractures) merupakan kompresi pada bagian depan corpus vertebralis yang tertekan dan membentuk patahan irisan. Fraktur kompresi adalah fraktur tersering yang mempengaruhi kolumna vertebra. Fraktur ini dapat disebabkan oleh kecelakaan jatuh dari ketinggian dengan posisi terduduk ataupun mendapat pukulan di kepala, osteoporosis dan adanya metastase kanker dari tempat lain ke vertebra kemudian membuat bagian vertebra tersebut menjadi lemah dan akhirnya mudah mengalami fraktur kompresi. Vertebra dengan fraktur kompresi akan menjadi lebih pendek ukurannya daripada ukuran vertebra sebenarnya. Trauma vertebra yang mengenai medula spinalis dapat menyebabkan defisit neorologis berupa kelumpuhan. B. Etiologi Penyebab terjadinya fraktur kompresi vertebra adalah sebagai berikut: 1. Trauma langsung (direct) Fraktur yang disebabkan oleh adanya benturan langsung pada jaringan tulang seperti pada kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, dan benturan benda keras oleh kekuatan langsung. 2. Trauma tidak langsung (indirect) Fraktur yang bukan disebabkan oleh benturan langsung, tapi lebih disebabkan oleh adanya beban yang berlebihan pada jaringan tulang atau otot, contohnya seperti pada olahragawan yang menggunakan hanya satu tangannya untuk menumpu beban badannya. 3. Trauma tidak langsung (indirect) Fraktur yang disebabkan oleh proses penyakit seperti osteoporosis, penderita tumor dan infeksi. Penyebab pokok dari fraktur kompresi lumbal adalah osteoporosis. Pada wanita, faktor risiko utama untuk osteoporosis adalah menopause, atau defisiensi estrogen. Faktor risiko lain yang dapat memperburuk tingkat keparahan osteoporosis termasuk merokok, aktivitas fisik, penggunaan prednison dan obat lain, dan gizi buruk. Pada laki-laki, semua
faktor risiko non-hormon di atas juga berpengaruh. Namun, kadar testosteron rendah juga dapat berhubungan dengan fraktur kompresi. Gagal ginjal dan gagal hati keduanya terkait dengan osteopenia. Kekurangan gizi dapat menurunkan remodeling tulang dan meningkatkan osteopenia. Akhirnya, genetika juga memainkan peran dalam pengembangan fraktur kompresi, risiko osteoporosis juga dapat dilihat dari riwayat keluarga dengan keluhan serupa. Keganasan dapat bermanifestasi awalnya sebagai fraktur kompresi. Kanker yang paling umum di tulang belakang adalah metastasis. Keganasan khas yang bermetastasis ke tulang belakang sel ginjal, prostat, payudara, paru-paru dan meskipun jenis lainnya dapat bermetastasis ke tulang belakang. 2 hal keganasan tulang primer paling umum adalah multipel myeloma dan limfoma. Infeksi yang menghasilkan osteomyelitis dapat juga mengakibatkan fraktur kompresi. Biasanya, organisme yang paling umum dalam infeksi kronis adalah stafilokokus atau streptokokus. Tuberkulosis bisa terjadi pada tulang belakang dan disebut penyakit Pott. C. Manifestasi klinis (tanda & gejala) Fraktur kompresi biasanya bersifat insidental, menunjukkan gejala nyeri tulang belakang ringan sampai berat. Dapat mengakibatkan perubahan postur tubuh karena terjadinya kiposis dan skoliosis. Pasien juga menunjukkan gejala-gejala pada abdomen seperti rasa perut tertekan, rasa cepat kenyang, anoreksia dan penurunan berat badan. Gejala pada sistem pernafasan dapat terjadi akibat berkurangnya kapasitas paru. Hanya sepertiga kasus kompresi vertebra yang menunjukkan gejala. Pada saat fraktur terasa nyeri, biasanya dirasakan seperti nyeri yang dalam pada sisi fraktur. Jarang sekali menyebabkan
kompresi pada medulla spinalis, tampilan klinis menunjukkan
gejala nyeri radikuler yang nyata. Rasa nyeri pada fraktur disebabkan oleh banyak gerak, dan pasien biasanya merasa lebih nyaman dengan beristirahat. Banyak pasien yang mengalami fraktur kompresi vertebra akan menjadi tidak aktif, dengan berbagai alasan antara lain rasa nyeri akan berkurang dengan terlentang, takut jatuh sehingga terjadi patah tulang lagi. Sehingga kurang aktif atau malas bergerak pada akhirnya akan mengakibatkan semakin buruknya kemampuan dalam melakukan aktifitas sehari-hari.
Apabila kerusakan tulang belakang setinggi vertebra L1-L2 mengakibatkan sindrom konus medullaris. Konus medullaris adalah ujung berbentuk kerucut dari sumsum tulang belakang. Normalnya terletak antara ujung vertebra torakalis (T-12) dan awal dari vertebra lumbalis (L-1),meskipun kadang-kadang konus medullaris ditemukan antara L-1 dan L-2. Saraf yang melewati konus medullaris mengontrol kaki, alat kelamin, kandung kemih, dan usus. Gejala umum termasuk rasa sakit di punggung bawah, anestesi di paha bagian dalam, pangkal paha; kesulitan berjalan, kelemahan di kaki, kurangnya kontrol kandung kemih; inkontinensia alvi, dan impotensi.
