Laporan Pendahuluan Kolestasis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

A. KONSEP DASAR PENYAKIT 1. DEFINISI Kolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk duodenum dalam jumlah normal. Gangguan dapat terjadi mulai dari membrana-basolateral dari hepatosit sampai tempat masuk saluran empedu ke dalam duodenum. Dari segi klinis didefinisikan sebagai akumulasi zat-zat yang diekskresi kedalam empedu seperti bilirubin, asam empedu, dan kolesterol didalam darah dan jaringan tubuh. Secara patologi-anatomi kolestasis adalah terdapatnya timbunan trombus empedu pada sel hati dan sistem bilier (Arief, 2010). Kolestasis adalah kondisi yang terjadi akibat terhambatnya aliran empedu dari saluran empedu ke intestinal. Kolestasis terjadi bila ada hambatan aliran empedu dan bahan-bahan yang harus diekskresi hati (Nazer, 2010). Mitchel (2008) menjelaskan kolestasis neonatal merupakan istilah nonspesifik untuk kelainan hati dengan banyak etiologi yang mungkin terdapat pada neonatus. Pada 50% kasus tidak terdapat penyebab yang bisa diidentifikasi. Pasien penyakit ini ditemukan dengan hiperbilirubinemin terkonjugasi yang lama (kolestasis neonatal), hepatomegali dan disfungsi hati dengan derajat yang bervariasi (misalnya hipoprotrombinemia). 2. EPIDEMIOLOGI Kolestasis pada bayi terjadi pada ± 1:25000 kelahiran hidup. Insiden hepatitis neonatal 1:5000 kelahiran hidup, atresia bilier 1:10000-1:13000, defisiensi α-1 antitripsin 1:20000. Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1, sedang pada hepatitis neonatal, rasionya terbalik (Arief, 2012). 3. ETIOLOGI/FAKTOR PREDISPOSISI Penyebab kolestasis dibagi menjadi 2 bagian: intrahepatic kolestasis dan ekstrahepatic kolestasis. a. Pada intrahepatic kolestasis terjadi akibat gangguan pada sel hati yang terjadi akibat: infeksi bakteri yang menimbulkan abses pada hati, biliary cirrhosis primer, virus hepatitis, lymphoma, cholangitis sclerosing primer, infeksi tbc atau sepsis, obat-obatan yang menginduksi kolestasis. b. Pada extrahepatic kolestasis, disebabkan oleh tumor saluran empedu, cista, striktur (penyempitan saluran empedu), pankreatitis atau tumor pada pankreas, tekanan tumor atau massa sekitar organ, cholangitis sklerosis primer. Batu empedu adalah salah satu penyebab paling umum dari saluran empedu diblokir. Saluran empedu Diblokir mungkin juga hasil dari infeksi, kanker atau jaringan parut internal. Parut dapat 1



memblokir saluran empedu, yang dapat mengakibatkan kegagalan hati (Richard, 2002). Kriteria Kolestasis Kriteria Warna tinja -



pucat



Ekstrahepatik



Intrahepatik



79 %



26%



21% - kuning Berat lahir (g) 3226 ± 45 Usia saat tinja dempul 16 ± 1,5



74%



(hari) Gambaran hati



± 2 minggu



± 1 bulan



13 %



47 %



12



35



63



47



24



6



- Normal



2678 ± 65 30 ± 2



- Hepatomegali - Konsistensi normal - Konsistensi padat - Konsistensi keras Sumber: Behrman (1999) 4. PATOFISIOLOGI Empedu adalah cairan yang disekresi hati berwarna hijau kekuningan merupakan kombinasi produksi dari hepatosit dan kolangiosit. Empedu mengandung asam empedu, kolesterol, phospholipid, toksin yang terdetoksifikasi, elektrolit, protein, dan bilirubin terkonyugasi. Kolesterol dan asam empedu merupakan bagian terbesar dari empedu sedang bilirubin terkonyugasi merupakan bagian kecil. Bagian utama dari aliran empedu adalah sirkulasi enterohepatik dari asam empedu. Hepatosit adalah sel epetelial dimana permukaan basolateralnya berhubungan dengan darah portal sedang permukaan apikal (kanalikuler) berbatasan dengan empedu. Hepatosit adalah epitel terpolarisasi berfungsi sebagai filter dan pompa bioaktif memisahkan racun dari darah dengan cara metabolisme dan detoksifikasi intraseluler, mengeluarkan hasil proses tersebut kedalam empedu.Salah satu contoh adalah penanganan dan detoksifikasi dari bilirubin tidak terkonyugasi (bilirubin indirek). Bilirubin tidak terkonyugasi yang larut dalam lemak diambil dari darah oleh transporter pada membran basolateral, dikonyugasi intraseluler oleh enzim UDPGTa yang mengandung P450 menjadi bilirubin terkonyugasi yang larut air dan dikeluarkan kedalam 2



