Laporan  [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Laporan Kasus



Rinosinusits Kronis Sinistra dengan Polip Nasi Sinistra



Oleh: Sheni Chang, S.Ked NIM. 1930912320060



Pembimbing: dr. Hamita, Sp.THT-KL



BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT THT-KL FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM/RSUD ULIN BANJARMASIN Desember, 2021



DAFTAR ISI



Halaman DAFTAR ISI................................................................................................... i BAB I PENDAHULUAN..............................................................................



1



BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................



2



BAB III DATA PASIEN ..............................................................................



17



BAB IV PEMBAHASAN..............................................................................



22



BAB V PENUTUP.........................................................................................



26



DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 27



i



BAB I PENDAHULUAN



Polip nasi adalah suatu massa yang terjadi akibat inflamasi yang berhubungan dengan mukosa rongga hidung atau sinus paranasal.1 Polip nasi sering ditemukan pada penderita penyakit seperti rhinitis alergi, asma bronkiale, alergik fungal sinusitis, rinosinusitis kronik, aspirin intolerance, alcohol intolerance, young syndrome dll.2 Prevalensi polip nasi yang paling banyak ditemukan di meatus media dan sinus ethmoid pada populasi dewasa dan mempengaruhi 1 hingga 4%.1 Di Indonesia menunjukkan bahwa perbandingan pria dan wanita 2-3:1 dengan prevalensi 0,2%4,3%.2 Lebih sering terjadi pada lelaki dengan puncak insiden pada usia 40 sampai 60 tahun.3 Pasien biasanya datang dengan keluhan utama hidung tersumbat diikuti hiposmia sampai anosmia, rinorea, epistaksis, post nasal drip, sakit kepala dan mendengkur.3 Berdasarkan tingkat keparahan penyakit, polip hidung dibagi menjadi 4 stadium dari stadium 0 – stadium 3.4 Penatalaksanaan polip nasi difokuskan pada penggunaan steroid oral dan intranasal. Pasien yang mengalami kegagalan dalam penggunaan terapi tersebut, disarankan untuk dilakukan tindakan operatif dengan guiding naso endoskopi, kemudian diikuti dengan terapi intranasal steroid untuk mencegah kekambuhan.1 Berikut akan dilaporkan kasus Polip Nasi Sinistra, jenis kelamin perempuan, umur 47 tahun yang berobat ke poliklinik THT-KL RS Ansari Saleh Banjarmasin.



1



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



A. Definisi Polip nasi merupakan lesi jinak berupa massa lunak putih atau keabu-abuan di dalam rongga hidung akibat peradangan kronis selaput lendir hidung dan sinus paranasal.3 Polip nasi merupakan mukosa hidung yang mengalami inflamasi dan menimbulkan prolaps mukosa di dalam rongga hidung. Polip nasi merupakan masalah medis dan masalah sosial karena dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita baik dari segi pendidikan, pekerjaan, aktifitas harian dan kenyamanan. Polip nasi ini dapat dilihat melalui pemeriksaan rinoskopi dengan atau tanpa bantuan endoskop.2 Polip nasi sering ditemukan pada penderita penyakit seperti rhinitis alergi, asma bronkiale, alergi fungal sinusitis, rinosinusitis kronik, aspirin intolerance, alcohol intolerance, young syndrome, dll.2 Polip nasi paling umum ditemukan pada pasien dengan chronic rhinosinusitis (CRS). Untuk alasan ini, istilah chronic rhinosinusitis with nasal polyposis (CRSwNP) sering digunakan ketika membahas topik polip hidung.5



B. Epidemiologi Prevalensi penderita polip nasi belum diketahui pasti karena hanya sedikit laporan dari hasil studi epidemiologi serta tergantung pada pemilihan populasi penelitian dan metode diagnostik yang digunakan. Prevalensi polip nasi dilaporkan 1-2% pada orang dewasa di Eropa dan 4,3% di Finlandia. Dengan perbandingan



2



3



pria dan wanita 2-4:1. Di Amerika Serikat prevalensi polip nasi diperkirakan antara 1-4 %. Pada anak-anak sangat jarang ditemukan dan dilaporkan hanya sekitar 0,1%. Di Indonesia menunjukkan bahwa perbandingan pria dan wanita 2-3:1 dengan prevalensi 0,2%-4,3%. 2 Namun, perempuan lebih sering menderita penyakit yang parah.5 Puncak insiden pada usia 40 sampai 60 tahun.3 Prevalensi polip nasi yang paling banyak ditemukan di meatus media dan sinus ethmoid pada populasi dewasa dan mempengaruhi 1 hingga 4%.1