1. Gangguan motorik Cedera medula spinalis yang baru saja terjadi, bersifat komplit dan terjadi kerusakan sel-sel saraf pada medulla spinalisnya menyebabkan gangguan arcus reflek dan flacid paralisis dari otot-otot yang disarafi sesuai dengan segmen-segmen medulla spinalis yang cedera. Pada awal kejadian akan mengalami spinal shock yang berlangsung sesaat setelah kejadian sampai beberapa hari bahkan sampai enam minggu. Spinal shock ini ditandai dengan hilangnya reflek dan flacid. Lesi yang terjadi di lumbal menyebabkan beberapa otot-otot anggota gerak bawah mengalami flacid paralisis. 2. Gangguan sensorik Pada kondisi paraplegi salah satu gangguan sensoris yaitu adanya paraplegic pain dimana nyeri tersebut merupakan gangguan saraf tepi atau sistem saraf pusat yaitu sel-sel yang ada di saraf pusat mengalami gangguan. Selain itu kulit dibawah level kerusakan akan mengalami anaestesi, karena terputusnya serabut-serabut saraf sensoris.
3. Gangguan bladder dan bowel Pada defekasi, kegiatan susunan parasimpatetik membangkitkan kontraksi otot polos sigmoid dan rectum serta relaksasi otot spincter internus. Kontraksi otot polos sigmoid dan rectum itu berjalan secara reflektorik. Impuls afferentnya dicetuskan oleh ganglion yang berada di dalam dinding sigmoid dan rectum akibat peregangan, karena penuhnya sigmoid dan rectum dengan tinja. Defekasi adalah kegiatan volunter untuk mengosongkan sigmoid dan rectum. Mekanisme defekasi dapat dibagi dalam dua tahap. Pada tahap pertama, tinja didorong kebawah sampai tiba di rectum kesadaran ingin buang air besar secara volunter, karena penuhnya rectum kesadaran ingin buang air besar timbul. Pada tahap kedua semua kegiatan berjalan secara volunter. Spincter ani dilonggarkan dan sekaligus dinding perut dikontraksikan, sehingga tekanan intra abdominal yang meningkat mempermudah dikeluarkannya tinja. Jika terjadi inkontinensia maka defekasi tak terkontrol oleh keinginan. 4. Gangguan fungsi seksual Pasien pria dengan lesi tingkat tinggi untuk beberapa jam atau beberapa hari setelah cidera. Seluruh bagian dari fungsi seksual mengalami gangguan pada fase spinal shock. Kembalinya fungsi sexual tergantung pada level cidera dan komplit/tidaknya lesi. Untuk dengan lesi komplet diatas pusat reflek pada konus, otomatisasi ereksi terjadi akibat respon lokal, tetapi akan terjadi gangguan sensasi selama aktivitas seksual. Pasien dengan level cidera rendah pusat reflek sakral masih mempunyai reflex ereksi dan ereksi psikogenik jika jalur simpatis tidak mengalami kerusakan, biasanya pasien mampu untuk ejakulasi, cairan akan melalui uretra yang kemudian keluarnya cairan diatur oleh kontraksi dari internal bladder sphincter. Kemampuan fungsi seksual sangat bervariasi pada pasien dengan lesi tidak komplit, tergantung seberapa berat kerusakan pada medula spinalisnya. Gangguan sensasi pada penis sering terjadi dalam hal ini. Masalah yang terjadi berhubungan dengan lokomotor dan aktivitas otot secara volunter.
D. Patofisiologi Menurut chairudin Rasjad (2012), menegaskan bahwa semua trauma tulang belakang harus dianggap sebagai trauma yang hebat. Oleh karena itu, klien harus diperlakukan secara hati-hati saat pertolongan pertama dan dibawa ke rumah sakit dengan menggunakan transportasi. Trauma pada tulang belakang dapat mengenai jaringan lunak pada tulang belakang (ligamen dan diskus), tulang belakang dan sumsum tulang belakang. Penyebab trauma tulang belakang adalah kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga, kecelakaan industri, kecelakaan lain seperti jatuh dari pohon atau bangunan, luka tusuk, luka tembak, trauma kerana tali pengaman (fraktur chance), kejatuhan benda keras. Sebagian besar trauma tulang belakang yang mengenai tulang tidak disertai kelainan pada sumsum tulang belakang. Mekanisme trauma yang terjadi pada trauma tulang belakang adalah: 1. Fleksi. Trauma terjadi akibat fleksi dan diserta dengan sedikit kompresi pada vertebra. Vertebra mengalami tekanan berbentuk remuk yang dapat menyebabkan kerusakan atau tanpa kerusakan ligamen posterior. Apabila terdapat kerusakan ligamen posterior, fraktus bersifat tidak stabil dan dapat terjadi subluksasi. 2. Fleksi dan rotasi. Trauma jenis ini merupakan trauma fleksi yang bersama – sama dengan rotasi. Pada trauma ini terdapat strain dan ligamen dan kapsul serta ditemukan fraktur faset. Pada kejadian ini terjadi pergerakan ke depan atau dislokasi vertebra diatasnya. Semua fraktur dislokasi bersifat tidak stabil. 3. Kompresi vertikal (aksial). Trauma vertikal yang secara langsung mengenai vertebra akan menyebabkan kompresi aksial. Nukleus polposus akan memecahkan permukaan serta badan vertebra secara vertikal. Material diskus akan masuk dalam badan vertebra dan menyebabkan vertebra bisa menjadi rekah (pecah). Pada trauma jenis ini elemen posterior masih utuh sehingga fraktur yang terjadi bersifat stabil. 4. Hiperekstensi atau retroekstensi. Biasanya terjadi hiperekstensi sehingga terjadi kombinasi distraksi dan ekstensi. Keadaan ini sering ditemukan pada vertebra servikalis dan jarang pada vertebra torakolumbalis. Ligammen anterior dan diskus dapat mengalami kerusakan atau terjadi fraktur pada arkus neuralis. Fraktur ini biasanya bersifat stabil.