empedu oleh transporter mrp2. mrp2 merupakan bagian yang bertanggungjawab terhadap aliran bebas asam empedu. Walaupun asam empedu dikeluarkan dari hepatosit kedalam empedu oleh transporter lain, yaitu pompa aktif asam empedu. Pada keadaan dimana aliran asam empedu menurun, sekresi dari bilirubin terkonyugasi juga terganggu menyebabkan hiperbilirubinemia terkonyugasi. Proses yang terjadi di hati seperti inflamasi, obstruksi, gangguan metabolik, dan iskemia menimbulkan gangguan pada transporter hepatobilier menyebabkan penurunan aliran empedu dan hiperbilirubinemi terkonjugasi (Areif, 2010). Pada kolestasis yang berkepanjangan terjadi kerusakan fungsional dan struktural: a. Proses transpor hati Proses sekresi dari kanalikuli terganggu, terjadi inversi pada fungsi polaritas dari hepatosit sehingga elminasi bahan seperti bilirubin terkonyugasi, asam empedu, dan lemak kedalam empedu melalui plasma membran permukaan sinusoid terganggu. b. Transformasi dan konyugasi dari obat dan zat toksik Pada kolestasis berkepanjangan efek detergen dari asam empedu akan menyebabkan gangguan sitokrom P-450. Fungsi oksidasi, glukoronidasi, sulfasi dan konyugasi akan terganggu. c. Sintesis protein Sintesis protein seperti alkali fosfatase dan GGT, akan meningkat sedang produksi serum protein albumin-globulin akan menurun. d. Metabolisme asam empedu dan kolesterol Kadar asam empedu intraseluler meningkat beberapa kali, sintesis asam empedu dan kolesterol akan terhambat karena asam empedu yang tinggi menghambat HMG-CoA reduktase dan 7 alfa-hydroxylase menyebabkan penurunan asam empedu primer sehingga menurunkan rasio trihidroksi/dihidroksi bile acid sehingga aktifitas hidropopik dan detergenik akan meningkat. Kadar kolesterol darah tinggi tetapi produksi di hati menurun karena degradasi dan eliminasi di usus menurun. e. Gangguan pada metabolisme logam Terjadi penumpukan logam terutama Cu karena ekskresi bilier yang menurun. Bila kadar ceruloplasmin normal maka tidak terjadi kerusakan hepatosit oleh Cu karena Cu mengalami polimerisasi sehingga tidak toksik. f. Metabolisme cysteinyl leukotrienes Cysteinyl leukotrienes suatu zat bersifat proinflamatori dan vasoaktif dimetabolisir dan dieliminasi dihati, pada kolestasis terjadi kegagalan proses sehingga kadarnya 3



akan meningkat menyebabkan edema, vasokonstriksi, dan progresifitas kolestasis. Oleh karena diekskresi diurin maka dapat menyebabkan vaksokonstriksi pada ginjal. g. Mekanisme kerusakan hati sekunder Asam empedu, terutama litokolat merupakan zat yang menyebabkan kerusakan hati melalui aktifitas detergen dari sifatnya yang hidrofobik. Zat ini akan melarutkan kolesterol dan fosfolipid dari sistim membran sehingga intregritas membran akan terganggu. Maka fungsi yang berhubungan dengan membran seperti Na +, K+-ATPase, Mg++-ATPase, enzim-enzim lain dan fungsi transport membran dapat terganggu, sehingga lalu lintas air dan bahan-bahan lain melalui membran juga terganggu.Sistem transport kalsium dalam hepatosit juga terganggu. Zat-zat lain yang mungkin berperan dalam kerusakan hati adalah bilirubin, Cu, dan cysteinyl leukotrienes namun peran utama dalam kerusakan hati pada kolestasis adalah asam empedu. i. Proses imunologis Pada kolestasis didapat molekul HLA I yang mengalami display secara abnormal pada permukaan hepatosit, sedang HLA I dan II diekspresi pada saluran empedu sehingga menyebabkan respon imun terhadap sel hepatosit dan sel kolangiosit. Selanjutnya akan terjadi sirosis bilier (Nazer, 2010) 5. KLASIFIKASI Secara garis besar kolestasis dapat diklasifikasikan menjadi: a.



Kolestasis ekstrahepatik, obstruksi mekanis saluran empedu ekstrahepatik. Secara umum kelainan ini disebabkan lesi kongenital atau didapat. Merupakan kelainan nekroinflamatori yang menyebabkan kerusakan dan akhirnya pembuntuan saluran empedu ekstrahepatik, diikuti kerusakan saluran empedu intrahepatik. Penyebab utama yang pernah dilaporkan adalah proses imunologis,infeksi virus terutama CMV dan Reo virus tipe 3, asam empedu yang toksik, iskemia dan kelainan genetik. Biasanya penderita terkesan sehat saat lahir dengan berat badan lahir, aktifitas dan minum normal. Ikterus baru terlihat setelah berumur lebih dari 1 minggu. 10-20% penderita disertai kelainan kongenital yang lain seperti asplenia, malrotasi dan gangguan kardiovaskuler. Deteksi dini dari kemungkinan adanya atresia bilier sangat penting sebab efikasi pembedahan hepatik-portoenterostomi (Kasai) akan menurun apabila dilakukan setelah umur 2 bulan. Pada pemeriksaan ultrasound terlihat kandung empedu kecil dan atretik disebabkan adanya proses obliterasi, tidak jelas adanya pelebaran saluran empedu 4