C. Etiologi Polip hidung diklasifikasikan menjadi tiga kelompok: terlokalisasi, menyebar, dan sistemik. Polip hidung lokal biasanya reaktif baik dari proses inflamasi atau proses neoplastik. Poliposis hidung difus sering terlihat pada pasien dengan CRSwNP. CRSwNP memiliki beberapa etiologi. Di belahan bumi barat, polip hidung sebagian besar merupakan hasil dari eosinofilia berbasis sel T-helper 2 (Th2), peradangan imunoglobulin-E (IgE), dengan peningkatan interleukin-5 (IL5), sering dikaitkan dengan faktor lingkungan dan / atau alergi musiman. Pasien dengan cystic fibrosis cenderung memiliki peradangan yang digerakkan oleh neutrofil dalam polip mereka, dan sering dapat memiliki poliposis hidung yang parah tanpa pemicu alergi yang berbeda, meskipun pemeriksaan klinis bisa sangat mirip. Cystic fibrosis harus berada dalam perbedaan pasien muda (pra-remaja, remaja, dan dewasa muda) dengan poliposis hidung refrakter, terutama pada pasien keturunan Eropa. Diagnosis yang cepat sangat penting, karena ada implikasi sistemik dan genetik / keluarga dari diagnosis cystic fibrosis. Teori tambahan yang diusulkan termasuk proses inflamasi yang digerakkan oleh jamur, serta respons



4



inflamasi besar-besaran yang dipicu oleh eksotoksin dari infeksi Staphylococcus aureus. Akhirnya, poliposis hidung sistemik mengacu pada pasien yang menderita penyakit sistemik dengan manifestasi hidung. Granulomatosis eosinofilik dengan polyangiitis (EGPA), sebelumnya dikenal sebagai sindrom Churg-Strauss, dan cystic fibrosis (CF) termasuk dalam kategori ini.5



D. Faktor Risiko Ada beberapa faktor predisposisi terjadinya polip antara lain alergi terutama rhinitis alergi, sinusitis kronis, iritasi dan sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan hipertrofi konka.6



E. Patofisiologi Beberapa hipotesis telah diajukan untuk menjelaskan patogenesis polip hidung yaitu sebagai berikut:4 1. Polip Hidung dan Alergi Gambaran utama petunjuk alergi sebagai penyebab polip hidung antara lain rinore, bersin, gatal, peningkatan IgE dan histamin dalam cairan polip ekstraseluler, degranulasi sel mast dalam polip yang ditandai dengan eosinofil di jaringan. Alergi memainkan peran dalam patogenesis polip hidung melalui induksi peradangan mukosa hidung dalam jangka waktu yang lama. Istilah alergi digunakan oleh Van Pirquet (1906) untuk mengambarkan reaksi antara host dan antigen atau sering di sebut reaksi hipersensitivitas. Reaksi imun ini terlibat karena adanya kerusakan jaringan yang terutama di perantarai oleh Ig E yang berikatan dengan sel mast.4



5



Reaksi radang menyebabkan pembengkakan mukosa hidung dan dengan bantuan gravitasi mukosa hidung yang bengkak tersebut terjepit. Seiring dengan kerusakan jaringan, gangguan drainase sinus dan gangguan gerakan silia rentan menyebabkan invasi bakteri sehingga muncul sinusitis. Sinusitis disebabkan oleh banyaknya tumpukan cairan dan pembengkakakn mukosa yang pada akhirnya terbentuk polip hidung. Dalam kasus sinusitis kronik dengan polip hidung, faktor yang paling mendukung adalah degranulasi sel mast. Sel mast menghasilkan vasoaktif mediator dan reaksi tipe lambat seperti kemotaktik agen leukotrine B4, C4, D4 dan E4. Kemotaktik agen ini akan merekrut neutrofil, eosinofil dan monosit. Masukny sel- sel ini akan diikuti oleh infiltrasi limfosit. Peristiwa ini terjadi berulang dan terus menerus.4 2. Polip Hidung dan Asma Polip hidung dan asma secara signifikan terkait. Dari epidemiologi sudut pandang kedua kondisi ini sering muncul bersamaan. Sekitar 7% pasien asma memiliki polip hidung,dan diperkirakan bahwa 50% dari pasien polip hidung memiliki asma. Hubungan ini tampaknya tidak terkait dengan faktor alergi. Selain perjalanan penyakit yang panjang antara asma dan polip hidung, histopatologi dan temuan molekuler pada asma dan polip hidung pun serupa. Kesamaan kedua kondisi ini memperkuat konsep dari "unified airway“ artinya, asma dan rinosinusitis kronis mungkin mempunyai manifestasi klinis yang terpisah dari penyakit inflamasi sistemik lainnya.4 3. Polip Hidung dan Jamur Jamur mungkin menjadi salah satu pemicu ekstrinsik untuk penyakit radang