5. Fleksi lateral Kompresi atau trauma distraksi yang menimbulkan fleksi lateral akan menyebabkan fraktur pada komponen lateral, yaitu pedikel, foramen vertebra dan sendi laser. 6. Fraktur dislokasi Trauma yang menyebabkan terjadinya fraktur tulang belakang dan dislokasi pada tulang belakang. Pada pasien dengan fraktur vertebra datang dengan nyeri tekan akut, pembengkakan, spasme otot paravertebralis dan perubahan lengkungan normal atau adanya gap antara prosesus spinosus. Nyeri akan memberat saat bergerak, batuk atau pembebanan berat badan (Brunner dan Suddarth, 2001; 2387). Trauma pada sumsum tulang belakang dapat terjadi perdarahan pada sumsum tulang belakang yang disebut hematomiela. Gejala yang penting adalah tetap adanya sensibilitas di bawah trauma (pinprick perianal). Gejala yang paling sering terjadi adalah sindrom sentral berupa paralisis layu yang diikuti paralisis lower motor neuron anggota gerak atas dan paralisis upper motor neuron (spastik) dari anggota gerak bawah disertai kontrol kandung kemih dan sensibilitas perianal yang tetap baik. Trauma tulang belakang jika mengenai: 1. Vertebra servikalis. Jika terjadi trauma pada vertebra servikalis, maka dapat terjadi kelumpuhan otot pernapasan karena blok saraf simpatis sehingga klien dapat mengalami gagal napas. Trauma vertebra servikalis juga dapat menyebabkan quadiplegik dengan disfungsi kedua lengan, kedua kaki, defekasi dan berkemih. 2. Vertebra torakolumbalis. Dapat terjadi paraplegi dan gangguna dalam menelan. 3. Vertebra sakralis. Jika trauma terjadi pada vertebra ini akan terjadi disfungsi bladder dan bowel. Trauma pada sakralis juga dapat menyebabkan penis erection.
E. Pathway Kecelakaan lalu lintas/olahraga/ industri
Nyeri Akut
Jatuh dari ketinggian
Nyeri tulang belakang
Pukulan di kepala
Fraktur kompresi Kompresi pada bagian depan corpus vertebralis yang tertekan & membentuk pataham irisan
Sering terbangun akibat nyeri
Osteoporosis/gagal ginjal/kanker/infeksi
Gangguan neurologis
Paraplegi/tetraplegi Nafsu makan menurun
Gangguan Pola Tidur
Berat badan turun Defisit Nutrisi
Komplikasi : - Shock - Mal union - Non union
Keterbatasan rentang gerak
Gangguan mobilitas fisik
F. Penatalaksanaan 1. Nyeri akut fraktur kompresi vertebra Jika pada pasien tidak ditemukan kelainan neurologis, pengobatan pada pasien dengan akut fraktur harus menekankan pada pengurangan rasa nyeri, dengan pembatasan bedrest, penggunaan analgetik, brancing dan latihan fisik. a. Menghindari bedrest terlalu lama Bahaya dari bedrest yang terlalu lama pada orang tua adalah, meningkatkan kehilangan densitas tulang, deconditioning, thrombosis, pneumonia, ulkus dekubitus, disorientasi dan depresi. b. Analgetik Analgetik digunakan untuk mengurangi rasa nyeri, biasa diberikan sebagai terapi awal untuk menghindari dari bedrest yang terlalu lama. c. Calcitonin Diberikan secara subkutan, intranasal, atau perrektal mempunyai efek analgetik pada fraktur kompresi yang disebabkan oleh osteoporosis dan pasien dengan nyeri tulang akibat metastasis. d. Bracing Bracing merupakan terapi yang biasa dilakukan pada manegemen akut non operatif. Ortose membantu dalam mengontrol rasa nyeri dan membantu penyembuhan dengan menstabilkan tulang belakang. Dengan mengistirahatkan pada posisi fleksi, maka akan mengurangi takanan pada kolumna anterior dan rangka tulang belakang.Bracing dapat digunakan segera, tetapi hanya dapat digunakan untuk dua sampai tiga bulan. Terdapat beberapa tipe ortose yang tersedia untuk pengobatan. e. Vertebroplasty Vertebroplasty dilakukan dengan menempatkan jarum biopsy tulang belakang kedalam vertebra yang mengalami kompresi dengan bimbingan fluoroscopy atau computed tomography. Kemudian diinjeksikan
Methylmethacrylate
kedalam tulang yang mengalami kompresi. Prosedur ini dapat menstabilkan fraktur dan megurangi rasa nyeri dengan cepat yaitu pada 90% 100% pasien. Tetapi prosedur ini tidak dapat memperbaiki deformitas yang terjadi pada tulang belakang.