intrahepatik. Gambaran ini tidak spesifik, kandung empedu yang normal mungkin dijumpai pada penderita obstruksi saluran empedu ekstrahepatal sehingga tidak menyingkirkan kemungkinan adanya atresi bilier. Gambaran histopatologis ditemukan adanya portal tract yang edematus dengan proliferasi saluran empedu, kerusakan saluran dan adanya trombus empedu didalam duktuli. Pemeriksaan kolangiogram intraoperatif dilakukan dengan visualisasi langsung untuk mengetahui patensi saluran bilier sebelum dilakukan operasi Kasai (Anonym, 2010) b. Kolestasis intrahepatik 1) Saluran Empedu Digolongkan dalam 2 bentuk, yaitu: (a) Paucity saluran empedu, dan (b) Disgenesis saluran empedu. Oleh karena secara embriologis saluran empedu intrahepatik (hepatoblas) berbeda asalnya dari saluran empedu ekstrahepatik (foregut) maka kelainan saluran empedu dapat mengenai hanya saluran intrahepatik atau hanya saluran ekstrahepatik saja. Beberapa kelainan intrahepatik seperti ekstasia bilier dan hepatik fibrosis kongenital, tidak mengenai saluran ekstrahepatik. Kelainan yang disebabkan oleh infeksi virus CMV, sklerosing kolangitis, Caroli’s disease mengenai kedua bagian saluran intra dan ekstra-hepatik.Karena primer tidak menyerang sel hati maka secara umum tidak disertai dengan gangguan fungsi hepatoseluler. Serum transaminase, albumin, faal koagulasi masih dalam batas normal. Serum alkali fosfatase dan GGT akan meningkat. Apabila proses berlanjut terus dan mengenai saluran empedu yang besar dapat timbul ikterus, hepatomegali, hepatosplenomegali, dan tanda-tanda hipertensi portal. Paucity saluran empedu intrahepatik lebih sering ditemukan pada saat neonatal dibanding disgenesis, dibagi menjadi sindromik dan nonsindromik. Dinamakan paucity apabila didapatkan < 0,5 saluran empedu per portal tract.Contoh dari sindromik adalah sindrom Alagille, suatu kelainan autosomal dominan disebabkan haploinsufisiensi pada gene JAGGED 1.Sindroma ini ditemukan pada tahun 1975 merupakan penyakit multi organ pada mata (posterior embryotoxin), tulang belakang (butterfly vertebrae), kardiovaskuler (stenosis katup pulmonal), dan muka yang spesifik (triangular facial yaitu frontal yang dominan, mata yang dalam, dan dagu yang sempit).Nonsindromik adalah paucity saluran empedu tanpa disertai gejala organ lain. Kelainan saluran empedu intrahepatik lainnya adalah sklerosing kolangitis



5



neonatal, sindroma hiper IgM, sindroma imunodefisiensi yang menyebabkan kerusakan pada saluran empedu (Anonym, 2010). 2) Kelainan hepatosit Kelainan primer terjadi pada hepatosit menyebabkan gangguan pembentukan dan aliran empedu. Hepatosit neonatus mempunyai cadangan asam empedu yang sedikit, fungsi transport masih prematur, dan kemampuan sintesa asam empedu yang rendah sehingga mudah terjadi kolestasis. Infeksi merupakan penyebab utama yakni virus, bakteri, dan parasit. Pada sepsis misalnya kolestasis merupakan akibat dari respon hepatosit terhadap sitokin yang dihasilkan pada sepsis. Hepatitis neonatal adalah suatu deskripsi dari variasi yang luas dari neonatal hepatopati, suatu inflamasi nonspesifik yang disebabkan oleh kelainan genetik, endokrin, metabolik, dan infeksi intra-uterin. Mempunyai gambaran histologis yang serupa yaitu adanya pembentukan multinucleated giant cell dengan gangguan lobuler dan serbukan sel radang, disertai timbunan trombus empedu pada hepatosit dan kanalikuli. Diagnosa hepatitis neonatal sebaiknya tidak dipakai sebagai diagnosa akhir, hanya dipakai apabila penyebab virus, bakteri, parasit, gangguan metabolik tidak dapat ditemukan (Reksoprodjo, 1995) 6. GEJALA KLINIS Gambaran klinis pada kolestasis pada umunya disebabkan karena keadaan-keadaan: 1. Terganggunya aliran empedu masuk ke dalam usus a. Tinja akolis/hipokolis/pucat b. Urobilinogen/sterkobilinogen dalam tinja menurun/negatif c. Urobilin dalam air seni negatif d. Malabsorbsi lemak dan vitamin yang larut dalam lemak e. Steatore f. Hipoprotrombinemia 2. Akumulasi empedu dalam darah a. Ikterus b. Gatal-gatal c. Hiperkolesterolemia 3. Kerusakan sel hepar karena menumpuknya komponen empedu a. Anatomis 1) Akumulasi pigmen 2) Reaksi peradangan dan nekrosis b. Fungsional 1) Gangguan ekskresi (alkali fosfatase dan gama glutamil transpeptidase meningkat) 2) Transaminase serum meningkat (ringan) 3) Gangguan ekskresi sulfobromoftalein 4) Asam empedu dalam serum meningkat 6