6



sinus. Rongga hidung biasanya terkena infeksi jamur karena terhirup spora jamur melalui jalan nafas dan telah di duga bahwa jamur berfungsi sebagai pemicu ekstrinsik bagi kebanyakan sinusitis kronis, termasuk penyakit polip hidung. Banyak penelitian di lakukan untuk mencari keterkaitan ini, tetapi pemberian amfoterisin B baik oral ataupun topikal tidak memberikan perbaikan yang signfikan pada rinosinusitis dengan polip hidung. Dapat di simpulkan bahwa identifikasi dan pemberantasan jamur dalam rongga hidung bukan merupakan pendekatan yang efektif. Peran jamur dalam memicu peradangan sinus kronis pun kurang jelas.4 4. Aspirin Exacerbated Respiratory Disease (AERD) AERD juga dikenal sebagai penyakit aspirin-triad atau samter triad adalah gangguan rinosinusitis, poliposis hidung dan asma yang diperburuk karena pemberian aspirin. Urtikaria, angioedema dan anafilaksis merupakan manifestasi klinis tambahan pada beberapa individu. Individu yang terkena biasanya dapat mengalami satu atau lebih gejala setelah menelan aspirin atau non steroid anti inflamasi drug (NSAID) lainnya. Berbagai gejala lain mungkin muncul dalam waktu satu jam setelah mengkonsumsi NSAID. Prevalensi AERD tergantung pada populasi yang diteliti. Diperkirakan bahwa 1% sampai 4% dari populasi mungkin memiliki AERD. Di antara penderita asma yang menggunakan NSAID prevalensi meningkat menjadi 10% -20% dan pada penderita asma dengan rinosinusitis kronik dengan polip hidung prevalensi mencapai 30% sampai 40%. Sekitar 20% dari semua pasien dengan rinosinusitis kronis dengan polip hidung memiliki kepekaan terhadap aspirin. AERD kebanyakan di derita oleh wanita usia 30 – 40 tahun. AERD tidak terkait dengan faktor genetik. Mekanisme patogenetik sensitivitas



7



aspirin tidak sepenuhnya dipahami. Mekanisme ini menyebabkan kelebihan produksi leukotrien cysteinyl proinfalamasi dan prostaglandin D2 dan menekan faktor anti inflamasi prostaglandin E2 karena ikutnya arachidonat dalam jalur siklooksigenase dan lipoxygenase.4 5. Cystic Fibrosis (CF) Cystic Fibrosis adalah penyakit resesif autosomal yang disebabkan oleh mutasi gen pada kromosom 7q31 CFfR. Molekul cacat mengarah ke saluran klorida yang rusak dan meningkat lendir viskositas di saluran pernapasan, dan hiperviskositas lendir ini menyebabkan disfungsi parah dari mucosiliar dalam rongga sinonasal yang kemudian menyebabkan peradangan, penyumbatan sinus, serta pembentukan polip. Biasa disebabkan oleh Pseudomonas dan Staphylococus Aureus. Sampai dengan 5% dari populasi Kaukasia membawa gen ini, dan satu dari 20.000 bayi dapat terkena penyakit ini. Bedah di CF rinosinusitis kronis diindikasikan untuk refraktori medispoliposis dengan sumbatan hidung, eksaserbasi paru terkait dengan sinusitis, untuk meningkatkan kesehatan sinus mengantisipasi transplantasi, dan untuk mucoceles. Rinosinusitis juga sering menyebabkan perubahan anatomi seperti perpindahan medial dinding nasal lateral, demineralisasi dari unsinatus, hipoplasi sinus frontal dan sphenoid dan pembentukan mucocele. Sinusitis kronis dengan faktor pencetus CF sering kambuh.4 6. Vasomotor Imbalance Teori ini menyiratkan bahwa faktor atopik dan alergen yang jelas tidak di temukan pada pasien polip hidung. Gangguan pembuluh darah dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah dapat menyebabkan polip. Fenomena Bernoulli



8



menyatakan bahwa udara yang mengalir melalui tempat yang sempit akan menyebabkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya. Jaringan yang lemah akan terhisap oleh tekanan negatif ini sehingga mengakibatkan edema mukosa dan menyebabkan polip.4



F. Klasifikasi Tingkat keparahan penyakit polip hidung dapat di dibagi dalam beberapa stadium yang berbeda. Pemeriksaan naso-endoskopi merupakan alat yang paling bermanfaat untuk menilai tingkat keparahan dari inflamasi polip di hidung dan sinus paranasal. Salah satu metode pembagian stadium polip ini adalah berdasarkan Mackay dan Lund pada tahun 1997, stadium ini dibuat untuk kepentingan penelitian agar hasil pemeriksaan dan pengobatan dapat di laporkan dengan standar yang sama. Mackay dan Lund membagi stadium polip sebagai berikut: 4 Stadium 0 : Tidak ada polip Stadium 1 : Polip masih terbatas di meatus medius Stadium 2 : Polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di rongga hidung tetapi belum memenuhi rongga hidung Stadium 3 : Polip yang masif Berdasarkan temuan histologis Hellquist HB mengklasifikasikan polip menjadi 4 tipe yaitu : a) Eosinofilik oedematous type (stroma edematosa dengan eosinofil yang melimpah) b) Chronic inflamatory type / fibrotik type c) Seromucinous gland type (tipe I + hiperplasia kelenjar seromucous) d) Atypical stromal type



9



B. Berdasarkan histopatologi umum polip hidung dibagi menjadi :4 a) Eosinofil dominated inflammation b) Neutrofil dominated inflammation C. Stammberger H mengklasifikasikan polip hidung (berdasarkan alasan praktis): Berdasarkan endoskopi dan klinis, respon terhadap terapi yang berbeda, serta hubungan dengan penyakit lain dan penampilan mikroskopik, polip hidung dibagi menjadi:4 a) Polip Antrochoanal b) Polip besar yang terisolasi c) Polip yang berhubungan dengan rinosinusitis kronis (CRS) (non eosinofil dominated) d) Polip yang berhubungan dengan CRS (eosinofil dominated) e) Polip yang berhubungan dengan penyakit tertentu (cystic fibrosis, noninvasif/nonallergic, sinusitis jamur, keganasan).



