Laporan Pendahuluan Fraktur Maksila [PDF]

  • Author / Uploaded
  • Rani
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN “FRAKTUR MAKSILOFASIA” DI RUANG 21 RSSA MALANG



Oleh : Vivi Faridah (14901.06.19048)



PROGRAM STUDI PROFESI NERS KEPERAWATAN STIKES HAFSHAWATY PESANTREN ZAINUL HASAN PROBOLINGGO 2019



LAPORAN PENDAHULUAN



A. ANATOMI DAN FISIOLOGI



Anatomi kepala bersifat kompleks, baik dari sifat fisik kulit, tulang, dan otak sangat berbeda. Komponen skeletal wajah tersusun supaya apabila terjadi retak akibat trauma jarang mengganggu jaringan didalamnya. Tingkat keparahan dan pola fraktur tergantung pada besarnya kekuatan trauma, durasi trauma, percepatan yang diberikan ke bagian tubuh yang terkena, dan laju perubahan percepatan serta luas permukaan impaksi (Aktop dkk, 2013). Regio Maksilofasial dibagi menjadi 3 bagian, bagian pertama merupakan wajah bagian atas (upper face), dimana fraktur dapat terjadi meliputi tulang frontal dan sinus frontalis. Bagian kedua merupakan wajah tengah (midface), dibagi menjadi bagian atas dan bawah. Bagian atas midface dimana terjadi fraktur Le Fort II dan Le Fort III dan atau fraktur tulang hidung, nasoethmoidal atau kompleks zygomaticomaxillary, dan dasar



orbita. Fraktur Le Fort I merupakan fraktur midface bagian bawah. Sedangkan bagian ketiga dari regio Maksilofasial adalah wajah bagian bawah, yaitu fraktur yang terjadi pada mandibula. Panfacial fracture merupakan fraktur yang melibatkan ketiga regio maksilofasial tersebut. Tujuan pada perawatan pada trauma wajah yang parah adalah rekonstruksi 3D dengan proyeksi wajah sebelum terjadinya trauma serta restorasi bentuk dan fungsi. Susunan anatomi tulang-tulang maksilofasial dapat lebih jelas dilihat pada gambar 1 (Rasul dkk, 2016; Moore dkk, 2014).



B. DEFINISI Fraktur adalah hilangnya atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh. Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yaitu tulang nasoorbitoethmoid, temporal, zygomatikomaksila, nasal, maksila, dan juga mandibula (Muchlis, 2011) Fraktur adalah hilangnya atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh. Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yaitu tulang nasoorbitoetmoid, tulang zigomatikomaksila, tulang nasal, tulang maksila, dan juga tulang mandibula (Japardi, 2014). Fraktur tulang wajah memerlukan sejumlah besar kekuatan. Dokter harus memperhitungkan mekanisme cedera serta temuan pemeriksaan fisik ketika menilai pasien. Kekuatan yang diperlukan untuk menghasilkan fraktur tulang wajah adalah sebagai berikut: a. fraktur hidung - 30 g b. fraktur zygoma - 50 g c. mandibula (angle) fraktur - 70 g d. fraktur wilayah Frontal - 80 g e. rahang atas (garis tengah) patah tulang - 100 g 10 f. mandibula (garis tengah) patah tulang - 100 g g. fraktur rima supraorbital - 200 g



C. ETIOLOGI Dalam empat dekade terakhir, kejadian fraktur maksilofasial terus meningkat disebabkan terutama akibat peningkatan kecelakaan lalu lintas dan kekerasan. Hubungan alkohol, obat-obatan, mengemudi mobil, dan peningkatan kekerasan merupakan penyebab utama terjadinya fraktur maksilofasial (Ykeda, 2012).



Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab tertinggi dari fraktur maksilofasial. Di India, 97,1% fraktur maksilofasial disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas dengan penyebab lain yaitu terjatuh dari ketinggian, kekerasan, dan akibat senjata api (Singh, 2012). Penelitian lain di India menunjukkan bahwa 74,3% fraktur maksilofasial disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas (Guruprasad, 2011) Fraktur maxilla dapat disebabkan oleh trauma atau karena proses patologis a. Traumatic Fracture Fraktur yang disebabkan oleh pukulan saat : 1) Perkelahian 2) Kecelakaan 3) Tembakan b. Pathologic Fracture Fraktur yang disebabkan oleh keadaan patologis dimana tulang dalam keadaan sakit, tulang tipis atau lemah, sehingga bila ada trauma ringan seperti berbicara, makan dan mengunyah dapat terjadi fraktur. Terjadi karena : 1) Penyakit tulang setempat a) Kista b) Tumor tulang jinak atau ganas c) Keadaan dimana resorpsi tulang sangat besar sekali sehingga dengan atau tanpa trauma dapat terjadi fraktur, misalnya pada osteomielitis 2) Penyakit umum yang mengenai tulang sehingga tulang mudah patah a) Osteomalasia b) Osteoporosis c) Atrofi tulang secar umum



D. PATOFISIOLOGI Fraktur terjadi ketika tenaga yang diterapkan melebihi kemampuan stress tulang, mengarah ke gangguan mineral matriks dan gangguan jaringan lunak yang terkait. Fraktur bisa bersifat sederhana/ simpel, melibatkan gangguan tunggal antara dua segmen tulang, atau bersifat comminuted, yang berarti terdiri dari beberapa fragmen tulang. Pergeseran mengacu pada perubahan dalam hubungan anatomi segmen tulang. Perubahan ini dapat terjadi sebagai akibat dari energi dari pukulan itu sendiri atau karena tarikan otot yang dilawan. Angulation adalah perubahan sudut sumbu panjang tulang di



fraktur. Distraksi mengacu pada jarak antara segmen tulang di patah tulang, dan rotasi adalah perubahan orientasi segmen tulang sepanjang sumbu panjang mereka. Fraktur dianggap menguntungkan jika orientasi vektor tarik otot bertindak untuk kompresi fraktur. Fraktur yang tidak menguntungkan yaitu salah orientasi sehingga vektor tarik otot bertindak untuk menjauhkan fragmen (Kellman Dkk, 2011). Fraktur terbuka berarti ada paparan antara tulang yang patah dengan lingkungan luar jaringan lunak, yang mengarah ke kontaminasi bakteri. Hal ini sedikit membingungkan pada wajah karena disana terdapat rongga mulut, hidung, dan sinus. Patah tulang yang melibatkan laserasi kulit wajah atau mukosa oral disebut patah tulang terbuka. Biasanya, fraktur yang melibatkan bantalan tulang gigi bahkan tanpa laserasi mukosa dianggap terbuka karena dari paparan flora mulut melalui jaringan periodontal. Fraktur pada rongga hidung yang melibatkan laserasi mukosa hidung juga terkena flora hidung. Fraktur pada sinus yang terinfeksi mungkin awalnya tidak melibatkan kontaminasi bakteri. Namun, sinus yang terisi darah kemungkinan menjadi koloni cukup cepat. Beberapa fraktur wajah tidak akan dianggap terbuka antara lain fraktur ramus mandibula terisolasi atau patah tulang subcondylar dan patah tulang arkus zygomatic (Kellman Dkk, 2011). Jumlah energi yang terkait dengan cedera cenderung mempengaruhi karakteristik cedera. Dampak energi rendah seperti pukulan tinju cenderung menyebabkan patah tulang kurang kominutif dan kurang bergeser. Dampak energy tinggi lebih biasanya terkait dengan cedera jaringan lunak yang lebih luas. Sebuah benda keras menerpa wajah lebih cenderung menyebabkan kominusi dibanding dari pukulan benda tajam dengan energi yang sama karena energi pukulan ditransfer ke jaringan yang lebih cepat. Trauma penetrasi seperti peluru berenergi rendah menciptakan cedera lebih rendah dibanding peluru energi tinggi. Namun, desain peluru juga menjadi pertimbangan. Sebuah peluru energi tinggi dengan permukaan yang keras dapat keluar tubuh cukup cepat, tidak menghamburkan semua energi ke dalam tubuh. Sebuah peluru energi yang lebih rendah yang dirancang untuk memperluas sebagian besar energi sebelum keluar tubuh dapat lebih merusak. Namun, jumlah energi gelombang kejut dari dampak peluru menentukan tingkat kerusakan jaringan sekitar (Kellman Dkk, 2011).