Tanda-tanda non-hepatal sering pula membantu dalam diagnosa, seperti sindroma polisplenia (situs inversus, levocardia, vena cava inferior tidak ada), sering bersamaan dengan atresia bilier: bentuk muka yang khas, posterior embriotokson, serta adanya bising pulmunal stenosis perifer, sering bersamaan dengan “paucity of the intrahepatic bile ductules” (arterio hepatic displasia/Alagille’s syndrome) nafsu makan yang jelek dengan muntah, “irritable”, sepsis, sering karena adanya kelainan metabolisme seperti galaktosemia, intoleransi froktosa herediter, tirosinemia. Neonatal hepatitis lebih banyak pada anak laki, sedangkan atresia bilier ekstrahepatal lebih banyak pada anak perempuan. Pertumbuhan pasien dengan kolestasis intrahepatik menunjukkan perlambatan sejak awal. Pada pasien dengan kolestasis ekstrahepatik umumnya bertumbuh dengan baik pada awalnya tetapi kemudian akan mengalami gangguan pertumbuhan sesuai dengan perkembangan penyakit. Pasien dengan kolestasis perlu dipantau pertumbuhannya dengan membuat kurva pertumbuhan berat badan dan tinggi badan bayi/anak. 7. PEMERIKSAAN FISIK Pada umumnya gejala ikterik pada neonatus baru akan terlihat bila kadar bilirubin sekitar 7 mg/dl. Secara klinis mulai terlihat pada bulan pertama. Warna kehijauan bila kadar bilirubin tinggi karena oksidasi bilirubin menjadi biliverdin. Jaringan sklera mengandung banyak elastin yang mempunyai afinitas tinggi terhadap bilirubin, sehingga pemeriksaan sklera lebih sensitif. Dikatakan pembesaran hati apabila tepi hati lebih dari 3,5 cm dibawah arkus kota pada garis midklavikula kanan. Pada perabaan hati yang keras, tepi yang tajam dan permukaan noduler diperkirakan adanya fibrosis atau sirosis. Hati yang teraba pada epigastrium mencerminkan sirosis atau lobus Riedel (pemanjangan lobus kanan yang normal). Nyeri tekan pada palpasi hati diperkirakan adanya distensi kapsul Glisson karena edema. Bila limpa membesar, satu dari beberapa penyebab seperti hipertensi portal, penyakit storage, atau keganasan harus dicurigai. Hepatomegali yang besar tanpa pembesaran organ lain dengan gangguan fungsi hati yang minimal mungkin suatu fibrosis hepar kongenital. Perlu diperiksa adanya penyakit ginjal polikistik. Asites menandakan adanya peningkatan tekanan vena portal dan fungsi hati yang memburuk. Pada neonatus dengan infeksi kongenital, didapatkan bersamaan dengan mikrosefali, korioretinitis, purpura, berat badan rendah, dan gangguan organ lain (Arief, 2010). 8. PEMERIKSAAN PENUNJANG 7



Pada bayi dengan kolestasis harus dibedakan antara kolestasis intra- atau ekstrahepatal dengan tujuan utama memperbaiki atau mengobati keadaan-keadaan yang memang dapat diperbaiki/diobati. Sebagai tahap pertama dalam pendekatan diagnosa, harus dibuktikan apakah ada kelainan hepatobilier atau tidak. Pemeriksaan yang perlu dilakukan pada tahap ini adalah: a. Hapusan darah tepi b. Bilirubin dalam air seni c. Sterkobilinogen dalam air seni d. Tes fungsi hepar yang standar: Heymans vd Bergh, SGOT, SGPT, alkali fosfatase serta serum protein Bila dari pemeriksaan tersebut masih meragukan, dilakukan pemeriksaan lanjutan yang lebih sensitif seprti BSP/kadar asam empedu dalam serum. Bila fasilitas terbatas dapat hanya dengan melihat pemerikasaan bilirubin air seni. Hasil positf menunjukkan adanya kelainan hepatobilier. Bila ada bukti keterlibatan hepar maka dilakukan tahap berikutnya untuk membuktikan kelainan intra/ekstrahepatal, mencari kemungkinan etiologi, dan mengidentifikasi kelainan yang dapat diperbaiki/diobati. Pemeriksaan yang dilakukan adalah: a. Terhadap infeksi/bahan toksik b. Terhadap kemungkinan kelainan metabolik c. Mencari data tentang keadaan saluran empedu Untuk pemeriksaan terhadap infeksi yang penting adalah: a. Virus: 1) Virus hepatotropik: HAV, HBV, non A non B, virus delta 2) TORCH (Toxoplasma, Rubella, CMV, Herpes) 3) Virus lain: EBV, Coxsackie’s B, varisela-zoster b. Bakteri: terutama bila klinis mencurigakan infeksi kuman leptospira, abses piogenik 1) Parasit: toksoplasma, amuba, leismania, penyakit hidatid 2) Bahan toksik, terutama obat/makanan hepatotoksik c. Pemeriksaan kelainan metabolik yang penting: 1) Galaktosemia, fruktosemia 2) Tirosinosis: asam amino dalam air seni 3) Fibrosis kistik 4) Penyakit Wilson 5) Defisiensi alfa-1 antitripsin Data tentang saluran empedu diperoleh melalui pemeriksaan Rose Bengal Excretion (RBE), Hida Scan, USG atau Biopsi hepar. Bila dicurigai ada suatu kelainan saluran empedu dilakukan pemeriksaan kolangiografi. 9. KRITERIA DIAGNOSTIK Tujuan utama evaluasi bayi dengan kolestasis adalah membedakan antara kolestasis intrahepatik dengan ekstrahepatik sendini mungkin. Diagnosis dini obstruksi bilier ekstrahepatik akan meningkatkan keberhasilan operasi. Kolestasis intrahepatik seperti sepsis, galaktosemia atau endrokinopati dapat diatasi dengan medikamentosa. 8