Gambar 2.1 Stadium polip nasi. 4



G. Manifestasi Klinis Keluhan polip hidung yang paling sering yaitu hidung tersumbat dari yang ringan sampai yang berat, hidung berair mulai yang jernih sampai purulen, hiposmia atau anosmia. Mungkin disertai bersin-bersin, rasa nyeri pada hidung



10



disertai sakit kepala di daerah frontal. Bila disertai infeksi sekunder mungkin didapati post nasal drip dan rinore purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul ialah bernafas melalui mulut, suara sengau, bau mulut, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup. Gejala pada saluran napas bawah, berupa batuk kronik dan mengi, terutama pada penderita polip hidung dengan asma.6



H. Diagnosis Diagnosa dari polip hidung ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksan naso-endoskopi, pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan histopatologi. A. Anamnesis Pasien polip nasi sering datang dengan keluhan hidung tersumbat, hiposmia sampai anosmia, rinorea, epistaksis, post nasal drip, sakit kepala dan mendengkur. Keluhan hidung tersumbat dapat bervariasi, bersifat sensasi yang subjektif dari kongesti, seperti tekanan mekanis akibat polip di dalam sinus, sampai obstruksi total dari aliran udara di hidung akibat polip yang membesar dan memenuhi rongga hidung.3 Pasien harus ditanya tentang sensitivitas terhadap aspirin atau obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) dan adanya asma (triad Samter). Unilateralitas gejala, riwayat epistaksis, riwayat otitis media kronis, bronkitis berulang, dan / atau pneumonia harus diperhatikan untuk kemungkinan etiologi lainnya.5 Sampai saat ini para pakar belum mendapatkan jawaban secara pasti apa yang mendasari munculnya benjolan putih keabu-abuan bertangkai itu. Namun dari



11



studi dan pengamatan medis, baru ditemukan ada sejumlah faktor yang memudahkan pemunculan benjolan itu. Antara lain radang kronis yang berulang pada mukosa hidung dan sinus paranasal, gangguan keseimbangan vasomotor, peningkatan cairan interstitial serta edema (pembengkakan) mukosa hidung. Faktor risiko polip nasi yang paling tinggi adalah sinusitis.2 B. Pemeriksaan Fisik Polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior terlihat sebagai massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakkan.4 C. Pemeriksaan Naso-endoskopi Adanya fasilitas endoskopi akan sangat membantu diagnosis kasus polip yang baru. Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan nasoendoskopi. Pada kasus polip koanal juga sering dapat dilihat polip yang berasal dari ostium asesorius sinus maksila.4 Sistem penderajatan polip hidung secara endoskopik menurut Mackay dan Lund (1997) dapat ditentukan sebagai berikut, yaitu Grade 0: tidak dijumpai adanya polip Grade 1: polip masih terbatas di meatus medius Grade 2: polip sudah keluar dari meatus media, bisa mencapai konka inferior atau dinding medial konka media tapi belum memenuhi rongga hidung Grade 3: polip yang masif/total, memenuhi kavum nasi



12



D. Pemeriksaan Radiologis Foto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Caldwell dan lateral) dapat memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara-cairan di dalam sinus, tetapi kurang bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan tomografi computer (TK, CT scan) sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks ostiomeatal. TK terutama diindikasikan pada kasus polip yang gagal diobati dengan terapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi. 4 CT scan sinus paranasal dilakukan secara rutin pada semua pasien dan stadium rinosinusitis dilakukan sesuai dengan sistem skor Lund-Mackay : Skor 0 : tidak ada opasifikasi Skor 1 : opasifikasi parsial Skor 2 : opasifikasi total untuk setiap sinus Kompleks osteomeatal bernilai 0 untuk tanpa obstruksi atau 2 ketika ada obstruksi. Skor total sistem adalah 24 untuk kedua sisi. E. Pemeriksaan histopatologi Histopatologi polip hidung terutama tergantung pada klasifikasi endotipe. Polip pada pasien dengan CRSwNP cenderung memiliki jaringan eosinofilia yang lebih tinggi, sel plasma, makrofag, edema, IL-5, dan IgE. Sebaliknya, pasien rawat inap tanpa polip hidung, spesimen yang dikumpulkan tidak memiliki penanda inflamasi Th2 yang banyak ini. Pada kelompok pasien yang sama, mereka yang menderita sensitivitas aspirin (AERD) juga memiliki sejumlah besar eosinofil dan sel mast. 5