Teknik Vertebroplasty f. Kypoplasty Prosedur ini dilakukan dengan menyuntikkan jarum yang berisikan tampon kedalam tulang yang mengalami fraktur. Insersi jarum tersebut akan membentuk suatu kavitas pada tulang vertebra. Kemudian kavitas tersebut diisi dengan campuran methylmetacrylate dibawah tekanan rendah.
Gambar 2.13. Teknik Kypoplasty 2. Penatalaksanaan nyeri kronis Nyeri kronis umumnya biasa dialami oleh pasien dengan multipel fraktur, penurun tinggi badan, dan kehilangan densitas tulang. Pada pasien-pasien ini, sangat dianjurkan untuk tetap aktif
melakukan pelemasan otot dan program
peregangan, seperti program yang berdampak ringan seperti berjalan dan berenang. Sebagai tambahan obat penghilang rasa sakit, pemeriksaan nonfarmakologis seperti
stimulasi
saraf
listrik transkutaneus, aplikasi panas dan dingin, atau
penggunaan bracing, dapat menghilangkan rasa sakit sementara. Aspek psikologis dari rasa nyeri yang kronis dan kehilangan fungsi fisiologis harus diterangkan dalam konseling, jika perlu, dapat diberikan antidepresan. a. Pencegahan fraktur tambahan 1) Sebagian besar pasien dengan fraktur akibat osteoporosis akut harus diberikan terapi osteoporosis secara agresif. 2) Pemeriksaan bone densitometry sebaiknya dilakukan pada pasien dengan fraktur kompresi dan sebelumnya diduga mengalami kehilangan massa tulang.
3) National Osteoporosis Foundation menganjurkan semua wanita
yang
mengalami fraktur spiral dan densitas mineral tulang harus diberikan terapi seperti osteoporosis. 4) Diet suplemen vitamin D dan kalsium harus optimal. Bisphosponates (alendronate, risendronate) mengurangi insidensi terjadinya fraktur vertebra baru sampai lebih dari 50%. 5) Raloxifene, merupakan modulator estrogen selektif, menunjukkan dapat mengurangi terjadi fraktur vertebra 65% pada tahun pertama dan sekitar 50% pada tahun ketiga. 6) Kalsitonin menunjukkan penurunan resiko terjadinya fraktur vertebra baru sekitar 1 dari 3 wanita yang mengalami fraktur vetebra. 7) Teriparatide (fortoe), merupakan preparat hormon paratiroid rekombinan diberikan secara subkutan. Obat ini juga menunjukkan rendahnya resiko terjadinya fraktur vertebra dan meningkatkan densitas tulang pada wanita postmenopause dengan osteoporosis. Obat ini bekerja pada osteoblast untuk menstimulasi pembentukan tulang baru. G. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu : 1. Roentgenography : pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat tulang vertebra untuk melihat fraktur dan pergeseran tulang vertebra
Fraktur Kompresi Vertebra Lumbal 1 2. Magnetic Resonance Imaging : pemeriksaan ini memberi informasi detail mengenai jaringan lunak di daerah vertebra. Gambaran yang akan dihasilkan adalah 3 dimensi. MRI sering digunakan untuk mengetahui kerusakn jaringan lunak pada ligament dan diskus intervertebralis dan menilai cedera medulla spinalis
MRI Fraktur Kompresi Lumbal 1 3. CT- Scan CT scan sangat berguna dalam menggambarkan adanya fraktur dan dapat memberikan informasi jika tentang adanya kelainan densitas tulang. CT scan danMRI juga sangat penting dalam menentukan diferensial diagnosis karena adanyapenyempitan kanalis spinal, dan komposisi spesifik vertebra dapat digambarkan. 4. Single-Photon Emission Computed Tomography (SPECT) Dapat juga digunakan dalam menentukan adanya fraktur dan tingkat adanya osteoporosis karena kemampuannya dalam menggambarkan densitas tulang. 5. Scintigraphy Merupakan suatu metode diagnostik yang menggunakan deteksi radiasi sinar gamma untuk menggambarkan kondisi dari jaringan atau organ, juga merupakancmetode yang penting untuk memprediksikan hasil (outcome) dari beberapa teknik operasi. H. Pengkajian Merupakan
tahap
awal
dari
pendekatan
proses keperawatan
dan
dilakukan
secara sistematika mencakup aspek bio, psiko, sosio dan spiritual. Langkah awal dari pengkajian ini adalah pengumpuln data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan klien dan keluarga, observasi pemeriksaan fisik, konsultasi dengan anggota tim kesehatan lainnya dan meninjau kembali catatan medis ataupun catatan keperawatan. Pengkajian fisik dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. Adapun lingkup pengkajian yang dilakukan pada klien fraktur menurut Brunner and Suddarth, 2002 adalah sebagai berikut : 1. Data demografi/identitas klien Antara lain nama, umur, jenis kelamin, agama, tempat tinggal, pekerjaan, dan alamat klien.