10. PENANGANAN Pengobatan paling rasional untuk kolestasis adalah perbaikan aliran empedu ke dalam usus. Pada prinsipnya ada beberapa hal pokok yang menjadi pedoman dalam penatalaksanaannya, yaitu: 1. Sedapat mungkin mengadakan perbaikan terhadap adanya gangguan aliran empedu 2. Mengobati komplikasi yang telah terjadi akibat adanya kolestasis 3. Memantau sedapat mungkin untuk mencegah kemungkinan terjadinya keadaan fatal yang dapat mengganggu proses regenerasi hepar 4. Melakukan usaha-usaha yang dapat mencegah terjadinya gangguan pertumbuhan 5. Sedapat mungkin menghindari segala bahan/keadaan yang dapat mengganggu/merusak hepar Dalam hal ini pengobatan dibagi dalam 3 golongan besar, yaitu: 1. Tindakan medis a. Perbaikan aliran empedu: pemberian fenobarbital dan kolestiramin, ursodioxy cholic acid (UDCA). b. Aspek gizi: lemak sebaiknya diberikan dalam bentuk MCT (medium chain triglyceride) karena malabsorbsi lemak. c. Diberikan tambahan vitamin larut lemak (A, D, E, dan K) 2. Tindakan bedah Tujuannya untuk mengadakan perbaikan langsung terhadap kelainan saluran empedu yang ada. Operasi Kasai (hepatoportoenterostomy procedure) diperlukan untuk mengalirkan empedu keluar dari hati, dengan menyambungkan usus halus langsung dari hati untuk menggantikan saluran empedu (lihat gambar di bawah). Untuk mencegah terjadinya komplikasi cirrhosis, prosedur ini dianjurkan untuk dilakukan sesegera mungkin, diupayakan sebelum anak berumur 90 hari. Perlu diketahui bahwa operasi Kasai bukanlah tatalaksana definitif dari atresia biliaris, namun setidaknya tindakan ini dapat memperbaiki prognosis anak dan memperlambat perjalanan menuju kerusakan hati (Nezer, 2010). 3. Terapi suportif a. Asam ursodeoksikolat 10-20 mg/kg dalam 2-3 dosis b. Kebutuhan kalori mencapai 130-150% kebutuhan bayi normal dan mengandung lemak rantai sedang (Medium chain trigliseride-MCT), misalnya panenteral, progrestimil c. Vitamin yang larut dalam lemak 1) A : 5000-25.000 IU 2) D : calcitriol 0,05-0,2 ug/kg/hari 3) E : 25-200 IU/kk/hari 4) K1 : 2,5-5 mg : 2-7 x/ minggu d. Mineral dan trace element : Ca, P, Mn, Zn, Se,Fe e. Terapi komplikasi lain: misalnya hiperlipidemia/xantelasma: Obat HMG-coA reductase inhibitor contohnya kolestipol, simvastatin 9



f. Pruritus : 1) Atihistamin : difenhidramin 5-10 mg/kg/hati, hidroksisin 2-5 mg/kg/hati Rifampisin : 10 mg/kg/hari 2) Kolestiramin : 0,25-0,5g/kg/hari 11. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS a. Komplikasi Komplikasi



yang



dapat



terjadi



dari



kolestasis



neonatus



ini



adalah



hiperlipidemia/xantelasma dan gagal hati. b. Prognosis Keberhasilan portoenterostomi ditentukan oleh usia anak saat dioperasi, gambaran histologik porta hepatis, kejadian penyulit kolangitis, dan pengalaman ahli bedahnya sendiri. Bila operasi dilakukan pada usia < 8 minggu maka angka keberhasilannya 7186%, sedangkan bila operasi dilakukan pada usia > 8 minggu maka angka keberhasilannya hanya 34-43,6%. Sedangkan bila operasi tidak dilakukan, maka angka keberhasilan hidup 3 tahun hanya 10% dan meninggal rata-rata pada usia 12 bulan. Anak termuda yang mengalami operasi Kasai berusia 76 jam. Jadi faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan operasi adalah usia saat dilakukan operasi > 60 hari, adanya gambaran sirosis pada sediaan histologik had, tidak adanya duktus bilier ekstrahepatik yang paten, dan bila terjadi penyulit hipertensi portal. 12. PENCEGAHAN Kolestasis neonatus dapat dicegah dan dihentikan dengan : a. Pengawasan antenatal yang baik b. Menghindari obat yang dapat meningkatan ikterus pada bayi pada masa kehamilan dan kelahiran, misalnya sulfafurazole,novobiosin,oksitosin dan lan-lain c. Pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan neonatus d. Penggunaan fenobarbital pada ibu 1-2 hari sebelum partus e. Imunisasi yang baik pada bangsal bayi baru lahir f. Pemberian makanan yang dini g. Pencegahan infeksi