13



Studi lain mengkonfirmasi peningkatan eosinofilia jaringan pada pasien dengan CRSwNP dan pasien dengan AERD; Namun, tidak ada hubungan yang signifikan secara statistik antara asma dan eosinofilia jaringan mereka. Kristal Charcot-Leyden dapat ditemukan pada spesimen polip hidung. Para penulis menggambarkan bahwa kehadiran kristal ini biasanya berkorelasi dengan temuan endoskopi yang lebih buruk.5 I. Tatalaksana Tujuan pengobatan untuk polip hidung adalah untuk mengurangi ukuran polip atau menghilangkannya. Obat-obatan biasanya merupakan pendekatan pertama. Pembedahan kadang-kadang mungkin diperlukan, tetapi mungkin tidak memberikan solusi permanen karena polip cenderung kambuh.7 Pengobatan polip hidung biasanya dimulai dengan obat-obatan, yang dapat membuat polip besar menyusut atau menghilang. Perawatan obat mungkin termasuk:7 1. Kortikosteroid nasal. Semprotan hidung kortikosteroid untuk mengurangi pembengkakan dan iritasi. Perawatan ini dapat mengecilkan polip atau menghilangkannya sepenuhnya. Kortikosteroid hidung termasuk fluticasone (Flonase Allergy Relief, Flovent HFA, Xhance), budesonide (Rhinocort), mometasone (Nasonex, Asmanex HFA), triamcinolone (Nasacort Allergy 24HR), beclomethasone (Beconase AQ, Qvar Redihaler, Qnasl) dan ciclesonide (Omnaris, Alvesco, Zetonna).7 2. Kortikosteroid oral dan injeksi. Jika kortikosteroid hidung tidak efektif, mungkin diresepkan kortikosteroid oral, seperti prednison, baik sendiri atau dalam kombinasi dengan semprotan



14



hidung. Karena kortikosteroid oral dapat menyebabkan efek samping yang serius, biasanya diminum hanya untuk jangka waktu terbatas. Kortikosteroid suntik dapat digunakan jika polip hidung parah.7 3. Obat untuk mengobati polip hidung dan sinusitis kronis. Jika memiliki polip hidung dan sinusitis kronis, dokter Anda mungkin memberi Anda suntikan obat yang disebut dupilumab (Dupixent) untuk mengobati kondisi Anda. Obat ini dapat mengurangi ukuran polip hidung dan mengurangi kemacetan.7 4. Obat lainnya. Dokter mungkin meresepkan obat untuk mengobati kondisi yang berkontribusi terhadap pembengkakan jangka panjang di sinus atau saluran hidung. Ini mungkin termasuk antihistamin untuk mengobati alergi dan antibiotik untuk mengobati infeksi kronis atau berulang.7 Desensitisasi aspirin, di bawah perawatan spesialis alergi dengan pengalaman dalam desensitisasi, dapat bermanfaat bagi beberapa pasien dengan polip hidung dan sensitivitas aspirin. Perawatan melibatkan peningkatan secara bertahap jumlah aspirin yang Anda ambil saat berada di bawah perawatan dokter di rumah sakit atau klinik untuk membantu tubuh Anda mentolerir minum aspirin jangka panjang.7 Pembedahan Ketika CRSwNP memungkin untuk perawatan medis yang memadai, Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) direncanakan; Namun, masih ada beberapa perdebatan di antara otolaryngologists tentang kapan operasi harus dilaksanakan. Steroid intranasal topikal membentuk bagian penting dari pengobatan



15



CRSwNP pasca operasi. Pembedahan menghilangkan obstruksi anatomi dan mengembalikan drainase mukosa yang lebih normal, tetapi etiologi alergi yang mendasarinya harus ditangani. Steroid hidung topikal +/- antihistamin topikal adalah andalan, bersama dengan pengujian alergi formal dan imunoterapi yang ditargetkan jika tersedia.5 Indikasi absolut tindakan FESS adalah rinosinusitis dengan komplikasi, mukosil yang luas, rinosinusitis jamur alergi atau invasif dan kecurigaan neoplasma. Indikasi relatif tindakan ini meliputi polip nasi simptomatik dan rinosinusitis kronis atau rekuren simptomatik yang tidak respon dengan terapi medikamentosa. Sekitar 75-95% kasus rinosinusitis kronis telah dilakukan tindakan FESS. Prinsip tindakan FESS adalah membuang jaringan yang menghambat KOM dan memfasilitasi drainase dengan tetap mempertahankan struktur anatomi normal.8 Dalam operasi endoskopi, ahli bedah memasukkan tabung kecil dengan lensa pembesar terang atau kamera kecil (endoskopi) ke lubang hidung dan membimbingnya ke rongga sinus. Dia menggunakan instrumen kecil untuk menghilangkan polip dan zat lain yang menghalangi aliran cairan dari sinus.7 Dokter bedah juga dapat memperbesar bukaan yang mengarah dari sinus Anda ke saluran hidung. Operasi endoskopi biasanya dilakukan sebagai prosedur rawat jalan.7 Setelah operasi, Anda mungkin akan menggunakan semprotan hidung kortikosteroid untuk membantu mencegah kekambuhan polip hidung. Dokter



16



mungkin juga merekomendasikan penggunaan bilasan air asin (saline) untuk meningkatkan penyembuhan setelah operasi.7



Gambar 2.2 Alur Tatalaksana Polip Nasi.4



BAB III DATA PASIEN



I.