2. Keluhan utama Adanya nyeri dan sakit pada daerah punggung 3. Riwayat kesehatan keluarga Untuk menentukan hubungan genetik perlu diidentifikasi misalnya predisposisi
seperti
arthritis,
adanya
spondilitis ankilosis, gout/pirai (terdapat pada
fraktur psikologis). 4. Riwayat spiritual Apakah
agama
yang
dianut,
nilai-nilai
spiritual
dalam keluarga dan
bagaimana dalam menjalankannya. 5. Aktivitas kegiatan sehari-hari Identifikasi pekerjaan klien dan aktivitasnya sehari-hari, kebiasaan
membawa
benda-benda berat yang dapat menimbulkan strain otot dan jenis utama lainnya. Orang yang kurang aktivitas mengakibatkan tonus otot menurun. Fraktur atau trauma dapat timbul pada orang yang suka berolah raga dan hockey dapat menimbulkan nyeri sendi pada tangan 6. Pemeriksaan fisik a. Pengukuran tinggi badan b. Pengukuran tanda-tanda vital c. Integritas tulang, deformitas tulang belakang d. Kelainan bentuk pada dada e. Adakah kelainan bunyi pada paru-paru, seperti ronkhi basah atau kering, sonor atau vesikuler, apakah ada dahak atau tidak, bila ada bagaimana warna dan produktivitasnya. f. Kardiovaskuler: sirkulasi perifer yaitu frekuensi nadi, tekanan darah, pengisian kapiler, warna kulit dan temperatur kulit. g. Abdomen tegang atau lemas, turgor kulit, bising usus, pembesaran hati atau tidak, apakah limpa membesar atau tidak. h. Eliminasi:
terjadinya
perubahan
eliminasi
fekal
dan
pola berkemih
karena adanya immobilisasi. i. Aktivitas adanya keterbatasan gerak pada daerah fraktur j. Apakah ada nyeri, kaji kekuatan otot, apakah ada kelainan bentuk tulang dan keadaan tonus otot
7. Tes Diagnostik Pada klien dengan trauma tulang belakang, biasanya dilakukan beberapa tes diagnostik untuk menunjang diagnosa medis, yaitu : a. Foto Rontgen Spinal, yang memperlihatkan adanya perubahan degeneratif pada tulang belakang, atau tulang intervetebralis
atau
mengesampingkan
kecurigaan patologis lain seperti tumor, osteomielitis. b. Elektromiografi, untuk melokalisasi lesi pada tingkat akar syaraf spinal utama yang terkena. c. Venogram
Epidural,
yang
dapat
dilakukan
di
mana keakuratan dan
miogram terbatas. d. Fungsi Lumbal, yang dapat mengkesampingkan kondisi yang berhubungan, infeksi adanya darah. e. Tanda Le Seque (tes dengan mengangkat kaki lurus ke atas) untuk mendukung diagnosa awal dari herniasi discus intervertebralis ketika muncul nyeri pada kaki posterior. f. CT - Scan yang dapat menunjukkan kanal spinal yang mengecil, adanya protrusi discus intervetebralis. g. MRI,
termasuk
pemeriksaan
non
invasif
yang
dapat menunjukkan
adanya perubahan tulang dan jaringan lunak dan dapat memperkuat adanya herniasi discus. h. Mielogram, “penyempitan”
hasilnya dari
ruang
mungkin
normal
atau memperlihatkan
discus, menentukan lokasi dan ukuran herniasi
secara spesifik I. Diagnosa keperawatan 1. Defisit nutrisi (Tim Pokja SDKI, 2017, p. 56) Definisi : Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme Penyebab a) Ketidakmampuan menelan makanan b) Ketidakmampuan mencerna makanan c) Ketidakmampuan mengabsorbsi nutrien d) Peningkatan kebutuhan metabolisme e) Faktor ekonomis (mis. finansial tidak mencukupi) f) Faktor psikologis (mis. stres, keengganan untuk makan)
Gejala dan Tanda Mayor Subjektif (tidak tersedia) Objektif a) Berat badan menurun minimal 10% di bawah rentang ideal Gejala dan Tanda Minor Subjektif a) Cepat kenyang setelah makan b) Kram/nyeri abdomen c) Nafsu makan menurun Objektif a) Bising usus hiperaktif b) Otot pengunyah lemah c) Otot menelan lemah d) Membran mukos pucat e) Sariawan f) Serum albumin turun g) Rambutu rontok berlebihan h) Diare Kondisi Klinis Terkait a) Stroke b) Parkinson c) Mobius syndrome d) Cerebral palsy e) Cleft lip f) Cleft palate g) Amvotropic lateral sclerosis Referensi h) Luka bakar i) Kanker j) Infeksi k) AIDS l) Penyakit crohn’s m) Enterokolitis