B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN 10



1. PENGKAJIAN a. Anamnesis Riwayat kehamilan dan kelahiran: infeksi ibu pada saat hamil atau melahirkan, berat lahir, lingkar kepala, pertumbuhan janin (kolestasis intrahepatik umumnya berat lahirnya < 3000 g dan pertumbuhan janin terganggu). Riwayat keluarga : riwayat kuning, tumor hati, hepatitis B, hepatitis C, hemokro-matosis, perkawinan antar keluarga. Resiko hepatitis virus B/C (transfusi darah, operasi, dll) paparan terhadap toksin/obat-obat. b. Data subjektif 1) Bagaimana nafsu makan klien 2) Berapa kali makan dalam sehari 3) Banyaknya makan dalam satu kali makan 4) Apakah ada mual muntah 5) Bagaimana pola eliminasinya 6) Apakah ada anoreksia 7) Apakah ada rasa nyeri pada daerah hepar 8) Apakah ada gatal-gatal pada seluruh tubuh (pruritus) 9) Bagaimanakah warna fesesnya 10) Bagaimanakah warna urinnya c. Data Objektif 1) Bagaimana nafsu makan klien 2) Berapa kali makan dalam sehari 3) Banyaknya makan dalam satu kali makan 4) Apakah ada mual muntah 5) Bagaimana pola eliminasinya 6) Apakah ada anoreksia 7) Apakah ada rasa nyeri pada daerah hepar 8) Apakah ada gatal-gatal pada seluruh tubuh (pruritus) 9) Bagaimanakah warna fesesnya 10) Bagaimanakah warna urinnya d. Riwayat kesehatan 1) Riwayat kesehatan dahulu Apakah ada tanda-tanda infeksi dahulu pada ibu, apakah ibu pernah mengkonsumsi obat-obatan yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi. 11



2) Riwayat kesehatan sekarang Pada umumnya bayi masuk rumah sakit dengan keluhan tubuh bayi berwarna kuning dan ada rasa gatal-gatal dari tubuh bayi. 3) Riwayat keluarga Adanya riwayat keluarga yang menderita kolestasis, maka kemungkinan besar merupakan suatu kelainan genetik/metabolik. e. Pengkajian fisik Meliputi pengkajian komposisi keluarga, lingkungan rumah dan komunitas, pendidikan dan pekerjaan anggota keluarga, fungsi dan hubungan anggota keluarga, kultur dan kepercayaan, perilaku yang dapat mempengaruhi kesehatan, persepsi keluarga tentang penyakit klien dan lain-lain. Pengkajian secara umum dilakukan dengan metode head to toe yang meliputi: keadaan umum dan status kesadaran, tandatanda vital, area kepala dan wajah, dada, abdomen, eksteremitas, dan genita-urinaria. 



Pemeriksaan fisik abdomen antaralain:



1) Inspeksi - Lihat keadaan klien apakah kurus, ada edema pada muka atau kaki - Lihat warna rambut, kering dan mudah dicabut - Mata cekung dan pucat - Lihat warna kulit pasien ada warna kuning atau tidak - Lihat seluruh tubuh pasien ada bekas garukan karena gatal-gatal atau tidak 2) Auskultasi - Dengar denyut jantung apakah terdengar bunyi S1, S2, S3 serta S4 - Dengarkan bunyi peristaltik usus - Dengarkan bunyi paru – paru terutama weezing dan ronchi 3) Perkusi - Perut apakah terdengar adanya shitting duilnees - Bagaimana bunyinya pada waktu melakukan perkusi 4) Palpasi - Hati: bagaimana konsistensinya, kenyal, licin dan tajam pada permukaannya, berapa besarnya dan apakah ada nyeri tekan - limpa : apakah terjadi pembesaran limpa - tungkai : apakah ada pembesaran pada tungkai   



Pertumbuhan (berat badan, lingkar kepala) Kulit : ikterus, spider angiomata, eritema palmaris, edema Mata : ikterik 12



2. DIAGNOSA KEPERAWATAN a. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan factor biologi ditandai dengan klien tampak kurus, nafsu makan menurun, klien dikeluhkan muntah. b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan pigmentasi ditandai dengan kulit klien tampak kuning, terdapat bekas garukan, kulit klien tampak bersisik. c. Diare berhubungan dengan kontaminasi ditandai dengan klien dikeluhkan BAB encer, BAB lebih dari 6-8 kali sehari. d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif e. Risiko keterlambatan tumbuh kembang berhubungan dengan nutrisi tidak adekuat.



13



3.



INTERVENSI KEPERAWATAN



No



1.



Diagnosa Keperawatan Ketidakseimbangan



Perencanaan Keperawatan Tujuan NOC



nutrisi Setelah



diberikan



Intervensi NIC



Rasional



asuhan Nutrition therapy



kurang dari kebutuhan tubuh keperawatan selama ... x 24 jam 1. Mengindikasikan



pemberian 1.



Membantu



berhubungan dengan factor diharapkan kebutuhan nutrisi klien



terapi



parenteral



asupan nutrisi yang adekuat.



biologi ditandai dengan klien terpenuhi dengan kriteria hasil :



(NGT).



tampak kurus, nafsu makan a. Status nutrisi: menurun,



klien



dikeluhkan



-



muntah.



adekuat dalam



normal b. Status nutrisi : masukan nutrisi: -



Masukan Nutrisi makanan



Mencegah klien mendapat asupan yang tidak sesuai dengan prosedur.