DATA PRIBADI •



Nama



: Ny. P







Jenis Kelamin



: Perempuan







Umur



: 47 tahun







Bangsa



: Indonesia







Suku



: Banjar







Agama



: Islam







Pekerjaan



: Swasta







Status



: Telah Menikah







Alamat



: Pulau Sewangi







Tanggal pemeriksaan



: Rabu, 22 Desember 2021



II. ANAMNESIS Sumber: Anamnesis dengan pasien Keluhan Utama: Nyeri pada pipi kiridan dahi kiri sejak 2 tahun yang lalu Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien datang ke Poli THT-KL RS Ansari Saleh Banjarmasin dengan keluhan utama nyeri pada pipi kiri dan dahi kiri sejak 2 tahun yang lalu. Keluhan muncul mendadak dan dirasakan hilang timbul. Keluhan dapat muncul kapan saja terutama saat cuaca dingin. Nyeri dirasakan seperti ditekan. Nyeri dirasakan pada dahi kiri, pipi kiri dan hidung kiri. Keluhan yang dialami menyebabkan aktivitas



17



18



sehari-hari pasien menjadi terganggu karena merasa tidak nyaman. Pasien juga mengeluhkan adanya hidung tersumbat di sebelah kiri. Keluhan muncul perlahan dan dirasakan terus menerus. Keluhan disertai dengan adanya penurunan penciuman pada hidungnya. Pasien juga mengeluhkan adanya keluar cairan dari hidung. Cairan yang keluar banyak, kental, berwarna kekuningan, berbau dan tidak disertai darah. Keluhan batuk, demam, sesak napas disangkal. Tidak ada keluhan telinga terasa penuh, telinga gatal, maupun penurunan pendengaran. Pasien tidak ada mengeluhkan sakit tenggorok. Keluhan sakit kepala, pusing, mual, muntah, dan trauma disangkal. Riwayat alergi obat juga disangkal pasien. Riwayat Penyakit Dahulu: Pasien tidak pernah mengeluhkan adanya keluhan serupa sebelumnya. Riwayat Penyakit Keluarga: Pasien mengaku di keluarganya tidak ada yang memiliki riwayat keluhan utama serupa dengan pasien. Penyakit diabetes, hipertensi, alergi, asma, dan penyakit infeksi lainnya disangkal. Riwayat Pengobatan : Pasien mengaku sebelumnya tidak pernah mencoba pengobatan untuk mengurangi keluhannya. Riwayat Kebiasaan: Pasien tidak merokok serta tidak ada riwayat terpapar asap kendaraan dalam jangka waktu lama.



19



III. PEMERIKSAN FISIK STATUS GENERALIS KU



: Tampak sakit ringan



Nadi



: 85 x/menit



Kesadaran



: Compos mentis



Laju Napas



: 18 x/menit



GCS



: E4V5M6



Suhu



: 36,8oC



Tensi



: 110/70 mmHg



SpO2



: 99% room air



STATUS LOKALIS Telinga Inspeksi : Kelainan kongenital (-/-), massa (-/-), fistula (-/-) Palpasi



: Nyeri tekan preaurikular (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-), nyeri tekan



tragus (-/-), nyeri tarik aurikular (-/-), massa(-/-) MAE



: Sempit (-/-), hiperemi (-/-), edema (-/-), sekret (-/-), serumen (minimal/minimal), furunkel (-/-), hifa (-/-)



MT



: Intak (+/+), refleks cahaya (+/+), perforasi (-/-), hiperemis (-/-)



Tes Pendengaran : Tes Rinne



: +/+



Tes Weber



: tidak ada lateralisasi



Tes Schwabach



: normal / normal



Kesimpulan



: normal / normal



Hidung Inspeksi : Bentuk normal, deformitas (-), hiperemis (-), massa (-) Palpasi



: Nyeri tekan (-/+), krepitasi (-)



Sinus



: Nyeri tekan sinus frontalis (-/+), nyeri tekan sinus maksilaris(-/+), nyeri tekan sinus ethmoidalis (-/-)



20



Rhinoskopi Anterior: Vestibulum



: Lapang (+/+), edema (-/-), hiperemis (-/-), massa (-/-)



Kavum Nasi



: Lapang (+/-), hiperemis (-/+), sekret (-/+), edema konka (-/+),massa (-/+), permukaan licin (+/+)



Rhinoskopi Posterior



: tidak dilakukan



Transluminasi



: tidak dilakukan



Tenggorok Rongga Mulut Bibir



: Simetris, mukosa lembab, hiperemi (-), ulkus (-)



Gingiva



: Hiperemi (-), ulkus (-), massa (-), perdarahan (-)



Gigi Geligi : Berlubang (-), karies (-), gigi lengkap Lidah



: Deviasi (-), massa (-), ulkus (-), pseudomembran (-)



Palatum : Massa (-), ulkus (-), bulging (-) Uvula



: Deviasi (-), pseudomembran (-), ulkus (-), hiperemi (-)



Orofaring : Hiperemis (-), post nasal drip (-), udem (-), massa (-), refleks muntah (+) Tonsil



: Ukuran Warna



: T1/T1 : normal/normal



Permukaan : rata/rata Kripte



: tidak melebar/tidak melebar



Detritus : -/Leher Inspeksi : Pembesaran KGB (-), massa (-), hiperemi (-)