E. KLASIFIKASI 1. Fraktur Nasoorbitoetmoid (NOE) Anatomi kompleks yang berliku-liku mengakibatkan fraktur NOE merupakan fraktur yang paling sulit untuk direkonstruksi. Kompleks NOE terdiri dari sinus frontalis, sinus ethmoid, anterior cranial fossa, orbita, tulang temporal, dan tulang nasal (Tollefson, 2013). Medial canthal tendon (MCT) berpisah sebelum masuk ke dalam frontal process dari maksila. Kedua tungkai dari tendon ini mengelilingi fossa lakrimal. Komponen utama dari NOE ini dikelilingi oleh tulang lakrimal di posterior, tulang nasal dan pyriform aperture di anterior, tulang frontal di kranial, maksila di inferior, rongga udara etmoid di tengah, dan orbita di lateral (Nguyen, 2010). Klasifikasi



yang



digunakan



pada



fraktur



NOE



adalah



klasifikasi



MarkowitzManson yang terdiri dari tiga tipe yaitu (Aktop, 2013): a. Tipe I: MCT menempel pada sebuah fragmen sentral yang besar. b.



Tipe II: MCT menempel pada fragmen sentral yang telah pecah namun dapat diatasi atau MCT menempel pada fragmen yang cukup besar untuk memungkinkan osteosynthesis.



c. Tipe III: MCT menempel pada sentral fragmen yang pecah dan tidak dapat diatasi



atau



fragmen



terlalu



kecil



untuk



memungkinkan



terjadinya



osteosynthesis atau telah terlepas total. Fraktur NOE meliputi 5% dari keseluruhan



fraktur



maksilofasial



pada



orang



dewasa. Kebanyakan fraktur NOE merupakan fraktur tipe I. Fraktur tipe III merupakan fraktur yang paling jarang dan terjadi pada 1-5% dari seluruh kasus fraktur NOE (Nguyen, 2010). 2. Fraktur Zigomatikomaksila Zygomaticomaxillary complex (ZMC) mempunyai peran penting pada struktur, fungsi, dan estetika penampilan dari wajah. ZMC memberikan kontur pipi normal dan memisahkan isi orbita dari fossa temporal dan sinus maksilaris. Zigoma merupakan tempat melekat dari otot maseter, oleh karena itu kerusakannya akan berpengaruh terhadap proses mengunyah (Tollefson, 2013). Fraktur ZMC menunjukkan kerusakan tulang pada empat dinding penopang yaitu



zygomaticomaxillary,



frontozygomatic,



zygomaticosphenoid,



dan



zygomaticotemporal. Fraktur ZMC merupakan fraktur kedua tersering pada fraktur maksilofasial setelah fraktur nasal (Meslemani, 2012). Klasifikasi pada fraktur ZMC yang sering digunakan adalah klasifikasi Knight dan North. Klasifikasi ini turut mencakup tentang penanganan terhadap fraktur ZMC. Klasifikasi tersebut dibagi menjadi enam yaitu (Meslemani, 2012): a. Kelompok 1: Fraktur tanpa pergeseran signifikan yang dibuktikan secara klinis dan radiologi b. Kelompok 2: Fraktur yang hanya melibatkan arkus yang disebabkan oleh gaya langsung yang menekuk malar eminence ke dalam c. Kelompok 3: Fraktur yang tidak berotasi d. Kelompok 4: Fraktur yang berotasi ke medial e. Kelompok 5: Fraktur yang berotasi ke lateral f. Kelompok 6: Fraktur kompleks yaitu adanya garis fraktur tambahan sepanjang fragmen utama (Meslemani, 2012). 3. Fraktur Nasal Tulang nasal merupakan tulang yang kecil dan tipis dan merupakan lokasi fraktur tulang wajah yang paling sering. Fraktur tulang nasal telah meningkat baik dalam prevalensi maupun keparahan akibat peningkatan trauma dan kecelakaan lalu lintas (Baek, 2013). Fraktur tulang nasal mencakup 51,3% dari seluruh fraktur maksilofasial (Haraldson, 2013). Klasifikasi fraktur tulang nasal terbagi menjadi lima yaitu (Ondik, 2009): a. Tipe I: Fraktur unilateral ataupun bilateral tanpa adanya deviasi garis tengah b. Tipe II: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi garis tengah c. Tipe III: Pecahnya tulang nasal bilateral dan septum yang bengkok dengan penopang septal yang utuh d. Tipe IV: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi berat atau rusaknya garis tengah hidung, sekunder terhadap fraktur septum berat atau dislokasi septum e. Tipe V: Cedera berat meliputi laserasi dan trauma dari jaringan lunak, saddling dari hidung, cedera terbuka, dan robeknya jaringan. 4. Fraktur Maksila dan Le Fort Maksila mewakili jembatan antara basal kranial di superior dan lempeng oklusal gigi di inferior. Hubungan yang erat dengan rongga mulut, rongga hidung, dan orbita dan sejumlah struktur yang terkandung di dalamnya dan melekat dengan maksila