n) Fibrosis kistik 2. Nyeri akut (Tim Pokja SDKI, 2017, p. 172) Definisi : Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan. Penyebab a) Agen pencedera fisiologis (mis. inflamasi, iskemia, neoplasma) b) Agen pencedera kimiawi (mis. terbakar, bahan kimia, iritan) c) Agen pencedera fisik (mis. abses, amputasi, terbakar, terpotong, mengangkat berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik berlebihan) Gejala dan Tanda Mayor Subjektif a) Mengeluh nyeri Objektif a) Tampak meringis b) Bersikap protektif (mis. wapada, posisi menghindari nyeri) c) Gelisah d) Frekuensi meningkat e) Sulit tidur Gejala dan Tanda Minor Subjektif (tidak tersedia) Objektif a) Tekanan darah meningkat b) Pola napas berubah c) Nafsu makan berubah d) Proses berpikir terganggu e) Menarik diri f) Berfokus pada diri sendiri g) Diaforesis Kondisi Klinis Terkait a) Kondisi pembedahan b) Cedera traumatis
c) Infeksi d) Sindrom koroner akut e) Glaukoma 3. Gangguan Mobilitas fisik ((Tim Pokja SDKI, 2017, p. 124) Definisi : Keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih ekstremitas secara mandiri. Penyebab a) Kerusakan integritas struktur tulang b) Perubahan metabolisme c) Ketidakbugaran fisik d) Penurunan kendali otot e) Penurunan massa otot f) Penurunan kekuatan otot g) Keterlambatan perkembangan h) Kekakuan sendi i) Kontraktur j) Malnutrisi k) Gangguan muskuloskeletal l) Gangguan neuromuskular m) Indeks masa tubuh diatas persentil ke-75 sesuai usia n) Efek agen farmakologis o) Program pembatasan gerak p) Nyeri q) Kurang terpapar informasi tentang aktivitas fisik r) Kecemasan s) Gangguan kognitif t) Keengganan melakukan pergerakan u) Gangguan sensoripersepsi Gejala dan Tanda Mayor Subjektif a) Mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas
Objektif a) Kekuatan otot menurun b) Rentang gerak (ROM) menurun Gejala dan Tanda Minor Subjektif a) Nyeri saat bergerak b) Enggan melakukan pergerakan c) Merasa cemas saat bergerak Objektif a) Sendi kaku b) Gerakan tidak terkoordinasi c) Gerakan terbatas d) Fisik lemah Kondisi Klinis Terkait a) Stroke b) Cedera medula spinalis c) Trauma d) Fraktur e) Osteoarthritis f) Ostemalasia g) Keganasan 4. Gangguan Pola Tidur (Tim Pokja SDKI, 2017, p. 126) Definisi : Gangguan kualitas dan kuantitas waktu tidur akibat faktor eksternal. Penyebab a) Hambatan lingkungan (mis. Kelembapan lingkungan sekitar, suhu lingkungan, pencahayaan, kebisingan, bau tidak sedap, jadwal pemantauan/pemeriksaan/ tindakan) b) Kurang control tidur c) Kurang privasi d) Restraint fisik e) Ketiadaan teman tidur f) Tidak familiar dengan peralatan tidur
Gejala dan Tanda Mayor Subjektif a) Mengeluh sulit tidur b) Mengeluh sering terjaga c) Mengeluh tidak puas tidur d) Mengeluh pola tidur berubah e) Mengeluh istirahat tidak cukup Objektif (tidak tersedia) Gejala dan Tanda Minor Subjektif a) Mengeluh kemampuan beraktivitas menurun Objektif (tidak tersedia) Kondisi Klinis Terkait a) Nyeri/kolik b) Hipertiroidisme c) Kecemasan d) Penyakit paru obstruktif kronis e) Kehamilan f) Periode pasca partum g) Kondisi pasca operasi J. Intervensi keperawatan 1. Defisit Nutrisi Manajemen Nutrisi (Tim Pokja SIKI, 2018, p. 200) Definisi : Mengidentifikasi dan mengelola asupan nutris yang seimbang Tindakan a) Observasi 1) Identifikasi status nutrisi 2) Identifikasi alergi dan intoleransi makanan 3) Identifikasi makanan yang disukai 4) Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrien 5) Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastrik
6) Monitor asupan makanan 7) Monitor berat badan 8) Monitor hasil pemeriksaan laboratorium b) Terapeutik 1) Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu 2) Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis. piramida makanan) 3) Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi 4) Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein 5) Berikan suplemen makanan, jika perlu 6) Hentikan pemberian makan melalui selang nasogatrik, jika asupan asupan oral dapat ditoleransi c) Edukasi 1) Anjurkan posisi duduk, jika perlu 2) Ajarkan diet yang diprogramkan d) Kolaborasi 1) Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis. pereda