21



Palpasi



: Nyeri tekan (-), pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)



Laringoskopi Indirek : Tidak dilakukan IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pada naso-endoskopi tampak massa tunggal, bening, licin dan mengkilap di cavum nasi sinistra V. DIAGNOSIS Rinosisnusitis Kronis Sinistra dengan Polip Nasi Sinistra VI. TATA LAKSANA Pemeriksaan Penunjang - CT Scan Sinus Paranasal tanpa kontras Non Medikamentosa - Cuci hidung dengan NaCl - Edukasi untuk tidak terpapar iritan seperti asap rokok dan debu Medikamentosa -



Kortikosteroid : Fluticasone propionate 50 mcg 1x1 spray Anti histamin : Loratadin 1 x 10 mg Analgesik oral : Parasetamol 3x500 mg Pro FESS



BAB IV PEMBAHASAN



Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan, maka ditegakkan diagnosis kerja Rinosinusitis Kronis Sinistra dengan Polip Nasi Sinistra. Pada anamnesis didapatkan bahwa pasien perempuan dan berusia 47 tahun. Berdasarkan teori, kasus polip nasi lebih sering ditemukan pada pria dengan perbandingan pria dan wanita 2-3:1 dengan prevalensi 0,2%-4,3%.2 Dengan puncak insiden pada usia 40 sampai 60 tahun.3 Pada anamnesis didapatkan keluhan utama berupa nyeri pada hidung kiri sejak 2 tahun yang lalu. Nyeri dirasakan pada hidung kiri, pipi kiri dan dahi kiri. Pasien juga mengeluhkan adanya hidung tersumbat di sebelah kiri. Pasien juga mengeluhkan adanya keluar cairan dari hidung. Cairan yang keluar banyak, kental, berwarna kekuningan, berbau serta penurunan penciuman hidung. Hal ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa Polip nasi harus dicurigai pada pasien dengan obstruksi hidung progresif, kongesti hidung dan/atau wajah, rinore, dan penurunan indra penciuman (gejala kardinal CRS).5 Rinosinusitis kronis (CRS) telah didefinisikan sebagai peradangan sinus paranasal yang berlangsung setidaknya 12 minggu dengan dua atau lebih "gejala kardinal" yang sesuai yang meliputi: 1) obstruksi hidung, 2) cairan mukopurulen, 3) nyeri wajah / tekan, dan 4) berkurang atau hilangnya indra penciuman.9 Keluhan utama penderita polip nasi adalah hidung rasa tersumbat dari



22



23



ringan hingga berat, rinore yang jernih hingga purulen, hipoosmia atau anosmia. Dapat juga disertai bersin-bersin, rasa nyeri di hidung disertai sakit kepala didaerah frontal. Bila disertai infeksi sekunder mungkin didapati post nasal drip dan rinore purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul adalah bernapas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup. Selain itu dapat juga menyebabkan gejala pada saluran napas bawah, berupa batuk kronik dan mengi, terutama pada penderita polip nasi dengan asma.6 Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya cavum nasi sinistra yang sempit, edem, hiperemi dan ditemukan adanya massa tunggal, berwarna bening, permukaan licin dan mengkilap. Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa jika polip hidung ada, pemeriksaan endoskopi akan menunjukkan massa unilateral atau bilateral, mobile, licin, abu-abu, dan semi-translucent yang berasal dari meatus medius atau reses sphenoethmoid.5 Pada



kasus



ini



dilakukan



pemeriksaan



nasoendoskopi..



Fasilitas



nasoendoskopi akan sangat membantu diagnosis kasus polip yang baru. Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan nasoendoskopi.6 Mackay dan Lund membagi stadium polip sebagai berikut: 4 Stadium 0 : Tidak ada polip Stadium 1 : Polip masih terbatas di meatus medius Stadium 2 : Polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di rongga hidung tetapi belum memenuhi rongga hidung Stadium 3 : Polip yang masif Pada naso-endoskopi tampak massa tunggal, bening, licin dan mengkilap di



24



cavum nasi sinistra. Polip dalam kasus ini sudah melewati meatus medius namun tidak memenuhi rongga hidung. Sehingga, polip tersebut dikategorikan sebagai polip cavum nasi sinistra stadium 2. Pada kasus ini, pasien dilakukan cuci hidung dengan NaCl 0,9%, pemberian terapi Fluticasone propionate 50 mcg 1x1 spray, Loratadin 1 x 10 mg dan Parasetamol 3x500 mg. Untuk pasien dengan rinosinusitis kronis dengan polip nasi, terapi awal dengan kortikosteroid intranasal dan irigasi nasal saline selama sekitar 2-3 bulan harus dicoba. Irigasi saline hidung tidak mahal dan meningkatkan



pembersihan



antigen,



biofilm,



dan



mediator



inflamasi.