merupakan struktur yang penting baik secara fungsional maupun kosmetik. Fraktur pada tulang-tulang ini memiliki potensi yang mengancam nyawa (Moe, 2013). Klasifikasi fraktur maksila yang paling utama dilakukan oleh Rene Le Fort pada tahun 1901 di Perancis. Klasifikasi Le Fort terbagi menjadi tiga yaitu (Aktop, 2013): 1) Le Fort I Garis fraktur horizontal memisahkan bagian bawah dari maksila, lempeng horizontal dari tulang palatum, dan sepertiga inferior dari sphenoid pterygoid processes dari dua pertiga superior dari wajah. Seluruh arkus dental maksila dapat bergerak atau teriris. Hematoma pada vestibulum atas (Guerin’s sign) dan epistaksis dapat timbul. 2) Le Fort II Fraktur dimulai inferior ke sutura nasofrontal dan memanjang melalui tulang nasal dan sepanjang maksila menuju sutura zygomaticomaxillary, termasuk sepertiga inferomedial dari orbita. Fraktur kemudian berlanjut sepanjang sutura zygomaticomaxillary melalui lempeng pterygoid. 3) Le Fort III Pada fraktur Le Fort III, wajah terpisah sepanjang basal tengkorak akibat gaya yang langsung pada level orbita. Garis fraktur berjalan dari region nasofrontal sepanjang orbita medial melalui fissura orbita superior dan inferior, dinding lateral orbita, melalui sutura frontozygomatic. Garis fraktur kemudian memanjang melalui sutura zygomaticotemporal dan ke inferior melalui sutura sphenoid dan pterygomaxillary. Ada dua tipe fraktur maksila non Le Fort lain relatif umum. Yang pertama adalah fraktur karena trauma tumpul yang terbatas dan sangat terfokus yang menghasilkan segmen fraktur yang kecil dan terisolasi. Sering kali, sebuah palu atau instrumen lain sebagai senjata penyebab. Alveolar ridge, dinding anterior sinus maksila dan nasomaxillary junction merupakan lokasi yang umum pada cedera ini. Yang kedua adalah fraktur karena gaya dari submental yang diarahkan langsung ke superior dapat mengakibatkan beberapa fraktur vertikal melalui beberapa tulang pendukung horizontal seperti alveolar ridge, infraorbital rim, dan zygomatic arches (Moe, 2013). 5. Fraktur Mandibula Mandibula mengelilingi lidah dan merupakan satu-satunya tulang kranial yang bergerak. Pada mandibula, terdapat gigi-geligi bagian bawah dan pembuluh darah, otot, serta persarafan. Mandibula merupakan dua buah tulang yang menyatu menjadi satu pada simfisis (Stewart, 2008).



Mandibula terhubung dengan kranium pada persendian temporomandibular joint (TMJ). Fungsi yang baik dari mandibula menentukan gerakan menutup dari gigi. Fraktur mandibula dapat mengakibatkan berbagai variasi dari gangguan jangka pendek maupun panjang yaitu nyeri TMJ, gangguan mengatupkan gigi, ketidakmampuan mengunyah, gangguan salivasi, dan nyeri kronis. Fraktur mandibula diklasifikasikan sesuai dengan lokasinya dan terdiri dari simfisis, badan, angulus, ramus, kondilar, dan subkondilar (Stewart, 2008).