nyeri, antiemetik), jika perlu 2) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis makanan yang dibutuhkan, jika perlu 2. Nyeri Akut Manajemen Nyeri (Tim Pokja SIKI, 2018, p. 201) Definsi : Mengidentifikasi dan mengelola pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan atau fungsional dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat dan konstan. Tindakan a) Observasi 1) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri 2) Identifikasi skala nyeri 3) Identifikasi respon nyeri non verbal 4) Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri 5) Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri 6) Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri 7) Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas tidur
8) Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan 9) Monitor efek samping penggunaan analgetik b) Terapeutik 1) Berikan teknik non-farmakologi untuk mengurangi rasa nyeri (mis. TENS, hipnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi pijat, aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi bermain) 2) Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan) 3) Fasilitasi istirahat dan tidur 4) Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan nyeri c) Edukasi 1) Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri 2) Jelaskan strategi meredakan nyeri 3) Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri 4) Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat 5) Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri d) Kolaborasi 1) Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA file:///C:/Users/Windows7%20Ultimate/Downloads/337294661-240046006-REFERATFraktur-Kompresi-Vertebra-Lumbal-1-pdf.pdf, diakses tanggal 24 September, 2020. https://www.academia.edu/8621454/ASKEP_P_O_FRAKTUR_KOMPRESI_THORAKAL, diakses tanggal 24 September, 2020. https://www.scribd.com/document/337294661/240046006-REFERAT-Fraktur-KompresiVertebra-Lumbal-1-pdf diakses tanggal 24 September, 2020. https://www.scribd.com/doc/192012874/Askep-Fraktur-Kompresi-Tulang-Belakang diakses tanggal 24 September, 2020. PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator Diagnostik. Edisi 1 Cetakan III (Revisi). Jakarta : DPP PPNI. PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan. Edisi 1 Cetakan II. Jakarta : DPP PPNI. PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan Tindakan Keperawatan. Edisi 1 Cetakan II. Jakarta : DPP PPNI.
LAPORAN KASUS A. PENGKAJIAN Jam
: 10.00
: 21 September, 2020
NO. RM
: 001002
Tanggal MRS
: 21 September, 2020
Dx. Masuk
: Fraktur kompresi
Ruang/Kelas
: VIP/202
dr yg merawat: dr. Melfa, Sp. S,Msi.
Identitas
Pengkajian tgl
Nama
: Ny. A.
Jenis Kelamin
: Perempuan
Umur
: 41 tahun
Status Perkawinan
: Kawin
Agama
: Islam
Penanggung Biaya
: BPJS
Pendidikan
: SMA
Pekerjaan
: IRT
Suku/Bangsa
: Jawa
Alamat
: Ciputat, Tangsel
Keluhan utama : Nyeri hebat dibagian tulang belakang, skala nyeri 8, nyeri berawal saat mengalami jatuh 1 minggu yang lalu SMRS, nyeri semakin terasa saat duduk. Riwayat penyakit saat ini : Klien mengalami nyeri di bagian tulang belakang, nyeri terasa panas, skala yg dirasakan Riwayat Sakit dan Kesehatan
yaitu 8, nyeri yang dirasakan terkadang hilang dan cepat timbul kembali, nyeri yang dirasa sangat mengganggu aktivitasnya, klien mengatakan sakit saat duduk, klien juga mengatakan bahwa sejak 2 bulan yang lalu, perutnya kadang nyeri, tetapi tidak dirasakannya, klien tampak meringis, gelisah, saat pengkajian
klien terlihat memegangi pinggang, klien
mengatakan tidur kurang nyaman, susah beraktivitas dan cemas, karena nyeri yang dirasakan. Saat pengkajian didapatkan, hasil TTV : TD, 120/80mmhg, N:85 x/menit, RR 20 x/menit, S: 36,40C, Spo2 : 98%. Penyakit yang pernah diderita : Klien mengatakan tidak pernah menderita penyakit yang serius atau dirawat di RS. Riwayat penyakit keluarga : Anggota keluarga Ny. A. tidak ada yang menderita penyakit yang sama dengan Ny. A. dan juga keluarga Ny. A. tidak memiliki penyakit keturunan seperti DM, Hipertensi, dan lainnya. Riwayat alergi:
ya
tidak
Jelaskan :
Pemeriksaan Fisik
Pernafasan
Keadaan Umum:
baik
sedang
lemah
Nadi: 85x/mnt
Kesadaran:
Tanda vital
TD: 120/80 mmHg
Suhu : 36,4 ºC
RR : 20x/mnt
Pola nafas
irama:
Teratur
Tidak teratur
Jenis
Dispnoe
Kusmaul
Ceyne Stokes
Suara nafas:
vesikuler
Stridor
Wheezing Ronchi
Lain-lain:
Sesak nafas
Ya
Tidak
Batuk
Tidak
Lain-lain:
Ya
Kardiovaskuler
Masalah: Tidak ada masalah Irama jantung:
Reguler
Ireguler
Nyeri dada:
Ya
Tidak
Bunyi jantung:
Normal
Murmur
CRT:
< 3 dt
> 3 dt
Akral:
Hangat
Panas
Ya Tidak
S1/S2 tunggal Gallop
lain-lain
Dingin kering
Dingin basah
Persyarafan
Masalah: Tidak ada masalah GCS
Eye:
4
Verbal: 5
Motorik:
6 Total: 15
Refleks fisiologis:
patella
triceps
biceps
lain-lain:
Refleks patologis:
babinsky
budzinsky kernig
lain-lain:
Lain-lain: Istirahat / tidur: 5 – 7 jam/hari
Gangguan tidur: Sering terbangun karena nyeri
Masalah: Tidur tidak nyaman, sering terbangun karena nyeri Penglihatan (mata) Pupil
: Isokor
Anisokor
Lain-lain:
Sclera/Konjungtiva
: Anemis
Ikterus
Lain-lain:
Penginderaan
Lain-lain : Pendengaran/Telinga
:
Gangguan pendengaran : Ya Tidak
Jelaskan:
Lain-lain : Penciuman (Hidung) Bentuk
: Normal
Gangguan Penciuman : Ya
Tidak
Jelaskan:
Tidak
Jelaskan:
Lain-lain Masalah: Tidak ada masalah
Kebersihan:
Bersih
Perkemihan
Urin: Jumlah: 1200 cc/hr
Kotor Warna : Kekuningan
Bau: Pesing, tidak terlalu menyengat
Alat bantu (kateter, dan lain-lain): Kandung kencing:
Gangguan:
Membesar
Ya
Tidak
Nyeri tekan
Ya
Tidak
Anuria
Oliguri
Retensi
Nokturia
Inkontinensia
Lain-lain:
Masalah: Tidak ada masalah Nafsu makan: Baik Menurun Frekuensi: 2 - 3 x/hari Habis
Porsi makan: Diet
Tidak
Ket: Malas makan karena nyeri
: Tidak ada pantangan makanan
Minum : 1600 cc/hari
Jenis: Air putih
Pencernaan
Mulut dan Tenggorokan Mulut:
Bersih
Kotor
Berbau
Mukosa
Lembab
Kering
Stomatitis
Tenggorokan
Nyeri telan
Kesulitan menelan
Pembesaran tonsil
Lain-lain:
Tegang
Abdomen Peristaltik
Kembung Ascites
15
x/mnt
Pembesaran hepar
Ya
Tidak
Pembesaran lien
Ya
Tidak
Nyeri tekan, lokasi:
Buang air besar : 1 x/hari
Teratur:
Ya
Konsistensi
Bau: Khas
Warna: Kuning kecoklatan
: lunak
Tidak
Lain-lain:
Masalah: Nafsu makan menurun karena nyeri, porsi makan tidak habis
Bebas
Kemampuan pergerakan sendi: Kekuatan otot:
Terbatas
4 4 4 4
Muskuloskeletal/ Integumen
Kulit Warna kulit: Ikterus
Sianotik
Kemerahan
Pucat
Hiperpigmentasi Turgor:
Baik
Sedang
Jelek
Odema:
Ada
Tidak ada
Lokasi
Luka
Ada
Tidak ada
Lokasi
Tanda infeksi luka
Ada
Tidak ada Yang
ditemukan
:
kalor/dolor/tumor/Nyeri/Fungsiolesa Lain-lain :
Masalah: Nyeri pada tulang belakang akibat jatuh 1 minggu
Endokrin
SMRS Pembesaran Tyroid
Ya
Tidak
Hiperglikemia
Ya
Tidak
Hipoglikemia Ya
Tidak
Luka gangren
Ya
Tidak
Pus
Ya
Tidak
Masalah: Tidak ada masalah Mandi
: Ny. A. mengatakan semenjak dirawat, Ny. A. hanya membersihkan
Personal Higiene
badannya dengan lap air hangat Keramas
: Selama di rumah sakit Ny. A. mengatakan tidak pernah mencuci rambutnya
Ganti pakaian : Ny. A. mengganti pakaian satu kali sehari Sikat gigi
: Ny. A. rutin menyikat giginya 2 kali sehari, yaitu saat pagi dan sebelum
tidur Memotong kuku : Selama di rumah sakit Ny. A. tidak pernah memotong kukunya Masalah: Tidak ada masalah
spiritual
Psiko-sosio-
Orang yang paling dekat: Istri dan anak Hubungan dengan teman dan lingkungan sekitar: Sangat baik Kegiatan ibadah: Selama di rawat di rumah sakit, Ny. A. hanya berbaring dan berdoa agar penyakitnya cepat sembuh Lain-lain : Masalah: Tidak ada masalah
Laboratorium Tanggal : 21 September 2020 -
Pemeriksaan penunjang
-
-
HEMATOLOGI Hemoglobin
13.5 Gr/dL
13-18
Leukosit
9740 Sel/uL
4000-11000
Eritrosit
4.55 10^6/uL
4.5-6.5
Hematokrit
44 %
32-45
Trombosit
349 10^3/uL
150-450
URIN LENGKAP Warna
Kuning
Kuning
Kejernihan
Jernih
Jernih
Ph
5.5
3.5-6.5
Berat jenis
1.020
1.005-1.030
Protein
-
Negatif
Glukosa
-
Negatif
Bilirubin
-
Negatif
Urobilinogen
+
Positif
SEDIMENT Lekosit
2-3 /LPB