Kortikosteroid intranasal memperbaiki hidung tersumbat dan mengurangi ukuran polip.5 Pengobatan lini pertama pada kasus polip nasi adalah steroid oral dan topikal. Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga polipektomi medikamentosa. Untuk polip stadium 1 dan 2, sebaiknya kortikosteroid intranasal dan/atau oral selama 4-6 minggu. Bila reaksinya baik, pengobatan ini diteruskan sampai polip atau gejalanya hilang.6 Semprotan hidung kortikosteroid untuk mengurangi pembengkakan dan iritasi. Perawatan ini dapat mengecilkan polip atau menghilangkannya sepenuhnya. Kortikosteroid hidung termasuk fluticasone (Flonase Allergy Relief, Flovent HFA, Xhance), budesonide (Rhinocort), mometasone (Nasonex, Asmanex HFA), triamcinolone (Nasacort Allergy 24HR), beclomethasone (Beconase AQ, Qvar Redihaler, Qnasl) dan ciclesonide (Omnaris, Alvesco, Zetonna).7 Pemberian antihistamin dalam kasus ini adalah Loratadin 1x10mg.



25



Antihistamin tidak rutin diberikan namun dapat bermanfaat pada sinusitis akut dengan gejala ringan (mengurangi keluhan bersin dan pengeluaran sekret hidung) atau yang diduga berhubungan dengan rhinitis alergi.10 Pada kasus ini diberikan analgetik oral berupa paracetamol 3x500 mg. Analgetik non-narkotik seperti paracetamol atau ibuprofen dapat digunakan pada pasien dengan sinusitis untuk meringankan keluhan demam dan nyeri.10 Pada kasus ini direncanakan untuk operasi FESS. Ketika CRSwNP memungkin untuk perawatan medis yang memadai, FESS direncanakan. Pembedahan menghilangkan obstruksi anatomi dan mengembalikan drainase mukosa yang lebih normal, tetapi etiologi alergi yang mendasarinya harus ditangani.5 Indikasi absolut tindakan FESS adalah rinosinusitis dengan komplikasi, mukosil yang luas, rinosinusitis jamur alergi atau invasif dan kecurigaan neoplasma. Indikasi relatif tindakan ini meliputi polip nasi simptomatik dan rinosinusitis kronis atau rekuren simptomatik yang tidak respon dengan terapi medikamentosa.8 Dalam operasi endoskopi, ahli bedah memasukkan tabung kecil dengan lensa pembesar terang atau kamera kecil (endoskopi) ke lubang hidung dan membimbingnya ke rongga sinus. Dia menggunakan instrumen kecil untuk menghilangkan polip dan zat lain yang menghalangi aliran cairan dari sinus.7



BAB V PENUTUP Telah diperiksa pasien atas nama Ny. P, jenis kelamin perempuan dan usia 47 tahun yang datang dengan keluhan pipi kiri dan dahi kiri sejak 2 tahun yang lalu. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang di atas diagnosis kerja pasien ini adalah Rinosinusitis Kronis Sinistra dengan Polip Nasi Sinistra. Pasien diberikan tatalaksana berupa cuci hidung dengan NaCl, kortikosteroid, antihistamin, dan analgetik. Pasien direncanakan untuk operasi FESS. Pasien juga diberikan edukasi untuk mencuci hidung, untuk tidak terpapar iritan seperti asap rokok dan debu. Prognosis pasien dalam kasus ini adalah ad bonam.



26



DAFTAR PUSTAKA 1.



Renny Swasti Wijayanti, Andriana Tjitria Widi Wardani DF. Polip septochoana esosinofilik: studi kasus. J Litbang Edusaintech. 2021;2(2):59– 62.



2.



Surya IM, Wirananda V, Asthuta AR, Andi K, Saputra D. Karakteristik penderita polip hidung di poliklinik THT-KL RSUP Sanglah Denpasar tahun 2018. 2019;10(3):781–4.



3.



Agustin Sutrawati NMD, Ratnawati LM. Karakteristik penderita polip nasi di Poli THT-KL RSUP Sanglah Denpasar periode Januari 2014 - Desember 2015. Medicina (B Aires). 2019;50(1):138–42.



4.



Devi S. Analisis Karakteristik Demografi Dan Tipe Histopatologi Pada Pasien Polip Hidung Di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2016 - 2018. 2020;1–81.



5.



Del Toro E, Portela J. Nasal Polyps. [Updated 2021 Aug 6]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-.



6.



Amaliyah Taufiq Fadhila. Polip nasi rekuren bilateral stadium 2 pada wanita dengan riwayat polipektomi dan rhinitis alergi persisten. Medula. 2018;1(5):51–7.



7.



Mayo Clinic. Nasal polyps. 2021 [accessed 2021 December 27]. Available from: https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/nasalpolyps/diagnosis-treatment/drc-20351894



8.



Budiman BJ, Rosalinda R. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional Revisi Pada Rinosinusitis Kronis. 2011;1–9.



9.



Deconde AS, Mace JC, Smith TL. Investigation of change in cardinal symptoms of chronic rhinosinusitis after surgical or ongoing medical management. Int Forum Allergy Rhinol. 2015 Jan; 5(1): 36–45.Published online 2014 Sep 18.



10.



Rosenfeld RM, Piccrillo JF, Chandrasekhar SS, et al. Clinical Practice Guideline (Update): Adult Sinusitis. Otolaryngology-Head and Neck Surgery, 2015.



27