4.



4. Jaga kebersihan mulut.



Menjaga kebersihan mulut dapat meningkatkan nafsu



kalori



makan.



dalam batas normal -



3.



yang sesuai dengan kebutuhan nutrisi klien.



perkembangan



kebutuhan.



3. Monitor ketepatan diet order batas



Mengetahui



makan/minum klien sesuai



dimakan dan hitung asupan kalori tiap hari dengan tepat.



Masukan makanan



2.



2. Monitor makanan/cairan yang Masukan nutrisi



-



nutrisi



pemenuhan



5.



Menentukan jumlah kalori



dalam 5. Kolaborasi dengan ahli gizi



dan jenis nutrisi yang sesuai



cukup



dengan kebutuhan klien.



untuk



menentukan



jumlah



mengandung protein, lemak,



kalori dan jenis nutrisi yang



karbohidrat, serat, vitamin,



dibutuhkan untuk memenuhi 14



mineral,



ion,



kalsium,



kebutuhan nutrisi.



6.



sodium



terapi



c. Status nutrisi : hitung biokimia -



Serum



Fluid/ electrolyte management



albumin 6.



dalam batas normal (3,4-4,8 gr/dl)



Membantu



7.



Monitor



abnormal



memberikan



yang



tepat



sesuai



kebutuhan.



serum 7.



Membantu



menambah



elektrolit klien.



cairan/elektrolit tubuh bila



Berikan intravenous infusion



asupan oral tidak memenuhi



sesuai indikasi.



kebutuhan.



8.



Dengan



memantau



berat



Penanganan berat badan:



badan klien dengan teratur



8.



Timbang berat badan klien



dapat mengetahui kenaikan



secara teratur.



ataupun



penurunan



status



gizi. 9. 9.



Pantau



konsumsi



kalori



harian.



Membantu



mengetahui



masukan kalori harian klien disesuaikan



dengan



kebutuhan kalori sesuai usia. 10. Kadar albumin dan elektrolit 10. Pantau hasil laboratorium,



yang normal menunjukkan



seperti kadar serum albumin,



status nutrisi baik. Sajikan



dan elektrolit.



makanan dengan menarik. 15



2,



Kerusakan



integritas



berhubungan



kulit Setelah



diberikan



asuhan Skin surveillance



dengan keperawatan selama …x24 jam 1. Inspeksi kulit klien untuk



perubahan pigmentasi ditandai diharapkan



kerusakan



integritas



dengan kulit klien tampak kulit klien berkurang bahkan hilang kuning,



terdapat



bekas dengan outcome : Respon alergi local garukan, kulit klien tampak - tidak ada kemerahan di kulit bersisik - tidak ada rasa gatal di kulit - tidak ada ruam di kulit Integritas kulit - tidak ada lesi di kulit - tidak ada pengelupasan kulit



melihat



adanya



kemerahan



1. Inspeksi



merupakan



pengkajian



awal



mengenai



tingkat kerusakan integritas



dan lesi.



kulit pada klien. 2. Monitor kulit klien terhadap 2. Kekeringan dan kelembaban kekeringan dan kelembaban yang berlebihan. 3. Monitor adanya



berlebihan dapat memperberat



gejala pruritus klien. lesiserosi 3. Membantu



kulit lebih lanjut.



melihat



perkembangan integritas kulit klien, adanya erosi dan lesi lanjut



Perawatan kulit 4. Hindari



penggunaan



bed



tekstur kasar.



sabun antiseptic, bukan sabun biasa. 6. Jaga tempat tidur agar tetap lipatan.



kering,



yang lebih berat. 4. Mengurangi



gejala



terjadinya



gesekan yang memperberat



5. Anjurkan klien mandi dengan



bersih,



menunjukkan



dan



bebas



pruritus klien. 5. Sabun biasa



mengandung



deterjen yang dapat menjadi faktor pencetus alergi lebih lanjut. 6. Mengurangi terjadi gesekan kulit dan bed yang dapat 16



7. Sarankan



pasien



meng-



gunakan pakaian yang tidak



memperberat rasa gatal. 7. Pakaian ketat dapat menimbulkan



terlalu ketat dan menyerap



gesekan



sedangkan pakaian menyerap



kering.



keringat dapat menurunkan risiko meningkatnya kelem-



8. Kolaborasi : Kortikosteroid



baban kulit yang dapat mem-



topical,antihistamin oral. Managemen nutrisi



perberat pruritus. 8. Membantu menagatasi pruritus klien.



9. Kaji adanya alergi makanan tertentu pada klien. 10. Berikan diet makanan sesuai kebutuhan klien; Tinggi



9. Mencegah pemberian nutrisi yang memperberat gejala. 10. Tinggi kalori membantu



Kalori Rendah Protein



memenuhi kebutuhan kalori klien



sedangkan



protein



membantu



menurunkan jika



rendah



respon



pruritus



alergi,



disebabkan



alergi. 3.



Diare



berhubungan



dengan Setelah diberikan asuhan



kontaminasi ditandai dengan keperawatan selama ....x 24 jam klien dikeluhkan BAB encer, diharapkan diare teratasi dengan



Manajemen Diare 1.



Monitor untuk tanda dan gejala diare



1.