F. MANIFESTASI KLINIS Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa : a. Dislokasi, berupa perubahan posisi yg menyebabkan maloklusi terutama pada fraktur mandibular b. Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur c. Rasa nyeri pada sisi fraktur d. Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran napas e. Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan lokasi daerah fraktur f. Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran g. Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur h. Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan i. Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi dibawah nervus alveolaris j. Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda, penurunan pergerakan bola mata dan penurunan visus



G. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Pemeriksaan Radiografis Pada pasien dengan trauma wajah, pemeriksaan radiografis diperlukan untuk memperjelas suatu diagnosa klinis serta untuk mengetahui letak fraktur. Pemeriksaan radiografis juga dapat memperlihatkan fraktur dari sudut dan perspektif yang berbeda. Pemeriksaan radiografis pada mandibula biasanya memerlukan foto radiografis panoramic view, open-mouth Towne’s view, postero-anterior view, lateral oblique view. Biasanya bila foto-foto diatas kurang memberikan informasi yang cukup, dapat juga digunakan foto oklusal dan periapikal. Computed



Tomography (CT) scans dapat juga memberi informasi bila terjadi trauma yang dapat menyebabkan tidak memungkinkannya dilakukan teknik foto radiografis biasa. Banyak pasien dengan trauma wajah sering menerima atau mendapatkan CT scan untuk menilai gangguan neurologi, selain itu CTscan dapat juga digunakan sebagai tambahan penilaian radiografi. Pemeriksaan radiografis untuk fraktur sepertiga tengah wajah dapat menggunakan Water’s view, lateral skull view, posteroanterior skull view, dan submental vertex view. No



Pemeriksaan Radiografis



Indikasi



1.



Foto dental



Trauma dan fraktur dental -Fraktur sagital rahang atas



2.



-Luksasi benda asing (pecahan



Foto oklusal



gigi, bahan tambalan dan gigi palsu) ke jaringan lunak



3.



Ortopantomogram/OPG



-Trauma



dental



-Fraktur



dentoalveolar



-Fraktur



rahang



bawah,



termasuk



fraktur



kondilus



- Fraktur rahang atas. -Fraktur Subokzipitofrontal 4.



terbuka



dengan



mulut



(Clementschitsch)



atau



Mandibula PA



rahang



bawah



-Fraktur



kondilus



- Pada dugaan terdapat fraktur rahang bawah dan atau fraktur kondilus, maka pembuatan foto clemi wajib dilakukan



5.



Waters/sinus maksilaris oksipitonasal



6.



Submentobregmatikal (Henkeltopf) Tomografi Komputer (scan CT), termasuk



7.



Cranial



Computer



Tomografi (CCT) dan juga scan CT dengan rekonstruksi 3D



-



Fraktur



wajah



- Fraktur orbita - Fraktur arkus zigomatikus -



Politrauma



-



Fraktur Fraktur



orbita



wajah (potongan



koronal) - Fraktur rahang atas kompleks -



Fraktur



rahang



bawah



kompleks - Fraktur dasar tengkorak, sinus frontalis - Trauma cranium 8.



MRI



Politrauma



- Trauma saraf dan jaringan lunak



(misalnya



n.opticus



diskus artikularis) 2. Pemeriksaan Laboratorium Walaupun perdarahan yang tertunda jarang menimbulkan masalah yang serius, tetapi karena diperlukan untuk tindakan bedah pada waktu selanjutnya, maka sebagian besar trauma orofasial mayor harus dilakukan pemeriksaan golongan darah untuk keperluan transfusi. Namun selain itu juga diperlukan pemeriksaan darah rutin yang meliputi : a. Hemoglobin / Haemoglobin (Hb) Nilai normal dewasa pria 13.5-18.0 gram/dL, wanita 12-16 gram/dL, wanita hamil 10-15 gram/Dl Hb yang rendah (