Untuk



mengetahui



intervensi yang sesuai 17



BAB lebih dari 6-8 kali sehari. kriteria hasil : Bowel Management  Frekuensi BAB normal  



(1x1/hari) Melporkan tidak ada diare HR teraba dan da;am batas



2.



Monitor turgor kulit



2.



Turgor



kulit



yang



tidak



bagus menandakan terjadi 3.



Pantau frekuensi BAB



3.



dehidrasi akibat diare Frekuensi BAB yang berlebihan



normal (100-120x/menit) Skin Surveilance Turgor kulit elastis3kali terjadinya



diare Kulit yang lembab akibat adanya akumulasi kotoran dapat



mengakibatkan



terjadinya kemerahan pada 5.



Pertahankan



kondisi



bagian anogenital tetap kering



5.



kulit Keadaan kering mencegah terjadinya kemerahan pada



Elektrolit Management 6.



Monitor



tanda-tanda



ketidakseimbangan elektrolit 7.



Monitoring pertahankan Kolaborasi



kulit Untuk



7.



intervensi yang sesuai Agar tidak terjadi kelebihan



dan 8. pemberian



cairan rehidrasi melalui oral,



mengetahui



atau kekurangan cairan dan



keseimbangan



intake dan output 8.



6.



elektrolit Membantu



menggantikan



jumlah elektrolit yang telah hilang atau sedang hilang 18



NGT atau intravena sesuai 9.



indikasi



untuk meningkatkan status



Management Nutrisi 9.



Input nutrisi yang sesuai



Dorong input nutrisi pada klien sesuai dengan kondisi klien



nutrisi klien yang menurun akibat diare dan muntah 10. Protein berfungsi untuk memperbaiki sel-sel yang rusak



10.



Dorong



peningkatan



intake protein yang sesuai 11.



Monitoring Berat badan klien



12.



gizi untuk menetukan jumlah kalori dan tipe nutrisi yang



4.



Kekurangan



volume



berhubungan kehilangan cairan aktif



cairan Setelah diberikan asuhan dengan keperawatan selama ....x 24 jam



sistem imun. 11. Untuk mengetahui



status



nutrisi klien dan efektifitas



nutrisi yang sesuai untuk memperbaiki status nutrisi akibat muntah dan diare



terhadap



perbaikan nutrisi klien. Elektrolit Management 1.



diharapkan volume cairan adekuat dengan kriteria hasil :



meningkatkan



terapi yang diberikan 12. Kolaborasi dan pemberian



Kolaborasi kepada ahli



dibutuhkan



dan



Monitor



tanda-tanda



ketidakseimbangan elektrolit 2.



Monitoring



dan



1. Untuk mengetahui intervensi yang sesuai 2. Agar tidak terjadi kelebihan atau kekurangan cairan dan 19



-



Masukan dan haluaran cairan



pertahankan



adekuat Tidak tampak tanda-tanda



intake dan output



-



dehidrasi Tidak terjadi gangguan cairan



3.



keseimbangan



menandakan terjadi dehidrasi



Monitor turgor kulit



akibat diare 4. Membantu



dan elektrolit Kolaborasi



pemberian



cairan rehidrasi melalui oral,



5. Kesiapan



jam



diharapkan



dapat



terapi



indikasi



kebutuhan.



komunikasi pasien



Mengidentifikasi mempreoritaskan tujuan



-



Mengimplementasikan rencana berikut



2. Dorong dan



sesuai



untuk



efektif



-



tepat



sumber



meningkatkan status kesehatan



kriteria hasil:



yang



Monitor abnormal serum



dengan tugas adaktif secara meningkatkan pemahaman keluarga terhadap kondisi pasien dengan



hilang atau sedang hilang 5. Membantu memberikan



NGT atau intravena sesuai



elektrolit klien. meningkatkan Setelah dilakukan asuhan selama ... 1. Identifikasi



koping keluarga berhubungan x...



menggantikan



jumlah elektrolit yang telah 4.



5.



elektrolit 3. Turgor kulit yang tidak bagus



keluarga



untuk



mendampingi klien 3. Berikan



informasi



tentang



kondisi anaknya 4. Berikan



pengetahuan



yang



dibutuhkan oleh keluarga 20



5. Berikan



dorongan



merencanakan



dalam



perawatan



lanjutan



21



DAFTAR PUSTAKA Anonym. 2010. available at http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/bileductdiseases.html Arief, Sjamsul. 2010. Deteksi dini kolestasis neonatal. Divisi Hepatologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak F K UNAIR/RSU Dr Soetomo, Surabaya. Mansjoer A. et al, 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I, Ed.3. hal 510-512. Jakarta: Media Aesculapius, FKUI. Nazer, Hisham. 2010. Kolestasis. available at http://emedicine.medscape.com/article/927624overview Reksoprodjo S. 1995. Ikterus dalam bedah, Dalam Ahmadsyah I, Kumpulan. Kuliah Ilmu Bedah, hal 71 – 77, Bina Rupa Aksara, Jakarta. Richard S. Snell. 2002, Anatomi klinik, edisi 3, bag. 1, hal 265 – 266. Jakarta: EGC. Sherlock. S, Dooley J. 1993. Disease of the Liver and Biliary Sistem 9 th. Ed. Blackwell Scientific Publication: London.



22